Selasa, 23 Januari 2018

Pentingnya Cerdas Buku Dan Cerdas Di Lapangan

Pentingnya Cerdas Buku Dan Cerdas Di Lapangan

Berburu Label “Smart
Kata “smart” sudah begitu familiar di telinga para  remaja. Karena mereka sering menemukan banyak kegiatan yang memakai kata smart seperti: smart kid, smart group, smart house, smart mom. Kegiatan yang menggunakan kata smart sangat disenangi oleh masyarakat luas, terutama para orangtua. Mengapa demikian?
Karena  mereka ingin anak-anak mereka bisa untuk menjadi anak-anak yang cerdas (smart kids) dengan demikian mereka memburu label-label smart. Masyarakat luas juga banyak yang memburu tempat-tempat yang punya label “smart”, seperti: smart English, smart math, smart dance, smart music, dll.
Benar-benar kata smart sudah tersemat di hati. Kata ini malah menjadi branding yang fenomena  dalam dunia bisnis, dunia edukasi, dan aktivitas dalam kehidupan sosial lainnya. Jadinya bermunculan berbagai frase seperti: smart book, smart phone, smart technology,  smart street, think smart and work hard, dll.
            Kata smart berarti cerdas. Smart book berarti cerdas dengan buku. Seorang siswa yang mampu melahap semua buku teks dengan tuntas maka dia adalah orang yang smart book. Apa saja yang dibaca bisa semua masuk ke dalam pemahamannya. Bila mengikuti ulangan harian (UH) maka ia mampu memperoleh skor yang tinggi.
Sementara itu, smart street bukan berarti cerdas di jalan raya. Smart street berarti seseorang yang pintar-pintar dalam hidup, tahu menempatkan diri, mampu memahami perasaan orang lain, mampu berkomunikasi, dll. Remaja yang smart street adalah remaja yang memiliki life skill atau kecerdasan hidup.
            Para remaja yang belajar di sekolah kalau hanya sebatas terfokus dengan bidang akademik maka mereka dikatakan hanya sebatas menjadi smart academic atau juga sebagai smart book. Ya hanya sebatas  jagoan dengan buku-buku. Fenomena begitu sangat banyak di dunia pendidikan. 
Ini adalah pengalaman seorang tour leader yang berhubungan dengan para siswa yang hanya sebatas smart  book dan juga smart street. Pemandu wisata ini memimpin perjalanan wisata satu grup siswa dari sebuah sekolah favorit. Para siswanya terkenal sangat cerdas, nilai akademik mereka sangat bagus, bila ada lomba maka mereka sering menyabet hadiah. Jadinya mereka diberi label “rombongan siswa yang smart book.”
Perjalanan wisata mereka cukup jauh, dari Sumatra terus ke pulau Jawa. Melintasi berbagai kota di pulau Jawa dan suatu ketika mereka berhenti di sebuah  rest area dan setelah itu pergi shopping  di sebuah mall megah-dengan bangunan besar berlantai enam .
Namun para siswa yang hanya sebatas smart book tersesat dalam mall yang gede dan tidak tahu bagaima harus keluar buat berkumpul ke dalam bis wisata yang telah menunggu cukup lama. Mereka menjadi panik- dan kehilangan akal. Tentu saja tour leader butuh waktu cukup lama untuk membantu mereka agar bisa keluar dari mall dan berkumpul dalam bis wisata. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Ya tentu saja karena mereka punya nyali yang kecil, kurang bisa mengambil keputusan sendiri karena sering serba diarahkan. Mereka juga minim dengan pengalaman di luar rumah, kurang memahami liku-liku jalan di alam ini atau kurang paham dengan smart street sehingga bermasalah dalam sepenggal kehidupan nyata. Bila liburan mereka lebih suka berkurung di rumah dan larut dengan gadget saja. 
Sementara itu teman teman mereka yang berasal dari sekolah yang tidak begitu populer juga pernah melakukan kunjungan wisata. Rombongan wisata siswa tersebut juga pernah dibawa tour leader yang sama, dan juga bekerja sama dengan sekolah mereka.
Tour leader juga mendesain paket wisata, mereka melewati rute yang sama, berhenti pada sebuah rest area dan mengunjungi sebuah mall besar buat shopping. Namun tidak satu orang pun yang menelpon karena merasa tersesat jalan. Semua mampu mengembara dalam mall dan keluar mall. Namun mereka juga tidak mematuhi peraturan perjalanan, karena mereka tidak sempat membaca peraturan. Dan mereka adalah para siswa yang kurang bersahabat dengan buku, banyak bermasalah dengan tugas-tugas sekolah. Jadinya mereka keluyuran dan susah buat berkumpul dalam bis wisata. Ini pula problem dengan para siswa yang sebatas smart street.
Negara kita yang sangat luas ini tidak hanya membutuhkan generasi muda yang hanya sekedar  smart book namun juga tidak begitu butuh dengan yang sekedar smart street. Yang dibutuhkan adalah para generasi yang memiliki kecerdasan yang berimbang, smart book dan smart street.

Perbedaan Kultur Berkomunikasi
            Pendidikan negara maju (seperti Amerika Serikat) dan pendidikan negara berkembang (seperti Indonesia) proses belajar-mangajarnya punya perbedaan. Perbedaan tersebut terbentuk oleh perbedaan kultur. Jalaluddin Rakhmat (1998) mengatakan perbedaan kultur dua bangsa sebagian bersifat stereotipe atau pendapat masyarakat umum yang sudah digeneralisasi. Bagaimana perbedaan kultur orang Amerika dan orang Indonesia dalam berkomunikasi?. 
Orang Amerika sejak kecil diajar untuk berkepala dingin, roman muka keras dan pikiran tenang. Dalam belajar di Amerika para siswa (mahasiswa) menghormati guru (dosen) mereka, mereka boleh memiliki pikiran sendiri, malah kadang- kadang juga boleh berdebat dengan guru atau dosen untuk menguji gagasannya. Namun dalam pergaulan antara mahasiswa dan dosen atau antara guru dan murid bersikap santai dan ramah. 
Sementara di Indonesia yang orang-orangnya terkenal ramah-tamah dalam bersosial cenderung menggunakan visualisasi dan indirect language-bahasa yang tidak langsung ke pokok permasalahan. Dalam proses belajar mereka menghormati dosen atau guru, mereka tidak terbiasa untuk berdebat karena dosen dan guru dianggap ahli, dan mahasiswa atau siswa terbiasa mencatat sebanyak mungkin. 
Kedua negara ini jadi berbeda dalam kemajuan sistem pendidikan, mutu kualitas SDM masyarakatnya, budayanya, dan dalam banyak hal. Praktek pelaksaan pendidikan  di sekolah Amerika juga sangat berbeda dengan sebagian sekolah di Indonesia. Saya menulis tentang hal ini bukan bermaksud untuk  menyanjung Amerika Serikat setinggi langit, dan merendahkan wibawa Indonesia, negara yang selalu kita cintai.
            Adalah fenomena bahwa di Indonesia semua anak didorong buat belajar dan membaca membaca sebanyak mungkin, agar mereka menjadi smart book. Kemudian campur tangan orangtua dalam mendidik yang mana mereka hanya sebatas pintar memerintah, menyuruh dan kapan perlu melarang dan marah- marah, dan berpangku tangan setelah itu.
Di sekolah anak-anak belajar, berkompetisi buat memahami dan melahap isi semua buku teks. Kapan perlu mereka juga harus menghafal semua teori, tanpa melewatkan titik dan koma-nya. Al-hasil penguasaan kognitif atau akademik mereka signifikan cukup bagus. 
            Di sebagian sekolah kita banyak remaja yang belajar cukup lama. Pagi hingga siang belajar di sekolah dan setelah pulang sekolah pergi lagi ke tempat bimbel. Mereka terbelenggu oleh urusan akademik semata. Dalam kurikulum lama- kurikulum satuan pendidinkan (Kurikulum KTSP)- dikatakan bahwa siswa belajar untuk memahami tiga aspek, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
Meski sudah ada pemaham kearah konsep afektif (sikap) dan praktek (psikomotorik), tetapi itu hanya sebatas basa-basi. Maksudnya perhatian pada pengembangan kecakapan hidup dan kecakapan sosial anak didik-atau afektif dan psikomotorik-tidak begitu banyak terasah, kecuali bagi mereka yang melebur dengan Osis.

Eksistensi Bimbingan Belajar
            Urusan akademik memang selalu nomor satu, dari pagi hingga sekitar jam tiga sore- hingga usai jam belajar buat pulang ke rumah. Setelah itu para siswa cerdas tadi pergi lagi ke tempat bimbel (bimbingan belajar).
“Cukup melelahkan pak.” Keluh seorang remaja, namun orangtuanya masih memaksa agar dia tetap belajar ekstra agar bisa memperoleh passing grade yang tinggi. Agar dia bisa jebol di jurusan yang bergengsi dan di perguruan tinggi favorit.
Ya begitulah sebahagian anak (remaja) mengeluh karena cukup lama mereka dibelenggu atau terpenjara dalam ruangan akademik. Hingga mereka pulang ke rumah dengan rasa letih dan lesu setelah senja tiba. Dan seperti itulah fenomena konsep belajar para remaja cerdas di seputar kita.
            Menambah porsi belajar melalui Bimbel sudah menjadi sebuah fenomena, terutama bagi para remaja cerdas. Apalagi ada dukungan orangtua yang punya duit cukup. Bimbel itu sendiri gedungnya sudah bertebaran di mana-mana, malah sudah dirancang ke dalam franchise education atau bisnis pendidikan. Bimbel telah menjamur dan tinggal memilih mana yang terbaik dan cocok menurut selera.
            Saat saya berusia remaja sekitar 30 tahun yang lalu, saya sering melihat orang pergi les atau kursus. Bukan untuk mengikuti kursus mata pelajaran seperti yang dilakukan oleh para siswa zaman sekarang, namun dalam bentuk les atau kursus vokasional atau kursus keterampilan seperti les menjahit, les memasak kue yang diselenggarakan oleh keluarga Tionghoa.
Juga ada les otomotif, les merangkai elektronik, hingga les main piano, biola, gitar, les menjahit dan lain-lain. Les atau kursus seperti itu membuat para remaja lebih cerdas secara non akademik. Namun kursus-kursus seperti itu sekarang sudah sangat langka, tidak terlihat lagi.
Yang menjadi femonena adalah kursus yang berhubungan dengan bidang studi UN (Ujian Nasional), yaitu  mengolah soal- soal mata pelajaran yang pokok dalam ujian nasional. Kursus dikemas dalam sebuah nama yang kita kenal dengan “bimbingan belajar”. Sekali lagi bahwa sekarang bimbingan belajar sudah melimpah dan coraknya monoton yaitu sebatas kursus buat tujuan akademik melulu.
            Antara satu Bimbel dengan Bimbel yang lain juga ada kompetisi dalam memperebutkan para siswa yang cerdas. Agar bisa meraih siswa sebanyak mungkin maka pemilik bimbel mendesain interior dan eksterior gedungnya seapik mungkin. Kapan perlu pakai spray pengharum pada ruang cantik penuh AC. Ruang belajar bimbel dengan mentor yang memiliki pribadi menarik dan performance yang anggun, semuanya bisa belajar dengan mentor pilihan.
            Para mentor bimbel yang ramah tamah, bersahabat dan pribadi hangat sering lebih mereka idolakan dari pada  guru- guru mereka sendiri di sekolah. Bisa jadi sebagian mereka sering menjumpai guru-guru mereka berwajah sewot dan berbahasa yang kurang simpatik.
Fenomena dapat terjadi pada berbagai sekolah. Bahwa pribadi mentor dan proses pembelajaran pada bimbel telah mengalahkan PBM di kelas yang kusam dengan guru yang kadang-kadang ada yang nggak bersahabat.
            Singkat cerita bahwa untuk urusan akademik atau kognitif seorang siswa menghabiskan waktu sebanyak 10 jam per hari. 8 jam di sekolah dan 2 jam di luar sekolah. Mereka sangat percaya bahwa pencapaian akademik adalah visi dan tujuan belajar mereka. Yang mereka yakini adalah kalau mereka mampu memperoleh skor akademik yang tinggi maka kelak bisa memilih jurusan yang bagus, kuliah di tempat favorit. Setelah kuliah dan wisuda mereka akan tersenyum karena bakalan berkarir di tempat yang basah, dan banjir dengan duit.
            Orangtua di rumah hanya sebatas  memahami bahwa anak perlu belajar kuat dan bersemangat agar bisa meraih skor dan rangking setinggi langit. Anak perlu memiliki prestasi akademik yang bagus. Jadinya anak-anak musti bisa belajar di sekolah favorit. Orangtua memilihkan sekolah berlabel unggul buat mereka. Mereka menyerbu sekolah berlabel unggul, sekolah model, sekolah perintis, sekolah percontohan, sekolah multi-talenta, dll.
            Memang jadi fenomena dalam masyarakat bahwa mereka senang dengan merek atau label. Sebagai contoh, mereka selalu mencari pakaian atau hal-hal yang berlabel yang hebat. Bahwa sehelai baju kaos berharga 50 ribu  perak yang ada merek “Foot Ball of Europe” lebih dikagumi dan diminati dari pada sehelai baju kaos berharga “seratus ribu perak dan kapan perlu berharga satu juta perak” namun  pada punggungnya ada tulisan “Club Sepak Bola Bintang Kecil”, ya tulisan yang labelnya tidak begitu ngetop.

Perbedaan Gaya Belajar
            Miftahul Khairi, salah seorang pelajar dari sebuah SMA Negeri di kota Bukittinggi, yang baru saja pulang dari Amerika Serikat memaparkan tentang pegalaman pribadinya. Dia baru saja menyelesaikan program pertukaran pelajar, YES- Youth Exchange Program” selama satu tahun. Dia senang sekali berbagi cerita dan pengalaman menarik tentang way of life orang Amerika dan way of life remaja kita. Ia mengatakan bahwa program pembelajaran di sekolahnya di Colorado- Amerika Serikat cukup berbeda dari sekolahnya yang di Bukittinggi.
Banyak teman-temannya yang sekolah di Bukittinggi,  juga siswa-siswa  di tempat lain di Indonesia pada terlalu sibuk dengan urusan akademik. Semua anak pada bersitungkin (asyik) pada satu tujuan akademik saja, yaitu melahap konsep dan rumus- rumus mata pelajaran. Dari pagi hingga siang  mereka belajar di sekolah reguler dan setelah itu dari sore hingga malam belajar lagi di bimbel. Pulang sekolah sudah telat  dan pulang bimbel juga sudah malam. Semua itu membuat badan terasa capek:
“Ah pengen tidur saja atau nonton saja lagi, tetapi takut kena damprat oleh mama dan papa karena dianggap sebagai anak malas”. Juga mana ada waktu lagi bagi mereka untuk ikut bersosial dengan tetangga di seputar rumah. 
Banyak saya dengar  remaja yang mengeluh merasa capek. Fisik mereka yang lesu karena asupan gizi yang salah dan tidak berimbang. Pada umumnya remaja telah merasa sebagai orang yang modern gara-gara telah mengkonsumsi jajanan cepat saji “Makanan dan Minuman Bermerek Internasional’.
Makanan dan minuman tersebut memiliki deskripsi yang panjang, memaparkan bahwa benda tersebut kaya dengan zat kimia/adiktif. Kemudian kebiasaan mengkonsumsi minuman langsung dari show-case, minuman dengan label terkesan  mewah namun tidak menjanjinkan kesan mendorong remaja untuk ikut berperilaku hidup sehat. Sekali lagi malah membuat mereka mengadoppsi life style yang mereka anggap mewah. Asupan gizi yang kurang berimbang membuat mereka jadi kurang sehat.
“Mana mungkin tubuh dan pikiran bisa jadi segar dan bugar dengan life style seperti itu”.
Demikianlan realita cara belajar dan gaya hidup sebahagian generasi sekarang. Yaitu gaya hidup yang hanya belajar buat menggapai cerdas akademik setinggi mungkin, namun mengabaikan kecerdasan non akademik. 
Di negara Paman Sam (Amerika Serikat), dikatakan bahwa bahwa remaja belajar cukup secara alami saja. Mereka tidak begitu dengan demam bimbel. Tempat bimbel itu tetap ada. Hanya para remaja yang merasa betul-betul butuh yang mampir ke sana. Tidak ada fenomena “Bimbel Zoom” atau deman bimbel yang biasanya terjadi di setiap akhir tahun akademik.
“Belajar di sekolah saja itu mereka rasakan  sudah cukup. Mereka tidak perlu lagi pergi ke bimbel,” kata Miftahul Khairi menambahkan.
Di sana guru-guru mereka di sekolah sudah cukup professional. Penampilan menarik, pribadi hangat, sangat menguasai bidang studi dan tahu cara menyajikan pelajaran dengan cara kreatif dan menyenangkan. Ruangan kelas dan lingkungan sekolah penuh dengan iklim excellent service atau layanan prima, yaitu: look, smile, greet, serve, and thank. Bisa jadi guru-guru di kelas Amerika sebagus kualitas guru-guru bimbel kita, atau malah lebih lagi. 
“Ya betul bahwa di sana kami tidak perlu pergi bimbel lagi. Dan bimbel memang ada, tapi hanya dikunjungi bagi yang betul- betul memerlukan layanan. Kebiasaan di sana, usai sekolah mereka pulang ke rumah dan selanjutnya pergi untuk menekuni hobi mereka. Bagi yang gemar berolah raga akan pergi ke lapangan, ada yang main badminton, menunggang kuda, main base ball, main cricket, juga ada yang menekuni badminton, hingga main karate, dan judo, dll . Mereka menekuninya bersungguh-sungguh dan sangat menikmati hobinya. Sehingga pada akhirnya banyak yang menjadi atlit nasional, bahkan juga menjadi atlit internasional beneran”.
Bagi yang gemar pada bidang musik dan seni, mereka pada menyerbu theater. Bagi yang tergila-gila dengan music jazz, music pop, biola, key board maka akan segera bergabung dengan ekskul untuk mendalaminya. Juga ada yang mendalami ballet hingga seni lainnya. Saat remaja mereka menekuni kesenian ini sebagai hobi, namun akhirnya- saat tumbuh dewasa-  mereka bisa berkarir pada bidang ini. Menjadi pemain biola, music, dan theater professional yang berkelas nasional dan malah berkelas internasional. 
Bagaimana dengan urusan akademik? Ya mereka juga selalu memahami dan menekuninya. Agama mereka mungkin selain Islam, namun mereka juga berbuat sesuai dengan konsep agama Islam; “man jadda wa jadda- barang siapa yang bersungguh akan berhasil”.
“Sekali lagi bahwa kualitas PBM di kelas di sekolah Amerika sebagus kualitas bimbel di kelas bimbel terbaik di negara kita, atau lebih baik lagi”.
Eksistensi orangtua di sana seperti ungkapan, yaitu “the man behind the gun.” Bagaimana baik atau buruknya sepucuk senjata ditentukan oleh orang yang memegangnya. Dengan arti kata bahwa mau menjadi apa seorang remaja juga ditentukan oleh peran dari orangtua.
Jadi orangtua juga punya peran penting dalam mendukung sukses kehidupan seorang remaja. Sebagian orangtua di negara kita- sekali lagi- hanya sebatas  memahami bahwa anak perlu menaklukan semua mata pelajaran, jago dengan akademik. Mereka sangat bersimpati dengan anak yang telah menghabiskan banyak waktu di sekolah dan di tempat bimbel agar bisa memperoleh skor akademik yang tinggi agar kelak mereka bisa kuliah di tempat yang favorit (?).  Setelah itu, seperti ilustrasi yang mereka peroleh bahwa karir cemerlang bisa datang dengan mudah.
Jadinya para orangtua bersimpati bahwa anak- anak mereka sudah cukup lelah oleh urusan akademik. Mereka tidak mau mengganggu anak lagi. Mereka berpiki bahwa anak tidak perlu lagi ikut cuci piring, cuci motor, merapikan ruang rumah, juga tidak perlu terlibat dalam kegiatan sosial di lingkungan tetangga.
Karena anak sudah begitu lelah, mereka perlu dibantu dan dilayani. Kalau perlu anak harus dimanjakan. Ada kesan bahwa pendidikan di rumah sekarang bahwa anak tidak perlu lagi dilibatkan. Dengan demikian anak jadi miskin dengan keterampilan hidup (life skill) karena tidak kenal dengan pengalaman harian; memasak, mencuci malah juga tidak tahu bagaimana orangtua mereka berbisnis.
Kasihan anak sudah letih, dan akhirnya anak memilih untuk bersenang- senang, bersantai, sibuk dengan gadget, terbenam dengan game on-line atau hanyut dengan media sosial; facebook, twitter, bbm, dan fitu lainnya. Karena sudah terlanjur suka dengan aktifitas sendiri, kurang meleburkan diri dengan tetangga atau lingkungan sosial maka sekarang lahir ribuan generasi yang kurang peduli dengan sosial. 
Orangtua mendidik dengan konsep yang salah, anak korban (ketagihan) teknologi dan hiburan, hingga pengalaman pendidikan di rumah dan di sekolah hanya menciptakan remaja yang hanya sebatas cerdas akademik namun buta dengan pengalaman harian- kurang punya life skill- dan juga kurang mampu dalam mengurus diri.
Pendidikan dengan cara begini telah menciptakan remaja yang hanya sebatas  “rancak di labuah- sebatas  bagus pada penampilan.” Ya hanya sebatas cakep pada penampilan, smart book but poor in life skill- cerdas dengan buku dan miskin dengan keterampilan hidup.
Hal yang berbeda dengan orangtua di Amerika- bukan bermaksud untuk memuji bangsa Amerika- mereka adalah orangtua yang telah memahami konsep parenting. Orangtua yang punya ilmu parenting bertanggung jawab dalam mendidik dan menumbuhkan anak- anak yang berkualitas.
Jadinya hampir semua orangtua di sana tahu dengan peran mereka. Orangtua sebagai educator, dan guru di sekolah sebagai the teacher. Educator berarti pendidik dan teacher berarti pengajar. Orangtua sebagai educator punya peran dalam menumbuh kembangkan prilaku dan tanggung jawab anak. Individu yang baik adalah individu yang tahu dengan tanggung jawab mereka.
Al-hasil setiap anggota keluarga tahu dengan job description (pembagian tugas) mereka. Setiap orang di rumah punya tugas dan tanggung jawab masing- masing. Ayah dan ibu ikut melibatkan anak dalam aktifitas di rumah dan mendorong anak untuk juga aktif dalam sosial. Hingga sekolah dan rumah-rumah di Amerika menciptakan anak-anak yang smart book and smart street.

Kritikan Kecil Buat Pendidikan Kita
Ini adalah sebuah kritikan kecil untuk proses pembelajaran di sekolah-sekolah kita. Bahwa anak-anak sekolah di negara ini berlomba-lomba buat belajar ya hanya sebatas menjadi smart-book agar kelak mereka mampu menuju perguruan tinggi terbaik. Mereka sudah terbiasa dengan belajar dan belajar demi kualitas akademik- hingga mereka menjadi smart book, dan itu juga sangat penting. Namun proses kehidupan membuat mereka menjadi miskin dengan smart street atau life skill.
Karena memiliki skor akademik yang bagus, pada akhirnya mereka mampu menerobos perguruan tinggi terbaik. Mereka kemudian mengikuti proses perkualiahan hingga tamat dan wisuda. Namun semua universitas tidak memberikan sebuah jabatan dan pekerjaan yang basah buat mereka sebagai sarjana baru, kecuali hanya memberikan selembar janji dalam bentuk ijazah dan transkrip nilai.
Selepas itu bagi sarjana yang hanya sebatas  jagoan dengan akademik namun tidak begitu smart street dan kurang punya life skill. Mereka kemudian akan dilanda oleh ketidak berdayaan dan kegalauan akademik. Tidak banyak yang dapat mereka lakukan setelah menyandang status sarjana, kecuali sebatas  berusaha bertahan buat menunggu datangnya “job- fair” seiap saat. Atau mengirim lamaran demi lamaran ke perusahaan, kantor-kantor dan ke daerah yang jauh dari kampung halaman. Mau pulang kampung ahhhhh enggan. Biarlah dulu menghabiskan waktu hingga usia merangkak tua.
Anak-anak di sekolah sana, saat masih di level SLTA telah punya self-determination (tujuan hidup sendiri) dan punya pilihan karir yang jelas. Pembinaan dan pilihan karir mereka sangat jelas. Jadi mereka memilih perguruan tinggi tidak secara menerabas atau hantam kromo. Memilih jurusan dan perguruan tinggi bukan sebatas ikut-ikutan atau gengsi-gengsian. Di sekolah-sekolah Amerika Serikat tetap ada jurusan yang favorit, namun disana tidak ada fenomena memfavoritkan suatu jurusan dan perguruan tinggi secara berlebihan.
Proses belajar di sekolah dan perkuliahan di perguruan tinggi telah menggiring anak-anak untuk menjadi smart book dan smart street. Kemudian semua orang yang mengerti dengan konsep parenting juga telah menjadi guru terbaik bagi anak-anak mereka, hingga juga ikut mendorong mereka menjadi generasi yang cerdas. Ya cerdas yang berimbang, cerdas dengan buku, cerdas di lapangan, berani, punya nyali dan punya rasa tanggung jawab.

Kualitas pendidikan kita di tanah air, apakah di sekolah berlabel unggul, apalagi di sekolah biasa-biasa saja juga bertujuan untuk mendidik para siswa untuk menjadi cerdas. Namun cerdas mereka mungkin baru sebatas cerdas di tingkat sekolah, tingkat, kecamatan, atau kota. Hanya segelitir saja yang cedas berkualitas propinsi apa lagi cerdas di level nasional. Sementara pendidikan di sana, juga di negara maju lainnya, seperti di Singapura, Jepang, Eropa, anak-anak belajar untuk menjadi generasi cerdas tingkat nasional, dan kapan perlu cerdas untuk tingkat internasional. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

if you have comments on my writings so let me know them

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...