Selasa, 01 Oktober 2019

Kecakapan Hidup Memudahkan Masa Depan


Kecakapan Hidup Memudahkan Masa Depan
Oleh: Marjohan, M.Pd

Apa Tujuan Menuntut Ilmu?
Soft skill atau kecakapan hidup adalah kemampuan (keterampilan) yang ada dalam diri kita. Kecakapan yang kita maksud adalah kemampuan dalam mengendalikan diri, dapat menerima nasehat orang lain, mampu dalam manajemen waktu, selalu berpiki positif, dll (Warni Tune S dan Intan Abdul Razak, 2016). Sebelum membahas tentang kecakapan hidup, saya akan memaparkan tentang bagaimana konsep pendidikan menurut masyarakat, khususnya menurut para remaja secara umum. 
Buat apa para remaja harus bersekolah dari kecil hingga dewasa dan selamanya? Pada umumnya mereka, terutama para siswa, tahu bahwa belajar itu sangat penting untuk mengubah nasib mereka. Mereka yakin bahwa sekolah berguna untuk membuat mereka jadi cerdas, agar kelak bisa jadi pegawai, bekerja di perusahaan besar  sehingga mudah mendapatkan duit yang banyak. Jadi mereka semua memotivasi diri untuk bersekolah yang benar. Belajar dengan sungguh- sungguh agar bisa memperoleh pekerjaan dengan mudah. Apalagi bila bekerja di tempat yang basah maka hidup akan berubah- menjadi kaya raya.
Sebagai konsekuensi maka sekolah yang puya mutu akan selalu diserbu dan diidolakan. Sekolah ini diyakini akan mampu mengubah nasib mereka. Sekolah bermutu  akan membantu mereka dalam mempersiapkan diri guna bisa jebol ke perguruan tinggi favorit:
  “Kuliah di jurusan favorit dan perguruan tinggi favorit akan bisa membuat aku menjadi orang yang hebat. Lulusan dari perguruan tinggi favorit akan gampang bagiku untuk mendapatkan pekerjaan, punya kedudukan dan punya uang yang banyak”. Demikianlah mimpi-mimpi positif yang memotivasi remaja untuk selalu belajar dengan serius. Mimpi ini dipegang teguh oleh  banyak siswa dan didukung oleh orangtua mereka.
            Bagaimana dengan eksistensi orangtua? Untuk merespon mimpi tersebut, sejak tahap awal pendidikan, mereka merancang konsep-konsep sukses buat pendidikan anak-anak mereka. Sejak dini orangtua selalu rajin merangsang daya fikir atau kognitif anak.
Kebiasaan yang begini sangat bagus karena mereka bisa diberi label sebagai orangtua yang bertanggungjawab terhadap pendidikan. Mereka adalah orangtua yang punya visi dan misi buat masa depan putra- putrinya.
Dari usia dini orangtua betul-betul peduli, mengantarkan anak ke pendidikan PAUD dan TK. Memberi dorongan semangat, pujian, dan tepuk tangan bila mereka mampu mengucapkan doa-doa, menyebutkan angka satu hingga sepuluh, dan melafalkan beberapa patah kata dalam bahasa Inggris. Decak kagum juga akan ditumpahkan bila anak-anak bisa menyanyikan lagu-lagu berbahasa Inggris.
Saat memasuki pendidikan SD, orangtua  akan merancang agenda buat mereka untuk bisa mengikuti serangkaian kursus, seperti “caslistung (membaca-menulis dan berhitung), kursus bahasa Inggris, hingga kursus sukses UN (ujian nasional).  Pokoknya sejak kelas 1 hingga kelas 6 sekolah dasar, waktu mereka akan habis di ruangan les privat.
Selanjutnya  begitu masuk ke pendidikan yang lebih tinggi, di tingkat SMP dan SMA, tentu saja beban materi pelajaran lebih berat, dan lebih sulit. Sebagian orangtua akan mencaritahu tentang cara pembelajaran dan juga penjurusan. Misalnya, bagaimana penjurusan di tingkat SMA. Banyak orangtua berpendapat bahwa jurusan sains lebih favorite karena akan memberi peluang yang luas bagi mereka bila kuliah kelak.
Lagi-lagi para orangtua akan menggiring mereka untuk bisa belajar tambahan. Orangtua memberi sugesti agar mereka menambah ilmu ke rumah guru, mendatangkan guru-guru privat atau mendaftarkan mereka pada lembaga bimbel (bimbingan belajar).
            Begitulah gambaran hari-hari anak dan remaja dihabiskan. Mereka disibukkan dan dimotivasi untuk persiapan menuju  masa depan. Adakalanya mereka didesak buat belajar tambahan bukan karena kemauan sendiri, namun untuk memperturutkan ambisi orangtua. Banyak siswa sekarang yang secara tidak langsung telah dipersiapkan menjadi manusia karbitan.
            Para siswa yang menjadi cerdas secara karbitan terbentuk karena mereka digegas menjadi siswa yang cepat mekar, mereka pun cepat matang dan akhirnya cepat menjadi layu (Dewi Utama Faizah, 2009). Para siswa yang digegas untuk cepat matang atau pintar, hidupnya diprogram secara instan sehingga karakter yang terbentuk adalah karakter karbitan. Maksudnya mereka punya karakter “tidak sabaran” yang ingin cepat-cepat untuk bisa sukses.  
            Juga merupakan sebuah fenomena bahwa ranah pendidikan telah menjadi lahan bisnis. Kita dengan mudah menemukan banyak tawaran belajar  dengan paket program instant, program cepat pintar yang sering diberi label “smart.” Membaca tawaran ini membuat banyak remaja jadi tergiur. Mereka menyerbu biro yang menerbitkan tawaran tersebut. Mereka mungkin memilih paket cepat pintar berbahasa Inggris  agar segara bisa “bercas-cis-cus”.
Budaya instan bermakna budaya yang bersifat serba terburu-buru. Benar bahwa dalam budaya ini ditawarkan resep segala sesuatu diwujudkan serba cepat, mudah dan dadakan. Contoh, untuk program belajar bahasa Inggris mahir dalam waktu 3 bulan atau 6 bulan.
Ini adalah suatu yang nonsense apalagi kalau IQ buntu. Sedangkan untuk lahir ke dunia, bayi butuh waktu 9 bulan, dan untuk jadi seorang bayi yang sempurna, dia butuh waktu 2 tahun. Yang diperlukan adalah kebiasaan selalu belajar, dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas (Mudji Sutrisno, 1994).  
Lain generasi dulu dan lain pula generasi sekarang. Banyak generasi dulu lebih terkenal dengan kemandiriannya. Mereka mencari keterampilan sendiri-sendiri. Mencari ilmu sendiri, dan juga mencari pekerjaan sendiri. Mereka menjadi smart karena usaha sendiri- usaha secara mandiri. Kontra dengan sebahagian generasi sekarang, yang akibat salah didik- banyak dibantu- menjadi generasi yang sangat tergantung pada bantuan lingkungan/ orangtua.
Penyebabnya tentu saja ayah-bunda mereka yang kurang membuat mereka mandiri. Mereka dibanjiri dengan berbagai pelayanan atau servis, jadinya mereka bisa diberi label sebagai “generasi yang suka diservis”.
Generasi servis maksudnya bahwa mereka bisa menjadi hebat dengan prestasi akademik yang tinggi bukan semata-mata murni karena kemandiriannya. Namun karena mereka banyak diprogram dan  diberi servis sejak usia dini (Rhenald Kasali, 2016).
Saat masih balita orangtua mereka mendatangkan babby-sitter buat mengurus kebutuhan mereka. Kemudian saat usia lebih besar, bersekolah di SD, dan agar tidak bermasalah dengan mata pelajaran maka orangtua menyewa (membayar) guru privat untuk datang ke rumah guna bisa menemani mereka dalam mengerjakan PR, serta menghadapi ujian-uijian lainnya di sekolah. Itu semua bertujuan agar mereka bisa menjadi bintang pelajar di sekolah.
            Saya sering mendengar pendapat orang awam dengan telinga sendiri bahwa generasi sekarang- terutama para siswa- dijuluki juga dengan “generasi anak mami”. Generasi yang begini maksudnya bahwa atas nama kasih sayang dan demi keberhasilan sekolah, maka para mami membebaskan mereka dari tuntutan ikut membantu tugas-tugas di rumah. Mereka tidak boleh ikut merapikan dan mengurus rumah- tidak boleh menyapu, cuci piring, mensetrika, memasak nasi. Itu semua biar mami yang mengerjakan, dan kalau mami punya uang lebih maka mami akan menyewa asisten rumah tangga untuk membereskan semua pekerjaan tersebut.
            Pergilah ke rumah-rumah para siswa yang orangtua mereka sangat ambisius agar mereka bisa menjadi hebat di sekolah. Disana mereka dipaksa dan dikondisikan buat belajar dan belajar sepanjang waktu. Selama berjam-jam mereka terbelenggu- duduk mengerjakan setumpuk PR dari sekolah dan juga PR dari guru bimbel. Terlihat bahwa mereka hanya terbelenggu oleh urusan akademik semata. Untuk memenuhi kebutuhan sendiri seperti: makan, pakaian dan pernak-pernik kecil lainnya, semuanya siap dilayani. Kerja mereka hanya bagaimana bisa mencapai target jadi orang pinter. Jadinya kegiatan mereka hanya belajar dan belajar, makan, nonton, dan kemudian kalau sudah bosan baru main game- online.
Apa konsekwensinya? Mereka sekarang jadi tidak punya kecakapan hidup. Saat menginjak usia remaja, duduk di bangku SMA, kecanggungan mereka semakin jelas terlihat.  Mereka hanya jadi manusia yang suka bergantung pada orangtua, kurang mandiri, kurang terbiasa mengurus diri dengan benar. Maka jadilah mereka sebagai generasi yang miskin dengan kecakapan hidup- miskin dengan pengalaman.
Tidak terbiasa melakukan hal-hal kecil, tidak mampu buat mencuci motor, membersihkan sepatu, menyapu lantai rumah, menstrika pakaian, hingga mengurus keperluan lainnya, karena semua  sudah diambil alih oleh mami atau asisten rumah tangga.
            Jadinya sebagian  mereka tidak obahnya ibarat “seorang raja kecil.” Semua kebutuhannya harus dilayani, maunya tahu beres saja. Mereka telah menjadi manusia berkarakter  instant atau sebagai manusia robot.
Mereka menjadi siswa yang pintar namun hanya karena diprogram. Didesain agar bisa pintar. Ya...pintar yang kurang bisa memberi kebaikannya yang banyak. Al-hasil untuk akademik, mereka memang mampu meraih peringkat  yang baik- peringkat 1, 2 dan 3 atau peringkat 5 besar di kelas. Namun kalau hanya sebatas prestasi akademik itu hanya bersifat fatamorgana-hanya sebatas cerdas di atas kertas.
“Bisa dilihat namun tidak terpakai.” Atau lagi-lagi nilai rapornya jadi bagus karena ayah dan bunda rajin memberi guru cendera mata, hingga sang guru merasa berutang budi atas kebaikan hati orangtua dan sebagai konsekuensi tidak berani memberikan nilai “apa adanya” atau nilai yang lebih objektif.
Memang ada para orangtua (ayah dan ibu) yang sukses dalam memprogram pendidikan sang anak hingga mejadi bintang pelajar di sekolah. Nilainya begitu cemerlang dalam rapor dan dalam ijazah. Agaknya para orangtua juga perlu memahami konsep parenting yang benar.
Bila dicermati terlihat bahwa para orangtua seolah-olah mengambil alih “peran guru dari sekolah.” Terlalu banyak porsi untuk teaching atau pengajaran. Semestinya orangtua lebih banyak porsinya untuk educating atau mendidik, yaitu seperti pembentukan kecerdasan personal dan sosial anak. Sementara peran guru lebih banyak porsinya untuk pembentukan kecerdasan  akademik atau teaching.

Jangan Hanya Sebatas Kecerdasan Akademik
Banyak remaja yang terlalu mendewa-dewakan kecerdasan otak atau kecerdasan akademik. Agaknya mereka juga perlu memahami bagaimana menumbuhkan potensi diri, misal bagaimana untuk memiliki karakter-karakter positif  seperti “peduli dengan tetangga, bisa beramah tamah, bisa berbagi dengan sesama, bisa bekerja sama dengan orang lain, terampil dalam membantu diri sendiri, tidak berkarakter individualis, dll”.
            Walau pada akhirnya mereka mampu memasuki perguruan tinggi favorit, karena perguruan tinggi juga merekrut calon mahasiswa berdasar skor  akademik. Karena kesibukan dengan dunia akademik maka secara tidak langsung menyingkirkan penumbuhan karakter-karakter positif yang kelak sangat menunjang kehidupan.
Proses perkuliahan mahasiswa masa kini juga sangat besar fokusnya untuk mencapai target agademik. Walau banyak mereka yang bisa menjadi cerdas dalam ranah akademik, itu hanya baru sebatas cerdas dengan kertas, cerdas dengan teori. Namun begitu diwisuda dan menjadi seorang sarjana baru, mereka seolah-olah terbangun dari mimpi panjangnya. Sebagian merasakan bahwa pengalaman akademik saja dari kampus belum mencukupi. Jadinya mereka  melangkah menatap kehidupan nyata penuh dengan rasa gamang.
            Sebagaimana yang ditulis oleh Ruth Callaghan (2016), mengatakan bahwa: “Employers want graduates with more than just good marks, while good grades may be the only goal for many students. Employers are looking for much more from graduates”.
            Sangat benar, bahwa umumnya mahasiswa hanya berlomba buat mencari nilai akademik setinggi mungkin, berharap bisa memperoleh nilai cumlaude untuk membuat orangtua jadi bangga. Kebiasaan ini tidak salah dan menjadi fenomena di dunia pendidikan. Realita di lapangan bahwa dunia kerja (perusahaan) lebih mencari orang-orang yang tidak hanya sebatas bernilai akademik yang bagus, namun juga harus memiliki kecakapan hidup, keterampil dan pengalaman sosial yang bervariasi.
            Ruth Callaghan (2016) lebih lanjut mengatakan bahwa banyak pimpinan perusahan yang ngetop di Australia telah berbagi pengalaman dengan  mahasiswa di berbagai universitas di Australia. Mereka mengatakan bahwa banyak mahasiswa yang yakin dengan prestasi akademik sebagai indikator satu-satunya yang ditentukan oleh dunia kerja-atau perusahaan.
Ternyata keyakinan ini salah. Memang  dalam pembelajaran di universitas yang dicari oleh para mahasiswa adalah bagaimana bisa memperoleh peringkat nilai akademik yang tinggi. Untuk masuk ke dalam dunia kerja, setelah diwisuda, yang dibutuhkan dunia kerja (oleh perusahaan) bukan hanya terbatas pada nilai akademik, namun bagaimana para kandidat juga memiliki kemampuan selain akademik tersebut, seperti:
            Leadership, communication skill, problem solving and customer service- keterampilan dalam bidang kepemimpinan, kecakapan berkomunikasi, kemampuan
dalam mengatasi masalah dan kemampuan melayani pelanggan”. Ini semuanya merupakan kriteria yang direkomendasi agar bisa dimiliki oleh mahasiswa sebagai calon pelamar kerja.     
            Jadi kriteria dunia kerja tidak banyak berhubungan dengan bagaimana tingginya nilai akademik seseorang. Kalau sebelumnya banyak pencari kerja yang meyakini bahwa perusahaan akan mencari orang yang cerdas, mampu bekerja dan nilai akademis bagus. Ternyata ini merupakan indikator yang sudah ketinggalan zaman. Karena banyak perusahaan punya kriteria tersendiri dalam melakukan rekruitmen. Rekruitmen yang dilakukan bukan rekruitmen tunggal, namun rekruitmen  yang bertahap, gunanya untuk mendapatkan personalia yang sangat cocok dengan atmosfir perusahaan.

Perlu Kecerdasan Non Akademik
Bagaimana dengan faktor-faktor kemampan non-akademik, apakah sangat berpengaruh atas kesuksesan seseorang? Jawaban ini dapat kita temui dengan membaca profil orang-orang sukses, salah satunya profil singkat Irwan Prayitno, Gubernur Sumatera Barat (periode pertama 2010-2015 dan periode kedua 2016-2021), yang mana skor IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) saat wisuda dari jururan psikologi di Universitas Indonesia tidak begitu menggembirakan. Namun  belakangan dia bisa merajut kesuksesan, hingga menjadi anggota Parlemen RI dan juga terpilih dua kali sebagai Gubernur Sumatera Barat.
Irwan Prayitno, nama lengkapnya yaitu Prof. Dr.H. Irwan Prayitno, SPsi, MSc. Ia datang dari keluarga Minangkabau. Irwan menjalani pendidikan menengah di Padang. Irwan Prayitno adalah anak pertama, memiliki tiga adik, dari orangtua yang sama-sama dosen. Jadi orangtua yang berpendidikan tinggi biasanya mampu mendidik anak yang juga cerdas dan berkualitas.
Masa kecilnya yang sering pindah-pindah telah membuat pengalaman geografi dan pengalaman adaptasi sosialnya semakin kaya. Irwan menjalani pendidikan menengah di Padang dan mulai berkecimpung di organisasi sejak SMA, menjalani dua kali kepengurusan OSIS pada tahun kedua dan ketiga di SMAN 3 Padang. Selama di SMA, ia meraih juara pertama di kelasnya dan selalu dipercayakan sebagai ketua kelas. Jadinya Irwan tidak sebatas  jago akademik, namun ia juga punya keterampilan  yang lain , yaitu peduli pada berorganisasi dan tentunya juga cakap dalam berkomunikasi.
Ternyata  orang-orang  yang sempat menjadi ketua Osis saat di SMA memiliki kemampuan leadership yang bagus dan pada umumnya sukses setelah dewasa. Ini dibuktikan pada beberapa teman. Salah seorang teman saya saat di SMA, namanya Hidayat Rusdi, pernah menjadi ketua Osis di SMA Negeri 1 Payakumbuh dan setelah dewasa ia sukses berkarir di Perusahaan Perminyakan- Pertamina.
Teman saya  yang lain, juga bernama Rusdi, tetapi Rusdi Thaib. Saat di SMA ia juga pernah menjadi Ketua Osis (di salah satu SMA di kota Solok-Sumatera Barat), dan setelah dewasa ia berkarir sebagai Dosen Pasca Sarjana Universitas Negeri Padang dan kemudian menjadi Atase Budaya di Kantor Kedutaan Besar RI- Kuala Lumpur. Jadi betapa pentingnya para siswa harus memiliki keterampilan leadership saat masih kecil atau remaja, dengan harapan setelah dewasa akan lebih mudah meraih sukses dalam kehidupan mereka.
Selanjutnya tentang Irwan Prayitno, bahwa ia sempat berkeinginan melanjutkan kuliah ke ITB bersama dengan teman-temannya. Namun, karena mempunyai masalah dengan mata, ia mengalihkan pilihan ke Universitas Indonesia. Setelah tamat SMA pada 1982, ia mendaftar ke Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Selama kuliah, selain menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan kemahasiswaan, ia banyak menghabiskan waktu di luar kampus untuk berdakwah, mengajar di beberapa SMA swasta, dan menjadi konselor di bimbingan belajar- untuk mendapatkan tambahan uang jajan. Ini mengakibatkan kuliahnya tidak lancar. Namun, menurutnya yang ia cari dalam pendidikan bukanlah nilai semata, tetapi pengembangan diri.
Saat mulai masuk perguruan tinggi, ia aktif dalam diskusi-diskusi dakwah dan perhimpunan mahasiswa. Ia pernah bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jakarta. Akhirnya Irwan mampu menyelesaikan kuliahnya pada jurusan psikologi UI, sayangnya IPK (Indeks Prestasi Kumulatifnya) cukup rendah. Karena IPK rendah, Irwan memilih tidak melamar pekerjaan di Jakarta. Ia memutuskan pulang ke Padang untuk berdakwah dan melanjutkan mengajar kursus. Sebelum mengakhiri kuliahnya, ia telah berpikir bagaimana merintis yayasan yang bergerak di bidang pendidikan.
Saat itu saya kuliah di jurusan Bahasa Inggris-IKIP Padang (sekarang menjadi UNP) dan saya juga menyibukan diri sebagai pustakawan sukarela pada Perpustakaan Masjid Al-azhar di Komplek Pendidikan IKIP dan UNAND. Di sana saya berkenalan dengan Irwan Prayitno yang sering membawa anak sulungnya. Dan saya mengira itu adalah adiknya, ternyata adalah anaknya.
Saya masih ingat bahwa pada awal karirnya, ia sempat memberi bimbingan konsultasi gratisan bagi mahasiswa yang mau kuliah melalui kegiatan amal yang diselenggarakan oleh Yayasan Amal Shaleh di Air Tawar-Padang. Yayasan ini dibimbing oleh Dr Muchtar Naim, seorang sosiolog dari Unand. Akhirnya Irwan mendirikan kegiatan bimbingan belajar dan juga menjadi aktivitas sosial yang lebih professional. Ia dan teman- teman membuat kelas-kelas kursus.
Pada 1988, kelas kursus berpindah ke Komplek PGAI, Jati. Bermula dari kursus bimbingan belajar, Irwan membentuk Yayasan Pendidikan Adzkia yang secara bertahap mewadahi taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Secara bertahap sejak 1994, Adzkia membuka jenjang perguruan tinggi, selain taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah, dan sekolah kejuruan. Dalam pembinaan anak didik, ia mencurahkan ilmu psikologi yang ditimbanya di bangku kuliah.
Perkembangan Yayasan Pendidikan Adzkia berpengaruh pada kemapanan hidupnya, mendorongnya untuk melanjutkan pendidikan. Pada tahun 1995, Irwan mengambil kuliah di Selangor, Malaysia sambil membawa serta istri dan anaknya. Namun, karena IPK rendah, lamarannya sempat beberapa kali ditolak. Teman sesama aktivis dakwah di Selangor mempertemukannya dengan Pembantu Rektor UPM (University Putra Malaysia). Kepada Prof. Hasyim Hamzah, Irwan menyatakan kesanggupan untuk menyelesaikan studi dalam tiga semester. Ia mengambil kuliah S-2 bidang pengembangan SDM (Human Resource Development) di UPM- Selangor. Tamat satu setengah tahun lebih awal dari waktu normal tiga tahun pada 1996, ia melanjutkan kuliah S-3 di kampus yang sama.
Sehari-hari di Selangor, ia harus bekerja keras mengurus keluarga. Saat itu, ia telah memiliki lima anak. Dengan istri, ia berbagi tugas karena tak ada pembantu. Irwan mengaku, di antara kegiatannya, dirinya hanya mengalokasikan sekitar 10 sampal 20 persen untuk kuliah. Kegiatan dakwahnya tetap berlanjut. Bahkan, ia menunaikan dakwah sampai ke  London, Inggris dan harus mengerjakan tugas-tugas perkuliahan dalam perjalanan di dalam mobil, pesawat, atau kereta api.
Move on yang dilakukan oleh Irwan Prayitno sangat pesat. Hidupnya mengalir, ia selalu melakukan proses hingga ia bisa menjadi Ketua Partai Keadilan propinsi Sumatra Barat, menjadi anggota DPR RI, dan terus menjadi Gubernur Sumatra Barat. Namun beberapa catatan awal hanya bertujuan bahwa Irwan Prayitno kuliah ke Universitas Indonesia bukan untuk mencari pekerjaan, namun untuk mematangkan pribadi, mengembangkan pemikiran, intelektual, mematangkan kemampuan leadership, juga kemampuan komunikasinya serta keberanian enterpreurship-nya. 
Para remaja-terutama siswa dan mahasiswa-di zaman sekarang perlu tahu bahwa betapa pentingnya memiliki kecakapan hidup dan keterampilan-keterampilan yang bervariasi. Selain memiliki kemampuan akademik juga perlu memiliki soft-skill seperti “kerjasama, ketabahan, ketangguhan, kepemimpinan (leadership), keampuan berkomunikasi, kemampuan memecahkan masalah dan pelayanan pada pelanggan”. Inilah yang dibutuhkan oleh perusahaan (dunia kerja). Juga mereka perlu tahu bahwa setiap perusahaan memiliki iklimnya  sendiri-sendiri. Ada perusahaan yang bersifat sangat formal dan menerapkan konsep hirarki, dan juga ada perusahaan yang suasananya lebih rileks dan informal.
Dunia kerja tetap selalu mencari (membutuhkan) orang yang berpribadi attraktif dan punya soft skill-keterampilan serta pengalaman yang spesifik. Untuk mengetahui ini dunia kerja akan memberikan penilaian melalui: “action oriented, willing to speak up, willing to brainstorming, and willing to have the opinion”.
Jadi dari paparan di atas dapat disimpulan, sekali lagi, bahwa soft skill-kemampuan dan pengalaman yang bervariasi akan memudahkan jalan bagi kita dalam mendapatkan karir di masa depan.  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

if you have comments on my writings so let me know them

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...