Selasa, 23 Januari 2018

Hidup Tidak Sebatas Berteori Tetapi Butuh Proses

Hidup Tidak Sebatas Berteori Tetapi Butuh Proses

Hidup Butuh Proses
            Membaca buku biografi bermanfaat untuk memperkaya pengalaman jiwa kita. Misalnya membaca biografi para tokoh politik, pendidikan, wirausaha, dll. Dengan membaca biografi mereka kita jadi tahu bagaimana proses kehidupan mereka. Yaitu apa dan bagaimana peristiwa demi peristiwa terjadi dalam kehidupan. Proses kehidupan yang baik akan membentuk pribadi seseorang jadi hebat, hidup tidak sebatas berteori tetapi butuh proses.
Saya juga menyenangi buku biografi- salah satunya adalah tentang biografi tentang Ciputra. St. Sularto (2010), memamparkan biografi Ciputra dengan gaya bahasa yang mudah buat dicerna. Dia memaparkan biografinya secara ringkas.
Ciputra memulai hidupnya dengan sebuah mimpi yang kecil, dan kemudian dia punya mimpi yang lebih besar. Saat usianya 30 tahun dia telah mewujudkan mimpinya. Dalam usia yang relatif sangat muda dia menjadi direktur perusahaan Pt. Pembangunan Jaya. Buat ukuran generasi muda zaman sekarang perjalanan hidup Ciputra sangat luar biasa.
Ciputra betul-betul mengawali jalan hidupnya dari kondisi uncomfort zone- suasana rumah yang jauh dari suasana nyaman. Suasana uncomfort zone tersebut terjadi karena cobaan hidup yang menimpa keluarganya.
Memasuki masa remaja, sekitar zaman perang dunia ke-2, saat tinggal di Sulawesi Tengah, ia kehilangan ayahnya yang tercinta. Ia menyaksikan tentara Jepang menyeret ayahnya dan memisahkan dari keluarga. Ayahnya dituduh sebagai mata-mata Belanda dan dijebloskan ke dalam penjara. Ayahnya meninggal dalam tahanan Jepang, namun hingga sekarang dia tidak mengetahui kuburan ayahnya.
            Ia tidak saja kehilangan ayah, namun juga kehilangan mata pencarian. Toko kelontong sebagai sumber rezki, sumber keuangan yang telah dirintis ayahnya buat menghidupi keluarga juga hancur. Sejak itu mereka (ia dan keluarganya) jatuh miskin. Masa remaja yang seharusnya ceria, ia lalui dengan penuh suasana suram.
            Fenomena umum adalah bahwa orang miskin jarang diperhitungkan keberadaanya. Mereka sering dilihat sebelah mata. Itu sangat dirasakan oleh Ciputra. Ia merasakan betapa tidak enaknya menjadi orang miskin, karena tidak pernah atau jarang dihargai eksistensinya oleh orang lain. Inilah pemicunya bagi Ciputra untuk segera bangkit dan mematrikan tekad “Aku harus menjadi orang kaya dan sukses”.
            Untuk menjadi kaya dan sukses akan bisa diperoleh melalui jenjang akademik dan prestasi. Makanya Ciputa juga ingin berprestasi, ia harus hidup independent (mandiri), tidak bergantung pada orang lain. Malah sebaliknya ia juga ingin bisa membantu orang lain. Untuk meraih itu semua maka Ciputra menggapainya  melalui keputusan hidup. Apa keputusan hidup yang ditempuh Ciputra?
            “Yaitu meninggalkan kampung halaman, dengan cara merantau atau hijrah”.
            Maka dia memutuskan untuk merantau ke pulau Jawa, pulau yang sejak dahulu SDM-nya lebih baik dari pulau-pulau lain di Indonesia. Niat utamanya pergi ke pulau Jawa adalah untuk menuntut ilmu, yaitu ingin masuk ke ITB.
            Apakah mustahil untuk bisa kuliah di ITB saat itu? Untuk orang-orang kebanyakan tentu saja mustahil. Transportasi menuju pulau Jawa di tahun 1940-an dan 1950-an belum lagi semudah dan senyaman zaman dirgantara sekarang. Saat itu orang-orang hanya mengandalkan kapal laut dengan jarak tempuh hitungan minggu. Begitu pula masuk ITB di tahun-tahun tersebut juga tidak semudah di zaman cyber sekarang, yang kadang kala juga banyak program-program yang membuat calon mahasiswa memperoleh kemudahan.
            Dengan berbagai tantangan dan keterbatasan maka Ciputra berhasil menjadi mahasiswa ITB. Akhirnya dia bisa mengikuti perkuliahan sebagaimana mahasiswa lainnya. Semester pertama berlalu dan datang semester ke dua.
Namun kehidupannya sebagai mahasiswa ITB tidak senyaman teman-temannya yang lain. Ketika duduk di tingkat dua ITB kiriman keuangan dari ibunya sudah terputus. Akibat kesulitan ekonomi, jadinya Ciputra memutar otaknya bagaimana untuk bisa mencari duit agar mampu membantu diri sendiri- menopang kehidupan sebagai seorang mahasiswa yang lagi dilanda kesulitan hidup.
            Sebagian teman-temannya mempunyai kecukupan uang dan mereka bisa hang-out, mengikuti kegiata ekskul, menekun hobby di bidang kesenian dan olahraga, atau meluangkan waktu untuk memadu janji dengan kekasihnya. Maka hal seperti itu sangat mustahil bagi Ciputra.
            Ia mencari kerja serabutan sambil kuliah. Ia pernah menjadi pedagang batik. Ia bukan menggelar dagangannya di pasar kakilima di kota Bandung. Namun ia mencari batik ke Bandung dan menjualnya sampai ke Medan. Selain itu ia juga sempat menjual meubel. Ia merancang gambar meubel  dan membayar tukang meubel untuk membuatkannya.
            Fenomena yang kita lihat dan dengar bahwa banyak orang yang baru merintis usaha (bisnis) bukan saat masih kuliah, namun setelah mereka wisuda, menjadi seorang sarjana. Sehingga merasa kesulitan untuk eksis. Namun Ciputra malah memulai usaha bisnis saat masih kuliah, itu karena desakan ekonomi- kesulitan biaya hidup. Maka bersama dengan temannya mereka mendirikan konsultan pembangunan yang mereka beri nama “PT Perentjanaan Djaja”.
Betul-betul kesulitan hidup- suasana uncomfort zone- memberi dampak motivasi yang dahsyat. Perusahaan yang mereka rancang tersebut masih beroperasi hingga sekarang. Agar kuliah tidak terganggu, maka Ciputra sangat ketat dengan pengelolaan waktu- yaitu time management yang bagus.
            Mengapa Ciputra memulai kemandirian hidup dan semangat entrepreneur sedini mungkin? Sekali lagi, bahwa itu karena faktor kesusahan hidup. Derita kemiskinan dan merasa tidak nyaman diremehkan orang akibat faktor kemiskinan dan juga faktor kesulitan keuangan saat kuliah di ITB. Ini semua telah menjadi bahan bakar buat menyalakan semangan juangnya.
            Semangat entrepreneurnya muncul karena ia lahir di tengah keluarga pedagang. Tidak heran kalau sejak kecil ia bisa bermain dan bergerak di antara barang dagangaan. Ia bertemu dan berkomunikasi dengan pelanggan toko sejak masa kanak-kanak. Orangtuanya telah berhasil menciptakan lingkungan enterpreneur buatnya. Nilai-nilai enterpreneurship tertanam sejak kecil, hingga remaja dan juga hingga dewasa.
            Seorang enterpreneur harus menghormati dan menghargai pelanggannya. Ciputra tahu dari ayah dan ibunya, bahwa seorang pedagang (enterpreneur) harus menghargai pelanggannya. Pribahasa umum dalam dunia perdangan mengatakan bahwa “pembeli itu adalah raja”. Pembeli harus dihargai dan dilayani dengan penuh etika. Keunggulan dalam pelayanan terwujud dalam bagaimana cara memuaskan pelanggan.
            “Apa saja yang dijual Ciputra pada waktu kecilnya?”
            Ia juga harus mampu menjual hasil pertanian untuk kehidupan keluarga sehari-hari.  Ia juga terbiasa membuat topi dari pandan dan menjual ke masyarakat. Ia tidak merasa malu atau enggan melakukannya. Begitulah cara Ciputra dalam mengisi masa remajanya, dan sekali lagi kebiasaan ini menubuhkan jiwa enterpreneurship  dalam dirinya.

Proses Menjadi Enterpreneur
            Bagaimana dengan orang-orang zaman sekarang dalam menumbuhkan jiwa enterpreneurnya? Tentu ada banyak cara yang bisa mereka lakukan. Ya utamanya dalam bentuk membaca buku-buku tentang wirausaha, juga menghadiri seminar tentar kewirausahaan. Kebanyakan yang diperoleh hanya sebatas teori demi teori tentang cara berwirausaha. Mereka umumnya buta untuk melangkah, atau juga belum punya percaya diri yang kuat untuk terjun sebagai seorang wirausahawan muda. Tetapi that is oke dari nggak pernah tahu tentang kewirausahaan sama sekali.
Lebih bagus adalah sejak usia anak-anak hingga remaja, seseorang yang ingin berwirausaha musti rajin-rajin untuk bertandang (berkunjung) ke pusat-pusat  wirausaha agar mereka keciprat semangat wirausaha. Membangun wirausaha saat masih kuliah, ini adalah awal sukses bisnisnya Ciputra. Ya saat para temannya asyik menggeluti hobby, maka Ciputra telah memulai merajut mimpinya dengan serius. Yakni untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang dibelit kesusahan finansial.
“Saya harus menjadi arsitek yang berjiwa enterpreneurial. Hasrat inilah yang akhirnya membawa keputusan saya untuk mendirikan PT Penbangunan Jaya bersama pemerintah DKI Jakarta dan beberapa pengusaha nasional. Saya bukan pasif lagi menunggu pekerjaan, tetapi aktif menciptakan pekerjaan bagi diri sendiri maupun bagi orang lain”.  Demikian papar Ciputra dalam meneguhkan dirinya.
Hidup perlu punya visi dan kita harus selalu bermimpi untuk mencapai visi tersebut. Itulah prinsip hidup Ciputra. Dalam tahun 1960-an ia mendirikan Jaya Group, dan selanjutnya tahun 1970-an ia mendirikan perusahaan Metropolitan Group bersama kawan-kawannya dari ITB. Kemudian pada tahun 1980-an ia mendirikan Ciputa Group, bukan bersama teman-temannya, namun bersama anak-anaknya sendiri.
Saya yang lagi menulis artikel ini lagi merasa bersimpati kepada seseorang yang baru saja meraih gelar sarjananya dari jurusan teknik. Ia lulusan universitas terkemuka dengan nilai sangat bagus yang telah membuat bahagia orangtuanya. Namun setelah itu ia terlihat kebingungan hendak bagaimana lagi dan hendak mau diapakan ijazah sarjananya.
Terasa kalau hanya bangga dengan nilai yang tinggi itu adalah kebanggaan yang semu. Nilai yang tinggi tak lebih hanylah sebagai hiasan pada selembar ijazah. Sarjana baru ini terlihat sangat tidak berdaya dan barangkali sarjana baru ini adalah gambaran dari sebagian sarjana baru di Indonesia yang hanya sebatas jago atau cerdas dengan kertas. Setiap hari waktunya habis dengan merunduk mengotak atik gadgetnya dan ia tidak jauh berbeda dengan anak-anak SMP dan juga anak SMA yang sedang mabuk dengan gadgetnya.
Ya sarjana baru ini hanya sebatas cerdas kertas, cerdas dengan teori. Ibarat orang yang ingin pintar main bola maka dia sudah terlalu banyak membaca buku teori bagaimana cara main bola. Yang dia butuhkan bukan teori tetapi dia butuh langsung berlatih menendang bola. Semakin banyak ia berlatih menendang bola maka akan semakin hebat ia untuk menjadi pemain profesional. Jadi yang dibutuhkan mahasiswa baru ini adalah sebuah action lagi-lagi bahwa hidup tidak sebatas berteori tetapi butuh proses.
Cukup banyak orang, lembaga, dan komunitas yang hanya sebatas  kaya dengan informasi, tetapi miskin dengan karya nyata. Hanya masyarakat yang suka bekerja yang mampu membina para remaja (generasi muda) untuk bekerja keras dan tekun. Kita harus punya cita-cita yang konkrit, dan kita perlu punya cita-cita. Cita-cita tersebut adalah visi dalam kehidupan. Dalam membangun cita-cita kita lebih banyak dipengaruhi oleh teman-teman dan orang lain dari pada orangtua kita sendiri (Torsten Husen, 1995).   
Sarjana baru yang bermental penakut ini tidak perlu lagi pendidikan, dengan arti kata belajar sebatas teori. Yang dia butuhkan adalah keberanian mental dan latihan demi latihan. Ia membutuhkan ratusan kali latihan di lapangan kerja yang nyata.
Maka berinteraksi dengan banyak orang, utamanya yang satu visi dengan kita. Kita tidak perlu merasa alergi atau merasa lebih hebat dengan orang-orang yang bukan tamatan universitas, karena bisa jadi mereka lebih hebat lewat pengalaman lapangannya. Indonesia sangat membutuhkan orang-orang yang rajin melakukan proses, berevolusi untuk meningkatkan kualitas.
Semua anak muda dan terutama para sarjana yang baru lulus dari perguruan tinggi, harus banyak melakukan proses bukan sebatas terpaku pada teori. Sekarang memperoleh pekerjaan amat sulit, namun kesempatan buat berwirausaha sangat terbuka lebar. Ciputra menyatakan bahwa wirausaha harus dimulai dari pendidikan yang bukan asal-asalan. Karena kunci utama perubahan manusia ada pada diri manusia itu sendiri. Dengan kata lain kunci utama mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan adalah dengan mendidik dan “melatih diri, dan melakukan pratek langsung sebanyak mungkin”.
Maka manusia seperti inilah yang kita sebut sebagai manusia enterpreneur. Manusia enterpreneur tidak akan jadi beban masyarakat, ia malah bisa menciptakan pekerjaan bagi orang lain. Ia akan mampu mengubah kekayaan alam dan budaya Indonesia menjadi produk yang dibutuhkan dunia. Kalau boleh jiwa enterpreneur harus dimulai lebih dini agar tumbuhnya dalam jiwa lebih kuat, kalau diperkenalkan saat sudah dewasa maka dampaknya sedikit saja. Pendidikan Amerika Serikat, misalnya, meberikan pengalaman dan latihan enterpreneurship lebih dini yakni sejak dari pendidikan dasar, dan enterpreneur memperkaya kurikulum mereka. Jadinya enterpreneur mereka lebih sukses. Kita di Indonesia juga harus berbuat demikian agar kita semua juga bisa lebih sukses, semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

if you have comments on my writings so let me know them

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...