Selasa, 24 Mei 2016

Remaja Perlu Punya Mimpi



Remaja Perlu Punya Mimpi
            Apa sih mimpiku buat masa depan ? Melalui  kisah nyata Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri Perancis ini aku ingin para  remaja untuk memiliki mimpi- yaitu memiliki cita-cita buat masa depan mereka.  Aku  juga ingin memaparkan beberapa mimpi atau keinginanku. Aku ingin berbagi cerita agar kaum perempuan, termasuk  yang berada di daerah pinggir, agar bisa melakukan move on. Sekali lagi bahwa mereka harus melakukan MOVE ON, yaitu bergerak, berusaha, berkarya dan belajar selalu. Jangan statis, beku apalagi serba pasif.
            Aku sebagai tokoh dapat dikatakan sebagai perempuan yang pada mulanya ultra kampung yang sering menemui banyak kekagetan atau  cultural- shocked.   Aku sudah memperoleh comparison (perbandingan) antara timur dan  barat melalui pengalaman hidup selama tinggal di Paris.
Aku jadi mengerti  bahwa “ternyata sistem pendidikan yang bagus seperti ini... tidak hanya membebek padas guru, tidak hanya nrimo saja”.
Aku juga memperoleh studi di bidang pariwista maka aku berani mengungkapkan bahwa “pariwisata kita jauh lebih bagus dari pariwisata Perancis itu sendiri”. Namun problemnya adalah pengelolaan pariwisata kita sangat kurang....jauh lebih kurang dibandingkan Perancis.
Pengembangan pariwisata kita tampaknya masih tergantung dari sistem proyek. “Kalau tidak ada proyek maka asset wisata yang begitu eksotik dibiarkan sia-sia saja hingga tidak berjalan lagi”.
            “Pembangunan dan pengelolaan wisata Perancis bersifat kontinue sepanjang waktu. Mereka telah membuat kalender event wisata begitu detail. Mengapa demikian....ya karena wisata mereka sudah bien organisee (well organized). Pengembangan pariwisatanya terlaksana secara desentralisasi yang profesional. Sekali lagi- kalau pengembangan pariwisata kita terkesan  berdasarkan proyek secara desentralisasi”.
            Aku juga ingin menyampaikan kepada para ABG- anak baru gede atau para remaja sebagai pembaca buku dan bacaan lain  yang terhebat di dunia. Para ABG adalah orang orang yang memiliki kemampuan dan semangat yang lebih besar di bandingkan kelompok generasi yang lain. Di mana- mana ada aktivitas pasti para ABG menempati porsi yang lebih banyak. Konsert musik dan event olah raga selalu penuh oleh dukungan  remaja (ABG).
 “Karena ABG memiliki semangat yang gede maka aku berharap agar mereka memanfaatkan semangat tersebut untuk hal-hal yang positif untuk menuju masa depan. Dengan memiliki  sebuah masa depan maka cobalah untuk move on bersama mimpi itu. Mimpi tersebut dapat diwujudkan melalui semangat”.
            Aku fikir bahwa para ABG  perlu  berfikir untuk  jangka panjang.....untuk masa depan. Arah visi mereka kemana ? Untuk pengembangan visi...ya perlu rencana jangka panjang. Visi jangka panjang perlu didukung oleh banyak ilmu pengetahuan. Untuk itu mereka perlu membaca  yang harus ekstra banyak. Mereka harus cari tahu tentang isue-isue tentang dunia 20 atau 30 tahun ke depan dan  jangan hanya bersikap apatis.
            Sebagian remaja  memang  ada yang  belum punya mimpi. Begitu ditanya tentang masa depan,  mereka banyak menjawab “I don’t know...I don’t know”.
Penyebanya adalah remaja sekarang hidupnya serba gampang. Mereka selalu merasa keenakan. Alam juga membuat mereka jadi manja. Akibatnya mereka cenderung berkata “wah esok itu akan ngampang aja”.
            Contohnya kalau mereka berhalangan untuk hadir, untuk menyampaikan problem juga gampang. Cukup telepon aja atau kirim SMS ...ya beres. Kalau dulu untuk memberi khabar harus kirim surat dan mencari orang untuk mengantarkan surat tersebut. Problemnya lagi bahwa teman itu sendiri jaraknya jauh, kita harus jalan. Sekali lagi kalau sekarang kita bisa naik ojek atau kasih telpon, jadi hidup begitu enak dan tantangan hidup jadi kurang.
Fasilitas yang serba mudah bisa membuat orang kehilangan motivasi untuk jadi maju. Aku melihat fenomena tersebut. Setelah itu yang membuat para ABG susah untuk move on adalah karena kurang  terbiasa untuk mandiri “semua serba di bantu, makan dihidang, pakaian disetrikakan, kebutuhan yang lain disediakan...mereka minim usaha dan minim pengalaman hidup”.
Karena aku sudah punya pengalaman hidup di Eropa, aku bisa membandingkan kehidupan mereka dengan kehidupan kita. “Jauh  sekali bedanya, kalau dari budaya kemandirian, mereka punya  budaya yang  lebih invidu. Individualism tentu tidak pas buat kita. Efek dari kemandirian juga ada bagusnya-  mereka lebih struggle..mereka lebih berjuang.
Umur 20 tahun mereka musti ke luar rumah, mereka harus hidup mandiri. Namun sistem pemerintahan memandang bahwa anak- anak yang usianya masih 25 tahun ke bawah dianggap masih kecil, sehingga mereka musti punya kartu khusus dan dalam menggunakan fasilitas umum, seperti naik bus, trem...mereka akan memperoleh banyak potongan harga. Walau pemerintah memberi mereka banyak kemudahan dalam memberikan potongan harga..itu semua punya tujuan untuk mengimprove mereka. Semenatara mereka harus ke luar rumah dan mandiri yang dilakukan oleh keluarga...juga untuk mengimprove mereka.
“Terlihat bahwa umur 20 tahu mereka harus dilepas...dan pemerintah menerima mereka dengan memberikan layanan kemudahan hidup sampai usia 25 tahun. Jadi ada sistem membina untuk kemandirian generasi muda mereka. Bukan terlalu memuji kalau aku berani menyatakan bahwa orang Perancis sangat kommitment dengan dirinya. Really they have self commitment”.
Aku berfikir bahwa para remaja kita yang bisa melakukan move on dan berhasil, itu terjadi karena mereka memiliki kommitment yang hebat.  Aku melihat bahwa ibunya anak-anak Perancis  tidak monopoli kekuasaan- tidak suka banyak memerintah, tetapi malah menghargai. Begitu anak  melakukan aktivitas positif, ya langsung diberi reward- pujian dan penghargaan.
“Anak-anak yang orang tuanya sangat otoriter, gemar bertengkar, gemar mengomel...ya akhirnya pendidikan anak juga tidak akan berjalan mulus”.
Remaja juga bakal tumbuh sukses andai mereka punya orang tua, sebagai figur, yang punya kesibukan. Sehingga mereka mengappreciate bahwa hidup memang butuh kesibukan atau akativitas.
Aku berasal dari keluarga, dimana orang tuaku memilkiki tiga orang anak perempuan. Namun walau kami semua perempuan kami semua harus keep struggle sebagaimana halnya anak-anak laki-laki. Papa sering berkata: “Kamu harus kuat, dan tidak boleh cengeng. Tidak zamannya lagi bagi perempuan untuk bersikap cengeng, karena cengeng melambangkan sebagai karakter yang lemah. Orang yang lemah  akan mudah diotak atik oleh orang lain”.
Papa juga  mengajarkan bahwa aku harus tahu dan menguasai hal hal yang baru, kalau tidak aku bakal ketinggalan. Lain halnya dengan mamaku, ia lebih suka memberitahu tentang batasan-batasan “kamu tidak boleh begini dan kamu harus melakukan ini”.  Dengan cara demikian  aku jadi tahu tentang berbagai rule of life (peraturan hidup). Ini aku peroleh lewat dialog.
“Dialog keluarga perlu selalu untuk dijaga/ dipelihara dan selalu dikembangkan. Apalah yang akan terjadi andai suatu keluarga jarang berdialog, maka pasti anggota keluarga akan jalan sendiri- sendiri dan mereka juga tidak akan akrab dan utuh”.
Melalui kisah nyata ini aku juga ingin, secara sekilas, membandingkan perempuan di pedesaan Perancis dan perempuan di desaku sendiri. Perempuan di desaku hidup  dibawah pengaruh keluarga, mereka belum punya kemerdekaan sepenuhnya...namun itu bagus menurut kulturku. Pasti intinya demi keamanan dan perlindungan terhadap perempuan itu sendiri.
“Namun jeleknya,  mereka menjadi kaku dalam membikin decision (keputusan) buat hidupnya”. Well.....!! Di kampungku terlalu banyak musyawarahnya dalam mengambil keputusan, sehingga seseorang  susah untuk menjadi dewasa. Di Perancis seseorang  merasa dewasa kalau sudah tamat kuliah atau kalau sudah bekerja.
Dalam kultur kita, selama kita masih kuliah maka kita masih belum dewasa dan belum ada kekuasan dalam membuast keputusan yang penuh. Namun   kadang- kadang, seperti halnya aku, meski udah bekerja dan tamat kuliah, mama dan papaku masih tetap mengurusku seperti mengurus anak kecil. “Akhirnya kita merasa terbuai dan termanja gara gara campur tangan orang tua yang kelewat banyak. Orang tua berfikir bahwa aku masih sebagai seorang gadis yang harus diayomi selalu”.
Di perancis, keluarga memperkenalkan budaya demokrasi dan setiap anak harus memiliki nilai struggle yang hebat. Orang tua akan berkata “kamu harus menjadi desicion maker untuk dirimu sendiri, hidup kamu tergantung pada- kamu mau susah atau kamu mau senang semua tergantung pada kamu ”.
Namun kalau di sini, musti bawa-bawa nama keluarga. Kalau menjadi orang sukses dan orang baik, maka nama keluarga juga jadi baik. Kalau kamu melakukan kesalahan atau sampai membuat hal yang kontra, maka nama keluarga akan ikut tercemar. Kalau di Perancis tidak begitu, “Kalau kamu gagal dalam hidup ya resikonya buat kamu sendiri. Sekali lagi bahwa kalau dalam budaya kita, keberhasilan dan kegagalan akan dikaitkan dengan keluarga besar kita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

if you have comments on my writings so let me know them

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...