Senin, 11 Desember 2017

Mengikuti Program Pertukaran Pelajar Ke Luar Negeri



 Mengikuti Program Pertukaran Pelajar Ke Luar Negeri

Terinspirasi Untuk Ikut Pertukaran Pelajar
Mengikuti proram pertukar pelajar ke manca negara adalah program yang banyak diminati oleh pelajar dari seluruh pelosok Indonesia. Beberapa bentuk program tersebut seperti: AFS (American Field Service), Yes (Youth Exchange Studies), dan Jenesys (program ke Jepang) masing-masing untuk satu tahun, namun juga ada program Jenesys untuk dua minggu.
Program ini terbatas untuk beberapa orang saja. Program ini tentu saja cukup bergengsi sehingga peminat yang ingin mengikutinya  harus punya persiapan yang matang agar bisa menang dalam seleksi. Tulisan ini merupakan- Sepenggal Pengalaman Mengikuti Program Pertukaran Pelajar Ke Luar Negeri- tersinspirasi oleh pengalaman Miftahul Khairi (17 tahun), seorang pelajar dari  salah satu SMA di kota Bukittinggi.       
Miftahul Khairi beruntung bisa mengikuti program pertukaran pelajar Yes (Youth Exchange Studies) di Amerika Serikat yang juga disebut dengan negara “Uncle Sam” atau “Paman Sam”. Tentu saja Miftahul (yang biasanya juga dipanggil “Ari”) terlebih dahulu melakukan persiapan yang cukup matang sehingga bisa mengikuti program Program Yes ini dan tinggal serta belajar di Amerika Serikat dengan orangtua angkat selama satu tahun.
Seperti remaja pada umumnya, Ari terlihat sebagai remaja yang rajin tapi kadang-kadang juga suka hangout-nya. Di rumah, dia terbiasa membantu orangtuanya- mengisi bak air, mencuci motor, merapikan rumah, membantu pekerjaan ayah, dll. Dia suka belajar- telah mandiri dalam belajar. Ari punya banyak teman dan juga suka berolahraga. Dia juga suka main game on-line namun tidak sampai ketagihan.
”Apa alasan mengapa kamu tertarik mengikuti program pertukaran pelajar ke Amerika, Ari?”
Ari menjawab bahwa bisa memenangkan persaingan program pertukaran pelajar ke Amerika merupakan sebuah kesempatan yang langka dan sangat berharga. Karena kita akan bisa memperoleh soft-skill kaliber internasional dan keberanian internasional dan kita pun juga akan bisa menjadi seseorang yang bermental internasional. Kita akan bisa bergaul dan bertukar cerita dengan banyak orang selama di sana.
Suatu hari kakak temannya Ari yang baru saja kembali mengikuti program pertukaran pelajar di luar negeri berbagi cerita dengan Ari sehingga rasa ingin tahu dan motivasi Ari juga muncul. Faktor lain yang mendorong Ari ingin mengikuti program ini adalah karena ingin melihat dan merasakan tentang bagaimana budaya orang lain dan juga ingin merasakan pengalaman baru tinggal di Amerika.
Ia memperoleh informasi bahwa peserta yang kemungkinan akan lulus dalam program American Field Service ini mereka yang selain mampu berkomunikasi dalam Bahasa Inggris juga memiliki pengalaman leadership dan aktif dalam organisasi. Ia sendiri juga aktif dalam organisasi di sekolah dan organisasi di sekitar rumah- kegiatan bertetangga. Ia harus memiliki banyak wawasan, setiap hari mengikuti berita-berita dan mencatat semua issue berita pada buku catatan khusus.
Kadang-kadang Ari juga pergi ke internet untuk melakukan browsing tentang berita terkini dari seluruh pelosok Indonesia dan dari seantaro dunia- misal tentang global warming, migrasi, perang saudara, kekurangan bahan pangan dunia, tentang proliferasi nuklir, tentang cloning, tentang kematian Michael Jackson, tentang perkawinan kaum homo seks, dan lain-lain. 
Ari melompat hampir setinggi langit, riang gembira karena dinyatakan lulus dalam mengikuti seleksi pertukaran pelajar tersebut. Ia mengatakan bahwa :
Preparation is mother of successfulness”.
Tentu saja persiapan Ari yang lain, selain kemahiran dalam bahasa Inggris, adalah juga dalam hal berdebat, menguasai kesenian dan life skill lain- ia belajar memasak gulai dan rendang Padang.
Ari juga belajar tari Minang, silat Minang, masakan Minang, dan juga membaca buku-buku tetang budaya Indonesia secara keseluruhan karena Ari kelak adalah menjadi duta bangsa di luar negeri. Kebiasaaan berdebat sangat penting dalam membentuk mental yang kuat dan berani, sebab program pertukaran pelajar tidak perlu menjadi anak manis yang serba penurut, patuh tapi susah dalam berkomunikasi.
Ari bebagi cerita bahwa saat itu ada sekitar 600-an peminat program pertukaran pelajar dari seluruh Sumatera Barat dan juga mungkin dari Riau. Yang ia ambil adalah program YES (Youth Exchange Studies) dan yang diambil dari seluruh pelamar hanya 5 orang. Ari termasuk satu dari lima orang yang beruntung. Seleksi program ini meliputi test tertulis, wawancara dalam bahasa Inggris, wawancara non Bahasa Inggris tentang pengetahuan umum, wawasan lain, kepribadian, penilaian individu tentang kerja kelompok atau team-work.

Tip dan Trick Agar Lolos Seleksi
Tip dan trick agar menang dalam seleksi program pertukaran pelajar tersebut adalah “be your self- jadilah dirimu sendiri !!!”. Penilaian dengan skor rendah selama aktifitas team work adalah kalau seseorang memperlihatkan sikap hiperaktif, suka memonopoli, egois dan adanya kesan arrogant atau angkuh. Selanjutnya karakter yang tinggi skor penilaiannya adalah untuk  karakter cooperative, leadership, dan kreatif.
Tipe “be yourself” yang disenangi oleh program pertukaran pelajar. Setiap orang harus menjadi dirinya sendiri untuk semua karakter- ada yang agak pendiam, suka usil, humoris, dll. Yang dinilai tidak hanya cerdas, ramah, cooperative, leadership dan kreatif, tetapi juga harus bersifat “out going, easy going dan humoris”.
“Apa yang kamu rasakan begitu kamu dinyatakan lulus dalam seleksi?”
Kelima peserta yang lulus kemungkinan “feeling between belive or not believe” kalau mereka lulus, kemudian merasa excited dan mulai membuat seribu impian dan sejuta andai, “Kalau…. Kalau….kalau…., saya akan…..”. Mereka juga ingin tahu tentang seperti apa sih USA itu. Pokoknya ada harapan yang begitu tinggi dengan sejuta mimpi. Namun kemudian bercampur dengan emosi kesedihan. Sedih karena harus berpisah dengan keluarga, sedih berpisah dengan teman dan sedih kehilangan waktu- tertunda belajar  di sekolah selama satu tahun.
“Apa persiapan kamu menuju negara Amerika Serikat?”
Selain faktor bahasa dan pengetahuan budaya juga harus menyiapkan logistik. Menyiapkan pakaian yang digunakan seperlunya, buku-buku yang diperlukan , paspor, visa dan souvenir. Sekali lagi karena pertukaran pelajar adalah juga berarti pertukaran budaya, maka peserta juga harus punya persiapan yaitu pengetahuan tentang budaya. Jadinya Ari belajar tari, belajar seruling, belajar gitar dan lagu daerah.
Sebelum keberangkatan ke negara tujuan maka semua peserta yang lolos seleksi dari seluruh Indonesia berkumpul di Jakarrta, tentu saja diantarkan oleh orangtua. Mereka diberi program orientasi- pembekalan untuk mengenal negeri orang dan mengenal negeri sendiri. Mereka memperoleh materi pelajaran CCU atau “Cross Culture Understanding- pemahaman lintas budaya”. Dan setelah itu acara Talent Show- penampilan bakat- yang disuguhkan buat orangtua peserta yang baru saja mengantarkan anak-anak mereka untuk program pertukaran pelajar.
“Bagaimana perasaan kamu saat terbang melintasi samudra pasifik?”
 Peserta program AFS dan Yes tidak terbang melintasi samudra Pasifik. Itulah kondisi pesawat GIA- Garuda Indonesia Airways- saat Ari terbang (beberapa tahun lalu)  belum memperoleh izin untuk mendarat di bandara Eropa, karena diangap kurang memenuhi standard keselamatan dan mungkin karena pesawat sudah agak tua (maaf), maka peserta terbang dengan MAS (Malaysia Airline System) dari Jakarta ke Kuala Lumpur selama dua jam. Dari Kuala Lumpur terbang lama selama 12 jam dengan pesawat menuju Frankfurt. Hari terasa selalu siang selama 12 jam karena pesawat terbang menyonsong matahari. Agar bisa tidur maka pilot menyarankan agar menutup semua jendela pesawat dan sebagian penumpang bisa tidur.
“Oh ya kalau sekarang mungkin sudah ada izin mendaran pesawat Garuda ke Eropa, karena GIA sudah melakukan perbaikan manajemen”.
Peserta pertukaran pemuda transit di Frankfurt. Bandaranya sangat rapi, bersih dan udaranya bearoma harum sehingga setiap pengunjung merasa dimanja. Kemuian peserta terbang dengan pesawat United Airline menuju Washington, DC selama 7 jam melintasi samudra Atlantik. Peserta menjadi too excited karena sudah begitu dekat dengan negara Paman Sam, tetapi bercampur degan emosi kesedihan “ada yang menangis” karena sudah terasa begitu jauh dari tanah air dan dari mama dan papa tercinta.
“Apa kesan kamu melihat orang-orang dalam pesawat terbang moderen?”
Bule-bule dalam pesawat umumnya tampak sibuk dengan diri sendiri, sibuk dengan laptop, sibuk dengan phone cell, sibuk membaca, atau tidur. Sementara orang-orang kita- peserta yang dinyataan menang dan lulus selesi pertukaran pelajar- terlihat sibuk dengan orang lain. Mengurus orang lain, sibuk ngobrol, sibuk tersenyum. Di sinilah beda kepribadian individualitas dan masyarakat sosial. Dalam masyarakat barat atau budaya individu terkesan bahwa “no personal space”.
Akhirnya pesawat United Airline mendarat di bandara Washington DC. Sebelum menyebar maka peserta YES diberi orientasi tentang way of life di USA. Program Yes adalah program scholarship penuh dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat yang disediakan buat pelajar atau pemuda dari negara muslim. Makanya kegiatan orientasi di Washington juga ada pelajar dari Malaysia, Arab, Mesir, Turki, dan negara-negara muslim lainnya. Program Yes didirikan setelah adanya tragedi peledakan gedung WTC (World Trade Centre) oleh teroris, dan rakyat USA saat ini memendam rasa marah pada masyarakat muslim dunia. Maka untuk mengenal agama Islam dan masyarakat muslim, USA mengundang para pelajar muslim melalui program Yes tersebut.
Semua peserta Yes disebar ke 50 negara bagian Amerika Serikat dan tidak ada pelajar yang sebangsa tinggal bersama dalam satu tempat. Ari ditempatkan di kota Mineappolis, negara bagian Minnessota. Minneapolis adalah juga termasuk kota pelajar, ibarat Yogyakarta. Kota ini termasuk kota menengah dan di sana ada Universitas St. Cloud dan di kota ini Ari tinggal dengan Host Family.
“Apa yang kamu lakukan Ari, pertama kali tinggal dengan host familly?”
Semua peserta pasti melakukan adaptasi. Adaptasi dengan bahasa, budaya, makanan, pendidikan dan bagaimana supaya bisa “fit with new famiy and new culture”. Walaupun peserta sudah yakin memiliki bahasa Inggris yang baik namun kadang kala masih kurang mengerti dengan bahasa Inggris penduduk setempat, karena mereka berbicara cepat dan accent berbeda.
Untuk memahami komunikasi maka peserta mengandalkan (memahami) eye contact dan body laguage. Tentang makanan, masakan Indonesia lebih mengutamakan taste and flavour, sementara masakan Amerika lebih mengutamakan nilai gizi, walau sering kurang pas menurut lidah orang Indonesia.
“bagaimana pengalaman kamu tentang sekolah di sana?”
Sistem sekolah di sana juga berbeda dengan Indonesia. Di sana pelajar choose own class dan untuk tingkat SMA mereka tidak memakai seragam, tetapi free clothes. Dalam kelas terdapat banyak tempelan-tempelan yang memberi info kepada siswa/pelajar. Kertas yang ditempel selalu di-update, tidak dibiarkan terpajang selama berbulan-bulan, apa lagi tempelan selama bertahun-tahun.
Pendidikan di sekolah kita “guru-guru terlalu banyak ngomong”, namun di USA gaya pembelajaran bersifat memberi “explanation, practicing, dan pemahaman concept”. Maka pembelajaran di Amerika bercirikan banyak simulasi, game dan pemberian reward pada siswa seperi permen dan coklat- walau materi berharga kecil namun barnilai besar. Di Indonesia materi pembelajaran terlalu padat dan siswa disuguhi dan harus menghafal banyak materi. Namun tugas-tugas sekolah di sana juga banyak.

Perbedaan Pengalaman Belajar
Ari secara langsung melihat dan merasakan pebedaan pembelajaran di sana dengan di kampungnya sendiri (di Sumatera Barat). Di kelas Amerika, guru-guru memajang nilai yang diperoleh siswa dan selalu mengupdatenya, tiap kali ada penilaian. Suasana pembelajaran kadang-kadang juga lewat menonton dan membahasnya, misalnya dalam kelas politik (atau KWN- kewarga negaraan). Dalam pembelajaran ini ada kalanya juga dengan bermain peran, ada yang berperan sebagai presiden, anggota parlemen, sebagai pengacara, sebagai narapidana, dll.
Pelajaran seni di Indonesia lebih sudah berciri “praktek”. Di Amerika malah lebih banyak praktek, misal ada kelas memahat, kelas menjahit, kelas membuat keramik, dll.
Ada kesan dari kebisaaan pelajar di Indonesia, kalau pulang sekolah merea buru-buru pergi les, les matematik, les bahasa Inggris, kimia, fisika dan les komputer. Namun para pelajar Amerika tidak demikian, pulang sekolah cenderung pergi berolah raga- mengikuti team basket, team bola kaki, atletik. Makanya tubuh pelajar di sana terbentuk lebih sehat dan kuat. Penduduk di sana sangat mencintai kegiatan olah raga. Oleh karena itu mereka terkesan berani dan agresif (maksudnya-sangat aktif)  dalam bekerja dan bersosial. Inilah dampak positif dari kebisaaan berolah raga bagi masyarakat Amerika.
Kemudian masih dalam hal olah raga,  bahwa di sana selalu ada kompetisi antara sekolah. Tingginya semangat berolah raga dalam sekolah dan dalam masyarakat membuat self-believe, life skill, team work, hard work, dan self determination mereka sangat tinggi dan sudah menjadi karakter mereka. Di USA, orang tidak melihat status atau “kamu anak siapa(?)”.
Bahwa semua orang sama-sama punya kesempatan untuk maju. Seorang guru tidak membandingkan latar belakang siswanya apakah dari orangtua miskin, kaya, kulit putih, kulit berwarna, katolik atau non katolik dalam peniaian dan dalam pelayanan (tentu ini juga bergantung pada karakter seseorang).
Umumnya siswa di sana memiliki “self determination” menentukan sikap untuk masa depan mereka, makanya pelajar di sana sudah membayangkan apa yang akan mereka kerjakan kelak bila sudah dewasa. Kalau mereka tidak memiliki self determination- menentukan arah diri sendiri, maka itu berarti mereka “gagal dalam hidup”.
“Di negeri kita anak yang dipandang baik adalah sweet-kid (anak manis) yaitu patuh, menjadi pendengar yang baik, penurut dan rajin”. Di negara Amerika Serikat, jarang sekali orang dengan karakter “sweet kid”anak yang patuh dan penurut. Semua orang berkarakter “assertive-  yaitu: say what you feel” dan tidak ada istilah bahasa yang berbelit-belit atau berbasa basi. Tentang hal ini antara Indonesia dan Amerika tentu berlaku istilah  different fish different pond- lain lubuk lain ikannya”. Jadi pola berkomunikasi di Amerika adalah berkarakter clear, direct communication dan tidak berbelit-belit”.
“Bagaimana tentang appellation atau panggilan?”
Ari cukup memanggil nama saja untuk host family (orangtua angkat) dan pada gurunya. Bagi mereka ini menandakan closeness- kedekatan. Sementara di Sumatera Barat “Panggilan” disesuaikan dengan empat tingkat kata: kata mendaki, kata menurun, kata mendatar, dan kata melereng. Ada yang panggil adik, uni, uda, ibu, etek, sumando, menantu, dan lain-lain”.
Keluarga Amerika menerapkan berbagi kerja dalam mengurus tugas rumah. Walaupun di sana sudah serba mesin. Dan hukuman buat pelanggaran yang dilakukan oleh seorang anak yang diterapkan oleh host family atau orang-orang lain adalah “grounded punishment”. Misalnya seorang anak melanggar peraturan rumah maka selama seminggu  Phone Cellnya, Lap topnya, MP 3 nya disita, fasilitas buat dia dicabut, dan tidak boleh keluar rumah sehingga mendatangkan efek rasa bosan dan akhirnya menjadi jera.
Sementara hukum spangking “melampang (dalam bahasa Minang)” atau menampar pantat anak tidak ada lagi. Apalagi hukuman fisik sampai menempeleng kepala, mencambuk kaki anak, menjewer telinga dan hukuman fisik lain.  sudah lama ditinggalkan karena bisa dipandang bertetangan dengan hak azazi manusia. Pelaksanaan hukum tergantung pada karakter pribadi, karena juga ada orangtua yang menganiaya dan sampai menelantarkan anak mereka.

Lain Indonesia, Lain Amerika
“Bagaimana teman-teman mu di Sekolah Amerika dalam memandang negerimu- Indonesia?”
Ternyata banyak pelajar di sana yang buta dengan informasi budaya dan informasi geografi tentang negara lain, termasuk tentang Indonesia. Mereka masih memandang Indonesia sebagai negara yang jauh tertinggal atau primitive, sehingga muncul pertanyaan yang lucu-lucu.
“Apa kamu pernah makan daging orang utan…? Apa kamu tinggal dalam goa atau di atas pohon kayu besar?”
Orang di negara Paman Sam yang sudah tahu tentang geografi internasional, memandang Indonesia sebagai negara yang indah apalagi orang di sana menyukai derah tropis, menyukai warna kulit yang terbakar matahari sebagai “sun tanned skin” sebagai lambang kulit yang sehat makanya orang di sana gemar berjemur saat musim panas. Orang di sana juga menyukai budaya Indonesia seperti tari dan kreasi seni, karena di sana tidak ada tari atau seni seperti yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Mereka juga memandang orang Indonesia sebagai bangsa yang hospitality- ramah tamah.
Host family memandang Ari sebagai remaja yang riang, lucu, dan smart. Di sekolah Ari sangat jago dengan pelajaran matematika dan umumnya anak-anak Asia jago di sekolah. Ternyata pelajaran Indonesia lebih tinggi- Ari sering kali tampil ke depan dalam mata pelajaran matematika, namun kita hanya kaya dengan hafalan dan mereka kaya dengan praktek. Jadinya di Indonesia, banyak yang memperoleh juara olimpiade, kalau mereka hanya sebatas juara karena hafal konsep dan teori namun tidak punya soft-skill, pengalaman dan keberanian maka akhirnya mereka selalu stagnant atau jalan di tempat.
Di mata mereka bahwa Ari adalah anak yang suka membantu, suka memotret-motret, hospitality dan smart. Walau Bahasa Inggris Ari terasa sudah bagus tetapi di telinga mereka bahasa Inggrisnya terkesan lucu dan enak untuk didengar, ibarat kita mendengar mereka berbahasa Indonesia dengan aksen yang cadel.
Suasana kehidupan sosial di daerah perkotaan terasa sangat individu, mungkin sama juga dengan kondisi di kota besar Indonesia. Namun di country side- di pedesaan agak sama dengan di desa Indonesia- juga ada suasana bersosial yang tinggi.
“Bagaimana dengan pola bersahabat atau berteman di sana?”
Beda tentang berteman, kalau di Indonesia seorang remaja mengenal “a lot of close friend”, namun di sana remaja mengenal “few close friends”. Di mata mereka bahwa keramah tamahan itu hanya  sebatas  memperlihatkan kebaikan saja. Di sana remaja aktif  mencari teman yag memiliki minat yang sama, misal dalam bidang olah raga dan musik. .     
“Bagaimana tentang hubungan orangtua dan anak di Amrik?”
 Hubungan orangtua dan anak di sana, ya sama dengan kondisi keluarga demokrasi di Indonesia. Mereka memberi anak “freedom to choose” tetapi tetap selalu ada nasehat-nasehat. Anak-anak di sana diajar untuk mandiri dan banyak remaja melakukan kerja “part time”- kerja paroh waktu di swalayan, street construction, di restorant fast food.
‘Tentang UMR?”
UMR (Upah Minimum Regional) di negara kita hitungannya adalah per-bulan, sementara di sana per-jam. UMR-nya adalah 7.25 Dollar Amerika atau setara dengan Rp. 82.000. Namun mereka dibatasi kerja perminggu oleh undang-undang. Untuk memperoleh kerja part time, mereka harus menulis resume atau lamaran. Hasil pendapatan part time mereka tabung untuk kepentingan berlibur, jalan-jalan ke luar negeri, untuk beli mobil, untuk membantu uang kuliah dan membeli barang yang mereka butuhkan. Part time diberikan untuk remaja minimal usia 16 tahun.
“Setelah kamu berada di Amerika, bagaimana kamu melihat Indonesia dari arah luar seperti dari Amerika Serika?”.
 Ari merasa bangga sebagai bangsa Indonesia karena alamnya cantik apalagi Ari juga dipandang oleh orang sana termasuk remaja yang creative, dan kulitnya dianggap bagus. Apalagi ada persaan emosional, bangga atas nilai kebersamaan yang ada di Indonesia, kemudian Indonesia juga sangat kaya dengan ragam budaya dan seni.
Orang Amerika kagum dengan anak-anak Indonesia karena kecil-kecil sudah mahir berbahasa Inggris, mereka saja hanya bisa berbahasa Inggris (bahasa Ibu) dan mempelajari bahasa asing seperti bahasa Perancis, bahasa Spanyol dan bahasa Jerman hanya saat duduk di bangku SMA saja. Tentang jurusan favorit di universitas ya sama fenomenanya dengan di Indonesia, mereka menyukai jurusan ekonomi, jurusan kedokteran, bisnis, hukum dan tekhnik atau engineering.
Mengikuti program pertukaran pelajar di luar negeri, walau kehilangnan waktu belajar selama satu tahun, namun di sana Ari juga belajar di SMA Amerika dan juga memperoleh ijazah atau sertifikat tanda tamat belajar yang nilainya sama dengan diploma satu untuk Indonesia, dengan diploma tersebut Ari pun bisa melamar kuliah di jurusan yag menggunakan bahasa Inggris di universitas Indonesia. Saat sebelum mengikuti pertukaran pelajar, Ari terlihat sebagai anak yang manis- baik dan patuh. Namun setelah mengikuti program pertukaran pelajar selama setahun, rasa nasionalismenya bertambah, semangat bekerja dan belajar lebih progresif seperti anak anak di Amerika dan kemandirian dan self determination Ari juga lebih meningkat.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

if you have comments on my writings so let me know them

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...