Selasa, 01 Oktober 2019

Kriteria Memilih Profesi


Kriteria Memilih Profesi
Oleh: Marjohan, M.Pd

Memilih Profesi
            Memilih profesi merupakan salah satu topik pembicaraan yang hangat di kalangan remaja. Kata lain dari profesi adalah “pekerjaan atau karir”. Selanjutnya mencari profesi juga telah terjadi sejak masa anak-anak. Bila diajukan sebuah pertanyaan pada sekelompok anak-anak:
“Bila tumbuh dewasa kelak, kalian mau jadi apa?” Maka pasti dengan berebutan dan suara lantang akan menyebutkan lusinan profesi yang bakal mereka raih bila dewasa kelak. Ada yang menjawab ingin menjadi presiden, menteri, pilot, dokter, polisi, perawat, tentara, dan beberapa profesi yang klasik lainnya yang terlintas di depan mata mereka.
            Saya juga punya profesi klasik. Saya dan saudara saya sewaktu kecil ingin menjadi “penjual ayam” dan abang saya ingin menjadi “penjual jeruk”. Kalau dijadikan dengan istilah kerennya bahwa kami berdua ingin menjadi “enterpreneur dalam bidang peternakan dan pertanian”. Kenapa demikian?
            Sewaktu kecil ayah saya sering mengajak kami pergi eksplorasi (rekreasi) ke luar kota Payakumbuh- mengunjungi temannya. Beberapa orang teman ayah begitu baik pada kami. Kami diajak ngobrol dan melihat-lihat ternak ayam dan juga memetik jeruk di kebun mereka. Ketika mau pulang teman ayah menyelipkan oleh-oleh (bingkisan) ke dalam kantong kami. Betapa baiknya teman ayah itu kepada anak kecil, sehingga kami berdua mengidolakan mereka dan kami ingin memilih profesi kelak seperti profesi yang mereka geluti.
            Seiring bergulirnya waktu saya mencari profesi buat masa depan saya. Saya ingin menjadi dokter karena saya terkesan dengan penampilan dokter yang menangani saya saat dianatar berobat ke rumah sakit oleh ibu. Sementara abang saya yang yang mengagumi profesi ABRI dan Polisi ingin menjadi polisi atau tentara. Ya dia mungkin mengikuti profesi ayah saya sebagai seorang polisi.
Setelah tamat dari bangku SMA profesi kami jadi tidak jelas. Namun saya ingin melanjutkan studi ke IPB karena ingin menjadi ahli dalam bidang pertanian, sementara abang saya ingin masuk pendidikan taruna AKABRI. Namun cita-cita kami tidak bisa kami wujudkan. Akhirnya saya memilih studi pada jurusan Bahasa Inggris dan abang saya pada teknik bangunan. Kami berdua sama-sama kuliah di IKIP Padang dan sekarang berganti nama menjadi UNP (Universitas Negeri Padang). Ya demikianlah proses pencarian profesi bagi kami berdua.
Setiap awal tahun, saya sering ikut menjadi tim rekruitmen untul menseleksi siswa baru di sekolah tempat saya berkarir (SMAN 3 Batusangkar). Ada serangkaian kegiatan yang harus dilalui para siswa baru agar bisa diterima di sekolah ini, seperti test tertulis, test pskilogi dan kegiatan wawancaa. Saya ikut mewawancarai mereka dan mengajukan sejumlah pertanyaan, seperti:
“Coba sebutkan dan jelaskan tentang cita-cita anda? Atau kelak bila sudah dewasa, anda mau jadi apa?”
Mereka memberi jawaban yang beragam. Mayoritas calon siswa menjawab bahwa mereka  ingin menjadi dokter, guru, perawat, dan lusinan profesi lain, serta sangat banyak yang ingin jadi pegawai (PNS).
“Mengapa begitu banyak yang ingin jadi PNS?”.
Setelah membalik-balik dokumen ternyata ayah dan ibu mereka mayoritas berprofesi sebagai PNS. Ada PNS sebagai guru, PNS di bidang kesehatan, perdagangan, dll. Ya beginilah jadinya kalau banyak orangtua murid yang berprofesi sebagai PNS. Sehingga anak-anak mereka juga ketularan ingin menjadi PN. Memang sebelumnya populasi PNS di negeri ini begitu berlimpah ruah, sehingga anak-anak  dan cucu mereka juga ingin menjadi PNS atau bekerja sebagai orang kantoran.
            Cita-cita ingin menjadi pegawai atau PNS lebih banyak diungkapkan oleh anak perempuan. Sementara calon siswa pria memberikan jawaban sedikit lebih bervariasi. Ada juga yang ingin menjadi dokter, juga ada yang ingin berprofesi dalam bidang teknik. Ada yang ingin berprofesi di teknik perminyakan. Dalam imajinasi mereka bahwa kalau bekerja di perusahaan perminyakan maka akan menyembur sangat banyak uang. Disamping itu juga ada yang ingin berprofesi sebagai pengusaha.
“Pengusaha di bidang apa? Namun kata pengusaha itu sendiri masih luas dan cukup abstrak.”
Mereka protes saat saya klarifikasi apakah mereka ingin berprofesi sebagai pengusaha tempe, pengusaha ayam potong, atau pengusaha bahan bangunan. Semua klarifikasi tersebut memperoleh bantahan, karena itu semua adalah pengusaha rendahan dan murahan dalam  pandangan mereka.
Terkesan dari wajah mereka bahwa pekerjaan yang hebat itu adalah pekerjaan yang mempunyai hubungan dengan mata pelajaran yang mereka anggap sangat bergengsi, mata pelajaran yang disangkut-pautkan dengan UN. Beberapa mata pelajaran yang masuk ke dalam UN adalah seperti: Kimia, fisika, matematik, biologi, akutansi, dan ekonomi.
Bahwa pilihan profesi siswa yang saya wawancarai cenderung bersifat klasik atau konvensional dan berorientasi pada akademik. Atau kalau ditanya lebih detail, maka mereka sendiri juga kebingungan untuk mendeskripsikan profesi  yang lebih spesifik (cita-cita yang lebih jelas).
Saat saya melakukan konfirmasi ulang maka lagi-lagi mereka menyebutkan profesi (cita-cita) yang masih konvensional:
“Saya ingin menjadi dokter, spesialis anak, spesialis jantung, dosen, insinyur, direktur bank,” ya.....ya.... yang ujung-ujungnya ingin menjadi  PNS, pegawai BUMN atau orang bekerja di kantoran.
Pada hal dalam kebijakan pemerintah sekarang, yaitu menghentikan buat sementara penerimaan PNS. Terhitung mulai tahun 2015 (Merdeka.com, 31 Oktober 2014). Untuk itu diharapkan para remaja untuk mencari tahu tentang bimbingan karir. Mereka musti punya self determination- ketetapan karir untuk masa depan. Buat para mahasiswa bila telah wisuda kelak harus mencari profesi selain PNS. Sangat bagus kalau mereka mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri.
Penerimaan (rekruitmen) pegawai PNS beberapa tahun-tahun sebelumnya (sekitar 20 tahun lalu) masih mudah, mahasiswa yang punya IPK tinggi akan punya kesempatan yang kuat  buat jadi PNS. Sehingga banyak mereka yang punya IPK tinggi bermimpi buat menjadi dosen. Namun sekarang tidak lagi, kalau ada yang menjadi dosen, ya tentu menjadi dosen honorer.
Maka sekarang bahwa  IPK- Indeks Prestasi Kumulatif- yang tinggi atau biasa-biasa saja hanya sebagai hiasan pada ijazah. Secara berseloroh ada yang berkomentar bahwa bahwa  IPK hanya berguna sebagai persyaratan untuk  wisuda. Jadinya semangat berwirausaha dan leadership jauh lebih berharga, namun belajar keras agar bisa memperoleh IPK yang tinggi tetap sangat mulia.

Memiliki Self Determination
            Suatu ketika saya berjumpa dengan wisatawan Malaysia- satu keluarga. Dimana salah seorang dari mereka punya ayah yang masih keturunan Indonesia, yaitu dari Kabupaten Tanah Datar (kota Batusangkar), Sumatera Barat. Ia memiliki anak laki-laki yang sangat ekspresif. Saya tertarik ngobrol dengan anak lelakinya bernama Raihan. Ia tergolong anak cerdas dan masih sekolah di Primary School di Kuala Lumpur.
Saya ingin mencari tahu tentang self determination-nya, cita-citanya di masa depan. Ternyata dia sudah punya cita-cita yang lebih spesifik tentang apa yang akan dia lakukan kelak bila sudah dewasa. Berarti dia sudah punya self determination- atau ketetapan karir. Ya karirnya tidak begitu muluk-muluk, atau sebatas  ikut-ikutan orang lain.
I want to do bussiness in culinary and I want to have my own restaurant”
“Why....???”
“Because I like to help my mom cooking and I like cooking.
 Pada mulanya saya berpikir mungkin ia bakal tertarik menjadi seorang dokter, apoteker, seorang pilot. Ya sebagaimana cita-cita anak-anak Indonesia, menyebutkan lusinan cita-cita yang klasik.
Ternyata Raihan ingin bercita-cita dalam bidang kuliner. Ia ingin memiliki restoran yang besar di kota Kuala Lumpur dan menyediakan kebutuhan kuliner berbasis masakan Asia, seperti masakan Jepang, Korea, Indonesia dan India. Restoran yang bakal dia punya juga memiliki rest area.
Mengapa ia tertarik berprofesi dalam bidang resto dengan kuliner internasional? karena Raihan suka membantu ibunya memasak masakan lezat di rumahnya di Kuala Lumpur. Cukup beda dengan cita-cita yang diungkapkan oleh para siswa negeri kita, hanya mampu menyebutkan profesi yang konvensional, atau profesi yang muluk-muluk yang mereka pungut dari sana-sini, yang mungkin jauh dari jangkauan mereka.
Memang benar, bahwa cukup banyak remaja di Indonesia, hanya mampu bercita-cita dalam illusi, yang tidak jelas, kurang spesifik dan terkesan di luar jangkauan. Satu atau dua semester setelah mereka bersekolah sebagai siswa di SMA Unggulan, saya kembali mencari tahu tentang profesi mereka.
Dan kali ini dari jawaban mereka mayoritas ingin kuliah di perguruan tinggi favorit. Dan mereka hanya mampu menyebutkan perguruan tinggi yang bertengger di pulau Jawa. Kalau ditanya mau mengapa setelah tamat dari perguruan tinggi favorit tersebut(?). Umumnya mereka terdiam, tidak tahu apa pekerjaan yang spesifik setelah itu.
Meskipun mereka termasuk  para siswa dari sekolah unggulan, namun hanya sebatas tahu untuk memburu tempat kuiah di perguruan tinggi favorit saja. Dalam pikiran mereka bahwa dibalik perguruan tinggi tersebut akan terbentang sukses dan perguruan tinggi akan memberi mereka sebuah pekerjaan yang mudah. Sehingga ada yang bercita-cita kuliah hebat dengan deretan gelar yang panjang dan gaji yang berlipat. Ya demikian pencarian cita-cita atau profesi dari banyak siswa yang selalu nggak jelas.
Suatu ketika saya berjumpa dengan grup student-exchange, ada rombongan siswa dari Jerman datang ke Batusangkar. Saya sempat bertukar cerita yang panjang dengan salah seorang siswa yang bernama Lewin Gastrich. Lewin menjelaskan tentang profesinya di masa depan. Ternyata dia sudah punya self determination atau pilihan karir di masa depan.
Ia memberi perincian atau strategi karir yang bakal dia kejar sejak dini hingga dewasa kelak. Bahwa selepas dari Secondary School di Jerman ia akan mendaftarkan diri di Akademi Penerbangan, karena ia suka terbang dan senang dengan tantangan ketinggian. Dan lebih ke depan ia akan bekerja di Badan Penerbangan Luar Angkasa.
Teknologi penerbangan luar angkasa yang sudah ia baca adalah seperti di Jerman, Perancis, NASA- di Amerika Serikat,Rusia, dan China. Ia memperkirakan bahwa yang lebih mudah untuk ia akses kelak adalah Badan Luar Angkasa dari Rusia. Namun ia terkendala dengan bahasa. Maka dari sekarang ia sangat rajin belajar Bahasa Rusia secara otodidak dengan memanfaatkan Google Rusia dan situs belajar bahasa Rusia di internet. Saya memahami bahwa cita-cita yang dipaparkan oleh Lewin Gastrich lebih jelas dan lebih terperinci untuk menggapainya.
Saya tidak bermaksud menyanjung dan memuji siswa dari Malaysia, Jerman dan dari negara lain, yang ternyata memiliki self determination. Self Determination adalah  rasa percaya bahwa individu itu bisa atau dapat mengendalikan nasibnya sendiri. Self Determination atau Penentuan Nasib sendiri adalah kombinasi dari sikap dan kemampuan yang memimpin orang – orang untuk menetapkan tujuan untuk diri mereka sendiri, dan untuk mengambil inisiatif untuk mencapai tujuan tersebut. Self Determination juga tentang bagaimana seseorang bisa menjadi lebih berwenang atau bertanggungjawab atas masa depannya (Dian Wirawan Noeraziz, 2013).
Kita berharap agar para remaja di Indonesia, apalagi dari sekolah berlabel unggul, mampu untuk mendesain cita-cita mereka. Cita-cita itu adalah tujuan dan perlu perencanaan yang lebih jelas dan lebih terarah. Mengapa siswa luar negeri memiliki cita-cita yang jelas dan para siswa di sekitar kita bingung dalam mencari profesi masa depan mereka?
            Faktor wawasan, informasi atau ilmu pengetahuan adalah sebagai faktor penentu seorang siswa bisa memiliki cita-cita atau memiliki visi dan misi di masa depan. Adalah fenomena bahwa membaca yang intensif belum menjadi budaya di kalangan masyarakat kita. Coba lihat berapa betul orang yang terbiasa membaca- berlangganan koran dan majalah. Ya betul berlangganan koran adalah sesuatu yang amat langka dalam masyarakat kita, apalagi buat berlangganan majalah.
Selanjutnya bahwa tidak begitu banyak masyarakat kita yang terbiasa membaca buku. Buku yang berkualitas menjadi hal yang langka buat kita temui di rumah-rumah masyarakat. Jadinya masyarakat kita adalah masyarakat yang minim ilmunya. Kalau kita cari tahu tentang peringkat SDM negara kita di dunia, ternyata belum begitu menggembirakan.
Sudah jadi fenomena, karena lemahnya konsep literasi. Banyak anak-anak sekolah  sejak dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi juga tidak terbiasa membaca, mereka belum merasakan betapa indahnya bersahabat dengan buku.
Kalau di Sekolah Dasar, seorang anak harus menguasai kemampuan tiga R, yaitu Reading, wRiting dan aRismetic. Untuk reading atau membaca, para siswa hanya sebatas mampu membaca satu huruf, satu kalimat, atau sebatas tahu A-Be-Ce dan De. Belum lagi sebatas mampu membaca dan menamatkan lusinan buku. Itulah jadinya anak didik tidak banyak yang memahami tokoh-tokoh kehidupan lagi. Karena mereka tidak terbiasa membaca, mereka tidak memiliki majalah lagi. Dalam zaman cyber, anak-anak tenggelam dalam permainan game on-line. Atau membaca status pada media sosial FaceBook, Twitter, BBM, dll.
“Bahwa siswa perlu memiliki cita-cita yang lebih jelas”, dalam kenyataan banyak mereka yang belum memiliki self determination. Cita-cita mereka masih ngambang, kalau kuliah, hanya sebatas memburu universitas bergengsi, setelah wisuda malah jadi bengong. Ini adalah problema bagi kita- para remaja. Suatu problema dapat disorot dari sudut “sebab dan akibat.”
Penyebab mengapa anak sekolah belum memiliki cita-cita yang jelas, adalah karena mereka memilki ekplorasi yang minim. Ekplorasi diperoleh lewat menjelajah atau mengenal lingkungan secara langsung. Namun mereka mungkin lebih suka mengurung diri di seputar rumah, kurang mengenal lingkungan yang dekat hingga lingkungan yang jauh. Program rekreasi dan eksplorasi belum menjadi agenda ke luarga. Kemudian, ekplorasi juga bisa bisa diperoleh lewat membaca, sesuai dengan pernyataan sebuah ungkah “dengan membaca buku kita bisa menjelah dunia”. Nah banyak siswa yang belum terbiasa membaca hingga jelajah mereka juga terbatas.
Karena guru dan orangtua juga terbatas wawasannya, maka mereka juga kurang mampu menjawab tantangan cita-cita buat remaja. Jadinya setiap kali seorang remaja ditanya tentang profesi:
“Apa cita-cita anda kelak?”. Maka jawabnya selalu:
“Saya mau menjadi PNS, guru, dokter, bidan, perawar, insinyur, kerja di bank.” Demikian ungkapannya, pokoknya bekerja menjadi anak buah terus. Hingga mereka belajar dan kuliah, memperoleh IPK yang tinggi tetapi selalu tertarik sebagai “Job Seeker”- pencari kerja, menjadi kerja kantoran, menjadi bawahan anak buah.
“Jadi apa yang diperlukan?”
Para siswa membutuhkan bimbingan karir atau profesi. Itulah sedikit ketinggalan dalam pendidikan kita. Di sekolah luar negeri, guru-guru dan terutama guru counseling membantu anak dalam membimbing profesi mereka. Hanya sebatas menjadi guru yang mengurus para siswa yang  bermasalah hingga selalu memasang wajah angker dan suara killer.
Di sebuah sekolah di Melbourne, yaitu Secondary College di Norwood- Melbourne, sebuah sekolah yang sempat saya kunjungi beberapa tahun lalu, di sana guru counseling adalah guru tempat curhat tentang profesi (karir) dan kehidupan bagi para siswa. Menjadi guru yang dicari, disenangi, bukan guru yang ditakuti. Guru-guru yang demikian juga banyak di Indonesia. 
Ya para siswa memang membutuhkan bimbingan karir, agar mereka punya self determination, memiliki rencana profesi yang lebih jelas. Para remaja di sekitar kita banyak yang sudah sukses dalam mengejar skor- skor yang tinggi. Mereka cukup pintar dalam belajar, mampu menjadi sang juara di kelas- menjadi juara umum. Mereka belajar serius di sekolah, rumah dan malah juga ikut kursus atau bimbel (bimbingan belajar). Namun bingung dalam mencari cita-cita.
Cita-cita klasik mereka yaitu ingin jadi presiden, jadi menteri, jadi dubes, jadi gubernur, jadi dokter, jadi tentara/ polisi, dll. Ya sebuah cita-cita dari yang tertinggi sampai yang terendah. Atau cukup banyak yang bengong dengan cita-cita. Kalau ditanya dan jawaban mereka biasanya:
“Bingung dengan masa depan, tergantung papa dan mama. Tergantung nilai raport, tergantung wali kelas, tergantung hasil ujian atau hasil Try-Out (T.O). Atau itu belum kepikir sekarang…yang penting saya harus belajar dulu”.
Karena cita-cita mereka mengambang dan kurang jelas jadinya cita-cita mereka jadi berubah-ubah. Apa efek dari cita-cita yang berubah?. Ya tentu saja pilihan jurusan berubah, pilihan gaya belajar berubah, pilihan tempat kuliah berubah. –Visi hidup juga bisa berubah.
Mereka perlu memahami pemilihan profesi. Paling kurang pemilihan profesi ala Box-Hill Institute (yang sempat saya kunjungi di Melbourne ) atau menurut  teori yang dikembangkan oleh John L. Holland. Holland dikenal sebagai pencipta model pengembangan karir ((Robert Reardon,2016). Yaitu pemilihan pekerjaan (profesi) yang merupakan hasil dari interaksi antara faktor, seperti hereditas (keturunan), pengaruh budaya, teman bergaul, orangtua, mentor atau orang dewasa yang dianggap memiliki peranan yang penting.

Tipe Pekerjaan Berdasarkan Bentuk Kepribadian
John Lewis Holland merupakan seorang Professor Sosiolog dan Psikolog di Universitas John Hopkin, Amerika Serikat. Ia terkenal sebagai pencipta model pengembangan profesi.  Setiap siswa perlu tahu bahwa ada enam tipe pribadi berdasarkan pilihan kerja (yang telah diciptakan Holland), yaitu tipe realistis, intelektual, sosial, konvensional, usaha, dan artistik (Robert Reardon,2016).
1) Tipe realistis
Ciri-cirinya yaitu; mengutamakan kejantanan, kekuatan otot, ketrampilan fisik, mempunyai kecakapan, dan koordinasi motorik yang kuat, kurang memiliki kecakapan verbal, konkrit, bekerja praktis, kurang memiliki ketrampilan sosial, serta kurang peka dalam hubungan dengan orang lain. Orang yang bertipe ini sukanya tugas-tugas yang konkrit, fisik, eksplisit/ memberikan tantangan. Untuk memecahkan masalah memerlukan gerakan, kecakapan mekanik, seringkali suka berada di luar gedung. Contoh pekerjaan: operator mesin/radio, sopir truk, petani, penerbang, supervisor bangunan, ahli listrik, dan pekerjaan lain yang sejenis.
2) Tipe intelektual
Kesukaanya adalah model pekerjaan yang bersifat akademik, kecenderungan untuk merenungk, berorientasi pada tugas, kurang suka terlibat dalam bersosial. Membutuhkan pemahaman, menyenangi tugas-tugas yang bersifat abstrak, dan kegiatan bersifat intraseptif  (keras/tegas). Sukanya tugas dengan kemampuan abstark, dan juga bersifat kreatif. Ia suka memecahkan masalah yang memerlukan intelejensi, imajinasi, peka terhadap masalah intelektual. Kriteria keberhasilan bersifat objektif dan bisa diukur, tetapi perlu waktu yang cukup lama dan bertahap. Ia tertarik pada kecakapan intelektual dari pada manual. Kecakapan menulis juga mutlak untuk dimiliki. Contoh pekerjaan: ahli fisika, ahli biologi, kimia, antropologi, matematika, pekerjaan penelitian, dan pekerjaan yang sejenis.
3) Tipe sosial
Ciri-cirinya: suka membantu orang lain, pandai bergaul dan berbicara, bersifat responsive, bertanggung jawab, punya rasa kemanusiaan, bersifat religious membutuhkan perhatian, memiliki kecakapan verbal, punya hubungan antar pribadi yang baik, menyukai kegiatan-kegiatan yang rapi dan teratur, menjauhkan bentuk pemecahan masalah secara intelektual, lebih berorientasi pada perasaan. Sukanya menginterpretasi dan mengubah perilaku manusia, serta berminat untuk berkomunikasi dengan orang lain. Contoh pekerjaan: menjadi guru, pekerja sosial, konselor, misionari, ulama, psikolog klinik, terapis, dan pekerjaan lain yang sejenis.
4) Tipe konvensional
Ciri-cirinya: kecenderungan terhadap kegiatan verbal, ia menyenangi bahasa yang tersusun dengan baik, senang dengan numerical (angka) yang teratur, menghindari situasi yang kabur atau abstrak, senang mengabdi, mengidentifikasikan diri dengan kekuasaaan, memberi nilai yang tinggi terhadap status dan materi, ketergantungan pada atasan. Sukanya proses informasi verbal dan menyukai matematik secara kontinu, suka kegiatan rutin, konkrit, dan bersifat sistematis. Contoh pekerjaan: sebagai kasir, statistika, pemegang buku, pegawai arsip, pegawai bank, dan pekerjaan lain yang sejenis.
5) Tipe usaha
Ciri-cirinya:  menggunakan ketrampilan berbicara dalam situasi dan kesempatan untuk menguasai orang atau mempengaruhi orang lain, menganggap diri paling kuat, jantan, mudah beradaptasi dengan orang lain, menyenangi tugas-tugas sosial. Menyenangi kekuasaan, status dan kepemimpinan, bersifat agresif dalam kegiatan lisan. Sukanya tugas dengan kemampuan verbal untuk mengarahkan dan mempengaruhi orang lain. Contoh pekerjaan: sebagai pedagang, politikus, manajer, pimpinan,  eksekutif perusahaan, perwakilan dagang, danpekerjaan lain yang sejenis.

6) Tipe artistik
Ciri-cirinya: senang berhubungan dengan orang lain secara tidak langsung, bersifat sosial dan suka rmenyesuaikan diri. Sukanya adalah artistik, memerlukan interpretasi atau kreasi bentuk artistik melalui cita-rasa, perasaan dan imajinai. Suka mengekspresikan diri dan menghindari keadaan yang bersifat intra-personal, suka keteraturan, atau keadaan yang menuntut ketrampilan fisik. Contoh pekerjaan: menjadi ahli musik, ahli main drama, pencipta lagu, penyair, dan pekerjaan lain yang sejenis.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa para remaja/ siswa perlu memiliki cita-cita yang lebih jelas. Untuk itu dari usia dini, mereka sudah terbiasa bereksplorasi, budaya membaca untuk menambah wawasan sangat penting bagi orangtua, guru dan siswa sendiri. Kemudian mentor, guru dan orangtua perlu memberikan bimbingan karir bagi siswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

if you have comments on my writings so let me know them

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...