Kamis, 01 November 2007

Kemandirian Dalam Belajar Perlu Untuk Ditingkatkan

KEMANDIRIAN DALAM BELAJAR PERLU DITINGKATKAN
Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar,
Program Layanan Unggulan Kab. Tanah Datar
Mhs. Pascasarjana UNP
marjohanusman@yahoo.com

Kita tidak perlu merasa kaget apabila mendengar pengakuan seorang mahasiswa yang baru saja kuliah pada sebuah perguruan tinggi negeri atau swasta tetapi masih merasa ragu-ragu untuk menuntut ilmu. Cukup banyak contoh-contoh seperti itu di seputar kita.
Agak memprihatinkan, remaja-remaja sekarang kurang menenggang perasaan atau kesulitan orangtua. Mereka lebih memperhatikan kebutuhan dan kesenangan diri. Ada seorang mahasiswa baru, sebagai contoh, menuntut ilmu pada jurusan teknik di sebuah perguruan tinggi swasta. Walaupun orangtuanya telah mengeluarkan dana hampir 5 juta rupiah sejak dari mengikuti kegiatan bimbingan belajar sampai dengan membayar SPP semester pertama tetapi ia belum bisa merasakan kesulitan orangtua. Tentu saja ketampanan wajahnya tidak dapat menutupi keletihan fisik dan jiwa orangtua dalam memikirkannya.
Kemandirian dalam belajar agaknya belum dimiliki oleh banyak pelajar. Ada guru yang mengatakan bahwa pelajaran sekarang banyak yang bersifat seperti ‘paku’, ia baru bergerak kalau dipukul dengan martil. Pelajar sekarang, walau tidak semuanya, banyak bersifat serba pasif. Dalam membaca buku-buku pelajaran saja misalnya, kalau tidak disuruh atau diperintahkan oleh guru maka buku-buku tersebut akan tetap tidak tersentuh dan akan selalu utuh karena tidak dibaca.
Aktivitas guru-guru pada waktu senggang mereka, yang mana lebih gemar mengambil topik-topik ringan dan mengambang dalam berdialog sementara tugas-tugas murid banyak yang tidak diperiksa dan persiapan mengajar serba belum beres adalah gambaran ketidakmandirian kalangan pendidik dalam menjalankan profesi mereka. Tidak hanya guru-guru tetapi malah pegawai-pegawai lainnya, barangkali juga menunjukkan adanya gejala ketidakmandirian dalam belajar. Prilaku mereka seperti suka berpikir mengambang, melakukan debat kusir dan berkelakar hampir sepanjang waktu, mereka baru melakukan tugas dengan baik kalu masih dikontrol oleh pihak atasan saban waktu adalah ciri-ciri dari ketidakmandirian dalam belajar meski secara biologis mereka sudah sangat dewasa.
Cukup banyak penulis lain Cuma membahas kegagalan pendidikan atau membahas dan tema tentang ketidakmandirian siswa dalam belajar, lebih mempersalahkan faktor sekolah. Mereka lupa untuk membahas secara rinci tentang faktor lingkungan rumah.
Lingkungan rumah cukup dominan untuk menentukan atas kemandirian dalam belajar. Faktor tingkat pendidikan orang tua yang cukup rendah dan sikap suka menyerahkan urusan pendidikan anak kepada sekolah semata adalah faktor penyebab di samping faktor lain. Kealpaan orang tua untuk mengajar anak dalam memanfaatkan waktu telah meyebabkan anak terbiasa berkeliaran, hidup tidak teratur sejak bangun tidur sampai kembali memejamkan mata pada malam berikutnya.
Pelajar-pelajar yang gemar berkeliaran pada jam belajar, meski mereka bersekolah pada kelas atau sekolah favorit, dan hanya untuk pergi mengobrol dengan teman-teman adalah produk lingkungan rumah, atau orang tua yang tidak acuh atas masalah pendidikan sementara itu mereka mengabaikan pelajaran dan keberadaan buku-buku yang ada dalam tas mereka atau pada perpusatan. Gambaran sekolah sekarang tidak lagi mewarnai sebagai tempat arena untuk menuntut ilmu, dimana para pelajar asyik menekuni aneka buku ilmu pengetahuan, tetapi citra atau gambaran sekolah sekarang adalah sekedar huru-hara, atau pergi ke sekolah hanya sebagai suatu mode saja.
Dari tiga aspek yaitu kognitif, psikomotorik dan afektif yang harus dikembangkan terhadap pelajar melalui PBM dan kegiatan ekstra kurikuler terlihat kurang berimbang. Dalam kegiatan ekstra kurikuler saja, kegiatan pengembangan afektif atau pembinaan sikap cukup kurang karena wadah-wadah penyaluran tidak ada. Dan wajar saja kalau sikap pelajar sekarang cenderung makin lama makin beringas, karena di rumah mereka tidak diwarisi dengan sikap dan nilai-nilai moral dan agama yang mantap kecuali hanya segelintir keluarga saja yang memperhatikannya. Dan sekolah lebih memperhatikan pengembangan aspek kognitif dan psikomotorik yaitu berupa pemberian ilmu pengetahuan dan pelaksanaan latihan keterampilan dan olahraga.
Kerap kali siswa yang telah belajar di tingkat SLTA sekalipun dalam mengambil azas manfaat masih bersikap sebagai anak kecil. Mereka sering bertanya kepada bapak dan ibu guru ketika PBM sedang berlangsung, tentang pelajaran yang ditulis pada papan tulis apakah untuk disalin di buku atau tidak. Padahal kalau terasa ada manfaatnya mereka harus menyalinnya. Begitu pula dalam mengomentari keberadaan buku-buku pelajaran mereka yang jarang mereka sentuh. Mereka menjawab bahwa kalau guru tidak menyuruh untuk mengerjakan tugas-tugas rumah atau untuk membacanya ya buat apa dibaca. Kalau begitu terlihat kecenderungan bahwa konsep mereka belajar yaitu baru berbuat kalau baru disuruh. Jadi kalau mereka tidak disuruh maka tentu agak terhentilah proses peningkatan pengembangan pribadi mereka.
Cara belajar yang belum menunjukkan kemandirian dari kebanyakan para pelajar akan berlanjut terus. Andai kata mereka melanjutkan studi ke perguruan tinggi, mereka sering memilih jurusan yang salah dan kemudian memendam rasa sesal. Sering mereka mengambil jurusan hanya sekedar mode saja. Padahal sudah nyata sikap belajar mereka sangat santai maka mereka tetap memilih jurusan yang mana bagi pribadinya akan menemui banyak kesulitan dalam penyelesaian. Atau mereka memilih jurusan pada perguruan tinggi karena pengaruh atau setengah paksaan dari berbagai pihak. Efeknya adalah bertambah membengkak angka ‘drop out’ mahasiswa di perguruan tinggi. Meskipun disana ada dosen sebagai ‘penasehat akademis’ tetapi seringkali belum melakukan peranan sebagaimana idealnya.
Dan andai kata mereka yang tidak memiliki kemandirian dalam belajar, tidak beruntung untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi, tentu akan terjun ke tengah masyarakat untuk menambah angka pengangguran yang telah bengkak juga. Untuk kesudahannya adalah mereka sering menjadi parasit dalam sosial. Pergi merantau untuk pengalaman hidup dan mengadu untung, akan tidak berani dan kalau tetap tinggal di kampung akan tetap bersandar, atau malah juga mengganggu pihak sosial lainnya. Kemudian apabila mereka berumah tangga, tentu juga akan mengganggu pihak wanita, paling kurang keberadaannya adalah sebagai beban bagi mertua. Kecuali kalau mereka telah berani untuk mengambil keputusan dan melakukan perobahan sikap hidup secara total.
Untuk zaman sekarang sudah mulai cukup banyak pria yang bertekuk lutut kepada kaum wanita. Penyebabnya adalah sekarang banyak wanita yang sukses dalam menuntut ilmu dan memperoleh pekerjaan yang mapan sebagai tempat untuk mengembangkan kepribadian mereka. Dan cukup banyak pria yang tidak mandiri menikah dengan wanita mandiri dimana pada akhirnya keberadaan mereka adalah bukan sebagai pemimpin bagi wanita tetapi adalah sebagai pembawa bencana.
Ketidakmandirian pelajar, guru-guru dan siapa saja dalam proses pematangan diri adalah merupakan batu penyandung untuk mencapai kemantapan sumber daya manusia. Akan percuma kata-kata SDM tetap diserukan oleh pemerintah lewat berbagai media massa kalau setiap individu, warga negara tidak melakukan usaha kemandirian dalam belajar untuk menambah ilmu dan keterampilan-keterampilan lain.
Ketidakmandirian belajar seorang mahasiswa adalah warisan dari cara belajar ketika masih berada di tingkat SLTA. Begitu pula, ketidakmandirian siswa-siswa di tingkat SLTA adalah produk dari cara belajar ketika masih belajar di tingkat sekolah-sekolah yang lebih rendah dan seterusnya. Agaknya sampai saat sekarang memang masih banyak kritik tentang proses belajar mengajar di sekolah yang lebih cenderung bersifat ‘instruction’ atau mengajar daripada bersifat ‘education’ atau mendidik. Penyebabnya adalah bisa jadi karena guru hanya menguasai ilmu sebatas bidang studi semata dan tidak pula begitu mendalam. Disamping itu pengabdian guru belum sepenuhnya bersifat ideal sebagai guru. Ada kalanya pengabdian guru bersifat pamrih atau berdasarkan nilai ekonomis dimana mereka baru sudi untuk berbuat kalau ada imbalannya.
Untuk masa-masa sekarang agaknya kemandirian dalam belajar perlu untuk ditingkatkan. Ada banyak pihak perlu untuk melakukan introspeksi diri dan langsung bertindak. Bukan hanya melakukan introspeksi dan kemudian berteori. Sebab teori tanpa tindakan atau aplikasi tentu akan tetap sia-sia hasilnya.
Taman Kanak-kanak sekarang, sebagian kecil telah ada mendorong usaha anak didiknya untuk melakukan kemandirian dalam belajar. Dulu Taman Kanak-kanak lebih terfokus untuk tempat belajar, menyanyi, menari dan kemudian dilupakan. Sekarang TK telah memiliki kurikulum yang lebih dewasa dan tidak lagi hanya sebagai teori. Kita merasa salut melihat telah ada sekolah yang mewajibkan anak-anak didiknya untuk berlangganan majalah dan memesankan kepada orang tua di rumah untuk ikut serta membimbing anak. Usaha-usaha positif dan lebih serius sungguh kita harapkan terhadap tingkatan sekolah-sekolah yang lebih tinggi. Disamping menyediakan fasilitas belajar bagi anak-anak kita juga menginginkan orang tua ikut mengontrol pemanfaatan waktu yang baik. Kemandirian dalam belajar agaknya perlu ditingkatkan untuk menyongsong masa depan.

(Marjohan, Guru SMA Negeri 3 Batusangkar. Program Layanan Keunggulan. rekening: Batusangkar, Kota II 33-22-3872)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

if you have comments on my writings so let me know them

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...