Minggu, 03 April 2011

Tsunami Jepang- Aceh dan SDM Manusianya

Tsunami Jepang- Aceh dan SDM Manusianya

Oleh: Marjohan

Guru SMAN 3 Batusangkar

http://penulisbatusangkar.blogspot.com

Dalam kwartal pertama tahun 2011 Dunia merasa cukup tenang. Namun di bagian utara Afrika terjadi revolusi jasmine (revolusi melati) yang dipicu oleh bangkitnya emosi ketidakpuasan masyarakat Tunisia melalui jejaring internet (twitter dan facebook) untuk menggulingkan kepala negaranya. Berita yang dahsyat kemudia terjadi tanggal 11 Maret 2011, yaitu gempa dan tsunami yang melanda Prefektur Miyagi (Jepang). Gempa Jepang yang juga memicu tsunami sangat mirip dengan gempa dan tsunami yang mengoyak ujung Pulau Sumatera (Propinsi Aceh) dan beberapa daerah lain pada tanggal 26 Desember 2004. Beda peristiwa Tsunami yang terjadi di dua negara ini adalah sekitar 6 tahun, dan karakter masyarakatnya juga berbeda dalam menghadapi bencana tersebut.

Sebenarnya kata tsunami cukup baru dalam kamus bahasa Indonesia dan bagi telinga bagi masyarakat Indonesia. Sebelum gempa/tsunami melanda Aceh di akhir tahun 2004 itu, sebenarnya sudah pernah terjadi tsunami di daerah Flores. Namun tsunaminya kecil dan mungkin masyarakat meanggapnya sebagai badai atau taufan. Maka kata tsunami belum lagi popular. Begitu Tsunami pada Desember 2004 tersebut menghancurkan banyak peradaban (harta benda) dan membunuh ratusan ribu orang, maka tsunami menjadi kata yang sangat mengerikan.

Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang berarti “gelombang air) dan bangsa ini sudah biasa menghadapi gempa dan sudah tahu tentang efek tsunami itu sendiri. Gempa Aceh dan Jepang ditenggarai terjadi karena benturan antara lempeng benua dengan lempeng samudera. Subduksi ini kemudian memicu gempa di lepas pantai yang berkekuatan besar atau juga disebut dengan megathrust (Singgalang, 15 Maret 2011).

Jumlah korban tewas akibat tsunami di Jepang tidak sebanyak korban di Aceh. Korban tewas di Jepang yaitu sekitar 10 ribu jiwa, sementara korban tewas di Aceh adalah sekitar 128 ribu jiwa- hampir 13 kali lipat korban tsunami Jepang. Perbedaan jumlah korban mungkin juga berbanding dengan perbedaan kualitas SDM di dua negara ini. Dalam buku L’etat du monde (Didiot, Beatrice, 2001: 586-589: Paris: La Decouverte) terlihat bahwa bahwa ranking SDM bangsa Jepang adalah nomor 9 dari 162 negara di dunia, sementara ranking kita (Indonesia) adalah 102 di dunia. Prediksi kualitas mutu pendidikan (education Index) kita tahun 2011 juga tetap peringkat 102 di dunia (http://en.wikipedia.org/wiki/Quality-of-life). Kalau demikian SDM orang Jepang jauh lebih baik, dan kita bukan bermaksud memandang rendah bangsa sendiri, tetapi mengajak untuk melakukan refleksi atau renungan bersama.

Orang Jepang memang tahu bahwa daerahnya sering dilanda gempa, maka mereka membuat gedung yang tahan gempa dan juga membangun early warning system yang baik. Mereka juga memasang ocean bottom seismograph. Kalau 20 tahun lalu Jepang membutuhkan waktu 20 menit untuk mengeluarkan peringatan tsunami. Namun sejak tahun 2008, negeri ini hanya membutuhkan waktu 2 menit untuk mengetahui ada atau tidaknya tsunami. Sebagaimana tsunami kemarin terlihat di layar kaca bahwa helikopter mereka sudah bertebangan sebelum tsunami dan menuju sumber tsunami. Kemudian orang-orang sudah melakukan prosedur evakuasi sesaat setelah gempa dan menyalakan televisi lalu menyimak peringatan tsunami.

Kualitas manusia antar dua bangsa juga bisa terlihat melalui gempa dan tsunami. Saat gempa kuat menggoncang Jepang, lewat televisi terlihat suasana gempa dalam ruangan kantor. Para pegawai kantor tentu saja cemas dan sangat waspada dengan kondisi tersebut. Namun mereka tetap bersikap tenang. Begitu gemba dating, mereka segera mematikan komputer, atau mematikan kompor bila sedang memasak dan tidak pontang panting berlarian. Setelah semua pekerjaan ditutup maka mereka baru menghindar ke tempat yang mereka anggap aman seperti ke ruang terbuka atau menuju shelter di lantai puncak.

Susana saat musibah di negara berkembang dan termasuk Indonesia nyaris sama. Bila gempa dating atau sinyal tsunami kedengaran, mereka pasti menyampuk dengan penuh kepanikan dan histeris “Awas gempa...awas tsunami. Atau tolong..tolong !!”. Teriakan dan suara histeris ini sangat mudah saling menular. Kondisi serba panik membuat kemampuan berfikir logis jadi hilang, saat itu orang cuma berfikir untuk menghindar dan lari. Nah di sini kerap kali timbul musibah. Seorang ibu yang panik karena teriakan histeris akan membiarkan kompornya menyala di dapur dan inilah yang membuat musibah kebakaran saat gempa. Pada hal bahaya gempa tersebut ada kalanya tidak separah suasana panik yang dialami masyarakat.

Mengubah karakter “panic-minded” atau mudah panik menjadi berfikiran tenang tentu butuh waktu- perlu latihan, didikan dan juga butuh model. Anak anak dan siswa yang diasuh oleh orang tua dan guru dengan pribadi yang tenang akan menjadi generasi yang juga bisa tenang ( terbiasa mengontrol emosi). Pemuda pemudi kita akan memiliki pribadi yang tenang/ pribadi yang stabil bila mereka memperoleh model dari senior (orang yang lebih tua) dengan kepribadian yang juga stabil (tenang dan terkontrol).

Sekali lagi bahwa kita bukan bermaksud untuk memuji-muji karakter orang Jepang dan merendahkan karakter diri sendiri. Bahwa rata-rata income orang Jepang adalah 12 kali lipat dari income orang kita. Berarti mereka adalah orang kaya raya, namun ruang keluarga mereka didesain begitu sederhana. Pada banyak rumah, seperti pengakuan keponakan penulis yang masih berada di kota Uwajima, Pulau Shikoku, Jepang- bahwa ruangan keluarga orang Jepang ditata sederhana. Tidak banyak pernak pernik perabot, yang ada cuma beberapa meja rendah dengan bentangan karpet dan lemari atau rak-rak yang penuh berisi buku, bukan rak-rak untuk pajangan boneka, keramik atau pajangan kepingan VCD player.

Ini sebagai bukti bahwa ruang keluarga adalah sebagai tempat yang nyaman dan sekaligus tempat ruang baca dan belajar sejak usia kecil. Bukan ruang keluarga dengan televisi yang menyala selama 24 jam, atau ruangan keluarga yang disulap sebagai ruang teater- memutar music sampai memekakan telinga dan memutar film tanpa aturan waktu.

Tampaknya orang Jepang tidak terkesan jago dalam berpidato atau berbicara. Jarang kita mendengar orang Jepang berkelakar. Kesannya mereka cukup bersahaja, memberi hormat dengan menundukan kepala. Mungkin ini penilaian subjektif penulis saja. Gaya berkomunikasi mereka tersa datar dan tenang saja. Saat lawan berbicara menyampaikan pendapat, mereka betul-betul mendengan dengan sepenuh hati. Tidak ada kesan bedebat dan berebutan dalam ngobrol. Agaknya seperti itulah idealnya gaya berkomunikasi orang-orang dari negara yang punya SDM tinggi.

Gaya berkomunikasi atau berbahasa yang mungkin sering kita lakukan adalah gaya berbahasa yang terlalu banyak berbicara dan enggan mendengar isi fikiran orang lain. Gaya berbicara yang begini (gaya berbahasa saling berebutan) sebagai karakter dari gaya bahasa yang jauh dari kesan intelektual dan perlu ditinggalkan.

Bangsa Jepang adalah bangsa yang kaya dengan harta yang melimpah. Kekayaan dan fasilitas hidup membuat orang selalu senang dan bergembira. Ya benar bahwa selama ini bangsa Jepang adalah bangsa yang hidup bergembira namun saat bencana datang merenggut harta dan nyawa tentu terjadi perbedaan emosi mereka. Dari suasana yang sangat gembira kepada suasana yang sangat berduka hingga mereka amat bersedih dan saking sedihnya mereka susah untuk menumpahkan air mata.

Ada lagi perbedaan antara kita dan Jepang dalam menghadapi tsunami. Setiap kali bencana datang, kita jarang menyiapkan mental dan pengetahuan. Maka, sekali lagi, saat bencana tiba, kita mudah panik dan stress malah juga tidak punya kesempatan untuk melakukan evakuasi (penyelamatan diri). Hal yang kontra bahwa Jepang betul-betul menyiapkan diri. Untuk mengantisipasi tsunami mereka telah membangun pintu-pintu penghalang agar tsunami tidak gampang mencapai kawasan perumahan warga. Pintu terluar adalah green belt, kemudian sungai sejajar pantai untuk mengontrol banjir dan tsunami. Setelah itu baru ada kawasan perumahan warga.

Saat gempa melanda Aceh, Bengkulu, Jogjakarta, dan daerah Padang Pariaman, terlihat bahwa betapa mudah ambruknya gedung sekolah, perkantoran dan rumah masyarakat. Masyarakat Kabupaten Pariaman (dan juga kampung penulis) sebelumnya mengaggap daerah mereka cukup aman dari gempa, apalagi merasa cukup jauh dari Gunung Merapi, sehingga banyak rumah dibangun tanpa beton penyangga pada rusuk dan pinggang rumah. Apa yang terjadi bahwa gempa tanggal 30 September 2009 membuat ribuan rumah jadi rata dengan bumi dan mereka menjadi homeless (tuna wisma) secara massal.

Tidak demikian dengan yang di Jepang. Goncangan dan hempasan tsunami masih membuat dinding gedung dan rumah berdiri dengan gagah. Juga ada kesan bahwa infrastruktur di sana dibangun secara professional dan penuh perhitungan. Sementara infrastruktur (prasarana umum) di daerah kita dibangun secara asal-asalan- beton yang kekurangan semen, jalan dengan aspal yang tipis. Maka cukup banyak terjadi bahwa ada bangunan, jalan raya, atau bendungan sudah ambruk sebelum diresmikan.

Gempa yang melanda Aceh memang lebih dahsyat karena dampaknya juga melanda banyak negara- mulai dari Aceh, Pantai Barat Semenanjung Malaysia, Thailand, Pantai Timur India, Srilangka, bahkan sampai Pantai Timur Afrika. Tidak heran kalau simpati dunia begitu banyak. NGO (Non Government Organization), utusan pemerintah, Sukarelawan, dan wartawan ramai datang berbagi simpati dan berbagi empati. Tsunami Aceh menjadi berita besar selama berminggu-minggu pada media massa dunia.

Simpati orang juga banyak tertuju pada Jepang. Banyak orang, simpatisan dan sukarelawan bergerak untuk berbagi duka dan berniat/ berencana untuk membalut duka hati saudara kita di sana. Namun tiba-tiba ada ledakan pada pembangkit Nuklir Fukushima. Nyali orang mulai menciut, apalagi terjadi exodus meninggalkan Tokyo guna menghindaroi dampak radiasi nuklir. Sampai kini berita dari Jepang nyaris sepi- kecuali bagi mereka yang bias memahami berita dari TV NHK. Kemudian revolusi Libia makin memanas, maka juru kamera dan kuli tinta memilih kesana. Maka ramailah berita dari Libia, semua stasiun Tv meliput dan mengabarkan Libia dan berita dari Jepang kehilangan porsi.

Tsunami membuat semua bangsa bersimpati, namun musibah ledakan reactor nulklir membuat orang hanya bersimpati dari jarak jauh, malah simpati tersebut hamper hamper tidak terasa. Dari TV NHK terlihat bahwa kini orang Jepang masih berjibaku menyelamatkan lingkungan, diri, dan korban tsunami. Tragedy revolusi di Timur Tengah- Libia, Suriah, Baherain dan Yaman- membuat banyak penulis dan pembuat berita pergi kesana. Perang Libia membuat bencana Tsunami Jepang cenderung terlupakan. Memang bahwa berita sekarang bergulir dari Libia dan simpati pada Jepang janganlah dilupakan. Love for Japan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

if you have comments on my writings so let me know them

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...