Selasa, 23 Januari 2018

Kemampuan Akademik Dan Pengalaman Kerja Yang Berimbang

Kemampuan Akademik Dan Pengalaman Kerja Yang Berimbang

Ilmu Pengetahuan Bisa Jadi Usang
Saya sangat tertarik dengan tulisan Annie Mueller (2015) yang berjudul: work experience versus education- which lands you the best job? Pengalaman kerja versus pengalaman pendidikan- yang mana lebih banyak berpengaruh untuk meraih pekerjaan? Tulisan ini dipaparkannya dalam bentuk tinjauan analisis. Beberapa argumen yang dipaparkannya adalah seperti:
             - Pendidikan tinggi hanya membuktikan bahwa anda hanya sebatas sukses
               dalam bidang akademik, bukan dalam dunia kerja yang nyata.
             - Sukses dalam pekerjaan yang aktual (pengalaman kerja) lebih berarti
               daripada sebatas sukses dalam bidang pendidikan.
            Tinjauan analisis di atas didukung pula oleh pendapat George D Kuh (2015), dia menulis sebuah artikel dengan judul: “the chronicle of higher education”. Ia mengatakan bahwa seorang mahasiswa yang bekerja saat ia masih kuliah akan memperoleh keterampilan yang sangat berguna bagi karirnya kelak. Yaitu seperti keterampilan dalam team work dan manajemen waktu.
            George. D Kuh (2015) menambahkan bahwa para mahasiswa yang bekerja part time (kerja paroh waktu) akan membantu mereka untuk melihat dari dekat tentang nilai keterampilan hidup sesuai dengan teori yang dipelajari dalam kelas dan diapplikasikan dalam pengalaman bentuk nyata. Pengalaman tersebut juga akan punya dampak langsung dengan cita-cita atau karir yang sedang dicari.
            Ilmu pengetahuan (kemampuan akademik) yang kita miliki bisa menjadi usang atau kadaluarsa (expired), kecuali kalau selalu kita perbaharui (update) tiap saat. Gelar kesarjanaan yang diperoleh seseorang 20 tahun lalu, misalnya untuk bidang teknologi, ilmunya bisa jadi tidak begitu terpakai untuk saat ini. Kecuali kalau dia memiliki akumulasi pengalaman kerja yang relevan yang lamanya juga 20 tahun. Dengan demikian pengalaman kerja lebih punya nilai signifikan dibandingan teori yang diperoleh melalui pendidikan sebelumnya.
Sekarang banyak hal-hal lama yang telah berubah. Banyak produk dan manajemen bisnis yang juga berubah. Pada tahun 1960-an, di pergelangan tangan setiap orang nyaris hanya ada arloji “made in Switzerland”. Jam tangan buatan Swiss itu menguasai market share di atas 60%. Namun pada tahun 1980-an market share-nya tinggal 15%. Arloji Swiss tiba-tiba dihajar jam digital buatan Asia. Pada tahun 1970-an, dunia hanya mengenal rol film merek Kodak dan Fuji. Kini Kodak sudah tidak ada, sedangkan Fuji berevolusi ke dunia digital. Apa yang tengah terjadi dengan strong brand itu?   Ini adalah fenomena perubahan ini dengan istilah “Menyerang (disrupting) atau diserang (disrupted), atau fenomena disruption (Rhenald Kasali, 2017).
Disruption agaknya juga bisa terjadi dalam dunia pendidikan. Kalau biasanya mau cedas dan ingin memiliki nilai akademik yang tinggi, mereka pergi ke bimbel, namun kelak tak perlu lagi, karena mereka bisa mengakses Quipper, atau semacam applikasi bimbel (bimbingan belajar). Maka kita sangat direkomendasi untuk memahami berbagai kecendrungan- the life trendy di dunia ini yang selalu berubah- namun kita selalu bisa melatih diri agar selalu memiliki banyak pengalaman hidup ini. 
“Mana yang lebih punya pengaruh signifikan antara pengalaman kerja atau hanya sebatas mencari pengalaman akademik di sekolah/ di kampus?” Demikian paparan pro dan kontra atas pernyataan Annie Mueller (2015). Namun saya ingin menggabungkan kedua titik pandang tersebut menjadi dua kekuatan yang saat ini bermanfaat untuk menuju masa depan. “Bahwa kita perlu memiliki kemampuan akademik dan pengalaman kerja (keerampilanhidup) yang berimbang”.
Saya juga termasuk orang yang mendukung bahwa pengalaman kerja tetap lebih signifikan dari segudang teori. Saya terinspirasi dengan pengalaman hidup (biografi) orang-orang sukses, misalnya dua orang tokoh, Presiden Sukarno dengan pengalaman hidupnya yang dahsyat dan Ciputra dengan pengalaman enterpreneurnya yang yang sangat hebat.
Dari biografi mereka kita tahu bahwa kunci yang membuat mereka jadi hebat atau sukses adalah “karena mereka mempunyai proses kehidupan yang hebat”. Mereka mengalami proses belajar, proses berorganisasi, proses bersosial yang hebat, dan proses kehidupan lain yang mereka ciptakan dan mereka lakoni.

Konsep Sukses di Sekolah
            Bagaimana pendapat banyak remaja tentang apa yang perlu mereka miliki selagi masih sekolah di SLTA, atau bagi mereka yang sedang kuliah di perguruan tinggi sebagai antisipasi untuk meraih masa depan(?) Mayoritas mereka berpendapat bahwa sukses dengan pendidikan merupakan jembatan emas buat meraih mimpi. Pendapat ini mungkin juga benar.
Sekolah yang juga identik dengan dunia akademik, di sana para remaja berlomba agar bisa jadi jagoan dalam bidang akademik. Maka merekalah yang dianggap sebagai seorang yang sukses. Para remaja yang memperoleh juara kelas, juara bidang studi, juara olimpiade, hingga juara umum, ya mereka dapat dikatakan sebagai seorang hero.
            Para orangtua juga berpikiran bahwa putra-putri yang jago  dalam akademik, maka itulah yang dikatakan sukses tersebut. Jadinya mereka rela untuk membebaskan anak dari tanggung jawab ikut mengerjakan house work- membersihkan rumah, menyapu, cuci piring, menutup warung, dll- asal anak mereka bisa ikut bimbel dan melahap semua contoh-contoh soal ujian. Sebab terbayang sudah bahwa kalau sang anak mampu memperoleh ijazah dengan skor- skor yang fantastis, wow dapat dipastikan bahwa jalan toll menuju masa depan sudah terbentang. Sang anak akan melenggang kangkung buat melangkah menuju perguruan tinggi favorit dan setelah itu mimpi mereka akan menjadi kenyataan.
            Adalah fenomena sosial bahwa cukup banyak generasi muda yang telah berhasil menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi, namun terlihat kebingungan. Mereka yang telah menyandang gelar kesarjanaanya terlihat bengong- tak tahu lagi hendak mau dibawa kemana ijazah yang baru saja diterima dari perguruan tinggi(?)
Bahkan juga banyak pemuda dan pemudi yang telah menyelesaikan studi di perguruan tinggi masih memperpanjang kontrak rumah kost mereka agar bisa tinggal lebih lama dan berharap kerja favorit yang mereka impikan bisa jatuh dari langit.  Namun itu semua adalah nonsense !!!
            Karena ternyata tidak ada pekerjaan yang jatuh dari langit. Bahwa pekerjaan itu tidak akan datang mengejar kita dan juga tidak datang dengan mudah. Bahwa kitalah yang wajib mencari pekerjaan atau menciptakan suatu pekerjaan. Ya kesuksesan kerja yang hebat itu kitalah yang menciptakannya.
            Sebuah pendapat umum menyatakan bahwa kalau dahulu, 20 atau 30 tahun lalu, bila ada kelulusan 100% dari sarjana baru, maka yang 80% akan memperoleh pekerjaan, sementara yang 20% menjadi pengangguran. Mereka kemudian menjadi sarjana pencaker- pencari pekerjaan. Fenomena sosial tersebut kemudian berbalik 180 derajat untuk para sarjana hari ini. Yakni dari 100% kelulusan sarjana baru, yang 20% akan mampu memperoleh pekerjaan dan yang 80% menjadi PTT alias Pengangguran Tingkat Tinggi.
            “Siapa sih 20% dari para sarjana baru yang mampu memperoleh pekerjaan setelah lulus dari perguruan tinggi?, dari mana mereka berasal? dan apa kegiatan mereka saat di SLTA dan saat jadi mahasiswa?”
Para sarjana yang mampu memperoleh pekerjaan setelah wisuda adalah mereka yang sewaktu masih kuliah tidak terjebak sebagai mahasiswa “kupu-kupu”. Yaitu para mahasiswa yang kebanyakan hanya terfokus pada urusan akademik dan tahunya hanya “kuliah pulang- kuliah pulang”. Atau juga bukan tipe mahasiswa yang terjebak dalam karakter pasif- karakter “D-D-D-D”atau “4D” yaitu tahunya cuma “datang, duduk, dengar, diam”. Namun mereka adalah para mahasiswa yang selain aktif belajar juga ikut melibatkan diri dalam ekskul di kampus dan punya seabrek peran dalam hidup mereka.
            Juga diperkirakan bahwa para sarjana yang mampu memperoleh pekerjaan tidak lama setelah mereka wisuda adalah mereka yang saat menjadi siswa SLTA- di bangku SMA, Madrasyah dan SMK- bukan termasuk tipe siswa yang tahunya hanya jadi anak manis (anak rumahan). Yaitu siswa yang patuh, kaku, kuper, nggak punya banyak waktu buat membuka diri. Namun mereka adalah para siswa yang selain bertanggung jawab dalam belajar, juga meluangkan waktu dan pikiran dalam mengurus kegiatan OSIS di sekolah. Sementara di rumah mereka adalah juga para anak yang juga pinter buat menyenangi hati orangtua- ayah dan ibuya, serta tahu cara menempatkan peran dalam lingkungan sosial.
“Jadinya mereka juga peduli dalam mengurus diri sendiri, merapikan kamar, membantu mama di dapur, menemani papa untuk beres-beres di perkarangan rumah atau ditempat usaha, juga peduli dengan tetangga atau dengan sesama ”.
            Untuk zaman sekarang para siswa yang hanya sebatas jago dalam menaklukan buku, bisa jadi juara kelas dan juara lomba bidang akademik, namun kurang membuka diri dan juga kurang peduli dengan sesama bakal susah kebingungan buat mencari masa depan. Apalagi kalau juga susah diajak ngomong (berkomunikasi) dan susah buat bekerja sama dengan team work. Maka kepintaran mereka hanya bersifat fatamorgana semata- bisa dilihat namun tak dapat buat disentuh. Sementara nilai atau skor-skor yang tinggi pada selembar ijazah tidak akan banyak berguna bagi orang lain. Nilai yang tinggi hanya menjadi persyaratan pertama untuk lulus, untuk diterima, dll.
            “Sekarang begitu banyak pelajar yang pinter di sekolah, ya sebatas  pinter cari nilai dan miskin pengalaman hidup, setelah dewasa hanya mampu jadi wong kecil atau pekerjaan biasa-biasa saja. Sementara itu bagi yang saat remaja- sekolah di SMA/ MA yang pintarnya biasa-biasa saja, namun sangat peduli dengan sesama dan juga aktif dengan kehidupan sosial. Singkat kata dia adalah tipe orang yang cepat kaki- ringan tangan. Senang bekerja dan suka memberi bantuan pada sesama, maka setelah dewasa mereka- alhamdulillah- menjadi orang yang rata-rata tergolong sukses”.
            Kalau demikian bagaima jadinya tentang eksistensi sebuah sekolah?  Ya keberhasilan dalam hidup ini tidak hanya ditentukan semata-mata pada prestasi akademik. Prestasi akademik yang tinggi juga mutlak diperlukan bagi mereka yang juga akan berkarir dalam akademik, mungkin juga untuk menjadi mentor pada bimbel, guru dan dosen. Namun pekerjaan di luar itu sangat direkomendasi untuk memiliki nilai dan keterampilan sosial yang juga ekstra. Kemampuan akademik tidak cukup buat meraih masa depan. Jadinya mereka mutlak untuk memiliki kecakapan hidup yang lain seperti kemampuan bekerja-sama (team work), keberanian, keterampilan berkomunikasi, kemampuan manajemen, kemampuan memimpin, kemampuan beradaptasi, dll.        

Proses Jalan Hidup Presiden Sukarno
            Dari proses kehidupan bapak proklamator negara kita, Presiden Sukarno, dapat kita baca bahwa prestasi akademik dan serangkaian pengalaman sosial/ pengalaman hidupnya telah menjadi kunci utama dalam mengantarkannya menjadi orang yang hebat dalam sejarah Indonesia, bahkan juga dalam sejarah dunia. Sejak berusia masih muda Presiden Sukarno sangat gemar belajar, membaca dan berorganisasi. Ia belajar secara otodidak untuk banyak bidang. Saat dia pindah rumah maka dia membutuhkan sebuah truk untuk membawa buku-bukunya dalam berbagai bahasa. Karena ia menguasai bahasa Inggris dan Belanda secara fasih dan beberapa bahasa asing lainnya.
            Eksistensi Presiden Sukarno telah menjadi sumber inspirasi banyak orang di dunia, apalagi buat kita di Indonesia. Dia adalah tokoh yang sangat hebat. Grolier (1965) menempatkan peran kepemimpinan Sukarno sama dengan pemimpin negara sekelas dunia dan berpengaruh saat itu, seperti Kennedy, Nehru, Mao, Nasser, Tito, De Gaule, Nkrumah, dll. Dia punya pengalaman hidup yang luas dan pengalaman akademik yang hebat.    
Membaca merupakan kebiasaan positif yang selalu dilakukan Bung Karno sejak kecil. Apa alasan mengapa Bung Karno harus gemar membaca, rajin belajar dan belajar tentang segala sesuatu ? 
Didorong oleh ego yang meluap-luap untuk bisa bersaing dengan siswa-siswa bule, maka Bung Karno sangat tekun membaca, dan sangat serius dalam belajar. Ketika belajar di HBS (Hoogere Burger School) Surabaya. Dari 300 murid yang ada dan hanya 20 murid saja yang pribumi (satu di antaranya adalah Bung Karno) yang sulit menarik simpati teman-teman sekelas. Mereka memandang rendah kepada anak pribumi sebagai anak kampungan. Namun Bung Karno adalah murid yang hebat sehingga satu atau dua guru menaruh rasa simpati padanya.
Rasa simpati gurunya, membuat Bung Karno bisa memperoleh fasilitas yang  lebih untuk “mengacak-acak atau memanfaatkan” perpustakaan dan membaca segala buku, baik yang ia gemari maupun yang tidak ia sukai. Umumnya buku ditulis dalam bahasa Belanda. Problem berbahasa Belanda menghambat rasa haus ilmunya (membaca buku yang ditulis dalam bahasa Belanda).
Entah strategi apa yang ia peroleh secara kebetulan, namun Bung Karno punya jalan pintas (cara cepat) dalam menguasai bahasa Belanda. Bung karno menjadi akrab dengan noni Belanda sebagai kekasihnya. Berkomunikasi langsung dalam bahasa asing (Bahasa Belanda) adalah cara praktis untuk lekas mahir berbahasa Belanda. Mien Hessels, adalah salah satu kekasih Bung Karno yang berkebangsaan Belanda.
Dalam usia 16 tahun, Bung Karno fasih berbahasa dan membaca dalam Bahasa Belanda. Ia sudah membaca karya besar orang-orang besar dunia. Di antaranya dalah Thomas Jefferson dengan bukunya Declaration of Independence. Bung Karno muda, juga mengkaji gagasan-gagasan George Washington, Paul Revere, hingga Abraham Lincoln, mereka adalah tokoh hebat dari Amerika Serikat. Tokoh pemikir bangsa lain adalah seperti Gladstone, Sidney dan Beatrice Webb juga dipelajarinya. Bung Karno juga mempelajari ‘Gerakan Buruh Inggris” dari tokoh-tokoh tadi. Bung Karno juga membaca tentang Tokoh Italia, dan ia sudah bersentuhan dengan karya Mazzini, Cavour, dan Garibaldi. Tidak berhenti di situ, Bung Karno bahkan sudah menelan habis ajaran Karl Marx, Friedrich Engels, dan Lenin. Semua tokoh besar tadi, menginspirasi Bung Karno muda untuk menjadi maju dan smart.
Penelusuran atas dokumen barang-barang milik Bung Karno di Istana Negara, yang diinventarisasi oleh aparat Negara yang ditemukan setelah ia digulingkan. Dari ribuan item miliknya, hampir 70 persen adalah buku. Sisanya adalah pakaian, lukisan, mata uang receh, dan pernak-pernik lainnya. Harta Bung Karno yang terbesar memang buku.
Dari biografinya (Sukarno: An Autobiography) diketahui bahwa betapa dalam setiap pengasingan dirinya, baik dari Jakarta ke Ende, dari Ende ke Bengkulu, maupun dari Bengkulu kembali ke Jakarta, maka bagian terbesar dari barang-barang bawaannya adalah buku. Semua itu, belum termasuk buku-buku yang dirampas dan dimusnahkan penguasa penjajah. Apa muara dari proses belajar sepanjang hidup yang sangat kreatif adalah mengantarkan Bung Karno menjadi Presiden yang pernah memperoleh 26 gelar Doktor Honoris Causa. Jumlah gelar doktor yang ia terima dari seluruh penjuru dunia, 26 gelar doktor HC yang  rinciannya, 19 dari luar negeri, 7 dari dalam negeri. Ia memperoleh gelar doctor HC dari Far Eastern University, Manila: Universias Gadjah Mada,  Yogyakarta: Universitas Berlin: Universitas Budapest: Institut Teknologi Bandung: Universitas Al Azhar, Kairo: IAIN Jakarta: Universitas Muhammadiyah Jakarta: dan universitas dari negaralain seperti Amerika Serikat, Kanada, Jerman Barat, Uni Soviet, Yugoslavia, Cekoslovakia, Turki, Polandia, Brazil, Bulgaria, Rumania, Hongaria, RPA, Bolivia, Kamboja, dan Korea Utara.
Kemudian, bagaimana masa kecil dan proses kreatifitas  Bung Karno yang lain? Agaknya Bung Karno telah memiliki jiwa leadership (kepemimpinan) sejak kecil, karena apa saja yang diperbuat Bung Karno kecil, maka teman-temannya akan mengikuti. Apa saja yang diceritakan Bung Karno kecil, maka teman-teman akan patuh mendengarkannya. Oleh teman-temannya, Bung Karno bahkan dijuluki “jago”. karena gayanya yang begitu “pe de”. Itu pula yang mengakibatkan ia sering berkelahi dengan anak anak Belanda.
Ada satu karakter yang tidak berubah selama enam dasawarsa kehidupannya. Salah satunya adalah karakter pemuja seni. Ekspresinya disalurkan dengan cara mengumpulkan gambar bintang-bintang terkenal. Karena kecerdasan dan keluasan wawasannya sejak kecil maka pada usia 12 tahun, Bung Karno sudah punya gang (pasukan pengikut yang setia). Kalau Bung Karno bermain jangkrik di tengah lapangan yang berdebu, segera teman temanya mengikuti. Kalau Karno diketahui mengumpulkan prangko, mereka juga mengumpulkannya.  Kalau “gang” mereka bermain panjat pohon, maka Bung Karno akan memanjat ke dahan paling tinggi. Itu artinya, ketika jatuh Bung Karno pun jatuh paling keras daripada anak-anak yang lain. Dalam segala hal, Bung Karno selalu menjadi yang pertama mencoba. “Nasib Bung Karno adalah untuk menaklukkan, bukan untuk ditaklukkan”.
Bung karno menganut ideologi ‘berdiri di atas kaki sendiri’. Saat menjadi presiden Bung Karno dengan gagah mengejek Amerika Serikat dan negara kapitalis lainnya: “Go to hell with your aid. Persetan dengan bantuanmu!!!”
Ia mengajak negara-nega-ra sedang berkembang (baru merdeka) bersatu. Pemimpin Besar Revolusi ini juga berhasil mengge-lorakan semangat revolusi bagi bangsanya, serta menjaga keutuhan NKRI. Bung Karno juga memiliki slogan yang kuat yaitu “gantungkan cita-cita setinggi bintang untuk membawa rakyatnya menuju kehidupan sejahtera, adil makmur”.
Bung Karno adalah juga orator ulung. Gejala berbahasa Bung Karno merupakan fenomena langka yang mengundang kagum banyak orang. Kemahirannya menggunakan bahasa dengan segala macam gayanya berhubungan dengan kepribadiannya dan latihan latihan berpidato yang ia lakukan. Ketika masih belajar Bung Karno sering berlatih berpidato sendirian di depan kaca dan juga berbicara di depan gang nya.  Bung Karno juga gemar menuliskan opini-opininya dalam bentuk artikel. Kumpulan tulisannya dengan judul “Dibawah Bendera Revolusi”, dua jilid. Jilid pertama boleh dikatakan paling menarik dan paling penting karena mewakili diri Soekarno sebagai Soekarno. Tulisanya yang lain dengan judul “Nasionalis-me, Islamisme, dan Marxisme” adalah paling menarik dan mungkin paling penting sebagai titik-tolak dalam upaya memahami Soekarno dalam gelora masa mudanya (Cindy Adams, 1965).
Apa yang dapat kita jadikan I’tibar (pembelajaran) dari uraian di atas (dari kehidupan Bung Karno) dan kita hubungkan dengan cara belajar dan gaya hidupm kita ? Bahwa membaca adalah kebiasaan positif yang perlu selalu dilakukan. Sebagaimana halnya Bung Karno membaca buku-buku berbahasa asing (bahasa Belanda). Untuk membuat bahasa asingnya lancar adalah dengan  mempraktekan (menggunakan) bahasa tersebut dengan orang yang mahir (pribumi maupun orang asing). Setelah lancar berbahasa asing/ bahasa Belanda, ia tidak cepat merasa puas dan berhenti belajar. Ia malah membaca biografi tokoh tokoh besar di dunia dan juga buku buku berpengaruh di dunia sehingga ia memiliki wawasan dan cara pandang yang luas.
Untuk menjadi sukses maka juga perlu punya prinsip hidup “mandiri atau berdikari- berdiri pada kaki sendiri”. Jangan terlaku suka untuk mencari bantuan. Kemudian juga penting untuk mengembangkan pergaulan/ teman yang banyak untuk melakukan proses bertukar fikiran. Juga penting untuk melatih jiwa pemimpin- bukan jiwa penurut, pasif atau pendengar abadi.
Selanjutnya bahwa juga penting mengembang kemampuan berbicara/ berpidato lewat latihan sendiri dan berpidato didepan kelompok. Kemampuan berbicara/ berpito perlu didukung oleh kemampun menulis, karena membuat pidatio punya kharismatik dan menarik. Ini dapat dikembangkan melalui latihan demi latihan. Inilah top secret dari proses hidup Presiden Sukarno sehingga dia bisa menjadi inspirasi bagi kita dan bagi dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

if you have comments on my writings so let me know them

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...