Rabu, 08 Januari 2014

Pagi Yang Dingin



Pagi Yang Dingin
1. Suhu Yang sejuk
            Aku merasa sudah nyaman  dan senang berada di kota Melbourne. Ibarat tinggal dalam kota impianku, apalagi dalam  musim semi dengan langit siang nan biru dan langit malam penuh bintang, sekali sekali meteor berseliweran di luar angkasa. Suhu kota ini sudah bersahabat denganku dan tidurku  terasa juga nyaman sekali. Sepertinya aku menjadi kaget kalau hari ini adalah hari Selasa tanggal 17 September. Dengan demikian ini adalah hari yang terakhir bagi kami berada di kota yang paling indah ini.
            Orang mengatakan bahwa Melbourne adalah kota yang memiliki 4 musim dalam satu hari. Ah pada mulanya aku tidak percaya karena tidak tahu maksudnya. Maksudnya adalah bahwa kadang kadang dalam sekejam suhu terasa hangat- ibarat dalam musim panas, kemudian jadi sejuk ibarat dalam musim semi, wah bila hujan turun dan angin kutub selatan bertiup dingin wah ibarat dalam musim salju.
            Rachman menginstruksikan bahwa kami besok- pagi pagi sekali- jam 4 subuh harus bangun agar bisa sholat subuh dan berkemas- kemas untuk menuju bandar udara sekitar jam 6 pagi. Aku tidak tahu, mengapa aku merasa sedih meninggalkan kota Melbourne, namun juga merasa gembira untuk menuju kota Sydney. Karena Sydney adalah kota impianku sejak masa kecil.
            Enam bulan sebelumnya aku juga telah datang ke kota Sydney, namun hanya sekedar transit dari Melbourne menuju Jakarta. Jadi saat itu aku merasa penasaran bagaimana menginjak kota dan jalan-jalan di daerah ini. Sekarang tentu aku bahagia, karena besok kami bisa tinggal agak lama di kota Sydney dan melakukan beberapa aktivitas.
            Ya malam ini aku juga berkemas- kemas buat mempak semua barang- barang yang sudah bertemaran dalam kamar hotel ke dalam traveling bag dan tas tentenganku. Aku menelusuri kamar mandi, ruang bawah tempat tidur, dalam lemari hingga ke etalase dekan pesawat TV barang barang milikku. Aku memastikan tidak ada yang tercecer dan juga memastikan beratnya tidak lebih dari 20 Kg, sebab kalau lebih bakal mendapat tambahan ongkos yang biayanya lebih mahal dari item/ barang yang aku bawa. Setelah itu baru aku memastikan bahwa barang barang milik Abdul Hajar semua sudah masuk ke dalam tas dan traveling bagnya.
            Aku merasa khawatir kalau koran-koran Australia yang aku pungut dan aku simpan dalam traveling bag bakal terasa berat. Mengapa aku membawa koran Australia ? Yak arena aku guru Bahasa Inggris dan ini bisa menjadi authentic sources (materi autentik) buat pengajaran Bahasa Inggris. Maka aku mensortir koran-koran berdasarkan tingkat kesulitan bahasa Inggrisnya dan berdasarkan menarik atau tidaknya konten koran tersebut.
            Aku kemudian mengajak Abdul Hajar untuk turun ke bawah guna untuk memulangkan sambungan listerik berkaki tiga pipih yang aku pinjam lewat resepsionis. Aku sudah mencari sambungan listrik seperti itu di Batusangkar, Padang dan Jakarta, namun aku belum menjumpainya.
            Tadi siang aku menjumpai alat seperti ini di shopping center Paddys- di sebuah pasar  Melbourne. Ternyata harganya 10 dollar- bandingkan dengan perkiraan harga di Batusangkar mungkin hanya sekitar Rp. 8.000 atau kurang dari satu dollar. Aku segera memulangkan alat tersebut kepada front officer dan aku menerima uangku kembali 20 dollars sebagai uang jaminan. Jadi andaikata hilang maka aku harus membayarnya 20 dollar atau dua kali harga pasar.
            Aku selalu membiasakan diri untuk bangun lebih cepat dan sebagai konsekwensi tidurku juga harus cepat. Kalau di Sumatera aku bangunnya labih dan bisa sholat tahajut- eh bukan bermaksud ria dan butuh pujian, namun demikian warna hidupku. Sholat adalah sarana buat mendekatkan diri pada Sang Pencipta Alam- Allah swt, dan sholat bisa membuat hati merasa tenang.
            Selama berada di kota Melbourne, kami sarapan pagi selalu di dining room hotel Rydges. Sedangkan buat makan siang dan makan malam selalu di luar di berbagai restoran. Seperti di restoran milik immigrant China, Vietnam dan juga restoran Singapura.
Kunjungan ke Australia kali ini terasa indah dan aku bisa menyantap makanan/ hidangan di restoran dengan rasa aman, tanpa takut termakan daging babi. Namun aku menghindari hidangan daging ayam, daging bebek dan juga daging sapi. Meski semua daging ini halal, namun penyemblihannya juga harus halal. kalau penyemblihannya tidak sesuai syariat Islam maka nilai daging ini dalam pandangan Islam bisa jadi haram. Paling kurang penyemblihannya harus membaca bismillah.
Kunjunganku ke Australia 6 bulan lalu terasa sangat menakjubkan. Namun kami saat itu (aku, Inhendri Abbas dan Desi Dahlan) merasa tersiksa setiap kali harus mau makan, karena kurang mengenal mana restoran halal. saat itu kami dipandu buat pergi makan oleh teman yang menikah dengan orang Amerika, tentu mereka tidak begitu peduli dengan kualitas halal atau haramnya sebuah hidangan. Jadinya tiap kali makan maka selera makan kami terasa tak sempurnamalah selera makan hilang sama sekali. Sehingganya kami harus bikin masakan di hotel apartemen hingga merasa nyaman untuk makan.
Aku kangen bertemu dengan restoran Indonesia saat itu dan dalam kunjungan kali ini,  kami juga belum bertemu restoran Indonesia, apalagi restoran Padang. Padahal restoran ada dimana mana di nusantra, mengapa restoran Padang tak begitu pesat di Australia, bisa jadi para karyawannya kurang dalam kualitas Bahasa Inggris. Memang ya bahwa rata ratakaryawan di restoran adalah mahasiswa S.2 yang hanya sebatas kerja sambilan di sini.
Ada perbedaan setting restoran di Indonesia dan Australia. Semua jenis makanan yang dijual di restoran Indonesia dapat kita lihat yang pajangan pada etalase di depan. Sementara semua jenis makan di restoran Australia tersimpan di dapur. Jenis makanan hanya dapat dipesan sesuai jenis hidangan yang tersedia. Di restoran Indonesia kita malah bisa menonton bagaiman proses memasak hidangan, namun tidak demikian dengan restoran di sini. Semua makanan diolah di dapur dan setelah siap saji mungkin juga tersimpan di dapur, kalau ada pesanan baru dibawa ke luar- disajikan buat tamu.         
Ada hal-hal yang bisa kita sarankan kepada pebisnis restoran di Indonesia, terutama pada restoran Padang agar memperhatikan porsi variasi sayurnya. Restoran Padang kerap terlihat kekurangan porsi sayuran. Pada hal ada banyak sayur yang bisa disajikan seperti sayur bawang, lettuce, jamur, bayam, kangkung, salada, dll dalam jumlah banyak. Juga perlu menyajikan irisan buah-buahan segar sebagai hidangan penutup. Dengan demikian restoran Padang sangat memenuhi standar kesehatan untuk masyarakat internasional. Jadi disamping peduli dengan nilai cita rasa juga peduli pada nilai kesehatannya.

2. Bayar 18 Dollar- WiFi Tidak Gratis
            Mas Rachman menelpon kami, meminta agar kami semua berkumpul di lobby hotel. Aku harus turun dari kamar 2012 dan aku memang sudah bersiap- siap berpakaian dan juga membawa turun bagasi. Ya kami sudah melihat Rachman sudah duluan hadir buat menunggu kami dekat front desk. Aku sendiri mendekati front officer buat menyerahkan kunci kamar. Aku merasa lega.
            Ah ternyata aku belum merasa legaaku diminta harus membayar penggunakan WiFi 12 dollar. Ah aku kesal, karena secara resmi aku merasa tidak menggunakan WiFi yang di kampungku WiFi itu memang gratis.
Selama berada di Melbourne aku memang merasa terputus hubungan dengan eman dan terutama dengan keluarga di Indonesia. Tidak ada hubungan lewat SMS dan telepon, paling kurang hubungan lewat Facebook. HP ku memang sengaja aku bikin pada posisi off-roaming agar tak cepat kehabisan pulsa. Aku gembira saat kembali dari kampus Box Hill Institut tablet (phonecell) ku mendeteksi sinyal WiFi di luar hotel Rydges tempat kami menginap. Aku sengaja berlama- lama di luar menikmati WiFi gratisan, soalnya kalau masuk ke hotel tentu akan mencatat pemakaian WiFi-ku, demikian menurut perkiraanku.
Aku merasa riang gembira dengan WiFi gratisan di luar hotel. Apa lagi loadingnya cepat. Beberapa foto, atau lusinan foto yang aku upload segera terkirim. Aku gembira teman dan familiku di Batusangkar bakal mengikuti perkembangan perjalanan kami.
Aku main facebook sepuas-puasnya. Aku membalas semua status teman-teman lewat facebookku dan sekaligus juga mengupload foto foto terus. Bosan di luar, aku masuk menyelinap- menyembunyikan tabletku dari pantauan petugas hotel dan terus ke kamarku di lantai 20. Syukur bahwa sinyal WiFi cukup kuat di kamarku dan aku terus bermain dan aku nggak mau tidur atau beristirahat. Aku merasa rigi bila tidak mengupdate fb lewat WiFi gratisan. Namun pas jam 9 malam, jaringan WiFi terputus. Wah lumayan WiFi gratisan, demikian fikirku lagi.
Ku pikir mungkin aku memanfaatkan WiFi hanya selama 4 jam saja. Namun astaga saat menyerahkan kunci aku harus bayar atau charge 18 dollar. Mesin front desk mendeteksi machine tabletku- aku dalam hati mau protes, namun aku merasa malu. Aku merasa nyesal karena bayar kemahalan yaitu Rp. 200 ribu hanya untuk pemakaian WiFi selama 4 jam. Apalagi aku sendiri merasa tidak memakai WiFi hotel secara resmi.
“Ini kan Australia. Aku baru separo mengerti dengan way of life dan hal-hal detail tentang peraturan di Australia. Haaa aku harus bayar 18 dollar. Memang ada rasa menyesal….kok kemahalan ya. Dari pada bayar semahal itu mendingan aku beli souvenir buat keponakanku di kampung. Dengan 18 dollar aku bisa beli kira kira 8 biji peci bermerek Australia dan bermanfaat buat 8 orang di kampung”.
Pagi ini kami semua hanya akan sarapan melalui snack dalam kotak, waktu di hotel ini memang sudah berakhir. Aku berfikir bahwa bentuk sarapan kotak mungkin juga ada nasi gorengnya atau paling kurang kue-kue gorengan dan ada satu botol air mineral. Wah ternyata tidak.
Isi kotak buat sarapan hanya satu box jajanan buatan Australia, ya ada cereal dari honey oat, minuman juice buah tropical pouch- rasanya terasa baru dan terasa aneh di lidahku, jadi susah buat aku telan. Kemudian juga ada nutty fruit full cream milk dan cookies.   
Bis wisata yang dikemudikan oleh sopir yang bernama Michael telah datang. Ia bersiap-siap membantu kami buat memuat barang- barang. Aku tidak menghabiskan semua sarapan kecuali hanya cereal. Ah…aku ingin tidur dalam bis nanti atau sekedar memejamkan mata. Semalaman tidurku tidak begitu nyenyak. Namun aku tidak mau buang buang waktu, aku sholat sunat dan kemudian membaca serta menyelesaikan naskah novelku.

3. Malu Bertanya Sesat di Jalan
Sekali- sekali aku membuka mata agar aku tidak terlalu rugi untuk menikmati sisa pengalaman yang tinggal. Akhirnya bis berhenti dekat bandara Melbourne buat terbang menuju Sydney lagi. Aku jadi ingat dengan pengalaman kami bertiga, sama sama pendatang baru dan sama- sama tidak tahu dengan Australia. Saat itu kami bertiga (Aku, Desi dan Inhendri) mengembara di benua ini ibarat kecil yang minim pengalaman.
Kami melangkah dalam ruang terminal bandara yang sangat luas. Ya betul kami ibarat anak kecil yang  bereksplorasi dalam labirin. Kami jalan sedikit sesat, bergerak sedikit dan juga tersesat. Solusinya adalah saat tersesat ya rajin- rajin bertanya. Seperti kata pepatah: malu bertanya sesat di jalan. Kalau kami sebaliknya yaitu sesat dulu bertanya kemudian dan kami sangat berani buat bertanya.    
Rachman, tour leader kami selalu proaktif demi kenyamanan dan keselamatan kami. Ia memerintahkan agar kami melepaskan stiker/ label pada bagasi yang bertuliskan “Melbourne”. Soalnya kalau tidak dilepas, kelak setelah sampai di Sydney bagasi kami bisa kembali ke Melbourne, dikira nanti oleh petugas immigrasi bahwa ini bagasi menuju Melbourne.
Kami mengikuti langkah Rachman. Aku melangkah dengan rasa rileks, tidak takut tersesat seperti berpergian semester lalu. Aku kadang-kadang memperhatikan gerak-gerik bule-bule yang juga ikut antrian. Anak anak mereka yang kecil-kecil juga ikut antrian dengan tertib. Mereka juga belajar untuk mampu mengurus diri.
“Pantesan anak-anak bule semuanya pada cerdas-cerdas, kecil-kecil mereka sudah punya pengalaman internasional. Lihat- mereka sudah mengerti dimana harus berdiri, bagaimana melintasi proses immigrasi, bagaimana prilakunya saat melihat anjing pelacak mengendus- endus tas mereka. Penting sekali bagi anak anak memilikim pengalaman positisf seluas mungkin”.

4. Tak Ada Sarapan di Pesawat
            Sebagaimana kebiasaanku, tidak makan dan tidak minum kalau mau berpergian. Karena aku selalu khawatir kalau tidak bisa menjumpai toilet. Karena pernah dalam hidup aku susah menemui toilet dan merasa tersiksa dalam perut.
            Jadinya tadi pagi aku tidak menghabiskan semua sarapanku, dengan alasan dalam fikiran bahwa kami juga akan memperoleh makanan dalam pesawat. Karena tidak boleh membawa makan dan minum dalam pesawat maka aku hanya meninggalkan saja di bandara. Jadinya bottle air, susu full cream dan kue-kue snack juga aku tinggalkan dengan hati berat.
            Kami terus melangkah menuju boarding proses. Agak lama kami antrian dan memang perut mulai terasa keroncongan dan juga rasa haus. Tidak begitu lama, kami semua sudah berada dalam pesawat Jet Star. Betul- betul lapar…, aku berharap pramugari segera datang buat mendistribusikan sarapan buat penumpang. Aku sudah tidak sabaran dan telah membuka meja buat memudahkan pramugari meletakan minuman dan makanan.
            Tiba- tiba Ibu Aat yang duduk disebelahku berbicara separoh berbisik. “Pak Marjohan, makanan dan minuman dalam trolley semua musti kita bayar !”. Wah aku jadi lemes mendengarnya.
Penerbangan ini mengapa berbeda. Dalam pesawat Qantas kami memperoleh satu set makanan. Namun pesawat ini tidak, Pesawat Jet Star mungkin pesawat buat domestik. Jadi manajemennya tentu juga beda dengan pesawat internasional.
Aku jadi malu, pelan- pelan aku lipat kembali meja hiding di depan. Aku mau beli makanan, namun dollarku sudah menipis. Kalau aku beli juga tentu aku segan makan sendirian karena sebagai orang timur tidak etis makan dan minum sendirian dalam grup. Paling  kurang aku musti membeli lebih buat mentraktir Ibu Aat dan juga Mas Nurhadi teman sebangku ku. Jadinya aku tidak beli dan biarlah menahan lapar dan juga haus dalam pesawat ini. Lapaaarrr…dan juga hauuss !!

5. Membuat kesibukan.
            Ternyata penerbangan dengan pesawat Jet Star adalah buat penerbangan kelas ekonomi. Para penumpang kelas ekonomi tidak memperoleh fasilitas hiburan dan snack- makanan. Penerbangan yang yang seperti aku alami untuk lintas propinsi ditanah air.
            Penerbangan dua jam dari Melbourne ke Sydney tanpa ada fasilitas hiburan juga terasa membosankan. Mau baca- baca juga tidak ada tersedia koran dan majalah. Terpaksa kita sendiri harus kreatif dan beruntung bagi mereka yang punya buku buku sendiri.
Aku melemparkan pandangan ke arah kanan. Sekali- sekali aku dengar suara balita- merengek bosan. Balita tersebut tentulah warga Australia keturunan Asia selatan. Mungkin India atau Pakistan, atau juga mungkin Srilangka atau Bangladesh. Karena 4 bangsa ini wajah mereka mirip dan susah membedakannya.
Standar dan cara hidup mereka terlihat sudah seperti warga Australia secara umum. Agar anak mereka tidak bosan dalam perjalanan yang panjang maka orang tua menyiapkan pernak-pernik kebutuhan anak. Aku lihat ada tablet atau android, snack, cemilan susu kotak, buku bacaan dan crayon buat mewarna.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

if you have comments on my writings so let me know them

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...