Sabtu, 17 Desember 2016

Rumah-Rumah Yang Hebat Membuat Indonesia Kuat



Rumah-Rumah Yang Hebat Membuat Indonesia Kuat
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

            Tulisan ini terinspirasi oleh sebuah blog tentang parenting. Penulis menjumpai blog “ayah-Edy” yang namanya diperkenalkan oleh adik/ saudara penulis yang tinggal di Pangkal Pinang- Bangka Belitung. Ia bukan seorang guru namun ia tertarik membaca tulisan- tulisan online tentang tema- tema kehidupan sosial. Ia menyarankan agar penulis tidak membaca artikel- artikel yang tidak relevan atau menulis hal-hal remah dan mempostingnya di blogger sendiri.
            Banyak orang menulis secara iseng iseng dan memposting di medsos (media sosial) yang jarang orang kurang menanggapi begitu fokus. Lebih baik menulis satu fokus, kupas dan jelaskan problem, penyebab, contoh- contoh dan tawarkan solusinya dengan bahasa yang ringan menarik, santun dan tidak terkesan menggurui. Persis seperti yang ditulis oleh pemilik blogger “ayahkita.blogspot.co.id”.
            Merasa penasaran dengan blogger ini maka menulis pun mencarinya. Ternyata nama blogger ini sangat menginspirasi dan banyak orang tua serta guru-guru lainnya di Indonesia, yaitu “Indonesia Strong From Home”. Indonesia pada hakikatnya merupakan kumpulan dari keluarga yang tersebar di lebih dari 12.000 pulau yang ada di nusantara. Apabila keluarga-keluarga ini kuat dengan sendirinya tanpa perlu konsep yang berbelit- belit dan biaya yang membebani negara. Pastikan keluarga dan sanak saudara kita di seluruh tanah air pedulidengan membangun Indonesia yang kuat dan keluarga, maka Indonesia akan tumbuh menjadi negara yang juga kuat.
            Pada mulanya penulis agak skeptis- maksudnya merasa kurang percaya dan ragu-ragu terhadap konten blogger ini. Tentu saja penulis mencari tahu tentang seberapa jauh manfaat konten blogger ini bagi kita.
            Ternyata blogger ini sangat menginspirasi dan juga sangat patut buat dibaca oleh masyarakat- utamanya para guru dan orang tua- karena artikel-artikelnya tidak dibentangkan dengan bahasa-bahasa retorika penuh teori, yang kadang kala kita sendiri harus mengerutkan jidat untuk menangkap maknanya.
Ayah Edi, sebagaimana nama bekennya, memaparkan judul- judul artikelnya seputar pengalaman harian kita. Yaitu seputar masalah parenting yang sering dijumpai oleh orang tua di rumah, para guru dan masyarakat dalam kehidupan sehari- hari.
Ayah Edi telah menjadi salah seorang tokoh di antara ratusan tokoh parenting yang ada di tanah air ini. Ada beberapa faktor yang menguatkan bahwa profilnya begitu penting. Karena ia pernah diundang buat talk show oleh Metro TV, radio dan media massa lainnya. Juga ia telah diundang oleh lebih dari 106 lembaga pendidikan, bisnis/ perusahaan, dan parenting untuk berbagi pengalaman tentang parenting dengan keluarga besar lembaga- lembaga tersebut.

Semua bangsa besar- bangsa yang maju SDM –nya bermula tumbuh dari rumah- rumah warga negaranya. Tidak lagsung serta merta jadi bagus dalam hitungan waktu melalui bengkel yang bernama seminar, pelatihan, workshp atau simposium. Tidak hal kualitas besar muncul lewat usahaan dadakan, semua melalui proses dan berevolusi sepanjang waktu.
Survey tentang the best and the worst countries to be a mother dilakukan oleh Rick Noack dan Lazaro Ganio. Mereka mengatakan bahwa suatu kejutan tentang negara yang terbaik parenting-nya adalah Norwegia, Findlandia dan Eslandia (www.washingtonpost.com). Tiga buah negara Skandinavia yang sering memiliki suhu yang sangat dingin yang terletak dekat kutub utara. Namun anak-anak di negara- negara tersebut memiliki orang tua  dengan hati dan pribadi yang hangat.
Masalah pendidikan merupakan hal yang sangat banyak mempengaruhi kehidupan sosial. Pendidikan juga berpengaruh pada well-being (kesehatan dan kesejahteraan) para wanita dan anak.
Joanna Goddard menulis tentang “the secret of Norway parenting” umumnya orang tua di negara ini memperhatikan hal-hal kecil termasuk soal jam tidur anak. Anak-anak Norwegia harus tidur lebih cepat agar tidur bisa pulas dan badan serta fikiran mereka menjadi segar. Tidur mereka sekitar jam 7 atau jam 8 malam, cocok untuk ukuran di negara ini dan untuk ukuran Indonesia mungkin sekitar jam 9 atau 10 malam.
Namun hal yang kontra adalah bahwa sangat banyak anak- anak Indonesia yang kekurangan tidur. Mereka mengikuti pola tidur orang tua. Dari wawancara ringan bahwa cukup banyak anak yang baru tidur pukul 11 hingga jam 12 malam. Mereka kemudia bangun  di pagi berikutnya dengan mata mengantuk Dan perg ke sekolah dengan fikiran dan fisik yang jauh dari bugar. Rasa mengantuk bisa menjadi sumber pertama mengapa anak menjadi bosan dan resah di sekolah.        
Kemudian orang tua di Norwegia sangat memperhatikan kualitas pendidikan anak sejak dari pra-sekolah, juga memperhatikan pakaian serta makanan anak yang berkualitas. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, namun di Indonesia banyak orang tua hanya memperhatikan gizi saat anak masih bayi dan berusia balita. Saat anak lebih besar hingga remaja orang tua sudah berlepas tangan, sehingga cukup banyak ditemui kurang terbiasa mengkonsumsi makanan berserat (sayuran) dan buah-buahan. Yang malah sering ditemukan bahwa anak anak lebih merasa percaya diri dan moderen dengan rajin megkonsumsi makanan cepat saji, minuman yang kaya soda, penyedap dan bahan kimia lainnya. Sering cukup banyak ditemui anak anak yang memiliki daya tahan tubuh yang lemah. 
Umumnya iba-iba dari balita Norway adalah wanita karir. Maka balita-balita merekasejak usia dini sudah ditip pada penitipan yang biayanya perbulan sekitar $ 300 atau sekitar Rp. 3.900. 000, dan tergolong sangat murah. Karena harga harga kehidupan di Eropa adalah sekitar 10 kali harga Indonesia. Harga tersebut menjadi ringan karena ada subsidi dari pemerintah.
Para balita berada di pusat pusat penitipan dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore. Para balita punya banyak waktu buat bermain dan tidak banyak berada dalam ruangan, kecuali bila cuaca tidak mendukung. Di sana mereka bereksplorasi dan bermain secara alami. Ada permainan sepeda, pelosotan, ayunan, jungkat-jangkit, termasuk juga permain dengan balok- balok hingga merangkai bangunan.
Para balita lebih diperkenalkan dengan benda- benda alami- bukan melulu mdia- media elektronik. Benda alam lebih memungkin bagi mereka untuk berkooperatif dengan teman dan tubuh mereka lebih banyak bergerak hingga mereka jadi sehat dan kuat.
Pola hubungan suami dan istri (ayah dan ibu) adalah partnership, dimana mereka punya peran 50 %: 50% dalam mengurus dan mengasuh anak serta mengelola rumah tangga. Adalah hal yang alami bagi suami juga terlibat memasak, mencuci, merapikan rumah hingga memandikan dan menggendong bayi. Mereka punya waktu kebersamaan dan utamanya saat makan bersama. Dalam kehidupan sehari-hari juga terlihat banyak para ayah yang menggendong balita menuju penitipan hingga lembaga pra-sekolah, ya lazimnya dilakukan oleh para ibu.
Kalau di Amerika, kulturnya mempromosikan “individual” dan kemandirian, sementara di negara Skandinavia, seperti di Findlandia, mempromosikan “janteloven- atau nilai kebersamaan dalam grup/ kelompok’. Di sana tidak ada orang merasa hebat sendirian, yang ada adalah hebat atau sukses bersama.
Jadinya orang Skandinavia- juga mirip dengan orang Timur- tidak pernah berfikir merasa lebih baik dibanding teman dalam suatu kelompok. Jadinya tidak boleh ada “sense of boasting”- rasa menyombongkan diri.
Bgaimana tentang kualitas pendidikan anak di Findlandia ? Sheila Wayman mengatakan bahwa di Findlandia umumnya anak-anak belum bersekolah di SD hingga mereka berumur 7 tahun. Sebelum usia 7 para orang tua juga menitipkan mereka pada “Day Care Centre” yaitu penitipan balita. Penitipan ini beroperasi dari jam 6.30 hingga jam 5.30 sore, jadi sekitar 12 jam atau full day care. Di sana para balita diberi sarapan dan makan siang dan juga makanan ringan.    
Ruang penitipan cukup besar dan di luar juga ada halaman buat bermain dan ada fasilitas buat bereksplorasi seperti ayunan, mainan, mobil-mobilan, trem, balok- balok, dll. Para pengasuh (staff) menemani dan memotivasi. Mereka juga membuat catatan kemajuan tumbuh-kembang fisik dan mental untuk laporan mingguan dan laporan bulanan. Tiap minggu para balita juga diajak untuk jalan ke alam terbuka, ke alam bebas selama 2 jam.
Tentang bentuk pedagogi di negara ini, punya ciri yaitu “playful learning”. Di Universitas Helsinki terdapat sebuah “playful learning centre”. Pusat bermain dan belajar ini dirancang untuk meningkatkan kreativitas anak. Permainannya dalam bentuk green fabric canopy dengan pohon pohon besar. Ada matras dan bantal-bantal warna warni, perabot kecil (kursi dan meja kecil) yang berwarna cerah, kotak kotak yang berisi buku dan pencil warna warni, dan juga ada lemari dengan rak-rak. Pusat bermain ini merancang lingkungan yang berguna untuk “self directed learning” agar balita bisa tumbuh mandiri.
Umumnya anak-anak Findlandia diasuh dan didik agar bisa tumbuh mandiri sejak usia dini. Makanya anak anak dikondisikan agar bisa pergi jalan kaki ke sekolah (karena kondisi jalan juga cukup aman).
Pendidikan juga peduli untuk meyediakan waktu buat kegiatan fisik (berolahraga). Kebugaran fisik dan kesehatan mental selalu menjadi prioritas utama. Pemerintah merekomendasi agar kegiatan pedagogi juga peduli pada kegiatan fisik selama 3 jam setiap hari. Karena aktivitas fisik tiap hari akan bermanfaat buat kebugaran fisik dan mental. Sebagai konsekuen setiap sekolah harus membuat siswa banyak bergerak. Orang tua juga diminta untuk mendukung agar anak juga melakukan olah raga di rumah.  
Joanna Goddard menjelaskan tentang bagaimana bentuk parenting di negara Eslandia. Anak- anak Eslandia tidak banyak terkungkung di dalam rumah. Mereka diberi waktu untuk banyak bereksplorasi di luar rumah.
Orang tua Eslandia memperkenalkan alam pada anak sejak usia bayi. Para balita diperkenalkan bagaimana berenang, danau, sungai dan laut. Jadi para balita telah terbiasa bermain di alam terbuka.
Orang tua dengan ilmu parenting yang minim adalah kasus yang banyak terjadi di negara kita. Banyak orang tua di negara ini yang memperlakukan anak ibarat robot. Sebagaimana dikatakan Jeff Yang bahwa karakter anak-anak Asia adalah “cerdas tetapi tidak jelas arah, rajin tetapi rapuh semangat, mampu tetapi kurang kreatif”. Itu akibat mereka terbiasa dilatih berorientasi “kognitif”- mereka banyak dilatih untuk banyak menyalin, mematuhi, dan menghafal. Ungkapan yang keluar dari mulut orang tua pada anaknya sering kurang memotivasi. Dimana orang tua kerapkali mengungkapkan “kasian....kasian” yang berarti “poor he is....poor he is. Jadinya anak kurang percaya diri untuk mengambil aksi atau tindakan.”.
Syifa Andina mengatakan bahwa minimnya ilmu parenting sering terjadi pada keluarga dengan tingkat ekonomi lemah dan juga tingkat pendidikan rendah. Mereka juga miskin denan wawasan umum- kurang paham tentang bagaimana makanan yang bergizi, bagaimana memperkuat kognitif anak, bagaimana menghidupkan literacy keluarga, dan bagaimana membentuk pola prilaku anak yang yang berani dan bertanggung jawab.  
Di tanah air yang indah dan tercinta ini, sebetulnya ada bayak keluarga- keluarga dan juga lembaga sekolah yang sehebat di negara Australia, Singapur, Findlandia dan Amerika Serikat. Namun umumnya hanya terkonsentrasi di kota-kota Pulau Jawa dan Bai, serta beberapa kota lain di luar kedua pulau ini. Maka tugas dan tanggung jawab kita untuk saling berbagi dan saling menyebarkan tentang ilmu- ilmu parenting. Utamanya adalah agar orang tua mengkodisikan anak dengan ilmu untuk memahami agama, kemudian proses berfikir yang mandiri. Mereka juga dilibatkan dalam aktivitas rumah dan masyarakat- agar mereka punya tanggung jawab. Disamping itu mereka juga perlu mengenal bagaimana tentang kemandiran, rasa sopan santun, tanggung jawab, serta hidup yang sehat. Memang Indonesia yang hebat berasal dari rumah-rumah yang juga hebat.
Bibliografi:
Jeff Yang.(2015). Asian Parents: Your Kids are Not Robot. New York: Wall Street

Joanna Goddard.(2013). 10 Surprising things About Parents in Norway. Oslo: Cup of
parenting-in-norway/).

Rick Noack and Lazaro Ganio. (2015). Map: The Best (and The Worst) Countries to
be a Mother. Washington: The Washington Post

Sheila Wayman. (2016). Let The Children Play: The Secret to Finnish Education.
Helsinki: Irish Times (www.iristimes.com)

Syifa Andina. (2016). Five Ways to Improve Parenting Education in Indonesia.
Washington: The World Bank (blogs.worldbank.org)

Jumat, 16 Desember 2016

Memperbaiki Mutu Pelayanan Pendidikan Melalui Pendekatan Happy Teaching and Happy Learning



Memperbaiki Mutu Pelayanan Pendidikan Melalui Pendekatan
Happy Teaching and Happy Learning
Oleh: Marjohan, M.Pd
(Guru SMA Negeri 3 Batusangkar- Sumatera Barat)

Abstact:
Indonesia has been independet more than 70 years, together with several asian countries, such as: South Corea, Singapore, Malaysia, etc. Anyhow those countries have grown up to be modern ones. The quality of eduation is to be one factor to speed them up.
Indonesia experiences the stagnan in education quality, several factors triggered it, one of them is feeling boring at School. The writer suggested that the stake holders of education to adopt the approach of teaching and lerning with “happy teaching and happy learning” based.
Several prominet countries in education quality, such as Australia, Singapore, Findland, etc, adopt this approach. Indonesia and more schools inside should adopt this approach, too. Hope this approach will be significantly upgrade our educational quality and walk to be better one in global.  


Pengantar
            Negara kita, republik Indonesia, telah merdeka lebih dari 70 tahun. Ada beberapa negara di Asia yang usia kemerdekaanya hampir sama dengan negara kita yaitu seperti India, Jordania, Korea Selatan, Kuwait, Lebanon, Malaysia dan Singapura. Negara- negara tersebut berusaha selalu untuk memajukan dan mensejahterakan rakyat mereka. Kemajuan dan kesejahteraan tersebut dapat diperoleh melalui pelayanan dan pemberian pendidikan yang berkualitas. Mereka yakin bahwa pendidikan adalah sarana untuk bisa maju dan juga menjadi lebih sejahtera.
            Setelah merdeka lebih dari 70 tahun, ternyata peringkat mutu pendidikan negara- negara yang baru merdeka tersebut terlihat saling berbeda. Poling dari Human Development Index atau Indeks Pembangunan Manusia- IPM (http://hdr.undp.org/en/composite/HDI) memperlihatkan peringkat SDM untuk negara- negara yang telah disebutkan tadi sebagai berikut:
- Indonesia peringkat 110
- Jordania peringkat  80
- Korea Selatan peringkat  17
- Kuwait peringkat  48
- Lebanon peringkat  67
- Malaysia peringkat  62
- Singapura peringkat  11.  
            Dasar penghitungan IPM menurut standar UNDP (United Nation Development Program) adalah berdasarkan kriteria:
“harapan hidup (umur panjang dan hidup sehat), tingkat pengetahuan/ pendidikan dan standar hidup yang layak (tingkat perekonomian masyarakat)”
Dalam laporan UNDP (bisnis.tempo.co) bahwa dalam rentang waktu tiga tahun, 2012- 2014, menunjukan bahwa peringkat IPM negara kita cenderung stagnan (etap jalan di tempat) pada posisi peringkat 111 dari 188 negara di dunia. Sementara IPM global cenderung naik dan ini memberi indikasi bahwa negara- negara di dunia selalu bergerak menuju kesejahteraan. Stagnan dari peringkat IPM bagi negara kita pada level rendah di dunia juga disebabkan oleh faktor kualitas pendidikan kita yang juga stagnan. Diasumsikan bahwa ada beberapa faktor pemicunya.
Anis R. Baswedan, saat masih menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, menyampaikan makalah di depan para kepala dinas pendidikan yang berjudul “Gawat Darurat Pendidikan di Indonesia”. Ia memaparkan tentang berita baik dan juga berita buruk dari kondisi perkembangan negara ini.
            Berita baiknya adalah tentang jumlah institusi pendidikan dasar dan menengah yang terus meningkat sejak zaman kemerdekaan hingga sekarang. Jumlah anak- anak Indonesia yang mendapat akses pendidikan dasar dan menengah juga meningkat. Hal- hal tersebut meliputi angka partisipasi pendidikan dasar juga terus meningkat dan pemberantasan buta huruf terus digalakan. Jumlah mahasiswa cenderung berlipat ganda. Kemudian kinerja baik Indonesia sudah setara dengan negara- negara maju di dunia. Dari 142 negara di dunia maka peringkat indonesia untuk kriteria- kriteria tertentu adalah sebagai berikut:
            - Kapasitas berinovasi (menemukan hal-hal baru), peringkat 30, sudah setara
             dengan Selandia Baru.
            - Tingkat produktivitas (kemampuan menghasilkan sesuatu, peringkat 28
              setara dengan Irlandia.
            - Kecermatan konsumen (dalam hal memperoleh informasi suatu produk),
              peringkat 51, lebih baik dari Rusia, Turki dan Brazil.
            - Favoritismen dalam mengambil keputusan, peringkat 36, setara dengan
              Austria.
            Ineffisien belanja pemerintah, peringkat 34, setara dengan Taiwan dan lebih baik dari Jerman, Inggris dan Israel.
-       Beban regulasi pemerintah, peringkat 36, setara degan negara Luxembourg.
Namun untuk berita yang kurang menguntungkan atau bad news ada beberapa indikator, sebagai paparan berikut:     
- 75 % sekolah- sekolah di Indonesia belum memenuhi standard layanan
   minimun pendidikan.
- Rata rata uji kompetensi guru (UKG) adalah dengan skor 44,5. Sementara
  skor yang diharapan adalah 70.
- Indonesia termasuk 10 negara berkinerja terendah- menurut pemetaan oleh
   Pearson tahun 2012 (thelearningcurve.pearson.curve). Dimana pemetaan
   untuk trendi dalam studi matematika dan sains internasional juga rendah,
   yaitu peringkat 40 dari 42 negara. Kinerja buruk Indonesia pada pemetaan
   global terjadi karena fenomena suap menyuap, pungutan liar dan kurang
   transparansi dalam pemerintahan.
- Hanya 1 dari 1000 orang Indonesia yang punya minat baca yang serius,
  atau 0,001.
- Kekerasan fisik di dalam lingkungan pendidikan menjadi berita yang sering
 muncul. Juga kekerasan fisik yang dilakukan oleh pelajar dan terhadap
 pelajar yang terjadi di luar sekolah. Tidak hanya fisik, tetapi juga kekerasan
 seksual oleh pelajar dan terhadap pelajar di luar sekolah. Kekerasan seksual
 bahkan juga terjadi dalam lingkungan persekolahan.


Masalah
            Melakukan perbandingan tentang kelebihan dan kekurangan suatu objek atau suatu topik bisa menjadi cara yang mudah untuk mengungkap sebuah permasalahan. Jisoo Hyun, seorang staff dari media online Real Clear menemukan 4 perbedaan mendasar yang terjadi dalam praktek pembelajaran di sekolah- sekolah. Ia membandingkan praktek pembelajaran di Amerika Serikan dan Asia, yang juga bisa digeneralisasi buat Indonesia, yaitu tentang:
- Partisipasi kelas
- Hubungan antara guru dan murid
- Sistem pemberian nilai oleh guru
- Kecendrungan belajar pada Bimbel (Bimbingan Belajar).
            Tentang partisipasi kelas, bahwa setiap anak di sekolah yang sudah maju pendidikannya, seperti Amerika Serikat, didorong untuk aktif berpartisipasi dan berdiskusi tentang materi pembelajaran bersama guru dan teman-temannya. Partisipasi dalam diskusi merupakan unsur yang penting dalam sistem pendidikan di lembaga pendidikan yang sudah maju.
Sementara di negara kita proses pembelajaran lebih sering dimonopoli oleh model belajar “berceramah”. Tugas guru adalah mentransfer informasi kepada siswa. Jadinya guru banyak berbicara dan siswa banyak mencatat- malah mencatat sebanyak mungkin. Karena tidak terbiasa dengan berdiskusi, maka saat diajukan pertanyaan, para siswa menjawab dengan malu-malu, diliputi oleh rasa kurang percaya diri.
Jadinya suasana pembelajaran terkesan dalam bentuk 4D (DDDD) yaitu singkatan dari “Datang Duduk Diam Dengar. Pada akhirnya terbentuklah kebiasaan susah untuk nomong. Rasa malu membelenggu mulut dan fikiran siswa.
Tentang hubungan guru dan siswa, bahwa di negara yang pendidikannya lebih maju seperti Singapura, Australia, dan Amerika, terlihat adanya hubungan yang lebih rileks dan bersahabat. Para siswa bisa mengungkapkan fikiran atau ngobrol dengn bebas degan guru- guru mereka. Guru- guru mereka juga menghargai opini atau pemikiran siswa. Sebaliknya di sekolah- sekolah di negeri kita yang terlihat bahwa siswa tidak banyak ngobrol dengan guru-guru mereka.
Umumnya siswa harus memperlihatkan penghargaan yang berlebihan pada guru, harus mematuhi guru dan tidak boleh memperlihatkan ungkapan “tidak suka/ tidak setuju” atas opini guru. Akibatnya para siswa dijangkiti oleh perasaan cemas, takut bersalah dan takut ditertawakan dan juga tidak siap untuk mengambil resiko.
Untuk sistem pemberian nilai oleh guru, kalau di negara maju, menurut Rhenald Kasali (2016:118-119) guru-guru di Amerika Serikat memberi nilai untuk memberi semangat dan memotivasi. Sejelek apapun karya siswa tetap dikomentari dengan frase “very good atau very excellent”. Sementara sistem pemberian nilai oleh guru dan dosen di negara kita adalah untuk menghakimi. Pemberian nilai buruk pada siswa sebagai salah satu bentuk hukuman untuk menjadikan anak anak Indonesia yang cerdas namun tidak percaya diri. Jadi pemberian nilai di negara maju adalah untuk memberi semangat, sementara bagi kita adalah untuk menghakimi.
Tentang fenomena membanjiri tempat Bimbel. Seorang anggota famili penulis, Miftahul Khairi, mengikuti program YES- Youth Exchange Student ke Amerika Serikat, mengatakan bahwa para pelajar Amerika Serikat berbeda dengan fenomena pelajar Indonesia yang cenderung sangat percaya pada eksistensi Bimbel. Di Amerika Serikat umumnya pelajar sangat percaya dengan kualitas pembelajaran di sekolah reguler mereka, sehingga tidak ada fenomena para pelajar yang menyerbu tempat bimbel, belajar di sekolah saja itu sudah cukup.  
Pulang dari sekolah mereka biasanya mengikuti serangkaian kegiatan berolah raga atau kesenian, dalam bentuk ekskul yang lebih serius. Mereka memilih renang, baseball, berkuda, main biola, piano, ballet, dan lain-lain. Kegiatan ekskul yang berkualitas mampu mengatarkan mereka menjadi atlit atau aktor berkelas nasional atau internasional. Atau di luar sekolah mereka mengerjakan tugas sekolah atau PR untuk memperoleh pemahaman atas materi pembelajaran. Kalau kesulitan mereka akan mencari bantuan pada orang tua atau bimbingan tutor- guru mereka sendiri.
Coba bandingkan dengan kegiatan pulang sekolah para siswa kita. Terutama para siswa dari sekolah unggulan dan sekolah terkemuka di kota. Mereka ramai- ramai mendaftarkan diri lagi pada bimbel yang mereka idolakan. Belajar pada bimbel adalah sekedar mengulang-ulang materi pembelajaran, utamanya untuk mata pelajaran yang termasuk pada Ujian Nasional. Tentor akan memandu mereka untuk melatih menjawab soal-soal Ujian Nasional dan ujian akhir sekolah.
Lembaga bimbel memberikan kursus intensive buat menjawab soal-soal ujian kapan perlu sampai jam 10 malam. Sekali lagi ini telah menjadi fenomena. Lembaga bimbel merekrut dan menseleksi para tentor yang memiliki pribadi yang hangat, ramah tamah dan mampu berkomunikasi secara lembut, kemudian para tentor juga memperhatikan kualitas penampilan mereka hingga pribadi memperoleh tempat di hati para siswa. Hasilnya para siswa belajar lebih kerasan belajar.
Memang jadi fenomena, umumnya siswa menganggap guru-guru yang di sekolah kurang kompeten dibandingkan tentor bimbel mereka. Akibatnya mereka lebih fokus pada tentor bimbel dan kadang- kadang kurang serius dengan guru- guru mereka di sekolah. Mengapa hal ini bisa terjadi dalam pembelajaran di sekolah-sekolah Indonesia ?
Untuk menciptakan siswa yang berkualitas, maka para guru Indonesia harus menguasai 4 kompetensi, yaitu kompetensi pedagogi, profesional, sosial dan kepribadian. Bila para siswa kurang mempercayai kualitas guru- guru mereka bisa jadi karena memiliki kompetensi yang rendah- kurang memiliki metode mengajar yang menarik dan menyenangkan, pemahaman bidang studi yang rendah, dan kualitas pribadi dan sosial yang juga masih kurang.
Jeff Hays, dengan website project-nya yang bernama FactandDetail.com menulis fakta dan detail khususnya tentang kehidupan sekolah di Indonesia. Bahwa gaya pedagogi yang lazim di sekolah- sekolah negeri dan swasta di Indonesia menitik beratkan pada metode hafalan dan menghormati otoritas guru secara berlebihan. Tidak begitu lazim dalam proses pembelajaran bagi guru untuk menerapkan metode berdiskusi. Teknik mengajar yang sering dipakai adalah “berceramah”.
Selama pembelajaran guru tidak pernah atau jarang mengidentifikasi masalah individu siswa dan guru juga cenderung membuat jarak hubungan emosi dengan siswa. Para guru lebih terbiasa memperlihatkan perilaku sabar, karena guru yang penyabar dipandang memiliki pribadi yang mengagumkan.       


Pembahasan dan Solusi
            Dari uraian di atas mengenai fenomena praktek pembelajaran di sekolah seperti bagaimana partisipasi kelas, hubungan antara guru dan murid, sistem pemberian nilai oleh guru dan kecendrungan belajar pada Bimbel (Bimbingan Belajar) juga tentang fakta dan detail kehidupan sekolah- sekolah di Indonesia tentu telah menunjukan suasana kelas yang tidak menarik (membosankan). Ini terjadi akibat rendahnya kompetensi pedagogi guru, kurang mengaktifkan atau melibatkan siswa dalam pembelajaran. Juga proses pembelajaran oleh guru yang tidak bervariasi, miskinnya media dan fasiltas belajar, kemudian kompetensi profesional guru yang juga rendah, serta kompetensi sosial dan personal yang kurang menarik.
Semuanya berdampak pada hasil dan motivasi belajar siswa yang cenderung rendah. Ini telah menjadi fenomena dalam dunia pendidika kita. Fenomena ini telah membuat kualitas pendidikan Indonesia selalu stagnan di tingkat dunia.    
Negara kita yang sangat luas ini, yang ukurannya seluas benua Australia, seluas Benua Eropa, atau seluas Amerika Serikat, memiliki puluhan ribu gedung-gedung sekolah. Data online dari badan informasi bidang kesejahteraan rakyat (data.kemenkopmk.go.id) memperlihatkan bahwa ada 144.567 gedung SD, 26.277 gedung SMP dan 10.239 gedung SMA.
Dimana jumlah pelajar Indonesia sebanyak 58 juta yang mana angka ini menyamai jumlah penduduk Inggris Raya. Dari 58 juta siswa, 8 juta siswa SLTA dan 50 juta siswa SD dan SLTP (antaranews.com). Maka dimanakah posisi peringkat kualitas pendidikan kapal besar yang bernama Indonesia ini ?
Menurut versi OECD- Organization Economic Cooperation and Development yang dapat kita baca dari portal pendidikan Indonesia (edupost.id) bahwa posisi pendidikan Indonesia berada di peringkat ke 57 dunia dari total 65 negara. Jadi posisi kualitas pendidikan kita menempati posisi terbawah. Maka kini perlu kita cari solusi buat meningkatkan mutu pendidikan ini.
Ada beberapa solusi yang diasumsikan dapat memperbaiki mutu pendidikan kita seperti sekolah sekolah perlu menerapkan “total excellen service- pelayanan pedidikan prima”, konsep pembelajaran PAKEM- Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan, atau konsep CBSA- Cara Belajar Siswa Aktif. Konsep ini telah lama kita kenal namun pelaksanaannya tetap guru yang memonopoli suasana pembelajaran, malah CBSA telah diplesetkan menjadi Catat Buku Sampai Abis.  
Good neighbour makes good friend- tetangga yang baik membuat persahabatan yang baik. Singapura, Australia dan negara- negara yang lain adalah tetangga yang baik bagi Indonesia dan kita bisa belajar dari pengalaman sukses mereka, termasuk dalam pengalaman mengelola pendidikan.
Australia merupakan negara yang posisi pendidikannya termasuk terbaik di dunia, sama baiknya dengan pendidikan Amerika Serikat, Rusia, Jerman, Denmark, Polandia, Singapura, Belanda dan beberapa negara maju lainnya. Berbagai lembaga pendidikan berkompetisi dalam menciptakan terobosan untuk melayani pendidikan, salah satunya dengan mengusung konsep “Friendly kids- Friendly classrooms”. Konsep yang pro pada suasana “ramah tamah” telah mampu menjaga kualitas pendidikan terbaik Australia (kidsmatter.edu.au).
Negara Findlandia menjadi begitu populer karena memiliki kualitas pendidikan yang terbaik di dunia. Lembaga- lembaga pendidikan di negara ini juga berlomba untuk mempromosikan praktek pendidikan yang berkualitas, salah satu melalui konsep “Happy teaching- happy learning”. Suasana emosi mengajar dan belajar yang selalu menyenangkan membuat kualitas pendidikan Findlandia selalu berada pada posisi terbaik di dunia dan menjadi menjadi rujukan bagi banyak lembaga pendidikan di dunia untuk menerapkan konsep-konsep pelayanan pendidikan yang juga yang terbaik.     
Kemudian Singapura, negara yang sangat dekat dengan Indonesia dan ukuranya hanya sebesar pulau Batam namun kualitas pendidikannya sangat bagus, juga bisa menjadi referensi yang terbaik bagi negara kita untuk meningkatkan mutu pendidikan. Lembaga- lembaga pendidikan di negara kecil ini juga berkompetisi dalam memajukan kualitas pendidikan, konsep “happy atau kegembiraan” juga menjadi fokus mereka. salah satunya dengan mengusung konsep “Happy teachers, Happy Children, Happy Parents (www.dramkids.com.sg) ”. Guru-guru yang gembira, anank-anak yang gembira dan orang tua yang gembira diyakini punya peranan dalam memajukan kualitas pendidikan negara ini.   
Suasana senang berada di sekolah dan belajar bersama guru membuat rasa nyaman dan rasa betah siswa. Rasa betah atau senang sangat signifikan untuk menumbuh kembang segala potensi yang dimiliki oleh setiap anak. Kini sudah saatnya bagi kita- para guru, calon guru, para orang tua- juga ikut berfikir dan berkontribusi dalam memajukan kualitas pendidikan di negara kita ini. Mengusung konsep “happy teaching dan happy leaning” juga sangat cocok untuk diadopsi.
Konsep- konsep kegembiraan dalam belajar yang diaplikasikan di negara Australia, Findlandia dan Singapura sangat tepat buat ditiru. Yaitu dengan menggabungkan konsep- konsep “friendly kids, friendly classrooms- happy teachinh happy learning,- dan happy teachers, happy children, happy parents”.
Konsep belajar dengan suasana friendly kids friendly classrooms dirancang untuk  mengembangkan keterampilan sosial anak didik. Konsep ini bermanfaat dalam menumbuhkan rasa percaya diri mereka. Rasa percaya diri yang tinggi akan terbentuk kalau anak merasakan adanya rasa “self acceptance- rasa diterima oleh lingkungan, pengalaman sukses, dan rasa mau untuk mengambil resiko- atau adanya rasa keberanian untuk tampil”.
Diyakini bahwa belajar akan lebih efektif bila anak anak didik merasakan adanya suasana yang nyaman dan menyenangkan dan melalui sistem belajar secara langsung- yaitu tidak menggunakan metode berceramah dan menyampaikan teori yang sangat banyak oleh guru. Metode belajar secara langsung adalah para siswa diberi kesempatan untuk mempraktekan tentang apa yang telah mereka pelajari.      
Ada 4 struktur untuk menerapkan konsep friendly kids dan friendly classroom, yaitu:
- whole class model, model ini paling baik digunakan untuk proses pembelajaran dalam kelas yang luas: memperkenalkan konsep atau topik baru dan untuk memfasilitasi diskusi kelas
- small group approach, model ini lebih banyak digunakan dan disukai oleh sekolah sekolah yang maju dan juga berguna membuat para siswa lebih fokus atas suatu topik. 
- kombinasi whole class model dengan small group approach, berguna untuk
  memperkenalkan materi pembelajaran yang baru dan kemudian dilakukan
  penguatan dalam kelompok kecil.
- mix and match merupakan metode pembelajaran dalam bentuk game
  (permainan), dimana siswa Siswa menjodohkan potongan gambarnya
  dengan kepunyaan siswa lain.
Konsep happy learning juga diterapkan oleh sekolah- sekolah Findlandia. Sophia Faridi, seorang guru dari Baker College- Chicago, mengatakan bahwa betapa pentingnya sekolah sekolah mengajar dengan suasana menyenangkan. Dia melihat bahwa para guru dan siswa Findlandia tampak begitu ceria di sekolah. Siswa  menikmati pengalaman belajar dan guru terlihat puas dengan aktivitas mengajarnya.
Ada beberapa faktor yang membuat mereka (guru dan siswa) merasa senang dalam belajar, yaitu:
- Proses belajar banyak dilakukan dalam metode bermain.
- Adanya rasa saling percaya di antara pemerintah, dinas pendidikan, kepala
  sekolah, guru, siswa dan orang tua satu sama lain.
- Guru yang dipilih adalah guru yang terbaik. Rekruitmen guru dilakukan
  begitu ketat, melalui saringan yang berlapis, test tertulis, wawancara dan
  menelusuri portofolio yang memperlihatkan prestasi, serta integritas yang
  tinggi. Memiliki motivasi, semangat dan kompetensi pedagogi yang tinggi.
- Sekolah di Findlandia sering mengajak para siswanya untuk bereksplorasi
  ke luar sekolah dan ini punya manfaat untukmembentuk kebugaran fisik
   siswa.
- Evaluasi belajar lebih berfokus pada metakognif (cara berfikir) siswa dalam
   belajar dan juga bagaimana cara belajar mereka.
- Suasana belajar lebih mengutamakan bentuk kolaborasi dan sekolah
   membentuk lingkungan yang mendukung kolaborasi tersebut.
Pendidikan Singapura mampu menempati peringkat kelompok terbaik di dunia. Ini dicapai karena pendidikan di negara ini berfokus pada konsep pendidikan yang memberi rasa nyaman. Ada lembaga pendidikan yang menggenjot kualitas pendidikan melalui konsep happy teacher- happy children- dan happy parents. Lembaga pendidikan tersebut juga memberikan program pengayaan yang terbaik (www.dreamkids.org).
Guru- guru selalu membantu siswa agar bisa tumbuh dan berkembang. Keterampilan diberikan/ diajarkan melalui suasana yang menyenangkan dan cara- cara yang inovative. Sekolah merangsang minat siswa dan juga mendorong  mereka untuk bereksplorasi. Untuk mendukung hal ini maka ada 3 hal yang menjadi prinsip pengajaran, yaitu:
- Suasana belajar harus menyenangkan
- Lingkungan sekolah harus toleran (menerima) bila siswa melakukan
  kesalahan- kesalahan kecil (menjauhi pendekatan menghukum, tetapi
  mendorong siswa buat melakukan inovasi dan kreativitas).
- Proses pembelajaran musti menjadi sarana untuk menghidupkan semangat
  dan minat belajar para siswa.       


Desain Ruang Kelas Berbasis Happy Teaching and Happy Learning
Untuk memberikan pelayanan pendidikan yang berbasis Happy Teaching and Happy Learning tentu butuh dukungan dari  desain ruang kelas, perubahan mindset guru dan pelaksaan pembelajaran yang bisa memberi rasa senang. Ruang ruang kelas yang ada pada kebanyakan sekolah di negeri kita bercorak susunan tradisionil, desain kelas yang tidak menarik, cat dinding yang sudah memudar, bangku dan kursi dari kursi yang penuh coretan. Siswa duduk berjejer dan guru tampil di depan dengan penuh otoriter.
Ruang kelas di sekolah yang maju pendidikannya dirancang begitu menarik. Siswa duduk berkelompok, cat ruang kelas begitu menarik, ada dekoasi dekorasi yang mampu meningatkan motivasi instrinsik para siswa. Pada dindingan kelas terpajang peraturan kelas (class rule), gambar- gambar dan kalimat kalimat motivasi. Untuk mengaplikasikan pembelajaran yang berbasis happy teaching dan happy learning maka kita perlu merujuk pada uraian di atas.
Bahwa kelas dengan konsep yang bisa membuat siswa merasa nyaman mutlak memperhatikan dan menerapkan 4 struktur model atau pendekatan pembelajaran seperi:
- whole class model
- small group approach
- kombinasi whole class model dengan small group approach
- mix and match
Namun tidak mutlak dengan penggunaan 4 model di atas. Yang lebih menjadi fokus adalah pembelajaran yang bisa mengaktifkan semua anak didik. Permainan juga bisa di terapkan, karena ada konsep “learning by playing game”. Kemudian sekolah juga perlu merancang waktu yang lebih banyak buat mengajak para siswa ke luar sekolah, melakukan eksplorasi edukatif, ini bermanfaat untuk kebugaran fisik, dan memberi rasa nyaman dan membangun kebersamaan.
Sebaik apapun rencana pengembangan kualitas pendidikan namun kalau gurunya tidak punya tempat di hati anak didik maka tetap saja pembelajaran terasa begitu membosankan. Bobbi De Porter dan Mark Reardon (2002: 21) dalam bukunya Quantum Teaching, mengatakan bahwa bila seorang guru masuk kelas- mengajar- maka ciptakanlah jembatan hati terlebih dahulu. Juga bahwa seorang siswa lebih tertarik dengan guru yang baik dan bersahabat daripada guru yang cerdas/ pintar namun berkarakter “pemarah dan kurang sabaran”. Tentu lebih menyenangkan kalau guru mereka “ramah, baik, pintar, dan sangat menguasai profesi mereka”. Maka adalah saat nya para guru bisa meningkatkan kecerdasan emosionalnya agar mereka dapat menjadi guru ideal di hati  siswa – siswi nya, sehingga pada gilirannya tercipta suasana pembelajaran yg efektif, aktif, kreatif dan menyenangkan tentunya.
Guru yang ideal tentu saja guru yang bisa mendukung konsep “happy teaching dan happy learning”, dia musti menjadi gru yang difavoritkan oleh anak didiknya. Seorang guru  ideal akan menjadi spesial dalam pandangan siswa karena beberapa alasan, seperti:
- He (she) takes students’ hand, dia membimbing tangan siswa.
- He (she) opens students’ mind, dia membuka fikiran siswa.
- He (she) touches students’ heart, dia menyentuh hati siswa.
Untuk membangun kondisi kelas yang sesuai dengan konsep “happy teaching and happy learning” tentu manajemen kelasnya harus begitu kondusif dan mantap. Ini sebenarnya mudah diwujudkan- yaitu kalau guru dapat mengkondisikan kelas dengan baik. Sebaliknya akan sulit jika guru kurang peduli dengan kondisi kelas. Oleh karena itu terciptanya kondisi kelas yang mantap dan kondusif bagi pembelajaran yang efektif  dan menyenangkan merupakan langkah awal dalam peningkatan prestasi belajar siswa.

 

Bibliografi
Anis R. Baswedan (2014). Gawat Darurat Pendidikan di Indonesia. Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dalam acara silaturahmi Kementrian Pendidikan dengan Kepala Dinas, tanggal 1 Desember 2014, di Jakarta).

Bobbi De Porter dan Mark Reardon.(2002). Quantum Teaching. Bandung: Kaifa .

Jeffrey  Hays. (2013). School Life and Schools in Indonesia. Saga, Japan: Informal
School (http://factsanddetails.com/indonesia/Education_Health_Energy_Tran)

Jisoo Hyun (2014). 4 Big Differences in American and Asian Education Norms.
United States: Real Clear

Sophia Faridi. (2014). Happy Teaching, Happy Learning: 13 Secrets to Findland’s
Success. Chicago: Baker College (www.edweek.org).

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...