Selasa, 16 November 2010

Prestasi Besar Butuh Karakter Yang Hebat

Prestasi Besar Butuh Karakter Yang Hebat
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

Ternyata orang-orang hebat tidak hanyak datang dari benua Eropa atau Amerika, atau tidak hanya datang dari Jepang atau Australia , namun juga bisa berasal dari Indonesia . Barangkali orang hebat tersebut bisa jadi kita sendiri. Markis Kido dan Hendra Setiawan (Bobo, tahun XXXVI, 11 September 2008) misalnya adalah dua tokoh berusia sangat muda berasal dari Indonesia . Mereka begitu kompak meraih medali emas pada olimpiade Beijing melalui olah raga bulu tangkis.

Untuk mampu meraih prestasi hebat, apalagi untuk tingkat dunia, tentu tidaklah mudah. Semua harus melalui perjuangan yang berat dan hebat. Mereka harus melewati hadangan permainan dunia yang lain, yang juga sangat hebat dan tidak terkalahkan. Bagi Markis Kido dan Hendra Setiawan, saat meraih juara dunia, usia mereka barus berkisar 23 dan 24 tahun. Tentu titik awal sukses pada usia tersebut telah mereka rintis sejak dini. Mungkin pada masa anak-anak atau pada masa remaja- yaitu usia belajar di SD atau di SMP. Di mana pada masa anak-anak lain banyak bermanja-manja atau berhura-hura, mereka tekun merintis mimpi mereka. Yaitu berlatih dengan tingkat porsi belajar/ berlatih/ berkarya yang juga hebat untuk menuju prestasi yang besar.

Dalam kenyataan bahwa orang Indonesia juga mampu meraih juara dunia dalam usia yang relatif muda. Gita Gutawa yang saat itu berusia 14 tahun (Nurhayati, 2008: 2-3) mengikuti festival music pada Nile Song Festival yang berlangsung di Cairo mampu mendapat penghargaan Grand Prix winner- penghargaan tertinggi. Ia juga mendapatkan predikat terbaik dari seluruh kelompok peserta hingga meraih juara umum. Ini merupakan seleksi dari 85 negara. Tim juri juga mengatakan bahwa mereka belum pernah menemukan penyanyi usia remaja yang berkualitas seperti Gita.

Prestasi besar yang ia peroleh sebagai juara dunia bukan terjadi secara kebetulan. Prestasi tersebut diraih bukan secara instant- “sekarang berlatih, besok juara”- atau prestasi yang ia peroleh juga tidak jatuh dari langit. Namun ia peroleh melalui serangkaian persiapan dan proses yang hebat.

Dunia musik bukanlah hal yang baru bagi Gita. Sejak kecil ia hidup dalam lingkungan pemusik. Faktor lingkungan sangat menentukan keberhasilan bagi seseorang. Ketika duduk di kelas 2 Sekolah Dasar , ia sudah mulai belajar bermain piano klasik. Ia juga memperkuat ilmu musiknya dengan mempelajari music jazz, bahkan melengkapi dengan mengikuti privat piano dan gitar. Dukungan orang tua juga menentukan. sejak kecil orang tuanya menanamkan sistem belajar yang mandiri dan bekerja juga mandiri. Ia bukan tipe anak manja.

Tulisan ini tidak terfokus tentang juara dunia asal Indonesia , tetapi tentang bagaimana seseorang bisa meraih prestasi level dunia. Ada artikel yang membahas tentang karakter yang perlu dimiliki bila seseorang ingin berprestasi yang hebat- ya seperti prestasi untuk level dunia (http://arifperdana.wordpress.com). Artikel tersebut menjelaskan bahwa tokoh olah raga yang ngetop di tahun 1970-an dan 1980-an, yaitu Muhammad Ali, adalah jago tinju sejati sedunia. Itu karena ia berkali-kali menang adu tinju kelas dunia. Kemudian Joe Girad adalah jago jual sedunia- world class achiever- karena selama 12 tahun berturut turut ia berhasil menjual puluhan ribu mobil sedunia.

Ia juga tokoh hebat, namun dalam dunia bisnis, yang bisa disejajarkan dengan Rudy Hartono (pemain bulu tangkis), Karpov (jago catur), Pele (jago sepak bola). Pengalaman Joe Girad menjadi jago dunia tentu karena ia memiliki karakter hebat. Karakter hebat ini mungkin bagus untuk disadur.

Paling kurang ada sepuluh karakter hebat atau karakter positif yang dimiliki oleh seseorang yang berprestasi hebat tersebut. Karakter tersebut adalah seperti memiliki tekad baja, memiliki visi dalam berkarya, berkarakter tekun dan tabah, selalu berfikir positif, bersemangat dan antusias, memiliki kemampuan dalam relasi antar manusia, bersikap kreatif, bersikap jujur, pandai berkomunikasi, dan selalu bersikap konsisten.

Siapa saja bisa berhasil apalagi sampai pada level dunia. Untuk itu ada beberapa kebiasaan negative yang perlu diusir yaitu mengatasi rasa malas, rasa takut, keterbatasan pengetahuan, dan keterbatasan relasi dengan manusia lain. Bahwa adakalanya orang yang berprestasi level dunia tidak lulus SMA dan bearasal dari keluarga yang miskin. Namun mereka punya tekad atau motivasi untuk berhasil dan berjuang untuk melawan kelemahan diri dengan mencari banyak pengalaman. .

Untuk meraih sukses ternyata perlu mimpi atau visi. Visi tentu mempunyai manfaat. Manfaat terbesar dari visi adalah untuk memberi arah dan tuntutan. Dengan demikian upaya dan kegiatan menjadi efektif dan sekaligus juga efissien. Orang yang tidak punya visi tentu akan gampang teralihkan dan kemudian terombang ambing. Sebahagian remaja sekarang ada yang belum punya visi, sehingga mereka bingung tentang aktivitas apa yang akan mereka tekuni di masa depan. Kalau demikian bahwa visi sangat perlu untuk dimiliki.

Menjadi orang yang sukses, apalagi untuk level dunia, musti memiliki karakter tekun dan tabah. Bayangkan andai Zidane tiba-tiba malas berlatih bola kaki atau Lance Amstrong malas latihan balap, mereka tentu tidak akan jadi juara dunia. Bertekun dalam mengerjakan sesuatu tentu memerlukan pengorbanan. World class achiever sangat memahami arti ketekunan ini. Menunda sebuah pekerjaan yang penting demi nonton filem adalah contoh ketidak tekunan.

Kemudian mereka juga perlu memiliki fikiran positif. Fikiran positif adalah sikap dasar yang harus dipertahankan. Sikap positif tentu berasal dari fikiran yang positif. Mereka perlu berfikir bahwa bekerja itu sehat, kejujuran adalah modal hidup, komitmen sangat diperlukan dalam kerja, kerjasama dan ketabahan sangat penting dan juga perlu memiliki sikap pemaaf. Poin-poin yang kita sebutkan tadi adalah bagian dari karakter positif untuk memperkuat pikiran positif. Selalu berfikir positif dapat menyehatkan jiwa menjadi pribadi yang positif.

Para jago dunia dan orang-orang sukses selalu bersemangat dan antusias. Antusias sendiri berarti “kegairahan, semangat yang besar dan kegembiraan yang besar (Echols dan Shadilly, 2006). Gaya bersemangat dan antusia dari Joe Girard terlihat saat ia memberikan seminar. Ia berlari, melompat dan berteriak. Suaranya melengking, bergetar dan membahana. Lain kali suaranya mengecil dan berbisik sambil menangis. Ia berbicara dengan hati dan emosinya. Tentu saja tiap orang punya karakter antusias dan semangat yang berbeda. Namun paparan karakter tadi adalah deskripsi emosi antusia dari Joe Girard.

Jago dunia yang bergerak dalam bidang bisnis, seperti pemiliki merek dagang Philip, Samsung, Carrefour, Pizaa Hut, dan lain-lain mutlak perlu berhubungan dengan banyak orang. Semakin maju bisnis mereka maka semakin banyak mereka harus berhubungan dengan orang lain. Pemilik merek dagang yang kita sebutkan tadi tentu telah melayani puluhan atau ratusan juta orang di dunia. Dapat ditebak bahwa kunci sukses mereka dalam bisnis karena mampu menangi kebutuhan manusia. Tentu mereka harus mengiklan diri dan menjumpai banyak orang, mendengar keluhan dan memperkecil keluhan tadi. Prinsip human relation mereka adalah mereka menyukai orang dengan sungguh-sungguh. – love customers honestly, genuinely and sincerely.

Jangan biarkan otak ngawur atau blank. Karena sukses level dunia harus kreatif otaknya. Menjadi jago dunia tentu dambaan banyak orang. Untuk itu mereka musti punya energi, semangat, antusias, keterampilan dan percaya diri yang gede. Bila ini sudah dimiliki namun belum punya strategi maka akan sia-sia. Strategi adalah tugasnya otak yang kreatif atau kognitif yang kreartif. Ide-ide yang baru berasal dari otak yang kreatif- yang kaya dengan imajinasi. Otak yang kreatif tidak mutlak monopoli dari pendidikan formal atau dari universitas. Otak yang kreatif tergantung kepada pemilik otak tersebut dalam merawat dan menumbuhkan kembangkan kekuatan imajinasi dan keberanian.

Juga perlu diingat bahwa kejujuran adalah kunci suskses. Ada orang yang beranggapan bahwa kejujuran itu tidak penting, namun begitu seseorang tahu bahwa ia telah dibohongi maka pelaku kecurangan (orang yang tidak jujur tadi akan ditinggalkan). Kejujuran adalah landasan kepercayaan dan kepercayaan adalah basis dari hubungan baik. Selanjutnya hubungan baik sarana dalam berbisnis. Maka kalau ingin berbisnis yang selalu langgeng maka kita perlu berlaku jujur pada pelanggan.

Ada pribahasa berbunyi : hewan diikat dengan tali dan manusia diikat dengan kata. Manusia diikat dengan kata berarti bahwa kata-kata sebagai alat berkomunikasi itu sangat penting. Menjadi sukses untuk level apa saja- apalagi untuk level nasional dan level dunia maka perlu memiliki kemampuan berkomunikasi. Orang yang ingin sukses tidak perlu pasif dalam berkomunikasi- dengan arti kata harus mampu berkomunikasi. Musti aktif bertanya, aktif menyapa, aktif memuji, aktif mensugesti dan aktif mendengar akhirnya kita terbawa aktif. Tidak hanya menggunakan mulut, tapi juga bahasa tubuh, mata, tangan dan senyuman. Pokonya musti menjadi orang yang aktif, positif dan dinamis dalam berkomunikasi. Rasa takut dan jarak antar manusia tidak perlu ada dalam berkomunikasi. Namun yang perlu ada adalah suasana fun- menyenangkan- ada rasa menerima, menyenangi dan mendengar dengan siapa kita berkomunikasi. Kalau begitu orang jago musti pintar mengkomunikasikan isi hati dan isi fikiran kepada teman bicaranya.

Terakhir bahwa orang yang ingin menjadi jago atau suksesd perlu mempunyai karakter konsisten. Kalau aktif dalam bidang bisnis dan berhubungan dengan orang banyak maka mereka harus bersikap ramah, baik, melayani, menolong, memberi perhatian, menghormati dan berusaha memuaskan klien. Tentang hal ini sudah diketahui oleh banyak orang. Tapi mereka hanya sebatas tahu saja- idealnya menerapkan secara sungguh-sungguh dan konsisten.

Ya benar bahwa untuk meraih prestasi hebat maka dibutuhkan persiapan besar. Orang hebat tidak mutlak monopoli dari benua Eropa dan Amerika, atau juga bukan monopoli Negara maju atau lembaga pendidikan yang maju. Siapa saja bisa jadi jago atau sukses. Untuk menjadi jago maka perlu persiapan, latihan dan proses usaha yang posrsinya cukup besar. Mereka perlu lingkungan kondusif- yang memberikan rangsangan dan tantangan serta dukungan dari guru dan orang tua. Selanjutnya mereka perlu memiliki karakter dan sikap positif seperti memiliki tekad baja, memiliki visi dalam berkarya, berkarakter tekun dan tabah, selalu berfikir positif, bersemangat dan antusias, memiliki kemampuan dalam relasi antar manusia, bersikap kreatif, bersikap jujur, pandai berkomunikasi, dan selalu bersikap konsisten.

Catatan: 1) Echols, John M dan Hassan Shadily .(2006). Kamus Inggris Indonesia . Jakarta : Pt Gramedia, 2) Nurhayati Tafsir (2008). Meniti Karir Masa Depan. Jakarta : Pt. Tunas Melati.

Sabtu, 06 November 2010

Menomorduakan orang kecil

Menomorduakan orang kecil
Oleh : Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

Umumnya orang ingin dianggap penting. Minggu lalu seorang teman mengirim sms (short message service) mengatakan bahwa ia sedang di Semarang mengikuti konferensi yang tempatnya di sebuah hotel bagus. “dear friend,saya lagi di Semarang mengikuti konferensi”. Tentu saja yang ia butuhkan adalah kata-kata ucapan atas partisipasi, posisi dan prestasinya, “selamat ya sobatku….!” Anak kecil yang baru saja dibelikan satu stel pakaian bagus dan sangat disukainya, akan memamerkan pakaian tersebut. Ia akan menceritakanya pada banyak orang di rumahnya, atau malah juga menceritakanya kepada teman-temannya di sekolah tentang pakaian bagusnya tersebut. Ia juga menceritakan betapa ia disayangi oleh om dan tantenya.

Seorang ibu yang memiliki anak cerdas di mana-mana juga akan sering bebagi cerita bahagia dengan tetangga dan teman-temannya tentang anaknya.”Anak ku ada-da saja sudah bisa memainkan piano dengan lagu Mozart”. Fenomena ini menunjukan bahwa betapa penting dan berhaganya dirinya dan diri keluarganya. Pendek kata banyak orang ingin dipandang sebagai orang beharaga- orang penting atau orang nomor satu.
Menjadi orang penting atau menjadi orang nomor satu termasuk kebutuhan jiwa- kebutuhan aktualisasi (actualization need). Namun dalam kenyataan cukup banyak orang yang kurang menyadari dan kurang tahu cara membuat orang merasa nomor satu. Terutama terhadap orang-orang kecil. Mungkin kecil usianya, kecil pengalamannya, kecil uangnya dan juga kecil status sosialnya.

Walau seorang anak usia play group atau TK (Taman Kanak Kanak) memperoleh banyak perhatian dan pemanjaan, namun dalam berkomunikasi sering dinomorduakan oleh papa dan mamanya. Bila ia ngobrol, orang tua jarang mendengar dengan sepenuh hati atau pura-pura mendengar dan menjawab sembarangan. “Ibu…bumi itu bulat,….”, “Ibu….sekolah Sani akan dikunjungi tokoh cilik …” Dan ibu merespon “ya…, ya…, ya….”. “Ah mengapa ibu bilang ya…ya …terus”.Celetuk sang anak dengan jengkel.
Respon yang demikian masih tergolong bagus. Pada beberapa rumah malah ada orang tua akan membentak atau mengeluh atas pertanyaan anak yang tidak henti-hentinya. “Wah Eriko …kamu bertanya terus….aku bosan,….udah tutp mulutmu”. Mencela anak yang demikian selanjutnya akan membuat anak menjadi enggan untuk banyak berbicara. Membentak dan mencela anak sangat berpotensi mematikan kemampuan berkomunikasinya atau juga akan meniru gaya komunikasi tersebut, sehingga ia kelak juga akan mendamprat anak anak dan orang lain yang dipandangnya banyak ngomong. Mengomel dan menomorduakan anak akan membuat mereka jadi malas untuk berkomunikasi, mengekspresikan fikiran/ perasaanya dan kelak bila remaja atau dewasa mereka akan menjadi orang yang senang menutup diri.

Menomorduakan orang kecil tampaknya sudah menjadi fenomena sosial. Di sekolah siswa atau remaja yang merasa pintar (atau di kampus, mahasiswa yang merasa pintar) adakalanya memonopoli kegiatan akademik. Teman yang dianggap kurang pintar cenderung menjadi penonton dan orang yang pasif. Di kantor, sering seorang kepala atau seorang boss yang sedang sibuk dengan gampang marah-marah dan membentak karyawan yang dipandangnya sebagai orang-orang kecil, orang orang yang mereka anggap remeh- rendah pangkat dan posisinya. Orang orang kecil ini terpaksa menerima bentakan atau terpaksa ikhlas sebagai tumbal tempat kesal.

Sungguh tidak enak menjadi orang yang dinomor-duakan. Sekali lagi bahwa orang cenderung dinomorduakan karena faktor usia, derajat akademik, kepintaran, posisi status sosialnya dan lain-lain. Orang-orang yang cendeung menjadi nomor dua juga cenderung memperoleh pelayanan kurang prima pada beberapa akses public.
Suatu kali teman penulis dengan pakaian santai melewati tempat pesta orang gede. Tiba-tiba tangannya dipegang oleh seorang sekuriti dan menggiringnya agar menjauh- tidak melewati wilayah pesta. “Maaf mas, mohon tidak lewat di sini”., “Wah sial amat aku tadi siang, bisa jadi kalau aku bergaya lebih keren dari yang sedang berpesta itu”. Celetuk sang teman dengan kecewa. Lagi-lagi betapa hati tidak enak menjadi orang kecil dan orang yang dimor-duakan.

Namun pada lain kesempatan, teman penulis mau mengikuti seminar. Berpakaian necis dan memakai parfum harum hingga ia terlihat sangat tampan, Tiba-tiba angin nakal bertiup dan butiran partikel kecil masuk ke dalam mata dan membuat matanya amat perih. Beruntung ia bisa pergi ke UGD (Unit Gawat Darurat) pada rumah sakit terdekat dan seketika enam orang para medis dan dua dokter bersimpati dan memberi bantuan- pelayanan ekstra prima padanya. “‘Amit-amit gara-gara penampilan aku yang sangat keren aku memperoleh pelayanan prima tadi siang, pada hal di sana ada tiga orang yang juga butuh bantuan”.

Tidak enak menjadi warga yang dinomor-duakan. Respon orang juga berbeda atas perlakuan ini. Seorang ibu yang sebenarnya kaya dan termasuk orang terpandang, memiliki tiga ruko cemberut terus gara-gara merasa dimor-duakan oleh seorang penjual nasi goreng di restoran kecil. Esoknya dia pergi membeli nasi goreng lagi naik mobil mengkilat dan memakai gelang emas dua kilo dan kalung empat kilo. Maka buru-buru pelayan restoran melayaninya.

Gara-gara merasa dinomor-duakan seorang ggadis, mahasiswa sebuah Universitas, minta putus hubungan dari kekasihnya. Gara-gara dinomor-duakan- dilupakan saat memberi oleh oleh buat saudaranya-seorang remaja tanggung mencuri uang dari kantong ayahnya “Ayah tidak adil, aku tidak dibelikan sate…mereka makan enak, aku dilupakan”.

Gara-gara dinomor-duakan oleh pedagang langganannya, maka seorang pembeli menjadi ngambek untuk jadi pelanggan. Gara-gara dinomor-duakan dalam pelayanan kesehatan maka banyak orang yang memilih pergi berobat ke Melaka, di negeri jiran- Malaysia.
Sebenarnya kita tidak perlu berkecil hati dan sedih, apalagi sampai jadi anarkis bila diperlakukan sebagai manusia kelas dua oleh seseorang. Karena bisa jadi penyebabnya gara-gara penamplan kita sendiri. Kalau betul demikian maka mari kita lakukan perombakan penampilan , instropeksi diri, dan lakukan perubahan di sana-sini. Di sini terlihat bahwa changing is power- perubahan adalah kekuatan.

Seorang remaja SMP selalu merasa dinomor-duakan, itu gara-gara penampilannya- tubuhnya kurus dan lemah dan juga tidak begitu menonjol dalam belajar. Sedih memang menjadi mentimun bungkuk- masuk karung ada, tapi tidak jadi perhitungan. Maka suatu hari ia terinspirasi oleh sebuah artikel, maka ia belajar keras. Ia makan yang banyak dan berolah raga yang teratur. Dalam waktu enam bulan, ia jadi mahir berbahasa inggris, jago matematik dan juga jago dalam main volley. Teman-temannya di sekolah sangat senang bergau dengannya. Malah ia juga sering memperoleh sms dengan nomor baru mengungkapkan kata simpati dan mengucapkan “I love you”.

Seorang pemuda yang baru bekerja di kantor pemasaran selalu merasa rendah diri dengan penampilannya gara-gara sering diremehkan- dinomorduakan- oleh rekan sekantor. Ia akhirnya memutuskan untuk meningkatkan penampilannya. Maka hampir setiap malam ia berlatih berpidato dan berbicara di depan cermin, kemudian tiga kali dalam seminggu ia kut kegiatan binaraga. “Kalau penampilan saya kurang bergairah, lunglai , tentu tidak ada orang yang akan menghargai ku”. Bisiknya. Latihan berpidato dan latihan binaraga membuat penampilannya agresif dan jantan, maka kemudian banyak orang yang senang bergaul dengan nya.

Masih banyak kisah kisah tentang fenomena menomor-duakan orang, rekan kerja, bawahan dan anggota keluarga sendiri terjadi di seputar kita. Fenomena meremehkan dan menomor-duakan ini membuat banyak orang berubah, termasuk berubah dalam penampilan.

Seorang bapak yang biasanya tampil bersahaja, kemana mana pergi selalu dengan sepeda motor penampilannya mirip dengan tukang ojek. Suatu hari ingin membeli mobil dan oleh seorang teman ia ditawari untuk membeli mobil super second- yang sering masuk bengkel dan keluar bengkel.”Untuk bapak cukup beli saja mobil seken keluaran tahun 1980-an dengan harga miring” Ia merasa amat tersinggang karena merasa diremehkan- datangpun kurang disapa dan kurang disambut. Maka ia memutuskan membeli sedan cadilac baru berwarna metal dan dengan cat mengkilat. Begitu hari pertama dia datang mengantarkan anak dan istri ke sekolah, maka teman-teman lamanya berhamburan ke luar untuk melihat penampilannya dan mengucapkan selamat.”wah bapak tampak gagah, selamat ya Pak !”

Ya sungguh tidak enak menomorduakan orang dan juga menjadi orang yang sering dinomor duakan. Pasti orang yang punya karakter positif- tidak suka meremehkan dan menomor-duakan orang- akan menjadi orang yang disenangi, dikagumi dan dihormati. Sementara itu orang yang terbiasa dan cenderung meremehkan orang lain tentu akan kurang disenangi dan kalau boleh bahwa orang mendekat hanya untuk sekedar basa basi dan setelah itu menjauh lagi .

Selanjutnya bagi orang yang selalu menjadi korban sebagai manusia nomor-dua atau orang yang direndahkan, lebih ideal untuk melakukan perubahan. Apakah kita direndahkan gara-gara kurang bisa bergaya, maka mari kita update penampilan kita. Andaikata kita direndahkan gara-gara postur dan penampilan tidak smart, maka mari berlatih menguatkan otot dan otak (kecerdasan) agar kita menjadi orang gagah luar dalam (cantik luar dalam) sehingga kita menjadi orang tidak lagi direndahkan martabat dan harga diri kita.

Kamis, 04 November 2010

Bermimpilah Menjadi Orang Kaya

Bermimpilah Menjadi Orang Kaya

Oleh : Marjohan, M.Pd

Guru SMAN 3 Batusangkar

Sebagian remaja (siswa dan mahasiswa) ada yang peduli dengan kehidupan ini dan ada juga yang masa bodoh. Ada yang sudah memikirkan bagaimana hidup mereka di masa depan dan ada juga yang belum. “Yang penting aku enjoy aja, tidak terlalu banyak fikir dan soal masa depan aku serahkan ke mama dan papa”. Demikian beberapa komentar dari mereka yang berpaham hedonism- mencari kesenanngan hidup semata-mata. Bagi mereka yang penting bisa belajar dan bermain, tidak mau diberi pekerjaan yang susah. Bila ada keperluan ya cukup minta saja duit pada orang tua. Pokoknya tahu beres saja.

Tidak hanya siswa, namun juga mahasiswa yang kehidupan mereka juga serba monoton. Kerjanya cuma pergi ke kampus dan pulang ke kos, sepanjang hari belajar, begossip, otak atik hand phone, sampai pada kecanduan dengan game on line. Kalau uang habis ya merengek lagi sama orang tua. “Ma…kirimkan kan lagi uang ke ATM ku ya…..!”. Tidak ada uang ya cukup kontak orang tua agar mengirimkan dana ke rekeningnya. Ini tidak salah, karena orang tua juga masih punya tanggung jawab untuk menjamin kelancaran kuliah anak-anak mereka. Namun kalau boleh para mahasiswa/ para pemuda juga perlu tahu tentang seluk beluk dari mana dan kemana uang itu mengalir. “Kalau boleh bermimpilah menjadi orang kaya”.

Saat penulis mengikuti KKN (kuliah kerja nyata) lebih dari 20 tahun yang lalu di sebuah desa dekat Payakumbuh. Di sana ada seorang pemuda, Yung Karaben namanya, yang cuma tamatan Sekolah Dasar, namun ia menjadi ngetop karena menjadi pemuda yang kaya raya. Ia memiliki banyak uang, punya harta, sawah dan ladang. Ia juga punya gilingan padi dan beberapa rumah sewaan sebagai pabrik uangnya. Ia bukan tamatan Perguruan Tinggi, malah sarjana tamat Perguruan Tinggi juga ada yang hidup melarat. Mengapa ia bisa menjadi kaya dalam usia muda ? Itu terjadi karena ia mengerti dengan aliran uang, kemana dan dari mana uang tersebut mengalir.

Kondisi kesejahteraan dan kekayaan orang pada suatu negara bisa berbeda- beda. Di negara maju- atau negara kaya, ada kalanya satu persen penduduk (para pemilik uang) bisa menguasai 50% peredaran uang. Atau ada negara yang 5 % penduduk kaya yang menguasai 90 % uang di negara tersebut. Kalau begitu sungguh menyedihkan bila kita menjadi orang yang 90 persen (orang yang lemah keuangannya). Uang yang sepuluh persen kalau dibagi rata untuk 90 persen penduduk yang kekurangan uang, maka setiap orang mungkin akan memperoleh sepuluh ribu rupiah. Sungguh sulit untuk meyangga kehidupan ini hari demi hari.

Dalam fenomena sosial bahwa banyak orang yang secara mendasar hanya mencari kenikmatan dan menghindari kesengsaraan. Menjadi PNS dianggap lebih enak karena mudah dan tidak punya resiko, sakit pun gaji juga dating, dibanding dengan menjadi pengusaha. Sementara itu menjadi pengusaha terasa susah dan beresiko. Kalau berhasil uangnya banyak namun resikonya tinggi. Namun bagi kita bila ada unsur kesusahan dalam bekerja maka kita cenderung untuk menjauhinya. Malah bila kita hidup sebagai orang yang sengsara, para sanak keluarga juga agak enggan untuk mendekat pada kita. Bila ada unsur yang menyenangkan maka kita cenderung mendekatinya.

Kaya atau miskin memang relatif. Secara finansial memang ditentukan oleh jumlah uang yang kita miliki. Tentang uang, bahwa ada orang yang sangat mencintai uang, ada yang tak peduli pada uang dan sampai pada yang membenci uang. Mereka beranggapan bahwa uang adalah sumber kejahatan. Akibatnya tanpa disadari mereka (mungkin juga kita) tidak ingin menjadi kaya. Kita berfikiran bahwa lebih baik jadi sederhana saja dan malah ada yang tidak punya uang.

Dikatakan bahwa orang yang uangnya sedikit- miskin- sebagai orang dengan posisi tangan di bawah. Orang yang kaya, dikatakan sebagai posisi tangannya di atas. Karena ia mudah memberi. Agama Islam mengatakan bahwa tangan di atas lebih baik dari pada posisi tangan di bawah. Maka menjadi kaya lebih mulia dari pada jadi miskin.

Untuk menjadi kaya memang tidak mudah. Mengapa kita tidak kaya ? penyebabnya adalah karena kita tidak tahu strateginya. Kita tidak mengetahui jalur alamiah atau jalur paling mudah untuk mencapai tujuan. Selanjutnya bahwa fikiran kita juga tidak realistik, tidak melakukan tindakan sesuai dengan rencana. Namun mengapa pada segelintir orang bisa menjadi kaya? Tentu saja karena mereka punya karakter yang kuat.

Ternyata menjadi kaya bukan secara instan- bukan disulap- sim salabim. Kecuali bagi yang menang quiz who want to be millionaire. Jalan menuju kaya perlu dirintis. Ya memang untuk menjadi kaya secara baik-baik perlu dirintis.

Dari biografi tentang tokoh dan orang yang sukses/ kaya hidup seputar kita, kita ketahui bahwa mereka sudah merintis suksesnya sejak usia muda, misalnya sejak mahasiswa. Umumnya mereka menjadi mahasiswa yang tekun dan rajin. Mereka menyiapkan diri dengan berbagai kepintaran. Mereka senang berkompetisi dan mengikuti berbagai ajang kompetisi. Mereka memiliki banyak wawasan, banyak bergaul dan tahu dengan seni berkomunikasi.

Namun sayang banyak pula pemuda cerdas yang cuma pintar mengirim lamaran untuk jadi PNS, atau menjadi orang biasa-biasa saja pada sebuah perusahaan. Mereka akhirnya puas memperoleh gaji kecil

Ternyata gaji yang diterima oleh rata-rata orang Indonesia termasuk sangat kecil standardnya dibandingkan dengan orang yang bekerja di negara tetangga yang lebih kaya. Orang orang di sana memiliki motivasi kerja dan motivasi untuk sukses yang sangat tinggi. Mereka tidak gampang untuk mudah merasa puas. Sekali lagi bahwa mereka selalu memotivasi diri- membaca banyak buku, mencari banyak inspirasi dari banyak orang dan tokoh-tokoh sukses.

Kalau fenomena kita kadang-kadang cukup aneh. Saat kita mempunyai sedikit kelebihan uang ekstra maka gaya hidup kita juga berubah drastis. Karena gaji telah meningkat, maka pengeluaran kita juga berlipat. Ukuran rumah juga bertmbah dan motor pun juga mengkilat. Seharusnya uang kita boleh bertambah namun pengaturan penggunaan uang juga harus effektif. Yaitu tetap dalam batasan tidak boros.

Banyak juga orang kaya yang baik hati. Mereka dikatakan demikian karena juga kaya hati, kaya rohani dan kaya dengan kebaikan lain. Mereka senang untuk berbagi cerita dan berbagi pengalaman sukses. Mereka jadi kaya karena juga memiliki property sewaan lainnya.

Waringin (2008) mengatakan bahwa untuk bisa jadi kaya maka kita memerlukan leverage. Leverage berarti pendongkrak. Leverage tersebut bisa dalam bentuk sumberdaya (SDM)- bisa berarti modal, juga dalam bentuk ide dan gagasan, kenalan dan keahlian. Kemudian agar orang yang punya uang (sebagai sumber uang) mencari dan membutuhkan kita, maka kita perlu memiliki nilai tambah yang harus kita komunikasikan (kita iklankan). Kita juga harus punya kontak dengan orang yang tepat dan dengan cara yang tepat pula.

Di beberapa perusahaan mengapa ada karyawan yang mampu memperoleh bonus gede atau kenaikan gaji dua atau tiga kali dalam setahun ? Ini terjadi karena mereka mempunyai nilai tambah seperti “ia bisa dipercaya”. Dan tidak itu saja, ia juga punya keunggulan lain melebihi teman-temannya seperti memiliki kinerja yang hebat dan bisa bekerja mencapai target- atau melebihi target. Ia juga memiliki inisiatif- tidak berkarakter senang menunggu atau senang diperintah-, ia juga memiliki prilaku yang menyenangkan ia juga peduli dengan penampilan, kedisiplinan, kesopanan, omongan yang baik di depan dan di belakang orang.

Ternyata jarang juga PNS dan orang orang berprofesi sebagai pegawai yang kaya raya. Kebanyakan orang jadi kaya, itu lewat berwiraswasta. Ada yang kaya dan sukses gara-gara membuka bengkel mobil. Memberi nilai tambah yang hebat buat pemilik mobil atau sang klien. Nilai tambah yang hebat berupa service yang memuaskan: lebih cepat, lebih dekat, lebih murah, lebih lengkap, lebih modern dan lebih ahli. Kemudian membuat cabang atau franchise sehingga ia bisa melayani banyak pelanggan. Bila ia sudah punya franchise, maka ia kemudian bisa go public atau menjual saham untuk memperbesar modal- dan juga memperbesar usaha.

Menjadi kaya secara baik-baik dapat terwujud dengan berwirausaha atau entrepreneur dengan ketentuan membelanjakan lebih sedikit uang daripada yang diterima dan menginvestasikan selisihnya. Pelaku wirausaha juga memberikan nilai tambah yaitu mempermudah urusan, mempercepat proses dan juga membuat orang lebih senang. Ternyata orang berwirausaha juga ditentukan oleh bakat atau karakter usahanya. Apakah mereka termasuk berkarakter mechanic, creator, star, support, deal maker, trader, accumulator dan the lord.

Roger Hamilton (dalam Waringin: 2008) mengatakan bahwa orang bertipe mechanic suka mengandalkan/ mengikuti sistem untuk jadi kaya. Ray Kroc tahu cara memasarkan hamburger, walau ia bukan penemu hamburger. Orangnya tekun, suka detail dalam mengikuti sistem. Kemudian orang yang bertipe creator suka menciptakan hal baru. Steve Job mendirikan apple computer. Ia mempunyai karakter kreatif, inovatif, suka hal baru dan tantangan baru.

Orang bertipe star jadi kaya karena mengandalkan keahlian khusus yang sulit ditiru orang lain. Penyanyi Celine Dion dan Mike Tyson misalnya punya bakat khusus. Sangat menonjol dibidangnya. Orang bertipe support jadi kaya karena jago dalam mendukung dan mengelola. Orang dengan karakter ini memiliki leadership dan manajerial yang bagus.

Orang bertipe deal maker bisa jadi kayak arena keahlian dalam bernegosiasi dan mempertemukan dua kepentingan. Ia punya banyak teman, senang bergaul dan senang sebagai connector atau penghubung. Orang bertipe trader dapat kekayaan dari keahlian berdagang. Ia peka tentang waktu- tahu kapan harus membeli dan kapan harus menjual, tidak malu dalam berjualan, berorientasi mencari keuntungan secara cepat dan dalam jangka waktu pendek.

Adalagi orang yang jadi kaya karena tipe accumulator, suka menumpuk atau berinvestasi. Orang seperti ini cukup penyabar, senang menganalisa, punya jiwa kepemimpinan, tidak emosional dan suka keuntungan jangka panjang. Terakhir adalah orang yang bertipe lord, menjadi kaya karena punya banyak bisnisnya. Ia suka melihat peluang di mana-mana, mampu mendelegasi atau membagikan tugas dan pintar memilih dan menilai orang yang ia percayai.

Kaya itu tidak jatuh dari langit, namun kaya itu perlu diusahakan, oleh karena itu menjadi kaya perlu punya ilmu, punya keberanian dan punya usaha. Untuk menjadi kaya maka kita perlu belajar dan menggali potensi dari orang lain. Agama Islam mengatakan bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan yang di bawah. Kalau begitu menjadi kaya lebih baik dari pada jadi orang miskin. Agaknya untuk jadi kaya maka kita perlu bermimpi. Daripada kita tenggelam dalam menyesali kelemahan kita, maka lebih baik kita tenggelam dalam meningkatkan kelebihan kita, agar kita punya nilai plus, selanjutnya bermimpi dan berusaha agar menjadi kaya.(http://penulisbatusangkar.blogsp

(note- Waringin, Tung Desem (2008) Financial Revolution. Jakarta: PT. Gramedia Utama)

Rabu, 27 Oktober 2010

Harga Diri Yang Sehat

Harga Diri Yang Sehat
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

Tanpa disadari bahwa harga diri atau self-esteem sudah menjadi kebutuhan emosional setiap orang sejak kecil. Siapa saja dan dan apa saja latar belakang nya serta posisi pekerjaannya tetap membutuhkan self-esteem. Self-esteem atau harga diri seseorang bisa jadi sehat atau tidak (menjadi kerdil) tergantung bagaimana bentuk pengalaman hidup seseorang. Apakah mereka tumbuh memperoleh penghargaan atau malah jarang dihargai (?). Harga diri yang sehat bisa menjadi benteng bagi seseorang dalam menghadapi tantangan hidup ini.

Orang-orang yang sehat harga dirinya atau memandang positif terhadap diri mereka akan lebih mudah untuk mengatasi konflik dan bertahan atas tekanan negatif. Mereka yang memiliki harga diri yang sehat cenderung mudah tersenyum, juga lebih siap dan bisa menikmati hidup ini. Anak-anak dan remaja yang memiliki harga diri yang sehat akan memiliki karakter realistik, dan juga bersifat optimistik.

Sebaliknya remaja dan anak-anak yang memiliki karakter rendah diri- penghargaan yang rendah atas diri, atau harga diri yang kurang sehat, akan melihat tantangan dalam hidup sebagai sumber kecemasan, ketakutan dan frustasi. Mereka yang memandang diri begitu rendah akan sulit menemukan solusi atas problem hidup. Kalau diberi sedikit saja kritikan atas dirinya, maka mereka akan berfikir “wah saya ini apalah artinya, saya memang tidak bagus” atau akan mengeluh “saya tidak mampu melakukan hal itu”. Akibatnya mereka menjadi remaja yang passif, menarik diri dari tanggung jawab dan merasa tertekan. Kalau berhadapan dengan tantangan baru, mereka segera memberikan response “aku tidak bisa…!”

Harga diri dalam bahasa inggris adalah “self-esteem”. Apakah yang dimaksud dengan self esteem itu ? Self- esteem (harga diri) adalah kumpulan dari keyakinan atau kumpulan dari perasaan tentang diri kita sendiri. Yaitu bagaimana persepsi kita tentang diri. Bagaima kita menyadari diri kelebihan dan kekurangan diri akan mempengaruhi motivasi, sikap, tingkahlaku dan penyesuaian emosi kita.

Penghargaan atas diri akan terbentuk sejak dini, yaitu sejak masa kanak-kanak. Misalnya melalui pengalaman sukses atau pengalaman gagal- pengalaman diejek atau dipuji- akan membentuk kualitas harga diri- yaitu harga diri yang sehat atau harga diri yang rendah. Remaja yang belajar mengatasi pengalaman kurang sukses menjadi sukses akan memberi kesan pada remaja bahwa ia “mampu” untuk berbuat. “Wah ternyata aku mampu berpidato di depan warga RT”. “Wah ternyata aku bisa mengerjakan latihan matematika ini”. Untuk itu tidak layak kalau orang tua buru-buru membantu anak yang lagi mengalami kesulitan dalam belajar.

Konsep sukses itu berarti “daya tahan” seseorang untuk menyelesaikan sesuatu hingga tuntas. Latihan beraktifitas untuk menuju sukses harus dimulai sejak usia dini. Andai seorang anak/ remaja melakukan sebuah aktivitas, namun gagal, dan dicoba lagi, gagal, dicoba lagi, kemudian dia mampu menyelesaikan maka inilah yang disebut dengan sukses. Akhirnya akan tumbuh dalam fikiran bahwa dia mampu melakukan pekerjaan tersebut. Pada waktu yang sama ia pun sedang menciptakan penghargaan atas dirinya. “wah ternyata aku bisa”.Rasa sukses sering juga melibatkan orang lain, memperoleh penilaian dan penghargaan dari orang lain. Inilah alasanya mengapa keterlibatan orang tua merupakan kunci untuk membantu anak dalam membentuk sukses, yaitu meningkatkan harga diri dan persepsi yang sehat.

Harga diri merupakan paduan dari “perasaan mampu, perasaan dicintai dan disukai”. Remaja/ anak-anak akan bergembira atas hasil prestasinya, namun tidak memperoleh rasa cinta maka akan merasakan “penghargaan diri yang rendah”. Sebaliknya mereka yang memperoleh cinta, namun merasa bimbang atas kemampuan diri- akan berakhir dengan rasa harga diri yang rendah. Harga diri yang sehat akan terbentuk kalau ada keseimbangan antara kemampuan dan rasa dicintai.

Apakah harga diri sehat atau tidak
Harga diri selalu berfluktuasi (turun- naik) sesuai dengan bentuk perkembangan anak/ remaja mengalami tersebut. Harga diri juga sering berubah-ubah, itu dipengaruhi oleh pengalaman dan persepsi kita. Maka akan sangat membantu kalau kita sadar atas tanda-tanda bahwa harga diri itu sehat atau tidak sehat. Remaja dengan harga diri rendah tidak ingin untuk mencoba hal-hal baru. Mereka sering ngomong negatif tentang diri mereka sendiri. “Aku ini bodoh”, “aku akan tidak pernah pandai dan tahu tentang hal itu”, “apa sih masalahnya…mengapa tidak ada yang peduli dengan saya ?”.

Mereka yang memiliki harga diri rendah juga akan memperlihatkan toleransi yang rendah terhadap frustasi- maksudnya akan mudah untuk frustasi, mudah menyerah atau menunggu seseorang untuk membantunya. Mereka juga cenderung melakukan kritikan yang berlebihan dan malah juga mudah putus asa. Remaja dengan penghargaan yang rendah akan melihat kondisi sekitar sebagai hal yang kurang menguntungkan, kondisi tanpa toleransi, dan rasa pesimis.
Sebaliknya, remaja yang memiliki harga diri yang sehat akan senang berinteraksi dengan orang lain. Mereka merasa nyaman dalam lingkungan sosial dan menikmati aktivitas kelompok. Mereka juga punya tujuan hidup yang mandiri. Bila ada tantangan hidup maka mereka mampu bekerja untuk menemui solusinya. Mereka merasa kurang enak bila ada teman yang dilupakan atas aktivitas yang penting. Orang yang punya harga diri yang sehat tidak akan berkata “saya ini bodoh”, namun mereka akan berkata “saya kurang memahaminya”. Selanjutnya bahwa orang yang memiliki harga diri yang sehat akan mengenal kelebihan dan kekurangannya. Mereka juga menerima kelebihan dan kekurangan diri, dengan demikian mereka mempunyai sense of optimism atau rasa optimis.

Mempertahankan harga diri yang sehat
Harga diri yang sehat perlu dipertahankan. Sungguh disayangkan kalau seseorang sengaja menghancurkan harga diri orang lain. Idealnya malah orang yang harga dirinya kurang sehat harus dipulihkan. Untuk itu ada beberapa cara yang perlu diketahui dan dilakukan agar harga diri seseorang (anak atau remaja) tetap sehat.

Perhatikanlah apa yang dikatakan oleh anak/ remaja. Anak-anak dan remaja sangat peka/ sensitive terhadap ucapan orang lain, terutama orang tuanya sendiri. Kalau begitu kita (guru dan orang tua) perlu rajin memberi penghargaan dan pujian. Tidak hanya terhadap apa yang telah mereka kerjakan tetapi juga atas usaha dan inisiatif mereka. Untuk kesehatan harga diri maka mereka memerlukan “sense of trusthful” atau rasa untuk dipercaya. Misal, kalau anak tidak bergabung dalam team olah raga, maka hindari mengatakan hal yang memojokan atau melukai harga dirinya, namun katakana “well, mungkin lain waktu kamu bisa bergabung”. Mereka butuh reward dan pujian. Tidak perlu mengharapkan hasil yang sempurna, yang penting ada proses aktivitas.

Ternyata anak dan remaja butuh model yang positif. Orang tua, guru, kakak/ senior bisa jadi model yang positif. Kalau orang tua berkarakter kasar atau berkata kasar yang berlebihan, sering bersifat pesimis,dan bersifat kurang realistik atas kemampuan dan kekurangan, maka mereka juga akan bisa meniru tersebut. Maka milikilah karakter positif dan orang yang mengidolakan kita juga akan menirunya.

Mengidentifikasikan dan mengarahkan secara tidak langsung (tanpa mendikte) atas kesalahan anak/ remaja. Menolong anak untuk berkarakter yang standard (sesuai dengan norma umum) dan juga lebih realistis dalam menilai diri sendiri. Respon positif sangat berguna dalam menjaga harga diri yang sehat “Hasil akademik mu bisa jadi bagus dan kamu bisa pintar”, dari pada menggerutu “ya ampun…kamu betul-betul idiot”.

Bersikap spontan dan affectionate (kasih sayang). Cinta yang selalu mewarnai hari-hari/ hidup anak dan remaja akan merawat harga diri mereka. Sentuhan, rangkulan dan mengatakan pada mereka bahwa kita bangga dengan mereka. Kalau boleh kita tulis dalam kamar mereka “kamu anak yang hebat buatbuat mama dan papa”. Sering seringlah memberi pujian dan juga bersikap jujur pada mereka. Karena anak dan remaja bisa merasakan apakah orang tua berbuat jujur atau pura-pura.

Menciptakan rasa aman dalam lingkungan rumah serta menebar rasa cinta. Anak-anak dan remaja yang tidak merasakan sense of safety atau rasa aman atau dilecehkan/ diremehkan di rumah akan mengalami rasa harga diri yang rendah. Anak yang sering berdebat dengan orang tua bisa menjadi depresi dan menarik diri (serta harga diri yang rendah). Rasa diremehkan juga bisa terjadi di lingkungan sekolah, dengan teman, atau oleh faktor yang lain. Pedulilah atas hal ini dan kita perlu selalu menghargai anak.
Memperkaya anak dan remaja dengan pengalaman yang berguna. Anak dan remaja lebih memerlukan pengalaman bekerja sama dari pada berkompetisi. Ini berguna untuk kesehatan harga diri. Program mentoring, dimana remaja senior membantu yang junior dalam belajar atau membaca, bisa menyehat harga diri ke dua belah pihak-yaitu menghargai dan dihargai.

Anak yang memiliki harga diri juga butuh supervisi atau pengawasan. Pengawasan ini untuk meyakini apakah kondisi anak aman. Namun yang penting adalah memberi mereka kesempatan untuk melakukan sesuatu, tidak masalah kalau mereka melakukan kesalahan kecil karena learning from mistake adalah juga proses belajar. Misal, anak ingin membuat telur dadar- ya siapkan bahan- bahannya dan biarkan ia mencoba, kalau boleh lihat lihat saja dari jauh, apakah akan membahayakan (misal api atau sengatan listrik) atau tetap aman. Memang suasana kerja mereka tidak rapi dan tidak bersih, namun mereka tak perlu kritikan yang akan melemahkan semangat kerja mereka.
Harga diri atau self-esteem ternyata masalah terbesar dari generasi muda. Gara-gara memilih self-esteem yang rendah membuat mereka jadi tidak berdaya, jadi enggan untuk beraktivitas akhirnya mereka tidak memiliki pengalaman apa-apa. Sangat penting bagi kita untuk memiliki harga diri yang sehat. Untuk itu kita perlu memiliki banyak pengalaman positif. Dukungan untuk melakukan/ menyelesaikan tanggung jawab, rasa aman, dan rasa kasih sayang merupakan faktor untuk memperoleh rasa harga diri yang sehat. Yang harus dihindarkan adalah banyak mencela dan banyak mengeritik- sehingga anak dan remaja menjadi serba salah.
.

Jumat, 22 Oktober 2010

Tidak Perlu Berteman Dengan Stress dan Depresi

Tidak Perlu Berteman Dengan Stress dan Depresi
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

Banyak orang mengungkapkan kata “stress” saat mengekspresikan perasaan tertekan yang ia alami. Namun orang jarang menggunakan kata “depressi” saat ia mengalami perasaan murung atau melankoliknya. Kadangkala saat murung mereka juga mengungkapkan bahwa mereka lagi stress. Stress dan depressi bisa menjangkiti pribadi siapa saja. Untuk itu kita perlu mengenalnya namun tidak perlu berteman dengan stress dan depressi tersebut.

1. Stress
Stress ternyata telah ada sejak usia kecil- sejak kanak-kanak. Banyak orang dewasa yang beranggapan stress itu hanya milik remaja dan orang dewasa. Sementara anak-anak mungkin jauh dari stress karena mereka selalu hidup riang dan gembira. Mereka belum punya beban fikiran. Dalam kenyataan bahwa anak-anak juga punya masalah dan punya stress. Itu diawali oleh perasaan khawatir dan cemas- sebagai penyebab stress. Stress merupakan perasaan tertekan dalam diri seseorang. Stress sendiri tentu punya sumber.

Jennifer Shroff (2008) mengatakan bahwa sumber stress yang melanda setiap orang dan termasuk anak-anak bisa berasal dari keluarga, teman dan sekolah atau tempat kerja. Namun stress juga bisa bersumber dari dalam diri sendiri. Rasa tertekan yang ada dalam diri terjadi karena adanya kesenjangan (ketidak sesuaian) antara apa yang diharapkan- apa yang difikirkan- dengan realita yang ada.

Seperti dinyatakan di atas bahwa stress bisa menjangkiti siapa saja. Anak kecil, dalam usia pra sekolah, juga bisa mengalami stress atau cemas, misal kalau ditinggalkan oleh orang tua. Kemudian saat anak berusia lebih besar, di usia remaja, maka sumber stress mereka bisa berasal dari faktor akademik dan tekanan sosial. Stress karena faktor akademik bisa terjadi karena dibebani oleh segudang tugas dan kegiatan sekolah. Problem akademis itu sendiri terjadi karena sang anak tidak bisa mengelola dan memanfaatkan waktu dengan baik.

Ada pribahasa sebagai berikut “little pitcher has big ear”- kendi yang kecil punya telinga besar. Ini berarti bahwa anak-anak (anak kecil) selalu memasang kuping untuk mendengar pembicaraan orang yang ada di sekitar mereka. Misal pembicaraan dari orang tua, kakak dan anggota famili yang lain. Anak kecil memang punya rasa ingin tahu yang besar. Mereka selalu memasang kuping untuk menangkap pembicaraan orang lain. Maka apabila orang tua sering berbicara tentang susahnya hidup, di rumah atau di tempat kerja. Ini pun juga membuat anak turut peduli dan ikut merasa cemas. Anak ikut cemas melihat pertengkaran ayah- ibu. Begitu pula dengan berita penyakit dan kematian orang yang mereka cintai. Ini juga penyebab stress atau cemas bagi anak.

Berita media massa, misal tentang dunia yang seram, tentang penculikan, berita kriminal dan berita tentang bencana alam, perang juga tentang terorisme mencemaskan tentang keselamatan diri sendiri dan orang yang mereka cintai. Berita tentang penyakit, kematian orang yang dicintai dan juga perceraian orang yang mereka cintai membuat mereka cemas dan stress.

Stress mempunyai tanda-tanda atau gejala. Namun tidak mudah bagi kita untuk mengenal kapan anak kita sedang dilanda stress. Perubahan suasana hati (mood) bisa jadi isyarat bahwa anak sedang dalam keadaan stress. Isyarat lain adalah seperti perubahan pola tidur, berkeringat dingin, dan salah tingkah. Kemudian juga perasaan sakit kepala, sakit perut, gangguan dalam kosentrasi dan gangguan dalam penyelesaikan pekerjaan rumah, sampai pada prilaku suka menyendiri. Karakter negative seperti suka berbohong, menggertak (bulying), menentang otoriter orangtua dan guru, mimpi buruk, respon yang berlebihan atas masalah kecil hingga merosotnya prestasi kerja atau prestasi belajar juga merupakan isyarat bahwa seseorang lagi stress.

Stress harus diatasi, paling kurang dikurangi. Stress dapat dikurangi lewat inisiatif sendiri dan juga lewat bantuan orang lain. Orang tua dapat menguarangi stress anak-anaknya. Anak sendiri perlu untuk memperoleh nutrisi dan istirahat yang cukup. Karena kekurangan gizi membuat badan akan terasa kurtang nyaman. Badan juga terasa kurang nyaman kalau kurang istirahat/ kurang tidur. Dimana rasa stress mudah datang.

Orang tua seharusnya melowongkan waktu buat anak agar bisa bermain dan ngobrol bareng. Tentu saja bukan ngobrol yang bersifat mendikte dan banyak mengeritik. Orang tua perlu mengungkapkan perasaan positif pada anak- menyatakan bahwa keberadaan mereka sangat penting. Pernyataan yang demikian agar membuat hidup sang anak menjadi berarti. “Papa merasa senang karena kamu bisa bekerja dengan papa di kebun ini,…..mama bahagia sekali bisa ngobrol tentang pelajaran dengan mu”.

Orang tua dan anak juga perlu ngobrol tentang teman mereka, tentang sekolah, guru atau hobi mereka. Anak dan remaja juga perlu bahwa perasaan marah, khawatir, cemas, takut adalah perasaan yang normal pada setiap orang. Stress bisa melanda siapa saja. Lebih ideal bila rasa yang demikian untuk dibagi dengan orang yang mampu mendengar- yakni mendengar suara hati mereka.

2. Depressi

Depressi juga merupakan masalah mental yang juga umum terjadi. Depressi bisa melanda siapa saja dan semua tingkat umur. Ciri-ciri awal dari gejala depressi adalah adanya gejala bad mood, melankolik atau murung, merasa down atau sedih. Suasana begini juga bisa terjadi pada anak-anak. Namun jumlah penderita depressi pada usia remaja dan dewasa bisa lebih banyak. Bila seseorang dalam keadaan murung, bad mood dan merasa sedih yang berkepanjangan dalam waktu lama hingga berminggu minggu atau berbulan-bulan maka inilah yang disebut dengan depresi.

Michele New (2008) mengatakan bahwa depressi juga ada penyebabnya. Depressi tidak disebabkan oleh suatu peristiwa atau oleh seseorang, tetapi hasil dari beberapa faktor. Penyebab depresi juga bervariasi untuk setiap orang. Orang yang punya keluarga depressi kemungkinan juga bisa mengalami depressi- factor genetik. Peristiwa hebat atau trauma yang pernah terjadi dalam hidup seperti kematian orang yang dicintai, terjadinya perceraian, pindah ke daerah baru, dan putus hubungan dengan kekasih yang begitu mendalam bisa menimbulkan gejala depressi.

Stress yang berkepanjangan juga bisa sebagai faktor penyebab timbulnya depressi. Selanjutnya bahwa penyakit kronis juga bisa membuat orang jadi putus asa dan depressi. “Aduhai lebih baik aku mati saja dari pada susah berjalan begini terus…!”. Kemudian bahwa dalam usia remaja, gejolak emosi dan gejolak sosial gampang terjadi, sehingga segala sesuatu menjadi sulit. Tentu saja emosi mereka jadi kacau, melankolik dan bad mood, hingga akhirnya menjadi depressi.

Orang yang dilanda depressi sering merasa kehilangan harapan atau perasaan tidak berguna. Sekali lagi bahwa orang yang lagi depressi sering bersifat pesimis, “Aduh mak, hidup ku tidak berguna, lebih aku meninggal dunia saja….”. Kita perlu memahami karakter anak/ famili atau kerabat yang lagi depressi. Yaitu mereka merasa bersedih tanpa beralasan, kehilangan tenaga/ semangat, tidak mampu merasakan indahnya dunia atau hidup ini, tidak bersemangat untukl berteman, merasa marah, cemas dan juga tidak mampu berkosentrasi. Tidak berselera makan sehingga berat badan menurun. Begitu pula adanya gangguan dalam pola tidur, merasa sakit pada seluruh tubuh, tidak peduli tentang masa depan dan sering berfikir untuk bunuh diri atau mati saja.

Bila anak atau keluarga kita menunjukan gejala depresi, maka kita perlu untuk melakukan tindakan. Kita perlu ngobrol dengan anak dan juga minta bantuan dokter jiwa. Mengatasi masalah keluarga secara pribadi juga tepat. Dalam masa anak-anak sebenarnya ada periode “storm and stress- masa badai dan stress” atau masa-masa sulit. Namun dalam masa sulit ini banyak problem anak dan remaja yang tidak diselesaikan. Tentu saja orang tua merasa bertanggung jawab atas masalah yang terjadi pada anak, namun orang tua bukanlah penyebab depresi itu.

Anak anak atau remaja yang sedang depresi tentu butuh banyak didengar (dipahami). Mereka kadang-kadang merasa tidak berguna. Orang yang lagi dilanda depresi melihat dunia ini dengan negative, ini terbentuk karena perasaan depresinya. Anggota keluarga yang dilanda depressi perlu dirawat melalui psikoterapi- yaitu kombinasi terapi dan obat. Psikiater memberi resep obat untuk membuatnya rilek. Psikoterapi akan fokus pada penyebab depresi itu sendiri.

Stress dan depressi adalah masalah mental. Kita perlu mengenalnya tetapi kalau boleh tidak perlu berteman dengannya. Oleh sebab itu stress dan depressi perlu dikurangi atau dicegah.

Perasaan khawatir dan cemas bisa menjadi penyebab stress. Anak perlu dilatih/ dibisaakan agar bisa mengelola dan memanfaatkan waktu dengan baik. Kita tidak perlu membenani fikiran anak dengan beban fikiran yang belum mampu mereka fikirkan. Kita juga perlu meluangkan waktu untuk melakukan kebersamaan – ngobrol dan bermain dengan anak. Kemudian bahwa stress dalam waktu yang lama bisa menyebabkan depressi. Orang tua perlu mengungkapkan bahwa kehadiran anak adalah penting, ini agar anak merasa hidupnya berguna. Namun bila ada anggota keluarga yang dilanda depressi maka kita harus mencari bantuan ahli (dokter dan psikiater) sedini mungkin http://penulisbatusangkar.blogspot.com

Note: 1) Michele New (2008) Understanding Depression.(http://kidshealth.org), 2) Jennifer Shroff (2008) Reducing Kid’s Stress .(http://kidshealth.org)

Minggu, 17 Oktober 2010

Mengapa Kecerdasan Kita Menciut

Mengapa Kecerdasan Kita Menciut
Oleh : Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

Hidup ini sering terasa unik, khusus yang berhubungan dengan kisah-kisah belajar di sekolah. Ada yang mengatakan bahwa saat belajar di SMP, SMA dan di Perguruan Tinggi termasuk orang yang cerdas. Natanya setelah dewasa menjadi orang biasa-biasa saja. Ada pula yang mengakui bahwa ketika belajar di SD dan SMP termasuk anak yang nakal, namun berubah jadi baik saat belajar di SMA dan di Perguruan Tinggi sehingga potensi dirinya bisa jadi melejit. Sementara itu ada pula yang mengaku termasauk orang yang kurang beruntung saat belajar di SMP dan SMA, malah kuliah di Perguruan Tinggin terancam D.O (Drop Out), namu setelah dewasa bisa sukses dalam berbagai lini kehidupan.

“Dulu ketika aku sekolah di SMA, aku tergolong pintar, tetapi sekarang ya biasa- biasa saja. Teman ku ketika di SMA termasuk bandel sering berurusan dengan guru, sering kena hukum, namun sekarang mereka semua menjadi orang gede”. Ternyata untuk berhasil kelak dalam kehidupan tidak ditentukan semata-mata oleh kepintaran otak , tetapi juga ditentukan oleh kepintaran yang lain- yaitu kepintaran emosional, kepintsaran sosial dan kepintaran spiritual. Pernyataan seperti ini sering terdengar dalam percakapan antar teman setiap hari. Dan inilah realita kehidupan kita.

Tulisan ini tidak berbicara tentang sukses atau tidak sukses secara umum, tetapi berbicara tentang prilaku akademik kita. Salah seorang teman saat bersekolah di SMA dan Perguruan Tinggi termasuk orang yang gemar membaca dan menulis, namun di usia dewasa kebiasaan belajarnya menjadi menurun. Teman yang lain mengatakan bahwa saat ia belajar di SD, SMP danSMA selalu menjadi bintang kelas, malah kuliahnya bisa selesai sesuai target. Namun di usia 40-an ia merasa sebagai orang yang bodoh, menjadi gatek- gagap teknologi. Tidak tahu dan tidak berani dalam mengoperasikan barang-barang elektronika. Ia kemudian merasakan kecerdasannya menjadi menciut.

Memang banyak orang kita yang merasakan bahwa dengan bertambahnya umur maka kecerdasan terasa menciut- menurun dratis. Padahal sebagian ada yang tamatan dari Perguruan. Tinggi- Kim Kyung (2010) mengakui tentang fenomena ini. Ia sendiri telah menulis artikel dengan judul “Berjalan mencegah otak menciut di hari tua”. Judul artikelnya terasa tepat dengan kenyataan yang dirasakan sebagian orang. Bila kita hubungkan dengan kebiasaan orang Eropa, seperti yang diceritakan dalam buku pertualangan, yang memang senang berjalan kaki- hiking atau menjelajah. Ternyata mereka diakui lebih cerdas.

Tidak merendahkan diri bahwa kita kadangkala malas berjalan kaki, terlalu memanjakan diri. Menempuh jarak setengah kilometer saja kita cenderung pakai sepeda motor atau buru-buru mencari ojek. “Ojek…sini dong antarkan aku ke persimpangan…!” Akhirnya tubuh kita kurang bergerak. Kita kurang keringatan, akibatnya suplai oksigen yang dibawa aliran darah ke otak kurang lancar. Maka lambat laun otak kita menjadi tidak fit and fresh (segar dan bugar). Itulah termasuk penyebab kalau akhirnya fikiran kita jadi mandeg.

Berjalan kaki sampai badan kita jadi keringatan setiap hari, mungkin berjalan untuk 2 atau 3 km, adalah salah satu cara paling mudah untuk mencegah otak cepat menyusut/ menciut di hari tua. Untuk melakukan hal ini kita tidak perlu menghabiskan banyak uang. Penyusutan ukuran otak pada orang lanjut usia dapat menyebabkan masalah memori pada otak mereka akibatnya mereka mudah lupa. Maka kebiasaan berjalan kaki dapat mencegah kepikunan.

Kita tidak perlu mencari contoh terlalu jauh. Mari kita amati orang tua yang ada di seputar kita. Mereka yang segera memutuskan untuk pensiun dalam usia yang belum terlalu tua. Apalagi kemudian mereka juga tidak melakukan aktivitas fisik, berpotensi akan cepat jadi pelupa dan pikun. Sementara mereka yang masih aktif hingga tua dan suka beraktivitas, mereka terlihat masih segar bugar hingga usia 70 dan 80 tahun (Dengan catatan bahwa mereka punya gaya hidup yang cukup istirahat dan cukup mengkonsumsi makan yang sehat).

Tidak bermaksud berlebih lebihan bahwa kakek dan nenek penulis dahulu yang tinggal di pedesaan Lubuk Alung , hidup bertani dan pola hidup sederhana: banyak melahap makanan yang serba alami, memiliki umur hingga 80 dan 90 tahun. Sementara kerabat penulis yang lain, berada di perkotaan- kurang banyak bergerak, kurang keringatan dan banyak mengkonsumsi fast food- akibatnya sering sakit sakitan di usia 60-an.

Selain kebiasaan berjalan kaki , kebiasaan mengkonsumsi makanan yang alami juga bisa mencegah merosotnya kecerdasan kita. Anna Heart (2009) juga menulis artikel tentang “makan versus vitamin untuk mencegah penyusutan otak atau alzeimers”. Dikatakan bahwa mengkonsumsi vitamin dan bahan makanan yang banyak mengandung bahan kimia, apakah itu atas nama supplement, bisa membahayan kesehatan. Mengkonsumsi vitamin dan bahan makan yang banyak mengandung zat kimia tentu tidak sebagus vitamin yang langsung dikonsumsi dari bahan alami, seperti buah buahan dan biji bijian. Sekali lagi bahwa Mengkonsumsi vitamin dari bahan makanan yang mengandung bahan kimia- penyedap dan pewarna yang terlalu berlebihan berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan, seperti gangguan pada ginjal, hati dan jantung.

Mengkonsumsi vitamin D (vitamin yang hanya larut dalam lemak) akan bisa menjadi racun bagi tubuh dan menyebabkan gangguan ginjal. Sebaliknya, kekurangan vitamin D dalam tubuh bisa mengganggu kesehatan tulang dan otak, sehingga lambat laut kesegaran otak juga akan terganggu. Sebagaimana vitamin D banyak terkantung dalam susu, maka mengkonsumsi susu untuk kesehatan dan kecerdasan otak, tereutama selama masa anak-anak dan masa remaja, sangat dianjurksa. Kalau boleh kebiasaan minum susu berlanjut hingga usia dewasa.

Kemudian bagaimana pola makan kita ? kemiskinan membuat kita dan banyak orang tidak bisa menyediakan hidangan yang ideal buat keluargsa. Ungkapan tentang kebiasaan makan yang sehat yaitu empat sehat lima sempurna sering menjadi ungkapan sekedar pajangan saja.

Hidangan empat sehat lima sempurna sering sulit untuk kita penuhi. Alasan klasik adalah karena kesulitan finansial. Bukankah banyak famili dan tetangga kita yang sulit memenuhi kebutuhan pangan, tidak mampu membeli lauk pauk dan susu. Ada yang makan nasi, tetapi lauk pauknya terbuat dari jengkol kerupuk jengkol atau kerupuk singkong . Bagaimana kebutuhan gizi dan vitamin akan terpenuhi. Bagaimana asupan gizi untuk otak akan mencukupi. Inilah alasan mengapa otak kita menjadi kurang segar dalam berfikir.

Hal yang kontra bahwa ada yang memiliki kelebihan finansial, namun kurang mengenal gaya hidup sehat. Mereka mengkonsumsi fast food dan makanan kaya kolesterol hingga mengganggu kesehatan otak dan jantung. Ya, mana mungkin orang yang kesehatannya kurang prima bisa berfikir dengan segar dan bugar. Ini pun termasuk penyebab mengapa kecerdasan cepat menciut.

Kognitif kita akan cepat mengkerut/ menciut, ini bisa terjadi karena otak itu sendiri jarang dipakai atau jarang diasah. Bagaimana cara menggunakan atau mengaktifkan otak ? secara umum bahwa otak atau fikiran banyak dipakai dalam bentuk kegiatan membaca, menulis, bertukar fikiran. Malas membaca dan menulis adalah fenomena negatif di kalangan kita.

Ayat pertama yang diturunkan Allah Swt adalah tentang Iqra’ atau membaca. Ini memberi isyarat bahwa kita (pemeluk Islam) harus senantiasa membaca dan menjadikan membaca sebagai bagian dari hidup. Ini memberi isyarat bahwa dalam masyarakat, mulai dari rumah, hingga sekolah dan di tempat pendidikan lain musti ada perpustakaan. Namun kenyataannya belum demikian. Bahwa yang mudah ditemukan pada banyak rumah adalah rak atau lemari sekedar memajang keramik, boneka, fasilitas hiburan atau home theatre. Ini tidak salah, namun porsi untuk sarana bacaan keluarga belum berimbang dengan fasilitas lain. Kemudian di berbagai sekolah, terutama di Sekolah Dasar, begitu banyak perpustakaan yang ditutup dan terlihat cuma sebagai gudang buku. Sehingga murid murid belum merasakan betapa indahnya membaca itu. Kebiasaan tidak suka membaca berlanjut hingga pendidikan selanjutnya sehingga bagaimana kita mau cerdas dan bagaimana otak akan berfungsi otminal.

Kebiasaan menulis juga belum jadi budaya kita. Kita lebih terbiasa dengan budaya oral atau lisan yaitu kebanyakan ngobrol dan ngerumpi. Manakala kita tidak terbiasa dalam menulis, maka menulis menjadi suatu hal yang berat. Begitu kita duduk di perguruan tinggi, harus menulis proposal, laporan penelitian untuk skripsi, tesis dan disertasi. Ini menjadi satu hal yang sulit. Kalau begini caranya maka D.O (Drop Out) dari Perguruan Tinggi akan menjadi fenomena yang jelek bagi sebagian mahasiswa.

Menciutnya kecerdasan kognitif atau kecerdasan otak perlu kita atasi. Hal-hal yang perlu dilakukan adalah membiasakan diri untuk banyak berjalan- kalau perlu hingga badan jadi keringatan, aliran darah dan aliran oksigen dalam tubuh begitu lancar. Otak akan jadi segar. Kemudian kita perlu menghindari gaya hidup yang berlebihan mengkonsumsi kurang sehat- fast food, makanan berkolesterol, banyak zat pewarna dan penyedap mrasa. Untuk asupan vitamin D buat otak, segelas susu hangat sangat baik untuk dikonsumsi. Last but not least (akhir kata) bahwa kita perlu membudayakan gemar membaca, menulis dan gemar bertukar fikiran (http://penulisbatusangkar.blogspot.com).

(Note: 1) Kim Kyung-Hoon (2010). Berjalan Mencegah Otak Menciut di Hari Tua. London : reuters (http://www.tempointeraktif.com), 2) Anna Heart (2009). Makanan Versus Vitamin Untuk Mencegah Penyusutan Otak dan Alzeimers. Sacramento : UCLA)

Jumat, 15 Oktober 2010

Perasaan Ditolak Yang Melukai Harga Diri

Perasaan Ditolak Yang Melukai Harga Diri
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

Mencari perhatian atau butuh perhatian merupakan ciri khas manusia. Sekaligus ciri khas ini membedakan manusia dengan makhluk lain. Perasaan itu ada dalam hati. Bentuk perasaan itu cukup bervariasi seperti: adanya rasa senang, susah, sedih, marah, dan lain-lain. Tergantung pada “mood” atau suasana hati. Ada orang yang mengatakan bahwa dia dalam keadaan good mood atau bad mood. Seseorang menjadi good mood kalau suasana hatinya lagi bahagia dan ceria. Sebaliknya bahwa seseorang dalam keadaan bad mood kalau hatinya lagi kurang enak, gelisah, murung, berduka, dan lain-lain.

Faktor keadaan bad mood bisa terjadi oleh kondisi diri sendiri, misalnya, harapan dan target hidup atau kegiatan kita yang belum tercapai. Juga bisa disebabkan oleh faktor luar, seperti karena perbedaan pendapat dengan orang lain yang menyakitkan hati. “Aduh mak…kenapa ia memandang sepele terus padaku”. Atau karena kehadiran diri kita yang kurang diterima oleh teman dan lingkungan.

Pujian dan pengakuan dari seseorang bisa menjadi indikasi bahwa keberadaan kita diterima atau ditolak orang lain. Rasa diterima dan keinginan untuk dipuji adalah kebutuhan emosional kita sejak kecil hingga dewasa, bahkan hingga tua. Memuji dan menerima kehadiran anak apa adanya bisa menjadi prasyarat agar anak bisa tumbuh menjadi cerdas dan sehat secara jasmani dan rohani.

Sangat ideal kalau orang tua tidak pilih-pilih kasih pada anak. Apakah anak cantik/ ganteng atau tidak, apakah anak pintar atau bodoh, aktif atau pasif, berani atau pemalu/ penakut, baik atau nakal. Mereka adalah anak kita, dan belahan hati kita. Membeda bedakan mereka (pilih kasih pada anak) merupakan awal dari malapetaka bagi kehidupan mereka, karena hal tersebut bisa menghancurkan harga diri dan perkembangan anak di masa depan.

Anak-anak balita (usia sekitar lima tahun) mereka berada dalam masa egosentris. Pusat kehidupan dalam pandangan mereka berada pada diri mereka. Dalam usia ini mereka memaksa semua orang mengakui bahwa apa saja yang ada di sekitarnya adalah milik dirinya. “Ini papaku, ini mamaku, ini mobilku, ini pohonku…, itu bulanku, itu lautku, itu sungaiku..!” Semua benda yang ia sebut berakhiran dengan kata “ku” sebagai kata posesif- sebagai kepunyaanya.

Semua orang dewasa, orang tua dan guru taman kanak-kanak (walau dengan berpura-pura) memberi pengakuan untuk menyenangkan dan menentramkan hatinya. “Iya benar, Ini papa dedek, ini mama dedek, ini mobil dedek, ini pohon dedek …, itu bulan dedek, itu laut dedek dan itu sungai dedek ..!”. Ungkapan itu pun diekspresikan dengan lembut.

Sungguh sang balita merasa riang gembira karena memperoleh pengakuan. Sebaliknya anak akan merasa terluka bila mendengar respon orang dewasa yang kurang memahami perkembangan jiwa balita tersebut. “Wah enak saja ya mengaku semuanya milik mu…!”. Tidak apa-apa karena egosentris pada balita akan berkurang dan menghilang dengan bertambahnya umur dan betambah pula penrgaulan/ pengalaman hidup mereka. Begitu anak masuk ke sekolah dasar dan SMP, maka egosentrisnya segera melebur.

Rasa diterima dan rasa pengakuan juga jadi kebutuhan remaja dan orang dewasa. Khususnya anak anak usia SD, SMP dan SLTA, mereka sangat butuh rasa diterima dan penghargaan. Oleh sebab itu rasa diterima dan dihargai perlu tumbuh dan membudaya sejak di rumah, terus di sekolah, dalam organisasi dan dalam lingkungan masyarakat. Rasa diterima dan pengakuan ini selanjutnya akan mempengaruhi harga diri, percaya diri, motivasi dan semangat hidup mereka dalam belajar dan beraktivitas (bekerja).
Problema terbesar dalam hidup sekarang adalah rendahnya kualitas pendidikan kita. Penyebabnya ada sejak dari rumah. Pemerintah cukup peduli tentang hal ini.

Pemerintah menghabiskan dana milyaran rupiah untuk melatih dan menatar guru, seharusnya juga para orang tua agar juga tahu tentang ilmu mendidik, atau paling kurang orang tua melakukan otodidak agar menjadi orang tua ideal- tahu cara memotivasi anak- sehingga anak memiliki motivasi dan rasa percaya diri.
Sekali lagi, bahwa penyebab awal kehilangan motivasi, semangat belajar dan percaya diri pada seseorang ada sejak dari rumah- juga mungkin dari sekolah itu sendiri. Karena kita, para orang tua, sering kikir dalam memberikan perhatian dan pujian pada anak. Andaikata anak telah melakukan aktivitas positif seperti mencat pagar, menyapu halaman, mencuci motor, membuat pekerjaan rumah, membaca buku, maka kita berfikir hal itu sebagai hal yang biasa. Anak tidak perlu dipuji lagi. Namun kalau anak melakukan kesalahan kesalahan kecil- tidak mau cuci piring, menyapu rumah, membuat PR, apalagi kalau melakukan kesalahan besar (memecahkan piring, menumpahkan susu) maka kita jadi meledak dan malah bisa naik pitam. “Pakai matamu…pakai hati mu….dasar dungu…kerja mu merusak terus!”.

Mengapa bangsa Barat bisa lebih maju dalam hal kualitas hidup/ kualitas pendidikan ? Penyebabnya adalah karena mereka merasa enteng memuji dan minta terima kasih pada siapa saja, terutama pada anggota keluarga. “Oh ..it is very good,…you are great,…how can you do it,…thank you…!”. Sekali lagi bahwa ungkapan terima kasih dan pujian sudah membudaya dalam kehidupan mereka.

Penulis sendiri mempunyai seorang anak perempuan yang masih duduk di kelas empat SD. Biasanya dia amat rajin beraktivitas di rumah seperti melipat pakaian, merapikan kamarnya, dan menyapu lantai rumah. Kebiasaan positive tersebut menghilang. Namun tiba tiba penulis menemui anak penulis tersebut berlaku sangat manis di rumah tetangga. Di sana ia menyapu teras, membersihkan debu jendela dengan duster, “Ada apa gerangan…?” Ternyata anak penulis telah memperoleh perhatian, pujian dan penghargaan dari tetangga- sehingga kehadirannya merasa berarti, “Duh…pintar sekali anak ibu…bisa menyapu teras…!”. Akhirnya penulis introspeksi diri dan kembali mememberikan kebutuhan emosinya - memberi pujian, perhatian dan penghargaan.

Selanjutnya bahwa mengapa banyak remaja yang tidak betah berada di rumah sendiri, pada hal rumahnya cukup megah dan nyaman. Begitu pula, mengapa ada siswa yang enggan pergi ke dalam kelas/ ke sekolah, enggan menemui guru. Atau mengapa ada karyawan enggan pergi bekerja, para buruh enggan menemui boss atau sang kepala. Tentu saja banyak faktor penyebabnya. Salah satu penyebabnya adalah karena tidak ada perasaan diterima, alias mereka merasa ditolak.

Edo, bukan nama sebenarnya, akhir akhir ini tidak merasa betah lagi berada di rumah. Ia merasa tidak diterima oleh mamanya sendiri. “Wah Edo,…kamu asal di rumah bercanda kayak kuda terus,…menganggu adikmu terus,…lebih baik kamu pergi jauh ke luar rumah ini”. Apa lagi hardikan dan bentakan ibu diikuti dengan wajah serius/ wajah kesal. Itulah alasan yang membuat Edo bahwa kini tempat yang paling damai adalah berada bersama teman teman meskipun berkumpul di emperan warung orang. Untuk selanjutnya sang remaja akan menutup diri terhadap orang tuanya sendiri. Kemudian sang orang tua pun akan kehilangan kharismatik di mata anak.

Banyak remaja/ siswa yang tiba-tiba jadi enggan pergi ke sekolah, malas mengikuti proses pembelajaran. Mereka memilih untuk kongkow-kongkow (bermalas-malas) di halte bus, di persimpangan jalan. Mengapa ini terjadi ? Banyak penyebabnya dan salah satu penyebab adalah merasa ditolak oleh guru atau bisa jadi oleh teman dalam kelas. “Edo…., kalau kamu dalam kelas matamu melek melulu…, atau ngobrol melulu,…..atau mencontek melulu” Itu artinya bahwa Edo lebih baik minggat saja dari ruang kelas dan kelas akan menjadi aman.

Rasa ditolak memang menyakitkan. Ada siswa baru yang belum bisa beradaptasi dengan suasana kelas yang baru. Bila ia mendekat pada teman, temannya menghindar- pokoknya ia merasa tidak diterima. Akhirnya ia mengeluh di rumah. “Papa …aku tidak mau sekolah di sini, aku mau pindah ke sekolah yang lama saja…!” Ada kalanya seseorang merasa mules atau sakit perut itu gara-gara ia merasa kurang di terima oleh teman se kerja atau oleh atasan. “Wah aku jadi migrain (sakit kepala sebelah) setiap kali terbayang teman yang bersikap sinis padaku”.

Dalam pekerjaan atau kehidupan di sektor informal, seperti di pasar,di rumah, di pelabuhan, di pabrik, dan di perkebunan, bahwa perasaan tidak diterima/ ditolak juga sangat menyakitkan. Malah bisa berakibat fatal. Dalam sebuah berita televisi swasta dikabarkan bahwa ada pengunjung kafe yang membakar kursi, sehingga menjalar membakar seluruh gedung. Penyebabya cukup sepele yaitu gara-gara tidak diterima oleh pelayan kafe. Tawuran antar pelajar atau tawuran antar mahasiswa bisa terjadi oleh gara gara sepele- merasa dilecehkan alias tidak dihargai atau kurang diterima oleh kelompok lain. Seorang remaja pria sengaja ngebut dan menabrakan sepeda motornya di depan rumah kekasih yang telah menolak cintanya. Sungguh begitu dahsyat dan berbahaya efek dari perasaan ditolak. Banyak pria atau wanita menjadi lajang sampai tua, salah satu penyebabnya karena pernah ditolak kehadirannya dan dikecewakan oleh mantan idamannya.

Perasaan diterima atau ditolak ada dimana-mana dalam pergaulan sosial. Perasaan ditolak memang sangat fenomena, bukan berarti tidak boleh ada (penolakan). Bagi yang lagi memegang kartu truff (penentu) untuk menolak, seperti dari orang tua terhadap anak, guru terhadap siswa, boss terhadap karyawan, dan dalam pergaulan antar teman dan antar yang saling mencintai, Kalau mau menolak tolaklah dengan cara bijak dan cara sehalus mungkin. “Mama tidak senang kamu mengganggu…lebih baik kamu belajar di kamarmu sendiri”. Atau pedagang berkata “Wah mas kasihan kalau begitu…nanti saya bisa rugi”. Atau calon kekasih berkata “saya senang bersahabat dengan kamu….baiknya kita berteman saja”. Dan tentu ada jutaan ungkapan penolakan halus yang perlu kita budayakan. Namun yang perlu dijaga dalam menolak adalah menolak dengan ekspressi yang kurang bersahabat sehingga melukai harga diri orang lain.

Rabu, 13 Oktober 2010

Mengejar Gaya Hidup dan Mengabaikan Kompetensi

Mengejar Gaya Hidup dan Mengabaikan Kompetensi
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

Istilah competence dan performance sering muncul berdampingan. Competence atau kompetensi berarti kemampuan dan performance berarti penampilan. Kompetensi adalah prilaku yang tidak terlihat yang dimiliki oleh seseorang, kompetensi atau kemampuan merupakan energi penggerak bagi seseorang dalam melakukan aktifitas. Sementara itu, performance atau penampilan adalah prilaku seseorang yang bisa dilihat. Penampilan seseorang, kualitasnya tergantung pada gaya hidup seseorang.

Kesadaran dan kepedulian orang terhadap keberadaan kompetensi cukup tinggi. Hampir semua orang tua mendorong anak-anak mereka agar memiliki kompetensi yang tinggi. Sejak usia bayi, anak dilatih berbicara agar memiliki kompetensi berkomunikasi dengan anggota/ anggota keluarga masyarakat. Kemudian melatih mereka dalam berhitung dan begerak agar memiliki kompetensi numerical (angka-angka) dan kompetensi kinestetik (gerak). Selanjutnya orang tua menyerahkan pendididikan anak ke mushola dan mesjid agar mereka memiliki kompetensi relijius atau kompetensi spiritual.

Sebenarnya cakupan kompetensi itu cukup luas. Dahulu anak yang cerdas atau kompeten kalau ia memiliki IQ (intelligent quotient) yang tinggi. Kemudian anak yang kompeten adalah anak yang memiliki kecerdasan berganda. Selanjutnya anak yang kompeten menurut Bobbi De Porter (dalam Zamroni, 2000: 131) adalah kalau mereka memiliki kecerdasan berganda dengan delapan kompetensi (kecerdasan) yaitu: kecerdasan space (mengenal ruangan), kinestik (gerak), music, intrapersonal (mengenal/ memahami pribadi sendiri), interpersonal (memahami pribadi orang lain), logika/ matematik dan verbal atau bahasa.

Sejak kecil hingga dewasa atau sejak sekolah di bangku SD hingga bangku SLTA atau bangku Universitas, setiap orang mungkin telah melalui puluhan kali test (ujian), apakah itu namanya ulangan harian, ulangan semester, ulangan umum, kemudian ujian nasional, ujian masuk sekolah, dan ujian masuk Perguruan Tinggi. Ujian atau ulangan itu semua berguna untuk menguji dan mengukur kompetensi yang dimiliki seseorang atas mata pelajaran atau mata ujian tertentu. Ada banyak guna ujian dalam kehidupan, seperti ujian untuk memperoleh SIM (Surat Izin Mengemudi), ujian untuk memperoleh sertifikat, kemudian ujian dalam sekolah, ujian dalam organisasi dan dalam klub-klub sosial- misal ujian untuk seleksi pertukaran pelajar antar negara.

Saat berusia muda, banya orang yang peduli dengan eksistensi kompetensi atau kemampuan. Tamat dari SMP banyak siswa yang mencari sekolah lanjutan yang menjanjikan bisa meningkatkan kompetensi akademik mereka. Ayah dan ibu juga sangat peduli untuk memilihkan sekolah terbaik buat anak-anak mereka. Malah tidak itu saja, atas nama untuk meningkatkan kompetensi maka banyak siswa yang setelah pulang sekolah buru buru untuk mengikuti bimbel (bimbingan belajar) dan kursus mata pelajaran yang lain. Sekali lagi bahwa itu semua mereka lakukan agar memiliki kompetensi akademik yang bagus.

Seiring dengan kata kompetensi, sekali lagi, ada kata performance atau penampilan. Banyak orang yang sejak kecil juga sangat peduli dengan eksistensi performance. Cakupan performance itu sendiri juga banyak, tergantung kepada paparan seseorang. Gadis kecil kelas satu atau kelas dua sekolah dasar,sebagai contoh, merengek minta dibelikan tas berwarna pink, celana jean, boneka Barbie dan pita rambut. Ini semua adalah demi penampilan atau gaya hidup yang ia mimpikan. Sementara itu seorang anak laki-laki kecil mendesak sang ayah agar membelikan mainan pistol, sepatu boot, topi, jaket untuk bisa bermimpi dan meniru penampilan toko kartunnya.

Performance atau gaya hidup seseorang memang berbeda berdasarkan selera. Gaya hidup juga memang bisa berbeda sesuai dengan jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, latar belakang, kekuatan financial dan berdasarkan musim serta tempat tinggal. Gaya hidup dalam usia remaja tentu berbeda dari gaya hidup anak-anak dan orang dewasa. Remaja sangat sibuk memperhatikan penampilan fisiknya. Mereka, misalnya, sangat peduli dengan kondisi rambut, kulit dan kondisi tubuh. Mereka merasa sangat sedih dan risih kalau ternyata kondisi tubuh tidak ideal, misal merasa kegemukan, merasa kurus, merasa pendek, terlalu jangkung atau warna kulit beda dari teman.

Dalam usia ini mereka ingin terlihat serba ideal dan tidak ingin tampil terlalu berbeda dari kelompok mereka. Merasa merasa sedih kalau ternyata berbeda. “Mengapa papa ku miskin dan papa teman kaya, mengapa aku bodoh dan teman pintar, mengapa rumahku jelek dan rumah teman bagus, mengapa penampilan mamaku agak kampungan dan mama teman ceras dan cantik”.

Secara umum bahwa ada orang yang peduli dengan competence dan sekaligus dengan performance/ gaya hidup. Ada orang yang hanya peduli dengan competence dan ada yang hanya peduli dengan gaya hidup dan masa bodoh dengan urusan competence.

Salah seorang teman penulis, dua puluh lima tahun yang lalu, tergolong berotak encer. Hari hari diisi hanya dengan belajar melulu dan hampir masa bodoh dengan urusan gaya hidup. Teman-teman hanya mencari dan membutuhkannya saat menjelang ujian dan selepas itu seolah-olah ia dilupakan lagi. Ya itu karena ia kurang peduli dalam bergaya dan mengikuti trendy dalam bergaul.

Juga salah seorang (pria), yang tidak perlu disebut namanya, memiliki pengetahuan dan wawasan yang cukup luas. Ia sendiri telah menyelesaikan pendidikan post graduatenya di luar negeri namun ia tidak banyak peduli dengan persoalan gaya hidup atau penampilan. Sehingga saat diundang untuk berceramah dalam seminar dan ia datang dengan sepeda motor bebek. Ternyata peserta tidak banyak yang mendengar isi ceramahnya. Dan pada lain kesempatan ia pun diundang untuk berceramah ditempat lain, kali ini kebetulan ia datang/ diantar dengan mobil cadilac mengkilat. Ternyata peserta banyak yang memnyambutnya malah pengunjung membludak. Sungguh competence perlu diimbangi dengan penampilan/ gaya hidup.

Adalah suatu fenomena bahwa saat liburan panjang banyak orang yang mengadakan acara reuni. Begitu pula saat lebaran banyak orang mengadakan kegiatan halal bil halal. Mereka menyelenggarakan temu ramah, temu kangen atau silaturahmi dalam gedung atau tempat yang ditentukan. Ada teman teman penulis mengatakan bahwa ia mengurungkan niatnya untuk bergabung dengan acara reuni saat melangkah ke dalam lokasi acara. Karena ia melihat penampilan teman-teman yang “serba wah”. Istri cantik, anak anak lincah dan lucu. Ia sendiri merasa penampilannya biasa-biasa saja. Sementara itu ditempat parkiran telah berjejer mobil mobil mewah. Sang teman sendiri sampai ke tempat acara hanya dengan menyewa ojek. “Wah aku batal untuk ikut acara reuni, soalnya teman-teman lama saya tidak level dengan saya mereka semua datang pake mobil mewah dan saya takut kalau sangat berbeda dengan mereka”.

“Wah jangan berfikian begitu dulu, kawan. Satu dua dari mereka memang punya mobil mewah milik mereka sendiri. Namun yang lain tentu sama saja dengan kita, mereka kan juga pegawai kecil dan pedagang kecil. Jangan terpedaya dengan penampilan mobil mewah, karena bisa jadi mobil mereka adalah mobil kreditan jangka lama dan mencicil untuk memaksakan gaya hidup. Dan yang lain bisa jadi mobil mewah mereka adalah mobil pinjaman dan mobil rental”. Memang benar, ada telpon dari hape teman mengatakan bahwa ia harus memperpanjang rentalan mobil buat tiga hari lagi. Wah lagi-lagi gaya hidup bisa jadi pelipur kehidupan.

Kadang kadang kita terlalu menomorsatukan gaya hidup dan mengabaikan kualitas. Malah ada yang berpendapat bahwa biar hidup susah di rantau orang namun bila pulang kampung pantang untuk memperlihatkan penampilan hidup yang susah. Maka bila musim mudik lebaran tiba, mereka membenahi gaya hidup, pinjam sana- pinjam sini (maaf) ada yang memakai perhiasan pinjaman atau perhiasan imitasi sehingga orang kampung tetap berdecak kagum memandang mereka sebagai orang yang sukses di rantau “wah enak ya di rantau..!”.

Kompeten memang penting untuk dimiliki dan gaya hidup juga penting. Melalui gaya hidup orang bisa memperlihatkan jati dirinya. Sebagian ada yang tampil dengan busana keagamaan, memberi isyarat bahwa mereka mengamalkan ajaran agama yang sempurna (tentu sangat bagus). Ada yang berpenampilan bahwa mereka adalah pencinta group musik metalika atau penggemar olahraga tertentu. Lewat penampilan mereka juga ingin menunjukan bahwa mereka adalah orang elite dan orang yang eksklusif.

Banyak orang yang juga peduli dengan kualitas diri (kompetensi diri). Hari hari mereka diisi dengan aktivitas belajar. Bila pulang ke rumah ya selalu membawa tas yang berisi banyak buku. Namun bila masa belajar usai- buku buku dilempar dan kebiasaan belajar banyak yang terhenti secara total. Buku hampir tidak tersentuh lagi. Majalah dan korang yang dibaca juga dipinjaman dari kantor atau dari tetangga. Mereka tidak butuh buku dan bahan bacaan lagi, namun mereka lebih peduli untuk mengejar gaya hidup.

Kaum pria dan wanita sama saja, mereka juga butuh gaya hidup. Ada para pria yang setiap kali duduk sibuk membahas tentang merek mobil atau berencana untuk ganti mobil. Para wanita sibuk membahas pernak pernik tentang penampilan rumah agar terlihat mewah. Sering percakapan di tempat kerja berubah total, bukan membahas tentang bagaimana menjadi pekerja yang professional namun bagaimana untuk meningkatkan gaya hidup.

Sebahagian orang gara-gara sibuk membicarakan tentang gaya hidup dan penampilan, namun hampir hampir tidak punya waktu untuk mengurus keluarga. “Tugas ku adalah memikirkan kesejahteraan dan penampilan rumah dan urusan pendidikan anak kan bisa diserahkan ke sekolah dan ke guru les mereka”.

Pedulilah dengan gaya gaya hidup atau penampilan, karena penampilan kita menjadi pandangan pertama bagi orang lain dalam menyukai atau tidak menyukai kita. Gaya hidup perlu diimbangi dengan kompetensi hidup. Bukankah setiap orang ingin terlihat cantik luar dan dalam. Namun kalau kita mengutamakan gaya hidup dan mengabaikan kualitas diri, maka ini adalah kesenjangan dalam diri. apa lagi demi mengejar gaya yang penuh pelipur atau fatamorgana. Cantik di luar saja, yang ideal adalah, sekali lagi, cantik luar dalam. Maka kejarlah gaya hidup dan kejar pula kualitas diri untuk kehidupan ini.

(note: Zamroni (2000). Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta : Bigraf Publishing)

Sabtu, 09 Oktober 2010

Suasana Yang Menyenangkan Untuk Meningkatkan Kreatifitas

Suasana Yang Menyenangkan Untuk Meningkatkan Kreatifitas
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

Kata menyenangkan dalam Bahasa Inggris berarti “fun”. Kata fun sekarang sangat disenangi oleh banyak pebisnis dan sangat fenomena. Banyak aktivitas sosial dan aktivitas pembelajaran yang menggunakan label fun. Yaitu seperti fun bike, fun learning, fun house atau having fun. Event atau kegiatan yang menggunakan kata fun pasti menyenangkan, karena terasa menantang dan sekaligus memberi hiburan. Sebaliknya kegiatan yang jauh dari suasana fun (menyenangkan) diperkirakan bahwa suasananya akan membosankan dan menyebalkan, itu karena suasananya banyak menekan dan menyiksa perasaan.

Dapat dibayangkan bahwa aktivitas yang bernuansa fun (menyenangkan) memang akan menggairahkan. Seperti dalam kegiatan fun bike, peserta yang bercucuran keringat namun masih menebar senyum karena di sana ada suasana riang gembira. Aktivitas fun learning yaitu suasana belajar yang membuat pesertanya selalu bersemangat dalam melakukan eksplorasi intelektual. Begitu pula aktivitas dalam fun house, yang mana anggota keluarganya selalu riang gembira karena diberi kehangatan dan komunikasi yang sangat menyenangkan.

Bayangkan kalau suasana di atas jauh dari kondisi fun, maka suasana tersebut tentu akan diganti oleh kondisi yang serba membosankan- bored atau boring. Maka selanjutnya label aktifitas akan menjadi boring bike, bored learning, boring house, atau yang lain mungkin menjadi boring school, boring game, boring hospital, dan lain-lain.

Belajar sudah menjadi kebutuhan primer kita. Banyak ungkapan ungkapan yang mendorong/ memotivasi kita untuk belajar, seperti; life long education atau belajar seumur hidup, tuntutlah ilmu dari ayunan hingga ke liang lahat, tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina, menuntut ilmu wajib bagi laki-laki dan perempuan.

Belajar itu sendiri tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga harus terlaksana di rumah dan dalam masyarakat. Belajar dibimbingb oleh guru, orang dewasa- instruktur dan orang tua. Para pembelajarnya adalah anak-anak atau siswa-siswi. Seharusnya suasana belajar haruslah menyenangkan atau fun in learning.

Rasa menyenangkan- feeling fun- memang sangat penting dalam semua aktivitas kehidupan. Dengan feeling fun hidup ini akan jadi berarti dan bergairah. Jilatan atau belaian seekor induk kucing pada anaknya akan membuat anak-anaknya jadi bersemangat dalam melompat dan mencengkram. Kata-kata yang menyejukan, dan kehangatan belaian ayah dan bunda membuat sang bayi dan balita jadi lincah dan selalu kreatif untuk bereksplorasi melalui pandangan, pendengaran dan jari-jarinya yang mungil. Sungguh rasa menyenangkan bisa membuat seseorang menjadi kreatif.

Banyak bukti yang menunjukan bahwa rasa senang bisa menciptakan kreatifitas. Sekali lagi bahwa bayi dan balita yang diasuh oleh orang tua yang memberikan rasa senang- menerima kehadirannya dan memberi kehangatan- akan membuatnya kreatif: menjadi lincah, riang gembira dan selalu melakukan eksplorasi. Guru guru taman kanak-kanak yang selalu memberikan rasa senang akan membuat anak didik jadi lincah dan cerdas. Tempat-tempat penitipan anak yang memberikan rasa senang akan membuat anak merasakan tempat penitipan sebagai rumah mereka sendiri. Pusat belanja- shopping center- yang memberikan rasa senang akan membuat pembeli menyerbu tempat tersebut.

Salah seorang teman penulis mengatakan bahwa banyak orang yang mampu membuat rumah mewah dan cantik, dan banyak stake holder yang mampu mendirikan sekolah dengan gedung yang indah dan megah, namun anggota keluarga enggan untuk berada dalam rumah atau atau anak didik jadi malas berlama-lama berada di sekolah. Penyebabnya adalah karena di sana tidak ada rasa senang atau feeling fun.

Benar bahwa cukup banyak orang yang bosan berada di rumah, di sekolah, di kantor, di tempat pelatihan, di tempat klub lainnya. Penyebabnya adalah karena di sana miskin dengan suasana yang menyenangkan. Rumah kayu yang sudah tua bisa terasa sangat menarik karena di sana ada rasa senang yang dikondisikan oleh pemilik rumah dari pada tinggal di rumah megah namun di sana penuh dengan keangkuhan, kemarahan dan tekanan terhadap perasaan. Sekolah megah atau pusat bimbingan belajara yang mewah tidak ada gunanya kalau di sana tidak ada keramah tamahan dan rasa senang.

Faktor manusia adalah faktor penentu bahwa rasa senang bisa hadir atau tidak. Rasa senang yang ada selanjutnya akan membuat warga atau peserta suatu kegiatan menjadi kreatif- tidak pasif. Pedagang, walaupun ia cantik atau tampan dan dibaluti oleh busana yang sangat bagus, namun berlaku kasar kepada pembeli/ pengunjung, maka tunggulah bahwa dagangannya bakal tidak laris. Guru dan pekerja sosial yang memberikan jasa- pelayanan pada orang lain- bila tidak ramah/ bersikap kasar, maka nasibnya akan sama dengan pedagang yang berkarakter kasar – yaitu menjadi guru dan pekerja sosial yang tidak disenangi oleh orang lain (anak didik atau client mereka).

Guru yang cuma mengejar target kurikulum, sekedar tugas mengajar, dan mengabaikan perasaan anak didik akan membuat guru tersebut (juga mata pelajarannya) menjadi sangat tidak menarik, kreatifitas anak didik akan tidak berkembang. Kemudian orang tua yang hanya banyak berharap agar anak bersikap manis dan patuh, namun kurang memahami perasaan anak, tentu akan menjadi orang tua yang tidak menarik dan rumah sendiri tidak pernah memberikan rasa senang, begitu pula dengan sang anak akan tidak kreatif dan suka bengong.

Rasa senang atau feeling fun- bisa diciptakan oleh orang tua, guru dan pemimpin dari suatu instansi. Pemimpin yang hanya pintar memonitor, merenacanakan program dan melakukan evaluasi serta berharap banyak tanpa mampu bersimpati dan berempati akan berpotensi dalam menciptakan kantor, perusahaan dan instansi yang sangat tidak menyenangkan. Pada akhirnya bawahannya akan tidak kreatif kecuali hanya sekedar bermental ABS- asal Bapak Senang atau karyawan yang bermental “Oke Boss”.

Sebuah instansi dengan boss yang membanggakan powernya dalam menjalankan kepemimpinannya. Kemudian membuat jarak sosial dan jual mahal untuk tersenyum dengan harapan agar bawahan jadi segan dan risih untuk mendekat. Namun apa yang diharapkan adalah bukan prestasi dan produktivitas yang tinggi tetapi yang terjadi adalah bawahan yang serba pasif dan tidak kreatifitas. Pemimpin seperti ini harus berfikir untuk segera mengundurkan diri sebagai pemimpin atau segera mengubah karakter agar bisa menciptakan rasa senang di lingkungan kerjanya.

Untuk fenomena di sekolah, sekali lagi, bahwa apakah perlu anak didik merayu dan memajang frase “senyum guru adalah oksigen bagiku”. Atau senyum guru adalah semangat belajar bagiku. Ini bisa menjadi indikasi bahwa cukup banyak ruang kelas di banyak sekolah- saat proses belajar mengajar- kurang dihiasi oleh senyum tulus guru. Kecuali senyum jengkel yang akan membuat kelas dan sekolah kehilangan rasa senang. Apa lagi kalau sekolah/ kelas juga selalu diguyur oleh tindakan menekan, tindakan mengancam dan tindakan meremehkan pribadi siswa, dimana pada akhirnya siswa menjadi malas, masa bodoh dan tidak punya kreatifitas sama sekali.

Pebisnis yang bergerak dalam menjual jasa, seperi perusahaan penerbangan, perbankan, perdagangan dan bisnis hiburan (tentu berharap keuntungan dari klien) sangat peduli dalam pemberian rasa senang terhadap kliennya. Mereka berbusana serapi mungkin, memberi senyum dan keramah tamahan setulus dan sebanyak mungkin. Maka tidak heran kalau banyak orang betah datang, duduk kebih lama dan menghabiskan uang di sana sehingga bisnis mereka juga beruntung. Sementara perusahaan atau instansi yang enggan memberi rasa senang dan ramah tamah, tetapi karena orang banyak terpaksa datang ke sana karena tidak ada alternative, akan memanen omelan dan umpatan dari klien, “wah saya kapok untuk mengurus surat ini atau akte ini lagi karena orangnya kasar dan sombong’.

Sungguh feeling fun, mudah untuk diucapkan, tetapi perlu realisasi. Feeling fun membuat suatu tempat (rumah, sekolah, kantor, klub, pabrik, dan lain-lain) akan jadi menarik. Feeling fun terbentuk oleh faktor tempat, waktu dan faktor kehangatan dan keramahan orangnya (orang tua, guru, pemimpin) dan selanjutnya feeling fun (rasa senang) akan membuat banyak anak, siswa, bawahan dan warga akan menjadi kreatif dan riang gembira selalu.

Minggu, 03 Oktober 2010

Mungkin Kita Sudah Menjadi Bangsa Pemarah

Mungkin Kita Sudah Menjadi Bangsa Pemarah
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar


Agaknya media massa di negara kita, terutama Televisi, telah mengadopsi gaya pemberitaan Barat bahwa “good news is the bad news”. Berita yang baik adalah berita yang mengabarkan tentang hal-hal yang buruk. Berita buruk yang kerap menjadi berita menarik untuk ditayangkan oleh media televisi adalah seputar kerusuhan supporter pemain bola yang membela tim idolanya, kerusuhan penonton konser music gara-gara bersenggolan saat saling bergoyang, tawuran antara pelajar gara-gara masalah sepele, kerusuhan antar warga kampung, malah juga kerusuhan antara orang cerdas yang duduk dalam lembaga negara.

Gambaran di atas, dan juga fenomena yang diperoleh dari dari tayangan televisi, terkesan bahwa bangsa kita sudah menjadi bangsa yang suka kerusuhan, kemarahan, dan tawuran, “Isi beritanya banyak yang seram-seram: criminal, perampokan, perekelahian dan tawuran”. Sementara itu banyak cerita-cerita dan pernyataan yang datang dari luar mengilustrasikan bahwa bangasa Indonesia adalah bangsa yang ramah tamah. Sekarang mana yang benar, apakah kita masih bangsa yang ramah tamah atau memang menjadi bangsa yang suka melakukan tawuran dan suka marah ?

Wilayah georafi Indonesia memang sangat luas dan penduduknya juga sangat banyak. Kemudian kedua bentuk karakter ini- karakter pemarah dan ramah tamah- memang selalu ada. Suasana ramah tamahan masih terasa kental bila kita berada di daerah atau di pelosok. Begitu juga di perkotaan bagi warga yang masih menjungjung tinggi nilai sopan santun dan ramah tamah. Berita yang ditayangkan oleh televisi , tentang kerusuhan dalam konser musik dan sepak nola, tawuran antara dua kubu preman, tawuran antar pelajar sampai kepada perbedaan pendapat orang orang cerdas yang lepas kendali yang berada dalam instansi negara juga sudah menjadi fenomena.

Kita sekarang sedang berada di atas dunia dan bukan berada dalam soraga. Berada di dunia berarti bahwa kita akan tetap mendengar “bad news sebagai good news”. Sejak dulu tentang “bad news” seperti peperangan, perkelahian, kerusuhan, tawuran dan kemarahan memang selalu ada. Bad news yang menjadi good news sebagai versi berita media masa sekarang boleh saja ada. Namun kalau boleh frekuensi dan porsinyanya janganlah terlalu gede sebagaimana ada sekarang ini.

Dalam realita bahwa bisa jadi porsi karakter kemarahan kita makin bertambah. Coba simak tentang berita TV dan surat kabar, yang mana porsi berita kriminal- pembantaian, perampokan, penipuan, korupsi dan kekerasan- juga semakin meningkat. Kalau ini semua adalah gambaran superficial- gambaran permukaan- maka bagaimana keadaan bagian dalamnya ? Gambaran superficial bisa jadi berasal dari masalah dan karakter yang juga tumbuh di dalam kepribadian bangsa ini. Patut kita pertanyakan sekarang bahwa, apakah keramah tamahan bisa menjadi barang yang langka kelak di negara ini ? Apakah kemarahan, kekerasan dan tawuran akan menjadi karakter kita, sebagai penggantinya ?

Pasca masa balita, seorang anak akan memasuki masa bersekolah dan dimulai dengan belajar di bangku SD, terus ke bangku SMP dan SLTA (SMA, MA dan SMK). Memasuki usia belajar berarti mereka harus mampu memahami konsep mata pelajran. Apakah mereka masih merasakan indahnya belajar bersama guru TK dan PAUD- penuh pujian dan dukungan motivasi ketika di SD, SMP dan SLTA ?. Bisa jadi “ya” dan bisa pula “tidak” dan mereka merasakan pembelajaran di sekolah ibarat berada dalam pusat rehabilitasi jiwa dan penjara. Ini bisa terjadi bisa sang pendidik (guru) lebih banyak memberikan porsi kemarahan dan kejengkelan.

“Wah kamu sulit sekali mengerti dengan konsep yang saya ajarkan, kesabaran saya jadi habis ?”.Kalimat begini bisa jadi pemandangan umum bagi kita. Namun perlu dipertanyakan bahwa apakah banyak guru yang lebih mengutamakan pencapaian tujuan kurikulum walau siswa mengerti / tidak mengerti dan segera memaksakan kehendak agar mereka bisa tenang dan mengikuti pembelajaran dengan tatapan mata yang kosong atau memprioritaskan pencapaian belajar siswa. Pembelajaran yang hanya sekedar mengejar target kurikulum, memaksa siswa untuk patuh , tidak boleh banyak bergerak dan saling mengganggu, “lipat tangan dan duduk yang manis” sungguh membelenggu kreatifitas anak. Metode enteng ini memang membuat anak patuh dan tenang, namun serba pasif dan juga agresif. Suasana yang penuh menekan berpotensi menciptakan anak jadi agresif dan menjadi pemarah kelak.

Kehidupan sosial dalam dunia anak-anak kerap sering bercorak kehidupan ala rimba, “yang kuat itulah yang akan menjadi pemenang, yang kuat akan menguasai yang lemah”. Tidak percaya ? Mari perhatikan suasana bermain anak-anak. Mereka yang bertubuh kuat dan berbadan gede merasa jagoan, mereka bergerak leluasa sambil menyenggol dan mendorong teman-teman yang bertubuh kecil dan bertubuh lemah, sehingga satu- dua anak sengaja menghindar karena ketakutan. Akhirnya mereka yang berotot kuat dan bertubuh gede menjadi jago, disegani dan ditakuti. Fenomena seperti ini perlu mendapat pehatian dari orang dewasa- guru dan orang tua. Sebab ini adalah cikal bakal dari karakter premanisme di dunia anak-anak..

Kekerasan mudah terbentuk di bangku SD dan SLTP (SMP dan tsanawiyah). Fenoma prilaku bullying (menggertak dan menakuti teman) ada di sekolah ini. Anak anak pintar sering memperoleh ancaman dari teman yang bertubuh gede dan otot kuat (namun pemalas dan bodoh) agar bisa member bantuan/bocoran selama ujian. Anak baik-baik dan lugu sering menjadi permainan bagi mereka yang merasa jago. “awas kalau kamu tidak kasih saya dalam ujian, kamu akan ku jitak”. Sungguh sekolah yang budaya belajar dan bersosialnya kurang kondusif akan subur dengan karakter gertakan dan ancaman, sehingga anak anak tertentu akan kehilangan rasa aman dalam belajar.

Karakter bullying pada anak anak perlu untuk diatasi, bila tidak mereka berpotensi menjadi trouble maker dalam masyarakat. Di sekolah yang suasana pembelajaran sangat miskin- ekstrakurikuler tidak berjalan dan tidak ada pemodelan dari figure guru (karena guru hanya bersembunyi dalam menara gading/ kantor majelis guru)- akan melahirkan siswa yang gemar keluyuran dan melakukan hal iseng- mengganggu orang lain. Kalau begitu sekolah sekolah yang perpustakaanya terkunci sepanjang masa dan sekolah yang siswanya miskin dengan aktivitas positif perlu untuk mengubah performent sekolah tersebut.

Populasi penduduk Indonesia makin bertambah. Kerumunan orang dalam ruangan (dalam kota , dalam rumah, dalam kantor, dalam gedung) juga makin bertambah. Akibatnya orang akan mudah menjadi stress, apalagi jumlah pengangguran juga meningkat. Tersenggol sedikit bisa membuat orang jadi bentrok, salah omong dan salah lihat orang bisa jadi marah. Dalam hal ini, kemampuan beradaptasi dan bersimpati perlu untuk dimiliki.

Adaptasi adalah kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri, yaitu kemampuannya dalam menerima dan memahami kekurangan temannya. Ia harus memahami apakah sang teman punya karakter “talk active, hyperactive, pembosan, easy going, ceroboh” dan mereka harus bisa saling memahami dan bisa hidup berdampingan. Kemampuan bersimpati juga bisa meningkatkan keharmonisan dalam bergaul. Simpati adalah kemampuan memahami apa yang sedang dirasakan oleh teman/ orang lain, sehingga ia kemudian bisa hidup berdampingan bersama.

Kemampuan bersimpati dan beradaptasi mutlak diperlukan dan dimiliki oleh seseorang. Kemampuan beradaptasi dan bersimpati perlu untuk dimiliki oleh orang dewasa terahadap remaja dan anak, dari pemimpin terhadap bawahan, oleh guru terhadap murid, oleh orang tua terhadap anak dan dari orang yang melayani (aparat pemerintah) terhadap masyarakat (orang yang dilayani), kalau tidak maka mereka- orang dewasa, guru, orang tua, dan stakeholder/ pemilik kekuasaan akan leluasa untuk mengumbar kemarahan- menggunakan kekuasaan mereka sebagai sumber untuk memarahi orang yang berada dalam posisi bawah.

Karakter suka marah juga bisa tumbuh subur dalam suasana yang pengap- sempit, ramai, tidak ada pembagian kerja, tidak ada manajemen rumah tangga dan miskin toleransi. Rumah rumah yang begini cukup banyak, apalagi sejak migrasi ke kota sudah jadi budaya. Umumnya banyak keluarga yang hanya mampu membuat atau mengontrak rumah dengan ruangan kecil dan dihuni oleh anggota keluarga yang cukup ramai. Bagaimana kalau di sana juga tidak ada house management ?.

Rumah tangga yang tumbuh tanpa manajemen akan cenderung jatuh pada kebiasaan “gali lobang tutup lobang”, yang maksudnya adalah meminjam uang untuk menutup hutang sebelumnya. Kemudian rumah tangga yang kurang jelas dalam job description sehingga anggota keluarga yang laki-laki kebingungan dalam mencari kegiatan dan kaum wanita kelebihan beban kerja. Soalnya dalam pola keluarga berciri tradisionil, pekerjaan mencuci, memasak, mengasuh/ mendidik anak dianggap pekerjaan feminin dan pria merasa maskulin merasa jatuh harga dirinya kalau kebetulan ikut serta. Akibatnya maka berlipat gandalah beban kerja kaum wanita- dan akhirnya stress, depresi dan meledak dalam bentuk kemarahan. Ini kemudian akan menjadi bagian dari hidupnya.

Anak yang tubuh bersama ibu yang pemarah dan ayah yang masa bodoh, tentu juga kurang memiliki pribadi yang kurang stabil- mereka juga pemarah, mudah menarik diri dan juga kurang punya pribadi yang stabil karena mereka melihat tokoh di rumah- ayah dan ibu- juga demikian. Dikatakan oleh orang bijak bahwa anak belajar dari kehidupan- anak yang diberi cinta dan kasih sayang akan juga menyayangi, anak yang tumbuh dengan cercaan dan amarah akan menjadi orang yang suka mencerca dan marah-marah.

Terus kalau ditelusuri ke dalam dunia institusi- kantor, PNS, swasta, BUMN, dan usaha lain bahwa adakalanya orang yang menempati posisi atas menunjukan powernya terhadap yang berada dibawah. Power tersebut mereka perlihatkan kadangkala dengan suasana amarah. Itulah fenomena hidup bahwa yang merasa berkuasa leluasa untuk memarahi yang dikuasai, yang merasa kuat leluasa untuk menekan dan memarahi yang lemah. “Kenapa kok menonjolkan kekuasaan dan amarah bisa menjadi fenomena ?, Mengapa tidak kita tidak menonjolkan kompromi dan persuasive, serta mempengaruhi orang lain (partner dan teman). Sekali lagi mari kita pertanyakan bahwa apakah kita memilih menjadi bangsa pemarah ataukah menjadi bangsa yang masih menjunjung tinggi nilai ramah tamah ? Setiap orang tentu akan punya jawaban tersendiri.

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...