Minggu, 16 Desember 2007

“Guru Mengaji TPA- TPSA”

Mengangkat Martabat “Guru Mengaji TPA- TPSA”
Oleh : Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
(Program Layanan Keunggulan)


Eksistensi pendidikan secara konvensional diklasifikasikan atas pendidikan formal, informal dan non formal. Dan hampir semua orang terdidik telah tahu tentang contoh- contoh pengklasifikasiannya. Pendidikan mulai dari jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD), atau dari Taman Kanak- Kanak, sampai ke jenjang Perguruan Tinggi adalah termasuk ke dalam klasifikasi pendidikan formal.
Profesi sebagai guru pada jenjang pendidikan tadi (SD sampai Perguruan Tinggi), eksistensi mereka sangat diperhatikan oleh berbagai kalangan, seperti LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), kelompok masyarakat, media massa dan tentu saja oleh pemerintah sendiri. Bagaimana membuat dan mendorong guru agar bisa memiliki martabat merupakan paradigma paling terkini dalam wacana pendidikan kita. Usaha dan inisiatif dari berbagai pihak dalam memperjuangkan harga diri dan martabat guru- guru sangat patut untuk dihargai.
Sudah lama ada dalam masyarakat, mulai dari lingkungan kota- kota besar sampai ke lingkungan masyarakat di desa- desa kecil hidup sosok guru mengaji “TPA- TPSA” dengan sosok bersahaja, berpakaian sederhada dan tutur katanya juga sederhada dan kantong mereka tentu saja jauh dari ukuran sederhana. Agak nya martabat mereka juga perlu untuk diperhatikan (?).
Menjadi karyawan swasta, BUMN (Badan Usaha Milik Negara), PNS (Pegawai Negeri Sipil, TNI dan Polri peminatnya sangat berlimpah ruah, membuat repot media massa untuk meliput dan memberitakanya. Malah untuk merekrut tenaga Hansip dan Satpam peminatnya juga cukup banyak. Namun bagaimana peminat untuk menjadi guru mengaji di TPA dan TPSA (?). Dapat dikatakan bahwa profesi ini telah dipandang sebelah mata oleh banyak orang, barangkali karena secara finansial belum memberikan janji kebahagiaan. Profesi ini malah menjadi inspirasi oleh penulis film sinetron, yaitu figur mengaji sebagai orang yang amat baik dan tidak begitu memerlukan kecukupan materi. Dalam fenomena profesi menjadi guru mengaji hanya dipilih sebagai kegiatan pelarian- batu loncatan- atau pilihan karir paling terakhir.
Mahasiswa baik- baik namun berasal dari orang tua yang kurang berkecukupan, cendrung memilih tinggal di mushala dan mesjid, sekaligus menjadi gharim dan guru mengaji yang cukup dibayar beberapa sen saja (beberapa ribu saja) malah kalau bisa murah buat apa dibayar mahal- mahal , atau kalau di desa kecil, guru mengaji cukup dihargai satu liter beras saja per bulan.
Apakah menjadi guru mengaji TPA- TPSA mereupakan karir paling rendah (?). Dari pengalaman sehari- hari kita temui bahwa yang memilih karir guru mengaji adalah orang- orang yang sudah tua- lemah tubuhnya, orang orang yang lemah ekonominya dan orang yang sudah putus asa karena gagal dan gagal setiap kali mengikuti tes PNS.
Kalau sekarang kita jumpai banyak anak anak yang bersekolah di SD, SLTP dan SLTA buta membaca Al-quran, maka siapa yang patut disalahkan (?). orang dengan mudah akan menyalahkan orang tua, guru kelas, guru agama atau siapa saja yang bisa dijadikan kambing hitam. Guru akan menyalahkan guru dan guru akan menyalahkan orang tua. Suatu cara berfikir mencari solusi pada pada konsep vicious cycle atau pada lingkaran setan. Yang sering kena damprat atas fenomena lemahnya nilai rohani anak adalah guru- guru agama, guru- guru di SD dan orang tua sendiri.
Orang tua harus ikhlas kalau disalahkan sebagai penyebab anak miskin dengan nilai rohani- buta Al quran dan tidak disiplin dalam dalam mengimplementasikan ibadah. Karena memang orangtua lah sebagai pemilik anak itu sendiri, yang membesarkan dan yang mula- mula mendidik dan menanamkan akar agama dan budaya. Namun untuk amat jarang guru yang terbiasa- karena tidak memiliki kompetensi agama dan mendidik- mengajar mereka beribadah, membaca al Quran dan muamalah lain, maka sebagai jalan pintas dan sudah konvensional (sudah menjadi kebiasaan) untuk menyerahkan anak- anak ke surau, mushala, langgar dan mesjid yang memiliki kegiatan agama dan TPA- TPSA.
Untuk selanjutnya dalam pembiayaan pendidikan agama anak, orang tua akan memperlihat sikap yang beragam pula, ada yang ingin gratis (tidak tahu menahu keuangan guru mengaji), tidak sudi membayar uang mengaji sebanyak upah buruh minimal (UMR), atau kalau bisa ditawar SPP mengaji mengapa harus dibayar mahal. Namun untuk keperluan ilmu dunia- mengikuti kursus bahasa Inggris, kursus sempoa, kursus Matematik, kursus musik sampai kepada kursus menari atau kebugaran tubuh, orang tua sudi membayar sampai ratusan ribu Rupiah. Namun untuk kepentingan rohani atau spiritual orangtua kok hanya berani membayar murah atau ingin gratis.
Terus terang keberadaan profesi guru mengaji dalam masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting dalam membentuk akhlak dan karakter positif anak sejak usia kecil. Guru mengaji pun punya peran penting dalam menanamkan akar agama dan warna spiritual anak sejak usia dini. Kuat atau lemahnya akar agama ditentukan pula oleh kualitas pribadi guru mengaji mereka.
Adalah sangat beruntung anak anak yang belajar mengaji dengan guru TPA dan TPSA mereka berkualitas tinggi. Andaikata guru mengaji mereka tamatan universitas ternama dan asal dibayar mahal (namun apakah ada ?) pastilah anak- anak mereka akan menjadi santri atau murid TPA- TPSA yang juga berkualitas dalam bidang rohani- spiritual. Guru mengaji yang berkualitas tinggi tentu akan mampu melaksanakan PBM (proses belajar mengajar) alQuran yang sangat menarik, kalau perlu dengan konsep PAKEM (pembelajaran aktif kreatif efektif dan menyenangkan) di lingkungan mesjid dan mushala. Namun sekali apakah ada sosok guru mengaji yang demikian ? Atau barangkali sosok guru yang demikian hanya ada dalam mimpi atau dalam sinetron.
Kini setiap orang- seperti anggota masyarakat, orangtua, guru, dan siapa saja- perlu berfikir tentang mengapa profesi guru mengaji di pandang sebelah mata sementara itu keberadaan mereka sangat diperlukan oleh masyarakat banyak untuk menempa dan membentuk akhlak dan nilai spiritual anak- anak mereka, namun profesi ini dipandang dengan sebelah mata oleh banyak orang. Profesi ini cendrung tidak punya martabat, sebutlah profesi sebagai imam masjid dan mubaligh. Profesi atau posisi ke dua peran sosial ini sangat dihargai oleh masyarakat.
Dugaan sementara dari penyebab guru mengaji kehilangan martabat adalah, agaknya, karena jasa mereka sudah terlanjur dibayar murah. Mungkin karena guru mengaji belum melalui rekruitment yang berkualitas oleh pihak yang berwenang atau pihak yang bergengsi. Kemudian karena populasi guru mengaji sudah terlanjur dari orang- orang terlalu bersahaja dan bersikap nrimo atau pasrah, dari kalangan orang- orang baik namun kualitas SDM mereka masih rendah.
Adalah fenomena tentang kualitas pemahaman agama generasi muda yang mayoritas beragama Islam ini. Jumlah mereka sangat banyak namun kualitas spiritual mereka seperti buih di tepi pantai, jumlahnya banyak namun mudah pecah diterpa angin. Hal itu sebahagian karena kualitas mengaji mereka di TPA dan TPSA juga biasa biasa saja, yakni sekedar mampu mengajarkan transkrip abjat Arab yang ngetop disebut alif-ba-ta. Sampai mereka mampu membaca alquran namun tidak pernah paham apa yang dibaca. Pesan yang disampaikan oleh Sang Khalik hanya dimengerti belakangan lewat mulut guru atau mulut ustad dikemudian hari dalam skenario yang berbeda pula. Memang dewasa ini pengajaran Alquran paling jauh hanya sekedar membaca abjad Alquran (mungkin belum lagi membaca Alquran).
Sebuah pemikiran bahwa andaikata belajar membaca Alquran di TPA dan TPSA diikuti dengan belajar makna Alquran, atau katakan belajar bahasa Arab. Maka pastilah kelak akan muncul cukup banyak jumlah generasi muda yang beragama Islam yang mampu memahami bahasa Arab/ bahasa Alquran langsung dari mulut mereka sendiri. Jumlah orang yang menguasai bahasa Arab tentu jauh lebih banyak dari orang yang mampu berbahasa Inggris. Atau akan banyak orang orang yang cerdas dunia dan akhiratnya, yakni mampu berbahasa Inggris dan mampu pula berbahasa Arab. Kini adalah pekerjaan rumah bagi kita bagaimana memperdaya generasi muda, sarjana yang menganggur (kalau mereka setuju) untuk terjun menjadi guru TPA dan TPSA yang berkualitas dan bermartabat, dengan harapan jasa dan kesejahteraan mereka harus diperhatikan dan dibayar dengan sangat wajar.

http://penulisbatusangkar.blogspot.com/

Marjohan, Guru SMA Neg 3 Batusangkar (Program Layanan Keunggulan)

Minggu, 09 Desember 2007

Siswa Bingung Memilih Figur antara Selebriti dan Tokoh Intelektual

Siswa Bingung Memilih Figur antara Selebriti dan Tokoh Intelektual

Oleh : Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangka
(Program Layanan Keunggulan)


Adalah jumlah populasi generasi muda menempati posisi yang sangat mayoritas dalam piramida demografi kependudukan di Indonesia. Mereka adalah anak- anak muda, remaja dan pelajar yang sangat sibuk menumbuh kembangkan potensi diri. Setiap saat selalu mencoba dan mencoba untuk mencari identifikasi diri, mereka selalu merenung dan berfikir untuk menemui figur yang sangat pas untuk diadopsi dan ditiru dalam rangka membentuk karakter diri sendiri.
Generasi muda yang jumlahnya jutaan jiwa itu dapat kita umpamakan sebagai koloni serangga yang beterbangan di malam hari mengejar sinar yang dipancarkan oleh figur- figur orang orang besar dan orang orang ternama di Indonesia (malah bisa jadi juga orang terkenal di level dunia). Figur atau tokoh yang memancarkan sinar popularitas yang kuat pastilah mampu menarik banyak anak- anak muda untuk menjadikan mereka sebagai idola atau sebagai panutan (model) bagi hidup.
Dalam satu generasi yang lalu sampai kepada dua puluh tahun yang silam, yaitu tahun 1970-an dan 1980-an, agaknya cahaya tokoh intelektual, juga tokoh agama, masih memiliki sinar yang terang untuk menyinari generasi muda di Indonesia. Begitu juga bagi generasi pada zaman sebelumnya. Sebut saja generasi di tahun 1940-an sampai tahun 1960-an, saat anak- anak muda dan para pelajar Minangkabau masih tidur di surau, mereka sebelum tidur selalu bermimpi ingin menjadi orang hebat- menjadi tokoh intelektual- seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Tan Malaka, Buya Hamka, Haji Agus salim, dan lain- lain. Di saat senggang mereka bercengkrama dan berdialog sampai separoh bertengkar mempertahankan reputasi figur idola mereka kalau di rendahkan oleh lawan bicara. Tentu saja mereka juga rajin untuk mengumpulkan kliping tulisan yang mempublikasikan figur tersebut dari majalah dan koran- koran, atau mereka mencari buku biografi tentang orang ternama lain untuk perbendaharaan wawasan mereka lewat meminjam, dari pustaka atau membelinya di toko buku. .
Rata- rata generasi muda (baca: anak sekolah) pada masa itu yang menjadikan tokoh intelektual sebagai panutan mampu membuat mereka tumbuh menjadi manusia yang berkualitas. Tidak saja kualitas untuk kognitif, tetapi juga kualitas untuk sikap, prilaku, akhlak sampai kepada kualitas kecakapan hidup lainnya. Walau istilah quantum quotient- kepintaran berganda, belum dikenal saat itu namun dalam kenyataan mereka telah memiliki pribadi dengan kecerdasan berganda secara tak langsung. Maka tidak heran kalau rata- rata remaja- sebagai calon intelektuak saat itu- mampu tumbuh menjadi orang yang sukses dan terpandang dalam masyarskat. Bukti itu masih terlihat bagi mereka yang berkarir pada tahun 1970 an dan 1980 an.
Dapat dikatakan bahwa figur tokoh intelektual dan juga tokoh agama yang ada di Indonesia pada saat itu betul- betul memiliki kekuatan dan mampu memberikan model atau panutan bagi generasi muda pada masa itu. Suara, tulisan dan kehadiran mereka selalu ditunggu tunggu setiap saat. Dan adalah juga menjadi tradisi bagi tokoh intelektual pada masa itu untuk banyak meleburkan diri dengan anak- anak muda. Mereka turun ke bawah, ke surau, ke langgar dan ke sekolah untuk menemui generasi muda atau orang- orang yang mengidolakan mereka. Mereka tidak sibuk meleburkan diri dengan proyek yang ujung- ujungnya untuk menebalkan dompet. Karena pada masa itu yang bernama proyek demi proyek memang juga jarang.
Tokoh- tokoh intelektual ukuran lokal pun juga mempunyai arti bagi anak- anak muda pada masa itu. Mereka juga mempunyai andil atau peran lewat model atau figur yang mereka miliki untuk menggerakkan semangat, dan motivasi mereka untuk maju dan berkembang. Kultur yang tinggi dan karakter yang baik pada diri mereka mampu menular kepada generasi muda pada masa itu. Sehingga saat itu mungkin istilah tawuran masal dan istilah kenakalan remaja belum terdengar segenjar sekarang.
Pada masa itu tokoh intelektual masih punya agenda rutin untuk melakukan turba atau turun ke bawah. Sebutlah Buya Hamka, sebagai contoh, sebelum meninggalnya di tahun 1980, dalam tahun- tahun sebelumnya selalu punya agenda untuk turun dan berbagi fikiran dan pengalaman (berdakwah), tanpa protokoler seperti intelektual sekarang, kepada masyarakat yang berada di lapis bawah yang sudah menunggu di mesjid di daerah tingkat dua. Tokoh agama dan tokoh intelektual dirasakan sebagai milik masyarakat, bukan sebagai miliki kampus, milik perkumpulan atau kaum elit.
Adalah fenomena pada saat itu bahwa tokoh intelektual membuka pintu rumahnya lebar- lebar untuk banyak orang, tanpa pandang bulu dan pilih kasih. Mereka berbicara hati ke hati secara langsung dan bukan dari jauh lewat seminar atau workshop. Karena pada masa itu kegiatan seminar dan workshop belum segencar sekarang. Sekarang hanya kalangan tertentu saja yang bisa berbagi pengalaman dengan tokoh intelektual, dan tempatnya pun harus di lokasi seminar yang ujung- ujungnya hanya untuk orang yang berduit dan orang yang mengharapkan selembar sertifikat untuk sertifikasi atau keperluan naik pangkat.
Awal tahun 1980-an adalah era televisi mulai merangkak dan hadir ke tengah masyarakat Indonesia. Televisi pada mulanya punya visi dan misi suci yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia dan juga sebagai corong komunikasi dari pemerintah untuk rakyat. Lambat laut peranan televisi- si kotak ajaib, tadi memberikan fungsi dan peranan ganda. Yaitu sebagai media pendidikan dan hiburan. Bila porsi fungsi ini masih berimbang- fifty- fifty antara hiburan dan pendidikan- maka tentu ini tidak lah menjadi masalah. Yakni selagi masih berada dalam koridor kebudayaan Indonesia. Namun entah mengapa, entah siapa yang memulai (tentu saja orang yang mempunysi duit dan mengusai dunia komunikasi) maka porsi televisi sebagai hiburan sudah semakin menciut. Malah sekarang di tahun 2000 an ini, dapat dikatakan bahwa fungsi televisi adalah banyak sebagai benda penghibur untuk anggota masyarakat.
Kalau dahulu televisi dipandang sebagai benda lux atau kebutuhan mewah, maka sekarang ia telah menjadi kebutuhan primer, seperti hal-nya kebutuhan terhadap sandang, pangan dan papan. Dan sering ditemui rumah- rumah kumuh atau gubuk yang agak reot tetapi pemiliknya mampu mempunyai televisi berwarna- walau itu adalah pemberian kaum kerabat mereka. Karena kini televisi telah berubah fungsi menjadi teman untuk memecah kesepian dan sebagai babby sitter untuk menemani anak selama berjam- jam walau dengan seribu satu dampak yang ia berikan.
Sekarang para pebisnis tahu betul bahwa untuk bisa berdagang dan meraup laba sebanyak mungkin dari lapisan masyarakat maka televisi bisa menjadi media massa yang andal. Maka dalam masa satu atau dua dekade saja, belasan stasiun televisi pun bisa bermunculan di bumi Indonesia. Kehadiran televisi sekarang bukan punya niat untuk mendidik tetapi banyak punyas niat untuk menghibur (sambil menyuguhkan budaya baru sebagai pilihan).
Kehadiran televisi dalam keluarga, tidak memupuk budaya belajar, malah menyuburkan budaya menonton. Anak anak muda menjadi lebih suka menonton dari pada membaca. Selama ini pribadi tokoh intelektual hanya bisa ditemui lewat kebiasaan membaca. Budaya menonton membuat mereka tidak bisa kenal dan malah makin jauh dari figur intelektual, karena mereka sendiri membenci hobi membaca.
Agar program komersial dan hiburan televisi makin laku dan makin mampu bersaing sesama mereka- stasiun televisi- dan mampu merebut hati remaja dan generasi muda (yang tidak suka atau separoh suka membaca) maka pemilik stasiun televisi yang jumlahnya belasan menghadirkan sosok figur yang ramah tamah, cantik, menarik dan penampilan nyentrik. Mereka ini belakangan akrab disebut atau disapa sebagai kaum selebriti. Mereka terdiri dari bintang film, bintang sinetron , artis, penyanyi, presenter atau bintang iklan, atau mungkin ada dari grup lain dengan istilah lain pula.
Para selebriti, kehadiran mereka sungguh sangat mempesona dan kelincahan mereka dalam menjual pribadi yang dipoles oleh hal- hal yang bersifat imitasi- tiruan dan penuh kepalsuan- mampu membuat mereka menjadi kaya dalam sekejam mata. Sehingga ini menjadi inspirasi bagi penonton televisi. Pada mulanya pribadi atau pesona selebriti ini hanya memberi inspirasi kepada kaum remaja yang memang sedang deman mencari figur atau identifikasi diri. Lambat laun pesona penampilan selebriti ini merebak kesemua lapisan masyarskat.
Pada mulanya hanya kaum remaja sajalah yang tampil dan berperilaku mirip artis atau selebriti yang mereka tonton di laya kaca, cara berpakaian, cara ber make-up, cara berbicara, cara bersopan santun. Namun sekarang pria dan wanita setengah baya pun banyak yang tampil lebih glamour dari pada selebriti itu sendiri- memakai rambut berwarna, celana ketat, lensa kontak, muka dipermak, atau bagi pria memakai celana model melorot, merek pakaian musti trendy dan sampai mereka melangkah menjauhi mode dari kebudayaan sendiri.
Kalau kita melangkah ke lingkungan universitas- mulai dari universitas berkualitas rendah sampai berkualitas tinggi. Pasti disana akan ditemui banyak mahasiswa- sebagai intelektual muda yang seharusnya penampilan mereka seperti tokoh intelektual senior mereka, atau paling kurang mereka mengambil penampilam dan mode panutan dari dosen- dosen dan guru besar (profesor) sebagai panutan dalam bertindak- melakukan aksi, berbicara dan berfikir. Namun kenyataannya adalah mereka malah tampil ibarat selebriti dari kampus yang suka mejeng dengan pakaian model mutakhir yang dipopulerkan oleh selebriti pujaan mereka, menyandang tas yang isinya malah MP3, recharger mobile phone, kue bermerek luar negeri dan sebagai pelengkap musti ada buku catatan tipis sebagai bukti berstatus mahasiswa. Fungsi kampus bisa berobah sebagai tempat pamer dan lomba penampilan dan sedikit sekali, bagi sebagian mahasiswa sebagai calon intelektual, sebagai unjuk presrasi.
Maka inilah fenomena yang kini terjadi, saat pesona selebriti mengalahkan popularitas dan pengaruh tokoh inteletual, telah mengakibatkan generasi muda tumbuh menjadi generasi kebingungan, generasi yang tercabut dari akar budayanya. Fenomena kebingungan generasi muda ini bisa diatasi apabila tokoh intelektual mempopulerkan lagi reputasi mereka. Kini mereka- para tokoihn intelektual dan juga tokoh agama) harus turun dari menara gading intektual mereka yang sakral, membuka pintu rumah seluas- luasnya dan turun mobil untuk menemui dan menemani generai muda untuk berbasgi dan basgi mereka yang sibuk dalam mencari identitas diri, agar mereka kelak mampu untuk menapak hari depan mereka. http://penulisbatusangkar.blogspot.com/

Guru Perlu Memiliki Kecerdasan Berganda


Guru Perlu Memiliki Kecerdasan Berganda
Oleh : Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
(Program Layanan Keunggulan)


Kepedulian orang terhadap pendidikan dewasa ini sudah meningkat. Sekarang kita dapat menemui ratusan artikel yang berbicara tentang peningkatan kualitas pendidikan melalui surat kabar, majalah, seminar dan lewat cyber atau internet. Salah satu judul atau topik yang sering diangkat orang dalam berbagai seminar dan talkshow adalah bagaimana melejitkan potensi diri dan menumbuh-kembangkan pendidikan yang berimbang antara “imtaq dan iptek”- iman dan taqwa- dan ilmu pengetahuan dan teknologi- atau topik tentang mengembangkan kepintaran berganda antara IQ, EQ dan SQ.
Konsep- konsep untuk mengembangkan kepintaran berganda- mutiplied intelligent- ini kemudian dibawa ke dalam dunia pendidikan (ke sekolah) dan ke dalam rumah tangga. Namun konsep dan teori tentang kecerdasan berganda corongnya lebih banyak mengarah kepada dunia anak- anak dan para siswa di sekolah. Untuk mereka sengaja dirancang berbagai program, pelatihan atau training disertai dengan segudang resep bagaimana agar mereka bisa memiliki kepintaran berganda- menjadi generasi muda yang memiliki multiplied intelligent dengan harapan kelak bisa hidup indah, mudah dan jauh dari gelisah.
Menerapkan dan mengarahkan corong konsep pendidikan kepintaran berganda kepada anak didik di sekolah dapat dianggap sebagai langkah yang tepat. Namun kebijakan ini tidak berimbang kalau guru- guru nya sendiri belum memiliki kepintaran berganda. Bagaimana guru bisa menerapkan perannya yang cukup banyak seperti sebagai educator, motivator, counselor, dan lain- lain- kalau mereka tidak memiliki kepintaran berganda.
Bagaimana realita tentang kualitas guru- guru dan konsep kepintaran berganda mereka pada banyak sekolah ? apakah mereka sudah memiliki kepintarasn berganda atau malah mereka hanya memiliki kemampuan pas- pasan saja sebagai seorang guru (?).
Pada banyak sekolah, umumnya guru- guru hanya memiliki kepintaran tunggal, yaitu hanya sekedar menguasai mata pelajaran mereka saja. Guru yang begini adalah realita kebanyakan guru- guru. Siswa memandang guru yang demikian sebagai guru yang biasa- biasa saja. Motivasi yang mereka berikan kepada siswa terasa juga biasa- biasa saja. Namun bila ada guru yang memiliki beberapa kepintaran- selain menguasai bidang studinya, juga cakap dalam hal lain, seperti pintar berpidato, pandai komputer dan internet, hangat pribadinya, dan lain- lain, maka guru yang demikian pasti memiliki tempat spesial dalam hati anak didik mereka.
Guru dengan kepintaran berganda seperti yang disebutkan tadi agaknya dapat diberi label sebagai guru yang profesional atau guru yang berkualitas. Mereka adalah guru yang memiliki karakter- cerdas kognitifnya, cerdas affektifnya dan cerdas psikomotoriknya. Guru yang begini tentu sangat menyenangkan, namun populasi mereka tentu saja tidak banyak. Namun setiap guru- kalau ada motivasi, keinginan dan usaha maka tentu saja mereka bisa-musti menjadi guru- guru yang spesial bagi anak didiknya. .
Sebahagian guru, seperti halnya kaum remaja, juga ada yang terjebak kedalam budaya instant- budaya yang menginginkan hasil bisa diperoleh serba cepat- bearaktifitas sedikit tetapi ingin memperoleh hasil yang cepat dan untungnya besar. Budaya instant tentu harus dijauhi, dan begitu juga dengan budaya lain seperti budaya floating thinking- fikiran suka mengambang-, budaya senang melakukan rekayasa, budaya demam lomba penampilan, budaya demam mengambil barang kredit, budaya demam bergosip, budaya ABS- asal bapak senang, budaya otoriter dan suka membentak- bentak sampai kepada budaya hedonisme – kesukaaan untuk mencari kesenangan melulu. Poin- poin ini agaknya lebih bersifat refleksi terhadap fenomena dalam dunia pendidikan kita.
Mengapa refleksi di atas bisa menjadi fenomena dikalangan sebahagian kaum pendidik (?). Barangkali fenomena ini terjadi akibat sikap mental, atau sikap sejak awal.
Dahulu menjadi guru begitu mudah dan gampang. Kalau kuota guru masih kurang maka kuota ini bisa disisip dan bisa dipesan lewat memo orang- orang yang berkuasa di atas.maka terjaringlah guru- guru yang sebagian bukan the right man on the right place. Pada akhirnya bermunculanlah guru- guru seperti fenomena yang disebutkan di atas- yaitu guru guru yang kurang kritis dan berbudaya floating thingking, miskin kreatifitas, berbudaya instant, dan lain- lain.
Respon generasi muda juga menentukan eksistensi dan kualitas guru. Tetap saja pada banyak sekolah siswa tergolong pintar pada mulanya segan untuk memilih karir guru sebagai cita- cita mereka. Kalau ada itu pun hanya bagi segelintir siswa saja. Itu pun diakibatkan oleh faktor‘X”, seperti karena alasan ekonomi orangtua,atau agar tidak perlu susah payah mencari kerja.
Umumnya siswa yang tergolong pintar dengan tingkat ekonomi orangtua yang lebih mapan memilih universitas non kependidikan yang berada di pulau Jawa. Pilihan mereka untuk kategori karir guru jatuh pada pilihan yang ke sekian. Maka akibatnya kualitas guru- guru secara umum cendrung biasa- biasa saja. Adalah suatu hikmah sejak lapangan kerja menjadi makin sulit dan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi idaman bagi sebagian mahasiswa di universitas, karena PNS sudah memberi iming- iming hidup enak, ada uang lauk- pauk dan uang tujada (tunjangan daerah) maka mereka yang belajar di Universitas non kependidikan memutar haluan untuk menyerbu program akta kependidikan agar nanti bisa melamar menjadi guru. Tentu saja hal ini menjadi hak pribadi setiap warga negara.
Kini guru guru musti punya paradigma, bagaimana menjadi guru bermartabat dan profesional. Paradigma ini bisa dicapai kalau mereka mengembangkan diri. Mereka, misalnya, harus berpikir untuk memiliki kecerdasan berganda, karena kecerdasan berganda juga patut untuk dimiliki oleh guru- guru.
Adalah pilihan yang tidak bijak bila hanya anak didik saja yang diminta dan diusahakan untuk mengembangkan diri untuk memiliki kepintaran berganda. Sementara guru- gurunya dibiarkan saja memiliki kepintaran tunggal atau tidak pintar sama sekali sebagai seorang guru.
Bobi De Porter (2002), dengan bukunya Quantum Teaching, telah memberi kaum pendidik inspirasi tentang bagaimana untuk memiliki kepintaran berganda itu. Ia mengatakan bahwa orang (atau guru) yang memiliki kepintaran berganda harus menguasai atau memiliki bidang: seni, language, interpersonal, music, natural, body, intrapersonal dan logis.
Untuk mengimplementasikan konsep kepintaran berganda tersebut bagi diri sendiri maka setiap guru perlu untuk memiliki sense of art- rasa seni, mengembangkan kemampuan berbahasa lisan dan tulisan. Mereka perlu untuk melibatkan diri dalam pergaulan , memiliki teman yang luas, mengikuti organisasi, dan melakukan koresponden.
Pengembangan kepintaran berganda lain nya adalah untuk bidang natural. Mereka harus memahami prinsip “go back to the nature” memiliki rasa peduli pada alam dan lingkungan. Mereka perlu untuk melakukan rekreasi dan merasakan betapa alam ciptaan Tuhan itu begitu indah dan menyegarkan. Kemudian setiap guru perlu untuk memiliki badan yang bugar, mereka perlu berolahraga untuk mengeluarkan keringat agar jantung dan paru- paru selalu sehat. Untuk melengkapi konsep kepintaran berganda untuk poin interpersonal yang lain, maka mereka perlu melakukan kontemplasi- merenungan tentang kelebihan dan kekurangan diri, dan mengembangkan sikap- sikap positif. Kemudian mereka juga perlu mengembamgkan kemampuan berlogika.
Mengimplementasikan konsep kepintaran berganda – mutliplied intelligent- sungguh sangat bermanfaat bagi pengembangan diri dan untuk itu konsep ini harus dilaksanakan sekarang juga, tak perlu ditunggu- tunggu sampai datang hari esok. Sehubungan dengan konsep pengembangan kepintaran berganda, Agus Nggermanto (2003) juga memberikan sedikip resep. Ia mengatakan bahwa untuk memiliki kepintaran berganda maka setiap orang (guru) perlu untuk mengimplementasikan konsep multi intelegensi. Ini mencakup tiga unsur yaitu intelligent quotient, emotional quotient dan spiritual quotient, atau kecerdasan otak, kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual.
Kecerdasan otak mencakup unsur logis (matematika) dan linguistik (verbal atau bahasa). Kecerdasan emosional mencakup unsur interpersonal dan intrapersonal. Sedangkan kecerdasan spiritual adalah bagaimana menghayati dan mengabdi kan diri - beribadah- kepada Khalik (Sang pencipta alam) ini.
Setelah memahami konsep kepintaran berganda, maka mereka juga perlu untuk mengembangkan karakter karakter positif- seperti karakter senang berfikir positif. Tokoh pendidikan Indonesia , Ki Hajar Dewantoro, sudah mewarisi kita konsep untuk memiliki kepintaran berganda, resepnya cukup sederhada yaitu: ing madya mangun karso, ing ngarso sung tulodo, tutwuri handayani. Kalau sekarang banyak ajakan datang agar guru perlu mengubah diri untuk menjadi guru yang bermartabat dan guru profesional, maka salah satu wujud untuk menjadi guru yang demikian adalah melalui konsep pengembangan diri menjadi kaum pendidik dengan kepintaran berganda. http://penulisbatusangkar.blogspot.com/

Guru Perlu Memiliki Kecerdasan Berganda

Guru Perlu Memiliki Kecerdasan Berganda
Oleh : Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
(Program Layanan Keunggulan)


Kepedulian orang terhadap pendidikan dewasa ini sudah meningkat. Sekarang kita dapat menemui ratusan artikel yang berbicara tentang peningkatan kualitas pendidikan melalui surat kabar, majalah, seminar dan lewat cyber atau internet. Salah satu judul atau topik yang sering diangkat orang dalam berbagai seminar dan talkshow adalah bagaimana melejitkan potensi diri dan menumbuh-kembangkan pendidikan yang berimbang antara “imtaq dan iptek”- iman dan taqwa- dan ilmu pengetahuan dan teknologi- atau topik tentang mengembangkan kepintaran berganda antara IQ, EQ dan SQ.
Konsep- konsep untuk mengembangkan kepintaran berganda- mutiplied intelligent- ini kemudian dibawa ke dalam dunia pendidikan (ke sekolah) dan ke dalam rumah tangga. Namun konsep dan teori tentang kecerdasan berganda corongnya lebih banyak mengarah kepada dunia anak- anak dan para siswa di sekolah. Untuk mereka sengaja dirancang berbagai program, pelatihan atau training disertai dengan segudang resep bagaimana agar mereka bisa memiliki kepintaran berganda- menjadi generasi muda yang memiliki multiplied intelligent dengan harapan kelak bisa hidup indah, mudah dan jauh dari gelisah.
Menerapkan dan mengarahkan corong konsep pendidikan kepintaran berganda kepada anak didik di sekolah dapat dianggap sebagai langkah yang tepat. Namun kebijakan ini tidak berimbang kalau guru- guru nya sendiri belum memiliki kepintaran berganda. Bagaimana guru bisa menerapkan perannya yang cukup banyak seperti sebagai educator, motivator, counselor, dan lain- lain- kalau mereka tidak memiliki kepintaran berganda.
Bagaimana realita tentang kualitas guru- guru dan konsep kepintaran berganda mereka pada banyak sekolah ? apakah mereka sudah memiliki kepintarasn berganda atau malah mereka hanya memiliki kemampuan pas- pasan saja sebagai seorang guru (?).
Pada banyak sekolah, umumnya guru- guru hanya memiliki kepintaran tunggal, yaitu hanya sekedar menguasai mata pelajaran mereka saja. Guru yang begini adalah realita kebanyakan guru- guru. Siswa memandang guru yang demikian sebagai guru yang biasa- biasa saja. Motivasi yang mereka berikan kepada siswa terasa juga biasa- biasa saja. Namun bila ada guru yang memiliki beberapa kepintaran- selain menguasai bidang studinya, juga cakap dalam hal lain, seperti pintar berpidato, pandai komputer dan internet, hangat pribadinya, dan lain- lain, maka guru yang demikian pasti memiliki tempat spesial dalam hati anak didik mereka.
Guru dengan kepintaran berganda seperti yang disebutkan tadi agaknya dapat diberi label sebagai guru yang profesional atau guru yang berkualitas. Mereka adalah guru yang memiliki karakter- cerdas kognitifnya, cerdas affektifnya dan cerdas psikomotoriknya. Guru yang begini tentu sangat menyenangkan, namun populasi mereka tentu saja tidak banyak. Namun setiap guru- kalau ada motivasi, keinginan dan usaha maka tentu saja mereka bisa-musti menjadi guru- guru yang spesial bagi anak didiknya. .
Sebahagian guru, seperti halnya kaum remaja, juga ada yang terjebak kedalam budaya instant- budaya yang menginginkan hasil bisa diperoleh serba cepat- bearaktifitas sedikit tetapi ingin memperoleh hasil yang cepat dan untungnya besar. Budaya instant tentu harus dijauhi, dan begitu juga dengan budaya lain seperti budaya floating thinking- fikiran suka mengambang-, budaya senang melakukan rekayasa, budaya demam lomba penampilan, budaya demam mengambil barang kredit, budaya demam bergosip, budaya ABS- asal bapak senang, budaya otoriter dan suka membentak- bentak sampai kepada budaya hedonisme – kesukaaan untuk mencari kesenangan melulu. Poin- poin ini agaknya lebih bersifat refleksi terhadap fenomena dalam dunia pendidikan kita.
Mengapa refleksi di atas bisa menjadi fenomena dikalangan sebahagian kaum pendidik (?). Barangkali fenomena ini terjadi akibat sikap mental, atau sikap sejak awal.
Dahulu menjadi guru begitu mudah dan gampang. Kalau kuota guru masih kurang maka kuota ini bisa disisip dan bisa dipesan lewat memo orang- orang yang berkuasa di atas.maka terjaringlah guru- guru yang sebagian bukan the right man on the right place. Pada akhirnya bermunculanlah guru- guru seperti fenomena yang disebutkan di atas- yaitu guru guru yang kurang kritis dan berbudaya floating thingking, miskin kreatifitas, berbudaya instant, dan lain- lain.
Respon generasi muda juga menentukan eksistensi dan kualitas guru. Tetap saja pada banyak sekolah siswa tergolong pintar pada mulanya segan untuk memilih karir guru sebagai cita- cita mereka. Kalau ada itu pun hanya bagi segelintir siswa saja. Itu pun diakibatkan oleh faktor‘X”, seperti karena alasan ekonomi orangtua,atau agar tidak perlu susah payah mencari kerja.
Umumnya siswa yang tergolong pintar dengan tingkat ekonomi orangtua yang lebih mapan memilih universitas non kependidikan yang berada di pulau Jawa. Pilihan mereka untuk kategori karir guru jatuh pada pilihan yang ke sekian. Maka akibatnya kualitas guru- guru secara umum cendrung biasa- biasa saja. Adalah suatu hikmah sejak lapangan kerja menjadi makin sulit dan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi idaman bagi sebagian mahasiswa di universitas, karena PNS sudah memberi iming- iming hidup enak, ada uang lauk- pauk dan uang tujada (tunjangan daerah) maka mereka yang belajar di Universitas non kependidikan memutar haluan untuk menyerbu program akta kependidikan agar nanti bisa melamar menjadi guru. Tentu saja hal ini menjadi hak pribadi setiap warga negara.
Kini guru guru musti punya paradigma, bagaimana menjadi guru bermartabat dan profesional. Paradigma ini bisa dicapai kalau mereka mengembangkan diri. Mereka, misalnya, harus berpikir untuk memiliki kecerdasan berganda, karena kecerdasan berganda juga patut untuk dimiliki oleh guru- guru.
Adalah pilihan yang tidak bijak bila hanya anak didik saja yang diminta dan diusahakan untuk mengembangkan diri untuk memiliki kepintaran berganda. Sementara guru- gurunya dibiarkan saja memiliki kepintaran tunggal atau tidak pintar sama sekali sebagai seorang guru.
Bobi De Porter (2002), dengan bukunya Quantum Teaching, telah memberi kaum pendidik inspirasi tentang bagaimana untuk memiliki kepintaran berganda itu. Ia mengatakan bahwa orang (atau guru) yang memiliki kepintaran berganda harus menguasai atau memiliki bidang: seni, language, interpersonal, music, natural, body, intrapersonal dan logis.
Untuk mengimplementasikan konsep kepintaran berganda tersebut bagi diri sendiri maka setiap guru perlu untuk memiliki sense of art- rasa seni, mengembangkan kemampuan berbahasa lisan dan tulisan. Mereka perlu untuk melibatkan diri dalam pergaulan , memiliki teman yang luas, mengikuti organisasi, dan melakukan koresponden.
Pengembangan kepintaran berganda lain nya adalah untuk bidang natural. Mereka harus memahami prinsip “go back to the nature” memiliki rasa peduli pada alam dan lingkungan. Mereka perlu untuk melakukan rekreasi dan merasakan betapa alam ciptaan Tuhan itu begitu indah dan menyegarkan. Kemudian setiap guru perlu untuk memiliki badan yang bugar, mereka perlu berolahraga untuk mengeluarkan keringat agar jantung dan paru- paru selalu sehat. Untuk melengkapi konsep kepintaran berganda untuk poin interpersonal yang lain, maka mereka perlu melakukan kontemplasi- merenungan tentang kelebihan dan kekurangan diri, dan mengembangkan sikap- sikap positif. Kemudian mereka juga perlu mengembamgkan kemampuan berlogika.
Mengimplementasikan konsep kepintaran berganda – mutliplied intelligent- sungguh sangat bermanfaat bagi pengembangan diri dan untuk itu konsep ini harus dilaksanakan sekarang juga, tak perlu ditunggu- tunggu sampai datang hari esok. Sehubungan dengan konsep pengembangan kepintaran berganda, Agus Nggermanto (2003) juga memberikan sedikip resep. Ia mengatakan bahwa untuk memiliki kepintaran berganda maka setiap orang (guru) perlu untuk mengimplementasikan konsep multi intelegensi. Ini mencakup tiga unsur yaitu intelligent quotient, emotional quotient dan spiritual quotient, atau kecerdasan otak, kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual.
Kecerdasan otak mencakup unsur logis (matematika) dan linguistik (verbal atau bahasa). Kecerdasan emosional mencakup unsur interpersonal dan intrapersonal. Sedangkan kecerdasan spiritual adalah bagaimana menghayati dan mengabdi kan diri - beribadah- kepada Khalik (Sang pencipta alam) ini.
Setelah memahami konsep kepintaran berganda, maka mereka juga perlu untuk mengembangkan karakter karakter positif- seperti karakter senang berfikir positif. Tokoh pendidikan Indonesia , Ki Hajar Dewantoro, sudah mewarisi kita konsep untuk memiliki kepintaran berganda, resepnya cukup sederhada yaitu: ing madya mangun karso, ing ngarso sung tulodo, tutwuri handayani. Kalau sekarang banyak ajakan datang agar guru perlu mengubah diri untuk menjadi guru yang bermartabat dan guru profesional, maka salah satu wujud untuk menjadi guru yang demikian adalah melalui konsep pengembangan diri menjadi kaum pendidik dengan kepintaran berganda. http://penulisbatusangkar.blogspot.com/

Kamis, 29 November 2007

Gaya Hidup Mahasiswa

Gaya Hidup Mahasiswa
Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

Tampak secara global kehidupan mahasiswa tidak jauh berbeda dengan kehidupan anak sekolah menengah atas. Pergi kuliah, kemudian mencatat apa saja yang keluar dari mulut dosen lengkap dengan titik komanya. Kegiatan yang paling digemari bila kuliah usai duduk berkelompok kelom­pok, bukan mendiskusikan tentang masalah perkuliahan tetapi hanya cenderung bersifat kelakar, ledek meledek. Ada yang mendengar tentu ada yang jadi tukang cerita. Macam-macam ceritanya, persis seperti yang terkandung dalam syair lagu “panggung sandiwara”.
Kegiatan mereka yang paling umum di tempat kost adalah ber­main domino sambil tertawa ter­bahak bahak, tidur sambil mendengar kaset atau ngumpul-ngumpul untuk berbagi gosip ten­tang acara televisi, tentang kasus pejabat yang korupsi sampai kepada gosip bagaimana menak­lukkan hati pacar. Sedangkan kaum wanita ngumpul-ngumpul membicarakan tentang mode, ten­tang apa isi kamar kost kawan yang sombong sampai kepada masalah nasib.
Kemudian bila diadakan ten­tamen, musim ujian, pada saat itu barulah mereka kasak kusuk. Melengkapi catatan, membuat jimat ala anak SMA sampai men­cari sopir pada waktu ujian ber­langsung. Soal ujian pada beberapa jurusan terasa agak san­tai. Apabila dalam ujian untuk mata kuliah umum suasananya terasa lebih acuh karena hubungan antar mahasiswa begitu pula hubungan mahasiswa dengan dosen bersifat siapa lu siapa gua saja. Memang telah ada perguruan tinggi swasta sengaja memasang monitor untuk meningkatkan mutu akademik yang lebih objektif tetapi itu hanya segelintir saja dari populasi per­guruan tinggi yang ada.
Dari sekian banyak mahasiswa yang santai atau ada juga mahasiswa yang serius dalam men­ghadapi kuliah. Mereka tekun menghadapi buku catatan, banyak mengurung diri dari pergaulan. Dalam menghadapi tentamen, mereka sengaja menahan kantuk pada malam hari untuk dapat men­ghafal semua isi catatan. Memang belajar dengan care menghafal telah membuat mereka sukses dan mampu. membuat mereka memperoleh, indeks prestasi tiga koma sampai indeks prestasi empat. Tetapi apakah mereka dapat dikatakan sebagai mahasis­wa yang, intelektual?
Dapat kita katakan bahwa belajar dengan cara menghafal tidak ubahnya ibarat merekam bagi sebuah kaset kosong dan ahli pendidikan mengatakan bahwa belajar dengan cara demikian dapat mematikan kreatifitas otak untuk berfikir. Memang banyak mahasiswa berindeks prestasi bagus cuma karena menghafal kemudian punya peluang untuk menjadi staf akademik perguruan tinggi, misalnya. Maka mereka rata-rata tampil sebagai obyek yang membosankan, demikianlah pengakuan beberapa orang mahasiswa.
Adalah seorang mahasiswa mempunyai prestasi belajar diatas rata-rata, dia selalu mengungkap­kan rasa pesimis yang berkepan­jangan. Dia mengeluh hendak jadi apa dan kerja dimana kelak bila telah lepas dari perguruan tinggi. “Lho kamu kuliah di Universitas dituntut untuk menjadi intelektual, keluhan seperti itu cuma panas keluar dari mulut pemuda awam. Sekarang bangunlah dan in­trospeksi dirimu tentang bagaimana wawasan berfikir dan pola pergaulanmu?”
Bukan kebetulan apabila ada mahasiswa begitu lepas dari perguruan tinggi langsung aktif dalam suatu bidang pekerjaan. Kesuksesan begini tentu telah mereka rintis jauh hari sebelum­nya. Karena kesibukan ganda, sebagai mahasiswa dan merintis mencari lapangan kerja, rata-rata dalam bidang akademik prestasi mereka sedang-sedang saja, tetapi dalam mempraktekkan kerja tidak perlu lagi kasak kusuk.
Ada beberapa orang mahasiswa, dulu sering meninggalkan tempat kost selama berminggu minggu sampai berbulan bulan. Nongol di kampus apabila ada jadwal kuliah setelah itu ia cabut lagi. Memang kuliah sesuai dengan jadwal yang direncanakan. Walau mereka wisuda dengan indeks prestasi sedang tetapi wawasan berfikir luas. Kini mereka sukses dalam mengelola usaha agrobisnis, men­gelola ekspor bahan pangan dalam wilayah SIJORI, Singapura-Johor-­Riau dan mengelola usaha-usaha bisnis lainnya. Sedangkan kawan-kawannya yang dulu santai, goyang goyang kaki, kini setelah wisuda sibuk mengepit ijazah dari kantor ke kantor. Dan selalu saja kalimat “tidak ada lowongan kerja” membuatnya terduduk lesu.
http://penulisbatusangkar.blogspot.com/

Suatu Gejala Negatif Guru Menomorduakan Sekolah

Suatu Gejala Negatif Guru Menomorduakan Sekolah

Oleh Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

Dalam berbagai iklan, pada umumnya suatu lembaga atau perusahaan selalu menawarkan bahwa produknya adalah nomor satu. Kita belum pernah mendengar ada perusahaan mengatakan bahwa produknya adalah produk kualitas nomor dua di dunia. Yang sering terdengar adalah misalnya. inilah baterai nomor satu atau inilah kecap nomor satu. Tetapi bagaimana keberadaan suatu sekolah dimata guru-guru? Dalam percakapan sehari-hari sangat sedikit guru-guru yang membahas tentang masalah. proses belajar me­ngajar. Kendala yang ditemui dan jalan keluarnya. Bagaimana keberadaan input, proses dan output pendidikan suatu sekolah sampai kepada masalah pendidikan lain secara global dan antisipasi yang perlu diterapkan pada masa datang tentang. Tema yang banyak men­jadi percakapan guru-guru adalah tentang masalah keluarga, teman, mode pakaian dan perlengkapan rumah tangga, hobi serta. gossip-gossip sampai kepada masalah dunia yang dibahas secara debat kusir. Sebenarnya mem­bahas tentang tema-tema masalah ini tidak salah namun kita berharap agar masalah yang berhubungan dengan profesional janganlah terabaikan.
Diakui bahwa guru merupakan ujung tombak pelaksana pendidikan sekolah. Maju mundurnya kualitas pendidikan sangat dipengaruhi oleh kualitas guru. Untuk memperoleh murid dengan sumber daya manusia yang tinggi maka dibutuhkan guru yang memiliki sumber daya manusia yang tinggi pula. Maka akhir-akhir ini sumber daya manusia atau kualitas sekolah dan pendidikan tetap menjadi sorotan karena dinilai cukup rendah.
Untuk peningkatan mutu tersebut maka pemerintah dan pihak-pihak yang merasa ikut bertanggung jawab, telah melakukan berbagai usaha. Diantaranya adalah dengan memberikan tunjangan fungsional. Mengadakan program dip­loma pendidikan, menyelenggarakan bermacam-macam bentuk penataran. Dan malah menetapkan kenaikan pangkat bagi jabatan guru dengan angka kredit poin.
Cukup banyak masalah yang menghambat peningkatan kualitas guru. Masalah yang cukup disoroti sebagai penghambat dan penghalang kualitas guru adalah seperti penghasilan guru yang dinilai kurang memadai. Karena tuntutan hidup dan keluarga, sementara itu kesejahteraan hidup masih kurang, membuat mereka ikut mencari objek atau bisnis di luar dan malah sampai ke dalam sekolah.
Tetapi adalah juga guru-guru yang ikut latah menggunakan alasan-alasan atas sebagai kambing hitam sehingga mereka tak merasa terpanggil untuk meningkatkan kualitas diri dan kualitas pendidikan Apalagi mengingat bahwa ada juga guru yang berasal dari keluarga yang berada dan karena jumlah guru di sekolahnya cukup memadai atau sedikit berlimpah sehingga bisa memiliki waktu yang cukup banyak untuk meningkatkan kualitas diri dan kualitas pendidikan. Sebagai kontra bahwa ada juga guru. Tentu jumlahnya tidak seberapa yang hidup agak susah sehingga mereka mempunyai obyek tetapi tetap melowongkan waktu untuk memantapkan kualitas diri. Namun yang memprihatinkan kita adalah cukup banyak guru-guru yang menomorduakan mengajar atau sekolah. Dan sebaliknya mereka menomorsatukan urusan keluarga, bisnis. hobi dan kepentingan pribadi lainnya.
Agaknya usaha pemerintah dan orang-orang yang merasa bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas pendidikan akan tetap sia-sia saja kalau ­pihak guru tetap menomorduakan pendidikan (atau sekolah) dan meno­morsatukan kepentingan dan keun­tungan pribadi. Kita lihat amat banyak guru yang telah mengikuti program-program peningkatan. mutu yang telah diselenggarakan pemerintah. Banyak guru-guru yang telah mengikuti berbagai pena­taran. MGMP dan lain-lain namun tidak ada atau sedikit sekali misi dan perobahan positif yang terlihat. Ba­rangkali ini akibat mereka mengikuti program ini hanya sedikit uang saku atau sertifikat sebagai modal naik pangkat saja. Disamping itu, barangkali, penyelenggaraan penataran juga tidak merancang acara secara matang kecuali bersifat indoktrinasi atau berceramah melalui sementara guru peserta serba pasif. Program kuliah penyetaraan dan program diploma lain telah diikuti pula secara iseng-iseng. Terlihat pula proses belajar program ini agak acak-acakan dengan sistem penilaian yang diobral. Peserta bodoh, malas atau rajin toh akan. memperoleh nilai hampir sama. Malah sering selama ujian perjokian dilegalisir atau pengawas berpura-pura tidak tahu. Kemudian dalam sistem kenaikan pangkat bagi jabatan guru dengan angka kredit point, SK-SK yang dikeluarkan oleh pihak sekolah dan pihak lain sering bersifat rekayasa atau aspal (asli tetapi palsu). Misalnya ada guru yang memiliki bundel kenaikan pangkat yang sarat berisi SK-SK pembina OSIS, kemasyarakatan dan unsur-unsur pe­ngembangan profesi lain tetapi itu hanya sebatas surat keputusan saja dan nihil dalam pelaksanaan. Penyebabnya adalah karena budaya suka mengemis dan menipu diri telah merembes ke­dalam sanubari.
Bukan itu saja, dalam urusan proses belajar mengajar, cukup banyak guru-guru yang bersikap menomordua­kannya. Mentang pada mulanya ketika baru saja diangkat sebagai guru, sebagai pegawai negeri, dan masih lajang maka Sekolah masih tetap nomor satu. Tetapi kemudian setelah berkeluarga dan seterusnya maka secara pelan-pelan sekolah menempati posisi nomor dua, atau menomorduakan sekolah. Untuk selanjutnya setelah mengajar selama sekian tahun sikap idealis sebagai seorang guru mulai memudar. Sehingga yang sering terlihat adalah cukup banyak guru pergi ke sekolah menunaikan tugas mengajar hanya sebagai pembayar hutang. saja. Siap-siapan yang terlihat selanjutnya adalah karena tantangan dari siswa juga banyak yakni sikap acuh tak acuh.
Dalam melaksanakan proses belajar mengajar ini sebagian guru cenderung untuk mengejar target kurikulum saja. Siswa malah dipaksakan dan disiapkan berbagai catatan-catatan pelajaran untuk dihafal. Karena menomorduakan sekolah maka ini sekolah tak lagi menarik. Apa yang terlihat adalah guru-guru menjadi malas dan segan dan untuk mengunjungi sekolah. Padahal sekolah adalah merupakan rumah kedua bagi seorang guru dan kasarnya adalah bahwa sekolah merupakan periuk nasi atau tempat mencari makan, tetapi guru-guru cenderung mengabaikan selanjutnya patut pula kita catat bahwa kalau, seorang guru merasa enggan berada di sekolah, bagaimana pula ia dapat melakukan interaksi yang baik kepada anak didik untuk memberikan motivasi, bimbingan dan berbagai rasa dengan mereka, maka inipun juga merupakan awal ambruknya kualitas pendidikan, meski tidak begitu disadari.
Menomorsatukan atau mengutamakan kepentingan pribadi sering menjadi sikap dan isi pembicaraan guru-guru setiap hari. Pelaksanaan disiplin demi peningkatan mutu sering berbenturan dengan sikap-sikap guru yang begini.
Contoh lumrah, adalah dengan meng­amati tingkat pengabdian guru terhadap profesi. Sering dari sekian guru-guru yang mengirim surat-surat berhalangan untuk hadir, sebagian adalah karena alasan kecil dan alasan yang dibuat-buat. Selagi manusia ini hidup tentu ada saja masalah yang menimpa, besar atau kecil. Tetapi ironisnya adalah ada oknum guru yang membuat alasan untuk tidak mengajar tahu-tahu untuk hal lain demi kepentingan pribadi maka pusing-pusing sedikit dapat diabaikan.
Ada oknum guru karena atas nama aktivis masyarakat sering sengaja dengan senang hati untuk meninggalkan tugas utama di sekolah mengabdi kepada masyarakat adalah juga tepat tetapi yang diharapkan adalah kita musti arif untuk menempatkan diri berdasarkan waktu tanpa mencari-cari alasan untuk menomorduakan sekolah.
Guru tentu punya tuntunan hidup dan keinginan untuk meningkatkan taraf sosial. Percakapan-percakapan tentang glamornya hidup membuat mereka ­seolah-olah ikut berlomba memacu dunia. Kemudian karena alasan pribadi untuk memenuhi tuntutan hidup mereka, karena pendapatan kurang memadai, ikut terlibat dalam urusan “perkreditan” lewat bank atau Koperasi Pegawai Negeri.
Memantau dari pembicaraan dari rata-rata guru yang melakukan peminjaman dan atau kredit adalah karena alasan untuk modal membangun rumah, biaya pendidikan, untuk membantu famili atau keluarga, modal usaha dan untuk keperluan membeli alat elektronik. Kredit KPN tentu jumlahnya terbatas tetapi kredit yang dilakukan lewat bank, karena peminjaman cukup tinggi dibandingkan dengan kemampuan keuangan cukup membuat guru linglung dan kehilangan gairah untuk datang ke sekolah.
Sering terlihat guru-guru yang mem­peroleh gaji yang minus atau kecil akibat terjerat kredit mengabaikan tugas dan tanggung jawab. Gairah untuk datang ke sekolah menjadi berkurang. Keinginan untuk meningkatkan mutu pendidikan tentu juga berkurang dan bahkan ada yang tidak memikirkan sama sekali. Yang mereka pikirkan tentu adalah bagaimana mereka dapat menyelesaikan pembayaran kredit secepatnya atau menghitung-hitung bulan kapan kredit mereka akan ber­akhir. Yang jelas tampak bagi kita bahwa pengambilan kredit yang diluar kemampuan keuangan dapat memberi pengaruh terhadap penurunan etos kerja sehingga membuat sekolah adalah nomor dua.
Kini sudah saatnya, untuk kembali memacu kualitas pendidikan, kita meningkatkan kualitas diri dan meninggalkan budaya menomorduakan sekolah. Atau, dengan kata lain budaya yang lebih mementingkan diri dan kebiasaan menuntut hak tetapi melupakan kewaji­ban. Agaknya hidup ini memang penuh dengan tantangan dan tuntutan kebutuhan lain. Melakukan usaha sam­pingan lain untuk mengikatkan kese­jahteraan adalah sangat tepat asal tidak mengabaikan kepentingan sekolah.
Untuk meningkatkan kualitas diri memang butuh keseriusan dan kesediaan untuk melowongkan waktu. Usaha-usaha ini dapat mengantarkan peningkatan SDM di sekolah. Sebab sangat benar bahwa guru dan perangkat sekolah dengan SDM tinggi akan mampu membentuk sekolah yang memiliki SDM yang tinggi pula.
Selain usaha lain untuk meningkatkan kualitas pendidikan dalam rangka mengembalikan budaya meno­morsatukan sekolah, maka kondisi dan bangunan fisik sekolah juga perlu ditata. Disamping itu faktor-faktor luar yang dapat membuat melemahnya semangat guru-guru untuk berbakti dan mengabdi sangat dibutuhkan supervisi oleh pihak atasan dan teman-teman sekolah. Akhirnya bila berbagai hal telah dibenahi maka tentu kita harapkan agar kata-kata “sekolahku adalah surgaku” bukanlah sekedar kata-kata penghias bibir belaka. Maka kini sudah saatnya bagi kita untuk memusnahkan budaya yang selalu menomorduakan sekolah.
http://penulisbatusangkar.blogspot.com/

Siswa Perlu Tahu: Rahasia Keberhasilan 10 Jutawan

Siswa Perlu Tahu: Rahasia Keberhasilan 10 Jutawan
Oleh Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

Kaum kaya selalu mempesona kebanyakan orang. Kita sering mendengar, mungkin secara kebetulan, anak-anak muda mem­bicarakan tentang gagahnya mobil BMW itu. Saya dahulu secara tidak sengaja pernah menguping pem­bicaraan siswa-siswa sekolah lan­jutan tentang kekayaan seseorang yang mungkin adalah tetangga mereka sendiri. Pembicaraan mereka itu kemudian berubah menjadi debat hangat. Memang kita akui bahwa debat di kalangan remaja adalah berupa debat kusir saja. Mereka berdebat tanpa kon­sep yang jelas, tetapi Walaupun bagaimana debat seperti itu, amat bagus untuk menumbuhkan sikap kritis.
Charles Albert Poissant mengatakan dalam, bukunya “How to Think Like a Millioner” (Rahasia Keberhasilan 10 Jutawan) mengatakan bahwa sukses tidaklah terjadi karena nasib baik semata, tetapi karena penerapan prinsip yang sangat khas. Dalam meneropong keberhasilan kita tidak perlu pergi jauh-jauh sebab tentu ada banyak orang-orang yang sanggup meraih kesuksesan di seputar kita. Kita dapat bercer­min diri untuk kita teladani dalam rangka meraih kesuksesan pula. Bervariasi bentuk kesuksesan itu, mungkin dalam bentuk pendidikan, dalam bidang ekonomi, dalam bidang pertanian atau dalam bidang wiraswasta dan sebagainya.
Saya pernah berdialog dengan seorang berusia setengah baya yang berhasil mengembangkan usaha rice milling di daerah pertanian dimana sawah-sawah subur terbentang luas. Ada pula seorang pria lain yang mampu menyorot potensi yang dimiliki oleh daerah yang kaya air. Make ia kemudian mengembangkan usaha perikanan dan setelah itu menam­bah usaha restoran, dan membuka toko toserba untuk kebutuhan masyarakat sekitarnya sebagai usaha sampingan.
Setiap orang akan sukses dalam bisnis asalkan tahu bagaimana membuat perhitungan. Ada sebuah rumah makan, tidak perlu saya sebutkan nama rumah makan dan lokasinya, memiliki gedung berarsitektur Eropa dan dinding luar bercat putih sehingga memberikan kesan mewah. Saya rasa memang mewah, sebab perlengkapan interiornya terlihat luks dan dulu saya lihat banyak orang setiap sore menikmati berbagai hidangan yang disajikan di sana. Tetapi kini dan mungkin sudah tiga tahun, tempat itu sudah sepi dari pengunjung. Tidak ada lagi alunan musik lembut, kedengaran, sedangkan warna dinding luar sudah berlumut dan memudar. Kita rasa kesalahan yang membuat rumah makan ini tutup total karena pemilik modal mengabaikan faktor lokasi. Sejak lokasi rumah makan itu kembali menjadi lokasi terminal dokar, pengunjung menjadi enggan untuk menikmati hidangan makan dan minuman di sana. Urine yang dipancarkan kuda telah mengusir orang-orang untuk datang kesana dan sekaligus mematikan usaha rumah makan dan. cateringnya.
Kita dan setiap orang tentu saja dapat belajar bagaimana untuk sukses dari buku-buku yang telah ditulis oleh ratusan orang malah telah ditulis oleh ribuan orang dibumi ini namun belajar langsung dari pengalaman orang yang kita jumpai tidak kalah pentingnya meski orang itu secara akademik tampak biasa-biasa saja. Ibarat main piano, kita tentu dapat belajar piano sendiri, tetapi ini akan makan waktu yang banyak, sedangkan belajar, pada seorang guru akan mempercepat proses belajar kita. Bukan saya hendak mengatakan untuk anti membaca, tetapi saya ingin agar kita dapat belajar meraih sukses lewat membaca dan lewat berdialog langsung dengan orang­-orang yang terpandang telah suk­ses.
Ada sebuah artikel, sayang saya lupa dimana ia diterbitkan, sangat menarik sekali. Ada beberapa kalimatnya yang masih saya ingat, mengatakan bahwa adakalanya orang-orang yang ketika' belajar sekolah dasar memperoleh rangk­ing satu tetapi setelah dewasa cuma mampu membeli sepeda. Ada pula orang ketika masih belajar di bangku sekolah dasar hanya memperoleh ranking biasa­-biasa saja, malah terpandang sedikit bandel, tetapi setelah dewasa ia mampu membeli mobil cadilac luks. Meski ilustrasi tadi cuma dalam bidang ekonomi semata, tetapi itu ada benarnya. Disini kita simak bahwa kebanyakan orang-orang yang sukses itu pada kecil mereka rata-­rata, biasa saja. Di sekolah bisa berandal, namun suatu saat mampu mengambil keputusan untuk kehidupan dari buku-buku atau contoh dari seseorang.
Orang-orang sukses banyak yang menulis buku catatan pribadi dan meninggalkan semacam warisan spiritual. Kita sendiri dapat mengikuti sejarah, hidup mereka mulai dari nol sampai mencapai kesuksesan pada buku-buku biografi mereka.
Kira-kira apa penyebab orang gagal dalam hidup ini? Setiap orang mungkin dapat menjawab dengan sangat sederhana. Dan semua jawaban itu betul malah kita dapat menyimpulkan bahwa tidak adanya pengalaman memang menghambat banyak orang untuk maju atau sukses.
Kegagalan yang mendahului ketenaran dan kekayaan seseorang, yang mana dua hal ini adalah wujud dari sukses, biasanya terjadi dengan tidak dis­adari dan cepat dilupakan. Demikian juga pekerjaan awal yang memeras tenaga dan otak selama bertahun-tahun. Oleh sebab itu kita, mendapat kesan keliru bahwa orang menjadi kaya raya secara tiba-tiba. Saya pribadi, dulu sering berpendapat demikian. Setiap kali saya melihat seorang artis terkenal tampil di TV maka saya berdecak “wah sungguh beruntung dia”, tetapi saya saat itu tidak pernah mengingat awal-awal dari keberhasilannya, sukar atau mudah? http://penulisbatusangkar.blogspot.com/

Pengembangan SDM Sedini Mungkin di Sekolah Dasar

Pengembangan SDM Sedini Mungkin di Sekolah Dasar
Oleh : Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

UMUMNYA para pendidik telah mengenal bahwa fokus pengajaran murid-murid seko­lah dasar adalah agar murid menguasai kemampuan dasar yang tercakup dalam rumus 3-R. yaitu Arismetik, reading dan writing. Atau dengan kata lain penguasaan dalam berhitung, membaca dan menulis.
Bagaimana penguasaan mu­rid-murid atas kemampuan da­sar ini, orang melihat sesuai dari kaca mata mereka masing-­masing. Tidak sedikit orang, yang mengatakan bahwa ke­mampuan dasar murid dalam berhitung, membaca dan menu­lis telah mantap begitu mendengar bahwa di sekolah yang bersangkutan ada segelintir murid yang memperoleh NEM yang cukup baik.
Namun secara umum kalau kita perhatikan sertifikat NEM anak-anak Yang mendaftar ke tingkat SLTP banyak menunjuk­kan angka kemampuan berhi­tung, Kita sebut saja nilai matematika yang begitu jelek. Dapat kita perkirakan bahwa kemampuan mereka dalam membaca dan menulis juga jelek.
Untuk mencek kemampuan membaca murid pada tingkat SLTP dan SLTA dapat dicek lewat pemanfaatan buku-buku teks mereka. Ka1au kita mengunjungi perpustakaan sekolah tingkat SLTP dan SLTA maka akan kita jumpai tumpukan buku-buku teks yang lumayan banyaknya tanpa ada disentuh atau dimanfaatkan. Meskipun untuk menyediakannya peme­rintah telah menghabiskan milyaran rupiah dari proyek pe­nyediaan buku-buku. Begitu pula dengan buku-buku teks yang ada di dalam tas sekolah mereka, terlihat masih utuh sebagai tanda bahwa belum dimanfaatkan walau tidak se­mua murid yang bersikap demi­kian). Ini akibat kebiasaan murid yang. gemar menghafal catatan pelajaran mereka, ke­timbang menganalisa buku­-buku teks pelajaran mereka.
Pada akhir tahun di kelas tiga, tingkat SLTA, siswa musti menyelesaikan sebuah karya tulis sebagai syarat untuk dapat mengikuti EBTA dan EBTANAS. Tetapi mereka seolah-olah mencerminkan ketidakmampuan dalam menulis karya tulis. Dan memang kenyataannya mereka betul-betul banyak yang tidak mampu dalam menulis karya tulis yang begitu sederhana. Sehingga mereka terpaksa menempuh jalan curang, misalnya, dengan memalsukan karya tulis kakak kelas yang telah lulus pada tahun lain.
Dari sebuah dialog ringan dengan mahasiswa KKN ter­tangkap kesan tentang mele­mahnva semangat mahasiswa dalam peningkatan SDM. Pergi kuliah hanya asal-asalan saja. Banyak mereka yang enggan datang ke kampus dan suka menitipkan absen. Hari-hari mereka lewati dengan hura-­hura. Kemudian pada musim tentamen mereka suka menggunakan jimat, catatan kecil, ala anak SMU atau mencari sopir ujian. Sebab sang dosen tidak mungkin dapat mengenali semua mahasiswanya karena itulah suatu stereotype, atau pandangan umum, bahwa hubungan dosen dan mahasiswa adalah “siapa lu dan siapa gua”. Dengan kata lain hubungan mereka adalah sebatas membayar kewajiban saja, yang penuh dengan ketidakacuhan atau ketidakpedulian.
Banyak tudingan bahwa ke­bodohan murid di sekolah ber­awal dari kenakalan karena orang tua mereka ada yang “'broken” atau orang tua tidak peduli dengan pendidikan anak. Itu sangat benar. Tetapi ada pula malah orang tua begitu peduli dengan pendidikan anak, dan lingkungan sosial anak begitu sehat. Malah si anak kok begitu sudi mengungkapkan ingin untuk tarik diri dari dunia sekolah karena tidak dapat mengikuti pelajaran demi pe­lajaran. Kendala yang dialami oleh anak atau murid seperti ini disebabkan karena rendahnya kemampuan membaca mereka. Barangkali penyebabnya adalah karena di dalam keluarga mere­ka tidak dibiasakan budaya membaca. Buku-buku dan majalah adalah benda langka untuk dijumpai.
Bukan berarti orang tua me­reka tergolong tidak mampu. Malah orang tua dapat memenu­hi kebutuhan permainan elektronika mungkin karena bersaing dengan anak tetangga. Dan begitu pula orang tua mereka mampu membeli sarana hiburan yang serba mewah meski sebagai prestise dan menunjukkan kepada lingkung­an, karena sebagian orang kita bermental suka pamer, bahwa mereka termasuk orang yang cukup “the have”.
Dalam zaman global infor­masi dan komunikasi ini, masih cukup banyak orang tua yang berfikiran mundur. Mereka akan mengatakan. bahwa berlangganan majalah itu percuma sebab tidak akan mengenyang­kan perut. “Bukankah uangnya lebih baik untuk dibelikan sama kue”, demikian menurut orang tua yang bersikap “stomach oriented”. Ada lagi orang tua yang mencela anaknya yang sudah mulai gemar membaca sebagai membuang-buang wak­tu. Image seperti ini diperoleh dari keluarga pedagang dan tentunya tidak semua pedagang yang begitu, dimana bagi mere­ka waktu adalah benar-benar uang.
Murid-murid yang melarikan diri dari sekolah bisa jadi karena kejenuhan di dalam kelas karena tidak menguasai pelajaran. Rasa jenuh dapat mendatangkan rasa benci pada pelajaran dan berakhir dengan perseteruan antara guru-guru.
Macetnya komunikasi guru-murid dalam kelas disebabkan kepasifan murid dengan sikap yang suka membisu dalam seribu bahasa. Banyak juga guru yang kesal, begitu ia serius dalam proses belajar mengajar dan bertanya untuk mendapat­kan umpan balik. Dan ketika ditanya “apakah kamu sudah paham atau belum mengerti”, dijawab oleh murid dengan wajah “no comment”
Kesulitan murid dalam me­mahami pelajaran dan kepasifan murid dalam berkomunikasi, secara lisan dan tulisan, adalah karena anak atau murid lemah dalam kemampuan membaca. Penyebabnya karena mereka tidak terlatih dengan budaya membaca sejak dini.
Membaca adalah satu bagian dari aspek berbahasa. Dan bahasa adalah sarana untuk mengekspresikan fikiran. Orang yang bahasanya teratur maka fikirannya juga teratur. Sebaliknya dalam bahasa yang macet terdapat pula kemacetan dalam berfikir. Dan rata-rata murid yang macet dalam ber­fikir. Dan inilah yang harus kita atasi secepatnya.
Syukurlah kalau dalam suatu kelas, terutama di Sekolah Dasar, cukup banyak anak yang berlangganan majalah. Tentu mereka mendapat kemudahan dalam memahami setiap pela­jaran. Memang ada korelasi langsung antara anak yang gemar membaca dengan prestasi mereka dalam belajar. Dan idealnya memang setiap anak memang harus gemar membaca. Maka kita patut mengacungkan jempol bagi orang tua murid yang menyokong anak mereka di rumah agar selalu membaca apalagi menyediakan bagi anak mereka dana khusus agar anak mereka dapat berlangganan majalah anak-anak.
Tampaknya hanya segelintir saja orang tua yang mampu baru mendorong anak mereka untuk membudayakan membaca di rumah. Dan cukup terbatas pula jumlah orang tua yang punya kelebihan dan untuk berlangganan majalah anak-anak. Tampaknya masih ada usaha lain yang dapat diterapkan oleh guru-guru untuk mengembang­kan kebiasaan anak dalam membaca yaitu pemanfaatan pustaka sekolah.
Pernah suatu ketika seorang guru sekolah dasar mengatakan bahwa murid-muridnya cukup mempunyai minat dalam mem­baca. Buktinya kalau ada buku bacaan, murid-murid itu berebutan tidak sabar ingin mem­perolehnya. Tetapi sayang, katanya, sekolah itu tidak mempunyai guru perpustakaan.
Mestikah guru yang demikian tidak bertindak untuk menyalur­kan keinginan anak untuk membaca dengan alasan tidak ada tenaga guru perpustakaan? Sementara itu murid yang dihadapinya sebagai guru kelas cuma berjumlah 25 orang, murid saja. Kita rasa dalam jumlah murid yang kecil itu guru kelas mungkin dapat mencari jalan keluarnya. Misalnya saja membawa buku bacaan sebanyak jumlah murid dan meminjamkannya untuk dibaca di rumah. Kemudian bagi yang banyak membaca kita kaitkan dengan nilai bahasa mereka, misalnya.
Pemanfaatan buku-buku ba­caan seperti cara diatas cukup bermanfaat dalam pengembang­an keterampilan membaca mu­rid. Adapun untuk pengem­bangan keterampilan menulis adalah dengan membiasakan pemberian “tugas mengarang” kepada murid. Ada seorang penulis yang sangat terkesan akan gurnya ketika ia masih bersekolah di SD. Gurunya mewajibkan setiap murid untuk mengarang setiap minggu dan membacakannya di depan kelas. Inilah titik awal kenapa ia tertarik dalam bidang penulisan setelah dewasa. Cara seperti ini sungguh bermanfaat untuk diterapkan oleh guru-guru sejak sekolah dasar, terus ke tingkat SLTP dan SLTA oleh guru bidang studi bahasa Indonesia. Apabila kebiasaan pemberian mengarang ini dilakukan oleh guru-guru secara kontinyu dan terprogram, maka insya Allah kita tidak melihat lagi siswa-siswi SMU kasak kusuk dalam menulis karya ilmiah sederhana. Dan begitu pula kebiasaan mahasiswa, calon sarjana, tidak akan lagi menciptakan skripsi “aspal” alias asli tapi palsu. Kita yakin kalau kemampuan menulis generasi kita sudah bagus, maka bursa penulisan skripsi liar tidak akan pernah ada lagi.
Masih ada lagi, agaknya, usaha yang kita lakukan untuk peningkatan SDM anak didik sedini mungkin. Misalnya mem­buat papan tempat berkreasi, semacam majalah dinding ala, siswa SLTA, dimana murid-murid SD dapat menempelkan kreasi-kreasi mereka apakah berupa gambar, puisi, cerpen dan lain-lain pada papan kreasi tersebut. Kita yakin bahwa animo murid-murid SD untuk berkreasi cukup tinggi karena pada dasarnya anak-anak kecil suka memamerkan kebolehan­nya. Demikianlah renungan kita dalam usaha peningkatan SDM sedini mungkin sejak sekolah dasar. Semoga http://penulisbatusangkar.blogspot.com/

Melacak Pergaulan Siswa Yang Di Luar Batas

Melacak Pergaulan Siswa Yang Di Luar Batas

Oleh : Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

DULU Kasus kehamilan dan pelanggaran seksual yang dilakukan oleh pemuda dan pemudi merupakan aib bagi orang tua dan kaum famili, sehingga yang bersangkutan diberi sangsi berat sampai diusir dari kampung. Sekarang kasus ini bila dilakukan oleh pelajar lebih banyak dikarenakan kepada nama sekolah. Ini tentu saja pukulan kepada wibawa sekolah sebagai Lembaga Pendidikan. Sebuah sekolah dianggap telah gagal atau disiplinnya kurang, bila kedapatan pelajar-pelajarnya melakukan kasus aib ini. Tak begitu dipersoalkan meskipun pelanggaran seksual itu sendiri terjadi di rumah atau tempat lain akibat kegagalan orang tua dalam mendidik anak. Pokoknya, paran sekolah, sering dituding.
Bagi sekolah, langkah yang tepat untuk membersihkan nama baiknya adalah dengan cara memecat pelajar yang berkasus atau dengan cara memindahkan pelajar tersebut, apabila ia telah hamil atau melakukan abortus Sekarang rata-rata tiap sekolah telah mendapat jatah nama buruk. Tidak pandang bulu apakah itu sekolah negeri atau swasta, bahkan merupakan pukulan yang lebih berat lagi bagi sekolah agama. Kasus kehamilan dan pelanggaran seksual tidak hanya terjadi di sekolah kota, tetapi juga di sekolah-sekolah desa. Dan umumnya, dilakukan oleh pelajar tingkat SLTA.
Rata-rata siswa SLTA yang berusia 16-20 tahun menurut teori Rumke sedang berada dalam masa genital. Dalam usia ini mereka penuh dengan dorongan emosional don dorongan libido, nafsu seksual. Dalam masa ini terjadi labilitas kejiwaan, yang bila tidak dikendalikan akan dapat mengarah kepada hal-hal negative. Apabila seorang pelajar tidak dapat mengendalikan diri misalnya, akan dapat men­dorongnya untuk melakukan pergaulan bebas. Melakukan pelanggaran seksual terhadap teman wanitanya sendiri.
Tentu saja kasus-kasus yang terjadi di sekolah dilakukan oleh sepasang pelajar putera dan puteri. Tetapi resiko tertinggi dan berat ditanggung oleh pelajar puteri, karena akibat pelanggaran seksual itu sangat membeka pada perutnya yang membuncit serta robeknya selaput virgin. ­Sedangkan bagi pelajar putera, kadang-kadang dapat bersikap lempar batu sembunyi tangan. Menghindarkan dari tanggung jawab.
Memperhatikan perilaku kehidupan remaja, menunjuk­kan bahwa pengaruh orang tua­ dan stimulasi positifnya masih terlalu rendah. Amat sedikit orang tua dan anak melakukan acara ngumpul-ngumpul untuk melakukan dialog dari hati ke hati. Paling banyak cuma mengadakan ngumpul-ngumpul untuk menonton film serial di Televisi. Kebanyakan pengaruh buruk pada remaja justru. datang dari luar, yaitu melalui media massa cetak, audio visual, dan melalui pergaulan.
Pada umumnya kegemaran remaja, pelajar, adalah membaca, menonton, mendengar musik, berkumpul dan ngobrol-ngobrol disamping melakukan aktivitas produktif yang lain. Pada umumnya orang tua tidak tahu apa yang mereka baca dan apa yang mereka tonton. Hal ini mungkin karena kesibukan, karena kurang peduli atau juga karena orang tua merasa enggan mencampuri urusan anak muda. Mungkin juga karena orang tua tidak mengenal tentang perkembangan jiwa remaja. Mungkin pada suatu hari datang teman mengatakan bahwa ada Info bagus, sebagai isyarat telah ada peluang bagi mereka untuk menikmati bacaan atau film porno. Maka mereka pun membaca buku porno itu atau menonton film biru secara diam-diam ditem­pat teman atau ditempat lain.
Bacaan dan tontonan yang bersifat porno dapat men­datangkan kenikmatan dan merangsang keinginan sek­sual. Kemudian mereka akan berusaha mencari peluang untuk melampiaskannya secara sendiri atau berkelompok. Mungkin secara suka sama suka atau lewat perkosaan. Memang pengaruh per­gaulan yang negatif sangat cepat meluas. Rata-rata orang tua tidak mengetahui istilah yang khas dalam pergaulan antara remaja istilah populer di kalangan mereka untuk mengartikan film biru adalah film 26, barangkali karena huruf B mewakili angka 2 dan huruf F mewakili angka 6.
Walau orang tua telah mem­batasi pergaulan mereka dan melarang terhadap hal-hal yang bersitaf negatif, namun adanya kesempatan-kesem­patan lain, bagi mereka tak mungkin semuanya terbendung. Tentu ada juga peluang bagi mereka untuk berkumpul-kumpul dan mengadakan tukar menukar informasi, ngobrol mangenai benda benda porno.
Media massa yang dianggap sangat mengganggu kes­tablian jiwa remaja adalah bentuk audio visual yang mana secara diam-diam telah merayapi kehidupan mereka.
Dewasa ini orang, sudah banyak memiliki video kaset tujuan utamanya adalah untuk sarana hiburan anggota keluarga. Tetapi kemudian dibisniskan menjadi tujuan komersial dengan menyulap rumah mereka menjadi bios­kop mini dan memungut uang tontonan dari kaset-kaset blue film. Rata-rata peminatnya adalah anak-anak pelajar, bukan saja dari tingkat SLTA tetapi juga pelajar tingkat SLTP setelah mengalami wet dream. Pelajar-pelajar di kota dan di desa banyak yang telah men­getahui lokasi-lokasi rahasia dari bioskop, mini ini. Sungguh bagi pemilik video cabul sekeping uang lebih berharga dari segalanya. Mereka tega meracuni fikiran dan jiwa generasi muda melemahkan semangat pelajar untuk belajar dan bekerja.
Film-film dan bacaan porno sangat cepat merangsang penontonnya, begitu pula bagi pelajar. la cepat sekali meningkatkan ambisi seksual, dorongan seksual membuat mereka ingin melakukan iseng-iseng, mungkin terhadap pacar atau terhadap wanita lain. Ada majalah dan buku porno ter­bitan dalam dan luar negeri yang telah beredar secara diam-diam di kalangan mereka.
Secara naluriah, remaja laki-laki bersifat agresif dan remaja wanita bersifat pasif. Remaja pria sangat tertarik kepada info-info yang bersifat seksual. Sedangkan remaja wanita ter­tarik kepada hal-hal yang ber­sifat romantis.
Banyak anak-anak remaja yang tidak atau kurang punya latar belakang pendidikan agama, orang tua pun tak memberi perhatian yang cukup. Mereka itu dapat saja memperkenalkan bacaan dan majalah porno kepada teman wanita, lawan jenis mereka. Dan kemudian mencari tempat-tempat yang sepi. Setelah terangsang mereka melakukan hubungan seksual yang mana agama menyebut­nya sebagai perbuatan zinah.
Rata-rata pelajar yang berkasus hubungan seksual ini secara suka sama suka. Per­buatan itu sebagian dilakukan di rumah atau di tempat tersem­bunyi dan sebagian lagi di tem­pat rekreasi yang suasananya lengang.
Umumnya kasus pelanggaran seksual dan kehamilan pelajar ini disebabkan oleh kurangnya pengawasan orang tua. Minusnya didikan agama, broken home (orang tua yang sibuk dan suka bertengkar) dan akibat komunikasi yang sangat jelek, di rumah. Berpacaran secara sembunyi-sembunyi dan pergaulan yang sangat bebas dapat menjerumuskan pelajar putera dan puteri kepada perbuatan zina dan kehamilan. Dimana untuk seterusnya akibat perbuatan mereka itu pada gilirannya akan mencemari nama baik sekolahnya. http://penulisbatusangkar.blogspot.com/

Fenomena Anak Sebahagian Muda

Fenomena Anak Sebahagian Muda
Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

BANYAK orang-orang ber­bahagia karena telah sukses. Suk­ses gara-gara telah menguasai medan mereka masing-masing. Apakah sukses mereka itu karena gara-gara tentu saja tidak.
Rata-rata orang yang berkecim­pung dalam bidang ekonomi, suk­ses setelah melalui perjuangan dan perjalanan hidup yang panjang. Mereka telah jungkir balik dalam bidang ilmu dan telah ter­jungkir dan terbalik dalam bidang pengalaman. Begitu pula bagi mereka yang telah meraih sukses di bidang lain, seperti bidang kesehatan, olahraga, pendidikan, jurnalis, hukum dan seterusnya.
Pada umumnya orang hanya pandai berdecak kagum kepada hasil kesuksesan kesuksesan saja. Dan malontarkan sejumlah kata-kata pujian, sanjungan atau kekaguman. “Wah dia sungguh hebat. Andaikata dia itu saya... Wah betapa senangnya”. Tetapi orang lupa bertanya bagaimana pengorbanan awalnya, bagaimana seseorang itu memulai usahanya untuk merebut sukses.
Banyak bintang-bintang film tenar, politikus besar, sarjana terkemuka lainnya menuturkan bahwa kesuksesan mereka peroleh setelah melalui sekian jum­lah penderitaan. Ada yang memulainya sebagai pembantu rumah tangga, ada sebagai kuli kasar. Pokoknya sesuai dengan profesi masing-masing.
Kesuksesan yang diperoleh itu ada karena warisan. Seorang pen­gusaha kaya tentu akan mendidik dan melatih keturunannya, kemudian melimpahkan kesuk­sesan itu. Kesuksesan seperti ini daya tahannya kurang kuat diban­dingkan dengan kesuksesan yang dimulai oleh seseorang dari nol besar. Atau kesuksesan seseorang yang diperoleh dari pengalaman hidupnya.
Untuk sukses seseorang musti memiliki disiplin hidup yang tinggi. Banyak orang yang meramaikan kata “sukses”. Mari sukseskan… atau hidup sukses adalah.... Pada hal kesuksesan ini diperoleh dari “disiplin”.
Sekarang kita heran, mengapa orang yang hidupnya telah nampak berkecukupan (sukses), punya banyak rumah bagus, istri cantik dan kenalan luas. Tetapi masih berkeluh kesah. Ia masih mengatakan kurang sukses dalam jiwa. Kira-kira apalagi yang harus ia kuasai agar dapat sukses jiwanya (baca : bahagia). Oh barangkali ia perlu menguasai fikiran.
Banyak orang yang lari dari kenyataan hidup dan mengak­hirinya dengan meneguk racun. Ada pula orang yang tega memuluskan hubungan hidup yang ada ini. Malah ada yang melarikan diri ke dalam kehidupan khayal, tertawa sendiri atau menangis sendiri. Orang awam menamainya “gila” dan orang ahli memberinya istilah “scizoprenic”. Yang begini biasanya punya cita-cita menjadi orang gede, tapi berusaha malas mengkhayal ken­ceng. Akhirnya, ya gila dong.
http://penulisbatusangkar.blogspot.com/


DEMAM PINDAH RAYON MELANDA CALON SISWA SMA

DEMAM PINDAH RAYON MELANDA CALON SISWA SMA
Oleh Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

BARANGKALI sudah meru­pakan public opini bahwa ber­sekolah di daerah perkotaan akan lebih menjanjikan kualitas yang lebih baik. Fenomena ini dipastikan setiap tahun ajaran melanda calon-calon siswa SMA. Seolah-olah mereka lagi dilanda wabah demam pindah rayon.
Banyak calon siswa yang memperoleh NEM tergolong tinggi merasa bangga. dan ka­dang-kadang hidung sedikit menengadah ke langit, serta berkesimpulan bahwa mutu sekolah di daerah tidak begitu menjamin alias rendah. Tentu calon siswa-siswa bebas untuk menganalisa sesuai dengan bobot wawasan dan pengalaman mereka. Tetapi ada lagi hal-hal yang lucu kita perhatikan yakni ada pula calon siswa SMA yang cuma mengantongi NEM sekitar slawe, atau sekitar angka 25, juga ikut-ikutan dilanda oleh gejala demam pindah rayon.
Berbicara tentang kualitas suatu sekolah. Itu banyak bergantung dengan input, proses dan out put nya. Seorang calon siswa tentu berhak pindah rayon kalau dia betul-betul memiliki misi suci untuk meningkatkan kualitas diri. Apakah itu kuali­tas fikiran, wawasan sosial, wawasan keimanan dan wa­wasan lain. Tetapi yang amat kita sayangkan adalah calon siswa yang ikut ikutan juga menyerbu sekolah perkotaan dan sudipula untuk kos dengan lingkungan teman-teman yang tidak menjamin. Sementara lingkungan rumah yang sangat harmonis yang mana ia butuh­kan agar dapat tumbuh sehat secara jiwa dan raga, dan apa­lagi ia pun telah sukses mem­peroleh nilai baik di sekolah tingkat SMP. Banyak kita temui anak-anak yang ketika masih di SMP tergolong pintar tetapi setelah berada pada sekolah perkotaan, jauh dari orang tua dan tak mampu mengontrol diri, memperoleh nilai sangat mengecewakan setelah berada pada tingkat SMA. Pepatah mengatakan “mengharap bu­rung di langit, punai di tangan dilepaskan”. Nah banyak anak-­anak sekolah yang dilanda atau yang disindir oleh pepatah ini.
Seperti yang tadi kita nya­takan bahwa mutu suatu seko­lah itu ditentukan oleh input­nva, proses belajar mengajarnya dan output-nya. Kalau ada suatu sekolah dimana siswa yang masuk berkualitas, proses belajar di sekolah dan di rumah bagus, maka kita tidak perlu heran. Tetapi kalau ada suatu sekolah dimana siswa yang masuk tidaklah begitu unggul dan setelah tamat siswanya memperlihatkan peningkatan kualitas SDM. Maka kita patut mengacungkan jempol kepada sekolah yang demikian. Identik dengan itu untuk sekolah-seko­lah swasta, yang bukan sekolah berlabel elit, tetapi sang-up menunjukkan peningkatan kua­litas anak didik maka kita wajib mengacungkan dua jempol. Begitu pula untuk, sekolah­-sekolah yang berlokasi di pede­saan kalau sukses dalam mem­bina pendidikan generasi maka sekolah kota patut melakukan instrospeksi diri. Dan bertanya apa saja yang dilakukan oleh anak didik dan guru-gurunya selama ini? Apakah hanya seke­dar pembayar kewajiban saja dan menerima hak setiap bulannya.
Kita patut mengingatkan ke­pada para orang tua yang mana anak-anaknya lagi dilanda de­mam pindah rayon, apakah anak-anak yang merupakan amanah Tuhan telah diwarisi dengan nilai agama yang man­tap. Syukur-syukur kalau anak yang akan sekolah jauh dan orang tua memiliki tempat dan lingkungan yang baik. Sehingga kualitas anak lebih baik. Tetapi apabila anak yang pada mulanya memiliki pribadi dan intelektual yang baik kemudian setelah dilepas oleh orang tua untuk bersekolah jauh dari penga­wasan dan ternyata menjadi anak yang bandel dan biang kerok masyarakat maka siapa­kah yang patut untuk disalah­kan. Biasanya orang tua ikut latah untuk menyalahkan ling­kungan. Tetapi dia sendiri tidak tahu mana lingkungan yang baik dan mana yang tidak baik. Kalau begitu yang patut disa­lahkan adalah pribadi orang itu sendiri. Kenapa dia tidak me­lengkapi anak dengan bekal hidup sejak anak berusia dini?
Desa dengan suasana santai ikut mewarnai kepribadian anak-anak sekolah. Kesantrian itu lebih menguasai alam fikiran mereka. Lihatlah cara berjalan anak-anak sekolah SMA di sekolah desa, sungguh amat lamban. Orang yang jalannya lamban, cara berbicara dan cara berfikirnya juga lamban. “Kalau anda ingin gesit dalam berfikir maka cobalah percepat gerak jalan Anda”. Demikian pesan-pesan orang yang berjiwa suk­ses yang dapat kita temui dalam berbagai buku.
Tidak mengapa kita berse­kolah di sekolah pedesaan. Seseorang yang tinggal di peda­laman, sekalipun dapat menjadi sukses kelak. Kalau begitu keberhasilan, atau kesuksesan, tidak mutlak ditentukan oleh geografi semata. Untuk Suma­tera Barat tentu kita cukup kenal dengan tokoh-tokoh seja­rah seperti Tan Malaka, Mo­hammad Hatta, Haji Agus Salim misalnya yang kampungnya berlokasi di pelosok Kabupaten 50 Kota bisa menjadi berhasil, terkenal dan tercatat harum namanya dalam sejarah. Kalau begitu apa yang musti kita terapkan agar bisa menjadi pintar dalam belajar, terutama bagi calon siswa dan siswa SMA di sekolah pedesaan, yaitu kita harus menanamkan kege­maran dan kebiasaan membaca.
Orang-orang yang alergi de­ngan buku-buku dan bacaan yang berfaedah sering kali harus mengerutkan dahi kalau mem­baca. Itupun belum tentu menja­min kalau mereka dapat mema­hami isi bacaan. Siswa yang malas membaca cenderung ke­sulitan dalam memahami pela­jaran dan pada akhirnya mera­sakan kebosanan dan ibarat dalam penjara kalau berada dalam kelas. Pada akhirnya mereka-mereka ini dengan segudang kemalasan untuk mem­baca punya andil dalam mem­perjelek mutu proses belajar mengajar dan mutu out put, atau lulusan, suatu sekolah.
Sekarang apa yang musti kita usahakan untuk mengubah kon­disi ini. Pejabat sekolah musti mengaktifkan perpustakaan sekolah dan senantiasa mem­perkaya judul-judul bukunya. Para aparat pemerintah harus membentuk perpustakaan, umum dan mengusahakan bangunan pepustakaan, dari pada membangun gedung-gedung kosong yang pada akhirnya cuma berfungsi sebagai kan­dang ternak. Begitu pula bagi orang tua harus mengusahakan fasilitas bacaan, majalah, dan buku-buku yang berbobot. Ten­tu orang tua tidak perlu mem­buat seribu satu alasan untuk tidak merasa keberatan dalam meningkatkan pendidikan anak. Seperti hal entengnya perasaan orang tua untuk membeli barang elektronik dan perhiasan lain untuk sekedar pamer kepada tetangga. Padahal seharusnya orang tua harus merasa lebih enteng untuk membiayai pendi­dikan anak yang mana ini ada­lah investasi nyata orang tua untuk dunia dan akhirat.
Demam pindah rayon ini barangkali identik dengan ke­cenderungan untuk bersekolah di luar negeri bagi orang-orang yang berkantong tebal. Kalau begitu, ini bisa jadi merupakan trendi dari sikap mental kita.
Pada umumnya banyak orang­ tua membanggakan anak-anak yang dapat bersekolah di luar negeri. Atau bagi orang tua yang anaknya bersekolah di sekolah di rayon idola. Orang tua seka­rang lebih gembira melihat anaknya kalau mampu berbahasa Inggeris tetapi tampak santai-santai saja kalau ternyata memiliki anak yang berjiwa kufur kepada agama, tidak pandai membaca Al-Qur’an. Kalau sekarang kemudaratan telah begitu akrab dalam per­gaulan masyarakat, maka ke­cuekan, rasa tidak acuh orang­ tua kepada agamalah penyebabnya. Untuk itu kita perlu meningkatkan kewaspadaan kepada anak didik yang tidak men­dapat, sentuhan ajaran agama dan hidup dalam keluarga bro­ken home. Konsep kita tentang keluarga bahagia dan sejahtera hendaknya perlu dikoreksi ulang.
Tidak ada istilah terlambat bagi kita untuk selalu bertindak mendukung penuh pendidikan agama. Kecenderungan sebagi­an anggota masyarakat menye­kolahkan putera-puterinya di luar rayon, di luar provinsi sampai keluar negeri dan jauh dari pengawasan orang tua, per­lu mendapat perhatian yang serius semua pihak. Selain dikarenakan hal tersebut telah menjadi prestise yang tidak perlu bagi sebuah negeri yang membangun. Juga anak-anak usia tingkat SLTA, kematangan berfikir dan kepribadiannya masih belum apa-apa, jauh dari kemapanan. Hal ini dapat kita lihat dari cara mereka yang tidak bisa membedakan cara hidup yang disiplin untuk me­raih ilmu dengan mereka yang ingin hidup bebas tanpa terikat oleh moral. Mari kita renung­kan. http://penulisbatusangkar.blogspot.com/

Obrolan Buat Mahasiswa

Obrolan Buat Mahasiswa
Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

Banyak pria dan wanita mampu menyelesaikan pendidikan universitas dan memperoleh pekerjaan yang layak tetapi belum mampu mendapatkan teman hidup. Secara bergurau orang banyak bertanya kenapa mereka harus begitu dan mereka pun akan mengemukakan alasan masing-masing. Bisa jadi alasan mereka mencapai jumlah sebanyak seribu satu. Ada yang mengatakan ingin untuk memperdalam studi atau memantapkan karir dulu. Soal teman hidup itu gampang sebab bisa diatur kemudian.
Masih ada alasan lain. Bagi orang yang sibuk dapat mengatakan or­ganisasi sebagai alas an. Yang lain mungkin karena pertimbangan ekonomis atau moral. “Kawin wah dengan apa orang akan dihidupi. Apakah mau kalau makan rumput? Kalimat-kalimat yang keluar dari mulut seorang wanita, misalnya teman sebangku dalam bis, bisa jadi berbunyi “Saya sendiri sudah siap untuk menikah tetapi mungkin jodoh belum ketemu”.
Lamaran dari seorang jejaka yang punya pendidikan tinggi dan pekerjaan tetap kepada seorang gadis manis berjalan lebih mudah dan lancar. Terutama bagi orang tuanya. Pinangan atau lamaran tampak lebih menentramkan hati dan keputusan yang dibuat ber­sama famili berjalan lebih mudah apabila dibandingkan dengan lamaran yang diajukan oleh jejaka yang keadaannya biasa-biasa saja apalagi bagi yang belum punya pekerjaan. Orang memberi mereka dengan istilah hari depannya masih dalam tanda tanya. Disamping faktor ekonomi, faktor psikologi dan sosiologi juga ikut menentukan seorang dalem men­dapatkan jodoh. Pembicaraan ten­tang teman hidup merupakan bagian dari dialog mahasiswa di kampus. “Hei cepat cari pen­damping hidupmu selagi kamu masih kuliah disini, nanti kalau sudah tamat tentu sulit lagi men­dapatkannya. Entah kalau kamu berminat untuk ikut kontak jodoh”.
Kalau kita bertanya, “Kamu ini kapan lagi tanggal mainnya atau, kapan kamu layangkan undangan buat saya?”. Rata-rata orang men­jawabnya dengan bergurau pula dan paling kurang dengan senyum kecut. Itupun kalau perasaan lagi kurang sreg. “Wah, sulit bagi saya untuk menjawabnya, pacar saja belum punya. Barangkali dia belum menemukan calon pendamping hidup karena persyaratan terlalu banyak. Rata-rata mahasiswa banyak juga yang begitu.
Tidak aneh untuk didengar bila ada seorang pemuda yang punya pendidikan tinggi, pekerjaan lumayan dan penampilannya gagah pula. Tetapi sulit baginya untuk mendapatkan jodoh yang tepat. Begitulah kenyataan dalam hidup ini. Pintar otaknya tetapi belum tentu pintar pergaulannya. Mahasiswa yang pekerjaannya.
Belajar melulu dan pergaulan diabaikan, memang menciptakan dirinya sangat mahir dalam menyelesaikan problema ilmiah, tetapi dalam menyelesaikan problema romantisnya, musti minta tolong dulu sama teman. Sebab kalau tidak tentu keringat dinginnya keluar duluan dan kon­sep kalimat dalam kepala lenyap diterbangkan angin. Baginya lebih mudah menemui dosen killer dari pada menemui si dia, orang-orang yang begini banyak sekali.
Untuk mendapatkan teman hidup yang cocok sebaiknya harus kita kenal lebih dulu. Jangan serahkan saja sama mat comblang atau lihat-lihat jauh saja. Untuk dapat men­genalnya kita harus mempunyai atau membina hubungan yang akrab terlebih dahulu. Tidak perlu mengungkapkan kemesraan dulu, cukup biasa-biasa saja.
Tidak sedikit pemuda yang menyerahkan soal cinta pada orang lain termasuk kepada orang tua sendiri. Bagaimana kita akan dapat mengenal calon jodoh den­gan baik kalau perjumpaan kita dengannya cuma dua atau tiga kali saja. Jatuh cinta lewat pandangan pertama hangat-mengasyikkan. Para penyair telah mengambilnya sebagai teman lagu sepanjang masa. Tetapi bagi kita pertimban­gan yang matang tetap harus dijadikan sebagai prioritas utama. Pernah terjadi pandangan pertama seorang pria pada seorang wanita tertarik hanya karena dia lincah, cantik dan pintar langsung dipinang dan menikah. Tetapi perkawinan mereka terpaksa bubar beberapa bulan setelah itu. Kisah perkawinan tentu tidak harus sesingkat dan berakhirnya semudah itu, bukan? http://penulisbatusangkar.blogspot.com/


Bila Pembagian Jurusan SMU Dilakukan Secara Tidak Matang

Bila Pembagian Jurusan SMU Dilakukan Secara Tidak Matang
Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

Dalam tahun 2000-an ini telah kita rasakan belajar dan mengajar dalam dua bentuk kurikulum di SMA. Dalam kurikulum lama kita telah me­rasakan suasananya. Dalam kurikulum lama, kurikulum KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi); walaupun dalam kertas semua kurikulum dianggap sama bagus. Namun dalam pelaksanaannya terjadi anggapan merasa superior dan inferior basi siswa-siswanya.
Dulu jurusan A1, A2, A.3 dan A4 dianggap sama. Tetapi da­lam perjalanan, mungkin dise­babkan oleh seleksi alam atau mungkin karena permintaan tidak ada. maka jurusan. A4 mati pada awal perjalanan. Dan tinggallah tiga jurusan, seolah­-olah sebagai tiga kontestan jurusan SMA dimana anak-anak yang berada pada jurusan A1 atau ilmu fisika merasa superior dan siswa yang belajar pada jurusan A3 atau ilmu sosial merasa inferior. Maka siswa SMA tampak satu tubuh
Keteledoran dalam pembagi­an jurusan yang lama adalah karena sistem penjurusan siswa berdasarkan tingkat kognitif mereka. Total siswa pada kelas satu dibagi atas tiga kategori dalam penjurusannya di kelas dua. Kelompok. pintar masuk ke jurusan ilmu fisika yang me­nengah masuk ke jurusan ilmu biologi, dan jurusan ilmu sosial bagi siswa yang menempati rangking kelompok bawah.
Dalam suasana belajar dalam penjurusan ala kurikulum lama juga mempengaruhi sikap guru. Walau secara lahir mereka berpura-pura sama menyukai semua jurusan. Terlihat bagi guru yang mengajar pelajaran umum dan mengajar pada semua jurusan mengalami perubahan semangat dan motivasi. Kalau guru mengajar pada jurusan yang dipandang superior pengabdiannya lebih tinggi. Belum lagi bel masuk berbunyi dia telah nongkrong dalam kelas karena begitulah kecintaannya dalam mengajar. Tetapi langkah dan wajahnya tampak begitu lesu kalau segera masuk ke jurusan inferior. Yang sering terjadi adalah penundaan masuk kelas, atau guru sengaja membuat alasan badan kurang enak atau sakit kepala.
Suasana yang sering terlihat pada jurusan inferior adalah kealpaan guru setiap saat Dan kalaupun ada guru yang masuk maka proses belajar mengajar yang sering terlihat adalah mencatat melulu sampai semua siswa mengeluh karena tangan mereka pegal-pegal. Atau ada siswa ada: yang berseru “kalau begini belajar lebih baik bukunya difoto kopi saja buk guru!” Mendengarkan sentilan demikian bisa pula menyebab­kan benturan kecil antara guru dan murid. Kadang kala inipun juga dijadikan sebagai bahan untuk menghabiskan jam pe­lajaran. Bayangkan ada guru yang. sengaja marah-marah se­lama dua jam pelajaran sebagai pengisi waktu.. Tetapi, tidak ada hikmahnya guru asyik cerotet dimuka kayak murai dan murid asyik pula-ngerumpi di be­lakang. Seolah-olah mereka mengatakan “anjing menggonggong kalifah berlalu”.
Bagi guru yang mengajar bidang studi program inti terasa adanya pengkotak-kotakan. Gu­ru yang mengajar kelas superior seringkali bisa ber­bangga hati dan membesarkan lobang hidung karena program pengajarannya berjalan dengan lancar. Dan bagi guru program inti pada kelas inferior ter­dengar banyak masalah. Mere­ka merasa seolah-olah gagal dalam mengajar dan mengeluh sepanjang waktu.
Karena seringnya bermasalah kelas-kelas interior membuat kelas itu sering tanpa. guru. Kadang-kadang dalam sehari mereka hanya belajar dengan satu guru atau kadang-kadang dalam seharian mereka tak belajar. Adanya kekosongan waktu menyebabkan mereka senang melakukan iseng-iseng. Mengganggu keamanan seko­lah, berteriak-teriak, seperti anak-anak idiot atau melempar dan merusak apa yang dapat dijangkau oleh tangan mereka. Memang apa yang mereka ker­jakan itu tanpa mereka sadari. Kelas-kelas inferior terlihat lebih berantakan. Dinding penuh dengan corat-coret dan bekas telapak kaki dan kabel-kabel listrik pada rusak seolah­-olah habis digigit oleh monster.
Kekosongan waktu yang di­alami oleh kelas inferior sering­ membuat reputasi suatu sekolah turun di mata masyarakat. Ada masyarakat yang menamai su­atu sekolah dengan sekolah kambing, mungkin kelas-kelas­nya jorok dan beraroma seperti kandang kambing. Dan ada pula masyarakat yang menamai su­atu sekolah dengan sekolah “delapan sepuluh” itu sebabnya karena anak-anak sekolahnya tiba pukul delapan dan pukul sepuluh sudah pulang lagi. Para pelajar hanya mampu berada di sekolah cuma selama dua jam. Sekolah seperti ini cukup ba­nyak di .daerah-daerah. Apa yang dapat diharapkan dan diterima oleh pelajar dalam suasana sekolah yang begini kecuali hal-hal biologis, mung­kin. Apa lagi secara biologis para pelajar tengah berada dalam usia remaja yang penuh gelora dan badai. Dan karena sekarang media-media yang berbau ranjangan sudah mudah memperolehnya maka banyak juga mereka yang diamuk oleh asmara. Yang tidak dapat me­ngontrol diri ya telah mengada­kan eksperimen yang bukan-bukan ditempat objek wisata atau rumah kosong. Bagi mere­ka yang fantasi karena kondisi rumah yang broken akan men­jadi lebih frustasi pula di sekolah. Sudah barang tentu barang-barang terlarang mulai dari ganja, morfin, minuman keras, ectasy sampai kepada penyele­wengan moral lainnya adalah menjadi hal yang lumrah. Tetapi karena tidak segera dipintas menjadi besar dan merebak. Sekarang ini kedisip­linan menjadi masalah yang cukup rumit untuk diatasi. Secara teori memang mudah, tetapi dalam pelaksanaan tidak segera dipintas menjadi besar dan merebak. Sekarang ini kedisiplinan menjadi masalah yang cukup rumit untuk diatasi. Secara teori memang mudah, tetapi dalam pelaksanaan tidak semudah membalik telapak tangan. Sekarang rendahnya disiplin menjadi pemicu terjadi tawuran pelajar. Yakni kenakalan dan perkelahian pelajar menjadi pendengaran umum kalau tidak diatasi.
Bukti rendah disiplin sekolah adalah siswa dibiarkan saja berambut gondrong memakai anting-anting sebelah atau baju bercorat-coret. Tetapi mereka bisa saja mengikuti pelajaran di dalam kelasa tanpa ada teguran. Malah ada guru yang merasa takut untuk menegur siswa yang tampak macam-macam. Pada hal guru-guru tadi belum men­coba berdialog dengan pelajar yang bermasalah. Mana tahu pelajar yang bermasalah tadi menderita “skin hunger” dan amat butuh simpati dari bapak dan ibuk guru. Mereka butuh didengar dan dipahami saja.
Menurut seorang pakar kriminologi, saya lupa namanya, ada cara tertentu untuk membuat disiplin tegak di sekolah. Kata­nya, seorang kepala sekolah haruslah seorang yang manajer, advisor dan seorang edukator. Jadi dengan demikian ia bisa meningkatkan mutu lembaga dan mengubah prilaku siswa yang bermasalah. Begitu pula seorang guru untuk sebuah kelas ia pun harus menjadi manajer, advisor dan edukator.
Pernah dulu ,tahun 1994, saat nama SMA berubah dan kurikulum juga berubah. yang lalu kurikulum lama telah kita tinggalkan. Kita tidak lagi mengenal nama SMA karena telah berubah nama menjadi SMU. Muatan pelajaran dengan kurikulum 1994 dimana sistem dua shift menjadi tak memadai. Bayangkan kelas sore kerap kali kehilangan dua jam terakhir, yaitu jam ke 7 dan 8, karena faktor kegelapan sore yang merasuk masuk kelas. Untuk itu kita mau tidak man musti ber­mohon kepada pemerintah agar menambah jumlah kelas-kelas agar belajar semuanya cukup dalam sata shift saja. Dengan harapan agar proses belajar mengajar dapat berjalan dengan sempurna, guru-guru tidak lagi terkotak menjadi kotak sore dan kotak pagi. Mudah-mudahan dengan cara begini guru akan lebih kompak dan kepala seko­lah sebagai seorang manajer, advisor, dan dapat pula menjalankan peranannya mendekati batas kesempurnaan. Begitu pula dengan sekolah shift ini kegiatan ekstra kurikuler dapat kita terapkan maka kekosongan waktu murid selama ini digunakan untuk iseng-iseng akan tertutupi.
Proses belajar mengajar dengan kurikulum 1994 ini, terasa cukup adil. Paling kurang sela­ma dua tahun yakni selama belum ada penjurusan. Guru-guru tidak lagi mengenal kelas superior dan kelas inferior. Kecuali kelas unggul, wah itu kan biasa. Dalam kurikulum baru ini tampaknya guru berada dalam satu desakan. Ya kalau mereka habis keluar dari kelas lamban, apakah ia guru kelompok IPA atau kelompok IPS sama-sama mendesah kesal. Dan kalau keluar dari kelas bagus atau kelas unggulan me­reka sama-sama mendesah gembira. Pendek kata dalam kurikulum 1994 ini guru kelompok IPA dan kelompok IPS mema­suki kelas yang sama selama dua tahun, yaitu untuk kelas satu dan kelas dua.
Tetapi, sekarang yang kita pertanyakan adalah bagaimana kenal ada tiga jurusan yaitu jurusan. Bahasa, sekarang dikedepankan, kemudian jurusan IPA dan jurusan IPS. Sekarang kedengarannya berdasarkan suara anak-anak ada juga mereka yang mengunggulkan jurusan IPA. Barangkali ini pe­ngaruh kebiasaan lama, atau anggapan bahwa kelompok IPA lebih terbuka luas kesempatan untuk pilihan jurusan kuliah atau pilihan mencari kerja.
Sekiranya penjurusan ini kembali memakai sistem lama, walau angket penjurusan ini kembali memakai sistem lama, walau angket penjurusan telah dibagikan oleh guru BK dan wakil kepala sekolah bidang kesiswaan atau kurikulum, tentu lonceng kematian akan menggema kembali bagi jurusan yang terpandang inferior. Inferior karena semua pelajar sepakat memandangnya rendah. Rendah karena sistem penjurusan berdasarkan ranking prestasi pelajar maka akan melimpahlah siswa bodoh pada suatu jurusan dan menumpuk pula siswa yang berbobot pada jurusan lain, yang pada akhirnya dianggap superior.
Kita sangat menginginkan populasi jurusan Bahasa, IPA dan IPS cukup berimbang. Yakni pada masing-masing jurusan ada siswa yang pintar, ada yang menengah dan siswa yang lambat dalam belajar. Kalau ingin membuat kelas unggul jurusan IPA dan kelas unggul IPS. Jadi tidak lagi membuat kelas unggul seperti sistem lama. Dimana dulu seolah-olah jurusan fisika adalah unggulnya jurusan di SMA dan jurusan lain adalah kelas kambing.
Agar proses penjurusan ini seragam pada semua sekolah. Untuk itu kita harapkan agar pihak atas membuat kebijaksanaan yang baku dalam penjurusannya. Misalnya penjurusan itu harus berdasarkan minat siswa dan tidak lagi berdasarkan sistem ranking. Dengan cara ini kita harapkan agar semua jurusan dapat hidup dan pelajar dapat meneruskan minat mereka sampai ke perguruan tinggi dengan konsisten. http://penulisbatusangkar.blogspot.com/




Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...