Kamis, 15 November 2007

MENAGIH KEPEDULIAN ORANG TUA DALAM MENDIDIK ANAK

MENAGIH KEPEDULIAN ORANG TUA DALAM MENDIDIK ANAK
Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
Program Layanan Keunggulan Kab. Tanah Datar , SUMBAR

Siapa yang lebih bertanggung jawab atas pendidikan anak, gurukah atau orang tua? Jawabannya tentu saja tergantung pada titik pandang setiap orang yang mencoba untuk menjawabnya.
Pada umumnya tanggung jawab mendidik anak diawali oleh kepedulian dan rasa tanggung jawab orang tua.
Perhatikanlah bagaimana sibuknya sepasang orang tua yang baru punya bayi dan anak Balita dalam mencukupi kebutuhan dan mendidik buah hatinya.
Mereka tampak begitu gembira dan menuturkan kepada siapa saja yang mau mendengar tentang perkembangan dan kemajuan yang telah diraih buah hatinya itu.
Begitu anak dikirim ke Taman Kanak-kanak untuk belajar bersosial maka sebagian orang tua cenderung menyerahkan urusan mendidik anak pada sang guru. Namun sebagian masih tetap memantau, mendorong dan mengikuti perkembangan mereka sampai pendidikan Sekolah Dasar selesai.
Dalam pengalaman ditemukan bahwa banyak orang tua yang jarang mengayomi anak belajar seperti saat mereka masih kanak-kanak, begitu mereka duduk di bangku SMP dan tingkat SMA.
Sering kita dengan keluhan orang tua tentang prestasi anak mereka anjlok yang setelah berada di SMP. Atau mereka kaget dengan watak anak yang dulu begitu terpuji tetapi jadi memusingkan saat duduk di bangku SLTA.
Kalau ini terjadi tentu ada pihak tertentu yang dapat untuk disalahkan. Setiap murid atau anak didik memiliki tiga aspek kehidupan, yaitu kognitif (otak), afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan).
Ada kecenderungan masyarakat untuk melemparkan kesalahan pada guru “gagal dalam mengajar” bila prestasi kognitif dan psikomotorik anak di sekolah dinilai rendah, dan melemparkan kesalahan kepada orang tua atau lingkungan bila menjumpai anak tidak punya sikap dan akhlak yang baik.
Pada umumnya, bila anak mulai memasuki jenjang pendidikan formal maka orang tua menyerahkan urusan pendidikan anak kepada guru-guru di sekolah. Kepedulian nyata orang tua yang sering tampak adalah dalam bentuk pemenuhan kebutuhan anak yaitu dalam bentuk sandang, pangan dan papan.
Selanjutnya mereka menghabiskan waktu untuk mencari nafkah dan untuk menekuni hobi dan hampir tidak punya waktu untuk menemani dan mengikuti perkembangan anak dalam belajar.
Banyak orang tua yang memiliki waktu lowong namun jarang yang memanfaatkannya untuk mendidik anak.
Penyebabnya adalah mereka sendiri tidak memiliki konsep bagaimana cara mendidik keluarga. Konsep mendidik anak bagi keluarga awam adalah menyerahkan anak ke mesjid dan ke sekolah, kemudian menghujani mereka dengan nasehat-nasehat, anjuran dan perintah atau kemudian memarahi anak kalau melanggar. Sebuah konsep pendidikan yang terlihat terlalu sederhana bukan? Dan ternyata hasilnya juga mengecewakan.
Dari pengalaman bahwa umumnya hampir setiap anak (terutama remaja) tidak terlalu memerlukan nasehat, apalagi nasehat yang diberikan secara bertubi-tubi dan nada mendikte.
Anak akan mencap orang tua yang begini sebagai orang tua yang sangat cerewet. Sebenarnya yang diperlukan anak dari orang tua adalah contoh teladan (contoh langsung) serta penyediaan sarana belajar dan kasih sayang.
Sedangkan memberikan nasehat apalagi nasehat dengan nada yang penuh emosi akan membuat anak menutup pintu hatinya dan bahkan juga menjauhi orang tuanya.
Demikian pula di sekolah, anak didik cenderung untuk membuat jarak dengan guru-guru yang pemarah.
Selama anak berada dalam usia belajar di sekolah formal, masyarakat (orang tua) cenderung menempatkan beban pendidikan ke atas pundak guru.
Di sekolah, anak diperkenalkan dengan sejuta aturan, mulai dari bagaimana hidup yang disiplin sampai kepada bagaimana mencapai keberhasilan hidup kelak. Di sekolah anak diajar untuk mengembangkan potensi diri, diajarkan sejumlah konsep dasar tentang kehidupan dan dibekali dengan tugas rumah (PR) sebelum pulang.
Namun di rumah, kecuali bagi segelintir keluarga, anak dibiarkan hidup tanpa aturan, tidak diajar mandiri, terlalu didikte, dan terlalu banyak dibantu sehingga konsep belajar di sekolah akan menjadi kontradiksi dengan konsep belajar di rumah dengan porsi belajar yang terlalu sedikit dibandingkan dengan porsi hiburan dan bersantai. Kita tahu bahwa kualitas pendidikan anak didik di sekolah yang pada umumnya cenderung turun atau selalu jalan di tempat. Walau banyak sekolah yang mengklaim bahwa telah terjadi peningkatan kualitas anak didik di sekolahnya. Secara umum itu hanyalah sebatas angka-angka hasil rekayasa dan manipulasi data.
Untuk fakta yang jelas, silahkan terjun ke lapangan untuk mengobservasi kualitas murid-murid pada setiap sekolah. Maka mayoritas terlihat murid yang minat belajarnya begitu rendah dalam suasana belajar penampilan mereka terlihat lesu dan santai ibarat orang kurang darah.
Melihat kondisi anak didik yang lesu karena fikiran mereka kurang terkondisi sejak dari rumah maka ini akan membuat guru kehilangan strategi dalam memotivasi mereka. Umumnya metode yang disodorkan guru agar anak didik bergiat adalah dengan cara marah-marah dan menakut-nakuti atas ketidakacuhan mereka selama belajar maka hasilnya adalah nihil.
Sebenarnya bila anak telah memasuki jenjang pendidikan formal, mulai dari tingkat SD sampai ke tingkat SLTA, maka tanggung jawab mendidik menjadi tanggung jawab bersama antar guru dan orang tua.
Keberadaan orang tua dan guru dalam urusan mendidik adalah ibarat dua sisi mata uang. Hasil pendidikan tidak akan pernah sempurna kalau diserahkan saja kepada guru atau kepada orang tua yang notabenenya bukan sebagai pendidik.
Selama ini terlihat kecenderungan bahwa sekolah sendirianlah yang memikul beban pendidikan. Sejumlah pelatihan, penataran, seminar, lokakarya dan program penyegaran lain telah diberikan pada guru-guru dengan harapan agar pendidikan lebih berkualitas. Selama mengikuti kegiatan ini, guru memperoleh pembekalan tentang bagaimana pendidikan dan pengajaran yang ideal.
Dengan harapan agar pasca pelatihan mereka akan mampu membuat berbagai terobosan dan inovasi baru. Namun dalam kenyataan hasilnya tetap belum menggembirakan, malah cenderung tampak bahwa pasca pelatihan guru selalu menerapkan teknik dan metode mengajar seperti semula.
Kini terlihat bahwa untuk mendongkrak mutu pendidikan bangsa, sekolah bergerak sendirian tanpa melibatkan orang tua secara tegas dan memberikan isyarat tentang apa dan bagaimana seharusnya orang tua terhadap anak di rumah. Padahal untuk ini pemerintah telah menghabiskan dana jutaan dolar dan guru menghabiskan waktu serta tenaga untuk mengikuti berbagai pelatihan dan penataran hanya demi perubahan kecil saja dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Sekarang kita patut beranya bahwa adakah ahli pendidikan yang memikirkan untuk memberikan pelatihan terhadap orang tua murid seperti memberi pelatihan kepada guru-guru atau adakah pihak sekolah secara kontinyu melowongkan waktu untuk berbagi pengalaman hati ke hati secara rileks tentang pendidikan dalam bentuk komunikasi dua arah dan tanpa menggurui orang tua?
Kepedulian orang tua dalam mendidik anak yang belajar di Sekolah Dasar apalagi pada tingkat SMP dan SLTA, seperti kepedulian mereka mendidik anak saat masih di Taman Kanak-kanak, mencukupi kebutuhan makanan, hiburan, mengembangkan sosial dan emosional, sampai dengan penyediaan sarana hiburan dan pendidikan adalah mutlak diperlukan. Dalam kenyataannya kepedulian orang tua nyaris berkurang. Pada hal saat anak menginjak remaja dan mengalami krisis jati diri mereka sangat memerlukan orang tua sebagai teman pendamping untuk berbagi pengalaman dan kegelisahan.
Memang tidak mudah untuk mengikuti perkembangan dan pendidikan anak sampai tingkat remaja. Namun kalau orang tua selalu mau belajar dan menjadikan belajar sebagai kebutuhan dalam hidup maka tidak akan ada hal-hal yang terlalu sulit untuk diatasi. Dalam zaman informasi ini yang mana pengetahuan serba mudah untuk diperoleh, maka setiap orang akan dapat mencari solusi dari buku, bacaan lain, dan dari internet serta paling kurang dari teman dalam bentuk saling berbagi pengalaman.
Kita perlu mengritik orang tua yang terlalu menomorsatukan karir dan pekerjaan tetapi sangat mengabaikan pendidikan anak sendiri. Dalam hidup ini cukup banyak kita temui orang-orang yang mantap dalam pekerjaan dan sangat trampil dalam mendidik dan membina orang lain tetapi gagal dalam membina anak-anak sendiri, apalagi kalau sampai drop-out dari sekolah. Kita pantas mengacungkan jempol kepada sang ayah dan ibu walau hanya pendidikan formal biasa-biasa saja tetapi punya wawasan dan konsep dalam mendidik keluarga, telah mampu berpartisipasi dalam menyukseskan pendidikan anak-anak di sekolah.
Dalam mendidik keluarga dan ikut menyukseskan pendidikan anak di sekolah, setiap orang tua perlu mengorbankan waktu, tenaga dan uangnya. Meluangkan waktu untuk membuat kebersamaan dengan anak adalah sangat penting. Adalah sangat tidak berguna meluangkan waktu sampai berjam-jam tetapi kebersamaan dengan anak penuh dengan pengalaman kemarahan dan beda pendapat. Anak memerlukan kebersamaan yang menyenangkan dan bermutu dan teratur tiap hari. Untuk itu setiap orang tua perlu untuk menata waktu dan keluarga kembali sebelum hal-hal yang tak diingini terjadi. Semoga menjadi renungan bagi setiap orang tua.









DAYA SERAP MURID DAN MENTAL GURU

DAYA SERAP MURID DAN MENTAL GURU
Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
Program Layanan Keunggulan Kab. Tanah Datar

Imajinasi tentang guru tempo dulu yang kita dengan dari generasi tua adalah rapi, tenang, cerdas dan berwibawa. Sehingga sosok guru bagi muridnya adalah sebagai panutan dan dikenang sepanjang masa. Guru yang ideal terlukis dalam kalimat yang diekspresikan oleh Almarhum Kihajar Dewantara, “Ingmadya Mangunkaso, ing ngarso sung tulodo dan tut wuri handayani”. Masih adakah sosok guru yang begini sampai sekarang?
Tentu saja sosok guru yang ideal masih ada sampai sekarang. Namun guru-guru yang pengabdiannya meluntur juga banyak. Tidak perlu kita melihat terlalu jauh. Lihat sajalah keadaan guru-guru yang ada di seputar kita. Atau mungkin kita sendiri termasuk guru yang mengabaikan tanggung jawab? Untuk itu ada baiknya sekali-sekali kita melakukan introspeksi diri.
Telah banyak orang mengupas tentang penyakit yang ada pada profesi guru. Tulisan-tulisan itu tentu lebih banyak menyorot masalah sikap dan mental guru. Padahal guru sebenarnya telah mengetahui konsep-konsep nilai dan mental yang baik tetapi kenapa kemudian bisa merosot? Dengan kata lain kita katakan bahwa umumnya guru-guru tahu apa yang dilakukan dan bagaimana cara melakukan tetapi mereka tidak berbuat.
Gambaran guru sekarang, walau tidak semuanya, banyak bersikap santai, suka pamer, masa bodoh dan pergi mengajar asal membayar hutang saja dengan arti kata pengabdian rendah. Lihatlah, misalnya ada guru wanita yang datang ke sekolah ibarat seorang artis sinetron dengan asesori ibarat toko perhiasan berjalan. Guru pria cukup banyak yang datang ke sekolah dengan melenggang kangkung dengan sebatang rokok terselip di bibir.
Agaknya penataran-penataran, apakah dalam bentuk MGMP, sanggar-sanggar pendidikan, berskala kecil sampai kepada skala besar, adalah mubazir dan membuang-buang dana negara saja. Tidak jarang terlihat begitu guru yang bersangkutan pulang dari penataran kembali mengajar ala Tarzan saja dan malah tanpa menyampaikan apa-apa saja misi penataran yang telah dibawanya.
Sanggar-sanggar belajar seperti MGMP, sebagai misalnya, tepatnya hanyalah ajang membuat satuan pelajaran saja. Dengan cara menyalin satuan pelajaran dari teman-teman dari sekolah lain atau dari guru inti. Itu pun lebih didominasi oleh aktivitas berbagai aib tentang sekolah dan pribadi orang lain dan bukan untuk membahas masalah yang ditemui di sekolah masing-masing. Paling kurang motivasi guru untuk mengikuti sanggar dan penataran adalah untuk memperoleh sertifikat untuk modal naik pangkat, mengharapkan uang transpor dari proyek penataran dan sarana untuk rekreasi walau sekali-kali diselingi oleh ketidakhadiran secara sengaja atau tidak disengaja. Sebetulnya segala bentuk penataran tetap efektif untuk meningkatkan kualitas guru-guru peserta. Andaikata guru-guru peserta adalah guru-guru yang mempunyai daya serap yang rendah terhadap ilmu pengetahuan, maka penataran ini mungkin cocok untuk saran remedial bagi mereka.
Adalah fakta dapat kita jumpai bahwa cukup banyak guru tidak suka membaca. Mereka biasanya dengan senang hati mengungkapkan alasan-alasan mengapa mereka tidak suka membaca. Dan untuk seterusnya kita dapat mempertanyakan bagaimana kualitas mereka dulu semasa masih berstatus mahasiswa hingga menjadi sarjana karbitan.
Cukup banyak kita melihat mahasiswa perguruan tinggi yang menuntut ilmu sekedar mode saja. Menuntut ilmu sekedar asal-alasan. Melangkah dengan gerak lesu dan mulus. Pergi kuliah Cuma melenggang atau paling-paling membawa buku tulis tipis saja. Jarang mahasiswa yang sudi menamatkan membaca buku mata kuliah, apalagi membaca buku-buku umum untuk memperluaskan wawasan. Kalau kemudian mereka dapat menjadi sarjana, itu pun bermodalkan ilmu dan pengetahuan dari catatan dan fotokopi-fotokopi lembaran buku yang disuruh dosen semata. Dan kalau ada yang menulis skripsi itu juga ditulis asal-asalan dan rekayasa. Andaikata penguji skripsi meminta agar calon sarjana memperlihatkan buku-buku referensi tentu mereka akan betul-betul kewalahan dan akan terbuka kedok kekurangorisinilan skripsi mereka. Pendek kata rata-rata mahasiswa malas membaca. Dan kalau mereka menjadi sarjana, bagi calon guru, kalau mereka tidak diangkat sebagai pegawai, terpaksa susah mengubah nasib. Itu disebabkan karena minimnya wawasan dan keberanian mental. Mereka serba canggung untuk banyak berbuat.
Kalau kita amati bahwa kurang terkuasainya materi pelajaran oleh para guru, itu disebabkan oleh berkembang cepatnya materi pelajaran. Perkembangan ini, apakah dalam bentuk konsep pendidikan, metode pengajaran maupun penyempurnaan kurikulum. Tetapi ini tidaklah begitu masalah kalau seorang guru tetap menyenangi membaca dalam usaha untuk meningkatkan kualitas diri.
Melihat metode pengajaran yang ada betapa mutu pendidikan ini tetap rendah. Ini semua akibat dari metode kuno yang tetap diterapkan oleh guru-guru karena metode ini terasa enteng, dan tidak menyita waktu yang banyak. Kita mengenal bahwa media pengajaran, misalnya, merupakan sarana yang ampuh untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Tetapi marilah kita hitung berapa orang betul guru yang masuk kelas secara lengkap dengan satuan pelajaran dan media. Nyatalah bagi kita bahwa metode mengajar guru-guru secara umum adalah berceramah dan ceramah melulu sampai pada akhirnya murid-murid menjadi pasif bagaikan beo berkepala manusia. Tetapi herannya kenapa ini kurang mendapat perhatian dari segala pihak? Malah sekarang apa pula kecenderungan guru-guru meninggalkan praktek labor IPA sejak peningkatan NEM digemakan di sekolah-sekolah. Sebab NEM adalah ukuran kualitas suatu sekolah, maka kerja guru dan murid dalam proses belajar mengajar lebih terfokus untuk membahas soal-soal yang akan di-EBTANAS-kan (?).
Cukup banyak, kita kira, guru yang asal membayar hutang saja dalam menunaikan tugas mengajar. Guru-guru yang begini cenderung tidak terikat pada target kualitas pengajaran yang dicapainya. Apakah saran yang cocok kita sampaikan kepada guru-guru yang senantiasa mengirim catatan saja ke sekolah dan ia sendiri membuat alasan yang cukup banyak? Atau guru yang setiap kali menyajikan pelajaran dengan cara mendiktekan pelajaran kepada siswa sampai habis target waktu. Lumayan jugalah kiranya metode berceramah, walau metode ini cukup berbahaya untuk mematikan kreativitas dan berekspresi murid.
Kebanyakan guru cenderung mengabaikan misi nasional pendidikan. Dimana mendidik anak berarti mempersiapkan generasi penerus bangsa. Adapun tekad pendidikan sekarang adalah berusaha untuk membentuk SDM yang berkualitas. Maka adalah secara tidak langsung. Dan itu karena pribadi guru yang santai dan masa bodoh atas kualitas diri sendiri dan kualitas anak didik mereka. Guru-guru sekarang, walau sebagian saja, lebih teperdaya oleh materi dan bentuk-bentuk hiburan dan kemewahan. Inipun sering terungkap dalam percakapan sesama guru dan terhadap anak didik. Pada akhirnya guru tidak mewarisi kekayaan intelektual pada mereka tetapi hanya mewarisi nilai materialistis, sehingga kelak segala sesuatu itu diukur berdasarkan materi dan uang.
Modal guru untuk masuk kelas, kalau boleh janganlah sebatas penguasaan bidang studi saja. Tetapi sangat layak guru kalau menguasai ilmu-ilmu lain untuk memudahkan menghadapi anak-anak didik, terutama bagi guru-guru yang mengajar di tingkat SLTP dan SLTA dimana anak didik berada pada masa topan dan badai, masa pubertas, yang tidak cukup ampuh menghadapi mereka dengan satu modal penguasaan bidang studi semata. Sekarang jelaslah akibat minimnya penguasaan ilmu guru, terutama ilmu psikologi dan ilmu pendidik, sehingga guru cenderung merasa tidak begitu penting mengenal individu murid sebagai bagian dari proses pengajaran.
Terakhir adalah sikap mental guru yang membuat daya serap murid rendah adalah sikap guru yang tak pernah merasa bersalah atas kemalasan dan keterlambatannya dalam mengajar. Cukup banyak guru secara sengaja atau tidak sengaja menunda kehadiran mereka di sekolah. Terlambat tiba di kelas dan cepat pula mengakhiri pelajaran sebelum waktunya tiba. Gejala sikap mental yang begini adalah akibat hidup tanpa membudayakan hidup berdisiplin.
Pada hakikatnya citra guru ideal itu tetap ada sampai sekarang. Cuma sekarang harapan kita adalah bagaimana kalau guru-guru seperti demikian dapat bertambah secara kualitas dan kuantitas. Kalau boleh kita sendiri juga harus mencerminkan guru ideal seperti yang dilukiskan oleh Almarhum Kihajar Dewantara agar dapat digugu dan ditiru.
Sikap kita untuk menjadi guru ideal adalah dengan cara bersikap sederhana, rapi, berwibawa, mengabdi kepada tugas dan mencintai dunia pendidikan serta selalu menambah ilmu pengetahuan agar luas dalam wawasan. Kita telah melihat bawa daya serap murid yang rendah, selain disebabkan oleh faktor lain, juga merupakan efek dari bentuk mental guru yang kurang benar. Dan sikap ini tentu saja dapat diatasi asal mau mengubahnya. Memang sudah sewajarnya untuk kembali mengangkat citra pendidikan dan citra guru kita harus kembali membenahi diri. Apalagi keberadaan kita sebagai guru semakin berarti dalam membangun bangsa ini.

Rabu, 14 November 2007

Tanggung Jawab Kepala Sekolah Unggulan Dalam Mengembalikan Mutu Pendidikan


Tanggung Jawab Kepala Sekolah Unggulan Dalam Mengembalikan Mutu Pendidikan

Oleh Marjohan

KEADAAN sekolah-sekolah kita selama ini. Ibarat orang yang menderita sakit parah. Tetapi belum lagi sampai menderita kanker karena, mudah-mudahan, masih dapat disembuhkan.
Macam-macam cara yang ditempuh dalam mengobat mutu pendidikan yang anjlok ini. Mulai dari pembenahan kurikulum sampai kepada pembenahan disiplin, meski masih tetap bersifat seruan dan teori-teori. Maka kini, khusus untuk Sumatera Barat, Drs. Basri AS,M.M sebagai Kakanwil Depdikbud membenahinya lewat kepala sekolah unggulan.
Sekarang telah terlihat perbedaan pengangkatan kepala sekolah, yakni sistem lama dan sistem baru.
Pengangkatan kepala sekolah dalam sistem lama telah gagal dalam mengembangkan mutu suatu sekolah. Kriteria kepala sekolah seperti profesionalisme, berakhlak, punya manajemen, punya jiwa kepemimpinan dan kompetensi fikiran kurang diperhatikan karena faktor tender. Agaknya bukan rahasia lagi bahwa calon kepala yang unggul dalam jumlah finansial, walau tidak berakhlak atau berkompetensi, itulah yang akan menjadi kepala sekolah. Dimana pada akhirnya untuk mengembalikan dana yang hilang selama masa tender, maka ia menjadikan sekolah sebagai ladang bisnis. Malah dana operasional yang seharusnya digunakan untuk kelancaran PBM bisa menguap ibarat kapur barus.
Pengangkatan kepala sekolah pada masa sekarang lebih berorientasi kepada kwalitas dengan harapan agar kepala sekolah selalu bersifat kompetitif dan selektif. Mudah-mudahan bersih dari faktor materi atau tender-tenderan.
Pengangkatan kepala sekolah tanpa memperhatikan kriteria telah menyebabkan mereka melakukan dosa-dosa selama menjadi kepala sekolah. Apalagi jabatan kepala sekolah cenderung bersifat jabatan abadi.
Ada beberapa dosa kepala sekolah yang menarik untuk diungkapkan. Seperti prosentase kehadiran kepala sekolah di sekolah yang kurang. Alasan pribadi dan sepele membuatnya berani mengatakan bahwa dia lagi dinas luar. Bila persentase kehadiran kecil maka bagaimana seorang kepala sekolah itu dapat menjadi panutan. Kemudian juga kurang transparan dalam masalah keuangan. Seperti dalam laporan pemanfaatan uang sumbangan orang tua murid kepada BP. 3 (Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan) dimana sekian puluh ribu rupiah digunakan untuk menutupi honor guru. Padahal dalam kenyataan honor tadi telah disunat sampai lima puluh persen dan dilipat masuk kantong. Begitu pula penggunaan dana operasional yang mana penggunaannya sering dirahasiakan. Dan tahu-tahu dana pendidikan ini digunakan untuk membangun istana pribadi atau membeli kendaraan luks. Dosa lain dari kepala sekolah selama ini adalah tidak melakukan supervisi kelas, meskipun hanya untuk lima menit saja. Sehingga sekarang ini kebanyakan guru mengajar ibarat dosen saja tetapi dengan cerita yang mengelantur kesana kemari.
Sampai detik ini masih banyak kepala sekolah yang tidak wajar sebagai kepala karena tidak memiliki ilmu manajemen dan sikap kepemimpinan, sehingga mereka memperlihatkan sikap yang aneh-aneh. Ada yang suka menggertak guru-guru dengan nilai BP. 3 atau dihalangi naik pangkat. Banyak juga kepala yang suka mendikte guru-guru, suka pilih kasih sampai kepada suka mengambil muka kepada pejabat pengawas sekolah. Misalnya memberikan laporan yang serba bagus yang berlawanan dengan fakta sebenarnya. Malah tidak sedikit kepala sekolah yang sengaja menjaga wibawa dengan cara “jarang ngomong” dengan guru-guru sebagai bawahan, dimana pada akhirnya dia sendiri akan menjadi bahan gosip oleh guru-guru pada waktu senggang.
Bagaimana kesempatan bagi guru-guru untuk menuangkan gagasan dalam kepemimpinan kepala sekolah yang lulus dalam seleksi ketat baru-baru ini? Dimana mereka adalah kepala sekolah yang bersikap kompetitif dan seleksi dengan arti kata mereka adalah kepala sekolah unggulan.
Selama ini kesempatan bagi guru-guru untuk menuangkan gagasan dalam kepemimpinan kepala sekolah yang lulus dalam seleksi ketat baru-baru ini? Dimana mereka adalah kepala sekolah yang bersikap kompetitif dan selektif dengan arti kata mereka adalah kepala sekolah unggulan.
Selama ini kesempatan bagi guru-guru untuk menuangkan gagasan agak terbelenggu. Ini tentu saja akibat kepemimpinan kepala sekolah yang asal diangkat saja. Dimana mereka seolah-olah memiliki hak veto. Dalam rapat, misalnya kepala sekolah tampak cenderung memaksakan ide atau konsepnya sebagai keputusan yang mutlak. Salah seorang guru mengungkapkan bahwa karena sebagian kepala sekolah kurang luas wawasannya menjadi alergi atas kritikan bawahannya. Sehingga untuk menghindarinya terpaksa dibuat jarak sosial dan pada akhirnya terpaksa dibuat jarak sosial dan pada akhirnya berdampak buruk atas kelancaran proses belajar mengajar.
Kita sadari bahwa yang membuat ekspresi guru tetap terkungkung adalah karena faktor diri sendiri yakni karena wawasan yang kurang luas dan tidak terlatih untuk berbicara, juga karena faktor kepala sekolah.
Dalam interaksi antara kepala dengan guru-guru sebagai bawahan lebih terlihat sikap subjektif. Guru yang sering menemui kepala, walau sembrono dalam mengajar, maka itulah yang dianggap baik dan loyal sehingga bisa tinggi dalam penilaian DP. 3-nya. Sedangkan guru yang biasa-biasa saja, pada hal sangat bertanggung jawab dalam pelaksanaan KBM, karena kurang ngomong maka dinilai biasa-biasa saja. Jadi inilah akibat Kepala Sekolah yang malas mengadakan turba (turun ke bawah) untuk meninjau guru-guru dan sekaligus menjalin hubungan sosial dan emosional.
Seperti yang kita kenal tentang tipe guru secara umum yaitu guru yang suka menolak gagasan kepala, yang karena dianggap kurang tepat, dan guru yang suka ‘nrimo’ atau guru yang berwatak ‘yes-man’. Guru yang pertama selalu menghadapi kesukaran karena adanya benturan-benturan pendapat dengan sang kepala. Dan sebetulnya tentang pendekatan ada mereka yang melakukan tapi caranya kerap kurang mengena. Seorang guru wanita mengatakan bahwa ada kepala yang dekat dengan bawahan tetapi tetap mempunyai wibawa. Sebenarnya inilah kepala yang mempunyai tipe ‘leadership’ & ini adalah tipe kepala yang dapat dijadikan kepala unggulan. Dan ada pula kepala yang dekat dengan bawahan tetapi dibawa lalu saja, ini terjadi karena ia tidak punya potensi dan bakat dan berhak untuk dimutasikan sebagai guru biasa saja.
Pada mulanya kita kurang yakin akan gerakan penggantian atau pemutasian massal atas pucuk pimpinan sekolah di Sumatera Barat ini. Tapi sekarang kenyataan ini telah sama-sama kita lihat dengan terlaksananya penyerahan SK (surat keputusan) mutasi kepala SMP dan SMU, SK promosi dari wakil-wakil yang lolos seleksi menjadi kepala, SK pensiun dan SK kepala sekolah untuk menjadi guru biasa.
pada mulanya keberadaan kepala sekolah itu tergambar dalam ungkapan ‘tidak lapuk oleh hujan dan tidak lekang oleh panas’. Namun sekarang ungkapan itu berubah. Dimana kepala sekolah yang dinilai tidak mampu, langsung diberhentikan dan kembali menjadi guru biasa.
Pada mulanya tergambar bahwa seolah-olah jabatan kepala sekolah itu dapat dibeli lewat tender. Dan sekarang dalam manajemen dunia pendidikan yang baru telah berubah. Dulu faktor X lebih menentukan keberadaan seseorang untuk menjadi kepala sekolah.
Selama ini jabatan kepala sekolah merupakan jabatan abadi. Jika tidak ada promosi jabatan, maka tetaplah ia bertahan sebagai kepala sekolah selama bertahun-tahun. Dan kalau kebetulan daerah itu adalah daerah basah dan jiwa kepala sekolah adalah jiwa wiraswasta maka sempurnalah sudah sekolah itu sebagai lahan bisnis dan bukan sebagai lahan pendidikan.
Selama ini, terlepas dari berprestasi atau tidak, menjadi kepala sekolah tidak begitu sulit. Biasanya kepala sekolah mengusulkan wakilnya untuk dipromosikan sebagai kepala sekolah. Setelah itu entah bagaimana prosedurnya, sudah keluar saja SK kepala sekolah.
Gambaran selama ini bahwa kepala sekolah itu adalah hak milik, dapat dibeli dan dapat dipesan atau dititipkan. Dan di sekolah selama ini kepala sekolah lebih banyak duduk di belakang meja dan mengabaikan tanggung jawabnya yang lain.
Selama ini kepala sekolah seakan-akan lebih memperhatikan diri dan keluarganya dari pada memperhatikan bawahannya. Menjaga jarak dan jarang ngomong dengan guru-guru dan dengan pegawai. Dapat dihitung berapa kali ia berkomunikasi dengan pesuruh sekolah. Tidak ada gambaran bahwa kepala sekolah itu adalah sebagai bapak dari bawahannya sebab akibat sikapnya bawahan menjadi risih dan gugup kalau sama-sama berkumpul.
Karena selama ini orientasi kepala sekolah adalah membisniskan sekolah, walau hanya untuk segelintir saja, dan niat memimpin tidak ikhlas maka loyalitas (dedikasi) dan akhlak menjadi kabur. Apalagi kemampuan otak, manajemen dan profesionalisme serba nihil maka dampak kebijakan kepala sekolah kepada siswa sebagai objek sasaran pelaksanaan pendidikan juga kabur. Susunan program intrako dan ekstra kurikuler bagusnya hanya di atas kertas saja dan sulit untuk dibuktikan dalam pelaksanaan.
Jadi akibat kepala sekolah kurang bertanggung jawab atas pelaksanaan pendidikan di sekolahnya maka guru-guru juga tidak bertanggung jawab atas pelaksanaan proses belajar mengajar. Guru pergi ke sekolah untuk mengajar hanya asal membayar hutang saja. Akibat pengabdian perangkat sekolah kurang becus maka murid-murid juga tidak becus dalam belajar dan genaplah kemerosotan itu dalam gambaran NEM yang tiap tahun semakin merosot juga. Maka setelah terjadi perobahan besar-besaran maka kini tanggung jawab kepala sekolah unggulan dalam mengembalikan mutu pendidikan adalah dengan memperbaiki manajemen yang berantakan ini.

SDM Diperbindangkan Guru Tinggalkan Tugas

SDM Diperbindangkan Guru Tinggalkan Tugas

Oleh Marjohan
Guru SMA Neg. 3 Batusangkar

DALAM menyongsong era pembangunan jangka panjang tahap kedua ini orang, khususnya bangsa Indonesia, sangat sadar akan peranan dan keberadaan sumber daya manusia. Media masa ramai memberitakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan sumber daya manusia. Berbagai lembaga pendidikan dan non pendidikan sibuk mengadakan acara pelatihan, ceramah, seminar dan acara lain dengan satu tema yaitu meningkatkan kwalitas sumber daya manusia.
Tetapi saat orang ramai membicarakan tentang sumber daya manusia, masih banyak kita menemui guru-guru yang rela untuk meninggalkan tugas mengajar tanpa merasakan adanya beban mental sedikit pun. Guru-guru yang berbuat seperti ini persentasenya di sebuah sekolah memang tidak seberapa. Tetapi apabila dikumpulkan jumlah oknumnya dari sekolah rendah sampai sekolah tinggi dan dari sekolah yang berdomisili di desa sampai di kota, tentu akan memperlihatkan suatu angka yang dapat menggoncang wibawa dunia pendidikan ini.
Untuk memperoleh jawaban yang tepat atas perilaku oknum guru yang begini, agak sulit tetapi dari gejala luar yang mereka perlihatkan dapat diperoleh sejumlah kesimpulan atau alasan. Alasan yang membuat masih ada guru yang meninggalkan tugas adalah seperti: tidak menguasai materi pelajaran; tidak memahami perkembangan jiwa pelajar, masalah pribadi dan masalah interen sekolah.
Ada usaha positif yang telah ditempuh oleh kalangan pendidik untuk meningkatkan penguasaan materi pelajaran. Usaha positif tersebut adalah mengadakan penyegaran kepada guru-guru untuk aktif dalam MGMP (musyawarah guru mata pelajaran) dan penataran-penataran pada tingkat regional rendah sampai regional tinggi.
Kita sadari bahwa MGMP dan penataran-penataran hanyalah bersifat sebagai perangsang bagi guru untuk memacu kualitas diri. Namun yang sering dijumpai adalah sebagian peserta hanya bersikap hura-hura dan malah hanya bersikap hura-hura dan malah hanya sekedar mengejar sertifikat untuk bahan kenaikan pangkat. Guru yang sering juga dikatakan sebagai katalisator, pendorong untuk mempercepat perkembangan, bila tidak membelajarkan diri (autodidak) tentu akan tetapi ilmunya lebih tua satu malam dari murid akan klengpengkong dalam mengajar dan menguasai ruangan kelas.
Menguasai pelajaran saja tetapi sempit wawasan dan tidak memahami perkembangan jiwa pelajar akan membuat penyajian terasa kering. Guru yang masih tetap mahal senyum pada jam-jam pelajaran terakhir akan menimbulkan kontra yang makin melebar antara guru dan siswa. Perlu untuk diketahui bahwa sedikit saja kita tertutup dan merenggangkan diri tentu anak-anak didik tak ada tempat bergantung. Mereka melarikan jiwa dan guru mereka tidak kerasan, kemudian meninggalkan tugas mengajar dengan membuat alasan yang dibuat-buat.
Ada pamer. Lelucon, guru-guru atas kebosanan menghadapi kelas. Mereka membagi waktu yang satu jam atas empat bagian. Pas lonceng masuk berbunyi guru mondar-mandir seperempat jam; kemudian masuk dan mengambil absen selama seperempat jam’ dilanjutkan guru marah-marah selama seperempat jam. Tinggal waktu lagi seperempat jam dan digunakan untuk mencatat buku sampai penuh, sebagai kepanjangan dari istilah CBSA.
Masalah pribadi sering menyebabkan guru meninggalkan tugas dengan enteng. Selain masalah berat yang dapat diterima adalah masalah ringan yang sengaja diberat-beratkan. Penyakit-penyakit ringan seperti masuk angin, flu dan batuk ringan sering sebagai penyebab guru terpaksa meninggalkan tugas mengajar. Padahal tepat pada tanggal-tanggal baru mengambil gaji walau mereka sedang lumpuh kakinya sempat datang ke sekolah untuk menandatangani amprah gajinya.
Namun bila ada guru yang meninggalkan tugas mengajar karena masalah interen sekolah, tentu ini dapat ditinjau toleransinya. Yang bisa berkaitan dengan hal ini adalah seperti: Kepala sekolah yang perhatian dan kasihnya tidak merata pada setiap guru. Malah dalam sistem kenaikan pangkat sekarang, angka kredit jabatan, posisi kepala sekolah bisa berubah dari posisi manusia kepada posisi Malaikat. Guru yang bisa mengamin dapat diberi SK dan diusulkan kenaikan pangkat. Guru yang mempunyai paham lain dapat disiksa dengan memencilkan, dimana pada akhirnya timbullah keonaran dalam tubuh sekolah. Persaingan guru sama guru membuat guru yang tersingkir, tidak kerasan berada di sekolah. Orang atau guru bila tidak mencintai lagi instansi sekolah tentu pengabdiannya pada dunia pendidikan semakin melemah. Sebaliknya bila guru mencintai sekolah dan sudi menjadikan sekolah sebagai rumah kedua tentu dia akan betah berada di sekolah untuk merawat dunia pendidikan.
Memang saat sumber daya manusia diperbincangkan pada tingkat nasional, tidak tepat lagi bila masih ada guru yang sengaja meninggalkan tugas mengajar. Malah yang lebih tepat dilakukan oleh guru untuk ikut menyukseskan program peningkatan sumber daya manusia dalam rangka menyongsong era pembangunan jangka panjang tahap kedua adalah menguasai skil-skil. Bagi seorang guru ada tiga bentuk skill yang harus dikuasai yaitu, keterampilan (skill) implementasi, yakni menguasai materi pelajaran. Kemudian menguasai keterampilan komunikasi, untuk syarat ini guru mesti mempunyai wawasan. Dan, terakhir, menguasai keterampilan humanrelasi.
Tentang sumber daya manusia, walau sekarang baru ramai didengungkan namun leluhur pendidikan bangsa Indonesia telah dahulu menyerukan agar guru mengamalkan “ing madya mangun karso, ing ngarso sung tulodo, tut wury handayani”. Dan begitu pula, berabad abad sebelumnya, Islam telah menyerukan “Tuntutlah ilmu dari ayunan sampai ke liang lahat” Semuanya itu mengingatkan kita.

Nilai Obralan Meruntuh Wibawa dan Kualitas Pendidikan

Nilai Obralan Meruntuh Wibawa dan Kualitas Pendidikan

Oleh Marjohan
SMA Negeri 3 Batusangkar

Kita masih ingat bahwa dulu saat fenomena bahwa kantor-kantor pemerintah dan swasta mengumumkan nilai rata-rata paling rendah 7, sebagai syarat mengikuti ujian kepegawaian. Dan sebelum penilaian dengan “NEM” dilakukan, sebelum tahun akademik 1985/1986, banyak orang mengatakan bahwa sekolah-sekolah yang kikir dalam memberikan nilai. Guru-guru sendiri kadang-kadang suka mikir-mikir dua kali untuk memberikan nilai angka enam saja kepada muridnya.
Tetapi semenjak pemerintah membuat persyaratan rata-rata nilai tujuh ke atas sebagai penentuan seleksi pegawai maka itulah titik awal dari pengobrolan nilai yang dilakukan oleh sekolah-sekolah dengan alasan sekadar untuk menolong murid agar mereka tidak menjadi pengangguran di tengah masyarakat.
Ketentuan persyaratan ini dapat bernilai negatif atau positif sesuai dari kaca mata kita memandang. Kita beranggapan baik bahwa dengan persayaratan nilai minimal tujuh untuk diterima untuk bekerja maka diharapkan agar anak-anak didik bersemangat dan berpacu dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Dari kacamata negatif seolah-olah syarat ini memancing kolusi-kolusian demi meraih nilai, menggerogoti tubuh pendidikan.
Sekarang bagaimana wajah penilaian terhadap lulusan sekolah, misalnya lulusan SMP dan SLTA? Setiap siswa memiliki nilai ganda, yaitu nilai pada ujian yang rata-rata cukup tinggi dan nilai yang tertera pada NEM yang sering memalukan siswa sendiri untuk mengungkapkannya. Jarang sekali penilaian ini yang sinkronis. Idealnya bukankah anak-anak yang memiliki NEM tinggi juga memiliki nilai ijazah tinggi.
Setelah munculnya penilaian lewat “NEM” atau sekarang diistilahkan dengan Standar kelulusan maka tampaknya ijazah kehilangan harga diri. Orang sudah terlanjur percaya kepada kehadiran NEM atau standar angka kelulusan , pada hal NEM itu sendiri memiliki dimensi banyak. Kita katakan dia berdimensi banyak karena NEM itu sendiri dapat diotak-atik oleh orang-orang tertentu.
Sudah terlalu sering media massa menyingkapkan adanya kasus jual beli NEM. Malah pada tiap sekolah, kemungkinan, harga diri sekolah diukur lewat NEM. Maka agar NEM sekolah tinggi maka saat ujian berlangsung dibuatlah aturan main. Ada sekolah yang sengaja membuat suasana ruang ujian begitu padat yang mana idealnya dalam satu deret mesti berderet sampai lima atau enam. Dan kalau ditanya “kenapa begini?” Maka alasannya adalah karena kekurangan kelas. Padahal di balik alasannya itu adalah karena peningkatan mutu yang palsu.
Ada pula sekolah yang membuat aturan, tempat bangku peserta Ebtanas selang seling antara siswa bodoh dengan siswa pintar. Dengan tujuan yang pintar dapat membantu temannya yang lemah. Dan apakah ini betul-betul cara penolongan yang baik? Malah legalisasi dan dikelola pula oleh sekolah. Apakah ini suatu fenomena peningkatan mutu pendidikan atau malah sebaliknya?
Menolong siswa dengan cara yang naif ini juga banyak dilakukan oleh guru-guru bidang studi yang kebetulan bidang studi itu di-UAN’kan. Ya kalau panitia ujian itu kebetulan guru bidang studi sendiri, atau ia datang saat ujian dengan dalih lain, padahal ikut menjawab lembaran ujian dan menyebar kunci jawaban kepada anak-anak yang keluar dengan alasan ingin ke kamar kecil atau pura-pura ingin membuang ingus padahal menyabet kunci ajaib yang telah ditebar guru. Hal ini dilakukan agar bidang studi yang ia ajar tinggi dan ia tetap dianggap pintar mengajar dan bukan sebagai guru yang “goblok”. Dan masih banyak lagi kasus-kasus pelecehan penilaian ini dengan alasan kalau diungkapkan dapat merusak nama baik guru, atau nama baik sekolah. Kalau pelecehan ini terungkap dapat meruntuhkan wibawa instansi kita. Demikian komentar-komentar pembelaan yang sering diungkapkan agar berita tidak meluas.
Memang sekarang pengobralan nilai telah terlalu lumrah untuk dijumpai dalam lingkungan sekolah Kurva normal dalam penilaian yang dipelajari di perguruan tinggi hanya menjadi kenangan manis pendidikan dari sekolah rendah, dan barangkali juga sampai ke perguruan tinggi.
Kalau ada murid atau orang tua murid yang berkunjung ke rumah dan membawa oleh-oleh maka nilainya akan aman. Kalau ada murid yang lincah, ramah dan manis maka nilai enam atau tujuh itu sudah berada di tangan. Begitu pula bila ujian telah usai maka rapor akan ditulis. Banyak yang datang kepada wali kelas, apakah guru atau teman wali kelas, memohon pengertian agar rapornya mesti bagus. Soalnya siswa yang bersangkutan akan dibawa oleh pamannya untuk bekerja di sebuah perusahaan. Pokoknya sekarang setiap usai ujian caturwulan adalah mengemis untuk memperoleh nilai dambaan. Sekarang suasana ujian tidaklah merupakan hal yang sakral. Apakah belajar dengan penuh semangat ditemani secangkir kopi pahit, pada malam-malam sekitar musim ujian. Atau santai-santai saja toh hasilnya akan sama jika “jimat” dibuat cukup rapi dan guru-guru pengawas cuek bebek saja malah suka mengobrol atau terkantuk-kantuk selama mengawas ujian.
Kita rasa kelonggaran dalam mengawasi ujian susah berurat berakar di sekolah-sekolah. Tidak hanya pada sekolah yang berlokasi di pedesaan, malah pada sekolah perkotaan yang sering dicap dengan sekolah berkualitas sering suasananya centang-prenang saat musim ujian. Kertas-kertas jimat bertebaran dimana-mana. Bangku dan dinding kelas pun juga bisa dijadikan jimat bila telah ditulis dengan isi catatan pelajaran. Barangkali beginilah akibat ujian dari cara menghafal dimana siswa merasa terpaksa memindahkan isi catatan ke dalam kepala untuk diujikan selama ujian dan dilupakan setelah itu. Persis ibarat lembu-lembu suci di India yang mengunyah-ngunyah kertas yang ia temukan dan mengeluarkannya kemudian dalam bentuk kotoran tanpa pernah menyimpannya di dalam kepala.
Dalam manajemen kita mengenal bahwa penilaian atau evaluasi amat penting untuk mendapatkan umpan balik. Dari penilaian dapat diketahui bagaimana hasil usaha yang telah dilakukan agar kita dapat melakukan follow up (kelanjutan). Namun kalau penilaian kita lakukan secara acak-acakan sebagai permainan anak kecil, hasil apa yang akan kita harapkan. Dan ini memang adalah kenyataan bahwa penilaian di sekolah-sekolah banyak dilakukan sebagai persyaratan saja.
Ada juga penilaian yang dilakukan oleh guru-guru dengan pendekatan objektif tetapi kemudian dikatrol setinggi mungkin. Malah kelupaan dalam mengatrol bisa jadi nilai siswa yang lemah sama tinggi dengan siswa yang unggul. Malah karena siswa bodoh tadi lincah dan aktif ia pun bisa menjadi pemuncak di kelas dan siswa yang merasa berhak karena betul-betul pintar terpaksa gigit jari dengan gerutu protes dalam hati.
Kita sangat yakin bahwa pengobralan nilai dapat meruntuhkan wibawa dan kualitas dunia pendidikan. Kalau penilaian diharapkan dapat untuk memperoleh umpan balik dalam peningkatan mutu maka tentu ada baiknya kita tinjau kembali semua kebijaksanaan. Termasuk semua yang membuat dan ikut mempengaruhi keobjektifan atau kemurnian penilaian.
Dalam hal ini harapan kita patut kita sampaikan kepada lembaga pemerintah, BUMN dan lembaga swasta agar tidak mengumumkan ketentuan penerimaan tenaga pegawai NEM atau ijazahnya mesti disyaratkan tujuh. Barangkali ada cara lain dalam kriteria penerimaan dan dalam hal ini tentu banyak orang yang tahu.
Atau mungkin ada baiknya dibuat suatu penelitian untuk meluncurkan suatu persyaratan. Agar masyarakat kita yang banyak mempunyai emosi yang tidak stabil tidak salah dalam beramal. Begitu pula terhadap perangkat pendidikan seluruhnya agar lebih dewasa dan objektif.

MASIH ADAKAH ANAK DIDIK YANG MENGIDOLAKAN PAHLAWAN

MASIH ADAKAH ANAK DIDIK YANG MENGIDOLAKAN PAHLAWAN

Oleh Marjohan

Guru SMA Negeri 3 Batusangkar S

SUDAH milyaran rupiah dana yang dihamburkan agar penataran dan pelatihan untuk memantapkan rasa kebangsaan dapat terwujud. Disamping itu media massa, lewat media cetak dan media elektronik, juga diserutkan agar segenap generasi muda dapat memahami arti semangat perjuangan 45.
Semangat perjuangan 45 adalah semangat yang tidak mengenal istilah pantang mundur demi meraih kemerdekaan. Malah nyawa, harta dan keluarga adalah taruhannya. Bagaimanakah semangat generasi kita seputar tahun 2.000 ini? Tanpa mengadakan penelitian yang akan membuang-buang waktu dan dana kita dapat mengatakan bahwa rata-rata generasi muda sekarang banyak yang tidak memiliki semangat perjuangan.
Andaikata kita pajangkan sederet nama mulai dari nama artis sinetron, olahragawan sampai kepada nama tokoh pahlawan yang telah berjasa banyak bagi bangsa ini. Maka artis dan olahragawan kerapkali sebagai tokoh Idola mereka yang utama dan para pahlawan sering sekedar idola pelengkap saja. Sebetulnya tidak salah kalau generasi muda termasuk anak didik kita menjadikan para artis dan olahragawan sebagai idola mereka, tidak mengapa bila tokoh-tokoh idola mereka baik luar-dalam. Maksudnya penampilan luarnya sama baik dengan karakter mereka yang sesungguhnya. Sekarang yang kita pertanyakan adalah apakah masih ada kontak batin antara anak didik kita dengan para pahlawan bangsa kita ini?
Cukup kagum juga kita, dari membaca koran dan majalah, bahwa di luar negeri, seperti Amerika, masih ada generasi muda mereka, yang mempunyai kontak batin dengan pahlawan yang telah terpisah selama puluhan generasi atau ratusan tahun. Mereka masih kenal baik sehingga dalam pembicaraan harian, mereka pun mengutip kalimat yang pernah diungkapkan oleh pahlawan bangsa mereka. Penyebaran buku-buku biografi adalah salah satu faktor pembentuk tetap adanya hubungan batin antara mereka dengan para pahlawan.
Bagaimana kontak batin antara anak didik kita dengan para pahlawan bangsa? Rata-rata, kecuali sebagian kecil, Cuma sebatas mengenal nama mereka saja. Oh, kalau Sisingamaraja itu berasal dari tanah Batak, Imam Bonjol dari daerah Minang dan Pangeran Diponegoro berasal dari daerah anu …! Atau anak didik kita Cuma dapat mengenal tahun-tahun saja. Bahwa Sukarno, Presiden RI pertama dan tokoh Proklamator, lahir tahun sekian dan Kihajar Dewantara mendirikan sekolah itu tahun sekian. Dan bisa jadi generasi muda sekarang hanya mengenal pahlawan hanya sebatas nama, karena nama-nama jalan juga mengabaikan nama-nama para pahlawan. Oh, itu jalan Pattimura dan ini jalan Rang Kayo Rasuna Said dan yang lain adalah jalan R.A Kartini, Jalan Teuku Umar, Jalan Haji Agus Salim, Jalan Sukarno-Hatta atau jalan Prof. Dr Hamka, dan lain-lain. Tetapi mereka kemungkinan tidak pernah tahu bahwa Rang Kayo Rasuna Said itu adalah pejuang wanita dari ranah Minang yang merupakan wanita pertama yang masuk ke dalam bui karena perjuangan bangsa. Atau mereka kurang mengetahui bagaimana Muhammad Hatta, Haji Agus Salim dan Hamka bergelut dengan buku-buku untuk menuntut ilmu demi perjuangan kemerdekaan bangsa. Atau bagaimana Sukarno berlatih berpidato di kegelapan malam semasa kecil dan Raden Ajeng Kartini beserta adik-adiknya berjuang menentang adat yang kolot demi membebaskan kaum wanita dari belenggu kebodohan untuk memperoleh emansipasi dan harga diri.
Pokoknya cukup sederhana pengetahuan anak didik kita tentang para pahlawan yakni sebatas nama, tahun-tahun kejadian dan daerah asal mereka. Mereka memperoleh itu lewat hafalan dan kemudian secara pelan-pelan melupakan apa yang dihafal sebelum sempat dijiwai sampai pada akhirnya para pahlawan itu terlupakan dan terputus dalam kontak batin. Kalau begitu siapakah yang bertanggung jawab atas masalah ini? Tentu saja kita semua, para guru-guru, akibat metode proses belajar mengajar yang salah kaprah.
Sebetulnya selain lewat proses belajar mengajar di sekolah anak didik masih dapat mengenal para pahlawan lewat media masa seperti televisi, majalah dan koran-koran. Tetapi acara-acara kepahlawanan sering kalah menarik dibandingkan dengan acara hiburan dan film-film. Sehingga anak-anak didik kita di rumah memperhatikannya tidak dengan sepenuhnya hati dan malah meninggalkan acara tersebut. Begitu pula kerapkali anak didik lebih tertarik dengan membaca gosip para bintang film dan mengabaikan biografi para pahlawan kalau ada. Walau tidak semua anak didik yang berbuat begitu.
Agaknya anak didik kita cukup peka juga. Mereka dapat mengatakan bahwa pelajaran yang bertanggung jawab untuk memperkenalkan pahlawan kepada mereka adalah seperti pelajaran PSPB, Sejarah, Agama, KWN, Tata Negara dan Bahasa Indonesia. Dan tentu pada umumnya seluruh guru-guru juga bertanggung jawab untuk memperkenalkan para pahlawan kepada anak didik sebagai generasi muda.
Suatu hari ketika ditanya, kepada murid tentang metode proses belajar mengajar yang baik dalam rangka mempelajari dan mengenal tokoh-tokoh pahlawan lewat mata pelajaran yang kita sebutkan di atas. Maka murid mengatakan bahwa metode yang terbaik adalah guru mencatatkan ringkasan pelajaran dan kemudian menerangkan pelajaran atau sebaliknya guru menerangkan pelajaran kemudian baru mencatatkan keringkasan yang telah dibuat guru.
Karena anak didik telah terlatih menjadi “beo” atau menerima saja apa yang telah disuguhkan guru lewat cara menghafal ibarat sapi agama Hindu” di India yang mengunyah-ngunyah kertas yang berisi tulisan dan kemudian dikeluarkan lewat kotoran tanpa singgah di kepala, telah menyukai metode ini. Pada hal metode ini adalah metode yang salah kaprah karena dapat mematikan kreatifitas berfikir anak didik. Sedangkan orang-orang dari negara maju telah lama meninggalkan metode proses belajar mengajar seperti ini. Namun kita dalam saat-saat menjelang tahun 2000 ini masih ada yang terpaku pada metode ini.
Cukup banyak ragam metode salah kaprah ini. Ada guru yang bercerita mengelantur kesana kemari tentang tokoh-tokoh pahlawan di dalam negeri dan di luar negeri, tanpa jelas salah benarnya, kemudian pada akhir pelajaran mencatatkan keringkasan yang telah dibuat oleh bapak atau ibu guru. Ada lagi guru yang setiap kali masuk kelas selalu menyuruh murid-murid untuk meringkaskan isi halaman dari sebuah buku dan dia sendiri duduk dengan enaknya di depan kelas sampai kuap-kuap atau untuk menghilangkan rasa kantuk karena bosan dalam mengajar sengaja pergi ke ruangan majelis guru untuk mengobrol atau bergosip mulai dari masalah umum sampai kepada masalah rumah tangga. Begitu pula bagi guru yang tidak menguasai pelajaran sama sekali amat sudi untuk mendiktekan seluruh isi buku pada hal tidakkah baik kalau murid disuruh saja membeli buku atau memfoto kopi saja. Tetapi ada kalanya guru melarang siswa untuk membeli buku dan kalaupun punya buku tetap harus mencatat sebab akan diambil nilai kerajinan atau catatan bakal diperiksa. Dan masih ada seribu satu metode yang mirip dengan metode yang salah kaprah begini.
Memperkenalkan para tokoh pahlawan lewat proses belajar mengajar adalah sangat ampuh untuk menangkal agar anak didik tidak tercabut dari akar budaya dalam arti mereka tidak melupakan pahlawan bangsa. Tetapi pelaksanaan proses belajar mengajar tidaklah sesederhana metode yang di atas tadi. Idealnya setiap guru, terutama guru, KWN, Agama, Sejarah dan Bahasa Indonesia dari sekolah dasar dan bagi pelajaran yang terkait di tingkat SLTP dan SLTA harus menguasai topik-topik pelajaran yang bukan sekedar hafalan belaka untuk mengajar murid menjadi beo. Malah sangat ideal lagi kalau guru-guru, lebih tepat lagi guru-guru mata pelajaran Sejarah KWN, , juga membaca buku-buku biografi tanpa terlebih dahulu berlindung dibalik alasan. Kita sering mendengar, tidak hanya guru wanita tetapi juga guru yang senantiasa mengungkapkan tidak punya waktu untuk membaca guna untuk menambah ilmu.
“Wah saya tidak punya waktu karena sibuk dengan kerja di rumah, sibuk karena anak mengganggu, tak sempat karena rumah jauh, tak sempat membaca karena saya mempunyai jam mengajar sangat banyak, dan lain-lain”. Sering alasan-alasan kuno ini kita dengar dari rekan guru-guru yang mana mereka senantiasa mengungkapkan kesibukan mereka di luar kegiatan mengajar seolah-olah mereka lebih sibuk daripada menteri atau negarawan lain. Pada hal Menristek, B.J. Habibie yang memiliki segudang jabatan dan pekerjaan atau KH Zainuddin MZ, ulama sejuta umat.
Mereka juga mempunyai rumah tangga dan anak-anak, disamping tanggung jawab terhadap pekerjaan yang banyak tetapi tetap mempunyai waktu untuk belajar atau menambah ilmu. Bagi sebagian rekan guru-guru yang selalu berlindung dibalik alasan “sibuk” ternyata untuk nongkrong di warung kopi atau untuk bergosip tanpa mereka sadari mereka telah menghabiskan waktu selama berjam-jam terbuang percuma.
Pengenalan tokoh-tokoh pahlawan kepada anak didik lewat proses belajar mengajar merupakan sarana yang tepat karena disana anak didik terkondisi dengan bersyarat dengan imbalan nilai sebagai titik awal. Maka tentu ada usaha-usaha lain yang positif agar anak didik lebih mengenal para pahlawan. Misalnya memberikan tugas untuk membuat sinopsis dari biografi-biografi pahlawan. Begitu pula menugaskan murid untuk membuat resensi dari sebuah buku yang mengandung biografi seorang pahlawan. Agar anak didik tidak asal tulis atau mungkin memalsukan karya tulis orang lain. Maka ada baiknya guru mengujikan atau menyuruh murid untuk mempresentasikan di depan kawan-kawannya sambil melatih keberanian mereka untuk tampil di depan umum.
Melowongkan waktu bagi guru dan murid untuk dapat membaca setiap buku biografi sangat besar manfaatnya. Selain untuk menambah wawasan juga sebagai sarana untuk “cermin diri” untuk memacu prestasi dan untuk mencari idola sebagai jati diri kita dalam rangka mengembangkan kwalitas diri. Semoga.

MASIH ADAKAH ANAK DIDIK YANG MENGIDOLAKAN PAHLAWAN


MASIH ADAKAH ANAK DIDIK YANG MENGIDOLAKAN PAHLAWAN

Oleh Marjohan

Guru SMA Negeri 3 Batusangkar S

SUDAH milyaran rupiah dana yang dihamburkan agar penataran dan pelatihan untuk memantapkan rasa kebangsaan dapat terwujud. Disamping itu media massa, lewat media cetak dan media elektronik, juga diserutkan agar segenap generasi muda dapat memahami arti semangat perjuangan 45.
Semangat perjuangan 45 adalah semangat yang tidak mengenal istilah pantang mundur demi meraih kemerdekaan. Malah nyawa, harta dan keluarga adalah taruhannya. Bagaimanakah semangat generasi kita seputar tahun 2.000 ini? Tanpa mengadakan penelitian yang akan membuang-buang waktu dan dana kita dapat mengatakan bahwa rata-rata generasi muda sekarang banyak yang tidak memiliki semangat perjuangan.
Andaikata kita pajangkan sederet nama mulai dari nama artis sinetron, olahragawan sampai kepada nama tokoh pahlawan yang telah berjasa banyak bagi bangsa ini. Maka artis dan olahragawan kerapkali sebagai tokoh Idola mereka yang utama dan para pahlawan sering sekedar idola pelengkap saja. Sebetulnya tidak salah kalau generasi muda termasuk anak didik kita menjadikan para artis dan olahragawan sebagai idola mereka, tidak mengapa bila tokoh-tokoh idola mereka baik luar-dalam. Maksudnya penampilan luarnya sama baik dengan karakter mereka yang sesungguhnya. Sekarang yang kita pertanyakan adalah apakah masih ada kontak batin antara anak didik kita dengan para pahlawan bangsa kita ini?
Cukup kagum juga kita, dari membaca koran dan majalah, bahwa di luar negeri, seperti Amerika, masih ada generasi muda mereka, yang mempunyai kontak batin dengan pahlawan yang telah terpisah selama puluhan generasi atau ratusan tahun. Mereka masih kenal baik sehingga dalam pembicaraan harian, mereka pun mengutip kalimat yang pernah diungkapkan oleh pahlawan bangsa mereka. Penyebaran buku-buku biografi adalah salah satu faktor pembentuk tetap adanya hubungan batin antara mereka dengan para pahlawan.
Bagaimana kontak batin antara anak didik kita dengan para pahlawan bangsa? Rata-rata, kecuali sebagian kecil, Cuma sebatas mengenal nama mereka saja. Oh, kalau Sisingamaraja itu berasal dari tanah Batak, Imam Bonjol dari daerah Minang dan Pangeran Diponegoro berasal dari daerah anu …! Atau anak didik kita Cuma dapat mengenal tahun-tahun saja. Bahwa Sukarno, Presiden RI pertama dan tokoh Proklamator, lahir tahun sekian dan Kihajar Dewantara mendirikan sekolah itu tahun sekian. Dan bisa jadi generasi muda sekarang hanya mengenal pahlawan hanya sebatas nama, karena nama-nama jalan juga mengabaikan nama-nama para pahlawan. Oh, itu jalan Pattimura dan ini jalan Rang Kayo Rasuna Said dan yang lain adalah jalan R.A Kartini, Jalan Teuku Umar, Jalan Haji Agus Salim, Jalan Sukarno-Hatta atau jalan Prof. Dr Hamka, dan lain-lain. Tetapi mereka kemungkinan tidak pernah tahu bahwa Rang Kayo Rasuna Said itu adalah pejuang wanita dari ranah Minang yang merupakan wanita pertama yang masuk ke dalam bui karena perjuangan bangsa. Atau mereka kurang mengetahui bagaimana Muhammad Hatta, Haji Agus Salim dan Hamka bergelut dengan buku-buku untuk menuntut ilmu demi perjuangan kemerdekaan bangsa. Atau bagaimana Sukarno berlatih berpidato di kegelapan malam semasa kecil dan Raden Ajeng Kartini beserta adik-adiknya berjuang menentang adat yang kolot demi membebaskan kaum wanita dari belenggu kebodohan untuk memperoleh emansipasi dan harga diri.
Pokoknya cukup sederhana pengetahuan anak didik kita tentang para pahlawan yakni sebatas nama, tahun-tahun kejadian dan daerah asal mereka. Mereka memperoleh itu lewat hafalan dan kemudian secara pelan-pelan melupakan apa yang dihafal sebelum sempat dijiwai sampai pada akhirnya para pahlawan itu terlupakan dan terputus dalam kontak batin. Kalau begitu siapakah yang bertanggung jawab atas masalah ini? Tentu saja kita semua, para guru-guru, akibat metode proses belajar mengajar yang salah kaprah.
Sebetulnya selain lewat proses belajar mengajar di sekolah anak didik masih dapat mengenal para pahlawan lewat media masa seperti televisi, majalah dan koran-koran. Tetapi acara-acara kepahlawanan sering kalah menarik dibandingkan dengan acara hiburan dan film-film. Sehingga anak-anak didik kita di rumah memperhatikannya tidak dengan sepenuhnya hati dan malah meninggalkan acara tersebut. Begitu pula kerapkali anak didik lebih tertarik dengan membaca gosip para bintang film dan mengabaikan biografi para pahlawan kalau ada. Walau tidak semua anak didik yang berbuat begitu.
Agaknya anak didik kita cukup peka juga. Mereka dapat mengatakan bahwa pelajaran yang bertanggung jawab untuk memperkenalkan pahlawan kepada mereka adalah seperti pelajaran PSPB, Sejarah, Agama, KWN, Tata Negara dan Bahasa Indonesia. Dan tentu pada umumnya seluruh guru-guru juga bertanggung jawab untuk memperkenalkan para pahlawan kepada anak didik sebagai generasi muda.
Suatu hari ketika ditanya, kepada murid tentang metode proses belajar mengajar yang baik dalam rangka mempelajari dan mengenal tokoh-tokoh pahlawan lewat mata pelajaran yang kita sebutkan di atas. Maka murid mengatakan bahwa metode yang terbaik adalah guru mencatatkan ringkasan pelajaran dan kemudian menerangkan pelajaran atau sebaliknya guru menerangkan pelajaran kemudian baru mencatatkan keringkasan yang telah dibuat guru.
Karena anak didik telah terlatih menjadi “beo” atau menerima saja apa yang telah disuguhkan guru lewat cara menghafal ibarat sapi agama Hindu” di India yang mengunyah-ngunyah kertas yang berisi tulisan dan kemudian dikeluarkan lewat kotoran tanpa singgah di kepala, telah menyukai metode ini. Pada hal metode ini adalah metode yang salah kaprah karena dapat mematikan kreatifitas berfikir anak didik. Sedangkan orang-orang dari negara maju telah lama meninggalkan metode proses belajar mengajar seperti ini. Namun kita dalam saat-saat menjelang tahun 2000 ini masih ada yang terpaku pada metode ini.
Cukup banyak ragam metode salah kaprah ini. Ada guru yang bercerita mengelantur kesana kemari tentang tokoh-tokoh pahlawan di dalam negeri dan di luar negeri, tanpa jelas salah benarnya, kemudian pada akhir pelajaran mencatatkan keringkasan yang telah dibuat oleh bapak atau ibu guru. Ada lagi guru yang setiap kali masuk kelas selalu menyuruh murid-murid untuk meringkaskan isi halaman dari sebuah buku dan dia sendiri duduk dengan enaknya di depan kelas sampai kuap-kuap atau untuk menghilangkan rasa kantuk karena bosan dalam mengajar sengaja pergi ke ruangan majelis guru untuk mengobrol atau bergosip mulai dari masalah umum sampai kepada masalah rumah tangga. Begitu pula bagi guru yang tidak menguasai pelajaran sama sekali amat sudi untuk mendiktekan seluruh isi buku pada hal tidakkah baik kalau murid disuruh saja membeli buku atau memfoto kopi saja. Tetapi ada kalanya guru melarang siswa untuk membeli buku dan kalaupun punya buku tetap harus mencatat sebab akan diambil nilai kerajinan atau catatan bakal diperiksa. Dan masih ada seribu satu metode yang mirip dengan metode yang salah kaprah begini.
Memperkenalkan para tokoh pahlawan lewat proses belajar mengajar adalah sangat ampuh untuk menangkal agar anak didik tidak tercabut dari akar budaya dalam arti mereka tidak melupakan pahlawan bangsa. Tetapi pelaksanaan proses belajar mengajar tidaklah sesederhana metode yang di atas tadi. Idealnya setiap guru, terutama guru, KWN, Agama, Sejarah dan Bahasa Indonesia dari sekolah dasar dan bagi pelajaran yang terkait di tingkat SLTP dan SLTA harus menguasai topik-topik pelajaran yang bukan sekedar hafalan belaka untuk mengajar murid menjadi beo. Malah sangat ideal lagi kalau guru-guru, lebih tepat lagi guru-guru mata pelajaran Sejarah KWN, , juga membaca buku-buku biografi tanpa terlebih dahulu berlindung dibalik alasan. Kita sering mendengar, tidak hanya guru wanita tetapi juga guru yang senantiasa mengungkapkan tidak punya waktu untuk membaca guna untuk menambah ilmu.
“Wah saya tidak punya waktu karena sibuk dengan kerja di rumah, sibuk karena anak mengganggu, tak sempat karena rumah jauh, tak sempat membaca karena saya mempunyai jam mengajar sangat banyak, dan lain-lain”. Sering alasan-alasan kuno ini kita dengar dari rekan guru-guru yang mana mereka senantiasa mengungkapkan kesibukan mereka di luar kegiatan mengajar seolah-olah mereka lebih sibuk daripada menteri atau negarawan lain. Pada hal Menristek, B.J. Habibie yang memiliki segudang jabatan dan pekerjaan atau KH Zainuddin MZ, ulama sejuta umat.
Mereka juga mempunyai rumah tangga dan anak-anak, disamping tanggung jawab terhadap pekerjaan yang banyak tetapi tetap mempunyai waktu untuk belajar atau menambah ilmu. Bagi sebagian rekan guru-guru yang selalu berlindung dibalik alasan “sibuk” ternyata untuk nongkrong di warung kopi atau untuk bergosip tanpa mereka sadari mereka telah menghabiskan waktu selama berjam-jam terbuang percuma.
Pengenalan tokoh-tokoh pahlawan kepada anak didik lewat proses belajar mengajar merupakan sarana yang tepat karena disana anak didik terkondisi dengan bersyarat dengan imbalan nilai sebagai titik awal. Maka tentu ada usaha-usaha lain yang positif agar anak didik lebih mengenal para pahlawan. Misalnya memberikan tugas untuk membuat sinopsis dari biografi-biografi pahlawan. Begitu pula menugaskan murid untuk membuat resensi dari sebuah buku yang mengandung biografi seorang pahlawan. Agar anak didik tidak asal tulis atau mungkin memalsukan karya tulis orang lain. Maka ada baiknya guru mengujikan atau menyuruh murid untuk mempresentasikan di depan kawan-kawannya sambil melatih keberanian mereka untuk tampil di depan umum.
Melowongkan waktu bagi guru dan murid untuk dapat membaca setiap buku biografi sangat besar manfaatnya. Selain untuk menambah wawasan juga sebagai sarana untuk “cermin diri” untuk memacu prestasi dan untuk mencari idola sebagai jati diri kita dalam rangka mengembangkan kwalitas diri. Semoga.

KEMEROSOTAN DAYA TARIK SEKOLAH

KEMEROSOTAN DAYA TARIK SEKOLAH
Oleh : Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

Sampai sekarang, agaknya pendidikan masih dianggap sebagai investasi nasional. Investasi terhadap manusia dengan kata lain dapat dikatakan dengan istilah “investasi dalam kemampuan manusia” atau dalam istilah yang lebih umum adalah “sumber daya manusia”.
Suatu negeri tetap miskin karena investasi dalam kemampuan manusianya juga kecil. Untuk mengentaskan keadaan ini sangat diperlukan peningkatan dan pengembangan potensial dan tepatnya adalah peningkatan keterampilan dan pengetahuan dari segenap warganya.
Keadaan dan eksistensi negara ini pada masa datang sangat ditentukan oleh investasi sumber daya manusia sekarang ini dapat kita sorot ke dalam dunia pendidikan.
Ada kecenderungan pemerosotan daya tarik sekolah dalam kalangan pelajar. Semoga saja pandangan ini tidak terlalu mengada-ada. Banyak fakta-fakta umum yang dapat menyokong pendapat ini seperti makin banyaknya anak-anak sekolah yang berkeliaran dimana-mana pada jam belajar efektif, pelaksanaan disiplin yang macet, rendahnya perhatian masyarakat untuk menyerbu fasilitas pendidikan dibandingkan dengan fasilitas hiburan dan masih senangnya hampir sebagian besar orang yang bersikap bermalas-malasan.
Kemerosotan daya tarik sekolah penyebabnya dapat ditinjau dari beberapa segi, seperti dari segi sekolah, rumah, masyarakat dan lain-lain. Walau bagaimana setiap segi ini saling mempengaruhi dan memberikan dampak negatif.
Meskipun telah banyak orang membahas tentang berbagai kritikan termasuk kritikan tentang metode mengajar namun belum tampak reaksi positif secara menyeluruh. Sampai saat sekarang metode mengajar lama masih cukup banyak digandrungi oleh guru-guru meskipun mereka telah puluhan kali mengikuti penataran-penataran dan hampir tiap saat disuguhi teori-teori.
Bagaimana keadaan metode mengajar gaya lama? Yaitu metode yang membuat murid cenderung menghafal teks demi teks catatan yang diberikan oleh guru, apakah mereka memahami atau tidak. Pelaksanaan metode lama ini telah berlangsung cukup lama. Mengajar dengan metode yang demikian cenderung bersifat dogmatik dan otoriter. Cara dari metode ini sedikit mendorong murid untuk bertanya dan bersikap kritis atau tertarik dalam belajar mandiri di luar sekolah. Inilah penyebabnya kenapa sekarang murid-murid, malah juga sampai kepada mahasiswa cenderung membisu dan suka sebagai penonton dalam dinamika kehidupan. Dan ini pulalah penyebabnya kenapa banyak generasi muda suka kebingungan dalam mengisi hari-hari kosong mereka.
Suasana mengajar pada berbagai tingkat sekolah, dari tingkat SD sampai SLTA dan barangkali juga di tingkat perguruan tinggi dengan gaya “konsep bank” atau gaya hubungan “cerek dan cangkir”. Gaya mengajar ini cenderung untuk melemahkan kebebasan berpikir dan menumbuhkan sikap mencari serta berpengalaman, yang diperlukan dalam perkembangan.
Suasana belajar murid cenderung menunggu perintah dari guru. Buku-buku pegangan baru dibaca kalau ada perintah. Karena sering guru lupa memberi aba-aba untuk membaca, maka rata-rata buku pegangan masih utuh. Malahan buku yang sengaja dipersiapkan oleh pemerintah cenderung untuk menumpuk-numpuk di pustaka atau di rumah karena budaya malas membaca. Dalam menguasai pelajaran, caya yang cukup jitu dipakai adalah lewat cara menghafal. Dan ini tampak cukup merata untuk berbagai tingkat sekolah, sehingga suasana belajar yang demikian hanya membuat murid untuk mencapai target lulus saja dan memperoleh ijazah, bukan untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan yang harus dibuktikan. Melihat gejala semakin kurang berkualitasnya lulusan sekarang, sehingga ada orang yang suka berkelakar mengatakan bahwa “ijazah itu hanya laku sampai di gerbang sekolah saja” dengan arti kata belum dapat diandalkan dalam kehidupan.
Situasi sekolah sekarang yang cukup mengecewakan telah membuat para lulusan tidak atau kurang berkualitas. Situasi sekolah yang mengecewakan ini adalah akibat, sekali lagi, bertahannya gaya mengajar metode lama. Proses belajar mengajar yang bersifat “text book” dan malah akibat murid belajar dengan sedikit buku atau tanpa buku pegangan sama sekali. Buktikanlah dalam kehidupan setiap hari kita melihat cukup banyak pelajar pergi sekolah melenggang saja atau Cuma membawa sehelai catatan “gado-gado” dan melipatnya ke dalam kantong. Kemudian guru dan murid cenderung bermalas-malas, mungkin akibat pemahaman kurikulum atau kurikulum itu sendiri cukup kabur dan guru kurang terlatih untuk menstimulasi aktivitas murid. Kenapa sekarang jarang guru yang bersikap profesional ideal? Ini bisa jadi disebabkan karena mereka miskin dengan ilmu, wawasan dan pengetahuan, sehingga ada saja murid yang berani mengatakan bahwa sebagian kecil guru ilmunya cuma “tua semalam” dari murid-murid.
Beberapa kritikan terhadap pendidikan yang menyebabkan semakin merosotnya daya tarik sekolah adalah sebagai berikut: Pengajaran yang serba bersifat Text-Book dan teori tanpa praktek. Populasi kelas yang cukup atau terlalu ramai dengan pengajaran cenderung melupakan program pengayaan atau perbaikan, kalaupun ada itu cuma agak berbau omong kosong saja. Murid-murid terlihat miskin dengan berbagai aktivitas pendidikan. Kurangnya penyediaan kebutuhan dan kapasitas untuk remaja. Proses belajar mengajar terlalu banyak didominasi oleh berbagai ujian, ada kalanya guru mengadakan ujian palsu karena kehabisan teknik mengajar. Dan tidak ada kegiatan ekstra kurikuler yang bermanfaat dan dapat memperkaya wawasan siswa untuk menghadapi dunia kerja dan kehidupan nyata kelak.
Kemerosotan daya tarik sekolah dapat pula disebabkan oleh gaya belajar murid-murid itu sendiri. Memang kita akui bawa gaya belajar ini dibentuk oleh faktor sekolah, rumah dan faktor sosial.
Gaya murid, dan bisa jadi juga mahasiswa, dalam menguasai pengetahuan adalah dengan cara melengkapi catatannya persis seperti kata-kata guru dan dalam ujian mereka berusaha keras untuk mencurahkan, mengungkapkannya lagi, dari hafalan. Ini merupakan penghalang serius dalam mengembangkan kreativitas berpikir. Disini tampak bahwa murid lebih tergantung pada ingatan atau hafalan dari pada memahami masalah dan mengembangkan alasan (logika) serta kekuatan analisa untuk menyelesaikan masalah dalam hidup.
Sudah menjadi pemandangan umum bagi kita untuk setiap musim ujian. Murid biasanya menyediakan beberapa hari saja dalam seminggu sebelum ujian untuk bekerja dan belajar intensif. Dalam menyerap ilmu mereka sering tergantung pada catatan dari pada buku-buku pegangan. Dan selanjutnya mereka tergantung pada hafalan daripada pemahaman.
Untuk mencapai kematangan pribadi murid, agaknya sangat diperlukan campur tangan atau bimbingan guru, terutama orang tua, untuk mengelola dan memanfaatkan waktu. Apa yang sering kita lihat dalam melewati hari-hati yang panjang sebelum ujian tiba, tentu tidak untuk semua murid, adalah mereka cenderung untuk membuang waktu tanpa tujuan. Sehingga kalau ada murid atau mahasiswa kita yang beruntung untuk belajar di negara Barat, dan negara maju lain, akan tercengang melihat sungguh serius dan rajin para pelajar di sana.
Agaknya kemerosotan daya tarik sekolah cukup menentukan kualitas sumber daya manusia, atau lulusan suatu sekolah. Kita lihat bahwa lulusan SLTA tentu saja tidak semuanya yang terus ke universitas rata-rata kurang stabil secara emosi, kurang terbimbing secara intelektual dan lemah dalam pemanfaatan waktu. Sehingga membuat sebagian besar mahasiswa banyak buang-buang waktu dan sedikit yang punya kesempatan untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Mereka tidak tahu kemana akan pergi dan tidak tahu apa yang akan dilakukan. Kalau begitu kita tidak perlu heran kalau banyak yang mengaku telah sarjana tetapi belum bisa membuktikan diri dalam kehidupan karena bisa jadi akibat “ijazah mereka hanya laku sampai ke gerbang kampus” saja.
Kemerosotan daya tarik sekolah dan untuk menambahkan ilmu untuk tingkat SLTA sudah mulai terasa ketika murid duduk di bangku kelas tiga. Rata-rata murid kelas tiga banyak belajar acuh tidak acuh dan sering belajar serampangan saja. Kemalasan yang mereka derita ini bisa jadi akibat bahwa umumnya mereka terganggu oleh anggapan masa depan yang kabur, tetapi suka masa bodoh, dan banyaknya pengangguran terdidik di seputar mereka. Kecuali kalau mereka suka menganalisa bahwa pengangguran terdidik yang menganggur itu adalah akibat kualitas diri masih rendah, selain suratan dari Ilahi, karena ilmu mereka baru hanya sebatas “text-book thinking” semata. Pendidikan memang penting bagi seseorang karena ia memberinya kesempatan untuk meningkatkan “income” dan tingkat kehidupan seperti fasilitas kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Untuk pendidikan lewat penguasaan pengetahuan dan skill dapat membuat kemungkinan peningkatan “output”. Untuk itu penting bagi seseorang untuk memiliki kebutuhan akan pendidikan dan sekolah. Kehilangan daya tarik terhadap sekolah dan pendidikan, selain disebabkan oleh berbagai faktor yang telah kita sebutkan di atas, juga disebabkan faktor orang tua. Murid-murid dengan perilaku negatif banyak datang dari keluarga dengan orang tua yang sibuk dan tidak mampu memberi perhatian. Dan kalau pun orang tua tidak sibuk, tetapi akibat mereka kelewatan dalam memberi perhatian dan pemanjaan, tanpa membantu anak dalam belajar dan mengelola waktu, telah membuat anak-anak mereka berkualitas jelek.
Kenapa daya tarik sekolah merosot bisa terjadi? Terhadap pertanyaan ini dapat kita dengar jutaan alasan dan keluhan. Dari sudut pandang murid, mereka punya alasan untuk mengeluh karena kondisi hidup dan sekolah yang tak memadai. Alasan atau keluhan ini adalah seperti: jarangnya mereka memiliki buku, fasilitas pustaka dan labor yang terbatas, tempat tinggal yang tidak memadai dan akibat sedikitnya kontak dengan guru dan guru bimbingan dan konseling. Keluhan dari segi guru adalah seperti: guru yang kurang terlatih, gaji yang kurang memadai sehingga banyak guru yang demam berhutang pada koperasi atau bank, kelas yang ramai, kurikulum yang belum layak, keadaan kelas yang dua shift, buku teks yang tidak menarik dan media mengajar yang sering tidak ada di dalam proses belajar mengajar.
Kini mengingat dan melihat tantangan hidup yang makin nyata agaknya kita mesti lebih serius dalam memperhatikan investasi manusia dalam arti peningkatan sumber daya manusia. Untuk itu sangat diperlukannya pendidikan yang berkualitas. Pendidikan yang berkualitas ditentukan oleh guru yang cakap dan mahir. Sekolah tetap membutuhkan guru yang luas ilmunya, dapat beradaptasi, kompeten dan berbakti pada tugas. Di samping itu juga perlu sokongan orang tua. Malah tentu yang omong kosong bila sekolah berkualitas dan orang tua, dan juga masyarakat yang berkualitas menghasilkan murid serta mahasiswa yang berkualitas pula.


Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar. Sumatra Barat. (rekening: Batusangkar, Kota II 33-22-3872)

Pustaka Sekolah Merupakan Gudang buku rongsokan


Pustaka Sekolah Merupakan Gudang buku rongsokan

Oleh Marjohan
Guru SMA Neg 3 Batusangkar
marjohanusman@yahoo.com

RATA-RATA pustaka sekolah dikelola secara serampangan karena disebabkan banyak faktor. Dalam suasana sekolah dua shift dengan jam istirahat sangat kasib membuat murid-murid enggan untuk berkunjung ke pustaka. Sebab mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk membolak balik buku dan menilai bacaan-bacaan yang lain. Murid-murid lebih senang untuk menggunakan waktu istirahat yang jumlahnya Cuma beberapa belas menit saja untuk pergi ke kantin atau bersenda gurau untuk sekedar menarik nafas segar di luar pustaka.
Hanya ada segelintir murid saja bila dibandingkan dengan total populasi sekolah. Murid-murid itu pun mengunjungi pustaka karena merasa kebingungan, tidak punya duit lagi untuk pergi ke kantin dan tidak punya teman yang sreg untuk bersenda gurau. Kecuali satu atau dua orang murid saja yang mempunyai niat untuk mengunjingi pustaka.
Tidak hanya murid, guru-guru pun jarang terlihat yang mengunjungi pustaka. Kalau ditanya “mengapa” maka jawaban yang paling-paling kita dengar adalah tidak ada waktu atau tidak ada kesempatan. Dan ini adalah sebuah jawaban tradisionil.
Salah satu dari penyebab hilangnya gairah guru dan murid mengunjungi pustaka karena pustaka yang berfungsi tempat koleksi buku-buku ternyata miskin dengan koleksi buku kecuali yang dapat ditemukan di perpustakaan adalah tumpukan buku-buku teks pelajaran dan buku-buku terbitan Pusat Pembukuan Depdikbud dan PN. Balai Pustaka. Seolah-olah perpustakaan sekolah bukanlah tempat gudang ilmu tetapi tepatnya perpustakaan sekolah adalah tong sampah bagi pembuangan buku-buku teks terbitan PN Balai Pustaka dan buku-buku keluaran Pusat Perbukuan Depdikbud.
Kedengarannya amat sinis. Tapi ini adalah kalimat yang dilontarkan oleh seorang petugas pustaka yang merasa putus asa atau frustasi melihat perkembangan pustaka yang tidak pernah menggairahkan. Paling kurang menurut visi petugas pustaka tadi.
Sebetulnya ini adalah suatu kenyataan. Kalau kita mengunjungi beberapa pustaka sekolah, kecuali kalau petugas pustaka menumpuknya dalam gudang, kita akan menemukan deretan buku-buku teks yang diterbitkan pemerintah masih utuh. Dan rata-rata buku-buku itu berdebu dan hampir tidak terawat. Malah ada inisiatif dari petugas pustaka yang suka iseng untuk menjualnya secara kiloan untuk kertas pembungkus teri di tengah pasar. “Sungguh sayang bukan,” katanya, dari pada buku-buku itu ditumpuk atau dibakar maka lebih baik dijual dan uangnya dapat dimanfaatkan untuk pembeli sabun cuci. Sungguh ini merupakan suatu pelecehan atas buku dan ilmu. Apalagi mengingat biaya yang dikeluarkan pemerintah, Depdikbud, tentu berkisar sampai puluhan miliar rupiah dan berakhir dalam bentuk pemborosan dana negara yang amat sia-sia.
Mengapa hal seperti ini bisa terjadi, apakah buku-buku ini diluncurkan tanpa rencana?
Untuk mendapat jawabannya tentu kita dapat menemui berbagai pihak, terutama guru-guru dan petugas pustaka sebagai orang lapangan yang langsung berkecimpung menghadapi buku-buku teks tersebut.
Tampaknya buku-buku keluaran Depdikbud dibuat asal jadi saja, komentar seorang guru Bahasa Indonesia. Bahasa yang digunakan oleh buku-buku paket (buku teks) agak kaku dan penampilannya sangat formal dan tidak sesuai dengan selera murid yang berusia remaja. Untuk buku Bahasa Indonesia, misalnya, tidaklah tepat kalau disusun oleh ahli bahasa saja tetapi juga diikutsertakan unsur dari sastrawan agar bahasa buku ini enak dicerna dan menarik untuk dibaca.
Tampaknya buku-buku keluaran Depdikbud bersifat “teacher-centered”. Maksudnya buku-buku itu musti ditelaah dulu oleh guru dan baru disampaikan uraiannya pada murid. Sering kita dengar murid merasa susah untuk memahami isi buku dan jenuh dengan gaya bahasanya. Melihat sistem belajar orang kita yang cenderung menghafal dan buku mentelaah isi buku maka guru suka memanjakan murid dengan cara meringkaskan isi buku untuk dapat dihafalkan bila ada ujian. Akibatnya jadilah murid-murid ibarat sapi suci agama Hindu di India yang mengunyah-ngunyah kertas berisi tulisan, menelannya dan mengeluarkan dalam bentuk kotoran tanpa pernah singgah di dalam kepala. Begitu pula bagi guru karena tidak menguasai materi pelajaran, membuat keringkasan dan menghafalnya. Akibatnya jadilah guru itu dengan ilmu tua semalam dari murid.
Kebiasaan guru yang suka meringkas isi buku dan mencatatkan kepada murid, secara dikte agar dapat mengefektifkan jam tatap muka atau menyuruh seorang murid mencatatkan di papan tulis sampai tangannya pegal-pegal, membuat buku-buku paket keluaran Depdikbud tetap utuh di perpustakaan. Disamping itu yang membuat buku-buku paket tetap menumpuk di Pustaka adalah rasa acuh tak acuh guru terhadap keberadaan pustaka. Sehingga guru tersebut tidak tahu kalau-kalau buku pendamping buku paket lain, untuk memperkaya wawasan murid, telah datang ke pustaka. Malah kalaupun tahu ada buku baru, banyak guru tidak memperdulikan karena tidak suka bersusah-susah payah. Sehingga kita lihat buku-buku penunjang lain semakin berdebu saja di pustaka.
Hal ini yang membuat guru enggan menggunakan buku paket, dengan akibat menyuruh murid-murid untuk membeli buku-buku pasaran, akibat materi buku paket Depdikbud tidak persis sama dengan isi GBPP sesuai dengan persepsi guru masing-masing atau materi pelajarannya melompat-lompat. Misal, pelajaran yang seharusnya untuk kelas tiga tetapi terdapat pada buku kelas dua.
Masih ada alasan pribadi lain yang membuat buku paket keluaran Depdikbud dan PN. Balai Pustaka terabaikan. Sehingga tetap menumpuk-numpuk di perpustakaan.
Sanggar-sanggar belajar seperti MGMP, LKG, SPKG dan lain-lain adalah ajang mendiskusikan, mana buku-buku yang bermutu, diantara guru-guru peserta sanggar. Maka sering penilaian mereka jatuh kepada buku pasaran sebagai buku, yang berkwalitas karena mudah untuk dicerna sehingga buku paket pemerintah semakin menempati urutan belakang. Barangkali buku-buku pasaran itu laris karena tujuannya komersil maka ia dirancang secara profesional. Apakah dari segi perwajahan buku, ilustrasi, gaya bahasa dan sampai kepada ukuran buku yang menyerupai buku populer karena desainnya menarik. Disamping itu karena dalam sistem kenaikan pangkat sekarang yang memberi penilaian kepada guru yang kreatif membuat buku atau LKS. Maka guru inti yang kreatif dan yang memiliki orientasi kepangkatan dan orientasi ekonomi segera merancang buku apakah dengan cara mengedit, yakni dengan caplok sana caplok sini. Maka jadilah sebuah buku atau LKS yang menarik setelah keluar dari percetakan lokal. Kemudian mereka, guru-guru inti, mempengaruhi guru-guru inti, mempengaruhi guru-guru pengikut sanggar agar sekolah mereka menggunakan buku atau LKS yang ditulis oleh guru-guru inti. Inipun membuat buku paket semakin terpojok kedudukannya.
Alasan kekurangan atau kesulitan ekonomi juga membuat guru-guru bidang studi berbisnis buku dengan cara mengambil buku kepada agen pemasaran buku untuk dijual kepada murid-murid dengan janji bahwa kalau terjual maka keuntungan 20 sampai 30 persen adalah untuk guru bidang studi yang telah berjasa tadi. Suatu keuntungan yang lumayan yang membuat guru dapat tersenyum manis. Tetapi ini dapat menelantarkan buku-buku paket sebagai buku utama.
Pada umumnya buku-buku paket yang menumpuk di perpustakaan sekolah adalah buku-buku paket dalam kurikulum lama. Tetapi sebagian besar, ketika kurikulum lama masih berlaku, buku-buku paket itu telah ada juga yang menumpuk-numpuk dan berdebu di perpustakaan.
Sekarang bagaimana dengan keadaan atau nasib buku-buku paket yang ditulis seusai dengan kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum baru, ., ini?
Dari buku-buku paket terbitan PN. Balai Pustaka atau yang diluncurkan oleh Pusat Perbukuan Depdikbud kita telah melihat kemajuan-kemajuan yang sangat berarti. Pada umumnya buku-buku sudah dirancang dengan perwajahan yang cukup menarik dan penjilidan yang cukup kokoh sehingga tidak memungkinkan lagi lembaran halaman buku-buku mudah lepas dan bertebaran. Tetapi dari awal-awal tahun berlakunya kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum baru telah terlihat pula gejala bahwa buku-buku ini mengalami nasib serupa dengan buku-buku paket kurikulum lama yakni ditumpuk-tumpuk dalam perpustakaan. Pada hal buku-buku ini dengan modal puluhan miliar rupiah sengaja dirancang untuk membantu orang tua murid dan sekaligus menyukseskan program pengajaran yang telah dirancangkan oleh pemerintah kita. Tetapi sekarang dimana letak salah dan letak penyebabnya.
Karena tujuannya betul-betul komersil maka penerbitan swasta dalam naungan IKAPI, dan sebagian buku-buku yang dipasarkan ada yang telah disahkan oleh Dirjen Dikdasmen, melihat bahwa sekolah-sekolah adalah pasar yang potensial untuk mencari keuntungan. Maka mereka mempelajari kelemahan buku yang diluncurkan pemerintah dan juga mempelajari selera guru dan murid sebagai konsumen mereka.
Seorang penyalur buku pelajaran dari penerbit swasta mengatakan bahwa yang membuat buku-buku keluaran penerbit mereka laris seperti kacang goreng adalah karena adanya kesan “pandangan pertama” terhadap buku-buku yang mereka pasarkan dan kesan ini tidak dimiliki oleh buku paket yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kesan buku terbitan non pemerintah yaitu bentuknya pop, mungkin bahasanya adalah bahasa populer dan ukuran disajikan seperti majalah remaja, dan ukuran buku itu cukup tipis sehingga mendatangkan kesan enteng untuk dibaca dan dicerna. Kemudian ditambah dengan unsur pelayanan dari agen pemasaran yang menyebar dan mengunjungi setiap sekolah. Disana mereka mempengaruhi guru-guru bidang studi dan menunjukkan keunggulan buku-buku mereka sehingga membuat guru betul-betul merasakan adanya kemudahan-kemudahan terhadap buku pasaran itu. Misalnya buku pasaran menyajikan uraian, rata-rata dengan cara mengunyah-ngunyahkan materi dan menyuapkannya ke dalam mulut murid, terasa mudah untuk dicerna oleh guru dan murid. Malah tanpa adanya kehadiran guru, murid sendiripun juga dapat melakukan instruksi pelajaran dalam buku pasaran. Betul-betul pendekatannya bersifat “student-centered”. Sedangkan buku terbitan pemerintah memuat uraian yang bersifat umum sehingga murid musti mengerutkan dahi agar dapat memahaminya seorang guru harus meringkaskan isi buku terlebih dahulu. Terasa oleh kita penyajian buku pasaran juga bersifat memanjakan murid atau memanjakan pendidikan yang bersifat menghafal. Sedangkan buku terbitan Balai Pustaka dan Depdikbud lebih mendorong guru dan murid untuk menelaah isi buku dan mengembangkan sikap “menganalisa” dan bukan sikap menghafal.
Kita rasa karena penyebaran buku pelajaran pasaran dikemas secara potensial dengan tujuan komersil yaitu dengan mengirim agen-agen pemasaran sampai menemui setiap guru bidang studi telah dapat mempengaruhi mereka dan membuat mereka berpaling dari buku terbitan Depdikbud. Pada sebuah SMA yang didatangi oleh agen penyaluran buku kita akan dapat melihat transaksi antar guru dan agen untuk mengambil pesanan buku untuk dapat disebarkan pada beberapa kelas dengan jumlah total murid diatas seratus orang dengan janji kelak 20 atau 30 persen keuntungan adalah untuk ibu atau bapak guru. Sementara dihadapkan guru itu sendiri tergeletak onggokan buku paket kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum baru yang diterbitkan oleh pemerintah tetapi sebentar lagi bakal masuk atau digusur kembali ke dalam pustaka sebagai tong sampah tempat pembuangan. Ketika ditanya “kenapa buku pasaran atau LKS ini yang dipakai dan buku paket Depdikbud dikembalikan ke Pustaka”. Jawabannya adalah karena LKS atau buku itu lebih tipis dan lebih praktis untuk dipakai dalam proses belajar mengajar di kelas. Tampaknya guru-guru kita ingin mengajar asal enteng saja.
Dapat kita lacak bahwa yang membuat buku paket keluaran Depdikbud terabaikan dan buku pelajaran yang diproduksi oleh swasta begitu laris karena adanya perbedaan dalam pelayanan. Dimana buku swasta langsung datang dipasarkan ke sekolah-sekolah dan melayani guru-guru. Disamping itu ada kalanya karena faktor keterlambatan datang buku-buku paket pemerintah. Dimana tahun pelajaran telah berjalan sekian minggu, dan malah sampai satu bulan, maka buku paket baru datang. Tentu saja kekosongan buku diisi oleh buku swasta meski dengan cara menguras kantong orang tua murid yang rata-rata banyak yang kurang mampu. Dimana mereka harus mengeluarkan uang yang banyak untuk setiap bidang studi di sekolah dan untuk sekian orang anak-anak merasa yang menjadi tanggung jawab mereka.
Kita merasa khawatir kalau-kalau buku paket kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum baru . ini mengalami nasib yang sama dengan buku paket Depdikbud dalam kurikulum lama. Maka agar buku paket ini tidak ditumpuk di perpustakaan, sebagai ton sampah, tempat pembuangan buku-buku paket atau buku-buku teks terbitan PN Balai Pustaka dan terbitan Pusat Perbukuan Depdikbud untuk itu kita mohon kepada pihak-pihak yang terkait untuk melakukan antisipasi dalam rangka kita dapat memanfaatkan buku-buku yang telah diciptakan dengan dana besar demi kemajuan bangsa kita ini juga.

Pustaka Sekolah Merupakan Gudang buku rongsokan

Pustaka Sekolah Merupakan Gudang buku rongsokan

Oleh Marjohan
Guru SMA Neg 3 Batusangkar
marjohanusman@yahoo.com

RATA-RATA pustaka sekolah dikelola secara serampangan karena disebabkan banyak faktor. Dalam suasana sekolah dua shift dengan jam istirahat sangat kasib membuat murid-murid enggan untuk berkunjung ke pustaka. Sebab mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk membolak balik buku dan menilai bacaan-bacaan yang lain. Murid-murid lebih senang untuk menggunakan waktu istirahat yang jumlahnya Cuma beberapa belas menit saja untuk pergi ke kantin atau bersenda gurau untuk sekedar menarik nafas segar di luar pustaka.
Hanya ada segelintir murid saja bila dibandingkan dengan total populasi sekolah. Murid-murid itu pun mengunjungi pustaka karena merasa kebingungan, tidak punya duit lagi untuk pergi ke kantin dan tidak punya teman yang sreg untuk bersenda gurau. Kecuali satu atau dua orang murid saja yang mempunyai niat untuk mengunjingi pustaka.
Tidak hanya murid, guru-guru pun jarang terlihat yang mengunjungi pustaka. Kalau ditanya “mengapa” maka jawaban yang paling-paling kita dengar adalah tidak ada waktu atau tidak ada kesempatan. Dan ini adalah sebuah jawaban tradisionil.
Salah satu dari penyebab hilangnya gairah guru dan murid mengunjungi pustaka karena pustaka yang berfungsi tempat koleksi buku-buku ternyata miskin dengan koleksi buku kecuali yang dapat ditemukan di perpustakaan adalah tumpukan buku-buku teks pelajaran dan buku-buku terbitan Pusat Pembukuan Depdikbud dan PN. Balai Pustaka. Seolah-olah perpustakaan sekolah bukanlah tempat gudang ilmu tetapi tepatnya perpustakaan sekolah adalah tong sampah bagi pembuangan buku-buku teks terbitan PN Balai Pustaka dan buku-buku keluaran Pusat Perbukuan Depdikbud.
Kedengarannya amat sinis. Tapi ini adalah kalimat yang dilontarkan oleh seorang petugas pustaka yang merasa putus asa atau frustasi melihat perkembangan pustaka yang tidak pernah menggairahkan. Paling kurang menurut visi petugas pustaka tadi.
Sebetulnya ini adalah suatu kenyataan. Kalau kita mengunjungi beberapa pustaka sekolah, kecuali kalau petugas pustaka menumpuknya dalam gudang, kita akan menemukan deretan buku-buku teks yang diterbitkan pemerintah masih utuh. Dan rata-rata buku-buku itu berdebu dan hampir tidak terawat. Malah ada inisiatif dari petugas pustaka yang suka iseng untuk menjualnya secara kiloan untuk kertas pembungkus teri di tengah pasar. “Sungguh sayang bukan,” katanya, dari pada buku-buku itu ditumpuk atau dibakar maka lebih baik dijual dan uangnya dapat dimanfaatkan untuk pembeli sabun cuci. Sungguh ini merupakan suatu pelecehan atas buku dan ilmu. Apalagi mengingat biaya yang dikeluarkan pemerintah, Depdikbud, tentu berkisar sampai puluhan miliar rupiah dan berakhir dalam bentuk pemborosan dana negara yang amat sia-sia.
Mengapa hal seperti ini bisa terjadi, apakah buku-buku ini diluncurkan tanpa rencana?
Untuk mendapat jawabannya tentu kita dapat menemui berbagai pihak, terutama guru-guru dan petugas pustaka sebagai orang lapangan yang langsung berkecimpung menghadapi buku-buku teks tersebut.
Tampaknya buku-buku keluaran Depdikbud dibuat asal jadi saja, komentar seorang guru Bahasa Indonesia. Bahasa yang digunakan oleh buku-buku paket (buku teks) agak kaku dan penampilannya sangat formal dan tidak sesuai dengan selera murid yang berusia remaja. Untuk buku Bahasa Indonesia, misalnya, tidaklah tepat kalau disusun oleh ahli bahasa saja tetapi juga diikutsertakan unsur dari sastrawan agar bahasa buku ini enak dicerna dan menarik untuk dibaca.
Tampaknya buku-buku keluaran Depdikbud bersifat “teacher-centered”. Maksudnya buku-buku itu musti ditelaah dulu oleh guru dan baru disampaikan uraiannya pada murid. Sering kita dengar murid merasa susah untuk memahami isi buku dan jenuh dengan gaya bahasanya. Melihat sistem belajar orang kita yang cenderung menghafal dan buku mentelaah isi buku maka guru suka memanjakan murid dengan cara meringkaskan isi buku untuk dapat dihafalkan bila ada ujian. Akibatnya jadilah murid-murid ibarat sapi suci agama Hindu di India yang mengunyah-ngunyah kertas berisi tulisan, menelannya dan mengeluarkan dalam bentuk kotoran tanpa pernah singgah di dalam kepala. Begitu pula bagi guru karena tidak menguasai materi pelajaran, membuat keringkasan dan menghafalnya. Akibatnya jadilah guru itu dengan ilmu tua semalam dari murid.
Kebiasaan guru yang suka meringkas isi buku dan mencatatkan kepada murid, secara dikte agar dapat mengefektifkan jam tatap muka atau menyuruh seorang murid mencatatkan di papan tulis sampai tangannya pegal-pegal, membuat buku-buku paket keluaran Depdikbud tetap utuh di perpustakaan. Disamping itu yang membuat buku-buku paket tetap menumpuk di Pustaka adalah rasa acuh tak acuh guru terhadap keberadaan pustaka. Sehingga guru tersebut tidak tahu kalau-kalau buku pendamping buku paket lain, untuk memperkaya wawasan murid, telah datang ke pustaka. Malah kalaupun tahu ada buku baru, banyak guru tidak memperdulikan karena tidak suka bersusah-susah payah. Sehingga kita lihat buku-buku penunjang lain semakin berdebu saja di pustaka.
Hal ini yang membuat guru enggan menggunakan buku paket, dengan akibat menyuruh murid-murid untuk membeli buku-buku pasaran, akibat materi buku paket Depdikbud tidak persis sama dengan isi GBPP sesuai dengan persepsi guru masing-masing atau materi pelajarannya melompat-lompat. Misal, pelajaran yang seharusnya untuk kelas tiga tetapi terdapat pada buku kelas dua.
Masih ada alasan pribadi lain yang membuat buku paket keluaran Depdikbud dan PN. Balai Pustaka terabaikan. Sehingga tetap menumpuk-numpuk di perpustakaan.
Sanggar-sanggar belajar seperti MGMP, LKG, SPKG dan lain-lain adalah ajang mendiskusikan, mana buku-buku yang bermutu, diantara guru-guru peserta sanggar. Maka sering penilaian mereka jatuh kepada buku pasaran sebagai buku, yang berkwalitas karena mudah untuk dicerna sehingga buku paket pemerintah semakin menempati urutan belakang. Barangkali buku-buku pasaran itu laris karena tujuannya komersil maka ia dirancang secara profesional. Apakah dari segi perwajahan buku, ilustrasi, gaya bahasa dan sampai kepada ukuran buku yang menyerupai buku populer karena desainnya menarik. Disamping itu karena dalam sistem kenaikan pangkat sekarang yang memberi penilaian kepada guru yang kreatif membuat buku atau LKS. Maka guru inti yang kreatif dan yang memiliki orientasi kepangkatan dan orientasi ekonomi segera merancang buku apakah dengan cara mengedit, yakni dengan caplok sana caplok sini. Maka jadilah sebuah buku atau LKS yang menarik setelah keluar dari percetakan lokal. Kemudian mereka, guru-guru inti, mempengaruhi guru-guru inti, mempengaruhi guru-guru pengikut sanggar agar sekolah mereka menggunakan buku atau LKS yang ditulis oleh guru-guru inti. Inipun membuat buku paket semakin terpojok kedudukannya.
Alasan kekurangan atau kesulitan ekonomi juga membuat guru-guru bidang studi berbisnis buku dengan cara mengambil buku kepada agen pemasaran buku untuk dijual kepada murid-murid dengan janji bahwa kalau terjual maka keuntungan 20 sampai 30 persen adalah untuk guru bidang studi yang telah berjasa tadi. Suatu keuntungan yang lumayan yang membuat guru dapat tersenyum manis. Tetapi ini dapat menelantarkan buku-buku paket sebagai buku utama.
Pada umumnya buku-buku paket yang menumpuk di perpustakaan sekolah adalah buku-buku paket dalam kurikulum lama. Tetapi sebagian besar, ketika kurikulum lama masih berlaku, buku-buku paket itu telah ada juga yang menumpuk-numpuk dan berdebu di perpustakaan.
Sekarang bagaimana dengan keadaan atau nasib buku-buku paket yang ditulis seusai dengan kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum baru, ., ini?
Dari buku-buku paket terbitan PN. Balai Pustaka atau yang diluncurkan oleh Pusat Perbukuan Depdikbud kita telah melihat kemajuan-kemajuan yang sangat berarti. Pada umumnya buku-buku sudah dirancang dengan perwajahan yang cukup menarik dan penjilidan yang cukup kokoh sehingga tidak memungkinkan lagi lembaran halaman buku-buku mudah lepas dan bertebaran. Tetapi dari awal-awal tahun berlakunya kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum baru telah terlihat pula gejala bahwa buku-buku ini mengalami nasib serupa dengan buku-buku paket kurikulum lama yakni ditumpuk-tumpuk dalam perpustakaan. Pada hal buku-buku ini dengan modal puluhan miliar rupiah sengaja dirancang untuk membantu orang tua murid dan sekaligus menyukseskan program pengajaran yang telah dirancangkan oleh pemerintah kita. Tetapi sekarang dimana letak salah dan letak penyebabnya.
Karena tujuannya betul-betul komersil maka penerbitan swasta dalam naungan IKAPI, dan sebagian buku-buku yang dipasarkan ada yang telah disahkan oleh Dirjen Dikdasmen, melihat bahwa sekolah-sekolah adalah pasar yang potensial untuk mencari keuntungan. Maka mereka mempelajari kelemahan buku yang diluncurkan pemerintah dan juga mempelajari selera guru dan murid sebagai konsumen mereka.
Seorang penyalur buku pelajaran dari penerbit swasta mengatakan bahwa yang membuat buku-buku keluaran penerbit mereka laris seperti kacang goreng adalah karena adanya kesan “pandangan pertama” terhadap buku-buku yang mereka pasarkan dan kesan ini tidak dimiliki oleh buku paket yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kesan buku terbitan non pemerintah yaitu bentuknya pop, mungkin bahasanya adalah bahasa populer dan ukuran disajikan seperti majalah remaja, dan ukuran buku itu cukup tipis sehingga mendatangkan kesan enteng untuk dibaca dan dicerna. Kemudian ditambah dengan unsur pelayanan dari agen pemasaran yang menyebar dan mengunjungi setiap sekolah. Disana mereka mempengaruhi guru-guru bidang studi dan menunjukkan keunggulan buku-buku mereka sehingga membuat guru betul-betul merasakan adanya kemudahan-kemudahan terhadap buku pasaran itu. Misalnya buku pasaran menyajikan uraian, rata-rata dengan cara mengunyah-ngunyahkan materi dan menyuapkannya ke dalam mulut murid, terasa mudah untuk dicerna oleh guru dan murid. Malah tanpa adanya kehadiran guru, murid sendiripun juga dapat melakukan instruksi pelajaran dalam buku pasaran. Betul-betul pendekatannya bersifat “student-centered”. Sedangkan buku terbitan pemerintah memuat uraian yang bersifat umum sehingga murid musti mengerutkan dahi agar dapat memahaminya seorang guru harus meringkaskan isi buku terlebih dahulu. Terasa oleh kita penyajian buku pasaran juga bersifat memanjakan murid atau memanjakan pendidikan yang bersifat menghafal. Sedangkan buku terbitan Balai Pustaka dan Depdikbud lebih mendorong guru dan murid untuk menelaah isi buku dan mengembangkan sikap “menganalisa” dan bukan sikap menghafal.
Kita rasa karena penyebaran buku pelajaran pasaran dikemas secara potensial dengan tujuan komersil yaitu dengan mengirim agen-agen pemasaran sampai menemui setiap guru bidang studi telah dapat mempengaruhi mereka dan membuat mereka berpaling dari buku terbitan Depdikbud. Pada sebuah SMA yang didatangi oleh agen penyaluran buku kita akan dapat melihat transaksi antar guru dan agen untuk mengambil pesanan buku untuk dapat disebarkan pada beberapa kelas dengan jumlah total murid diatas seratus orang dengan janji kelak 20 atau 30 persen keuntungan adalah untuk ibu atau bapak guru. Sementara dihadapkan guru itu sendiri tergeletak onggokan buku paket kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum baru yang diterbitkan oleh pemerintah tetapi sebentar lagi bakal masuk atau digusur kembali ke dalam pustaka sebagai tong sampah tempat pembuangan. Ketika ditanya “kenapa buku pasaran atau LKS ini yang dipakai dan buku paket Depdikbud dikembalikan ke Pustaka”. Jawabannya adalah karena LKS atau buku itu lebih tipis dan lebih praktis untuk dipakai dalam proses belajar mengajar di kelas. Tampaknya guru-guru kita ingin mengajar asal enteng saja.
Dapat kita lacak bahwa yang membuat buku paket keluaran Depdikbud terabaikan dan buku pelajaran yang diproduksi oleh swasta begitu laris karena adanya perbedaan dalam pelayanan. Dimana buku swasta langsung datang dipasarkan ke sekolah-sekolah dan melayani guru-guru. Disamping itu ada kalanya karena faktor keterlambatan datang buku-buku paket pemerintah. Dimana tahun pelajaran telah berjalan sekian minggu, dan malah sampai satu bulan, maka buku paket baru datang. Tentu saja kekosongan buku diisi oleh buku swasta meski dengan cara menguras kantong orang tua murid yang rata-rata banyak yang kurang mampu. Dimana mereka harus mengeluarkan uang yang banyak untuk setiap bidang studi di sekolah dan untuk sekian orang anak-anak merasa yang menjadi tanggung jawab mereka.
Kita merasa khawatir kalau-kalau buku paket kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum baru . ini mengalami nasib yang sama dengan buku paket Depdikbud dalam kurikulum lama. Maka agar buku paket ini tidak ditumpuk di perpustakaan, sebagai ton sampah, tempat pembuangan buku-buku paket atau buku-buku teks terbitan PN Balai Pustaka dan terbitan Pusat Perbukuan Depdikbud untuk itu kita mohon kepada pihak-pihak yang terkait untuk melakukan antisipasi dalam rangka kita dapat memanfaatkan buku-buku yang telah diciptakan dengan dana besar demi kemajuan bangsa kita ini juga.

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...