Senin, 16 November 2009

Mengukur Peringkat Pendidikan Berdasarkan Skor UN Sudah Kadaluwarsa

Mengukur Peringkat Pendidikan Berdasarkan Skor UN Sudah Kadaluwarsa
Oleh. Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
            Saat kakek -  nenek kita, yang berusia 60 atau 70 tahun (di tahun 2009), masih berusia muda, kemungkinan mereka tidak mengenal istilah  “pengangguran”. Demikian juga dengan generasi yang lahir sebelum mereka. Saat itu orang cuma lazim belajar di SR (Sekolah Rakyat) atau Sekolah Dasar, sekedar bisa berhitung, membaca dan menulis.
Tamat dari SR, tidak banyak yang melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP, karena faktor sekolah yang amat jarang dan jarak yang jauh dari rumah.Mereka tidak patah semangat dan mereka berintegrasi dengan alam sebagai sekolah mereka. yang gurunya mungkin orang tua (ayah dan ibu), kakek, nenek, paman, bibi, tetangga atau kenalan yang memotivasi mereka untuk belajar tentang arti kehidupan. Mereka terlibat langsung dalam bertani, berternak, pergi jadi nelayan, berdagang, jadi montir, sampai kepada menjadi buruh kecil, atau ikut merantau untuk jadi pedagang. Sehingga tersebutlah saat itu bahwa orang Minang sangat piawai dalam berdagang.
Saat itu memang tidak ada orang yang menganggur, mengenal istilah kata-kata “jobless, unemployment, job seeker dan job creator”. Karena saat itu lapangan pekerjaan banyak  dalam bentuk pekerjaan non formal. Tidak memerlukan ijazah atau surat lamaran yang rumit. Saat itu yang ada cuma orang yang pemalas, namun mereka bisa dibina dan dimotivasi untuk berpartisipasi- beraktifitas- dalam pekerjaan informal: bertani, beternak, bertukang, montir atau berwirasusaha kecil kecilan.
Zaman selalu berganti dan kemajuan selalu bertambah. Variasi ilmu pengetahuan dan pendidikan juga bertambah. Maka dibutuhkan banyak sekolah. Di sana-sini  dibangun sekolah. Orang makin ramai memerlukan pendidikan formal, dari SD, SLTP dan SLTA. Orang tua juga makin peduli dengan pendidikan. Mereka berlomba memotivasi anak agar berhasil. Namun sebahagian ada yang salah sikap dan mengekspresikan harapanya, “Nak, fokuskan saja  fikiranmu  pada pelajaran, jangan fikirkan yang lain, kami tidak perlu dibantu asal kamu rajin belajar”. Demikianlah banyak orang tua yang sekedar peduli dengan kata “pendidikan” namun tidak memahami hakekatnya, karena telah membebaskan anak untuk tidak terlibat dalam beraktifitas di rumah. Ini adalah bentuk pemanjaan yang tdak mendidik. Dimana pada akhirnya lahirlah anak-anak yang manja yang cuma sekedar tahu pergi ke sekolah, tetapi tidak tahu cara membantu diri apalagi untuk membantu orang tua serta membantu lain.
Saat pendidikan mayoritas orang hanya sekedar tamat SLTA (SPG, SMEA, STM, dan lain-lain), yang saat itu mereka anggap sebagai pendidikan tertinggi. Merekapun cuma lulus dengan nilai “sekedar lepas makan” saja, memiliki kompetensi atau kecakapan hidup yang rendah maka mereka terdaftar sebagai perintis kelompok pengangguran. Mula-mula mereka disebut sebagai pengangguran PTT (Pengangguran Tingkat Tinggi). Mereka adalah para pemuda yang malas untuk menyinsingkan lengan baju dan lebih suka suka kongkow-kongkow, luntang lantung, dan duduk-duduk sepanjang hari dengan bibir dihiasi kepulan asap rokok.
Lagi zaman terus bergulir. Animo dan kesadaran masyarakat untuk belajar setinggi mungkin semakin meningkat. Mereka melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, negeri maupun swasta. Orang tua tetap merespon aspirasi anak-anak nya dengan kerja keras. Kapan perlu mereka harus menjual harta, emas perak, yang melingkar di leher sang bunda, atau menjual sawah dan ladang asal anak bisa kuliah di universitas.
Tiap semester perguruan tinggi meluluskan ribuan atau puluhan ribu  sarjana baru di negeri ini. Sebagian bisa memperoleh pekerja karena beruntung dalam taruhan (test) pada perusahaan swasta, BUMN dan CPNS. Yang tidak beruntung dalam mencari kerja kantoran ya terpaksa menjadi sarjana yang kebingungan. Mereka kemudian ikhlas untuk diberi gelar “pengangguran intelektual”.
Pengangguran intelektual menggantikan istilah “pengangguran tingkat tinggi”.  Pengangguran intelektual adalah gelar yang menyedihkan yang disandang oleh sarjana yang baru tamat dari Perguruan Tinggi dan berstatus sebagai “job seeker”(pencaker- pencari kerja), bukan sebagai “job maker atau job maker”- pencipta atau pembuat lapangan kerja.
Istilah “pengangguran intelektual” sangat menyesatkan. Apakah mungkin seorang intelektual kok bisa menjadi penganguran ? Jangan-jangan yang menganggur itu adalah para sarjana yang justru intelektualnya rendah, dan bahkan tidak memiliki intelektual sama sekali. ‘Memang Pak sekarang banyak sarjana yang lulus dengan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) di atas 3.00 dan malah ada yang memperoleh predikat cumlaude”. Ini menunjukan bahwa banyak sarjana yang cuma cerdas di atas kertas, cerdas otaknya, namun menjadi penganggur gara-gara mereka tidak memiliki kreatifitas, kemampuan untuk berinovasi dan juga tidak memiliki jaringan komunikasi dalam sebuah komunitas yang sesuai dengan bidang keahlian yang dipelajari di perguruan tinggi, yang pada akhirnya memperoleh cuma selembar kertas yang bernama “ijazah”.  
Mengapa pengangguran intelektual bisa terjadi ? Penyebabnya tentu saja banyak. Salah satu penyebabnya  adalah karena pendidikan yang kita terapkan pada sang anak belum menyentuh atau salah sasaran. Karena seorang siswa didik oleh orang tua dan guru,  maka pengangguran intelektual disebabkan oleh faktor salah pendidikan (mal edukasi)  yang salah sasaran di rumah dan di sekolah.
Mal-edukasi di rumah
Secara instink bahwa semua anak yang berbadan sehat sejak dilahirkan sampai berusia balita (berusia lima tahun) terlihat lincah dan lucu. Namun semakin meningkat usia mereka, semakin besar pula perbedaan kualitas mereka. Orang tua yang kurang merangsang pertumbuhan dan perkembangan pendidikan anak akan menciptakan anak-anak yang pasif- anak yang pemalas.
Ada beberapa karakter orang tua yang berpotensi yang menghambat kecerdasan anak, yaitu seperti orang tua yang tidak peduli dalam  menyediakan fasilitas beraktifitas anak- belajar dan bermain. Alasanya bisa jadi mereka tidak punya uang untuk membeli fasilitas pendidikan. Mereka berfikir bahwa tidak ada gunanya karena dapat membuat rumah sembrawut- alhasil buang buang duit saja. Tetapi patut diingat bahwa fasilitas berkreatifitas tidak harus berharga mahal- bisa jadi majalah loakan, komik dan buku cerita loakan. Kemudian orang tua bisa menyediakan cangkul kecil, sapu kecil, bangku kecil dan pisau tumpul agar anak tidak bengong sepanjang hari di rumah.
Juga banyak orang tua yang tidak merespon ayat pertama Al-Quran (96:16) yang berbunyi :ikraq bismirabbilazi khalaq- Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan”. Seharunya orang tua merespon ayat ini dengan menyediakan sarana belajar dan perpustakaan bagi anak/ anggota keluarga agar terbisaa membaca dan belajar. Namun dalam kenyataan orang tua lebih peduli untuk memelihara keramik dan cendra mata (souvenir) dari berbagai propinsi atau dari negara lain. Sampai-sampai harus menyediakan lemari khusus, dipajang di ruang tamu agar memperoleh persepsi “wah inilah gambaran dari keluarga maju dan modern itu”. Atau orang tua sangat peduli untuk sarana hiburan. Begitu peduli untuk membuat home theatre di rumah: , ada TV set besar, VCD player, sound system, LCD yang diputar siang malam sehingga rumah jadi hingar bingar, susah untuk mendengar lawan bicara apalagi untuk berkosentrasi bagi anak-anak dalam belajar dan bekarya. Pada akhirnya orang tua berhasil menciptakan anak yang bermimpi menjadi artis sinetron , presenter, selebriti dan paling kurang menjadi pengamen dalam bis kota.
Hilangnya budaya yang melibatkan anak ikut bekerja dalam merapikan rumah- meringankan  beban pekerjaan orang tua-  juga berpotensi menciptakan anak yang kelak menjadi sarjana yang kebengongan. Fenomena bahwa orang tua dengan keluarga kecil, keluarga berencana, telah membuat anak cenderung tidak punya lahan pekerjaan di rumah gara-gara tidak dilibatkan dalam beraktifitas. Semua pekerjaan dari A sampai Z telah diborong oleh sang ibu dan ayah, “Wah kasihan mereka kan masih kecil-kecil”. Rasa kasihan yang memanjakan membuat anak memiliki pribadi yang lemah. Coba lihat sekarang, apakah masih banyak anak yang bisa untuk memasak, mencuci, menyapu, mencangkul, memasukan air ke dalam irigasi, menghalau itik pulang ke kandang, membuka dan menutup warung, sampai bagi anak petani untuk masuk ke dalam sawah atau bagi anak nelayan- ikut berlayar di lautan, agar kelak mereka bisa menjaga laut dan ikan-ikan tidak dicuri oleh bangsa lain.
Pengangguran intelektual juga karena akibat anak miskin dengan pemodelan dari orang tua. Suatu hari seorang bapak menolak untuk memilik pembantu rumah tangga, karena berpotensi menciptakan anak-anak yang pemalas di rumah.saya keberatan untuk punya pembantu walaupun kita sibuk bekerja di luar rumah. Lebih baik semua pekerjaan rumah diberesin oleh ayah, ibu dan melibatkan semua anggota keluarga  untuk memasak, mencuci, merapikan pekarangan, mengurus usaha sampingan keluarga dan lain-lain. Lebih baik  anak ikut terlibat dan juga melihat orang tua mereka juga beraktifitas. Anak-anak yang terbiasa melihat orang tua mereka santai, ogah ogahan, karena semua pekerjaan rumah telah diborong oleh pembantu,  cenderung memiliki jiwa yang pemalas dan kurang semangat juangnya”.
Mal-edukasi dari Sekolah
Faktor dari sekolah bisa jadi akibat dari gaya PBM (Proses Belajar Mengajar) yang terjadi sejak dari bangku SD, SMP dan SLTA belum tepat sasaran. Sekarang dengan kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) seharusnya membuka ruang dan kebebasan untuk terciptanya kreatifitas, membutuhkan kemampuan memecahkan persoalan hidup dan mengatasi masalah dengan cerdas. Namun sekolah sekolah sekarang menyelenggarakan PBM lebih berorientasi kepada UN (Ujian Nasional) agar bisa menjaga nama baik sekolah dengan skor UN yang tinggi. Maka kerja guru dan siswa hanya mempreteli Standar Kompetensi Kelulusan (SKL) dan Standar Isi (SI) yang sifatnya sentralis.
Terlihat kebijakan pendidikan sekarang seperti yang diamanatkan oleh pemerintah adalah untuk membuat siswa sekadar terampil menjawab soal pilihan ganda. Ini dilakukan sebagai usaha meraih mutu pendidikan tinggi bagi pendidikan, berubah menjadi obsesi kompulsif akan standar. Maka guru sekarang mengajar hanya sekadar membuat siswa bisa lulus UN. Bagi mahasiswa, belajar atau kuliah hanya sekedar mencari IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) yang tinggi, walau diperoleh lewat cara-cara kurang halal, seperti mencontek. Jika selama menjadi siswa dan mahasiswa, seseorang tidak pernah mengalami apa artinya menjadi kreatif, mengalami pengalaman hidup, mempunyai motivasi dan minat belajar yang tinggi maka jangan pernah berharap bahwa kita bisa melihat para pemuda (sarjana) memiliki semangat berusaha dan kemandirian dalam hidup- berwirausaha.
Bapak rektor, Bapak dekan dan para dosen cobalah turun  ke lapangan, dan temuilah apa saja aktivitas para mahasiswa di tempat kost mereka “ sungguh tidak kreatif”. Sebahagian mereka cuma tidur, bergitar, main domino, main HP, main game, begadang malam dan tidur siang sampai kepada yang gemar menonton clip porno. Nanti bila mereka menjadi sarjana pengangguran, itu  gara-gara  IPK tinggi yang diperoleh sekedar menghafal atau lewat contekan dan skripsi  yang kadang kala lulus lewat transaksi,  maka yang dapat getah adalah Perguruan Tinggi yang bersangkutan sebagai pabrik pencetak “intelektual pengangguran”.
Sekali lagi bahwa kebijakan UN yang berlaku sejak dari tingkat SD sampai SLTA dewasa ini, hanya menyiapkan siswa yang hanya mampu menjawab soal- soal ujian perlu untuk ditinjau ulang. Bukankah sangat tepat kalau para siswa belajar dengan learning by doing, learning by exploring, learning by experimenting dan beberapa metode dan strategi belajar yang member  pencerahan. 
Agaknya mengukur tingkat kualitas  pendidikan antar Propinsi, Kabupaten dan antar  sekolah melalui skor UN sudah sangat kadaluarsa. Sebab belajar hanya demi skor UN cendrung bersifat instant, “sekarang skor tinggi bulan depan belum tentu menjadi siswa yang cerdas lagi”. Mengapa tidak mengukur tingkat mutu pendidikan di negeri yang tercinta ini berdasarkan konsumsi bacaan siswa persekolah atau per Kabupaten, begitu juga dengan prestasi sekolah/ siswa yang   berskala besar, misal “Propinsi X,  atau kabuten Y, memiliki kualitas pendidikan peringkat satu karena rata rata siswa mengkonsumsi buku sastra 25 judul persemster dan guru yang menulis di media masa 20 judul per tahun”.
Juga, karena sekarang kita sudah berada dalam zaman ICT (Information Communication Technology) dimana mengakses dan belajar lewat internet sudah menjadi kebutuhan maka seharusnya ada usaha assessor yang kreatif untuk mengukur / mengklasifikasikan peringkat kualitas pendidikan berdasarkan penciptaan blogger atau webblog, misal “Sekolah A memperoleh peringkat terbaik di Indonesia karena siswa dan guru memiliki 40 Blogger yang berkualitas, Sekolah B terbaik di Propinsi karena sangat produktif menciptakan alat elektronik per tahun”. Apakah kini skor UN yang sering penuh dilemma masih menjadi acuan untuk mengukur kualitas pendidikan kita ? Wallahu alam bissawab.
 (Marjohan M.Pd, Guru SMAN 3 Batusangkar)

Kamis, 12 November 2009

Apakah Memang Penting Mata Pelajaran Matematika dan Sains itu ?


Apakah Memang Penting Mata Pelajaran Matematika dan Sains itu ?

Oleh. Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangar
Kita bersyukur bahwa banyak orang tua siswa sekarang sangat peduli terhadap pendidikan dan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) anak-anak mereka . Sejak anak kecil hingga berusia remaja, mereka ikut mencikarui- melakukan -interferensi positif- terhadap pendidikan anak. Toko-toko buku sekarang sudah menjadi tempat yang sangat popular untuk dikunjungi demi kepentingan ilmu pengetahuan. Pengunjung yang posisinya sebagai orang tua paling senang mengunjungi bagian pojok buku psikologi, menemukan buku tentang cara mendidik anak dan sampai kepada pojok buku filsafat , nuansa buku agama atau buku pendidikan popular lainnya.
Di rumah banyak orang tua yang juga sudah mendorong pertumbuhan dan perkembangan SDM anak. Mereka mengantarkan anak untuk pendidikan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) dan TK. Pada pendidikan dini ini, anak mulai mengenal adaptasi dengan sosial, serta berlatih untuk menguasai gerak halus dan gerak kasar. Suasana belajar pada pendidikan dini tersebut betul-betul menyenangkan, atau diistilahkan bahwa suasana belajar sudah bernuansa PAKEM (Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan) atau PAIKEM (Pembelajaran Aktif, inovatif, Kreatif Efektif dan Menyenangkan).
Guru-guru untuk pendidikan usia dini tersebut selalu memberikan pelayanan prima atau excellent service terhadap manusia-manusia kecil ini. Sebagai responnya, maka manusia kecil (anak didik) tadi menyambut pelayanan prima sang guru dengan suka cita, riang gembira dan penuh rasa cinta. Sekaligus mereka menjadikan ibu guru pada PAUD atau TK sebagai guru idola mereka.
Namun waktu selalu bergulir dan anak didik kecil mungil tadi melangkah masuk ke pendidikan SD. Sebahagian anak didik akan beradaptasi dengan mudah di sekolah yang baru (SD) mana kala berjumpa dan belajar dengan guru kelas yang juga melayani anak dengan prima, yaitu guru-guru yang senang mengekspresikan kata-kata yang penuh dengan muatan emosi “anak-anak ku sekalian, anak anak yang pintar, anak-anak ku tersayang” Guru-guru kelas pada SD pun menjadi “guru idola”.
Namun anak didik bakal kaget, stress dan mengalami nightmare (mimpi buruk) manakala belajar dengan guru-guru yang kikir dengan ekspresi yang hangat, kecuali kalimat penuh mengancam “bila tidak membuat tugas dihukum berdiri kaki itik di depan kelas, ketauan mencotek maka kertasnya ujian di robek….”. Guru-guru yang kurang bisa beradaptasi dengan paedagogi dan perkembang jiwa anak sangat tepat untuk segera mengundurkan diri sebagai pendidik.
Pada mulanya fokus pengajaran pada bangku Sekolah Dasar adalah supaya anak menguasai “tiga R”, yaitu keterampilan reading, writing dan arithmetic (keterampilan membaca, menulis dan berhitung). Keterampilan menulis terasa menyenangkan manakala guru kelas ikut memegang jari-jari halus siswa menulis di atas kertas. Demikian pula dengan pelajaran membaca. Anak merasa mulutnya bisa berubah menurut vokal “a, i, u, e dan o”, dan mengekspresikan ungkapan yang lucu-lucu yang diikuti dengan bentuk alfabetnya.
Pelajaran matematika di kelas satu Sekolah Dasar, sangat berkesan bila dihubungkan dengan pengalaman atau unsur-unsur emosional dan yang berhubungan dengan kebutuhan anak. Orang-orang yang berusia 40-an sekarang ini, kemungkinan masih ingat dengan pelajaran berhitung saat mereka di SD dulu. “Satu manggis ditambah tiga manggis menjadi empat manggis”.Ekspresi ini mungkin masih membekas, namun bagaimana dengan suasana belajar matematika anak sekarang ?
Gara-gara peringkat mutu matematika dan sains siswa Indonesia menempati posisi yang sangat rendah di negara-negara Asean, apa lagi untuk tingkat dunia, maka kurikulumnya pun digenjot dan ditambal sulam. Guru-guru matematika dan sains sejak dari SD sampai ke bangku SLTA diharapkan untuk proaktif.
Ada wujud kepedulian sekolah dan guru-guru untuk meningkatkan kualitas matematika dan sains anak. Guru guru dan tokoh pendidik yang lain berpacu untuk merancang- menyusun buku matematika dan sains, mulai untuk tingkat SD, SMP dan tingkat SMA. Sebagian buku ada yang diuji cobakan di sekolah-sekolah super sebelum dicetak dan sisebar luaskan untuk menjadi konsumsi siswa-siswa di berbagai sekolah di Indonesia yang kualitas otak mereka amat jauh berbeda dengan kualitas otak siswa di sekolah yang bermutu. Kualitas orang tua orang siswa pun juga berbeda dengan sekolah kebanyakan.
Mata pelajaran sains dan matematika cenderung menjadi mata pelajaran yang kurang bersahabat dengan anak didik. Sementara itu guru- guru wajib menyajikan nya sesuai dengan tuntutan kurikulum. Karena rancangan materi buku matematika terlalu sulit maka lambat laun anak anak memandang mata pelajaran ini sebagai monster yang menakutkan dan membosankan. Anak-anak selalu susah payah untuk memahaminya, apalagi guru guru cenderung tegang dalam memperkenalkan mata pelajaran ini. Ya karena di rumah orang tua mereka sendiri juga jarang kedengaran berhitung, maka anak miskin dengan logika dan sang guru sering menjadi naik pitam, “wah soal berhitung demikian mudah juga kamu tidak tahu, dasar blo-on”.
Ada seorang staff pendidik memiliki anak yang belajar di kelas 3 SD, berkata bahwa tiap hari ia menemani anaknya belajar, sudah membudayakan belajar mandiri di rumah, membuat PR dan membaca. Namun hampir setiap hari anaknya rewel dan merengek gara-gara kurang mengerti dengan PR matematika.”Ya ampun pelajaran matematika untuk konsumsi murid kelas 3 SD dirancang tidak begitu menarik- tingkat bahasa cukup tinggi bagi imajinasi anak, kita saja yang sudah lulus S.1 dan S.2 masih harus kosentrasi untuk memahaminya, apalagi murid kelas 3 SD yang masih hijau dan belum cukup pengalaman untuk memahami spasial dan logika, kemudian diberi tugas yang melebihi kekuatan jari-jari kecil mereka”, dan itulah fakta serta kenyataannya. Bila anak terpaksa belajar- belajar dalam kondisi tertekan (stress), tentu akan mendatangkan rasa bosan dan dipaksa, maka terjadilah pembunuhan karakter mereka dalam belajar.
Namun buku buku matematika dan sains tersebut kan sudah disahkan oleh BSNP- Badan Standar Nasional Pendidikan. “Nah itulah masalahnya, pengesahan buku-buku oleh BSNP mungkin berdasarkan verifikasi dari atas nya- top down, dilihat dari kacamata siswa cerdas dan sekolah unggulan melulu. Buku-buku tersebut dianggap layak dan bermutu untuk sekolah berkualitas dan anak anak cerdas yang cuma berdomisili di pulau Jawa dan kota-kota besar. Sementara itu coba lihat, banyak buku-buku yang walau sudah disahkan oleh BSNP tetap tidak teresentuh dan menumpuk di perpustakaan. Seharusnya BSNP juga rajin-rajin untuk mencek buku yang telah mereka rekomendasikan itu sampai kelampangan di berbagai pelosok negeri. Kemudian juga perlu merekomendasi tingkat kesulitan buku berdasarkan verifikasi bottom-up, dari arus bawah- berdasarkan sekolah sekolah kebanyakan tersebar di persada ini”.
Ada orang tua bertanya tentang seberapa jauh pentingnya mata pelajaran matematika dan sains tersebut. “Matematika dan sains itu sangat penting, syarat untuk lulus UN, kalau anak cerdas untuk bidang studi ini, ia bisa kuliah di Pulau Jawa, Universitas bergengsi, anak bisa jadi dokter, jadi insinyur. Bila anak masuk jurusan IPA, peluang untuk kuliah lebih bagus dari jurusan IPS dan Bahasa”. Berarti secara tidak langsung jurusan IPA lebih hebat dari dua jurusan lain, maka siswa yang masuk jurusan IPA akan merasa superior dan yang masuk jurusan Bahasa dan IPS menjadi inferior atau rendah diri.
Menyadari begitu sulit dan pentingnya mata pelajaran matematika dan sains, maka solusinya adalah para siswa mulai dari SD, SMP dan SLTA direkomendasikan untuk mengikuti belajar siang, atau belajar tambahan di les-les privat. Malah pebisnis franchise pendidikan merespon dengan riang gembira, segera membuka kelas-kelas bimbingan belajar dan meraup laba sampai ratusan juta rupiah atas derita kesulitan belajar anak. Namun tentu saja bisa dijangkau oleh siswa yang orang tuanya berduit, sementara bagi siswa miskin harus gigit jari atau cari bimbingan belajar yang murah meriah.
Kini banyak sekolah menyadari atas problem belajar anak untuk mata pelajaran matematika dan sains, yang nota benenya adalah juga mata pelajaran yang diujikan dalam UN (Ujian Nasional). Maka usai PBM yang normal, maka kembali siswa disekap- atau direkomendasikan untuk sekolah tambahan. Apakah proses PBM belajar tambahan untuk mata pelajaran yang dipandang sangat primadona ini effisien dan efektif ? Yang jelas siswa terlihak lesu, bosan, merasa terpaksa, sehingga mengikuti PBM hanya secara main-main saja. Akibat PBM nya sendiri tidak menarik, suasana hati untuk belajar juga tidak pas “Sang guru saja juga merasa terpaksa untuk mengajar sore”. Maka jadilah guru yang merasa bosan mengajar siswa yang juga merasa bosan. Anak didik merasa tersekap lagi sepanjang hari di sekolah, akibatnya badan dan jiwa menjadi letih. Setelah pulang sekolah tentu juga tidak bisa mengulang pelajaran, apalagi untuk berbakti pada orang tua dan untuk masyarakat sekitar.
Kalau sekarang banyak siswa kurang bisa bertegur sapa dengan orang tua atau guru dengan santun, ya itu gara-gara mereka tidak punya waktu bersosial, karena disekap oleh PBM- belajar tambahan, “Anak sekarang sombong-sombong tidak ramah dan tidak bisa menyapa orang tua !” .Kalau pemuda kita juga tidak jago lagi dalam olah raga, malas turun kesawah atau tidak kenal dengan laut (bagi anak nelayan, sehingga ikan ikan kita pun dicuri oleh negara lain) adalah juga gara-gara anak tidak punya waktu untuk ke laut atau ke pedalaman, juga karena disekap terlalu lama disekolah atas nama meningkatkan PBM yang sebenanrnya tidak begitu signufikan dampaknya. Kemudian kalau siswa menjadi acuh tidak acuh dengan kehidupan sosial di seputar rumah dan miskin dengan life skill serta sirnanya karakter ramah tamah adalah juga karena gara-gara anak dipaksa lagi oleh mata pelajaran matematika dan sains untuk sekolah tambahan, termasuk bagi mereka yang tidak berminat dengan mata pelajaran tersebut.
Fenomena dalam kehidupan di sekolah, terutama untuk tingkat SMA dan MA, bahwa mayoritas siswa dan orang tua mengidolakan mata pelajaran sains termasuk matematika.”Masuklah ke jurusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) atau sains niscaya masa depan mu cerah !”. Demikian sugesti secara implisit dan eksplisit di sekolah dan di rumah. Tanpa analisa yang mendalam berdasarkan bakat dan minat maka anak didik setuju saja. Maka diserbu dan diidolakanlah “jurusan IPA tersebut”. Guru-gurunya pun keciprat beruntung, karena dihormati melebihi guru bidang studi lain, sementara jurusan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), apalagi jurusan Bahasa dan mungkin juga guru gurunya , dipandang sebelah mata dan dianggap sebagai jurusan kelas dua. Dalam pemilihan jurusan di SMA, bila anak ternyata masuk ke IPS dan Bahasa akan dipandang kurang cerdas. Orang tua yang IPA maniak akan marah-marah, “Kok kamu masuk jurusan IPS, bodoh kamu, percuma saja kamu ikut les dulu dan buang-buang uang saja”. Malah ada anak yang rela tinggal kelas asal tahun berikutnya bisa masuk jurusan IPA, apakah jurusan IPA itu adalah segala-galanya ?
Kini banyak anak-anak cerdas belajar pada jurusan IPA. Tetapi tunggu dulu, apakah mereka betul-betul cerdas ? Belum tentu, mereka kan cuma sekedar terlatih menjawab soal-soal Ujian Nasional (UN), dan soal ujian SNMPTN (Sistem Nasional Masuk Perguruan Tinggi), namun begitu dibawa ke laboratorium mereka tidak mengerti dengan cara praktikum, di rumah kalau listrik mati karena korslet, mereka bingung untuk membuatnya nyala. Malah mereka pun sudah menjadi orang yang anti kritik karena merasa sudah jagoan di kelas. Inilah akibat PBM Cuma sekedar memburu skor out-put dan memasung proses pembelajaran dan proses bersosial anak di rumah (akibat banyak ditahan disekolah).
Ada orang mengatakan bahwa pintarnya anak Indonesia cuma sebatas menjawab soal-soal UN semata, tapi tidak pintar memegang tangkai cangkul buat membersikan halaman rumah, tidak tahu cara membantu diri sendiri, keluarga apa lagi buat membantu orang lain- gara gara hanya berorientasi belajar tanpa diimbangi dengan rasa peduli pada sosial. Sekali lagi, pintarnya anak Indonesia hanya sekedar mencari selembar ijazah dan habis itu bengong dan nongkrong dalam tangga pengangguran.
Apakah memang penting mata pelajaran matematika dan sains itu ? Mata pelajaran ini memang sangat penting, namun gara-gara mengidolakan mata pelajaran ini, dan anak didik terlalu disekap berlama-lama di sekolah sehingga kesempatan mereka untuk mengembangkan diri di sore hari jadi hilang. Terus terang siswa sekarang perlu kehidupan seperti siswa generasi dulu, punya waktu untuk main voli, membuat acara ulang tahun, pergi mengaji, ikut kegiatan keluarga dalam rangka memahami adat istiadat, tahu cara mengelola usaha bisnis keluarga, tahu cara menggoreng telur dadar dan punya waktu untuk beramah tamah dengan tetangga. Bila mata pelajaran matematik dan sains terasa sangat membosankan, maka PBM dengan sistem PAKEM atau PAIKEM sangat perlu untuk dimiliki oleh guru bidang studi tersebut- tentu orang tua (terutama untuk tingkat SD karena pelajaran ini belum begitu sulit) juga perlu menjadi guru sains dan matematika di rumah. Mengajar bidang studi ini dengan memberi PR segudang sangat percuma, karena siswa pasti saling mencontek dan saling menyalin tugas teman, tanpa mengerti kecuali sekedar menyenangkan hati sang guru untuk menganggap mereka sebagai siswa yang rajin.
Akhir kata bahwa Pokok permasalahan anak didik dalam belajar sains dan matematika di sekolah adalah karena mereka memiliki minat belajar dan motivasi belajar yang cukup rendah. Maka kurang tepat solusinya dengan memaksa mereka belajar tambahan setiap hari sampai sang surya tenggelam lagi di ufuk barat dan mereka pulang ke rumah dengan penuh lesu dan bosan, serta miskin dengan life skill dan kurang peka dengan kehidupan social. Belajar tambahan begitu lama setiap hari mungkin bisa menyebabkan mereka kehilangan masa-masa indah untuk mempelajari keterampilan hidup dan keterampilan sosial yang mungkin juga jauh lebih penting untuk dimiliki dari pada sekedar belajar tidak sepenuh hati di sekolah sore/ sekolah tambahan. Mana tahu andaikata hidup mereka susah dan nilai akademis belum bisa memberi janji untuk pekerjaan yang mereka mimpikan maka life skill mungkin bisa sebagai alternative dalam hidup, dengan membuka restoran, bengkel, bisnis out door activity, dan lain-lain, tentu saja selagi dalam keridhaan Sang Khalik.


Rabu, 04 November 2009

Pentingnya Berjiwa Besar Bagi Guru


Pentingnya Berjiwa Besar Bagi Guru
Oleh: Marjohan M.Pd

Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
 

Profesi guru dapat dikatakan sebagai profesi pelayanan di bidang jasa, sama halnya dengan orang yang bekerja di bidang kesehatan, atau di bidang jasa lainnya. Orang orang yang bekerja dalam bidang jasa bekerja sesuai dengan moto yang dianut oleh instansi mereka, sebagai contoh “Kami melayani anda dengan senyum, kami melayani anda dengan sepenuh hati, Kepuasan pelanggan adalah komitmen kami, dan lain-lain”. Namu sebagian guru ada yang  telah melupakan motto mereka-tut wuri hadayani, sebagai konsekwensinya mereka cenderung mengajar sesuka hati, atau sesuai dengan kata hati saja. Barangkali karena mereka cuma banyak berhubungan dengan manusia kecil- anak didik, yang mungkin tak perlu pelayanan.
Orang-orang yang bekerja di bidang kesehatan mungkin juga berfikir demikian pula. “Wah kan cuma melayani orang sakit, pasien yang baik, tentu pasien yang patuh dan tidak banyak ngomong dan mematuhi suruhan dan larangan rumah sakit”. Namun entah mengapa  secara pelan-pelan pasien menyerbu rumah sakit di Melaka, di Negara jiran. Apa alasannya “kami puas dengan pelayanan yang mereka berikan”.
Baru-baru ini ada teman baru pulang dari mengikuti program magang guru di Australia (Program magang guru MIPA-guru SBI- Propinsi Sumatra Barat) mengatakan bahwa kualitas otak guru-guru kita tidak kalah dari kualitas guru-guru di Austraia. Keunggulan atau kelebihan guru di sana adalah pelayannan mereka pada anak didik, atau prefesionalitas dalam pelayanan selama pembelajaran. .
Bila anak didik bertanya pada guru dalam suatu kelas, “Miss Nancy, I don’t understand about this subject”. Maka guru dengan serta merta segera bangkit, tersenyum dan buru buru mendatangi bangku siswa sambil berucap “ What Can I do for you”, kalau siswa mampu menyelesaikan sebuah problem, langsung member appresiasi “Oh great, how could you do that”, dan kalau siswa salah/ belum benar dalam mengerjakan soal, masih berucap hal-hal positif “ That’s oke, I am sure you can do it”.
Hal yang kontra, tanpa merendahkan kualitas guru kita sendiri, kalau ada seorang siswa yang bertanya dalam PMB maka dengan bergaya seorang Boss siswa akan dipanggi ke depan/ ke meja guru  “Yang tidak mengerti mari maju ke depan”. Atau komentar lain, “Ini saja kamu tidak mengerti”. Kemudian kalau siswa melakukan kesalahan dalam menjawab soal maka kita/ guru akan berkomentar, “Wah kalau begini cara kamu  lebih baik kamu turun kelas atau ikut les privat saja !”. Alhasil banyak siswa cenderung memilih bungkem dari pada di marahi atau ditertawakan guru.
Apakah ekspresi di atas terlalu mengada-ada atau tidak, namun fenomena tersebut dapat kita jumpai dengan mudah pada berbagai sekolah. Kalau begitu kenyataannya apa yang kurang bagi kita sebagai guru ? Tentu saja kita kurang berjiwa besar, kurang menyadari bahwa kita digaji atau dibayar oleh negara untuk mendidik, apalagi bagi guru yang sudah menerima imbalan sertifikasi maka sudah sewajarnya kita menunjukan pelayanan prima- excellent service- dalam PBM, dan segera menjadi guru yang memiliki jiwa besar dan berfikir positif.
Berjiwa besar dan berfikiran positif ? David J Schwartz (1996) menulis buku dengan judul “The Magic of thinking big”, yaitu tentang berfikir dan berjiwa besar. Idenya sangat bagus kita adopsi, sebagai guru, agar kita bisa meningkatakan pengabdian dan pelayanan pada anak didik. s
Kata “berfikir positif” sering diikuti oleh kata ‘berjiwa besar”. Dalam hidup banyak orang yang berbicara tentang kata atau frase tersebut. Ini menandakan kesadaran untuk menjadi manusia yang baik sudah menjadi dambaan.  Orang yang memiliki pikiran positif dan sekaligus berjiwa besar sangat dihargai dan dianggap memiliki derajat yang tinggi. Menjadi orang yang berfikiran positif dan berjiwa besar dapat digapai dengan ilmu dan mengamalkan agama,
Dalam Al-Quran (58:11) dijelaskan bahwa Allah Swt meninggikan derajat orang yang beriman, yaitu orang yang diberi ilmu. Sekali lagi, bahwa untuk menjadi orang yang berfikiran positif, sangat membutuhakan ilmu pengetahuan, pembiasaan, atau latihan dan kesabaran. Berfikir positif sangat bermanfaat bagi guru sebagai pendidik. Salah satu manfaat yang kita rasakan adalah menjadi guru yang berhasil dalam mendidik.
Keberhasilan dalam hidup, apakah sebagai pebisnis, sebagai guru, wiraswasta, dan lain-lain, tidak bergantung pada besarnya otak yang kita miliki atau kecerdasan kita saat kuliah dulu, tetapi ditentukan oleh cara berfikir positif- berarti kemampuan affektif. Maka berarti bersekolah sudah tidak tepat lagi kalau hanya untuk mencerdaskan otak, namun membiarkan sikap atau kepribadian menjadi kerdil.
Harus diakui bahwa kita dan semua guru adalah produk dari cara berfikir orang di lingkungan kita- cara mereka merespon dan memberi kita stimulus sejak kecil. Coba ingat dan perhatikan cara berfikir orang tua kita, paman kita, tetangga, atau kenalan kita atau kita sendiri: “kalau badan saya cukup sehat cuma kantong saja yang sakit. Tetangga saya kerjanya cuma goyang-goyang kaki, tiba tiba kok jadi kaya mendadak…,kepala sekolah saya kerjanya mengurus proyek melulu….., Saya ingin maju tapi tidak punya waktu…!” Demikian beberapa komentar, yang terwujud dari cara berbicara dan cara berfikir kita dalam percakapan pribadi. Ini pertanda bahwa kebanyakan cara berfikir kita bisa jadi juga kerdil.
Anak-anak kita dan siswa-siswi kita menjadi orang baik atau menjadi orang buruk juga ditentukan dari cara berfikir kita. “Menurut ku, kamu adalah anak yang baik. Kamu disenangi karena sungguh jujur atau saya tidak sudi lagi menajak kamu belajar di sini, …susah saya lagi untuk percaya padamu”. Kata kata yang kita ucapkan segera kita lupakan namun selalu tertancap dalam sanubari anak, adik dan kenalan kita dan sekaligus akan mempengaruhi pribadi mereka.
Eksistensi (keberadaan) diri kita memang ditentukan dari cara kita berfikir. Apakah fikiran kita menetukan diri kita sebagai guru yang berharga atau tidak. Kalau fikiran kita mengungkapkan diri kita adalah guru yang berharga maka mari kita wujudkan ke dalam penampilan , cara berpakaian, cara berjalan, cara tersenyum dan cara berbicara, Maka kemudian beritahu orang tentang apa yang bisa kita perbuat. “Apa yang bisa saya kerjakan buat anda ?” dan kita tidak akan berucap lagi “Maaf saya tidak sanggup”. Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan kalau kita sungguh-sungguh ingin menjadi guru berhati lapang (berfikiran positif) tanpa pernah membiarkan jiwa tumbuh kerdil,yaitu:  menjaga kualitas human relation, mempelajari tentang bagaimana menjadi guru berhati lapang atau berjiwa besar.
Never let personality grow small
Never let personality grow small atau jangan biarkan jiwa tumbuh kerdil. Ada hal-hal yang perlu kita hindari karena berpotensi membuat jiwa tumbuh kerdil seperti kebisaaan suka berdalih, memompakan pikiran negatif pada banyak orang, anti kerja keras dan malas. Hal-hal sepele ini bisa bercokol pada diri kita dan kadang kala kita pelihara sepanjang waktu.
Tidak bagus jadi pendidik yang gemar berdalih atau mencari-cari alasan. Namun kenyataannya kita gemar melontarkan ekspresi berdalih. Ketika kita diberi amant untuk tampil kita berdalih, “Wah pak, janganlah dulu, saya belum siap…., wah pekerjaan itu terlalu mudah buat saya, atau apakah Bapak tega melihat saya berlumuran Lumpur…!
Selanjutnya cegahlah pertumbuhan jiwa yang kerdil dengan memilki karakter suka belajar/ bekerja keras dan tekun dalam kehidupan  ini. Untuk menjadi sukses, misal menjadi guru inti, menjadi kepala sekolah, menjadi wydiaswara, menjadi penulis sukses- atau sukses pada bidang lain, maka diperlukan ketekunan dan kerja keras. Ki Hajar Dewantoro, telah member model buat kita. Ia  sangat tekun dan suka kerja keras sehingga motonya “ing madya mangun karso, ing ngarso sing tulodo, tut wuri handayani’ dikenang sepajang zaman. Sayang banyak guru kurang paham dengan moto ini lagi.
Human relation
Cara kita berfikir, apakah cendrung berfikir negatif atau malah berfikiran positif, terlihat dalam human relation- hubungan kita dengan manusia lain seperti dengan teman, tetangga, family. Agar guru tidak terjebak dalam gaya berfikir kerdil maka tidak pantas kalau setiap kali berjumpa dengan seseorang, kita terjebak cuma berbicara tentang kesehatan kita sendiri. “saya kurang sehat kemaren tidak bisa mengajar , sudah tiga bulan diserang asam urat… sudah pergi ke puskesmas”. Kemungkinan percakapan tentang kesehatan sendiri akan membuat orang lain bosan, sebab dapat membuat kita menjadi rewel dan terkesan  egosentris.
Masih seputar human relation bahwa kualitas diri kita ada pengaruhnya dari hubungan kita dengan orang lain. Kalau teman kita (walau sebagai guru) rata-rata misalnya pencandu “penyabung ayam atau suka taruhan atas pertandingan sepak bola” pasti kita juga dinilai sebagai guru dengan pribadi negatif- guru yang gemar berjudi. Memang orang dinilai berdasarkan siapa teman-teman  mereka. The bird with the same colour fly together- burung yang sama bulunya terbang bersama.
Hubungan seseorang menentukan keberhasilan mereka. Guru bergantung pada keberadaan siswa, Penjual bergantung pada pembeli, pedagang bergantung pada pembelinya, dan lain-lain. Profesi yang berhubungan dengan pelayanan lebih baik berfokus pada pemberian layanan yang prima- excellent service. Bila ini dilakukan maka pamor (nama baik), termasuk uang, akan datang dengan sendirinya.
Sebagai guru maka sangat bermanfaat bila kita memiliki hati yang hangat. Bagaimana suasanya bila seseorang yang berhati hangat datang menghampiri kita dan mengatakan “hallo”, “assalamualaikum” atau ungkapan greeting lainnya dengan mudah. Ini berarti bahwa ia sedang mengembangkan dan meningkatkan kualitas persahabatan dengan kita. Cara lain yang bisa menghangatkan persahabatan adalah dengan memberi perlakuan VIP (very important person) atau orang kelas satu pada orang lain, termasuk pada anak didik sehingga ini membuat mereka akan menyenangi bidang studi yang kita ajarkan.
Namun jika anak didik melakukan kesalahan, mengapa kita musti dengan enteng- menggunakan kekuasaan, membentak dan marah-marah pada mereka “Kamu keterlaluan pada saya…. tidak bisa menghormati saya sebagai guru”. Bukankah lebih santun kalau guru member nasehat  dengan empat mata. Sebaliknya bila mereka memperlihatkan kerja keras dan hasil belajar yang bagus maka jangan lupa untuk memuji pekerjaan nya. Dalam berkomunikasi guru harus menghindari sikap sarkasme (sikap kasar), sikap sinis dan sikap merendahkan orang lain.
Fikiran positif berasal dari kualitas fikiran
Otak adalah pabrik fikiran yang sibuk menghasilkan produk fikiran setiap waktu. lingkungan dan orang-orang sekeliling kita adalah ibarat laboratorium humaniora bagi diri kita. Kita sendiri adalah ahlinya untuk mengamati labor tadi. Kita dapat mengamati mengapa ada orang yang bisa punya banyak teman atau punya sedikit teman. Mengapa ada orang bisa berhasil atau gagal, atau biasa-biasa saja.  Maka pilihlah dua orang yang berhasil dan dua orang yang gagal, cobalah mengobservasi dan menganalisanya. Maka akan kita temui dua contoh orang yang berfikiran postif dan berfikiran negatif. Mengembangkan pribadi yang pro berfikir positif tentu perlu strategi. Untuk itu ada strategi yang perlu kita lakukan dan hal-hal yang perlu kita hindari.
Ada guru yang memandang profesi guru rendah, “Wah apalah artinya kami cuma guru SD…!” Seharusnya sekalipun kita guru TK, SD, SMP atau SLTA harus tetap memandang diri dan profesi sebagai hal yang berharga- maka kita adalah manusia penting. Jika kita berbicara dengan orang lain, kita rasakan bahwa itu adalah percakapan dua orang penting. Guru yang berpribadi minder mungkin berkata “wah aku adalah orang yang tidak berhasil”. Seharusnya kita harus merasa diri kita penting dan begitu pula semua orang. “Renungkanlah bahwa anda, pasangan hidup anda, teman anda, siswa anda ingin pula dianggap penting. Semua orang mengidamkan prestise, ingin dihormati dan diakui”.
Guru yang merasa dirinya tidak penting berarti sedang menuju kehidupan yang biasa-biasa saja, “Wah buat aku arus belajar keras, bidang studi yang aku ajar bukan bidang studi untuk UN (ujian nasinal). Sehausnya kita menanamkan dalam fikiran bahwa kita dan bidang studi/ profesi kita adalah juga penting.
Hal lain  yang perlu kita hindari, kalau di sekolah ada guru yang santai mencemooh guru-guru yang smart dan bersemangat, Seolah olah berkesimpulan bahwa tidak ada gunanya untuk jadi guru yang tekun dan rajin, “Wah sok rajin, dunia ini tidak akan selesai oleh usaha kita sendiri”. Maka abaikan saja komentar guru atau teman yang berfikiran negatif tersebut.
Menjadi guru berhati lapang- berjiwa besar tidak boleh memonopoli percakapan. Namun coba pula menjadi pendengar, dan dapatkan teman untuk banyak belajar. Menjadi guru yang berhasil berarti harus tidak memiliki kebisaaan “suka menunda waktu, banyak nonton TV dan kebisaaan bergossip”. Namun rencanakan kerja tiap hari- pada malam harinya. Biasakan suka memberi appresiasi pada orang-termasuk pada anak didik,dan  memberi komentar serta respon positif. Hindari memperlakukan manusia (anak didik)  sebagai mesin, untuk diperintah dan diotak-atik. Sangat tepat memperlakuka anak didik sebagai manusia- yang juga perlu dihormati, dibantu dann dipuji secara pribadi.
Tindakan lain untuk menjadi guru yang berjiwa besar.
Bagaimana tindakan lain yang perlu kita terapkan untuk menjadi guru yang dianggap bisa berjiwa besar ? Setiap guru harus menjadi pemimpin untuk dirinya sendiri. Tidak seorang pun yang memerintahkan kita untuk mengembangkan kualitas pribadi. Apakah kita mau berkembang atau tidak, tertinggal atau bergerak maju. Ini ditentukan oleh ketekunan pribadi kita dan membutuhkan waktu, kerja keras dan pengorbanan yang seius. Guru perlu menajamkan fikiran dengan membaca majalah professional pada bidang studi yang kita geluti, dan membaca buku lain seperti buku filsafat, komunikasi, agama, pedagogi  untuk meningkatkan kualitas profesi dan pribadi kita sendiri.
Untuk itu mari kita putuskanlah untuk membeli satu buku yang mendorong semangat tiap bulan dan berlangganan majalah dan jurnal untuk menajamkan gagasan. Nanti akan kita rasakan betapa indahnya menjadi guru yang berjiwa besar. Semoga.

Catatan: David J Schwartz. (1996). Berfikir dan Berjiwa Besar (The Magic of Thinking Big). TErjemah, Fx Budiyanto. Jakarta: Binarupa Aksara
Marjohan M.Pd, Guru SMAN 3 Batusangkar.

Minggu, 01 November 2009

Saatnya Belajar Dengan Cara Yang Menyenangkan

Saatnya Belajar Dengan Cara Yang Menyenangkan
Oleh : Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
 
Dalam abad ke 21 ini sudah ada ribuan atau puluhan ribu sekolah, di persada ini, mulai dari tingkat rendah sampai ke tingkat yang lebih tinggi, dibangun sebagai tempat untuk untuk mendidik generasi muda agar mereka bisa menjadi bangsa yang bermartabat. Sekolah itu sendiri coraknya ada tiga, yaitu sekolah formal, informal dan non formal. Sementara rumah itu dengan eksistensi ayah dan ibu juga dapat dianggap sebagai sekolah pertama bagi anak dalam memahami kehidupan dan menguasai life skill  (keterampilan hidup). .
Kemudian bagaimana cara pandang anak-anak yang belajar di sekolah tersebut ?, Tentu saja juga bervariasi. Ada anak yang memandang sekolah sebagai tempat penyiksaan, karena mereka dipaksa melakukan latihan demi latihan dengan ancaman dan tekanan dari bapak dan ibu guru di sekolah. Ada yang memandang sekolah sebagai penjara, karena terpenjara dari pagi hingga sore sehingga kehilangan waktu untuk menjelajah di sawah dan dimkebun. Kemudian juga ada yang memandang sekolah sebagai pabrik otak. Karena disana ada unsur input/ masukan, proses dan output atau produk, dan anak anak didik dipandang sebagai benda dan siap untuk dilatih dan dilatih melulu tanpa memahami apa dan bagaimana hakekat belajar itu sendiri. Idealnya semua anak musti memandang sekolah sebagai tempat yang menyenangkan untuk transfer ilmu agar berubah menjadi manusia yang lebih beradab. .
Rasa senang dalam belajar adalah masalah suasana hati. Ini diperoleh melalui perlakukan guru dan orang tua melalui dorongan dan motivasi mereka. Sebenarnya yang diperlukan oleh anak-anak dalam belajar adalah rasa percaya diri. Maka tugas orang tua dan guru tentu saja menumbuhkan rasa percaya diri mereka.. Dari pengalaman hidup, kita sering menemukan begitu banyak anak yang ragu-ragu atas apa yang mereka pelajari, sehingga mereka perlu didorong dan diberi semangat lewat kata- kata dan perlakuan.
Agar setiap anak bisa belajar dengan senang dan memperoleh hasil yang optimal, maka orang tua sebagai pengasuh di rumah dan guru dari balik dinding sekolah perlu memperkenakan tentang keterampilan belajar, kemampuan dalam berkomunikasi dan memperoleh lingkungan yang menyenangkan. Ternyata belajar juga memerlukan keterampilan. Agar seorang siswa tidak terjebak dalam kebosanan gaya belajar yang monoton (belajar cuma sekedar mencatat perkataan guru dan menghafal melulu) maka mereka perlu tahu bagaimana cara membaca , cara mencatat, cara mengolah suasana hati yang jitu, cara mengolah lingkungan dan cara berkomunikasi dengan guru dan teman teman selama pembelajaran.
Kemampuan dalam berkomunikasi juga menentukan apakah suasana belajar menyenangkan atau tidak. “Bukankan hidup kita juga ditentukan oleh suasana komunikasi atau seni berbahasa”. Berbahasa ? Tentu saja cara berbahasa itu ada 2 macam yaitu: yang menyenangkan atau cara berbahasa yang mengecewakan. Guru maupun orang tua, walaupun katanya selalu mendorong anak agar jadi pintar dalam belajar namun kadang kala cara berbahasa kurang pas menurut pribadi sang anak. “Aku tidak senang belajar dengan guru itu…. Atau tidak suka dengan suasana di rumah ?”. Tentu saja karena gaya berbahasa yang kasar, cerewet, banyak mengomel, suka membentak, banyak memperolok-olokan sang anak, meremehkan harga diri dan ada belasan cara berbahasa negatif lainnya.
Dua orang yang sedang jatuh cinta bisa hubungan mereka bisa  segera putus gara-gara berbahasa yang tidak simpatik menurut pandangan partnernya. Sebaliknya cinta mereka bisa langgeng karena “cara berbahasa yang menarik” selalu mempertahan cara berbahasa yang sopan, santun dan lembut. Suasana berbahasa yang menyenangkan (bernuansa positif: bahasa yang penuh pujian, dorongan/ motivasi dan penghargaan) dan diikuti oleh lingkungan yang menyenangkan tentulah akan membuat potensi belajar anak akan meningkat.. Suasana lingkungan rumah yang kerap membuat anak tidak nyaman adalah kondisi rumah yang sempit, pengap, sembrawut dan ruangan rumah yang hiruk pikuk oleh suara elektronik (lagu dan tayangan televise) yang cedrung membuat kita sendiri  susah berkomunikasi apalagi berkonsentrasi dalam belajar.
Secara umum mengapa pembelajaran anak kecil lebih sukses dibandingkan pembelajaran yang dilakukan oleh orang dewasa ? Sehingga ada pribahasa yang mengatakan bahwa “Belajar diwaktu kecil ibarat menulis di atas batu (akan selalu berbekas) dan belajar di waktu dewasa ibarat melukis di atas air (apa yang dipelajari akan cepat jadi sirna)”. Penyebabnya adalah selain faktor pertumbuhan otak, masa anak-anak dan remaja disebut sebagai the golden age- masa pertumbuhan otak yang pesat, adalah juga karena anak kecil cenderung melalui instink belajar secara global. Global learning atau belajar secara menyeluruh, ya ibarat bayi atau anak kecil yang meneliti lingkungan lewat mulut, tangan, dan mata untuk mengeksplorasi apa saja apa yang dapat dijangkau.  
Beruntunglah bayi dan anak kecil yang memiliki orang tua yang peduli dalam merangsang mereka dalam global learning- menyediakan sarana bermain dan belajar, kertas untuk dicoret atau untuk digunting, bunyi-bunyian, dan benda-benda lain untuk digengagam dan dilempar. Tanpa diikuti oleh kebiasaan orang tua yang terlalu banyak menolong, mengeritik dan serba banyak melarang. Selanjutnya bahwa untuk membuat suasana belajar bisa menjadi nyaman, sangat dipengaruhi oleh respond dan rangsangan (stimulus) lingkungan serta bagaimana tekhnik belajar/ mencatat dan pengalaman pribadi anak atau kita sendiri.  
Respon dan stimulus lingkungan
Tiap hari anak memperoleh dua macam komentar dari teman, orang tua, dan lingkungan yaitu komentar positif dan komentar negatif. Komentar yang sering terucap berhubungan dengan belajar bisa jadi berupa serangkaian kata-kata pujian atau cacian. “Kamu memang hebat, kamu memang pintar, kamu memang jenius, kamu memang disiplin atau yang negatif: kamu sungguh kurang ajar, kamu betul-betul bodoh, otak mu mungkin sudah penuh dengan pasir, kamu memang idiot, dan ada lagi sejuta kalimat negatif  lain yang sangat ampuh dalam menyayat perasaan sang anak”.
Sangat berbahaya bila sang anak atau sang siswa terlalu banyak memperoleh komentar negatif. Sebab semangatnya bisa jadi melorot. “Percuma saja aku rajin belajar atau rajin bekerja karena toh aku tidak akan pernah dihargai sebagai manusia”. Kalau begitu mengapa kita terbiasa gencar membombardir anak-anak atau orang- orang yang posisinya berada di bawah kekuasan kita dengan stimulus negatif. Mungkin gara-gara merasa sok berkuasa atau sok punya power yang membuat orang merasa mudah melemparkan kritikan dan komentar negatif.
Ada anak yang secara sekilas dipandang sangat beruntung karena tinggal dengan orang tua yang berpenampilan sangat gagah dan fasilitas hidup cukup mewah- punya mobil, disuruh ikut les ini dan les itu. Namun sang anak malah bermimpi bahwa alangkah indahnya kalau bisa pindah rumah. Ada apa gerangan ? ternyata Ia (anak) sering kena ancam atau tidak ada contoh,, “Kamu sudah aku masukan les privat sains dan les privat matematik, kalau masih rendah nilai mu, kau pindah saja sekolah ke kampung”. Itulah karena kebiasaan mengancam dan kritikan negatif, maka kecerdasan anak pada akhirnya akan mandek pada usia sekolah.
Sebaliknya, sekali lagi, beruntunglah anak yang memperoleh rangsangan dan respon positif. Anak anak yang memperoleh kaya rangsangan akan bisa menjadi pelajar yang sukses. Dengan kata lain bahwa lingkungan yang miskin rangsangan dan dan dibombardir dengan respon negatif  berpotensi menciptakan anak menjadi  pelajar yang lamban.
Mengapa guru dan orang tua kok senang dengan misbehave atau salah bersikap ? Jika anak merasa kurang percaya diri, maka bantulah dia. Coba menemukan hal hal positif pada dirinya dan pujilah dia agar rasa percaya dirinya bisa datang.  Komentar-komentar positif dapat membangkitkan percaya diri mereka.  
Orang belajar memang tergantung pada faktor fisik (suasana lingkungan), faktor emosional (suasana hati) dan faktor sosiologi atau lingkungan teman, guru, orang tua dan budaya sekitar. Maka berilah suasana pencerahan pada lingkungan, suasana hati dan suasana sosiologi anak.
Tekhnik menctat dan pengalaman pribadi
Cara belajar dan pengalaman pribadi juga menentuka apakah belajar itu nyaman dan menyenangkan atau tidak. Karakter orang belajar memang sangat bervariasi. Ada yang senang belajar dengan cahaya terang atau agak redup, ada yang belajar dengan berkelompok atau sendiri, ada yang senang belajar pakai musik atau suasana sepi, dan ada yang senang belajar dengan suasana berantakan atau rapi. Maka guru, juga para orang tua, perlu memahami variasi mereka dalam belajar dan jangan pernah terlalu mencampuri variasi belajar mereka - kalau akibatnya membuat anak kurang nyaman dan kurang senang dalam belajar.
Bobbi De Porter dan Hernacki (2002) mengatakan bahwa variasi belajar atau modalitas (cara menyerap informasi) juga bervariasi pada setiap orang. Ada orang atau anak yang mengandalkan kekuatan visual yaitu membaca, karakter orangnya adalah cara berbicara cepat. Ada yang bersifat auditorial atau mendengar, karakter orangnya adalah suka bicara sendiri dan kecepatan berbicara sedang, Kemudian ada orang berkarakter kinestetik atau banyak gerakan. Orangnya susah untuk tenang atau duduk diam dan berbicaranya lambat.
Perlu diingat bahwa dalam belajar, supaya anak juga perlu aktif dalam mencatat. Mencatat dalam belajar bermanfaat untuk meningkatkan daya fakir mereka. Ada dua macam cara mencatat: mencatat dengan membuat peta konsep (menulis poin-poin penting dan membuat hubunganya) dan mencatat tulis susun, atau menulis poin poin penting secara bersusun saja. Kiat tambahan dalam mencatat adalah mencatat untuk mendengar secara aktif, misal dalam seminar, pidato, ceramah.. Usahakan duduk paling depan.
Percaya atau tidak bahwa kita semua adalah penulis. Dorongan untuk menulis itu sama besar dengan dorongan untuk berbicara yaitu untuk mengkomunikasikan fikiran dan pengalaman kita. Selanjutnya milikilah dan perkayalah pengalaman hidup. Milikilah pengalaman pribadi yang banyak dan beragam dengan cara banyak bergaul dan melakukan perjalanan . Sebab orang yang mempunyai koleksi pengalaman pribadi yang banyak akan lebih kreatif dalam belajar dari pada  orang yang kurang pengalamannya.
Selain membiasakan mencatat selama belajar maka anak juga perlu mempunyai minat membaca dan mengetahui cara-cara membaca yang tepat. Perlu untuk diketahui tentang kecepatan membaca. Ada kecepatan membaca yang regular atau kecepatan biasa-biasa saja. Skimming atau membaca dengan melihat cepat, misal membaca buku telepon dan mencari kata dalam kamus. Scanning yaitu membaca sekilas, misalnya membaca headline pada Koran atau melihat daftar.
            Agar kita, anak, siswa dan siapa saja bisa merasakan suasana belajar yang menyenangkan maka musti membiasakan untuk berfikir kreatif. Hidup ini indah atau susah memang ditentukan oleh suasana hati dan fikiran. Berfikir kreatif, bukanlah masalah kerja lebih keras, tetapi berfikir dengan banyak alternatif. Orang yang kreatif senang selalu mencoba, melakukan petualangan dan bermain-main dengan tantangan. Salah satu latihan kreatif adalah bercerita tentang kejadian sehari-hari. “Ibu guru, bapak guru dan ayah-ibu di rumah perlu untuk menyisihkan sedikit waktu agar bisa sharing dan berbagi cerita tentang indah dan mudahnya hidupm ini dengan anak”. Last but not least (akhir kata) bahwa siswa/ anak perlu untuk mengulang materi pelajaran akan meningkatkan daya ingat dan pemahaman, sehingga belajar itu akhirnya memang bias jadi asyik, nyaman dan menyenangkan.

(Catatan :Bobbi De Porter dan Mike Hernacki. 2002. Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung : Kaifa)  Marjohan M.Pd, Guru SMA Negeri 3 Batusangkar.

Sabtu, 31 Oktober 2009

Bila Bersekolah Hanya Untuk Untuk Mencari “Ranking Satu”

Bila Bersekolah Hanya Untuk Untuk Mencari “Ranking Satu”
Oleh: Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
            Pendidikan adalah tanggung jawab masyarakat dan pemerintah. Dewasa ini banyak orang tua telah memperlihatkan partisipasi mereka dalam memajukan pendidikan atau Sumber Daya Manusia (SDM) dengan cara mendukung pendidikan anak-anak mereka. Pemerintah juga mendukung peningkatan kualitas pendidikan melalui lembaga pendidikan atau sekolah, mulai dari pendidikan rendah sampai pendidikan tinggi, mendirikan sarana pendidikan, merenovasi sekolah yang kurang layak, melatih guru-guru dan aparat pendidik, menyediakan fasilitas dan beasiswa untuk meraih jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
            Banyak orang tua yang sudah menunjukan kepedulian terhadap kualitas pendidikan. Mereka tidak segan-segan mengeluarkan dana yang besar  untuk memilih sekolah yang berkualitas bagi putra dan putri mereka. Sekolah sekolah berlabel seperti “sekolah unggul, sekolah internasional, sekolah akselerasi, sekolah percontohan, sekolah plus, dan label lain” pasti diserbu dan daftar tunggu untuk tahun berikutnya sudah dicarter, terutama bagi mereka yang berduit dan peduli pula pada pendidikan bermutu.
Orang tua yang anak-anaknya cuma belajar di sekolah biasa-biasa juga mendukung kualitas dan keberhasilan akademik anak-anak mereka. Namun mayoritas dukungan orang tua  hanya  baru sebatas sugesti. Kalau mereka berjumpa dengan anak-anak yang masih duduk di bangku SD, SMP  atau SLTA maka secara spontan akan terucap suatu ekspresi: “Dapat juara berapa kamu di sekolah ? Mengapa kamu tidak juara….?”. Bila pas musim ujian datang maka orang tua juga akan menebarkan simpati dan bertanya, “Dapat angka berapa kamu dalam ujian ?”.
            Memang simpati dan empati orang terhadap dukungan semangat dalam mendidik baru sebatas menanyakan apakah ada juara atau menanyakan skor yang diperoleh anak lewat ujian. Ada kalanya orang tua sangat bangga begitu memiliki anak yang yang malas belajar, namun setiap kali ujian selalu memperoleh nilai tinggi, atau tiap kali menerima rapor, sang anak memperoleh ranking satu dalam kelasnya. “Aku punya super bandel, malasnya luar biasa….., tidak pernah belajar, jarang uat PR (Pekerjaan Rumah), tapi kalau setiap semester selalu memperoleh ranking satu dalam rapornya. Kalau ujian nilainya ya selalu 90 atau 100”. Demikian celoteh sang ayah atau sang ibu yang mungkin kerap kita dengar dalam kehidupan sehari-hari.
            Namun apakah bapak dan ibu, sang orang tua yang memiliki konsep pendidikan berorientasi ranking satu atau nilai tinggi semata, sadar dan tahu bagaimana cara mereka (anak anak didik) memperoleh nilai atau ranking yang bagus? Anak-anak cerdas dan rajin, selalu belajar keras, mempunyai hak untuk memperoleh skor tinggi dalam ujian dan juara satu dalam rapor pada akhir semester. Namun para orang tua perlu berfikir dan mencari tahu “kok anak pemalas, sering membolos, malas membuat tugas sekolah, bisa juara satu ?”. Atau ada sekolah dengan anak didik yang suka keluyuran saat jam pelajaran dan guru-guru dalam mengabdi penuh kelesuan, tiba-tiba tercatat sebagai sekolah hebat, karena skornya melejit  mengalahkan sekolah yang sudah teruji kualitasnya.
            Nilai 100 yang diperoleh anak pemalas pasti diperoleh lewat cara-cara tidak halal, kemungkinan “anak tersebut memang jago dalam mencontek”. Demikian pula tentang sekolah yang kualitasnya lewat kertas bisa disulap lewat rekaya saat ujian dan tipuan-tipuan jitu untuk mencari pamor sekolah yang penuh kepalsuan. Apalagi yang sering terpantau tentang proses penilaian atau proses asessmen yang dilakukan oleh tim penilai hanya berkutat mencatat dan seratus persen mempercaya data yang ada pada selembar kertas di suatu sekolah. Idealnya mereka mengadopsi kinerja penilaian yang sudah valid dan terpecaya.
            Semua orang di dunia tahu bahwa Amerika Serikat, Jepang, Perancis, Jerman dan Cina adalah Negara yang hebat. Namun dalam penempatan ranking negara-negara yang memiliki SDM terbaik, ternyata bukan negara tersebut yang menempati posisi ‘satu, dua, tiga dan empat”. Dalam indicateur du develepoment humain(IDH) atau indikator tingkat SDM negara yang menempati posisi “satu, dua, tiga dan empat, adalah Norwegia , Australia , Kanada dan Swiss”. Penempatan ranking SDM untuk ukuran dunia begitu cermat dan hati-hati (Francisco Vergara dalam Didiot Beatrice (2001). Sementara penempatan ranking yang dilakukan oleh tim penilai untuk sektor pendidikan di negara kita, seringkali membuat kita “tertawa terbahak bahak” dalam arti kadang kala adalah sangat tidak logika, miskin indicator dan tidak reliable.
            Suatu ketika ada orang tua murid bertanya tentang apakah anak penulis juara satu di kelas atau tidak. “Maaf, anak-anak tidak terlalu saya tuntut untuk jadi juara, kalau juara itu diperolehnya lewat mencotek, atau karena factor saya memberi hadiah pada bapak dan ibu guru nya di sekolah. Yang penting dalam belajar, orang tua selalu memompakan motivasi, menyediakan fasilitas dan memberikan model tentang belajar dan anak-anak pun  sudah terbiasa belajar serta merasakan belajar; membaca dan menukis sebagai kebutuhan primer mereka. Apa gunanya anak juara kelas namun tidak betah membaca, mengeluh kalau disuruh belajar… dikhawatirkan bahwa juaranya diperoleh lewat jalan yang tidak benar, atau sang anak menjadi juara karbitan
Sekali lagi tentang fenomena mencari ranking dan nilai dalam ujian. Bahwa memperoleh ranking di sekolah sebagian diperoleh dan dilakukan dengan cara-cara gentlement atau penuh tanggung jawab – karena sang siswa memang cerdas, tekun dan disiplin dalam belajar. Namun sebahagian yang lain memperoleh dan berjuang mencari nilai dengan cara culas- merendahkan harga diri. Karena malas belajar hingga tidak mengerti maka terpaksa mencontek, melihat catatan agar nilai ujian tinggi dan supaya bisa juara satu (agar orang tua merasa bangga karena sang anak juara). Sebab kalau tidak juara maka anak akan kena bentak “percuma saja kamu rajin belajar, ikut les itu dan ini namun tidak juara. Lihat si Didi  santai santai saja tetapi bisa juara”.
Terlihat bahwa proses perekrutan- atau penerimaan- siswa baru pada banyak sekolah di negeri ini, setiap tahun,  betul-betul belum professional. Hanya berdasarkan pada  porto folio yang datanya susah untuk dipercaya- rapor penuh dengan nilai kasihan atau nilai pergaulan, skor dan ranking kelas diperoleh lewat perjuangan penuh contekan. Memang sebagian nilai porto folio- nilai ijazah, nilai rapor, nilai UN (ujian nasional) sebagian bisa merefleksikan potensi anak, namun tidak jarang juga merefleksikan penuh kepalsuan atas penyelenggaran pendidikan di sekolah sekolah sebelumnya.
Pada suatu sekolah SMP yang agak favorite terpantau nilai sains dan nilai mata pelajaran sosial anak didik berkisar antara 80 dan 90 (sangat luar biasa). Namun dalam PBM (proses belajar mengajar) telah ditebar kekecewaan demi kekecewaan. Angka tinggi dalam ijazah belum mencerminkan kebodohan anak “Wah bagaimana cara guru guru kamu saat di SD memberi nilai, kok nilai kamu 80, 90 dan 100, dalam kenyataaan kamu sendiri tidak tahu dua tabah dua sekarang alias bloon”. Gerutu seorang guru penuh rasa kesal.
Inilah fenomena di lapangan bahwa agar nilai siswa bisa tinggi, maka guru melatih siswa untuk menyelesaikan soal soal ujian lewat program bimbel (bimbingan belaja). Kalau perlu di datangkan guru yang dianggap berbobot dari luar. Namun ada pula sekolah atau guru merekayasa tempat duduk siswa selama ujian (karena biaya bimbel amat mahal dan bias mencekik leher orang tua) agar mereka bisa saling bekerjasa sama- melegalkan budaya contekan. Inilah sekarang sebuah patologi edukasi (penyakit dalam dunia pendidikan) yaitu melegalkan pembohomgan, melegalkan rekayasa, menilai tidak professional dan mendidik tidak sepenuh hati. Orang tua dan masyarakat mungkin heran bahwa anak atau sekolah yang proses pendidikannya tidak sempurna- biasa biasa saja, tiba tiba prestasinya melejit tinggi. Sang anak kemudian di sanjung atau kepala sekolahnya dan guru guru disebut sebut sukses (walau dalam kepalsuan) dalam mendidik siswa mereka.
Program dan budaya mengejar ranking satu dan ujian untuk mencari nilai tinggi tidak ada salahnya asal dikelola dengan jujur, professional dan bertanggung jawab. Namun Syofyan Djalil, Menteri Negara BUMN pada Kabinet Indonesia Bersatu periode pertama (www.nuonline. com) kurang sependapat. Ia mengatakan bahwa system ranking menciptakan generasi pintar namun anti atas kritikan. Dikatakan bahwa pendidikan di Indonesia masih melanggengkan sistem ranking di kelas sehingga para pelajar yang “masuk ranking” tumbuh menjadi manusia yang merasa dirinya pintar, egois dan tidak bisa menerima kritikan.
Di negara kita anak-anak diberi ranking. Akibatnya anak-anak pintar menjadi sangat tidak menarik pribadinya. Akibat sistem ranking ini, para siswa yang juara padahal kemampuannya biasa biasa saja akan merasakan dirinya sebagai “winner” atau jagoan. Anak anak yang sebenarnya pintar tapi karena penilaian tidak reliable- guru kurang fair dalam menilai-  membuat mereka sebagai loser” atau pecundang dan kondisi psikologis ini bisa meruntuhkan rasa percaya diri yang sangat penting tersebut.
Produk sistem pendidikan nasional yang menghasilkan anak-anak pintar namun tidak bisa menerima kritik ini telah dirasakan dampaknya oleh sejumlah lembaga pemerintah dan non pemerintah. Sebagai contoh, Sofyan Djalil menyebutkan sejumlah diplomat senior Departemen Luar Negeri RI tentang  karakter sejumlah diplomat muda yang sekalipun pintar namun “sangat egois” dan “tidak bisa menerima kritikan”. Kekeliruan lain dari sistem pendidikan kita selama ini adalah kurang berkembangnya kreativitas anak didik.
Kini pemerintah, sekolah dengan unsur gurunya, kepala sekolah, komite sekolah dan para alumni, dan juga masyarakat perlu bahu membahu untuk memantapkan kualitas pendidikan dan membina karakter anak anak didik. Adalah patut untuk berfikir dan meninggalkan konsep pendidikan yang terlalu berorientasi kepada berharap nilai dan ranking tinggi, dan tanpa usaha yang professional. Kemudian sangat layak kalau kita membudayakan belajar dengan memberikan penghargaan pada proses pembelajaran yang matang, meningkatkan manajemen dan penilaian, serta menumbuh kembangkan kreativitas dan kesediann menerima kritikan demi kemajuan. Tentu saja bukan asal kritik yang menyedihkan namun kritikan yang santun dan bijaksana.      
(Catatan: Beatrice, Didiot. 2001. L’etat Du Monde: annuaire economique geopolitique mondial. Paris : Editions La Decouverte & Syros .)
 

Marjohan M.Pd, Guru SMAN 3 Batusangkar

Jumat, 30 Oktober 2009

Mendidik dan Membina Karakter Anak Sejak Dini


Mendidik dan Membina Karakter Anak Sejak Dini
Oleh: Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar


Bagaimana karakter bangsa Indonesia di mata bangsa-bangsa di dunia ? Pasti umumnya mereka mengatakan bahwa bangsa Indonesia ramah-tamah dan suka tolong -menolong, gotong royong. Sekaligus bahwa adalah ciri khasnya. Namun coba baca dan ikuti berita yang ada pada elektronik dan media massa cetak dewasa ini. Ternyata banyak orang kita yang  suka berkelahi, korupsi dan saling memaki. Malah kadang-kadang ada siswa dan mahasiswa yang senang tawuran. Ini menandakan pendidikan dan pembinaan karakter di rumah dan di sekolah, prosesnya, kurang memperoleh perhatian penuh. Sebelum deteriorasi- pemburukan- karakter terjadi, maka guru dan orang tua musti peduli untuk mendidik dan membina karakter anak.
Membina dan mendidik karakter, dalam arti untuk membentuk “positive character” generasi muda bangsa ini. Agar positive character terbentuk, maka anak perlu dilatih melalui pembiasaan “mandiri, sopan santun, kreatif dan tangkas, rajin bekerja, dan punya tanggung jawab”.
Melatih anak mandiri perlu pembiasaan sejak usia dini. Ada anak yang sudah menunjukan tanda-tanda kemandirian saat usia kecil, misalnya mereka menolak untuk disuapi dan ingin makan sendiri. Tanda kemandirian yang lain  adalah seperti mencuci tangan, makan, dan memakai sepatu sendiri, sekali lagi bahwa ini adalah awal untuk mandiri dan itu perlu dipupuk. Namun karena orang tua ingin buru-buru dan ingin serba cepat, maka mereka cendrung mengambil alih aktivitas kemandirian anak tersebut.
Seharusnya, demi pendidikan masa depan anak, maka mereka musti melatih kemandirian. Untuk itu biarkan anak berbuat dan biarkanlah salah sampai batas tertentu. Kontrol yang berlebihan dari orang tua dan sikap yang membesar-besarkan kesalahan akan membuat anak jadi ragu dan malu. “Hei jangan begitu…., sandal terbalik terus….!”, Teriakan-teriakan begini berpotensi mematikan kemandirian mereka.
Bagaimana melatih anak agar tahu tentang sopan santun ? Guna mendorong anak supaya bertingkah laku yang penuh dengan kesopanan, maka  orang tua memberi model- uswathun hasanah terlebih dulu. Misalnya orang tua mulai dengan mengucapkan terima kasih dan mengekspresikan pujian dan berterima kasih pada siapa saja, “Terima kasih atas batuan mu telah memasukan sandal papa ke dalam rumah, ……kamu anak yang bagus….!”. Yang harus diingat dalam melatih anak adalah bahwa jangan berharap anak berusia empat tahun bertinggah seperti anak usia tujuh tahun.
Kreatifas dan ketangkasan anak juga perlu dipupuk- dimotivasi terus. Kreatifitas yang dimiliki seseorang/ anak sebenarnya  berasal dari imajinasi, sebagai kumpulan dari ide-ide mereka. Imajinasi dapat memuat mereka menjadi kreatif. Kreatifitas anak sangat tergantung pada kesempatan yang diberikan lingkungan. Kreatifitas harus dirangsang sedini mungkin- sejak usia kecil- usia dua atau tiga tahun dalam suasana bermain.  Orang tua perlu merangsang kreatifitas mereka lewat proses interaksi dan menyediakan fasilitas bermain. Untuk membuat anak kreatif, pendidik (guru dan orang tua) harus menerima eksistensi anak apa adanya dan tidak cepat memberikan kritik pada tingkah laku dan kebebasan mengungkapkan perasaan.
Membiasakan anak untuk rajin bekerja adalah cara lain untuk mendapatkan anak yang berkarakter positif. Untuk itu orang tua musti membolehkan anak untuk memilih pekerjaan atau tugas rumah yang paling disukainya dan jangan berharap agar ia bekerja sempurna. Agar pekerjaan anak meningkat kualitasnya, maka orang tua perlu memotivasi dan sering memberi penghargaan atas keberhasilan kerja yang mereka lakukan.
Tampaknya anak yang ideal, karena memiliki karakter positif, juga perlu menyukai olah raga. Mereka perlu diajar untuk berolah raga agar otot-otot, paru-paru dan jantungnya kuat. Anak-anak  yang gemar berolah raga, tubuh mereka tampak tegap dan kekar- tidak lemah atau lunglai.
Selanjutnya tentang melatih tanggung jawab pada anak.  Perlu kita ketahui bahwa tanggung jawab tidak terpasang sejak lahir. Ia perlu dilatih setiap hari, dan melibatkan anak-anak dalam kegiatan di rumah. Bentuk pelaksanaanya adalah dengan memberi mereka pekerjaan yang tetap. “menyiram bunga dan menyapu teras adalah tanggung jawab Nadilla, menyapu rumah dan membuang sampah adalah tanggung jawab Fakhrul, memasak nasi, membersihkan dapur dan kamar mandi adalah tugas Kak Hafiza……!”. Demikian cara orang tua menanamkan tanggung jawab melalui pembagian tugas. Barangkali pada mula memperkenalkan pembagian tugas atau tanggung jawab ini, sebagai disiplin kerja, mungkin terlihat sedikit dalam sikap yang agak otoriter  (agak tegas) agar anak bisa menurutinya.
Tiap anak berpotensi terjebak ke dalam karakter negative, maka orang tua pun perlu untuk memahaminya. Beberapa bentuk karakter negative seperti anak suka berbohong , pemalu, anak merasa minder, bersifat agresif, suka membangkang, dan kebiasaan bertengkar. Karakter negative tentu ada pemicunya dan orang tua tentu perlu bersikap bijak dalam menghdapinya..
Mengapa anak suka berbohong ? Penyebabnya adalah karena orang tua yang terlalu gemar memberikan hukuman, membentak anak, sehingga jadi berbohong. Berbohong karena mereka takut diberi hukuman atau sebagai strategi untuk menutupi rasa malu. Adalah sangat bijak bila orang tua lebih gemar memberi pujian- penghargaan- dari pada gemar menghukum dan membentak sang anak- kecuali memberikan hukuman yang lebih menyentuh/ bersifat educatif.
Bagaimana strategi orang tua dalam menghadapi anak yang penakut ? Maka terlebih dahulu orang tua musti memahami penyebab timbulnya rasa takut pada anak. Jangan remehkan perasaan takut anak kecil. Terimalah ungkapan takut anak, tetapi jangan membesar-besarkan ketakutan itu. Menghilangkan rasa takut dengan membujuk dan mendekatkan anak pada objek yang ditakuti perlahan-lahan. Orang tua perlu tahu bahwa rrasa takut dapat hilang berangsur-angsur, bukan dalam sekejap mata.
Dalam hidup ini selalu ada anak yang berani dan anak yang pemalu. Sifat pemalu timbul karena anak yang kurang suka bergaul dengan orang lain, tidak mudah mencari teman, pendiam dan dicap sebagai anak pemalu. Perlu untuk dipahami bahwa anak pemalu biasanya juga bersifat pendiam dan suka memilih-milih teman. Namun bila ia sudah terbiasa dengan teman atau lingkungan sosial tertentu maka karakter malunya akan tanggal/ lepas.
Rasa malu dapat diakibakan oleh kurangnya rasa Pe-de (percaya diri). Percaya diri terganggu karena kebiasaan orang tua yang suka membanding-bandingkan anak, anak kurang bergaul, atau orang tua terlalu melindungi anak sehingga anak jadi kurang mandiri dlam bergaul- mencari teman. Untuk mengatasi sikap malu- maka orang tua jangan menggelari anak-anak sebagai “pemalu” dan biasakan untuk menghargai anak, rangsang anak untuk mengekspresikan perasaan serta pendapatnya di rumah.
Ada anak yang suka minder- atau merasa rendah diri atau inferior complex. Perlu untuk diingat bahwa orang minder sulit untuk maju dan tidak suka untuk berbuat. Rasa minder timbuk setelah memasuki masyarakat.  Minder penyebabnya karena faktor biologis- cacat fisik- dan gangguan psikis. Faktor lain adalah karena kebiasaan orang tua dalam membandingkan anak yang inferior dengan anak yang superior, “lihat kakak mu cerdas, kamu kok blooon, terus”. Kebiasan seperti ini, sekali,  dapat menyebabkan anak menjadi minder. Untuk mengatasinya maka terimalah eksistensi anak apa adanya. Kalau anak belum berhasil, jangan dikritik, tetapi besarkanlah hatinya dan sekali lagi- jangan membandingkan anak.
Cukup banyak anak yang berprilaku agresif. Karakter agresif bisa merugikan eksistensi mereka dalam bergaul, karena banyak orang kurang menyukai karakter agresif. Dalam bahasa Minang anak agresif juga disebut sebagai “anak yang lasak”, atau terkesan suka mengganggu atau usil. Karakter agresif terbentuk pada mulanya karena anak dalam keadaan lelah atau sakit, dan mereka mudah jadi agresif.
Anak yang sedang bersedih atau sedang takut juga mudah agresif. Anak yang tidak punya permainan bisa menjadi bersedih dan selanjutnya menjadi agresif. Sebaiknya orang tua memberikan kesan yang tenang dan tidak emosi terhadap anak yang agresif. Untuk menyalurkan agresif anak, ya dengan melakukan olah raga dan olah otot.
Karakter suka membangkang, ini terbentuk karena orang tua suka bersikap keras dan mendikte. Untuk itu orang tua seharusnya menghadapi anak-anak yang pembangkang dengan tenang dan wajar saja.  Agar anak tidak membangkan maka tidak usah terlampau sering menyuruh anak mengerjakan ini dan itu. Biarkan ia mengenakan dan memakai baju dengan cara sendiri.
Bertengkar kadang kadang atau malah sering mewarnai kehidupan rumah, sekolah dan sosial. Kalau pertengkaran antar anak terjadi di rumah maka orang tua tidak perlu mengusut siapa yang salah atau benar. Lebh baik anjurkan anak supaya berdamai dan alihkan perhatikan mereka.
Bagaimana kalau yang bertengkar bukan anak, tetapi malah adaltah dan ibu itu sendiri ? Bila ada beda pendapat, pertengkaran,  antara ayah dan ibu maka tidak dibenarkan ayah dan ibu untuk menyalahkan pasangan di depan anak anak dan mereka harus menahan emosi. Membesar besarkan kekurangan anak, atau kekurangan seseorang hanya menimbulkan perselisihan belaka.
Pertengkaran juga bias disebabkan dari cara berkomunikasi yang tidak cocok, terlalu suka meledek, suka bercanda yang menyinggung pribadi, tidak menghiraukan pembicaraan orang. Pertengkaran ayah dan ibu di depan anak dapat mengganggu psikoseksuil dan watak anak.  Ibu yang sering menjelek-jelekan ayah didepan anak laki-laki, berpotensi membuat anak laki laki kurang maskulin, dan sukar jatuh cinta dengan lawan jenis.
Some do’s dan some don’t’s untuk orang tua, some do-s, berarti beberapa anjuran, dan some don’t’s, berarti beberapa larangan bagi orang tua terhadap anak dan berpotensi dalam menumbuh-kembangkan karakter positif mereka. Beberapa anjuran terhadap orang tua dalam membina karakter anak adalah seperti melowongkan waktu untuk melakukan traveling, berkomunikasi, menumbuhkan sikap ingin tahu dan meningkatkan aktivitas untuk menumbuhkan potensi kognitif anak. Sementara orang tua disarankan agar tidak terlalu memanjakan anak dan jangan terjebak dengan kebiasaan “asal serba melarang”.
Aktivitas traveling sangat bermanfaat untuk menumbuhkan kecerdasan anak dalam memahami alam dan lingkungan. Seharusnya bila keluarga melakukan kegiatan traveling maka jadikanlah anak bagian dari rencana traveling orang tua. Kalau melakukan traveling maka sediakan kesibukan untuk anak supaya mereka tidak rewel atau bosan; dengan menyediakan  mainan, bacaan, makanan dan minuman.
Komunikasi adalah sarana untuk menyatukan hati atau emosi semua anggota keluarga. Komunikasi harus dipelihara sejak anak-anak masih kecil, sampai mereka remaja dan dewasa. Disamping berkomunikasi, orang tua juga perlu untuk bekerja sama dengan anak. Komunikasi yang baik dimulai dengan menjadi pendengar yang baik. Orang akan terbuka kalau fikiran dan ide-ide mereka diperhatikan.
Agar memiliki anak yang cerdas dan punya karakter positif maka orang tua perlu untuk menumbuhkan sikap ingin tahu. Sikap tidak buru buru dalam mencampuri privacy- hak pribadi anak- adalah salah satu cara untuk menumbuhkan rasa ingin tahu mereka. Dalam menanamkan pengaruh pada anak, orang tua lebih efektif lewat contoh atau model langsung, daripada melalui ceramah, khotbah atau penjelasan secara lisan. Karena penjelasan secara lisan akan mudah dilupakan. Namun pengalaman yang nyata cendrung akan diingat sepanjang hayat.
Bermain juga bisa merangsang rasa ingin tahu anak. Oleh sebab itu tidak ada gunanya memarahi anak kecil yang tengah asyik bermain. Orang tua perlu menyediakan waktu untuk mengamankan benda kesayangan atau benda yang membahayakan dari jangkauan anak. Jika orangtua merangsang sifat ingin tahu anak, kemungkinan besar inteligensinya dan daya cipta mereka akan meningkat.
Rasa ingin tahu anak juga tumbuh melalui pergaulan. Pengalaman bergaul sangat besar pengaruhnya bagi proses perkembangan anak, baik pengalaman pahit maupun pengalaman yang manis, dan kedua-dua bentuk penglaman tersebut sama pentingnya.
Orang tua juga perlu untuk menumbuh kembangkan kognitif, otak, anak. Kecerdasan kognitif bisa memberi dampak pada pembentukan karakter positif  Aktifitas yng lain untuk kognitif seperti menggambar, musik, dan menyediakan buku bacaan.
Sejak usia kecil anak-anak suka coret coretan- namun orang tua yang gemar melarang, berpotensi membunuh kreatifitas anak. Beruntunglah anak yang punya orang tua menyalurkan aktifitas ini. Aktifitas lain yang disenangi anak adalah menggambar. Kegiatan menggambar dapat mebantu anak untuk memahami dunia sekitar mereka.
Musik merupakan konsumsi jiwa. Ia dapat memberikan perasaan tenang, rasa sedih, senang dan gembira. Bagi kehidupan anak dan remaja, tidak ada instrument yang lebih baik daripada musik. Akhirnya, anjuran yang patut untuk dilakukan orang tua pada anak adalah menyediakan buku bacaan untuk anak.
Betapa besarnya peran buku dalam kehidupan anak. Banyaknya seorang anak dibacakan buku atau diberi dongeng dalam usia dini/ atau usia muda sangat menentukan suksesnya kelak mereka di sekolah. Anak yang kurang suka buku karena buku tidak menarik, atau orng ua agak terlambat memperkenalkan buku, atau juga kurang memberi rangsangan untuk membaca pada anak. Bila kemampuan membaca anak sudah bagus, maka selipkanlah buku non fiksi. Buku adalah karcis untuk pergi ke mana-mana dan membaca adalah cara terbaik untuk mengisi jiwa dan otak.
Akhir kata ada dua hal yang perlu untuk ditinggalkan oleh orang tua, yaitu terlalu memanjakan anak dan kegemaran serba melarang. Anak terlalu manja- memenuhi segala keinginan anak dan serba dilindungi- akan sulit untuk melepaskan diri dari orang tua. Ia sudah merasa aman dalam perlindungan orang tua dan takut menghadapi dunia luar. Tidak perlu terlalu memenuhi perhatian anak yang butuh perhatian, cuekan saja. Ini berguna agar ia dapat mandiri dalam hal emosi. Sebab rasa sayang tidak berarti menuruti semua keinginan anak. Berjuta anak di dunia menjadi rusak karena dimanja dan terlalu dilindungi.
Jangan asal melarang, orang tua tidak perlu asal melarang anak. Tetapi tanpa melarang seorang anak mungkin kehilangan arah dan keseimbangan jiwa. Jangan melarang kegiatan yang dibutuhkan anak untuk perkembangan  dan pertumbuhannya. Dalam melarang orang tua tidak perlu mengomel atau memaki yang tidak karuan . Ini dapat membuat anak merasa benci pada orang tua. Maka kini agar bangsa Indonesia dan generasi muda Indonesia tetap memiliki karakter terpunyi maka guru dan orang tua perlu mendidik dan membina karakter mereka secara total,



Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...