Selasa, 29 Desember 2009

Merajut Pendidikan Berkualitas

Merajut Pendidikan Berkualitas
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

Kosa kata “Gap” yang berarti celah atau ketimpangan telah menjadi gangguan hubungan antar individu. Contohnya ada kata gap-communication atau gap- social , kita mengenalnya sebagai ketimpangan hubungan antara golongan yang kaya dengan golongan yang miskin, yang terdidik dan yang tidak terdidik. Kemudian ketimpangan antara orang yang berada di kota dengan orang yang berada di pedesaan.

Ketimpangan atau gap untuk pendidikan di negeri ini adalah dalam bentuk hubungan antara out put sekolah dengan kualifikasi tenaga kerja. Kualitas pendidikan di desa dengan yang di kota, kualitas pendidikan penduduk kaya dengan kualitas penduduk miskin, serta kualitas pendidikan di pulau Jawa dengan kualitas pendidikan di luar Jawa. Gap social tidak perlu kita lestarikan namun harus dicari solusinya.

Banyak orang sependapat bahwa pendidikan bisa menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi ketimpangan yang ada diantara kita. Dewasa ini banyak masyarakat yang telah menyadari akan pentingnya arti membangun diri dan melengkapi diri dengan pendidikan. Dengan cara demikian maka pendidikan bisa menjadi engine of growth- sebagai penggerak dan lokomotif bagi pembangunan diri dan pembangunan bangsa ini.

Idealnya pendidikan yang kita peroleh harus mampu untuk mendorong semangat invention (penemuah hal-hal baru) dan semangat innovasi (melakukan perubahan yang positif). Namun pendidikan yang bagaimana ? Tentu saja pendidikan yang memberikan kreatifitas, kebebasan dan rasa aman dengan menyediakan banyak sarana/ fasilitas- melakukan identifikasi dan eksplorasi atau penjelajahan terhadap peserta didik (siswa-siswi).

Paradigm pendidikan sekarang ini musti memberi penekanan pada proses learning (belajar) daripada teaching (mengajar) dan murid yang mandiri dalam belajar. Pendidikan yang berfokus pada learning (belajar) tentu bisa membuat anak didik lebih kreatif, apalagi bila mereka dikondisikan untuk melakukan eksplorasi yang banyak. Sementara peran guru sebagai fasilitator musti mampu memberi rasa aman dan kebebasan- tanpa banyak mendikte, mencela dan terlalu mengontrol mereka.

Karena dinamika pendidikan maka sekarang telah ada sekolah yang memberikan pelayanan berkualitas dalam mendidik: memberikan rasa aman dan kebebasan bagi anak didik mereka. Praktek ini tentu saja memuat murid semakin kreatif dan senang melakukan educational exploration. Namun bagi sebahagian sekolah yang lain adakalanya hal ini belum terwujud. Dari pengalaman di lapangan coba lihat tentang prilaku dan tujuan belajar sebahagian siswa-siswinya. Adalah fenomena bahwa banyak mereka yang tujuannya bersekolah adalah untuk memperoleh ijazah, sehingga proses belajar cenderung mereka abaikan karena ijazah lebih penting daripada learning. Ini bearti kerusakan mental bagi mereka. Untuk mencegah banyaknya anak didik yang bermental demikian, belajar hanya demi berharap selembar ijazah, maka diperlukan peran guru, peran sekolah dan peran rumah yang solid. Ini berarti bahwa guru musti berkualitas, kemudian sekolah dan rumah punya kultur dalam mendidik.

Anak yang bagus prestasi belajarnya adalah anak yang berasal dari rumah yang memelihara kultur belajar, maka sebagai konsekuensinya bahwa orang tua perlu membimbing anak. Mereka harus punya kegiatan yang terstruktur di rumah- anak tahu kapan waktu untuk belajar, bermain, dan membantu orang tua. Kemudian mereka suka berdiskusi dengan orang tua, atau orang tua mengajak mereka berdiskusi. Orang tua juga harus punya informasi tentang belajar anak di sekolah, mengetahui bagaimana plus dan minus belajar anak. Anak yang tidak terlatih dan terbimbing seperti kondisi hal di atas tentu akan gagal. Kegagalan juga bisa disebabkan oleh waktu atau kegiatan yang tidak terstrukur, tidak ada dialog tentang pendidikan di rumah atau orang tua yang masa bodoh tentang belajar anak.

Seberapa pentingkah kultur edukasi di sekolah ? Untuk memajukan pendidikan maka diperlukan peran guru yang punya kemampuan pada mastery learning, critical thinking, decision making dan communication. Kemudian juga diperlukan guru yang mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi untuk menghadapi perubahan kurikulum. Untuk menjadi guru yang cerdas dengan mastery learning, maka kita perlu pembisaaaan otodidak- membisaakan diri dengan konsep long life education. Untuk menjadi kritis maka guru perlu berkomunikasi dan membuka diri.

Kadangkala sekolah bisa ibarat sebuah department store (took serba ada) yang menyuguhkan barang dagangannya dalam bentuk variasi mata pelajaran- matematika, KWN, olah raga, agama, bahasa, dan lain-lain. Semua mata pelajaran tersebut dapat dikelompokan kedalam mata peajaran numerasi dan mata pelajaran literasi. Numerasi berarti mata pelajaran yang berkaitan dengan angka-angka , sementara literasi adalah mata pelajaran yang berhubungan dengan literatur atau bahasa. Memang bahwa pendidikan lama berfokus pada kemampuan verbal (bahasa) dan logika (matematik). Namun sekarang, teori pendidikan yang baru, yang fokusnya adalah untuk peengembangkan kemampuan berganda dalam mendidikan anak- multiplied ability dengan penekanan pada pemahaman space, kinestetik, music, intrapersonal, interpersonal, alam, logika dan verbal.

Adalah lazim kalau dahulu orang tua menuntut agar jago dengan pelajaran berhitung (matematika) dan menganggap anak sebagai siswa pemalas kalau ternyata lebih suka dengan bola dan kegiatan olah raga. Padahal lewat kegiatan olah raga tersebut sang anak bisa menjadi olahragawan handal, seperti Diego Maradona, Ronaldo, dan lain-lain. Atau sang orang tua mencela anak yang kerjanya menyanyi melulu dan memaksanya untuk mengikuti kursus bahasa Inngris, pada hal kemampuan menyanyi itu bisa mengantarkan anak menjadi presenter dan entertainer yang jitu. Maka untunglah bahwa sekarang pendidikan berpihak pada pengembangan kepintaran berganda anak didik.

Selanjutnya bahwa untuk implikasi pendidikan jangka panjang maka kita perlo mendorong anak untuk mengembangkan basic skil, thinking skill dan personal skill. Basic skill meliputi kemampuan berhitung, berbicara, menulis, mendengar dan kemampuan membaca yang tinggi -counting, speaking, writing, listening, dan reading yang tinggi. Sebagai interprestasi bahwa betapa penting bagi setiap orang tua sejak dini mengajak anak agar bermain-main dengan angka, (Upik …kalau di rumah ini ada lima orang, maka berapa jumlah tangan…?), kemudian juga membudayakan acara kebersamaan untuk membaca dan melakukan bincang-bincang keluarga. Demikian pula halnya bagi sekolah agar bisa menyusun agenda ekskul (ekstra-kurikuler), mungkin merancang kegiatan lomba cerdas cermat, lomba debat dan pidato, serta mengaktifkan koran sekolah dan perpustakaan sekolah.

Untuk thinking skill meliputi kreatifitas, problem solving (Pemecahan masalah), dan visualizing (Kemampuan memandang masalah), kemudian personal skill meliputi self management atau mengendalikan diri, tanggung jawab, jujur dan socialibility. Implikasinya adalah bahwa guru dan orang tua harus menghargai bentuk fikiran anak. Mereka harus mendengar ekspressi anak sejak usia dini. Tidak tepat lagi dalam acara kebersamaan ayah dan ibu menganggap anak selalu sebagai anak bawang- kehadiran mereka hanya sebagai pelengkap, suara mereka tidak begitu digubris. Juga sangat tepat bila orang tua dan guru menghargai sosial anak, menghargai nilai pergaulan dan kebersamaan mereka. Disini sangat diharapkan pengembangan emosi- emosional quotient atau kecerdasan bergaul anak.

Tentu saja orang tua dan guru mempunyai peran strategis dalam mengembangkan emosi siswa mereka. Dari gaya kepemimpinan, maka kepemimpinan demokrasi adalah sangat pas dan berkontribusi dalam meningkatkan kehangatan emosi anak. Cara lain untuk meningkatkan EQ (emotional quotient) anak adalah dengan mengkondisikan mereka banyak bergaul. Tentunya pergaulan yang terkontrol (bukan hura-hura dan kongkow-kongkow melulu) dan melakukan aktifitas sosial. Kemudian anak juga perlu melakukan kegiatan dalam bidang olah raga dan kesenian agar bersikap lincah dan energik.
Menjadi siswa yang hebat dalam pandangan pendidikan pada zaman sekarang bukan berarti seorang siswa harus membenamkan kepalanya dalam buku melulu, menghafal rumus-rumus, kalimat per kalimat tanpa melupakan titik dan komanya. Mengajar tidak lagi berarti meringkaskan buku buat anak didik dan mendiktekanya bila sang guru letih dalam mencatatkanya. Selanjutnya dalam proses pembelajaran siswa tidak tepat lagi kalau menjadi penonton dan pendengar melulu.

Namun disinyalir dalam praktek pendidikan masih banyak gaya mengajar si pendidik yang bersifat “CMGA” atau cara mengajar guru aktif dengan gaya murid yang “DDCH” atau duduk, diam, catat dan hafal (Zamroni, 2000:31-32). Seharusnya siswa musti diusahakan dan dikondisikan agar menjadi aktif, karena mereka adalah sebagai pelaku dan pemain dalam pendidikan. Guru sebagai fasilitator dan bukan berarti sebagai sumber ilmu lagi. Sekolah harus sebagai tempat yang menyenangkan dan bukan sebagai tempat yang membosankan. Guru juga musti aktif dan memberikan model dalam kultur edukasi sekolah, anak didik diusahakan berani untuk berbicara- menyampakan gagasan. Motivasi belajar di sekolah tidak tepat lagi sekedar untuk ujian saja, namun musti berfokus pada proses learning.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mencerca dan menjelekan pendidikan negeri sendiri, namun adalah sebagai otokritik. Bahwa sampai detik ini kondisi pendidikan kita apakah di tingkat SLTP, SLTA maupun di tingkat perguruan tinggi masih banyak yang bersifat one way direction, sang dosen paling getol dengan system ceramah. Guru-guru di tingkat SLTP dan SLTA dituntut untuk menggunakan berbagai metode pembelajaran. Sementara mereka (para dosen) terkesan bebas dari tuntutan dan bersikap arogan dalam menerapkan model pembelajaran (perkuliahan)yang bercirikan student-centered. Mereka member kuliah sesuka mereka tanpa ada yang melakukan supervisi. Pendekatan ini di tingkat SD, SLTP dan SLTA tak dapat merangsang murid untuk belajar keras sehingga daya serap jadi rendah.

Dalam praktek edukasi masih ada yang musti diobah, missal tentang gaya pelayanan. Coba lihat gaya kepemimpinan di sekolah, masih ada kepemimpinan kepala sekolah dengan gaya komando, guru yang terlalu dominan dan siswa yang kurang aktif. Fokus sekolah selalu nilai/ NEM dan sedikit agak mengabaikan aspek proses. Maka ini harus diubah menjadi gaya kepala sekolah dengan managemen berbasis sekolah, menghargai kreatifitas guru tidak perlu lagi dominan, karena mereka bukanlah sumber belajar, kecuali hanya sebagai fasilitator dan motivator. Eksistensi NEM dan nilai tidak perlu dibesar-besarkan kalau itu hanya bersifat instan dan rekayasa. Proses pembelajaran atau learning musti dipandang sebagai pokok dari edukasi. Individual learning telah menghasilkan siswa yang berotak, namun yang lebih tepat sekarang adalah cooperative learning yang menghasilkan siswa yang berotak dan berhati, bagus IQ nya dan mantap EQ nya. Untuk menyonsong pendidikan yang berkualitas maka kuncinya adalah tentu kultur edukasi dengan merajut pendidikan yang juga berkualitas. (Marjohan M.Pd, Juga penulis buku School Healing Menyembuhkan Problem Sekolah).
(Catatan: Zamroni (2000). Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing).

Minggu, 20 Desember 2009

Saatnya Guru Sertifikasi Menjadi Learning Manager

Saatnya Guru Sertifikasi Menjadi Learning Manager
Oleh. Marjohan M.Pd
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

Topik tentang pendidikan sangat menarik untuk dibicarakan, karena berbicara tentang bagaimana melakukan perubahan terhadap diri, dari keadaan kurang berkualitas menjadi orang yang sangat berkualitas. Secara umum bahwa peran pendidikan adalah selalu menjadi tanggung jawab orang tua, guru/sekolah, pemerintah, dan individu yang bersangkutan.

Dari sudut pendidikan di rumah, peran orang tua adalah memberikan pembiasaan positif, bagaimana agar anak terbiasa membaca, terbiasa berkata sopan, terbiasa menolong terbiasa beribadah. Untuk hal ini orang tua harus memberikan model (contoh) terlebih dahulu dan juga menyediakan fasilitas belajar dan bermain, karena bermain juga sebagai kebutuhan primer sang anak.

Kalau ada kata ”education atau pendidikan” dan kata ”teaching atau pengajaran”, maka kata edukasi atau pendidikan ditujukan pada orang tua, sebagaimana peran mereka dalam mendidik keluarga. Namun ada juga orang yang mampu memberikan ”education” dan sekaligus memberika “teaching” pada keluarga. Tentu ini bagi mereka yang punya komitmen kuat dan mungkin mungkin orang tua menguasai Bahasa Arab, Bahasa China, Bahasa Inggris, atau menguasai matematik, fisika dan yang lain, atau orang tua sebagai pengajar seni baca A-Qur’an. Pendidikan itu memang bermula dari orang tua, kemudian sebahagian dilimpahkan pada sekolah dan mesjid (TPA atau Taman Baca Alqur’an) untuk pengajaran atau teaching.

Seperti yang telah dikatakan tadi bahwa peran guru adalah pelaksana teaching, yang umumnya bersifat kognitif, meskipun ada juga mata pelajaran yang bersifat afektif atau pembentukan sikap. Namun pembentukan afektif yang sempurna tentu saja di rumah melalui model dari orang tua dan suasana rumah.

Semua guru adalah pelayan publik, khususnya siswa-siswi mereka. Dalam mengajarkan suatu mata pelajaran (misal bahasa, sains atau ilmu sosial) pada siswa, maka guru dapat diibaratkan sebagai ”penjual barang” yang sedang menawarkan barang dagangannya pada pembeli dengan berbagai karakter. ”Ada yang melakukan pendekatan yang bagus, ada yang marah-marah, ada yang rada-rada cuek, ada yang menghardik-hardik”. Tentu saja guru yang bisa memberikan pengajaran dengan metode dan pendekatan yang memuaskan dan menyenangkan akan menjadi guru yang signifikan dalam menceradaskan anak-anak bangsa.

Kalau guru dalam mendidik adalah untuk mencerdaskan dan mencerahkan pemikiran, maka peran orang tua adalah dalam ranah ”afektif” atau sikap. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa peran orang tua dalam membina (mendidik) tingkahlaku anak adalah melalui pemberian contoh (teladan atau model) yang idealnya dijiwai oleh pengalaman beragama. Namun fenomena yang terpantau dalam zaman yang penuh dengan hiruk pikuk tekhnologi ini bahwa banyak orang tua mendidik afektif anak namun kurang memolesinya dengan jiwa agama. ”Di rumah jarang melantunkan bacaan Al-quran, membahas betapa pentingnya menyantuni fakir miskin dan anak yatim, betapa penting berpakaian yang rai dan sopan, betapa penting menjadi orang yang ramah dan suka saling membantu. Kalau demikian tidak perlu heran kalau mereka cenderung melahirkan generasi yang miskin dengan spiritual quotient.

Oleh sebab itu sebelum afektif anak kita menjadi parah maka kita, sebagai orang tua dan guru, musti berubah fokus edukasi dan pengajaran- selalu menyisipkan pesan pesan moral dan nilai agama dalam setiap interaksi kita dengan anak. Agar pengajaran lebih berbekas dalam sanubari anak maka gaya pembelajaran dan pendekatan musti beralih dari teacher centered menjadi, dimana murid-murid aktif dan mandiri.
Kecerdasan yang dihargai dahulu, secara tradisionil, adalah kecerdasan lingustik dan logis atau matematik. ”Kalau anak jago matematik maka itulah yang diangga sebagai anak jagoan di kelas”. Dalam kenyataan hidup bahwa anak yang jago di kelas hanya gara-gara rajin menghafal namun pribadinya super kuper (kurang pergaulan) juga bisa tidak sukses setelah dewasa, ada yang ”pengangguran” karena tidak beruntung untuk bidang akademik, namun setelah banting stir (tambah semangat untuk berjuang) bisa menjadi pengusaha restoran, sukses melalui dunia hobinya.

Ternyata untuk bisa bertahan hidup, mengembangkan diri, seseorang akan rugi besar kalau hanya mengandalkan satu jenis kepintaran. Lebih lanjut bahwa yang diperlukan dalam hidup adalah seseorang yang memiliki kepintaran berganda, yaitu: kecerdasan space (visual), kinestetik, musik, intrapersonal, interpersonal, logika, visual, dan agama atau spiritual. Pelajaran olah raga dan seni, sebagai contoh, sebagai dua jenis mata pelajaran dengan bentuk kecerdasan yang berbeda, yang selama ini dianggap sebagai mata pelajaran kelas dua (rendahan) tenyata berguna untuk membentuk siswa memiliki fisik yang kuat, jiwa demokrasi dan kreatif.

Menjadi cerdas adalah urusan ”fikiran” yang merupakan fungsi dari organ otak, yang salah satu fungsinya adalah untuk berfikir. Banyak orang tidak menyadari bahwa ternyata potensi otak kita sungguh luar biasa untuk mengubah wajah dunia. Tetapi potensi itu sia-sia saja karena kita belum bisa menggunakan dan memanfaatkannya. Karena sebagian besar kita tidak mengerti dan tidak mengetahui cara memotivasi otak tersebut.

Sekali lagi bahwa potensi otak itu sungguh luar biasa, ia ibarat raksasa tidur. Kalau tidak dikembangkan tentu tidak berfungsi. Mengaktifkan potensi otak harus dilakukan sejak dini, sejak bayi, atau sejak dalam kandungan dengan sikap sabar seorang ibu dan gizi yang dimakannya. Info yang perlu kita ketahui bahwa pertumbuhan otak anak usia 4 tahun baru mencapai 50 %, kemudian anak usia 8 tahun mencapai 80 %. Pertumbuhan ini terjadi dengan mengupaya dan mengaktifkan potensi otak lewat pemainan dan pengalaman atau eksplorasi (merangsang semua panca indera anak). Itulah gunanya anak harus masuk play group, TK- yaitu untuk melakuka proses bermain sambil belajar.

Di SD prestasi belajar anak yang pernah sekolah TK lebih baik dari pada yang tidak pernah. Namun kita perlu tahu bahwa yang paling penting untuk kita lakukan adalah pengelolaan emosi anak melalui seni dan gerak- olah raga. Memasukan anak dalamm usia dini ke sekolah bukan bermaksud untuk memaksa mereka untuk mengingat sampai melelahkan otak.

Lihatlah, di TK mereka bermain sambil belajar, bernyanyi dan olah raga. Anak yang cerdas emosinya lebih kreatif, mandiri, inovatif, dapat menolong diri dan dapat menolong orang. Anak murid yang diberi kesempatan untk tampil di depan kelas akan memupuk rsa percaya diri. Usia SD, SLTP dan SLTA adalah usia pembentukan jati diri.

Umumnya orang sepakat mengatakan bahwa memotivasi keja otak adalah urusan pendidikan, atau urusan orang tua, guru, masyarakat, pemerintah dan si pemilik otak itu sendiri. Dalam realita bahwa metode dan suasana pengajaran di sekolah sendiri sedikit memotivasi potenasi otak, itu kalau siswa hanya disiapkan untuk mendengar dan menerima seluruh informasi. Demikian pula halnya bila sebahagian orang tua di rumah ada yang kurang momotivasi otak anak untuk menjadi kreatif dan produktif dalam berfikir. Apalagi kalau sampai ada orang tua yang berotensi mematikan kreatifitas berfikir anak, gara-gara di rumah terbiasa banyak melarang, banyak mengejek, banyak mematikan semangat berjuang mereka.

Cara belajar kuno yang biasa kita terapkan di sekolah selama ini bisa tidak efektif buat mencerdaskan otak anak didik. Untuk menguasai materi di sekolah , kata Paulo Freire (dalam Indra Djati Sidi,2001:27) bila siswa harus menghafal. Pendidikan seperti ini sangat analog dengan kegiatan menabung, atau belajar dengan gaya bank (bank system method) guru sebagai penabung dan murid sebagai celengan. Ini mengakibatkan murid tidak punya keberanian untuk menyampaikan pendapat, tidak kreatif dan tidak mandiri, apalagi untuk menjadi inovatif.

Suasana belajar yang penuh terpaksa berdampak pada hilangnya aktivitas potensi otak. Untuk mengaktifkan otak maka suasana belajar- di rumah, di sekolah, di tempat penitipan anak, dan di learning center- harus menyenangkan. Tentu saja guru harus punya wawasan luas, ceria, hangat dan berfungsi sebagai fasilitator untuk mengajak dan merangsang anak untuk belajar. Kalau demikian halnya sekolah atau guru harus mengubah paradigma dari teaching (mengajar) menjadi learning (belajar). Sekarang timbul pertanyaaan, ”apa sih beda teaching denga learning (?)”.

Learning adalah usaha seseorang dalam membangun pemahaman sendiri terhadap suatu objek atau materi yang sedang dipelajari. Sementara teaching adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa untuk memfokuskan perhatian atau memperoleh perhatian mereka (Mc. Inerney, 1998). Tentu saja makna kata ”learning dan teaching” di atas adalah bisa jadi masih sempit.

Sekolah dan guru sudah, sebagai penyelenggara kegiatang ”teaching and learning” idealnya harus mendapat kepercayaan dari masyarakat untuk mendidik anak mereka. Seharusnya guru- guru, kepala sekolah dan komite sekolah berfikir dan prihatin kalau tiap awal tahun akademik banyak masyarakat kurang melirik sekolah mereka dan mempercayai (mendaftar) anak pada sekolah lain. ”Ada apa gerngan dengan sekolah kita ini, kenapa anak bapak anu atau ibu anu kok tidak melirik sekolah kita ?”. Barangkali ada proses pembelajaran, pelayanan sekolah dan manajemen sekolah yang yang tidak layak dan kurang memuaskan. Maka dengan cara begini berarti sekolah dan guru ikut mempertanggung jawabkan pendidikan tersebut pada masyarakat, dan bukan pada pemerintah saja dalam bentuk laporan demi laporan yang kadang kala penuh dengan polesan.

Lebih lanjut tentang bagaimana arus kebijakan pendidikan sebelumnya di nusantara ini ? Tentu saja arus kebijakan atau arus komando selalu turun dari atas ke bawah. Arus komando atau birokrasi yang sebelumnya terlalu berkarakter sentralis yang panjang. Kebijakan dan keputusan dimulai dari pusat ke propinsi, ke kabupaten, ke sekolah dan ke guru. Dan ini terbukti tidak efektif lagi, sebab sering komando dari atas salah tafsir (karena tidak dimengerti setelah sampai di bawah, atau gara-gara guru kurang kreatif). Syukurlah bahwa rantai komanto atau birokrasi tersebut kini telah diputus menjadi desentralisasi dalam otoda- otonomi daerah. Maka peran pemerintah juga bergeser dari regulator menjadi facilitator. Itulah mengapa pemerintah hanya menetapkan standar minimun untuk kelulusan (sebagai contoh).

Fenomena Otoda dan desentralisasi sangat tepat untuk era sekarang- era globalisasi. Era ini ditandai oleh komputerisasi, efisiensi, transparansi, profesionalime dan kualitas yang tinggi. Untuk itu guru harus kompeten dan berkualitas yang ditandai dengan karakter ”komputerisasi, efisiensi, transparansi, profesionalime, berkualitas”, juga mampu berkomunikasi untuk membentuk anak didik yang matang intelektual, emosional, moral dan spiritual.

Guru zaman sekarang harus menjadi ”Guru profesional”. Apalagi bagi yang sudah mencicipi kue (uang) yang bernama sertifikasi, yang sudah mereka nikmati untuk renovasi rumah, mempermak mobil second, jalan-jalan ke mall, menabung untuk biaya kuliah, untuk bantu famili atau biaya pendidikan anak. Ada kesan bahwa sebahagian guru penerima sertifikasi adalah sebagai ”guru profesional bual-bualan”. Tidak masalah, untuk selanjutnya kalau mereka mau, mereka bisa saja menjadi guru profesional benaran melalui pengembangan diri lewat buku, menulis, internet, seminar, kuliah, dan lain lain. Kalau mengajar atau berbahasa dalam sosial (di rumah dan di sekolah) mereka telah beralih dari gaya berkomunikasi satu arah menjadi komunikasi dua arah.

Kini semakin banyak guru yang kommit dengan kata ”guru profesional”. Guru profesional adalah ciri untuk guru masa depan atau guru pemberi pencerahan untuk pendidikan bangsa ini. Maka sangat tepat kalau kita para guru kini berfungsi sebagai coach (pelatih), counselor dan learning manager.

Tidak perlu dulu mencari teori, namun coba perhatikan bagaimana aktifitas seorang coach di lapangan. Guru dan siswa langsung turun ke lapangan pembelajaran, tidak beraksi sebagai penonton yang kerjanya cuma berteriak, berseru, bersuit-suit, asal memuji dan sampai memaki-maki, namun ikut mengawasi kualitas, langsung memberi contoh dan langsung memberi semangat lagi. Sambil berada di lapangan ia juga memberikan peran counselor.

Bukan bermaksud terlalu memuji sekolah sekolah berkualitas di negara tetangga (Australia) seperti diungkapkan oleh pengalaman teman yang telah melakukan studi banding ke sana. Bahwa guru-guru di sana, bila jam pembelajaran dimulai mereka segera bergerak ibarat seorang pelatih. Berjalan tegap, cepat dan bersemangat. Di leher bergelantungan kunci untuk labor,dan lemari dalam kelas. Karena mereka terbiasa melakukan sesuatu untuk pembelajaran sendirian, tanpa minta tolong, kecuali kalau ada assisten, apalagi minta tolong kepada siswa untuk menjemput itu dan ini yang sengaja ditinggalkan atau tertinggal, atau memasang hal hal kecil yang sangat sepele.

Selama pembelajaran amat jarang guru di sana yang terpaku duduk di depan. Aktifitas yang dilakukan adalah berbicara tentang apa dan bagaimana topic, memberikan model dan meminta respon siswa, kemudian memberi elayanan secara individual tanpa melupakan monitoring secara klasikal. Sekali-sekai sang guru berhenti dekat bangku siswa, sharing fikiran dan menulis sesuatu langsung di atas meja. Karena ternyata meja belajar siswa di sana terbuat dari bahan papan atau bahan yang bisa ditulis dan sekaligus bisa dihapus kembali. Suasana iklim kelas mencerminkan adanya pelayanan prima. Sang guru tentu sangat tahu bahwa mereka digaji oleh Negara untuk melayani dan mendidik dengan prima.

Peran guru masa kini, khusus bagi mereka yang sudah memperoleh pengalaman, traning, informasi apalagi yang sudah menikmati dana sertifikasi (sekali lagi) musti berperan sebagai learning manager. Sebagai pengelola (manager) untuk mencerdaskan siswa maka mereka musti kenal betul dengan siapa siswanya dan apa materi pembelajaran yang terbaik buat mereka. Apakah siswa memang belajar optimal ? Untuk itu mereka selalu memberikan motivasi, melakukan monitor dan evaluasi, kalau ada yang kurang diperbaiki dan kalau meningkat segera diberi reward.

Paling kurang guru yang bertinak sebagai learning manager memahami 4 pilar pendidikan yang dipopulerkan oleh oleh komisi Unesco yaitu setiap orang harus dapat; learning to think- creative thinking, learning to do- problem solving, learning to be- himself/ independent, dan learning to live together. Atau belajar untuk berfikir- yang berarti berfikir kreatif, belajar untuk berbuat yang berarti menyelesaikan masalah, belajar untuk mandiri, dan belajar untuk bisa hidup bersama-sama. Maka guru sebagai learning manager harus tidak mendorong pembelajaran yang membeo atau siswa yang pasif dengan kebiasaan siswa yang cuma sekedar menghafal menghafal sepanjang hari.

(Catatan: 1) Indra Djati Sidi. (2001). Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma Baru. Jakarta: Logos. 2) McInerney, Denis. (1998). Educational Psychology, Constructing Learning, 2nd edition. New York: Prentice Hall) Marjohan M.Pd juga Penulis Buku School Healing Menyembuhkan Problem Sekolah.

Selasa, 15 Desember 2009

Sekolah Unggulan Gaya Amerika Tidak Mengenal Jurusan Primadona


Sekolah Unggulan Gaya Amerika Tidak Mengenal Jurusan Primadona
Oleh:  Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

            Tidak saja Indonesia yang menggunakan sekolah berlabel unggul untuk meningkatkan kualitas pendidikan, Amerika Serikat yang pendidikannya sudah dapat dikategorikan sangat baik juga mempelopori sekolah unggulan. Walau Negara ini tidak menggunakan label yang kentara dengan sebutan “school plus” atau “excellent school”. Walau bagaimana gebrakan Amerika selalu menjadi kiblat bagi negara berkembang, termasuk negara kita yang juga sering mengadopsi program sekolah Amerika.
            Gaya pendidikan atau pembelajaran kita, kadang kala, terasa masih bercorak gaya tempo dulu. Orang tua dan guru masih suka banyak melarang yang tidak jelas manfaatnya. Kebiasaan banyak melarang malah membuat anak menjadi sulit untuk mengambil inisiatif atau prakarsa, miskin inovasi dan kreatifitas. Kalau kita gagap  untuk melakukan prakarsa (inisiatif) dalam suatu aktifitas dan mengambil keputusan, suka menunggu dan senang untuk diatur oleh orang lain, maka ini adalah buah dari hidup dalam rumah dan sekolah yang membudayakan “suka melarang”. Maka kini saatnya perlu perubahan. Dalam pendidikan tidak tepat lagi kalau terlalu banyak melarang dan mengatur, namun memberi kebebasan positif. Bagaimana pembelajaran yang ideal ? Kita bisa mencari contoh dari sekolah yang maju dari dalam negeri atau dari luar negeri, Amerika misalnya. Bukan berarti kita berkarakter ke-Barat-baratan.
Salah satu pusat belajar unggulan di Amerika Serikat, yaitu metropolitan learning center interdistrict magnet school for global and international studies (http://www.mlc.crec.org), yang kebijakan pendidikan membuat sekolah punya magnet/ daya tarik untuk studi global dan internasional.  Stakeholder pendidikan menjanjikan kecerdasan pada siswa untuk menghadapi masa depan yang maju. Prinsip pengajaran yang dianut oleh pusat belajar ini adalah “let them talk, let them lead, let them learn, let them join, let them play, let them live, let them dance/ move, in the break time- let them eat”. Dari semua frase tadi, yang perlu dicatat adalah kata “let” atau “biarkan”. Ini berarti sebuah kata untuk pembebasan dan mendorong mereka untuk menjadi kreatif dan inovatif, serta kontra dengan kemalasan dan suasana yang statis.
            Ciri- ciri keunggulan pertama dalam pembelajaran  di sekolah MLC (Metropolitan Learning Center) yang berlokasi di 1551 Blue Hills Avenue Bloomfield,  adalah kebebasan dalam berekspresi atau let them talk. Di negara- negara berkembang atau di sekolah yang kualitas pendidikannya rendah, kebebasan dalam berekspresi kurang terwujud, malah ekspresi anak didik disana cendrung terbelenggu, kurang tampak saluran untuk mengekspresikannya. Dalam kelas hanya guru yang sibuk berbicara- teacher centered. Dalam event-event sekolah anak didik cuma pintar berekspresi berdasarkan hafalan, dan melupakannya setelah itu.
Kepemimpinan di sekolah unggulan MLC ini bukan bercirikan “one man show” dalam arti hanya monopoli atau otoriter seorang kepala sekolah. Namun kesuksesan kepemimpinan sekolah unggulan ini adalah karena team work antara Kepla Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Eksistensi Staff sekolah, juga eksistensi dari ketua jurusan untuk mata pelajaran . Team work kepemimpinan dan manajemen sekolah selalu memotivasi, memberi model dan menemani warga sekolah/  anak didik untuk merencanakan masa depan. Bukankah hidup ini perlu ambisi atau cita-cita, maka setiap anak didik harus punya ambisi.
Cinta belajar adalah budaya utama di sekolah MLC yang telah membuat sekolah tersebut memiliki daya tarik ibarat magnet atau magnet school. Di sekolah sekolah yang kualitasnya sering dipertanyakan (kualitas rendah) yang menjadi ciri khas atau budaya adalah warga sekolah yang gemar hura hura atau kongkow, duduk bareng bareng dan tertawa terbahak bahak. Saling meledek, saling meremehkan berpotensi membuat orang (anggota mereka sendiri) untuk malas berkembang. Anak didik yang telah membudayakan gemar belajar selalu berfikir dan berusaha bagaimana mereka bisa sukses. Mereka sangat yakin dengan ungkapan bahwa pendidikan dan ilmu pengetahuan  adalah berkah yang bisa datang kalau digapai dan dikejar.”Belajar ketika belajar dan bermainlah ketika bermain”. Siswa di sekolah MLC tampak sangat professional dalam belajar- jadi juga ada “siswa professional”. Begitu waktu untuk belajar datang maka mereka segera serius dan berkosentrasi dan berharap tidak ada yang mengganggu, “Maaf teman saat saya belajar mohon jangan dating dulu”.
Sekolah SMA di negeri kita mengenal ada tiga jurusan yaitu jurusan IPA (sains), jurusan IPS (Ilmu Sosial) dan jurusan Bahasa. Maka entah mengapa orang tua siswa dan siswa sendiri sangat mengagungkan jurusan IPA dan memandang sebelah mata jurusan bahasa, dan jurusan IPS sebagai jurusan kelas dua. Di sekolah MLC (metropolitan learning center) juga ada penjurusan. Ada siswa yang belajar di SMA MLC ini pada core class (Kelas Inti), elective class (kelas elektif) dan essential class (kelas Esensial). Semua jurusan ini terisi oleh anak didik, ini berarti tidak ada primadona kelas atau jurusan fovarite  seperti SMA- SMA yang ada di negeri kita.
Mata pelajaran pokok pada core class adalah matematika, ilmu social, bahasa Inggris, bahasa asing dan sains. Di jurusan atau elective class, siswa mempelajari mata pelajaran “seni, sejarah dunia, geografi manusia, bahasa Spanyol, sastra dan kalkulus, akuntasi, anatomi dan ilmu jaringan, fitness dan ilmu gizi. Sedangkan di kelas essensial, anak didik mempelajari seni, kesejahteraan personal, literature keuangan, musik, latihan sains, bahasa dunia, dan seminar. Setiap siswa memahami bagaimana menjadi orang yang well-rounded (orang berguna) adalah dengan menjadi well-educated (orang yang kaya ilmu dan wawasan).
Mata pelajaran yang diajarkan pada ketiga jurusan tadi ibarat lingkaran yang saling bersinggungan. Mata pelajaran pokok yang ada pada core class juga dipelajari di jurusan lain. Selanjutnya coba kita lihat mata pelajaran dalam  juruan di SMA di negerim kita. Ya,  ibarat tiga linggaran yang hampir tidak bersinggungan. ”Gara gara dilemparkan ke dalam jurusan ilmu sosial, maka ada siswa yang bermohon nilai mata pelajaranya diturunkan saja agar tidak melampaui nilai mata pelajaran sains”  Anak anak yang lulusan dari jurusan IPA, saat kuliah akan melahap semua jurusan yang semestinya disediakan untuk jurusan ilmu sosial atau ilmu bahasa. Penjurusan di SMA telah menciptakan siswa yang berkarakter arrogant, atau arrogant berjamaah- mass arrogant, mereka  sangat membanggakan jurusan IPA dan secara tidak langsung jurusan social dan bahasa menjadi inferior.
Ciri-ciri lain dari sekolah unggulan, atau sekolah yang berkualitas adalah para siswa yang sangat bangga dan menghargai guru-guru mereka. Tentu saja ini terjadi karena guru guru di sana sangat professional, menguasai mata pelajaran dan hangat dalam berkomunikasi. Hubungan guru dan murid di sana bercirikan kekeluargaan. Siswa atau murid dengan leluasa mengekspresikan isi hati dan fikiran pada guru mereka dan tentu saja sang guru akan memberikan respon positif, appresiati atau penghargaan dalam berinteraksi.
Kalau begitu tentu tidak ada disana guru-guru yang kualitasnya bersifat karbitan atau guru-guru yang ilmunya  tua semalam dari siswa. Guru guru disana telah memandang karir guru sebagai profesi serius. Guru guru di sana tidak mengenal budaya minta dilayani, ”tolong hapuskan papan tulis, tolong isikan tinta board maker ini, tolong pasangkan kabel OHP (overheard projektor), tolong ambilkan ambilkan air minum di kantin, apalagi sampaii menyuruh siswa membelikan rokok”.  Guru disana penuh persiapan dan menguasai apa saja yang berhubungan dengan pembelajaran dan mata pelajaran. Mereka tentu malu kalau ternyata tampil di depan siswa sebagai guru yang blo-on.
Selain memperhatikan kompetence, punya wawsan keilmuan, paedagogi, sosial dan komunikasi, mereka juga memperhatikan performance atau penampilan. Pakaian mereka necis dan rapi, kalau begitu guru guru juga perlu well-groomed, berdandan rapi dan baik, tapi tidak perlu seperti model, bintang sinetron atau toko-mas berjalan.
Ciri lain dalam pembelajaran di sekolah yang maju adalah let them teach, yaitu guru- guru yang bebas berinovasi dan berkreasi dalam mengajar. Mereka tak perlu takut bakal disupervisi, karena supervisi disana tidak mencari kesalahan apalagi sampai menggurui dan mendikte. Di sana tidak berlaku istilah juara kelas, yang ada adalah juara mata pelajaran. Bagi siswa yang jago dalam satu mata pelajaran maka guru dan sekolah segera bereaksi untuk memberikan penghagaan dan merayakan kemenangan dan sekaligus memotivasi siwa yang lain agar juga bisa meraih penghargaan.
Budaya kuper atau ”kurang pergaulan” ternyata bukan budaya siswa di sekolah unggulan atau di negara maju. Untuk itu mereka megenal istilah ”let them join” atau ayo bergabung. Mereka mungkin bergabung ke dalam paduan suara, musik, olah raga, teknologi dan kegiatan ekstra sekolah yang lain. Tentu saja ada guru pendamping untuk memberi motivasi dan mendukung spirit mereka.
Experience is the best teacher- pengalaman adalah guru yang terbaik. Sekolah MLC juga menyediakan kegiata eksra seperti kelompok olah raga catur, kelompok pencinta alam, music production, penggunaan ICT, essay writing, basket ball dan football, sewing atau menjahit, kegiatan koran sekolah, kelompok dansa atau tari, pelatihan kepemimpinan. Ternyata jenis ektra sekolah hanya berlaku untuk satu semester dalam setahun. Untuk semester berikutnya ada lagi kegiatan ekskul (ekstra kurikuler) seperti pembahasan atau kritik film, klub bahasa Perancis, kritik film asing, basketball dan softball, musik, drama, tari, belajar bahasa Cina dan Jepang, kepemimpinan, dan pencinta alam.
Ternyata anak anak di negara maju tidak membudayakan menjadi “anak rumahan”, yaitu bila libur mereka hanya di rumah, karena ini berpotensi membat diri kurang kreatif dan pendidikan kecakapan hidup (life skill) kurang optimal.  Saat waktu senggang dari sekolah, mereka tidak kongkow-kongkow, main domino, atau bengong dan bermenung sampai berjam-jam. Mereka akan ikut aktif dalam pengembangan bakat seperti masuk grup seni, klub- olahraga ski atau klub robot, pokoknya ikut beraktifitas. Dalam melakukan aktifitas dan belajar, mereka memperlihatkan keseriusan dan tanggung jawab serta datang tepat waktu.
Hal-hal yang dilakukan siswa di sekolah MLC tiap hari, sebagai komitmen mereka,  adalah mematikan bunyi-bunyian (HP dan MP3) saat belajar, akrab dalam bersahabat, berhenti ngobrol saat belajar, tidak bercanda saat belajar, mendengar pembelajaran dengan sepenuh hati, sign in dan sign out, atau  ada absent masuk dan absent mengakhiri kegiatan, membuat tekat atau pledge “untuk menjadi yang terbaik” dan ikut aktif atau berpatisipasi dalam belajar/ kegiatan.
Kegiatan atau event yang ada di sekolah unggulan adalah bahwa siswa harus peduli pada karir di masa depan. Maka bila ada pekan raya karir, career fair, mereka ikut hadir. Mereka memandang penting untuk bergabung dalam kegiatan kepemimpinan, kegiatan, amal sosial, seni dan olah raga. Hal yang paling mereka tunggu adalah memperoleh pengalaman dari global travel, mengunjungi negara lain seperti, Mesir, Jepang, China, dan negara lain. Tentu saja hal ini terasa sangat mahal dan ekslusif bagi kondisi siswa kita. Namun kita kan juga sudah membudayakan acara jalan-jalan- stydy tour, walau kesannya baru sebatas mengunjungi shopping center dan pusat keramaian.  
Teakhir bahwa yang juga dibudayakan di sekolah unggulan adalah membuat album dan memori. Sungguh para siswa di sekolah yang berbudaya maju menyebut diri sebagai “realtor”, orang yang berfikiran nyata dan bukan selalu menjadi dreamer atau pemimpi. Maka sejak di bangku SMP dan SMA mereka sudah punya rencana, bukan seperti kita yang banyak bingung memandang masa depan, dan ikut terjebak mengidolakan satu karir, dan satu universitas, tanpa memahami dan mengenal potensi diri. Sering banyak ditanya ”Tamat SMA kamu kuliah dimana ? dan kalau udah gede apa yang dapat kamu kerjakan ?”. Maka jawaban yang diperoleh adalah jawaban klasik ”I don’t know”. Kini saatnya siswa kita tidak menjadi dreamer tapi berubah menjadi realtor”.

Sekolah Unggulan Gaya Amerika Tidak Mengenal Jurusan Primadona


Sekolah Unggulan Gaya Amerika Tidak Mengenal Jurusan Primadona
Oleh:  Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

            Tidak saja Indonesia yang menggunakan sekolah berlabel unggul untuk meningkatkan kualitas pendidikan, Amerika Serikat yang pendidikannya sudah dapat dikategorikan sangat baik juga mempelopori sekolah unggulan. Walau Negara ini tidak menggunakan label yang kentara dengan sebutan “school plus” atau “excellent school”. Walau bagaimana gebrakan Amerika selalu menjadi kiblat bagi negara berkembang, termasuk negara kita yang juga sering mengadopsi program sekolah Amerika.
            Gaya pendidikan atau pembelajaran kita, kadang kala, terasa masih bercorak gaya tempo dulu. Orang tua dan guru masih suka banyak melarang yang tidak jelas manfaatnya. Kebiasaan banyak melarang malah membuat anak menjadi sulit untuk mengambil inisiatif atau prakarsa, miskin inovasi dan kreatifitas. Kalau kita gagap  untuk melakukan prakarsa (inisiatif) dalam suatu aktifitas dan mengambil keputusan, suka menunggu dan senang untuk diatur oleh orang lain, maka ini adalah buah dari hidup dalam rumah dan sekolah yang membudayakan “suka melarang”. Maka kini saatnya perlu perubahan. Dalam pendidikan tidak tepat lagi kalau terlalu banyak melarang dan mengatur, namun memberi kebebasan positif. Bagaimana pembelajaran yang ideal ? Kita bisa mencari contoh dari sekolah yang maju dari dalam negeri atau dari luar negeri, Amerika misalnya. Bukan berarti kita berkarakter ke-Barat-baratan.
Salah satu pusat belajar unggulan di Amerika Serikat, yaitu metropolitan learning center interdistrict magnet school for global and international studies (http://www.mlc.crec.org), yang kebijakan pendidikan membuat sekolah punya magnet/ daya tarik untuk studi global dan internasional.  Stakeholder pendidikan menjanjikan kecerdasan pada siswa untuk menghadapi masa depan yang maju. Prinsip pengajaran yang dianut oleh pusat belajar ini adalah “let them talk, let them lead, let them learn, let them join, let them play, let them live, let them dance/ move, in the break time- let them eat”. Dari semua frase tadi, yang perlu dicatat adalah kata “let” atau “biarkan”. Ini berarti sebuah kata untuk pembebasan dan mendorong mereka untuk menjadi kreatif dan inovatif, serta kontra dengan kemalasan dan suasana yang statis.
            Ciri- ciri keunggulan pertama dalam pembelajaran  di sekolah MLC (Metropolitan Learning Center) yang berlokasi di 1551 Blue Hills Avenue Bloomfield,  adalah kebebasan dalam berekspresi atau let them talk. Di negara- negara berkembang atau di sekolah yang kualitas pendidikannya rendah, kebebasan dalam berekspresi kurang terwujud, malah ekspresi anak didik disana cendrung terbelenggu, kurang tampak saluran untuk mengekspresikannya. Dalam kelas hanya guru yang sibuk berbicara- teacher centered. Dalam event-event sekolah anak didik cuma pintar berekspresi berdasarkan hafalan, dan melupakannya setelah itu.
Kepemimpinan di sekolah unggulan MLC ini bukan bercirikan “one man show” dalam arti hanya monopoli atau otoriter seorang kepala sekolah. Namun kesuksesan kepemimpinan sekolah unggulan ini adalah karena team work antara Kepla Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Eksistensi Staff sekolah, juga eksistensi dari ketua jurusan untuk mata pelajaran . Team work kepemimpinan dan manajemen sekolah selalu memotivasi, memberi model dan menemani warga sekolah/  anak didik untuk merencanakan masa depan. Bukankah hidup ini perlu ambisi atau cita-cita, maka setiap anak didik harus punya ambisi.
Cinta belajar adalah budaya utama di sekolah MLC yang telah membuat sekolah tersebut memiliki daya tarik ibarat magnet atau magnet school. Di sekolah sekolah yang kualitasnya sering dipertanyakan (kualitas rendah) yang menjadi ciri khas atau budaya adalah warga sekolah yang gemar hura hura atau kongkow, duduk bareng bareng dan tertawa terbahak bahak. Saling meledek, saling meremehkan berpotensi membuat orang (anggota mereka sendiri) untuk malas berkembang. Anak didik yang telah membudayakan gemar belajar selalu berfikir dan berusaha bagaimana mereka bisa sukses. Mereka sangat yakin dengan ungkapan bahwa pendidikan dan ilmu pengetahuan  adalah berkah yang bisa datang kalau digapai dan dikejar.”Belajar ketika belajar dan bermainlah ketika bermain”. Siswa di sekolah MLC tampak sangat professional dalam belajar- jadi juga ada “siswa professional”. Begitu waktu untuk belajar datang maka mereka segera serius dan berkosentrasi dan berharap tidak ada yang mengganggu, “Maaf teman saat saya belajar mohon jangan dating dulu”.
Sekolah SMA di negeri kita mengenal ada tiga jurusan yaitu jurusan IPA (sains), jurusan IPS (Ilmu Sosial) dan jurusan Bahasa. Maka entah mengapa orang tua siswa dan siswa sendiri sangat mengagungkan jurusan IPA dan memandang sebelah mata jurusan bahasa, dan jurusan IPS sebagai jurusan kelas dua. Di sekolah MLC (metropolitan learning center) juga ada penjurusan. Ada siswa yang belajar di SMA MLC ini pada core class (Kelas Inti), elective class (kelas elektif) dan essential class (kelas Esensial). Semua jurusan ini terisi oleh anak didik, ini berarti tidak ada primadona kelas atau jurusan fovarite  seperti SMA- SMA yang ada di negeri kita.
Mata pelajaran pokok pada core class adalah matematika, ilmu social, bahasa Inggris, bahasa asing dan sains. Di jurusan atau elective class, siswa mempelajari mata pelajaran “seni, sejarah dunia, geografi manusia, bahasa Spanyol, sastra dan kalkulus, akuntasi, anatomi dan ilmu jaringan, fitness dan ilmu gizi. Sedangkan di kelas essensial, anak didik mempelajari seni, kesejahteraan personal, literature keuangan, musik, latihan sains, bahasa dunia, dan seminar. Setiap siswa memahami bagaimana menjadi orang yang well-rounded (orang berguna) adalah dengan menjadi well-educated (orang yang kaya ilmu dan wawasan).
Mata pelajaran yang diajarkan pada ketiga jurusan tadi ibarat lingkaran yang saling bersinggungan. Mata pelajaran pokok yang ada pada core class juga dipelajari di jurusan lain. Selanjutnya coba kita lihat mata pelajaran dalam  juruan di SMA di negerim kita. Ya,  ibarat tiga linggaran yang hampir tidak bersinggungan. ”Gara gara dilemparkan ke dalam jurusan ilmu sosial, maka ada siswa yang bermohon nilai mata pelajaranya diturunkan saja agar tidak melampaui nilai mata pelajaran sains”  Anak anak yang lulusan dari jurusan IPA, saat kuliah akan melahap semua jurusan yang semestinya disediakan untuk jurusan ilmu sosial atau ilmu bahasa. Penjurusan di SMA telah menciptakan siswa yang berkarakter arrogant, atau arrogant berjamaah- mass arrogant, mereka  sangat membanggakan jurusan IPA dan secara tidak langsung jurusan social dan bahasa menjadi inferior.
Ciri-ciri lain dari sekolah unggulan, atau sekolah yang berkualitas adalah para siswa yang sangat bangga dan menghargai guru-guru mereka. Tentu saja ini terjadi karena guru guru di sana sangat professional, menguasai mata pelajaran dan hangat dalam berkomunikasi. Hubungan guru dan murid di sana bercirikan kekeluargaan. Siswa atau murid dengan leluasa mengekspresikan isi hati dan fikiran pada guru mereka dan tentu saja sang guru akan memberikan respon positif, appresiati atau penghargaan dalam berinteraksi.
Kalau begitu tentu tidak ada disana guru-guru yang kualitasnya bersifat karbitan atau guru-guru yang ilmunya  tua semalam dari siswa. Guru guru disana telah memandang karir guru sebagai profesi serius. Guru guru di sana tidak mengenal budaya minta dilayani, ”tolong hapuskan papan tulis, tolong isikan tinta board maker ini, tolong pasangkan kabel OHP (overheard projektor), tolong ambilkan ambilkan air minum di kantin, apalagi sampaii menyuruh siswa membelikan rokok”.  Guru disana penuh persiapan dan menguasai apa saja yang berhubungan dengan pembelajaran dan mata pelajaran. Mereka tentu malu kalau ternyata tampil di depan siswa sebagai guru yang blo-on.
Selain memperhatikan kompetence, punya wawsan keilmuan, paedagogi, sosial dan komunikasi, mereka juga memperhatikan performance atau penampilan. Pakaian mereka necis dan rapi, kalau begitu guru guru juga perlu well-groomed, berdandan rapi dan baik, tapi tidak perlu seperti model, bintang sinetron atau toko-mas berjalan.
Ciri lain dalam pembelajaran di sekolah yang maju adalah let them teach, yaitu guru- guru yang bebas berinovasi dan berkreasi dalam mengajar. Mereka tak perlu takut bakal disupervisi, karena supervisi disana tidak mencari kesalahan apalagi sampai menggurui dan mendikte. Di sana tidak berlaku istilah juara kelas, yang ada adalah juara mata pelajaran. Bagi siswa yang jago dalam satu mata pelajaran maka guru dan sekolah segera bereaksi untuk memberikan penghagaan dan merayakan kemenangan dan sekaligus memotivasi siwa yang lain agar juga bisa meraih penghargaan.
Budaya kuper atau ”kurang pergaulan” ternyata bukan budaya siswa di sekolah unggulan atau di negara maju. Untuk itu mereka megenal istilah ”let them join” atau ayo bergabung. Mereka mungkin bergabung ke dalam paduan suara, musik, olah raga, teknologi dan kegiatan ekstra sekolah yang lain. Tentu saja ada guru pendamping untuk memberi motivasi dan mendukung spirit mereka.
Experience is the best teacher- pengalaman adalah guru yang terbaik. Sekolah MLC juga menyediakan kegiata eksra seperti kelompok olah raga catur, kelompok pencinta alam, music production, penggunaan ICT, essay writing, basket ball dan football, sewing atau menjahit, kegiatan koran sekolah, kelompok dansa atau tari, pelatihan kepemimpinan. Ternyata jenis ektra sekolah hanya berlaku untuk satu semester dalam setahun. Untuk semester berikutnya ada lagi kegiatan ekskul (ekstra kurikuler) seperti pembahasan atau kritik film, klub bahasa Perancis, kritik film asing, basketball dan softball, musik, drama, tari, belajar bahasa Cina dan Jepang, kepemimpinan, dan pencinta alam.
Ternyata anak anak di negara maju tidak membudayakan menjadi “anak rumahan”, yaitu bila libur mereka hanya di rumah, karena ini berpotensi membat diri kurang kreatif dan pendidikan kecakapan hidup (life skill) kurang optimal.  Saat waktu senggang dari sekolah, mereka tidak kongkow-kongkow, main domino, atau bengong dan bermenung sampai berjam-jam. Mereka akan ikut aktif dalam pengembangan bakat seperti masuk grup seni, klub- olahraga ski atau klub robot, pokoknya ikut beraktifitas. Dalam melakukan aktifitas dan belajar, mereka memperlihatkan keseriusan dan tanggung jawab serta datang tepat waktu.
Hal-hal yang dilakukan siswa di sekolah MLC tiap hari, sebagai komitmen mereka,  adalah mematikan bunyi-bunyian (HP dan MP3) saat belajar, akrab dalam bersahabat, berhenti ngobrol saat belajar, tidak bercanda saat belajar, mendengar pembelajaran dengan sepenuh hati, sign in dan sign out, atau  ada absent masuk dan absent mengakhiri kegiatan, membuat tekat atau pledge “untuk menjadi yang terbaik” dan ikut aktif atau berpatisipasi dalam belajar/ kegiatan.
Kegiatan atau event yang ada di sekolah unggulan adalah bahwa siswa harus peduli pada karir di masa depan. Maka bila ada pekan raya karir, career fair, mereka ikut hadir. Mereka memandang penting untuk bergabung dalam kegiatan kepemimpinan, kegiatan, amal sosial, seni dan olah raga. Hal yang paling mereka tunggu adalah memperoleh pengalaman dari global travel, mengunjungi negara lain seperti, Mesir, Jepang, China, dan negara lain. Tentu saja hal ini terasa sangat mahal dan ekslusif bagi kondisi siswa kita. Namun kita kan juga sudah membudayakan acara jalan-jalan- stydy tour, walau kesannya baru sebatas mengunjungi shopping center dan pusat keramaian.  
Teakhir bahwa yang juga dibudayakan di sekolah unggulan adalah membuat album dan memori. Sungguh para siswa di sekolah yang berbudaya maju menyebut diri sebagai “realtor”, orang yang berfikiran nyata dan bukan selalu menjadi dreamer atau pemimpi. Maka sejak di bangku SMP dan SMA mereka sudah punya rencana, bukan seperti kita yang banyak bingung memandang masa depan, dan ikut terjebak mengidolakan satu karir, dan satu universitas, tanpa memahami dan mengenal potensi diri. Sering banyak ditanya ”Tamat SMA kamu kuliah dimana ? dan kalau udah gede apa yang dapat kamu kerjakan ?”. Maka jawaban yang diperoleh adalah jawaban klasik ”I don’t know”. Kini saatnya siswa kita tidak menjadi dreamer tapi berubah menjadi realtor”.

Senin, 16 November 2009

Mengukur Peringkat Pendidikan Berdasarkan Skor UN Sudah Kadaluwarsa

Mengukur Peringkat Pendidikan Berdasarkan Skor UN Sudah Kadaluwarsa
Oleh. Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
            Saat kakek -  nenek kita, yang berusia 60 atau 70 tahun (di tahun 2009), masih berusia muda, kemungkinan mereka tidak mengenal istilah  “pengangguran”. Demikian juga dengan generasi yang lahir sebelum mereka. Saat itu orang cuma lazim belajar di SR (Sekolah Rakyat) atau Sekolah Dasar, sekedar bisa berhitung, membaca dan menulis.
Tamat dari SR, tidak banyak yang melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP, karena faktor sekolah yang amat jarang dan jarak yang jauh dari rumah.Mereka tidak patah semangat dan mereka berintegrasi dengan alam sebagai sekolah mereka. yang gurunya mungkin orang tua (ayah dan ibu), kakek, nenek, paman, bibi, tetangga atau kenalan yang memotivasi mereka untuk belajar tentang arti kehidupan. Mereka terlibat langsung dalam bertani, berternak, pergi jadi nelayan, berdagang, jadi montir, sampai kepada menjadi buruh kecil, atau ikut merantau untuk jadi pedagang. Sehingga tersebutlah saat itu bahwa orang Minang sangat piawai dalam berdagang.
Saat itu memang tidak ada orang yang menganggur, mengenal istilah kata-kata “jobless, unemployment, job seeker dan job creator”. Karena saat itu lapangan pekerjaan banyak  dalam bentuk pekerjaan non formal. Tidak memerlukan ijazah atau surat lamaran yang rumit. Saat itu yang ada cuma orang yang pemalas, namun mereka bisa dibina dan dimotivasi untuk berpartisipasi- beraktifitas- dalam pekerjaan informal: bertani, beternak, bertukang, montir atau berwirasusaha kecil kecilan.
Zaman selalu berganti dan kemajuan selalu bertambah. Variasi ilmu pengetahuan dan pendidikan juga bertambah. Maka dibutuhkan banyak sekolah. Di sana-sini  dibangun sekolah. Orang makin ramai memerlukan pendidikan formal, dari SD, SLTP dan SLTA. Orang tua juga makin peduli dengan pendidikan. Mereka berlomba memotivasi anak agar berhasil. Namun sebahagian ada yang salah sikap dan mengekspresikan harapanya, “Nak, fokuskan saja  fikiranmu  pada pelajaran, jangan fikirkan yang lain, kami tidak perlu dibantu asal kamu rajin belajar”. Demikianlah banyak orang tua yang sekedar peduli dengan kata “pendidikan” namun tidak memahami hakekatnya, karena telah membebaskan anak untuk tidak terlibat dalam beraktifitas di rumah. Ini adalah bentuk pemanjaan yang tdak mendidik. Dimana pada akhirnya lahirlah anak-anak yang manja yang cuma sekedar tahu pergi ke sekolah, tetapi tidak tahu cara membantu diri apalagi untuk membantu orang tua serta membantu lain.
Saat pendidikan mayoritas orang hanya sekedar tamat SLTA (SPG, SMEA, STM, dan lain-lain), yang saat itu mereka anggap sebagai pendidikan tertinggi. Merekapun cuma lulus dengan nilai “sekedar lepas makan” saja, memiliki kompetensi atau kecakapan hidup yang rendah maka mereka terdaftar sebagai perintis kelompok pengangguran. Mula-mula mereka disebut sebagai pengangguran PTT (Pengangguran Tingkat Tinggi). Mereka adalah para pemuda yang malas untuk menyinsingkan lengan baju dan lebih suka suka kongkow-kongkow, luntang lantung, dan duduk-duduk sepanjang hari dengan bibir dihiasi kepulan asap rokok.
Lagi zaman terus bergulir. Animo dan kesadaran masyarakat untuk belajar setinggi mungkin semakin meningkat. Mereka melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, negeri maupun swasta. Orang tua tetap merespon aspirasi anak-anak nya dengan kerja keras. Kapan perlu mereka harus menjual harta, emas perak, yang melingkar di leher sang bunda, atau menjual sawah dan ladang asal anak bisa kuliah di universitas.
Tiap semester perguruan tinggi meluluskan ribuan atau puluhan ribu  sarjana baru di negeri ini. Sebagian bisa memperoleh pekerja karena beruntung dalam taruhan (test) pada perusahaan swasta, BUMN dan CPNS. Yang tidak beruntung dalam mencari kerja kantoran ya terpaksa menjadi sarjana yang kebingungan. Mereka kemudian ikhlas untuk diberi gelar “pengangguran intelektual”.
Pengangguran intelektual menggantikan istilah “pengangguran tingkat tinggi”.  Pengangguran intelektual adalah gelar yang menyedihkan yang disandang oleh sarjana yang baru tamat dari Perguruan Tinggi dan berstatus sebagai “job seeker”(pencaker- pencari kerja), bukan sebagai “job maker atau job maker”- pencipta atau pembuat lapangan kerja.
Istilah “pengangguran intelektual” sangat menyesatkan. Apakah mungkin seorang intelektual kok bisa menjadi penganguran ? Jangan-jangan yang menganggur itu adalah para sarjana yang justru intelektualnya rendah, dan bahkan tidak memiliki intelektual sama sekali. ‘Memang Pak sekarang banyak sarjana yang lulus dengan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) di atas 3.00 dan malah ada yang memperoleh predikat cumlaude”. Ini menunjukan bahwa banyak sarjana yang cuma cerdas di atas kertas, cerdas otaknya, namun menjadi penganggur gara-gara mereka tidak memiliki kreatifitas, kemampuan untuk berinovasi dan juga tidak memiliki jaringan komunikasi dalam sebuah komunitas yang sesuai dengan bidang keahlian yang dipelajari di perguruan tinggi, yang pada akhirnya memperoleh cuma selembar kertas yang bernama “ijazah”.  
Mengapa pengangguran intelektual bisa terjadi ? Penyebabnya tentu saja banyak. Salah satu penyebabnya  adalah karena pendidikan yang kita terapkan pada sang anak belum menyentuh atau salah sasaran. Karena seorang siswa didik oleh orang tua dan guru,  maka pengangguran intelektual disebabkan oleh faktor salah pendidikan (mal edukasi)  yang salah sasaran di rumah dan di sekolah.
Mal-edukasi di rumah
Secara instink bahwa semua anak yang berbadan sehat sejak dilahirkan sampai berusia balita (berusia lima tahun) terlihat lincah dan lucu. Namun semakin meningkat usia mereka, semakin besar pula perbedaan kualitas mereka. Orang tua yang kurang merangsang pertumbuhan dan perkembangan pendidikan anak akan menciptakan anak-anak yang pasif- anak yang pemalas.
Ada beberapa karakter orang tua yang berpotensi yang menghambat kecerdasan anak, yaitu seperti orang tua yang tidak peduli dalam  menyediakan fasilitas beraktifitas anak- belajar dan bermain. Alasanya bisa jadi mereka tidak punya uang untuk membeli fasilitas pendidikan. Mereka berfikir bahwa tidak ada gunanya karena dapat membuat rumah sembrawut- alhasil buang buang duit saja. Tetapi patut diingat bahwa fasilitas berkreatifitas tidak harus berharga mahal- bisa jadi majalah loakan, komik dan buku cerita loakan. Kemudian orang tua bisa menyediakan cangkul kecil, sapu kecil, bangku kecil dan pisau tumpul agar anak tidak bengong sepanjang hari di rumah.
Juga banyak orang tua yang tidak merespon ayat pertama Al-Quran (96:16) yang berbunyi :ikraq bismirabbilazi khalaq- Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan”. Seharunya orang tua merespon ayat ini dengan menyediakan sarana belajar dan perpustakaan bagi anak/ anggota keluarga agar terbisaa membaca dan belajar. Namun dalam kenyataan orang tua lebih peduli untuk memelihara keramik dan cendra mata (souvenir) dari berbagai propinsi atau dari negara lain. Sampai-sampai harus menyediakan lemari khusus, dipajang di ruang tamu agar memperoleh persepsi “wah inilah gambaran dari keluarga maju dan modern itu”. Atau orang tua sangat peduli untuk sarana hiburan. Begitu peduli untuk membuat home theatre di rumah: , ada TV set besar, VCD player, sound system, LCD yang diputar siang malam sehingga rumah jadi hingar bingar, susah untuk mendengar lawan bicara apalagi untuk berkosentrasi bagi anak-anak dalam belajar dan bekarya. Pada akhirnya orang tua berhasil menciptakan anak yang bermimpi menjadi artis sinetron , presenter, selebriti dan paling kurang menjadi pengamen dalam bis kota.
Hilangnya budaya yang melibatkan anak ikut bekerja dalam merapikan rumah- meringankan  beban pekerjaan orang tua-  juga berpotensi menciptakan anak yang kelak menjadi sarjana yang kebengongan. Fenomena bahwa orang tua dengan keluarga kecil, keluarga berencana, telah membuat anak cenderung tidak punya lahan pekerjaan di rumah gara-gara tidak dilibatkan dalam beraktifitas. Semua pekerjaan dari A sampai Z telah diborong oleh sang ibu dan ayah, “Wah kasihan mereka kan masih kecil-kecil”. Rasa kasihan yang memanjakan membuat anak memiliki pribadi yang lemah. Coba lihat sekarang, apakah masih banyak anak yang bisa untuk memasak, mencuci, menyapu, mencangkul, memasukan air ke dalam irigasi, menghalau itik pulang ke kandang, membuka dan menutup warung, sampai bagi anak petani untuk masuk ke dalam sawah atau bagi anak nelayan- ikut berlayar di lautan, agar kelak mereka bisa menjaga laut dan ikan-ikan tidak dicuri oleh bangsa lain.
Pengangguran intelektual juga karena akibat anak miskin dengan pemodelan dari orang tua. Suatu hari seorang bapak menolak untuk memilik pembantu rumah tangga, karena berpotensi menciptakan anak-anak yang pemalas di rumah.saya keberatan untuk punya pembantu walaupun kita sibuk bekerja di luar rumah. Lebih baik semua pekerjaan rumah diberesin oleh ayah, ibu dan melibatkan semua anggota keluarga  untuk memasak, mencuci, merapikan pekarangan, mengurus usaha sampingan keluarga dan lain-lain. Lebih baik  anak ikut terlibat dan juga melihat orang tua mereka juga beraktifitas. Anak-anak yang terbiasa melihat orang tua mereka santai, ogah ogahan, karena semua pekerjaan rumah telah diborong oleh pembantu,  cenderung memiliki jiwa yang pemalas dan kurang semangat juangnya”.
Mal-edukasi dari Sekolah
Faktor dari sekolah bisa jadi akibat dari gaya PBM (Proses Belajar Mengajar) yang terjadi sejak dari bangku SD, SMP dan SLTA belum tepat sasaran. Sekarang dengan kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) seharusnya membuka ruang dan kebebasan untuk terciptanya kreatifitas, membutuhkan kemampuan memecahkan persoalan hidup dan mengatasi masalah dengan cerdas. Namun sekolah sekolah sekarang menyelenggarakan PBM lebih berorientasi kepada UN (Ujian Nasional) agar bisa menjaga nama baik sekolah dengan skor UN yang tinggi. Maka kerja guru dan siswa hanya mempreteli Standar Kompetensi Kelulusan (SKL) dan Standar Isi (SI) yang sifatnya sentralis.
Terlihat kebijakan pendidikan sekarang seperti yang diamanatkan oleh pemerintah adalah untuk membuat siswa sekadar terampil menjawab soal pilihan ganda. Ini dilakukan sebagai usaha meraih mutu pendidikan tinggi bagi pendidikan, berubah menjadi obsesi kompulsif akan standar. Maka guru sekarang mengajar hanya sekadar membuat siswa bisa lulus UN. Bagi mahasiswa, belajar atau kuliah hanya sekedar mencari IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) yang tinggi, walau diperoleh lewat cara-cara kurang halal, seperti mencontek. Jika selama menjadi siswa dan mahasiswa, seseorang tidak pernah mengalami apa artinya menjadi kreatif, mengalami pengalaman hidup, mempunyai motivasi dan minat belajar yang tinggi maka jangan pernah berharap bahwa kita bisa melihat para pemuda (sarjana) memiliki semangat berusaha dan kemandirian dalam hidup- berwirausaha.
Bapak rektor, Bapak dekan dan para dosen cobalah turun  ke lapangan, dan temuilah apa saja aktivitas para mahasiswa di tempat kost mereka “ sungguh tidak kreatif”. Sebahagian mereka cuma tidur, bergitar, main domino, main HP, main game, begadang malam dan tidur siang sampai kepada yang gemar menonton clip porno. Nanti bila mereka menjadi sarjana pengangguran, itu  gara-gara  IPK tinggi yang diperoleh sekedar menghafal atau lewat contekan dan skripsi  yang kadang kala lulus lewat transaksi,  maka yang dapat getah adalah Perguruan Tinggi yang bersangkutan sebagai pabrik pencetak “intelektual pengangguran”.
Sekali lagi bahwa kebijakan UN yang berlaku sejak dari tingkat SD sampai SLTA dewasa ini, hanya menyiapkan siswa yang hanya mampu menjawab soal- soal ujian perlu untuk ditinjau ulang. Bukankah sangat tepat kalau para siswa belajar dengan learning by doing, learning by exploring, learning by experimenting dan beberapa metode dan strategi belajar yang member  pencerahan. 
Agaknya mengukur tingkat kualitas  pendidikan antar Propinsi, Kabupaten dan antar  sekolah melalui skor UN sudah sangat kadaluarsa. Sebab belajar hanya demi skor UN cendrung bersifat instant, “sekarang skor tinggi bulan depan belum tentu menjadi siswa yang cerdas lagi”. Mengapa tidak mengukur tingkat mutu pendidikan di negeri yang tercinta ini berdasarkan konsumsi bacaan siswa persekolah atau per Kabupaten, begitu juga dengan prestasi sekolah/ siswa yang   berskala besar, misal “Propinsi X,  atau kabuten Y, memiliki kualitas pendidikan peringkat satu karena rata rata siswa mengkonsumsi buku sastra 25 judul persemster dan guru yang menulis di media masa 20 judul per tahun”.
Juga, karena sekarang kita sudah berada dalam zaman ICT (Information Communication Technology) dimana mengakses dan belajar lewat internet sudah menjadi kebutuhan maka seharusnya ada usaha assessor yang kreatif untuk mengukur / mengklasifikasikan peringkat kualitas pendidikan berdasarkan penciptaan blogger atau webblog, misal “Sekolah A memperoleh peringkat terbaik di Indonesia karena siswa dan guru memiliki 40 Blogger yang berkualitas, Sekolah B terbaik di Propinsi karena sangat produktif menciptakan alat elektronik per tahun”. Apakah kini skor UN yang sering penuh dilemma masih menjadi acuan untuk mengukur kualitas pendidikan kita ? Wallahu alam bissawab.
 (Marjohan M.Pd, Guru SMAN 3 Batusangkar)

Kamis, 12 November 2009

Apakah Memang Penting Mata Pelajaran Matematika dan Sains itu ?


Apakah Memang Penting Mata Pelajaran Matematika dan Sains itu ?

Oleh. Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangar
Kita bersyukur bahwa banyak orang tua siswa sekarang sangat peduli terhadap pendidikan dan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) anak-anak mereka . Sejak anak kecil hingga berusia remaja, mereka ikut mencikarui- melakukan -interferensi positif- terhadap pendidikan anak. Toko-toko buku sekarang sudah menjadi tempat yang sangat popular untuk dikunjungi demi kepentingan ilmu pengetahuan. Pengunjung yang posisinya sebagai orang tua paling senang mengunjungi bagian pojok buku psikologi, menemukan buku tentang cara mendidik anak dan sampai kepada pojok buku filsafat , nuansa buku agama atau buku pendidikan popular lainnya.
Di rumah banyak orang tua yang juga sudah mendorong pertumbuhan dan perkembangan SDM anak. Mereka mengantarkan anak untuk pendidikan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) dan TK. Pada pendidikan dini ini, anak mulai mengenal adaptasi dengan sosial, serta berlatih untuk menguasai gerak halus dan gerak kasar. Suasana belajar pada pendidikan dini tersebut betul-betul menyenangkan, atau diistilahkan bahwa suasana belajar sudah bernuansa PAKEM (Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan) atau PAIKEM (Pembelajaran Aktif, inovatif, Kreatif Efektif dan Menyenangkan).
Guru-guru untuk pendidikan usia dini tersebut selalu memberikan pelayanan prima atau excellent service terhadap manusia-manusia kecil ini. Sebagai responnya, maka manusia kecil (anak didik) tadi menyambut pelayanan prima sang guru dengan suka cita, riang gembira dan penuh rasa cinta. Sekaligus mereka menjadikan ibu guru pada PAUD atau TK sebagai guru idola mereka.
Namun waktu selalu bergulir dan anak didik kecil mungil tadi melangkah masuk ke pendidikan SD. Sebahagian anak didik akan beradaptasi dengan mudah di sekolah yang baru (SD) mana kala berjumpa dan belajar dengan guru kelas yang juga melayani anak dengan prima, yaitu guru-guru yang senang mengekspresikan kata-kata yang penuh dengan muatan emosi “anak-anak ku sekalian, anak anak yang pintar, anak-anak ku tersayang” Guru-guru kelas pada SD pun menjadi “guru idola”.
Namun anak didik bakal kaget, stress dan mengalami nightmare (mimpi buruk) manakala belajar dengan guru-guru yang kikir dengan ekspresi yang hangat, kecuali kalimat penuh mengancam “bila tidak membuat tugas dihukum berdiri kaki itik di depan kelas, ketauan mencotek maka kertasnya ujian di robek….”. Guru-guru yang kurang bisa beradaptasi dengan paedagogi dan perkembang jiwa anak sangat tepat untuk segera mengundurkan diri sebagai pendidik.
Pada mulanya fokus pengajaran pada bangku Sekolah Dasar adalah supaya anak menguasai “tiga R”, yaitu keterampilan reading, writing dan arithmetic (keterampilan membaca, menulis dan berhitung). Keterampilan menulis terasa menyenangkan manakala guru kelas ikut memegang jari-jari halus siswa menulis di atas kertas. Demikian pula dengan pelajaran membaca. Anak merasa mulutnya bisa berubah menurut vokal “a, i, u, e dan o”, dan mengekspresikan ungkapan yang lucu-lucu yang diikuti dengan bentuk alfabetnya.
Pelajaran matematika di kelas satu Sekolah Dasar, sangat berkesan bila dihubungkan dengan pengalaman atau unsur-unsur emosional dan yang berhubungan dengan kebutuhan anak. Orang-orang yang berusia 40-an sekarang ini, kemungkinan masih ingat dengan pelajaran berhitung saat mereka di SD dulu. “Satu manggis ditambah tiga manggis menjadi empat manggis”.Ekspresi ini mungkin masih membekas, namun bagaimana dengan suasana belajar matematika anak sekarang ?
Gara-gara peringkat mutu matematika dan sains siswa Indonesia menempati posisi yang sangat rendah di negara-negara Asean, apa lagi untuk tingkat dunia, maka kurikulumnya pun digenjot dan ditambal sulam. Guru-guru matematika dan sains sejak dari SD sampai ke bangku SLTA diharapkan untuk proaktif.
Ada wujud kepedulian sekolah dan guru-guru untuk meningkatkan kualitas matematika dan sains anak. Guru guru dan tokoh pendidik yang lain berpacu untuk merancang- menyusun buku matematika dan sains, mulai untuk tingkat SD, SMP dan tingkat SMA. Sebagian buku ada yang diuji cobakan di sekolah-sekolah super sebelum dicetak dan sisebar luaskan untuk menjadi konsumsi siswa-siswa di berbagai sekolah di Indonesia yang kualitas otak mereka amat jauh berbeda dengan kualitas otak siswa di sekolah yang bermutu. Kualitas orang tua orang siswa pun juga berbeda dengan sekolah kebanyakan.
Mata pelajaran sains dan matematika cenderung menjadi mata pelajaran yang kurang bersahabat dengan anak didik. Sementara itu guru- guru wajib menyajikan nya sesuai dengan tuntutan kurikulum. Karena rancangan materi buku matematika terlalu sulit maka lambat laun anak anak memandang mata pelajaran ini sebagai monster yang menakutkan dan membosankan. Anak-anak selalu susah payah untuk memahaminya, apalagi guru guru cenderung tegang dalam memperkenalkan mata pelajaran ini. Ya karena di rumah orang tua mereka sendiri juga jarang kedengaran berhitung, maka anak miskin dengan logika dan sang guru sering menjadi naik pitam, “wah soal berhitung demikian mudah juga kamu tidak tahu, dasar blo-on”.
Ada seorang staff pendidik memiliki anak yang belajar di kelas 3 SD, berkata bahwa tiap hari ia menemani anaknya belajar, sudah membudayakan belajar mandiri di rumah, membuat PR dan membaca. Namun hampir setiap hari anaknya rewel dan merengek gara-gara kurang mengerti dengan PR matematika.”Ya ampun pelajaran matematika untuk konsumsi murid kelas 3 SD dirancang tidak begitu menarik- tingkat bahasa cukup tinggi bagi imajinasi anak, kita saja yang sudah lulus S.1 dan S.2 masih harus kosentrasi untuk memahaminya, apalagi murid kelas 3 SD yang masih hijau dan belum cukup pengalaman untuk memahami spasial dan logika, kemudian diberi tugas yang melebihi kekuatan jari-jari kecil mereka”, dan itulah fakta serta kenyataannya. Bila anak terpaksa belajar- belajar dalam kondisi tertekan (stress), tentu akan mendatangkan rasa bosan dan dipaksa, maka terjadilah pembunuhan karakter mereka dalam belajar.
Namun buku buku matematika dan sains tersebut kan sudah disahkan oleh BSNP- Badan Standar Nasional Pendidikan. “Nah itulah masalahnya, pengesahan buku-buku oleh BSNP mungkin berdasarkan verifikasi dari atas nya- top down, dilihat dari kacamata siswa cerdas dan sekolah unggulan melulu. Buku-buku tersebut dianggap layak dan bermutu untuk sekolah berkualitas dan anak anak cerdas yang cuma berdomisili di pulau Jawa dan kota-kota besar. Sementara itu coba lihat, banyak buku-buku yang walau sudah disahkan oleh BSNP tetap tidak teresentuh dan menumpuk di perpustakaan. Seharusnya BSNP juga rajin-rajin untuk mencek buku yang telah mereka rekomendasikan itu sampai kelampangan di berbagai pelosok negeri. Kemudian juga perlu merekomendasi tingkat kesulitan buku berdasarkan verifikasi bottom-up, dari arus bawah- berdasarkan sekolah sekolah kebanyakan tersebar di persada ini”.
Ada orang tua bertanya tentang seberapa jauh pentingnya mata pelajaran matematika dan sains tersebut. “Matematika dan sains itu sangat penting, syarat untuk lulus UN, kalau anak cerdas untuk bidang studi ini, ia bisa kuliah di Pulau Jawa, Universitas bergengsi, anak bisa jadi dokter, jadi insinyur. Bila anak masuk jurusan IPA, peluang untuk kuliah lebih bagus dari jurusan IPS dan Bahasa”. Berarti secara tidak langsung jurusan IPA lebih hebat dari dua jurusan lain, maka siswa yang masuk jurusan IPA akan merasa superior dan yang masuk jurusan Bahasa dan IPS menjadi inferior atau rendah diri.
Menyadari begitu sulit dan pentingnya mata pelajaran matematika dan sains, maka solusinya adalah para siswa mulai dari SD, SMP dan SLTA direkomendasikan untuk mengikuti belajar siang, atau belajar tambahan di les-les privat. Malah pebisnis franchise pendidikan merespon dengan riang gembira, segera membuka kelas-kelas bimbingan belajar dan meraup laba sampai ratusan juta rupiah atas derita kesulitan belajar anak. Namun tentu saja bisa dijangkau oleh siswa yang orang tuanya berduit, sementara bagi siswa miskin harus gigit jari atau cari bimbingan belajar yang murah meriah.
Kini banyak sekolah menyadari atas problem belajar anak untuk mata pelajaran matematika dan sains, yang nota benenya adalah juga mata pelajaran yang diujikan dalam UN (Ujian Nasional). Maka usai PBM yang normal, maka kembali siswa disekap- atau direkomendasikan untuk sekolah tambahan. Apakah proses PBM belajar tambahan untuk mata pelajaran yang dipandang sangat primadona ini effisien dan efektif ? Yang jelas siswa terlihak lesu, bosan, merasa terpaksa, sehingga mengikuti PBM hanya secara main-main saja. Akibat PBM nya sendiri tidak menarik, suasana hati untuk belajar juga tidak pas “Sang guru saja juga merasa terpaksa untuk mengajar sore”. Maka jadilah guru yang merasa bosan mengajar siswa yang juga merasa bosan. Anak didik merasa tersekap lagi sepanjang hari di sekolah, akibatnya badan dan jiwa menjadi letih. Setelah pulang sekolah tentu juga tidak bisa mengulang pelajaran, apalagi untuk berbakti pada orang tua dan untuk masyarakat sekitar.
Kalau sekarang banyak siswa kurang bisa bertegur sapa dengan orang tua atau guru dengan santun, ya itu gara-gara mereka tidak punya waktu bersosial, karena disekap oleh PBM- belajar tambahan, “Anak sekarang sombong-sombong tidak ramah dan tidak bisa menyapa orang tua !” .Kalau pemuda kita juga tidak jago lagi dalam olah raga, malas turun kesawah atau tidak kenal dengan laut (bagi anak nelayan, sehingga ikan ikan kita pun dicuri oleh negara lain) adalah juga gara-gara anak tidak punya waktu untuk ke laut atau ke pedalaman, juga karena disekap terlalu lama disekolah atas nama meningkatkan PBM yang sebenanrnya tidak begitu signufikan dampaknya. Kemudian kalau siswa menjadi acuh tidak acuh dengan kehidupan sosial di seputar rumah dan miskin dengan life skill serta sirnanya karakter ramah tamah adalah juga karena gara-gara anak dipaksa lagi oleh mata pelajaran matematika dan sains untuk sekolah tambahan, termasuk bagi mereka yang tidak berminat dengan mata pelajaran tersebut.
Fenomena dalam kehidupan di sekolah, terutama untuk tingkat SMA dan MA, bahwa mayoritas siswa dan orang tua mengidolakan mata pelajaran sains termasuk matematika.”Masuklah ke jurusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) atau sains niscaya masa depan mu cerah !”. Demikian sugesti secara implisit dan eksplisit di sekolah dan di rumah. Tanpa analisa yang mendalam berdasarkan bakat dan minat maka anak didik setuju saja. Maka diserbu dan diidolakanlah “jurusan IPA tersebut”. Guru-gurunya pun keciprat beruntung, karena dihormati melebihi guru bidang studi lain, sementara jurusan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), apalagi jurusan Bahasa dan mungkin juga guru gurunya , dipandang sebelah mata dan dianggap sebagai jurusan kelas dua. Dalam pemilihan jurusan di SMA, bila anak ternyata masuk ke IPS dan Bahasa akan dipandang kurang cerdas. Orang tua yang IPA maniak akan marah-marah, “Kok kamu masuk jurusan IPS, bodoh kamu, percuma saja kamu ikut les dulu dan buang-buang uang saja”. Malah ada anak yang rela tinggal kelas asal tahun berikutnya bisa masuk jurusan IPA, apakah jurusan IPA itu adalah segala-galanya ?
Kini banyak anak-anak cerdas belajar pada jurusan IPA. Tetapi tunggu dulu, apakah mereka betul-betul cerdas ? Belum tentu, mereka kan cuma sekedar terlatih menjawab soal-soal Ujian Nasional (UN), dan soal ujian SNMPTN (Sistem Nasional Masuk Perguruan Tinggi), namun begitu dibawa ke laboratorium mereka tidak mengerti dengan cara praktikum, di rumah kalau listrik mati karena korslet, mereka bingung untuk membuatnya nyala. Malah mereka pun sudah menjadi orang yang anti kritik karena merasa sudah jagoan di kelas. Inilah akibat PBM Cuma sekedar memburu skor out-put dan memasung proses pembelajaran dan proses bersosial anak di rumah (akibat banyak ditahan disekolah).
Ada orang mengatakan bahwa pintarnya anak Indonesia cuma sebatas menjawab soal-soal UN semata, tapi tidak pintar memegang tangkai cangkul buat membersikan halaman rumah, tidak tahu cara membantu diri sendiri, keluarga apa lagi buat membantu orang lain- gara gara hanya berorientasi belajar tanpa diimbangi dengan rasa peduli pada sosial. Sekali lagi, pintarnya anak Indonesia hanya sekedar mencari selembar ijazah dan habis itu bengong dan nongkrong dalam tangga pengangguran.
Apakah memang penting mata pelajaran matematika dan sains itu ? Mata pelajaran ini memang sangat penting, namun gara-gara mengidolakan mata pelajaran ini, dan anak didik terlalu disekap berlama-lama di sekolah sehingga kesempatan mereka untuk mengembangkan diri di sore hari jadi hilang. Terus terang siswa sekarang perlu kehidupan seperti siswa generasi dulu, punya waktu untuk main voli, membuat acara ulang tahun, pergi mengaji, ikut kegiatan keluarga dalam rangka memahami adat istiadat, tahu cara mengelola usaha bisnis keluarga, tahu cara menggoreng telur dadar dan punya waktu untuk beramah tamah dengan tetangga. Bila mata pelajaran matematik dan sains terasa sangat membosankan, maka PBM dengan sistem PAKEM atau PAIKEM sangat perlu untuk dimiliki oleh guru bidang studi tersebut- tentu orang tua (terutama untuk tingkat SD karena pelajaran ini belum begitu sulit) juga perlu menjadi guru sains dan matematika di rumah. Mengajar bidang studi ini dengan memberi PR segudang sangat percuma, karena siswa pasti saling mencontek dan saling menyalin tugas teman, tanpa mengerti kecuali sekedar menyenangkan hati sang guru untuk menganggap mereka sebagai siswa yang rajin.
Akhir kata bahwa Pokok permasalahan anak didik dalam belajar sains dan matematika di sekolah adalah karena mereka memiliki minat belajar dan motivasi belajar yang cukup rendah. Maka kurang tepat solusinya dengan memaksa mereka belajar tambahan setiap hari sampai sang surya tenggelam lagi di ufuk barat dan mereka pulang ke rumah dengan penuh lesu dan bosan, serta miskin dengan life skill dan kurang peka dengan kehidupan social. Belajar tambahan begitu lama setiap hari mungkin bisa menyebabkan mereka kehilangan masa-masa indah untuk mempelajari keterampilan hidup dan keterampilan sosial yang mungkin juga jauh lebih penting untuk dimiliki dari pada sekedar belajar tidak sepenuh hati di sekolah sore/ sekolah tambahan. Mana tahu andaikata hidup mereka susah dan nilai akademis belum bisa memberi janji untuk pekerjaan yang mereka mimpikan maka life skill mungkin bisa sebagai alternative dalam hidup, dengan membuka restoran, bengkel, bisnis out door activity, dan lain-lain, tentu saja selagi dalam keridhaan Sang Khalik.


Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...