Tampilkan postingan dengan label guru. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label guru. Tampilkan semua postingan

Senin, 16 Mei 2011

Tidak Zamannya Lagi Kalau Hanya Sebatas Cerdas Akademis

Tidak Zamannya Lagi Kalau Hanya Sebatas Cerdas Akademis
Oleh: Marjohan
Guru SMAN 3 Batusangkar 
(http://penulisbatusangkar.blogspot.com )
            Memperhatikan segemen berita di media massa yang sering berisi tentang tawuran, pertengkaran, kekerasan, pembakaran dan sampai pada perbuatan kriminal lain, membuat hati ini jadi teriris. Kita harus berfikir dan bertanya “apakah penyebab ini semua ?”. Apa masih terjadikah proses pembelajaran akhlah dan kebaikan di rumah, dalam masyarakat dan di sekolah (?). Fenomena yang dari kehidupan bahwa proses pendidikan, terutama pengajaran akhlak, dari sebagian orang tua pada anak tampaknya tidak sehebat zaman dahulu lagi.

Dalam zaman generasi dahulu, strategi pendidikan karakter/ akhlak adalah lewat pemodelan dan melibatkan anak secara langsung- anak terlibat langsung dan ikut berperan untuk berproses. Anak anak bisa mengurus rumah, meringankan beban orang tua, ikut aktivitas sosial dan mampu menerapkan tatakrama (bersopan santun) seperti yang dimodelkan oleh orang yang berumur lebih tua dan lingkungan sosial.

Agus Listiyono (2011) menyatakan bahwa fenomena pendidikan sekarang hanya sebatas membuat anak-anak cerdas secara akademik. Semua bentuk ujian yang diberikan oleh sekolah-sekolah hanya untuk melahirkan siswa untuk mengukur pintar secara akademik. Untuk menjadi cerdas secara akademik juga sudah diarahkan oleh SKL (standard kelulusan). “Belajarlah sesuai dengan SKL maka niscaya anda jadi hebat”. Namun kadang-kadang kecerdasan akademik tidak relevan dengan kehebatan menguasai nilai-nilai hidup yang lain, seperti “nilai sportivitas, senang kerja keras, sopan santun, suka kerja keras dan sikap heroik yang lain”. Ada anak yang jagoan dalam mata pelajaran (jago akademik) namun berkarakter egois. Orang tua sendiri perlu menumbuhkan kecerdasan nilai-nilai kehidupan buat sang anak.
Kita (para orang tua) dituntut oleh Sang Khalik (Allah Swt) agar bila meninggal dunia kelak, tidak meninggalkan anak-anak yang lemah: lemah akhlaknya, lemah ekonominya, lemah imannya dan lemah pendidikanya. Untuk merespon peringatan ini maka kita perlu melakukan antisipasi (menjawabnya) lewat pemberian pendidikan keluarga yang efektif. Oleh sebab itu para orang tua perlu untuk saling bercermin bagaimana menjadi orangtua yang efektif dan  peduli pada pendidikan keluarga.

Majalah Swa Sembada (22 Januari-4 Februari 2009) muncul dengan edisi yang cukup spesial karena ia mengungkap perjalan sukses beberapa orang tua/ keluarga hingga sukses dalam membimbing anak-anak mereka. Majalah ini, misalnya, memaparkan bagaimana orang tua Sri Mulyani (mantan menteri keuangan RI tahun 2010) membesarkan anak- anaknya. Begitu pula dengan Sutan Takdir Alisjahbana (tokoh sastra pujangga baru), dan Soemarno (mantan Gubernur DKI tahun 1960).

Orang tua Sri Mulyani sangat menjunjung tinggi pendidikan. Untuk urusan profesi mereka menganjurkan pura-putrinya menjadi dokter, insinyur dan dosen. Alasanya bahwa ketiga profesi itu pada masa lalu sangat dihormati secara sosial. Mereka membesarkan anak-anak secara biasa-biasa saja, namun menekankan pendidikan keluarga atas tiga poin yaitu:
“Anak-anak didik untuk selalu bersama dan bersatu. Selain diajurkan jempolan dalam mata pelajaran di sekolah, anak-anak diarahkan untuk aktif dalam kegiatan di luar sekolah, seperti voli, basket, hiking, pramuka, palang merah remaja dan paduan suara. Kemudian membaca dijadikan sebagai kebiasaan atau hobi”.

Bacaan Sri Mulyani pada waktu kecil dan remaja adalah majalah Bobo, Si Kuncung, Gadis dan buku-buku non mata pelajaran. Orang tuanya juga memberi petuah agar anak-anak menjadi manusia yang tinggi tepo sliro (peka atau memahami lingkungan sekitar) dan juga hidup sederhana. Meja makan menjadi ajang menghangatkan keluarga dengan cara berkumpul dan berkomunikasi akrab. “Setiap anak menceritakan apa yang dialami dan orang tua juga menceritakan pengalaman mereka: soal rekan-rekan yang bermasalah, mahasiswa pintar atau yang bego, hingga anak anak secara tak langsung belajar tentang nilai moral”. Orang tua juga menjadi tempat bagi anak-anak untuk berdiskusi.
Children learn what they live- anak anak belajar melalui cara ia hidup. Jika mereka dibesarkan dalam permusuhan maka mereka belajar menjadi tukang berkelahi. Bila mereka diberi dorongan, maka mereka belajar menjadi percaya diri. Ya anak anak belajar pada kehidupannya. Dan kehidupan awal mereka adalah dalam keluarga, ini berarti bahwa melalui keluarga proses pendidikan berawal.

Sutan Takdir Alisyahbana (STA) sangat peduli dengan pendidikan keluarganya. Ia mengatakan bahwa anak anak harus bercita-cita menjadi orang yang luar biasa, dan orang tua adalah guru pertama dan utama bagi anak-anaknya. Sutan Takdir sendiri adalah guru (orangtua) yang hebat di mata anak- anak nya karena ia sebagai orang tua dengan multidimensi (memiliki banyak posisi) atau multi talenta (memiliki banyak kepintaran) bukan orang tua yang minim dengan wawasan dan mudah bersikap santai.

Dikatakan bahwa Sutan Takdir sebagai orang tua yang multi dimensi karena ia seorang sastrawan, seorang rektor, ketua himpunan filsafat, pemimpin pusat penerjemah nasional dan mendirikan sejumlah mass media. Ia memiliki keinginan yang sangat kuat untuk belajar banyak hal, mulai dari bahasa sampai pertanian. Ia selalu memacu semangat anak- anak untuk selalu berprestasi. Tidak boleh menjadi orang average (orang rata-rata atau orang kebanyakan). Anak tidak boleh bersantai-santai dan anak juga diajar menabung sejak kecil, ia sering berbagi cerita tentang kisah-kisah sukses dari tokoh hebat.

Kemudian, Hendarman Supandji juga menjadi sukses (dan menjadi Jaksa Agung RI , tahun 2009) karena didikan orang tuanya. Ia memegang teguh ajaran orang tuanya dan selalu menjaga kekompakan. Ayahnya paling tidak suka melihat orang yang pemalas dan perokok. Jam lima pagi anak anak harus bangun, sholat dan mandi. Meski orang tua punya fasilitas mobil, namun anak-anak harus mandiri dengan membawa sepeda kalau pergi sekolah. Orang tuanya selalu menekankan agar anak mengisi waktu dengan kegiatan positif- olah raga, musik dan melakukan hobi yang lain.

Soemarno (mantan Gubernur DKI tahun 1960) juga melahirkan anak-anak yang sukses di bidang masing-masing. Ia mengajar anak-anak untuk hidup sederhana, jujur, dan tidak memanfaatkan fasilitas untuk kepentingan sendiri, pendidikan juga harus dalam kerangka agama. Anak-anak diajar untuk tidak buang-buang waktu, pemalas, santai, harus suka kerja keras, tidak mudah minta tolong pada orang lain dan juga tidak membebani orang lain “Jangan menjadi beban bagi orang lain”.

Berdasarkan paparan tentang pengalaman orang tua sukses di atas, maka sekarang bagaimana dengan kondisi/ fenomena yang terjadi pada banyak sekolah dan praktek mendidik keluarga di rumah mereka ? Apakah anak-anak ada didik untuk selalu bersama dan bersatu ? Masihkan mereka dipacu agar selalu  jempolan dalam mata pelajaran di sekolah ? Apakah anak-anak diarahkan untuk aktif dalam kegiatan di luar sekolah, seperti voli, basket, hiking, pramuka, palang merah remaja dan paduan suara ?. Kemudian, apakah  membaca dijadikan sebagai kebiasaan atau hobi”. Pertanyaan tersebut patut menjadi referensi bagi rumah tangga dan bagi pendidik serta kepala sekolah di negeri ini.

Namun dalam kenyataan bahwa  kita sering kurang peduli pada kualitas pendidikan anak, tidak pernah melihat catatan pelajaran anak. Penulis sendiri juga jarang melihat buku catatan dan buku pelajaran anak-anaknya. Tentu saja para orang tua perlu melakukan kebersamaan bersama anak dan berbagi cerita/ pengalaman melalui meja makan. Bukan malah menebar cercaan, kemarahan dan mengungkit- ungkit kesalahan anak serta menghunjani mereka dengan khotbah yang panjang.

Kalau selama ini sekolah dan orang tua cenderung bersikap berat sebelah dalam membentuk kecerdasan anak- maksudnya terlalu banyak menggiring anak-anak dalam menekuni bidang akademik. Maka kecerdasan social, emosi dan keterampilan (life skill) juga harus dikembangkan. Walau selama ini Kepala sekolah, atas anjuran stake holder pendidikan, cuma tahu berlomba untuk mengejar prestrasi akademik anak agar tinggi (kalau perlu dikurung dari pagi hingga sore agar belajar dan belajar- walau otot dan tubuh mereka selalu layu). Namun sekarang juga sediakan kesempatan bagi mereka untuk  kegiatan “voli, basket, hiking, pramuka, palang merah remaja dan paduan suara”.  Karena pada hakekatnya ini adalah untuk mencerdaskan bangsa secara utuh.

Kalau selama ini mayoritas Sekolah Dasar di negeri kita tidak memiliki perpustakaan atau tidak memanfaatkan perpustakaan, kini sekarang perlu untuk diperdayakan. Stake holder pendidikan harus mengerti dengan manfaat sebuah perpustakaan sekolah bagi kecerdasan dan pengembangan wawasan anak didik. Mereka harus sadar bahwa banyak anak-anak sekarang kurang mengenal nama-nama majalah, nama-nama pengarang dan tokoh-tokoh hebat lain, ya karena guru tidak memperkenalkannya. Pembenahan pendidikan di sekolah janganlah hanya terfokus pada sector fisik: membangun gerbang, mencat pagar, membuat merek- pokoknya sebatas merawat infrastruktur, tapi juga untuk pembangunan mental dan karakter siswa yang optimal.

Orang tua yang kita bicarakan tadi  adalah orang tua yang multidimensi dan memiliki multi talenta. Mereka pantas melahirkan keluarga jempolan. Implikasinya bagi kita bahwa kita juga harus menjadi guru, orang tua yang memiliki multidimensi- paling kurang dalam mendidik keluarga.  (Note: Agus Listiyono (2011) Pintar Akademik, Catatan Untuk Hardiknas 2011. Jakarta: Sekolah Islam (http://aguslistiyono.blogspot.com)

Selasa, 10 Mei 2011

Berani Punya Keluarga, Berani Mendidi Mereka

Berani Punya Keluarga, Berani Mendidi Mereka

Oleh: Marjohan

Guru SMAN 3 Batusangkar

Dunia sekarang penuh dengan label, ada label “smart, cerdas, pintar, hebat, berkualitas dan termasuk label unggul”. Label unggul, dahulu dikaitkan dengan produk hewan atau tanaman. Kita dulu mendengar istilah “sayur unggul, jagung unggul, padi unggul, sapi unggul”. Sekarang malah ada istilah “sekolah unggul, anak unggul dan keluarga unggul.

Ada kesan bahwa siapa saja bisa dan punya kesempatan untuk menciptakan “keunggulan” apakah untuk produk atau untuk keluarganya. Label unggul tidak lagi menjadi dominasi para ahli. Dalam bidang pendidikan, maka setiap kepala keluarga (ayah dan ibu) mempunyai kesempatan untuk menciptakan anak-anak unggul melalui sentuhan pendidikan yang juga unggul.

Benar, bahwa lingkungan keluarga menjadi tempat utama untuk menempa anak-anak menjadi manusia unggul. Apa yang harus dilakukan orang tua ? Ya tentu saja terlebih dahulu membentuk karakter (sikap). Orang tua tentu menjadi model secara langsung. Anak-anak unggul biasanya juga mempunyai orang tua dengan karakter unggul. Orang tua unggul tidak identik dengan orang tua yang memiliki kantong tebal, tetapi orang tua yang memiliki prinsip hidup. Namun cukup banyak orang berkomentar “Wah...pantas saja ia berhasil dan sukses, karena orang tuanya termasuk orang terpandang dan punya posisi tinggi”. Namun mereka juga perlu tahu bahwa cukup banyak anak pejabat yang jangankan kariernya tumbuh, malah sekolah anak mereka saja tak selesai. Bahkan pendidikan/ kehidupan anak-anak mereka juga kacau.

Seorang ahli psikologi, bernama John B. Watson, mengatakan “beri saya seribu bayi dan saya akan jadikan mereka seribu manusia yang anda inginkan”. Pendapat ini menyatakan bahwa betapa besar pengaruh lingkungan- terutama lingkungan rumah dan sekolah- terhadap perkembangan hidup seseorang. Tentu saja sangat beruntung seseorang yang memiliki lingkungan rumah dan sekolah yang kondusif (factor yang mendukung) untuk pertumbuh dan perkembangan kualitas seorang anak. “Bila anda adalah orang tua yang sedang mencari lingkungan baru, maka pilihlah lingkungan rumah dan lingkungan sekolah yang berkualitas buat sang anak”.

Selain faktor lingkungan, latar belakang dan bakat seseorang juga ikut menentukan keberhasilan seorang anak. Andai lingkungan rumah sebagai penentu keberhasilan anak, maka betapa pentingnya peran orang tua dalam mengantarkan masa depan anak. Untuk itu orang tua harus memandang anak sebagai manusia dengan eksistensi yang utuh. Sudah saatnya setiap orang tua punya ilmu tentang mendidik anak, “jangan hanya berlepas tangan dan terlalu menyerahkan urusan pendidikan kepada pihak sekolah”. Bila anak gagal maka tidak layak melemparkan kegagalan pada pihak orang lain “ Wah anakku jadi jelek karena pengaruh lingkungan atau pengaruh sekolah”. Seharusnya juga bisa berucap “Wah anak ku gagal karena peran mendidikku dari rumah kurang maksimal”.

Sekali lagi, bahwa selain pengaruh lingkungan sosial, kualitas perkembangan anak juga ditentukan oleh tingkat kecerdasan, minat, bakat, dan orientasi kehidupannya. Seorang anak yang masuk ke fakultas kedokteran karena orientasi (ambisi) orang tuanya hanya sebatas lulus menjadi dokter. Setelah menjadi dokter tidak ada lagi penambahan kepintarannya, karena orientasinya hanya sebatas bagaimana bisa mencari banyak uang dari pasien yang kaya. Kebanggaan orang tua sendiri hanya berorientasi kearah kantong semata. Namun sekarang karir dokter tak senyaring zaman dahulu, karena banyak masyarakat yang mengerti dengan penyakit dan menemui obat alternative secara mandiri. “Wah kalau demam, batuk, sakit kepala obatnya paracetamol, antibiotic, dan minum multivitamin saja”.

Kurangnya wawasan orang tua, guru dan siswa itu sendiri membuat sang anak menjadi pribadi yang selalu kebingungan. Juga akibat miskin pengalaman, miskin model dan miskin dalam menjelajah kehidupan ini telah membuat banyak anak/ remaja kebingungan: tidak tahu hendak kemana dan bagaimana setelah dewasa. Banyak yang berkomentar : “Aku tidak tahu hendak jadi apa setelah dewasa ?”. Ungkapan frustasi dan ungkapan kebingungan ini muncul akibat anak banyak terkurung dan terkungkung dalam lingkungan rumah dan sekolah. Saat liburan pun mereka masih berkurung dalam rumah, sehingga kurang mengenal betapa bervariasinya dunia kerja ini.

“Mengapa begitu banyak sarjana dilahirkan oleh pergruan tinggi di negeri ini namun negeri kita masih saja tertinggal di berbagai bidang kehidupan”, celetuk seseorang yang bersedih melihat fenomena sosial. Memang, dan kalau di negara maju- kemajuan ekonomi juga didukung oleh kemajuan dalam bidang lain- maju olah raga, maju sastra, maju seni dan juga maju filsafatnya. Sementara kalau bagi kita “aktivitas atau karir dalam bidang seni, budaya, olah raga dan filsafat” kerap dipandang sebagai karir yang kurang favorit.

Kalau pendidikan kita ingin maju dan sejajar dengan bangsa-bangsa yang maju di dunia, maka kita (Indonesia) masih membutuhkan banyak sekali orang hebat pada berbagai bidang kehidupan. Maka pemberian pendidikan yang benar untuk generasi mendatang menjadi semakin krusial. Maksudnya adalah pendidikan buat mereka bukan hanya sekedar ilmu, melainkan juga sarat dengan unsur seni. Idealnya para generasi muda kita bisa mengerti dengan pengetahuan dunia, pengetahuan agama dan seni, sehingga ada orang yang berfilsafat “Dengan ilmu hidup mudah, dengan agama hidup terarah dan dengan seni hidup indah”.

Dalam malpraktek pendidikan di rumah bahwa yang belajar itu cuma kalau anak bisa membuat PR. Sementara kalau ada anak yang mengerjakan hobi menggambar atau bermain gitar itu dianggap buang-buang waktu. Demikian pula pengalaman penulis mengajar pada sebuah boarding school yang mana guru pengasuhnya (pembina asrama) tidak mengenal ilmu mendidik (paedagogi) dan psikologi. Semua santri dilarang bergitar, dilarang memutar music walau lewat MP3 karena itu diasumsikan berhura-hura, buang-buang waktu, mengganggu pembelajaran dan juga bisa mencemari budaya pesantren oleh budaya asing. Namun anak/ santri tidak diberi solusi, akibatnya semua siswa/ santri merasa gersang tinggal di lingkungan sekolah dan akhirnya banyak yang pindah ke sekolah luar.

Ternyata seni itu penting, dan seni itu terletak pada kepekaan orang tua membaca dan memahami kecerdasan, talenta, bakat-bakat khusus, minat, antusias dan orientasi sang anak. Semua ini mesti dicermati sejak anak usia dini, kemudian dipupuk dan ditumbuhkembangkan (disediakan fasilitasnya). Dengan demikian ketika anak memasuki usia remaja, sudah tergambar bidang apa yang kelak paling cocok untuk ditekuni anak- karakter seni anak akan terlihat.

Dengan demikian bahwa pembentukan karakter itu penting. Menjadi tugas orang tua untuk mengarahkan anak untuk memilih karakter yang kuat. Dalam hal ini keteladanan orang tua adalah segala-galanya. Sebetulnya anak selalu memperhatikan karakter orang tua, misalnya ketika menghadapi situasi sulit, akankah orang tua menghadapi dengan gagah berani atau justru menghindari, tekun dan disiplin dalam pekerjaan ataukan gemar mencari jalan pintas.

Seorang remaja, ketika kecil terlihat begitu cerdas dalam berkomunikasi dan tekun dalam belajar. Namun setelah menginjak bangku SMA sang remaja berumah menjadi orang yang pasif, mudah putus asa dan senang dibantu. Ternyata lingkungan rumah telah merobek karakter positif yang saat kecil: anak tidak dilibatkan dalam kegiatan rumah, anak banyak dilarang, anak kurang dikondisikan untuk memiliki banyak pengalaman. Lingkungan rumah perlu membentuk karakter kuat pada diri anak.

Pria-pria dewasa yang tidak punya tanggung jawab- dari pagi hingga malam cuma banyak bengong, secara kasar bahwa pintarnya cuma “mancilok atau akronim dari Mandi Cirit (beol) dan Lalok (tidur)” nyaris menciptakan anak anak yang juga bingung menghadapi dunia. Pelajar-pelajar yang malas dan keluyuran disekolah, begitu ditelusuri ke rumah, ternyata mereka punya ayaj yang tidak tahu dengan peranannya. Sebaliknya ayah yang punya karakter- rajin, jujur, dan hidup bersemangat juga akan memiliki ansak anak yang punya prinsip hidup yang juga terarah. Karakter yang kuat akan menopang sukses jangka panjang bersama orang lain. Ternyata memang lingkungan keluargalah yang berperan penting dalam menempa dan membangun karakter sejumlah tokoh sukses di negeri kita.

Sudarmadi dalam majalah Swa Sembada (22 Januari 2009) menulis bahwa tidak sedikit keluarga yang berhasil mendidik anak-anaknya sehingga sebahagian besar punya karier dan prestasi di bidang yang mereka geluti. Bagaimana mereka melahirkan generasi seperti itu dan apa gizi yang diberikan ?

Orang orang unggul sebenarnya bukan produk langsung dari sekolah (SMA dan Universitas) yang mereka lalui, jauh sebelumnya mereka telah tumbuh dari keluarga yang memiliki prinsip hidup. Tentu ada prinsip atau aturan yang mereka kerjakan dan prinsip atau aturan yang mereka hindari.

Yang harus dilakukan keluarga agar anak tumbuh berkualitas adalah:

1. Memberikan kesempatan untuk berkembang sesuai dengan minat dan bakat.

2. Menciptakan suasana agar anak bisa fun dan enjoy dalam pengembangan diri.

3. Menanamkan nilai-nilai positif (kerja keras, disiplin, dan sadar waktu).

4. Membekali anak dengan pendidikan formal memadai.

5. Menumbuhkan keterampilan social dan intelektual.

6. Mendorong semangat berkompetisi dan berprestasi.

7. Membiasakan anak berjuang dulu dalam meminta sesuatu

8. Memberi anak tanggung jawab (tugas rumah)

Kemudian prinsip (aturan) yang tidak boleh dilakukan adalah :

1. Mengarahkan anak tanpa melihat konteks lingkungan dan zamannya.

2.Memaksakan minat anak sesuai dengan kehendak orang tua.

3. Menuruti semua permintaan anak.

4. Menganggap anak tidak berpotensi sehingga lebih banyak mendidik dengan

memerintah.

5. Banyak menuntut kepada anak sementara orang tua tidak mengimbangi dengan

pengorbanan.

Namun cukup aneh bahwa fenomena yang sering ditemui dalam praktek mendidik anak di rumah adalah melaksanakan prinsip yang seharusnya ditinggalkan. Sering anak-anak protes dan berkata “wah mama terlalu cerewet atau papa terlalu banyak campur”. Ini merupakan indikator negative bahwa orang tua terlalu banyak mengarahkan anak sampai hal-hal detail, akibatnya suasana fun dan enjoy (suasana menyenangkan) menjadi hilang. Yang timbul adalah suasana serba diatur, dicampuri dan didikte.

Orang tua berusia muda, yang kurang memiliki ilmu parenting (bagaimana menjadi orang tua) sering terjebak dalam menuruti semua permintaan anak. Seringkali anak kadang- kadang asal minta saja, setelah dibelikan, ternyata benda tadi tidak bisa dimanfaatkan. Begitu pula bagi mereka yang ambisi agar anak cerdas, sering terkesan memaksakan anak. “Wah kamu kalau sekolah di SMA, idealnya ambil saja jurusan IPA, nanti bakal bisa jadi dokter”. Sementara bakat dan minat anak adalah pada seni dan sastra, “wah pilih seni dan sastra...mau jadi apa kamu kelak, mau ngamen...!!”. Sering orang tua memandang jurusan ini dengan sebelah mata.

Penulis sendiri sering terjebak terlalu banyak memaksa dan menuntut anak. “Hei membaca,...hei ...kembangkan hobbi mu...”. Namun perlu disadari yang diperlukan anak bukan banyak menuntut tetapi sediakan fasilitas belajar dan berkarya buat mereka dan setelah itu memberi pemodelan buat anak- model dalam belajar dan berkarya. Memang benar, hidup makin susah, tapi jangan menyerah dan perlu perjuangan. Bagi yang sudah punya keluarga dan punya anak, maka mereka harus member model- tahu dengan parenting atau seni menjadi orang tua. Secara berseloroh dapat dikatakan bahwa : Berani punya keluarga ya tentu juga berani mendidik mereka sejak dini.

Jumat, 22 April 2011

Berburu Passing Grade Sebelum Masuk Ke Perguruan Tinggi


Berburu Passing Grade Sebelum Masuk Ke Perguruan Tinggi
Oleh: Marjohan
Guru SMAN 3 Batusangkar

Untuk menjadi cerdas rupanya tidak perlu mengikuti proses belajar yang panjang. Buat apa harus mempelajari dan membahas teori-teori serta pergi prtaktek ke dalam labor segala. Ya cukup belajar secara instan saja, yaitu melalui latihan menjawab soal-soal ujian. Kini memang banyak siswa, guru dan orang tua meyakini hal ini. Mereka merasakan bahwa anak-anak bisa cepat pintar cukup dengan cara instant yaitu “melatih anak untuk menjawab soal-soal ujian”. Cara ini disebut dengan program bimbel atau bimbingan belajar. Maka tidak heran kalau banyak bimbel yang punya merek atau label “ bimbel smart dan instant” dan mereka siapkan menciptakan siswa-siswa menjadi generasi cerdas yang instant.

Memang demikian bahwa bila kita jeli melihat prilaku siswa-siswa SMA di sekitar kita yang baru selesai melaksanakan UN (Ujian Nasional) maka kita akan melihat fenomena yang membuat hati geli dan bertanya-tanya “wah mereka kemaren selama enam bulan sibuk latihan bimbingan belajar kok sekarang sibuk lagi bergerombolan ke dalam ruangan yang disulap menjadi arena bimbel menuju perguruan tinggi bergengsi ?”

“Betul papa dan mama, kami harus punya passing grade yang tinggi, baru setelah itu punya cita-cita dan memilih perguruan tinggi yang pas”. Sekarang siswa yang hebat harus dilihat skornya, skor tersebut adalah sebagai bukti ia punya kualitas atau tidak. Konsekwensinya bahwa ratusan bahkan ribuan siswa yang baru selesai melaksanakan Ujian Nasional juga harus berburu “passing grade” sebelum menuju Perguruan Tinggi.

Perguruan tinggi favourite memasang standard passing grade yang juga tinggi. Untuk memperoleh passing grade yang tinggi itu tidak sulit. Asal ada uang maka ikutlah bimbel, katanya dalam spanduk bahwa bimbel yang bagus bisa menjamin siswa punya passing grade tinggi dan jebol perguruan tinggi yang favourite “Gagal masuk Perguruan Tinggi maka uang kembali, maka bergabunglah bersama bimbel kami”, demikian iming-iming iklan bimbel. Yang tidak punya uang dan tidak bias ikut program bimbel tidak perlu kehilangan rasa percaya diri.

Apakah Perguruan Tinggi memang butuh siswa yang punya passing grade tinggi ? Tentu saja “ya” karena itu adalah sebagai tanda atau jaminan bahwa mereka bias direkrut menjadi mahasiswa dan tetap bisa membuat harum nama perguruan tinggin tersebut. Namun apakah kelak mahasiswa- mahasiswa yang jago untuk mencari passing grade tinggi bakal sukses setelah menyelesaikan perkuliahan mereka, atau malah mereka menjadi sarjana yang puas dalam membanggakan IPK atau Passing Grade tinggi namun bengong dan miskin dalam kreativitas dalam hidup ini.

Achmanto Mendatu (2010) menulis tentang “Kegagalan Sistem Pendidikan Asia” dan mengutip salah satu artikel dengan judul “Asian Test-Score Culture Thwarts Creativity- Budaya Skor Test Orang Asia Menggagalkan Kreativitas” pada jurnal Science mengatakan bahwa meskipun sejak bertahun-tahun lalu Asia didaulat akan menjadi penghela dunia sains berkat sangat besarnya investasi di bidang sains dan teknologi, kenyataannya Asia masih tetap saja tertinggal di banding negeri-negeri barat (Eropa Barat dan Amerika Utara). Menurutnya, akar permasalahannya adalah budaya pendidikan Asia yang berorientasi pada skor-tes, yang alhasil tidak mampu mengasah keterampilan berpikir dan kreativitas pelajar. Padahal kedua kemampuan itulah yang menjadi dasar untuk bisa menjadi ilmuwan yang berhasil.
Fenomena di Indonesiapun juga demikian, para orang tua dan guru (malah pemerintah juga mendorong) agar siswa/ sekolah berlomba untuk mencari skor yang tinggi. Sekolah yang mampu membuat siswa ujian dengan skor tinggi akan memperoleh appresiasi yang hebat. Dengan demikian semua pelajar dan sekolah berorientasi mengejar skor-tes setinggi-tingginya.

Orang tua dan guru menjelaskan pada anak/ siswa bahwa yang memiliki skor-tes lebih tinggi akan memperoleh karir lebih baik di masa depannya karena persyaratan masuk ke berbagai institusi pendidikan yang lebih tinggi dan lebih baik ditentukan oleh skor-tes. Semakin tinggi skornya tentu semakin baik pula peluangnya. Beragam pekerjaan bergengsi juga hanya bisa dimasuki oleh mereka-mereka yang memiliki skor tinggi. Sekolah yang para siswanya meraih skor-tes tinggi akan naik reputasinya, dan dengan demikian menjamin pendanaan lebih banyak pula.

Pengalaman penulis sebagai guru juga merasakan dan melihat bahwa guru-guru pun ditekan untuk mengajar dengan orientasi agar siswa bisa memperoleh skor-tes yang tinggi. Proses pendidikan pada sekolah berlabel unggul, apakah ia berlabel Sekolah Standard Nasional, Sekolah Rintisan Standard Internasional, dan juga sekolah sekolah kebanyakan, dalam semester ke 6 di kelas tiga SMA (yaitu persiapan sukses UN) lebih terfokus pada program belajar dalam bentuk mengerjakan “latihan-latihan tes” karena diyakini bahwa keberhasilan sebuah sekolah semata-mata dinilai dari catatan skor-tes yang diperoleh siswa di sekolah tersebut.

Achmanto Mendatu (2010) menambahkan bahwa akibat iklim pendidikan berorientasi skor-tes, para orangtua di Asia (termasuk Indonesia) lazim memasukkan anak-anaknya ke suatu les pelajaran tambahan di luar sekolah sejak usia dini. Di Singapura, pada tahun 2008, sejumlah 97 dari 100 pelajar mengikuti les tambahan pelajaran di berbagai institusi persiapan tes (baca: Lembaga Bimbingan Belajar). Pada tahun 2009, industri persiapan tes di Korea Selatan bernilai 16,3 Miliar US$ atau setara dengan 146,7 triliun rupiah. Jumlah itu kira-kira senilai 36% dari anggaran pemerintah untuk dunia pendidikan di negeri ginseng.

Akibat dari gaya kebijakan mendidik yang demikian oleh masyarakat dan juga didukung oleh pemerintah telah menyebabkan waktu sekolah yang panjang dan beban PR yang berat bagi anak. Siswa siswa kita memang terasah kemampuan intelektualnya dalam hal mengingat fakta-fakta untuk kemudian ditumpahkan kembali saat ujian. Hasil dari budaya pendidikan semacam itu adalah kurangnya keterampilan menelaah, menginvestigasi dan bernalar, yang sangat dibutuhkan dalam penemuan-penemuan ilmiah.

Sekarang banyak siswa Indonesia yang mampu meraih juara olimpiade sains di dunia. Namun apakah mereka memang bisa menjadi lebih kreatif- menemukan banyak hal setelah dewasa. Tidak bisa dipungkiri bahwa para pemenang olimpiade sains dunia (fisika, sains, biologi, dan lainnya) mayoritas berasal dari Asia. Ya Indonesia sendiri telah berkali-kali memiliki para juara. Akan tetapi mereka merupakan hasil penggodokan khusus oleh tim khusus olimpiade sains. Mereka bukan hasil alami iklim pendidikan seperti biasa. Jadi, fenomena itu sama sekali belum tentu mengindikasikan keberhasilan sistem pendidikan kita. Faktanya, meskipun mendominasi kejuaraan, Asia tak kunjung melahirkan ilmuwan-ilmuwan kelas dunia. Jumlah ilmuwan yang terlahir dari Eropa/Amerika sangat timpang jauhnya dibandingkan dari Asia.

Teman penulis yang pernah studi di Australia dan keponakan penulis yang juga pernah mengikuti pertukaran pelajaran di Amerika (Youth Exchange Student) mengatakan bahwa pelajar asal Asia memang lebih cerdas di sana. Malah keponakan penulis sendiri menjadi jago dalam kelasnya. Tetapi dengan demikian apakah mengindikasi bahwa pelajar Amerika atau Australia itu sendiri lebih lemah SDM-nya dan kita lebih sukses ? Ya tunggu dulu. Ia menambahkan bahwa siswa-siswa Indonesia pulang sekolah terbiasa menyerbu bimbel, sebaliknya siswa Amerika pulang sekolah menyerbu lapangan olah raga atau ikut orang tua mereka dalam mengeksplorasi alam- membantu usaha dan pekerjaan orang tua untuk memperoleh pengalaman hidup dan sekaligus tambahan uang saku. Para pendidik dan stakeholder pendidikan di Amerika ( juga di Australia) selalu mendorong dan merangsang siswa mereka untuk melakukan eksplorasi. Bukankah melakukan ekplorasi menjadi syarat untuk menjadi kreatif ?. Dengan demikian siswa di sana kecerdasan intelektualnya tidak bersifat instan sebagaimana kebisaaan kecerdasan instant siswa kita melalui bimbel.

Bagaimana dengan siswa cerdas peraih passing grade tinggi di Indonesia ? Mereka umumnya kuliah di jurusan/ fakultas dan Universitas yang berlabel favourite. Dan mahasiswa yang kemampuannya cukup rata-rata juga kuliah pada universitas dan institute yang tersebar di Tanah Air ini. Dari pengalaman banyak orang saat kuliah di Universitas terlihat bahwa banyak mahasiswa yang lemah dalam melihat hubungan-hubungan dalam berbagai literatur, membuat kemungkinan-kemungkinan ide-ide, dan menyusun berbagai hipotesis. Sehingga sering bermasalah tiap kali menulis proposal, skripsi, tesis dan disertasi. Padahal, mereka adalah para peraih IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) cukup tinggi. Ini membuktikan bahwa sistem pendidikan sejak dari Sekolah Dasar, Sekolah Menengah dan Universitas tidak melahirkan talenta saintifik. Ya gara-gara cuma belajar banyak melakukan latihan-latihan ujian. Saat masa anak-anak, mereka banyak dikurung dalam rumah dengan alas an belajar, hingga mereka kurang tahu nilai-nilai social yang berada di luar rumah.

Selanjutnya bagaimana gaya kuliah mahasiswa di Perguruan Tinggi di negara kita, apakah masih berorientasi passing grade ? Tampaknya gaya hidup dan gaya belajar mahasiswa sama saja dengan gaya hidup dan gaya belajar anak-anak SMA. Ya masih berorientasi passing grade. Jauh-jauh dari kampung para orang tua masih rajin kirim SMS pada anak agar rajin kuliah dan belajar yang benar agar IPK bisa diatas 3.00 dan kalau perlu raihlah IPK 4.00 atau cum laude.
Sehingga kerja dan gaya kuliah mahasiswa seolah-olah bersifat “4 D” yaitu “Duduk Datang Diam Dengar” dan jangan begitu kritis karena nanti sang dosen bisa tersinggung, kalau tidak nilai mata kuliah bisa gagal. Di rumah kost terlihat bahwa aktivitas mahasiswa merpakan perpanjangan dari kebiasaan belajar ala SMA dulu, ya contek tugas kuliah teman, copy paste tugas dari internet, main game, main HP, dengar music, main domino, cari pacar, bergitar atau tidur tanpa kenal jam dan bermimpi.

Satu dua mahasiswa juga ada yang aktif dalam organisasi. Namun parahnya ada yang menomorsatukan organisasi dan memandang remeh perkuliahan maka jadilah mereka sebagai mahasiswa abadi atau terpaksa di- drop out dari kampus karena sudah kadaluardsa. Idealnya mereka harus menjadi model mahasiswa yang sukses berorganisasi dan juga sukses dalam kuliah ? Namun model mahasiswa ideal itu juga susah diperoleh.

Model atau cara kuliah yang sukses bisa ditiru dari mahasiswa yang sukses pula. Apakah mahasiswa yang sukses tersebut berasal dari Universitas favourite di pulau Jawa. Juga belum tentu sebab aktivitas mereka yang kuliah di sana, terlihat dari koleksi foto-foto mereka pada facebook juga dominan bersifat hura-hura, seperti hanya penuh dengan acara makan-makan, jalan-jalan, ledek meledek atau sedang main game on line.

Satu atau dua orang tentu juga ada masiswa ideal yang bisa dijadikan referensi dalam kuliah. Yaitu mereka yang tidak cuma menghabiskan waktu di kampus dan tempat kos, namun juga terjun ke lapangan untuk menemui fenomena kehidupan ini. Louis Deharven sarjana asal Perancis dari tahun 1993 sampai tahun 2002 sering datang berlibur ke tempat penulis di Batusangkar (bukan merendah bangsa sendiri dan mengagungkan bangsa lain). Ia menghabiskan waktu dan dana untuk masuk hutan dank e luarb hutan serta masuk goa ke luar goa hanya menemukan jengkerik ukuran besar (cigal) dan jenis ikan dalam goa (Ngalau Indah) di Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar. Hewan tersebut belum tercatat dalam klasifikasi zoology dunia dan segera memberi klasifikasinya. Ia kemudian terus mengembangkan talent saintifiknya bukan secara instant tetapi melalui eksplorasi.

Demikian juga dengan teman penulis, Craig Pentland dari Australia Barat, memberi saran kepada kepada salah seorang siswa penulis yang tergolong kutu buku. Ia mengatakan bahwa “jangan asal membaca semua buku tetapi lakukan eksplorasi dan amati fenomena sosial, bila ada yang aneh maka segera cari literature dan segera pahami untuk menemui solusinya.

Pesan dan gaya saintifik kedua teman tadi barangkali sangat bagus diadopsi oleh mahasiswa yang belum punya gaya belajar yang pas agar menjadi manusia intelektual. Menjadi mahasiswa dan siswa yang ideal bukan berarti harus menghabiskan belasan jam di sekolah atau kampus atau Cuma berlatih mengerjakan latihan demi latiha di rumah. Namun juga melakukan eksplorasi kea lam yang terprogram, bukan asal eksplorasi sehingga terkesan berhura-hura. Bagi yang studi di bidang pertanian dan peternakan maka sering sering turun dari menara gading (kampus) ke lahan pertanian dan peternakan. Bagi yang studi pada ilmu social maka turunlah ke lingkungan social lapisan bawah- lihat dan amati ada apa yang terjadi di sana. Bagi yang studi pada fakultas tekhnik juga rajin-rajinlah ke lapangan untuk menemui fenomenanya di lapangan, jangan turun ke dalam box warnet dan internet melulu, dan seterusnya. Sekarang bagaimana lagi… apakah gaya belajar siswa dan mahasiswa serta gaya mengajar guru dan dosen masih sekedar mendorong mereka memburu passing grade yang tinggi dan cukup bangga dengan Skor yang tinggi meskipun setelah itu bingung untuk berbuat penuh dengan kreatifitas. (Note: Achmanto Mendatu (2010) Kegagalan Sistem Pendidikan Asia. Yogyakarta: Magister Profesi Psikologi UGM)

Kamis, 24 Maret 2011

Tanggung jawab Guru Penerima Sertifikasi Dalam Menggenjot SDM Pendidikan

Tanggung jawab Guru Penerima Sertifikasi Dalam Menggenjot SDM Pendidikan
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

Semua guru penerima tunjangan sertifikasi tentu harus bersyukur, karena negara telah mengucurkan dana sertifikasi buat mereka. Dari uang yang diterima mereka telah merasakan manfaatnya terutama dalam peningkatan kesejahteraan- sebagai tambahan gaji.

Jauh sebelum program sertifikasi tersebut diluncurkan, mungkin saat itu masih dalam tahap sosialisasi, sebahagian guru sempat berfikir tentang bagaimana wujud program sertifikasi tersebut. Apakah sertifikasi diberikan kepada segelintir guru yang memang dianggap professional, yang mana keprofesionalan mereka dibuktikan dengan serangkaian assessment yang valid dan terpercaya. Atau sertifikasi diberikan sebagai reward/ penghargaan kepada guru yang menang dalam seleksi, ya seperti seleksi guru berprestasi, guru teladan atau seleksi teacher of the year. “Wah kalau demikian pasti hebat, dan guru yang bersertifikat pasti memang guru yang ideal”.

Ternyata setelah itu program sertifikasi hanya dalam bentuk pemberian label sertifikasi terhadap guru secara massal, tanpa penilaian yang detail terhadap kualitas mereka: “guru santai atau rajin, guru berkualitas dan guru amburadul sama-sama dapat untung seritifikasi”. Sertifikasi kemudian menjadi berita hebat- menjadi angin segar- bagi guru. Dengan sertifikisasi guru akan sejahtera, dan pemberian sertifikasi sebagai tanda bahwa seorang guru telah menjadi guru professional, tidak percaya- coba lihat pin yang telah mereka terima. Namun apakah guru penerima sertifikasi telah mampu meningkatkan kualitas SDM pendidikan bangsa ini ?

Ternyata hampir semua guru mampu menerima sertifikasi dengan enteng, apalagi dengan adanya system quota. Dan ternyata para guru merasakan betapa mudahnya memperoleh label professional tersebut- apalagi setelah ada jaminan atau pelatihan dari universitas yang ditunjuk atau pusat diklat (pendidikan latihan) bagi sertifikasi guru yang seolah-olah sang guru telah berkualitas.

Kini pada beberapa media massa, sudah sering terbesit segelintir kekecewaan dan ketidak puasan. Mereka mengatakan bahwa: “ternyata program sertifikasi belum mampu meningkatkan kualitas pendidikan, ternyata program sertifikasi tidak berbanding lurus dengan mutu pendidikan, ternyata program sertifikasi hanya baru sebatas membuat guru rajin datang ke solah dan mencukupi jatah/ quota jam mengajar menjadi 24 jam perminggu”. Bagi guru yang tidak cukup jam mengajar 24 jam, maka mereka boleh melakukan pembelajaran lewat team teaching. Ada ada saja bahwa ternyata ditemukan juga guru- guru yang galir atau licik dalam memikul beban team teaching- sebagai persyaratan mengajar 24 jam per minggu. Katanya lagi melakukan team teaching, ternyata yang satu ngajar dan yang lain membolos, dengan cara rekayasa, maka mereka sukses membuat “tim kucing”.

Kenyataan di lapangan bahwa tidak ada jaminan guru yang memperoleh pin (emblem) sebagai guru professional atau guru penerima sertifikasi, apalagi telah menerima kucuran dana segar, bakal menjadi guru yang sungguh-sungguh kompeten. Yakni memiliki kompetensi paedagogi, kompetensi, social, kompetensi komunikasi dan kompetensi profesi. Juga tidak ada jaminan guru yang sudah pulang dari kegiatan diklat (pendidikan latihan) yang dipandu oleh doctor dan professional sekalipun bakal menjadi guru yang professional. Juga tidak ada jaminan bahwa guru yang melaksanakan proses pembelajaran secara team teaching bakal mampu meningkatkan SDM siswa.

Meningkatkan SDM siswa tidak segampang itu. Apalagi kalau sang guru tidak tahu dengan masalah motivasi belajar, minat belajar, model atau gaya mengajar. Tentu ada banyak hal. Andai ada dua orang guru yang sedang melakukan team teaching namun suasana kelas penuh dengan kecaman, bahasa menggerutu, mengeritik, maka jangan harap bahwa siswa akan termotivasi dalam belajar.

Walau guru penerima sertifikasi belum memperlihatkan kontribusi signifikan dalam peningkatkan SDM pendidikan, namun kita harap agar pemerintah tidak menghentikan program atau bantuan sertifikasi ini. Karena dana sertifikasi memang bermanfaat dalam meningkatkan kesejahteraan guru. Tapi mereka perlu pembinaan peningkatan mutu yang serius.

Persyaratan agar guru mampu menggenjot kualitas SDM anak didik adalah bahwa mereka sendiri harus memiliki kualitas diri yang tinggi. Dalam fenomena bahwa ternyata kualitas diri seorang guru belum ditentukan oleh sertifikat profesi yang mereka peroleh atau pelatihan professional yang mereka ikuti. Apalagi kalau mereka mengikutinya tidak sepenuh hati- asal-asalan saja.

Disinyalir bahwa seorang guru menjadi kurang menarik- belum mampu menjadi guru ideal di sekolah, karena mereka memiliki tiga kelemahan, yaitu: lemah dalam budaya membaca, lemah budaya diskusi dan lemah dengan budaya menulis. Kelemahan ini memang terbukti di lapangan.

Pergilah ke lapangan- ke sekolah sekolah, maka kita akan menemui bahwa tidak banyak guru yang tekun dengan membaca. Hitunglah berapa orang guru yang gemar membaca- walau hanya baru sebatas membaca majalah atau Koran, apalagi kalau membaca buku buku bermutu lainnya. Untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) hampir 90 % perpustakaan sekolah tidak diperdayakan- dibiarkan terkunci sepanjang hari. Ini berarti cukup banyak siswa SD yang tidak merasakan betapa indahnya membaca itu, pantaslah tidak begitu banyak anak yang kenal dengan nama majalah anak-anak.

Kalau begitu target membaca di SD hanya sekedar membuat siswa bisa membaca kalimat-kalimat pendek saja. Setelah siswa pandai membaca, mereka tidak pernah diajak dan dimotivasi untuk membaca buku lagi. “Ya bagaimana..., guru SD itu sendiri juga tidak merasakan betapa enaknya menjadi pembaca, guru-guru SD sendiri juga banyak yang alergi dengan bacaan- kalau membaca ya mataku segera berair”. Rapuhnya budaya membaca semakin berlanjut ke jenjang SMP dan juga oleh guru SMP, terus ke jenjang SLTA. Kita temukan cukup banyak guru guru SLTA dan juga para mahasiswa yang tidak menyukai membaca. Mereka cuma lebih betah main game lewat layar computer atau otak atik phone-cell, bukan berupaya bagaimana kualitas diri bisa meningkat.

Kalau mereka tidak pernah membaca dan amat jarang membaca, ya bagaimana mereka akan kaya dengan wawasan dan memiliki ilmu pengetahuan yang memadai buat diri sendiri dan bagi orang lain. Catatan yang ada pada dinding rumah puisi Taufiq Ismail di Kenagarian Aie Angek, di Lereng gunung Singgalang, dekat Padang Panjanang, mengungkapkan bahwa sekolah- sekolah di negara tetangga yang maju seperti Australia, New Zealand, dan Singapore selalu menugaskan siswa-siswi mereka agar membaca puluhan karya sastra per semester. Sementara aktivitas begini hampir nihil bagi pendidikan kita. Nah inilah penyebab rendahnya SDM kita, namun banyak orang yang kurang tertarik untuk mengekspose nya, atau mengajak “kembali membaca dan mengaktifkan kembali perpustakaan sekolah”.

Kelemahan kedua dalam pendidikan kita adalah bahwa budaya diskusi dan berdebat termasuk langka. Guru sebagai pendidik belum terbiasa dalam diskusi dan berdebat, mereka hanya terbiasa dengan debat kusir. Guru-guru yang tidak terbiasa dengan berdiskusi juga akan tidak tertarik dengan metode diskusi dalam pembelajaran. Mereka merasa sangat nyaman untuk mengajar dengan metode konvensional. Merasa gerah kalau ada siswa yang kritis dan banyak Tanya, “wah mulutmu bisulan ya ..., kerja kamu ngomong dan bertanya tidak karuan melulu”. Alpanya budaya berdiskusi dan berdebat telah membuat daya nalar guru dan budaya nalar anak didik menjadi lemah. Ini juga menjadi pemicu mengapa SDM anak didik cenderung rendah.

Akhirnya budaya lain yang juga alfa dalam pendidikan kita adalah budaya menulis. Sebenarnya seorang guru identik dengan figure intelektual. Ternyata sungguh banyak mereka yang tidak mampu dalam menulis. Menulis karya ilmiah, menulis proposal dan apalagi melakukan penelitian ilmiah adalah suatu hal yang mahal. Kini dalam musim kualifikasi pendidikan- bahwa semua guru harus memperoleh pendidikan strata satu. Maka dalam menyelesaikan skripsi yang cuma dalam bentuk penelitian tindakan kelas (PTK) mereka pun masih terlihat kasak kusuk dalam meramu tulisan yang mereka anggap ilmiah dengan metode copy paste. Masih sulit juga menyelesaikan PTK, ya terpaksa mencari cara aspal- asli tapi palsu.

Apakah mungkin guru-guru yang tidak terbiasa dalam menulis akan mampu menularkan kebiasaan menulis buat anak didik. Satu atau dua orang siswa di sekolah memang ada yang menyukai menulis. Mereka mampu menulis cerpen, puisi atau artikel ringan. Itu sebagian karena mereka terinspirasi oleh bacaan yang kebetulan berisi motivasi. Nah bagaimana kalau mereka memperoleh pasokan motivasi dari sang guru, pasti hasilnya sangat luar biasa.

Tidak perlu berputus asa bila guru guru- apalagi guru penerima sertifikasi belum memberikan kontribusi dalam meningkatkan SDM pendidikan kita. Namun mereka perlu mengubah pola pikir.

Ilham Mustafa (2011) telah menulis tentang arah pemikiran mahasiswa. Tulisannya dapat kita sadur untuk mengarahkan guru. Pertama, mereka perlu menciptakan budaya membaca, karena ada sloga yang berbunyi “dengan membaca kita genggam dunia. Mengapa Amerika dan Eropa bisa maju ? Karena penduduknya aktif membaca. Masyarakatnya rata-rata kutu buku. Penduduk Negara tersebut sudah menjadikan buku sebagai sahabat yang menemani mereka ke mana pun pergi. Ketika antre membeli karcis, menunggu kereta, di dalam bus, dan aktivitas lainnya, mereka tidak pernah lupa untuk menyempatkan membaca, dengan membaca mereka punya wawasan.

Kedua, guru perlu menciptakan tradisi diskusi. Budaya diskusi akan membuat guru menjadi lebih kritis dan bisa menguasai konsep. Ketiga, guru perlu menciptakan budaya menulis. Dengan menulis maka guru bisa mengatualisasikan pemikirannya. (note: Ilham Mustafa (2011) Arah Pemikiran Mahasiswa. Padang: Koran Singgalang, 16 Februari 2011).

Rabu, 10 Juni 2009

Bila Siswa Cerdas Enggan Jadi Guru


Bila Siswa Cerdas Enggan Jadi Guru

Oleh: Marjohan M.Pd

Guru SMAN 3 Batusangkar





Hampir semua orang setuju bahwa institusi sekolah memegang peranan penting dalam pendidikan dan meningkatkan sumber daya manusia (SDM) bangsa ini. Untuk menjaga imej ini, pihak sekolah dan stake holder dalam bidang pendidikan selalu melakukan pembenahan diri namun tentu saja selalu ada kendala. Agustinus (2009) dalam laporan utamanya yang berjudul “Sekolah Rusak ,siapa yang harus mengaku dosa ?” menyebutkan bahwa sistem pendidikan kita masih jauh dari idealnya proses humanisasi (pemanusiaan) sebagai inti dari pendidikan itu. Sekolah lebih dijadikan laboratorium untuk transfer pengetahuan dari pada menjadi pendopo (balai-balai) untuk pengolahan kepribadian yang terintegrasi, baik dari sisi pengetahuan maupun kesadaran perilaku. Para siswa dijejali dengan materi-materi pelajaran dan kurang mempunyai ruang dan waktu untuk mengembangkan kreativitas. Sementara sistem pengajaran di kelas pun cenderung satu arah. Ruang diskusi dan kritis kurang dibuka lebar. Guru masih mengklaim diri sebagai otorita pemegang kebenaran tunggal di dalam kelas. Akibatnya kelas itu hanya melahirkan orang-orang yang doyan membebek alias patuh, tidak kritis dan emoh membantah.

Ada banyak faktor yang menyebabkan fenomena di atas terjadi seperti faktor minimnya quota dana untuk menjalankan pendidikan. Sehingga kesulitan dalam menyediakan atau memenuhi fasilitas pendidikan. Namun faktor guru adalah faktor kunci yang menentukan pendidikan kualitasnya meningkat atau menurun. Semestinya profesi guru atau pribadi guru dengan segala eksistensinya harus memberikan daya tarik yang kuat bagi anak-anak didik mereka. Ibarat bagaimana tertariknya anak-anak kecil pada profesi polisi, tentara, dokter dan pilot.

Anak-anak kecil sampai yang sudah duduk di bangku sekolah dasar, sekali lagi, banyak yang tertarik untuk menjadi polisi, tentara, dokter dan pilot karena di mata mereka bahwa penampilan orang-orang dengan profesi ini tampah begitu elegant. Anak-anak kecil begitu antusias melihat parade militer atau barisan polisi yang sedang berlatih dengan postur tubuh gagah dan seragam berwibawa. Mereka berlari-lari mengikuti iringan-iringan mereka dan tidak sudi mereka lenyap dari pandangan mereka. Demikian pula bagi seorang anak yang memutuskan menjadi pilot setelah seorang pilot dengan postur gagah dan pakaian juga gagah melintas dan melangkah menuju pesawat. “Wah gagah sekali pilot itu, bila dewasa aku juga ingin menjadi pilot”, celetuk seorang bocah sekolah dasar bergelantungan di gerbang bandara.

“Fall in love at the first sight” adalah berarti jatuh cinta pada pandangan pertama. Penampilan dalam seragam profesi bisa dan seharusnya menjadi daya tarik dan ini sangat menentukan bagi anak-anak yang berusia junior dalam memilih karir/profesi sebagai cita-cita pertama mereka. Namun bagaimana dengan profesi keguruan dan bagaima dengan penampilan dan postur tubuh guru-guru ?

Di lapangan, di berbagai sekolah, dapat ditemukan bahwa banyak guru-guru yang tidak begitu peduli dengan penampilan mereka. Mereka membiarkan sepatu berdebu, kumis dan jenggot menjalar, warna pakaian pudar, pasangan lipstick tidak pas (bagi guru wanita). Sehingga wajarlah penulis naskah film dan sutradara melukiskan figur guru dalam sinetron bagi guru pria; tampil lugu, bercelana panjang longgar, rambut berminyak, berjalan menggandeng sepeda. Sementara guru wanita berdandan dengan baju kebaya, bersanggul, berkacamata dan tampil bersahaja.

Siswa-siswa cerdas pada banyak sekolah jarang yang sudi memilih karir sebagai guru, kecuali karena alasan ekonomi. Banyak anak-anak cerdas yang memilih untuk bekerja di bank, perusahaan, dokter, atau menjadi pengacara. Sejak teknologi berkembang maka banyak pula yang ingin berkarir dalam bidang ICT (Information Computer Technology), programmer, analist, dan syukur kalau ada yang memilih karir dalam bidang wiraswasta (karena sekarang semangat wiraswasta juga mulai meluntur). “Barangkali kalau kamu nanti jadi guru saja, supaya bangsa lebih cerdas?”, Tanya seorang guru. “Wah janganlah bapak, saya tidak berminat mengajar”, jangan seorang siswa dengan enteng”.

Barangkali siswa-siswa cerdas kurang melihat adanya daya tarik dari profesi guru yang dipantulkan oleh penampilan guru itu sendiri. “Gurunya cerdas tapi sayang kurang rapi, yang lain ada guru cerdas tapi hidupnya susah, di tempat lain saya lihat banyak guru-guru yang santai saja dari pagi”, komentar seorang siswa. Faktor lain yang membuat siswa cerdas lari dari karir guru adalah karena factor pribadi guru tersebut, seperti guru pemarah, pendedam, killer dan dianggap kikir dalam member nilai atau terlalu memberatkan fikiran siswa. Tidak zamannya lagi menjadi guru killer.

Ada pengalaman dan cerita yang masih terlintas dalam fikiran penulis tentang seorang siswa cerdas. Saat berusia remaja termasuk siswa bandel diberi hukuman “memasak air minum buat guru”. Namun ia sempat memasukan air kencingnya kedalam periuk sebelum meletakkannya ke atas kompor. Bayangkan hamper semua guru sempat mencicipi air minum bercampur kencing hari itu (na’uzubillah min zalik). Namun setelah jadi orang (dapat pekerjaan bagus) ia datang ke sekolah tersebut untuk minta maaf.

Kalau begitu seharusnya guru-guru juga harus berpenampilan gagah, anggun dan menarik. Kemudian juga harus memiliki wawasan luas dan cerdas bergaul serta berkomunikasi. Sebaliknya guru tidak harus tampil bersahaja, kulit bibir melepuh, tubuh kurang terurus, minim dengan wawasan dan cara berbicara yang kampungan. Inilah agaknya yang dikhawatirkan oleh pemerintah dan pemikir pendidikan agar tidak terjadi. Sehingga lahirlah Peraturan Pemerintah (Permen) no 14 tahun 2005 yaitu tentang guru dan dosen.

Permen ini mengharapkan agar guru memiliki kompetensi. Kompetensi tersebut adalah seperti kompetensi kepribadian, sosial, pedagogik maupun kompetensi profsional. Kompetensi secara wajar perlu mendapat kesempatan untuk ditumbuh kembangkan sehingga berdampak postif pada siswa.

Kompetensi adalah kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran bagi peserta didik yang berkaitan dengan pemahaman terhadap peserta didik, perencanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, serta pengembangan peserta didik untuk mengatulisasikan. Kompetensi kepribadian yang merupakan perwujudan pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan menjadi teladan bagi siswa. Kompetensi professional merupakan komponen penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan dalam membimbing siswa memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam standar nasional pendidikan. Sedangkan kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi. Namun sekarang bagaimana realita kompetensi yang dimiliki oleh guru ? Untuk siapa permen 14/2005 ini dibuat, apakah untuk siswa, untuk orang tua, untuk penjaga sekolah, tukang kebun atau untuk guru ? Permen 14/2005 dibuat, tiada lain-tiada bukan, adalah untuk kaum guru agar mereka menjadi profesi yang bermartabat dan terhormat.

Sekali lagi, apa faktor penyebab siswa mengidolakan figur lain seperti artis dan olahragawan dan banyak siswa cerdas yang enggan jadi guru ? “Profesi guru kurang punya tantangan bila dibandingkan dengan profesi di bidang BUMN dan dunia industry, yang saya lihat cuma banyak guru yang santai, datang ke sekolah hanya saat jam mengajar saja, kalaupun cepat datang itupun mereka gunakan untuk tertawa dan mengerumpi ala anak ABG”, kata seorang siswa saat menentukan pilihan karirnya.

Menjadi guru dengan gaya hidup santai, apalagi juga banyak guru yang gagap dengan tekhnologi (gaptek) telah membuat nyali siswa cerdas, kecuali yang punya alasan ekonomi, untuk menuju professi keguruan. Ini tidak dapat dipungkiri, malah guru-guru sendiri kurang bangga dengan profesinya, “kamu nak, kalau sudah dewasa tidak usah jadi guru, karena tidak ada guru yang jadi conglomerate”.

Last but not least (akhir kata), sebenanya guru tidak perlu takut untuk dimarginalkan- dikesampingkan- kalau mereka bias memperlihatkan keunggulan. Guru tidak perlu mengemis penghargaan- bermohon untuk dihargai- dan bermohon minta martabat dari orang lain kalau mereka bisa tampil gagah dan berwibawa, tidak loyo dan tidak berdaya. Guru akan punya harga diri dan profesinya akan selalu dikagumi kalau mereka semua bias menjadi guru yang professional, kalau sekarang guru yang menerima sertifkasi guru belum semuanya dapat dikatakan guru professional kalau kalau portofolionya lahir lewat jalan yang penuh kong kalingkong (penuh rekayasa dan dengan sejumlah dokumen copy paste). Guru yang professional harus peduli dengan anak didik, peduli dengan dunia pendidikan dan tahu dengan job description, mereka harus sibuk mengurus diri dan bukan sibuk mengurus pribadi orang lain.

Note: Agustinus.(2009). Sekolah Rusak ,siapa yang harus mengaku dosa ?. Bogor: Tabloid Gocara, Edisi 14/II/April 2009

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...