Selasa, 01 Oktober 2019

Long Life Education Untuk Menggapai Hidup Berkualitas

Long Life Education Untuk Menggapai Hidup Berkualitas
Oleh: Marjohan, M.Pd

Belajar Sepanjang Umur
            Kata-kata “long life education atau belajar sepanjang kehidupan” sering didengungkan di perguruan tinggi. Saya juga sempat mendengar frasa ini saat menuntut ilmu di IKIP Padang (sekarang- UNP atau Universitas Negeri Padang). Apakah frasa ini juga digelontorkan di fakultas dan perguruan tinggi yang lain?. Tentu saja iya, bahwa  kata-kata ini juga sudah sampai ke telinga para remaja agar mereka bisa menjadi warga yang senantiasa mengaplikasikan “long life education” sebagai konsep untuk meningkatkan kualitas hidup kita.
            Konsep long life education juga dideklarasikan oleh badan pendidikan dunia- Unesco (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization). Unesco memotivasi agar warga dunia untuk selalu belajar sepanjang hayat mereka. Bukankah kehidupan ini selalu berubah dan perubahan harus diantisipasi dengan cara memiliki ilmu pengetahuan.  Agama Islam juga mengajarkan tentang prinsip long life education sebagaimana ungkapan seperti:
            “Utlubu ilman minal mahdi ilallahdi- tuntutlah ilmu dari ayunan hingga ke liang lahat. Utlubu ilman faridatan ‘ala kulli muslim- menuntut ilmu itu wajib bagi setiap orang muslim. Al ilmu amama amalu, wa amalu tabiuhu- ilmu itu memimpin di depan amal dan amal akan mengikutinya.”
Berbarengan dengan ungkapan long life education (pendidikan seumur hidup) juga ada ungkapan long life learning (pembelajaran seumur hidup). Kedua ungkapan ini sama maknanya. Konsep long life learning sangat relevan dengan tuntutan dunia pekerjaan. Konsep ini menyentuh semua generasi, dan kultur sosial-budaya. Untuk mewujudkan konsep belajar seumur hidup maka warga dunia musti mengaktifkan literasi melalui pendidikan formal dan informal, serta mempromosikan konsep demokrasi (Caroly Medel dan Anonuevo, 2002).

Pengalaman Belajar Warga Dunia
            Long life education memang sudah mendapat sambutan bagi warga dunia, terutama di negara maju, mereka selalu belajar dan belajar dalam kehidupannya. Saya membuka diri untuk pergaulan dengan orang-orang asing. Sekitar 20 tahun lalu, saya berkenalan dengan Dr Francois Brouquisse, Dr Anne Bedos dan Dr Louis Deharveng. Ke tiga warga Perancis ini telah menjadi teman saya hingga sekarang, sebelumnya mereka sempat bekerja di LIPI- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bandung. Pertemuan secara kebetulan berujung sangat menguntungkan saya terutama dalam mempelajari kultur, sosial budaya dan Bahasa Perancis. Saya jadi memahami apa dan bagaimana “prinsip otodidak” dan motivasi untuk belajar sepanjang umur atau long life education.
            Ketiga teman ini bekerja pada bidang yang berbeda, namun punya minat pada zoology. Kami berjumpa di daerah Kecamatan Lintau Buo- Kabupaten Tanah Datar- Sumatera Barat. Daerah di Pegunungan Bukit Barisan yang bentangan wilayahnya dari daerah Sijunjung, Lintau Buo hingga Halaban. Yang menarik bagi saya dari figur mereka bertiga adalah konsep hidupnya sesuai dengan moto “long life education”. Belajar sepanjang hayat ini sudah menjadi kebutuhan hidup mereka.
Mereka menghabiskan waktu liburannya di Sumatera untuk studi tentang konservasi hutan tradisionil dan zoology. Mereka melakukan eksplorasi, menyandang tas besar di punggung. Di dalam tas penuh dengan instrument penelitian dan juga buku-buku tentang sains, juga ada tentang bahasa Indonesia, adat dan way of life orang-orang Indonesia. Sebagai orang Perancis mereka jauh tahu banyak tentang Indonesia dan Bahasa Indonesia mereka cukup terpakai.
Saya sering mengikuti kegiatan mereka, melakukan survey tentang speleologie. Yaitu melakukan eksplorasi kedalam hutan dan ke dalam goa- mengobservasi eksistensi hewan-hewan kecil di dalam goa, yaitu goa “ngalau indah” di Nagari Pangian, Kec. Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar. Saya juga sempat memberikan tulisan untuk dipublikasikan pada jurnal speleologie mereka.
            Ternyata mereka bertiga juga manusia yang polyglot- yaitu orang-orang yang mampu berbicara dalam banyak bahasa. Anne Bedos dan Louis Deharveng menguasai bahasa Perancis, Inggris, dan tahu bahasa-bahasa lain, seperti bahasa Indonesia, Vietnam, dan China.
Francois Brouquisse, seorang ahli manajemen perairan, juga  memahami Bahasa Inggris, Arab, Vietnam, Bahasa Indonesia dan Bahasa China, serta bahasa ibunya- bahasa Perancis. Ia sendiri pendukung NGO Palestine D’Action di Perancis. Yaitu sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mendukung perjuangan bagsa Palestina.
Francoise adalah seorang pembaca yang hebat. Dia selalu membaca bervariasi buku saat beristirahat. Jadi beristirahat baginya bukan berarti harus duduk tenang. Namun ia beristirahat sambil membaca.
Saya sempat mengintip buku-buku yang dipegang oleh Francois Brouquisse. Untuk menguasai bahasa Indonesia, Francois melakukan prinsip “learning by doing” atau “learning by direct practicing”  hingga saya dengar Bahasa Indonesianya cukup bagus dan mudah dimengerti. Saat anak balita saya, Muhammad Fachrul, rewel dan menangis maka ia menenangkan balita saya dengan Bahasa Indonesia yang mudah dimengerti. 
            Anne Bedos adalah seorang perawat dan juga mendalami bidang zoology. Untuk menjadi warga dunia yang berkualitas maka dia mengadopsi prinsip hidup belajar seumur hidup secara naturalis. Saya pernah duduk bareng dengan Anne Bedos, Louis Deharveng dan Francoise Brouquisse sambil makan buah-buahan tropis- jambu, mangga, duku dan belimbing. Saya melihat Anne Bedos sedang makan jambu air yang baru saja dipetik. Dia memakan jambu tanpa melepas kuping jambu yang sering bersarang semut hitam. Ia membiarkan semut hitam bersarang pada lipatan jambu dan memakannya dan saya sempat berteriak:
Tu mange les fourmis dedans le jambu- Anda memakan semut semut yang bersarang dalam jambu?”
              “Ce naturalement, J’aime a manger les fournis- itu semua sangat alami, tidak masalah biar saya makan semua semut.” Anne Bedos dan dua teman Perancis tadi adalah guru saya secara langsung. Dari mereka saya jadi tahu cara belajar bahasa asing yang lain, seperti bahasa Perancis, melalui strategi berbuat atau learning by doing. Saya belajar bahasa Perancis dengan cara menuliskan semua pengalaman haris menggunakan bahasa Perancis.



Membaca Untuk Meningkatkan Kualitas Hidup
            Craig Pentland, dan saudaranya John Pentland, adalah pemuda Australia yang berjumpa dengan saya secara kebetulan di Payakumbuh tahun 1996. Dan tahun-tahun berikutnya ia (Craig Pentland) sering mengunjungi kami di Sumatra Barat. Ia juga mengadopsi prinsip long life education dalam hidupnya. Kami sering pergi menjelajah bukit, gunung dan lembah di wilayah Batusangkar hingga Payakumbuh dan pernah juga menjelajah ke dalam  sebuah lembah dekat Indarung- Padang.
Dalam ranselnya juga terdapat buku-buku tentang alam dan buku tentang sosial budaya. Sebagai orang Australia ia adalah seorang pembaca yang hebat. Ia mengisi waktu istirahatnya dengan membaca. Saya juga termotivasi dan jadi suka membaca banyak buku sejak itu. Ada kalimatnya yang saya selalu ingat, katanya:
Reading is important for having personal quality, do reading,please  don’t read all the book. See the natural phenomenon and read the book on them.Membaca sangat penting dalam membentuk kualitas diri, lakukanlah banyak membaca, namun jangan baca semua buku, perhatikan fenomena alam dan sesuaikan dengan minat anda”.
Demikian kata teman saya Craig dan saya selalu ingat kalimat ini. Bulan September 2017 kemaren kami bertemu lagi. Dia mengatur untuk berjumpa lagi di Novotel Hotel Bukittinggi. Dia dan istrinya Norjana datang lagi. Craig Pentland sudah menyelesaikan pendidikan Doktoralnya. Saya sempat membaca disertasinya dengan judul “Behavioural ecology of the black-flanked rock-wallaby, Petrogale lateralis (Craig Pentland, 2014)”.
Dalam kunjungan di bulan Oktober 2014, dia membawa buku-buku dan juga sebuah novel terjemahan dari Bahasa Indonesia. Ia membaca novel (buku) yang berjudul “the Rainbow Troop (Andrea Hirata,2013) atau Laskar Pelangi”. Dalam kunjungan ke Batusangkar, Sumatra Barat, adalah buat berlibur, namun ia selalu membawa beberapa buku untuk dibaca selama libur.
Jadi membaca buku bukan merupakan beban belajar buatnya, namun sudah menjadi kebutuhan primer ibarat kebutuhan makan, minum, pakaian dan perumahan. Sebetulnya membaca memang sebuah makanan atau minuman buat memuaskan spiritual dan pikiran yang lapar. Maka bagi orang-orang yang enggan buat membaca berarti mereka telah membiarkan selalu pikiran mereka dalam keadaan lapar.
Saya dan seorang teman, namanya Arjus Putra, seorang guru Bahasa Inggris dari SMAN 3 Batusangkar, setiap semester merancang program “English Home Stay” sebagai ekskul. Ekskul itu berguna untuk menggenjot kemampuan berbahasa Inggris para siswa kami. Beberapa resort yang sering kami pilih buat  Home Stay ini adalah daerah Danau Singkarak, Danau Maninjau, Mifan Padang Panjang, Danau Diateh di Alahan Panjang, Lembah Harau di Payakumbuh hingga pernah ke Pakan Baru, dan juga Resort Mandeh di Painan.
Home Stay kami lakukan dengan menyewa beberapa villa di lokasi wisata dan biasanya kami mengundang juga native speaker sebagai model penggunaan Bahasa Inggris buat siswa kami. Jadinya semua siswa sangat antuasias menggunakan Bahasa Inggris dengan kehadiran para bule tersebut.
Australia, negara tetangga Indonesia, merupakan negara yang menyediakan bantuan pendidikan internasional, termasuk negara kita dalam bentuk program “Australia Volunteering International.” Program ini menyediakan bantuan pembelajaran dan sumber belajar bagi guru-guru. Selain itu juga berbagi pengalaman budaya (Maureen Cane, 2015).
Tahun lalu kami mengundang John Duke dan Alexa, sepasang guru internasional asal Australia. Mereka bekerja sebagai Australian Teacher Volunteer yang kebetulan ditempatkan di kota Padang. John Duke dan Alexa sangat senang bergabung dengan “English out door activity” yang kami selenggarakan pada home stay di objek wisata Lembah Harau dekat Payakumbuh. Untuk ikut memotivasi kemamuan berbicara bahasa Inggris siswa kami mereka merancang “language game”. Tentu saja para siswa beraktivitas dengan antusias dan sangat gembira. Kegiatan home stay selama 3 hari terasa sangat singkat.
Saya memperhatikan bahwa di waktu senggang dan di waktu istirahat, kedua-duanya, John Duke dan Alexa tetap membaca buku sebagai bacaan waktu senggang- leisure time reading. Memang di negara maju ada istilah leisure time reading. Jadinya bahwa membaca adalah budaya mereka dan membaca telah merupakan bagian dari hidup mereka.
Sangat berbeda dengan eksistensi beristirahat antara kami berdua dengan mereka berdua. Kami berdua, juga sebagai guru- mungkin cukup popular untuk kota kecil di Batusangkar. Namun kami beristirahat tanpa memegang buku. Istirahat kami hanya buat tidur atau berkelakar. Istirahat mereka, John Duke dan Alexa, adalah dengan membaca. Pemodelan istirahat kami juga ditiru oleh siswa, istirahat tanpa membaca. Ya istirahat seperti kebanyakan anak-anak Indonesia, yaitu istirahat hanya sebatas tidur, otak-atik gadget/HP, menyumbat telinga dengan head-set untuk mendengar lantunan lagu, atau bergurau.
Terpikir bagi kami bahwa perintah agama yang berbunyi “iqra’ bismirabbikallazi khalaq- bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan” entah dimana dan bagaimana kami aplikasikan. Perintah agama ini hanya sebatas  bacaan saja untuk berharap pahala semata, belum lagi untuk diapplikasikan. Sebenarnya perintah agama untuk membaca tidak ditujukan buat John Duke dan Alexa, karena agama mereka bukan Islam. Namun mereka berdua membudayakan membaca sebagai budaya bangsa dan kebutuhan hidup mereka. Banyak membaca membuat kita banyak tahu, banyak tahu berarti indikator kecerdasan dan indikator itu hanya buat mereka.
Selanjutnya, apakah kebiasaan long life education sebagai kebutuhan hidup dalam wujud membaca saat beristirahat- leisure time reading- hanya ada pada budaya hidup orang Australia? Tentu saja tidak. Teman saya, Jerry Drawhorn, dari California- Amerika Serikat juga selalu membaca saat berlibur di Batusangkar dan Bukittinggi. Kemudian Eva, Guini dan Ulla Mo, tiga orang guru senior dari Swedia yang saya jumpai menghabiskan waktu  belasan jam sambil berjemur di pinggir Pulau Samosir, di Danau Toba, Sumatera Utara.
Mereka bertiga adalah tetangga saya di sebuah penginapan Lekjon di Desa Tuktuk- di Pulau Samosir. Mereka akhirnya memutuskan untuk datang ke Batusangkar melalui Bukittinggi. Seminggu setelah itu kami berjumpa di rumah saya di Batusangkar. Kami bertukar pikiran sangat banyak, termasuk tentang konsep long life education di negaranya, Swedia.
Bahwa di Swedia juga ada konsep long life education. Semua warga negara mempunyai reading time di rumah mereka dan selama musim dingin (winter)- 3 bulan setiap tahun, semua orang Swedia menghabiskan waktu buat membaca. Sehingga dalam musim dingin, mereka ibarat kepompong yang sedang membungkus diri buat belajar dan kelak setelah salju mencair, mereka menetas jadi cerdas, ibarat kupu kupu yang memancarkan warna warni dengan bentuk yang cantik.

Otokritik
Saya terkesan bahwa guru-guru dari negara maju juga suka membaca. Mereka terbiasa membaca buku sebagai wujud dari long life education. Membaca buku juga sebagai wujud self learning atau autonomy learning. Dan bagaimana fenomena guru-guru di Indonesia?
Bahwa mayoritas guru-guru di negara kita tidak suka membaca dan alergi membaca buku. Bila para guru belum menjadi model yang baik dalam gerakan literasi membaca, maka tentu akan berdampak pada minat literasi membaca siswa (Mahmood Khalil dan Zaher Accariyal, 2016).
Mereka tidak mengenal konsep long life education. Waktu-waktu istirahat mereka hanya dihabiskan tanpa membaca sehelai kertaspun. Apagi dengan istilah adanya reading time.
Ini merupakan sebuah otokritik. Sebagai guru juga perlu memberi kritik yang membangun buat profesi guru. Ya guru-guru kita kita belum mengadopsi long life education dalam hidup mereka.
Memang ada kebijakan pemerintah agar setiap guru senantiasa meningkatkan ilmu pengetahuan mereka secara mandiri. Itu pun diikuti dengan kegiatan belajar- melanjutkan pendidikan. Mengikuti penataran, workshop, seminar dan pelatihan lainnya. Memang cukup banyak guru kita yang mengikuti seminar, pelatihan, penataran, workshop. Itu hanya sebatas hadir untuk mendapatkan sehelai sertifikat buat dijadikaan portofolio untuk kenaikan pangkat. selesai dari kegiatan tersebut, memang yang diperoleh hanya sehelai kertas- sehelai sertifikat. Namun penambahan ilmu pengetahuan lewat membaca kembali tidak ada.   
Secara keseluruhan bahwa ada yang kurang terwujud dalam sistem pendidikan kita, yaitu kita tidak begitu mempersoalkan ada atau tidaknya budaya membaca. Pada banyak sekolah eksistensi perpustakaan tidak menjadi prioritas utama. Perpustakaan kita belum menjadi tempat yang menarik buat siswa dan guru.
Di zaman teknologi komunikasi dengan keberadaan gadget yang berlimpah, maka memegang gadget untuk mengotak atik permaiman lebih menarik dari pada membaca. Jadinya ada  jutaan anak didik kita buta dengan buku. Mereka tidak tertarik untuk membaca dan sehingga mereka tidak mengenal sosok tokoh-tokoh sejarah yang berguna buat cermin  kehidupan untuk memacu kualitas SDM mereka.
Demikian juga para guru. Ada jutaan guru di Indonesia juga tidak tertarik untuk membaca. Kecuali hanya sebatas membaca buku teks, jadinya jutaan guru hanya menjadi guru kurikulum, atau guru buku teks, yang tugas mereka adalah sebagai “tukang atau worker” untuk memidahkan isi buku teks ke dalam memori para siswa dengan cara yang tidak menarik. Kenapa tidak menarik? Karena mereka diajar oleh para guru yang miskin dengan wawasan sehingga mereka jauh dari keberadaan guru yang menginspirasi.
Untuk itu para siswa membutuhkan kehadiran sosok guru yang inspiratif yang memiliki banyak wawasan. Guru inspiratif adalah guru yang selalu melakukan long life education, senantiasa belajar dan belajar. Guru ispiratif adalah guru yang mengaplikasikan semboyan “iqra’ bismirabikallazi khalak, atau guru yang menerapkan prinsip long life education dalam hidup mereka.
Kini kita merindukan guru-guru, para siswa dan masyarakat yang mengenal dan menerapkan semboyan long life education dan juga long life learning  sebagai prinsip hidup kita semua. Andai ini bisa terwujud maka insyaallah kualitas SDM bangsa ini yang selalu peringkatnya cukup rendah secara global bisa merangkat membaik, pada akhirnya kita akan tumbuh menjadi bangsa yang cerdas, berwibawa dan berkarakter di dunia ini.
32
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

if you have comments on my writings so let me know them

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...