Rabu, 14 Juni 2017

Pentingnya Menjadi Siswa Yang Smart Book dan Smart Street



Pentingnya Menjadi Siswa  Yang Smart Book dan Smart Street

            Kata-kata “smart” sangat disukai banyak orang, dan pusat kegiatan yang memakai kata smart seperti smart kid, smart group, smart hobby, smart house, dll selalu diburu oleh paraorang tua. Karena  mereka ingin memilki anak-anak mereka menjadi smart kid dan bersekolah di smart school. Banyak masyarakat yang memburu tempat kursus yang punya label “smart”. Kata smart lagi fenomena  seperti smart book, smart phone dan smart street.
            Banyak orang tahu bahwa kata smart berarti cerdas. Smart book berarti cerdas dengan buku. Maksudnya kalau di sekolah seorang siswa mampu melahap semua buku teks dengan tuntas. Apa saja yang dibaca bisa semua masuk ke dalam pikirannya. Sementara itu, smart street berarti cerdas di jalanan, maksudnya seorang siswa pintar dalam hidup, tahu menempatkan diri. Orang yang smart street adalah orang yang memiliki life skill.
            Anak anak kita yang belajar di sekolah favorit yang sangat focus dengan urusan akademik pada umumnya sudah memiliki karakter sebagai  smart book. Pengalaman seorang yang mengajak tour satu grup para siswa yang hanya sekedar cerdas akademis atau smart book pergi tour melintasi Pulau Jawa dan suati ketika berhenti di rest area dan pergi ke sebuah mall besar.
Namun para siswa yang hanya sekedar smart book tersesat dalam mall yang gede dan tidak tahu bagaima harus keluar buat berkumpul ke dalam bis wisata yang telah menunggu cukup lama. Mereka cukup kehilangan akal, tentu saja tour leader butuh waktu cukup lama buat membantu mereka. Ini terjadi mereka minim dengat pengalaman di luar rumah, kurang memahami liku-liku jalan di alam ini atau kurang paham dengan smart street sehingga bermasalah dalam sepenggal kehidupan nyata.
Sementara itu teman teman mereka yang berasal dari sekolah biasa-biasa saja lain yang tidak punya label unggul atau label smart juga pernah dibawa tour oleh sekolah mereka dan dilepaskan ke sebuah mall sangat besar, tidak satu orang pun yang menelpon karena merasasesatjalan.  Ternyata mereka sudah terbiasa menjelajah lingkungan dan alam lebih luas, sehingga mereka menjadi siswa yang smart street. Sebenarnya negara kita sangat membutuhkan generasi muda yang smart book dan sekaligus juga sebagai smart street.
            Indonesia dan Amerika Serikat adalah dua negara yang cukup berbeda, ibarat berbedanya timur dan barat. Jalaluddin Rakhmat (1998) mengatakan perbedaan kultur 2 bangsa sebagian bersifat stereotipe atau pendapat umum yang sudah digeneralisasi. Orang Amerika diajar untuk berkepala dingin, roman muka keras dan pikiran tenang. Dalam belajar di Amerika para siswa/ mahasiswa menghormati dosen (guru) mereka, namun mereka boleh memiliki pikiran sendiri, malah kadang- kadang juga berdebat dengan dosen untuk menguji gagasannya. Namun dalam pergaulan bersikap santai dan ramah.
Sementara di Indonesia orang cenderung menggunakan visualisasi dan bahasa yang indirect- bahasa yang tidak langsung ke pokok permasalahan. Dalam belajar mereka menghormati dosen/guru, tidak terbiasa untuk berdebat karena dosen dan guru dianggap ahli, dan mahasiswa/ siswa terbiasa mencatat sebanyak mungkin. 
Kedua negara ini berbeda dalam kemajuan sistem pendidikan, kualitas SDM masyarakatnya, budayanya, dan banyak hal. Praktek pelaksaan mendidik di sekolah Amerika juga sangat berbeda dengan sekolah di Indonesia. Saya menulis tentang hal ini bukan bermaksud untuk  menyanjung Amerika Serikat setinggi langit, dan merendahkan wibawa Indonesia, negara yang selalu kita cintai.
            Adalah fenomena bahwa di Indonesia semua anak didorong buat belajar dan membaca membaca sebanyak mungkin, agar mereka menjadi smart book. Kemudian campur tangan orang tua dalam mendidik sebagian dalam bentuk pintar memerintah, menyuruh dan kapan perlu melarang dan marah- marah, dan berpangku tangan setelah itu. Di sekolah anak-anak belajar, berkompetisi buat memahami dan melahap isi semua buku teks. Kapan perlu mereka harus menghafal semua teori, tanpa melewatkan titik dan koma-nya. Al-hasil penguasaan kognitif atau akademik mereka signifikan cukup bagus.
            Di negara ini banyak anak yang hanya belajar dan terbelenggu oleh urusan kognitif semata. Meski sudah ada pemaham kearah konsep afektif/ sikap dan praktek, tetapi itu hanya sebatas basa-basi. Maksudnya belum menyentuh dasar keberanian anak.
            Urusan akademik memang selalu nomor satu, dari pagi hingga sekitar jam tiga sore- hingga usai jam belajar buat pulang ke rumah. Setelah itu anak- anak cerdas tadi dikirim lagi oleh orang tua ke tempat bimbel (bimbingan belajar).
“Cukup melelahkan pak keluh seorang anak. Namun orang tua selalu memaksa agar saya bisa memperoleh passing grade yang tinggi. Agar saya kelak bisa jebol di jurusan yang bergengsi dan di perguruan tinggi favorit”.
Ya begitulah sebahagian anak cukup lama mereka dibelenggu atau terpenjara dalam kamar akademik. Hingga mereka pulang ke rumah dengan letih dan lesu menjelang senja tiba. Dan seperti itulah fenomena anak anak cerdas a’la Indonesia.
            Memang belajar pada Bimbel sudah menjadi sebuah fenomena bagi anak-anak cerdas, utamanya bagi orang tua mereka yang punya duit cukup. Bimbel itu sendiri gedungnya sudah bertebaran di mana-mana, malah sudah dibikn dalam franchise education atau bisnis pendidikan. Bimbel telah menjamur dan tinggal memilih mana yang terbaik dan cocok menurut selera.
            Saat saya remaja, sering melihat orang pergi les dalam bentuk les menjahit, les memasak kue yang diselenggarakan oleh keluarga Tionghoa. Juga les otomotif, les merangkai elektronik, hingga les main organ, biola, gitar, dan lain-lain. Les- les seperti itu membuat para remaja cerdas secara non akademik. Namun les- les seperti itu sudah sangat langka, yang menjamur adalah les mengolah soal- soal mata pelajaran yang pokok dalam ujian nasional. Les ini dikemas dalam bentuk “bimbingan belajar”. Sekali lagi bahwa sekarang bimbingan belajar sudah melimpah dan coraknya monoton yaitu sekedar les buat tujuan academik melulu.
            Antara satu Bimbel dengan Bimbel yang lain juga ada kompetisi dalam memperebutkan anak anak cerdas. Agar bisa menjadi menariki maka pemilik bimbel mendesain interior dan eksterior gedungnya seapik mungkin. Pakai spray pengharum pada ruang cantik penuh AC. Ruang belajar bimbel dengan tentor yang memiliki pribadi menarik dan performance yang anggun, semuanya menjadi belajar dengan mentor pilihan.
            Tentor bimbel yang ramah tamah, bersahabat dan pribadi hangat sering lebih mereka idolakan dari guru- guru mereka sendiri di sekolah mereka yang kadang kala berwajah sewot dan berbahasa yang kurang simpatik. Ya ini adalah fenomena, bahwa pribadi tentor dan proses pembelajaran pada bimbel telah mengalahkan PBM di kelas yang kusam dengan guru yang nggak bersahabat.
            Singkat cerita bahwa untuk urusan akademik atau kognitif seorang siswa menghabiskan waktu sebanyak 10 jam per hari. Mereka sangat percaya bahwa pencapaian akademik adalah visi dan tujuan belajar mereka. Yang mereka yakini adalah kalau mereka mampu memperoleh skor akademik yang tinggi maka kelak mereka bisa memilih jurusan yang bagus, kuliah di tempat favorit. Setelah kuliah dan wisuda mereka akan tersenyum karena bakalan berkarir di tempat yang basah, kapan perlu banjir dengan duit.
            Orang tua di rumah juga sudah memahami bahwa anak perlu belajar kuat dan bersemangat untuk meraih skor dan rangking setinggi langit. Anak perlu memiliki prestasi akademik yang bagus. Jadinya anak-anak musti bisa belajar di sekolah favorit. Orang tua memilihkan sekolah berlabel unggul buat mereka. Mereka menyerbu sekolah berlabel unggul, sekolah model, sekolah perintis, sekolah percontohan, sekolah multi-talenta, dll.
            Memang bangsa kita dan apalagi anak anak muda senang dengan merek atau label. Mereka selalu mencari pakaian mereka, sebagai contoh. Sehelai baju kaos berharga 50 ribu  perak yang ada merek “Foot Ball of Europe” lebih dikagumi dan diminati dari pada sehelai baju kaos berharga “satu juta perak” namun  pada punggungnya ada tulisan “Club Sepak Bola Bintang Kecil”.
            Seorang famili yang baru pulang dari Amerika Serikat, setelah mengikuti program pertukaran pelajar, YES- Youth Exchange Program” tindak henti henti berbagi cerita dan pengalaman menarik tentang way of life orang Amerika dan way of life kita. Ia mengatakan bahwa program pembelajaran di sekolahnya di Colorado- Amerika Serikat cukup berbeda dari sekolahnya yang di Bukittinggi.
Banyak teman-temannya yang sekolah di Bukittinggi,  juga siswa-siswa  di Indonesia secara umum, pada terlalu sibuk dengan urusan akademik. Semua anak pada bersitungkin (semata- mata terfokus pada satu tujuan saja) untuk melahap rumus- rumus pelajaran. Dari pagi hingga awal sore mereka belajar di sekolah dan dari sore hingga malam belajar lagi di bimbel. Pulang sekolah sudah telat  dan pulang bimbel juga sudah malam semua membuat badan terasa capek:
“Ah pengen tidur saja atau nonton saja lagi, tetapi takut kena ledek oleh mama dan dianggap malas”. Juga mana ada waktu lagi buat menolong mama di rumah. 
Sebagian siswa merasakan badan mereka yang lesu karena asupan gizi yang salah dan tidak berimbang. Pada umumnya anak anak kita telah merasa sebagai warga modern dengan mengkonsumsi jajanan cepat saji, makanan dan minuman yang kaya dengan zat kimia atau adiktif. Kemudian kebiasaan mengkonsumsi minuman langsung dari show-case, minumah dalam label mewah namun tidak menjanjinkan kesan ikut mendorong anak berperilaku hidup tidak sehat dan juga mengadoppsi life style yang mereka anggap mewah. Pokoknya asupan gizi yang kurang berimbang membuat mereka juga kurang sehat.
“Mana mungkin tubuh dan pikiran terasa bisa jadi segar dan bugar dengan life style seperti itu”.
“Ya demikianlan realita cara belajar dan gaya hidup sebahagian generasi sekarang mereka. Yaitu gaya hidup yang hanya belajar buat menggapai cerdas akademik setinggi mungkin, namun mengabaikan kecerdasan non akademik”
Di negara Paman Sam sana, dikatakan bahwa bahwa anak-anak belajar secara alami saja, tidak begitu demam bimbel betul. Tempat bimbel itu tetap ada namun tidah ada fenomena deman bimbel setiap akhir tahun akademik. Belajar di sekolah saja itu mereka rasakan  sudah cukup. Mereka tidak perlu lagi pergi harus ikut bimbel.
Guru- guru mereka di sekolah sudah cukup professional. Penampilan menarik, pribadi hangat, sangat menguasai bidang studi dan tahu cara menyajikannya dengan cara kreatif dan menyenangkan. Ruangan kelas dan lingkungan sekolah penuh dengan iklim layanan prima: look smile, greed, serve, and thank. Bisa jadi guru-guru di kelas Amerika sebagus kualitas guru-guru bimbel kita, atau malah lebih lagi. 
“Ya betul bahwa di sana kami tidak perlu pergi bimbel lagi. Dan bimbel memang ada, tapi hanya dikunjungi bagi yang betul- betul memerlukan layanan”.
Kebiasaan di sana, usai sekolah mereka pulang dan selanjutnya pergi untuk menekuni hobi mereka. Bagi yang gemar berolah raga akan pergi ke lapangan, ada yang main badminton, menunggang kuda, main base ball, main cricket, hingga main karate. Mereka menekuninya bersungguh- sungguh- sangat menikmati hobinya. Sehingga pada akhirnya banyak yang menjadi atlit nasional atau internasional beneran”.
Bagi yang gemar pada bidang music dan seni, mereka pada menyerbu theater. Ada yang mendalami music jazz, music pop, biola, key board, mendalami ballet hingga seni lainnya. Mereka juga menekuni hobi ini hingga pada akhirnya- saat tumbuh dewasa-  mereka bisa berkarir pada bidang ini. Menjadi pemain biola, music, dan theter professional. 
Bagaimana dengan urusan akademik ? Ya mereka juga selalu memahami dan menekuni. Walau mereka pada umumnya tidak beragama Islam, namun mereka berbuat sesuai dengan konsep agama kita “man jadda wa jadda- barang siapa yang bersungguh akan berhasil”.
“Sekali lagi bahwa kualitas PBM di kelas di sekolah Amerika sebagus kualitas bimbel di kelas bimbel terbaik di negara kita, atau lebih baik lagi”.
Orang tua juga punya peran penting dalam mendukung sukses kehidupan seorang anak. Orang tua di negara kita memahami bahwa setiap anak perlu memahami dan menguasai akademik. Mereka sangat bersimpati dengan anak mereka yang telah menghabiskan waktu di sekolah dan di tempat bimbel agar bisa memperoleh skor akademik yang tinggi dan kelak kuliah di tempat yang favorit (?).  Setelah itu seperti ilustrasi yang mereka peroleh bahwa karir cemerlang datang dengan mudah.
Makanya orang tua bersimpati bahwa anak- anak mereka sudah cukup lelah oleh urusan akademik dan mereka tidak mau mengganggu anak lagi. Anak tidak perlu lagi ikut cuci piring, cuci motor, merapikan ruang rumah, juga tidak perlu terlibat dalam kegiatan social di lingkungan tetangga.
Karena anak sudah begitu lelah, mereka perlu dibantu dan dilayani. Kalau perlu anak harus dimanjakan. Ada kesan bahwa pendidikan di rumah sekarang bahwa anak tidak perlu lagi dilibatkan. Jadinya anak tidak kenal dengan pengalaman memasak, mencuci malah juga tidak tahu bagaimana orang tua mereka berbisnis.
Kasihan anak sudah letih, dan akhirnya anak memilih untuk bersenang- senang, bersantai, sibuk dengan gadget, terbenam dengan game on-line atau hanyut dengan facebook, twitter, bbm, dan media social lainnya. Karena sudah terlanjur suka dengan aktifitas sendiri, tidak melebur dengan tetangga atau lingkungan sosial maka lahir ribuan generasi yang kurang peduli dengan sosial. 
Kita mendidik dengan salah konsep, anak korban tekhnologi dan hiburan, hingga rumah-rumah dan sekolah kita yang menciptakan anak yang hanya cerdas akademik namun buta dengan lingkungan- tidak punya life skill- kurang mampu dalam mengurus diri. Pendidikan kita telah menciptakan anak- anak yang sekedar “rancak di labuah- sekedar bagus pada penampilan”  yang sekedar cakep pada penampilan, smart book but poor life skill.
Hal yang berbeda dengan orang tua di Amerika- bukan bermaksud untuk memuji bangsa Amerika- mereka adalah orang tua yang memahami konsep parenting. Perkawinan di sana punya sarat bahwa semua calon pengantin sebelum menikah musti mengikuti kursus parenting- bagaimana menjadi orang tua yang ideal. Orang tua yang bertanggung jawab dalam mendidik dan menumbuhkan anak- anak yang berkualitas.
Hampir semua orang tua di sana tahu dengan peran mereka. Orang tua sebagai educator, dan guru di sekolah sebagai teacher. Educator berarti pendidik dan teacher berarti pengajar. Orang tua sebagai educator akan menumbuh kembangkan prilaku dan tanggung jawab anak. Individu yang baik adalah individu yang tahu dengan tanggung jawab mereka.
Al-hasil setiap anggota keluarga tahu dengan job description (pembagian tugas) mereka. Setiap orang di rumah punya tugas dan tanggung jawab masing- masing. Ayah dan ibu ikut melibatkan anak dalam aktifitas di rumah dan mendorong anak untuk juga aktif dalam sosial. Hingga sekolah dan rumah- rumah di Amerika menciptakan anak-anak yang smart book and smart street.
Anak- anak di Indonesia berlomba-lomba buat belajar smart agar kelak mampu menuju perguruan tinggi terbaik. Mereka sudah terbiasa dengan belajar dan belajar demi kualitas akademik- hingga mereka menjadi smart book, dan itu juga sangat penting. Namun proses kehidupan membuat mereka menjadi miskin dengan smart street atau life skill.
Karena memiliki skor akademik yang bagus, pada akhirnya mereka mampu menerobos perguruan tinggi terbaik. Mereka kemudian mengikuti proses perkualiahan hingga tamat dan wisuda. Namun semua universitas tidak memberikan sebuah jabatan dan pekerjaan yang basah buat mereka sebagai sarjana baru, kecuali hanya memberikan selembar janji dalam bentuk ijazah dan transkrip nilai.
Selepas itu bagi sarjana yang miskin smart street dan tidak punya life skill akan dilanda oleh ketidak berdayaan dan kegalauan akademik. Mereka berusaha bertahan buat menunggu datangnya “job- fair” tahun berikutnya atau mengirim lamaran demi lamaran ke daerah yang jauh darim kampung halaman. Mau pulang kampung ahhhhh enggan. Biarlah dulu menghabiskan masa hingga usia merangkak tua.
Anak- anak di sekolah sana, saat masih di level SLTA telah punya pilihan karir yang jelas. Pembinaan dan pilihan karir mereka sangat jelas. Jadi mereka memilih perguruan tinggi tidak secara menerabas atau hantam kromo. Memilih jurusan dan perguruan tinggi bukan sekedar ikut-ikutan atau gengsi- gengsian. Di sana tidak ada fenomena memfavoritekan suatu jurusan dan perguruan tinggi secara berlebihan.
Proses belajar di sekolah dan perkuliahan di perguruan tinggi telah menggiring anak- anak untuk menjadi smart book dan smart street. Kemudian semua orang yang mengerti dengan konsep parenting juga telah menjadi guru terbaik bagi anak- anak mereka, hingga juga ikut mendorong mereka menjadi generasi yang cerdas dengan buku, cerdas di lapangan, berani, punya nyali dan punya rasa tanggung jawab.
Kualitas pendidikan kita di tanah air, apakah di sekolah berlabel unggul, apalagi di sekolah biasa- biasa saja mendidik anak menjadi cerdas. Namun cerdas mereka mungkin baru sebatas cerdas di tingkat sekolah, tingkat, kecamatan, atau kota. Hanya segelitir saja yang cedas berkualitas propinsi apa lagi cerdas di level nasional. Sementara pendidikan di sana, juga di negara maju lainnya, seperti di Singapura, Jepang, Eropa, anak- anak belajar untuk menjadi generasi cerdas tingkat nasional, dan kapan perlu cerdas untuk tingkat internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

if you have comments on my writings so let me know them

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...