Jumat, 09 Januari 2015

Lintau Buo



Lintau Buo
            Lintau Buo adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Tanah Datar- di Propinsi Sumatera Barat. Daerah ini terletak di lereng Gunung Sago, di pinggiran Batang Sinamar. Daeranya subur dan di sisinya terbentang perbukitan Gunung Barisan dengan puncak yang bergelombang. Bentangan puncaknya mirip dengan pegunungan di daerah Guang Dong China, kata Anne Bedos.[1]
Aku sudah tahu bahwa penempatan aku sebagai guru adalah di SMA Negeri 1 Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar dari SK (Surat Keputusan) pemerintah yang diantarkan oleh Pak Pos dan Giro di Payakumbuh. Hari itu aku datang sendirian ke Lintau dan aku harus menemui Kepala Sekolahnya yang bernama “Drs. Abuzar”.
Aku kemudian mencari tempat kosan sebagai guru muda di Desa Ampera dekat Balai Tangah. Dalam beberapa hari aku datang lagi membawa barang- barangku dari Payakumbuh dan aku dibantu oleh adikku Naser. Ia berjasa ikut membawa barang barangku seperti kasur dan peralatan masak ke Lintau.
Aku menyewa kamar pavilion milik Hajjah Rasyidah. Di sana juga ada beberapa guru- guru muda yang juga baru diangkat. Jadinya aku punya teman guru-guru muda. Mereka adalah Emrizal, Ismet Eliskal, Nazarruddin dan Latif Pramudiana Sukara.
            Aku merasa tidak seperti guru tetapi seperti mahasiswa PL (Praktek Lapangan) saja. Bedanya kalau tiap pagi kami jalan bareng menuju sekolah memakai seragam PNS (Pegawai negeri Sipil). Dan para tetangga menyapa kami, mereka tidak menyebut nama kami lagi, meski kami tetap merasa masih ABG. Haaaa ha…tapi para tetangga memanggil kami  “Bapak”, pada mulanyakami merasa risih dan lambat laun jadi terbiasa dipanggil “Bapak”.
Tiba- tiba pada suatu hari ada rombongan siswaku datang dari SMA Negeri 1 Pakan Rabaa (dekat Payakumbuh) datang ke kosanku di Lintau. Mereka jadi sedih berpisah denganku dan mereka berharap agar aku bisa balik lagi menjadi guru di sana.
Sedih dan metetes juga air mataku mendengar permohonan mereka. Memang setiap kali ada pertemuan. Itu terasa sangat indah dan setiap kali berpisah sungguh membuat aku terasa sangat menderita, sedih sekali. Dan c’est la vie..itulah kenyataan dalam hidup. Namun rasa sedih bisa pulih, hingga stabil kembali, seiring dengan pertambahan waktu.
            Jadinya aku memulai kehidupan baru dengan suasana yang baru pula yaitu menjadi guru. Memang bahwa  aku sangat menikmati karir sebagai guru baru. Agaknya saat itulah aku merasa bahagia. Kami para guru muda punya kegiatan yang membuat hidup ini indah. Kami tiap sore masak bareng- bareng- ibarat tinggal di kosan mahasiswadahulunya. Juga kami belajar bareng- bareng mempersiapkan materi mata pelajaran buat hari berikutnya. Kadang-kadang kami juga  mengunjungi rumah siswa, buat silaturahmi dengan orang tua mereka.
            Bila musim durian tiba, para siswa mengundang kami agar mampir ke rumah mereka dan biasanya ada pesta makan durian pake nasi ketan. Kami menjalin komunikasi yang akrab dengan siswa dan juga dengan orang tua mereka. Saat itu ada lima guru muda dan masing-masing siswa mengidolakan kami.
Kami berlima ada sebagai guru Bahasa Inggris, Fisika danKimia. Para siswa adalah sahabat kami.             Bila hari minggu datang,  beberapa siswa perempuan mampir ke pavilion kami. Mereka senang melihat bapak guru mereka memasak…meski rasa hidangan kami tidak begitu lezat, karena sering kelewat asin, kelewat pedas atau kelewat hambar….dan mereka sering membantu kami memasak. Dan mereka lebih jago memasak disbanding kami semua.
            Setiap awal bulan baru datang maka itu adalah hari yang indah. Karena kami bisa memperoleh gaji yang bisa kami gunakan buat membeli makanan yang enak.  Aku juga menyisihkan gajiku buat membantu ibuku di Payakumbuh. Biasanya aku luangkan waktu  buat pulang ke Payakumbuh. Aku juga membeli oleh-oleh buat ibu dan adik-adik.
Yang membuat aku bahagia adalah saat aku bisa menyodorkan uang jajan buat ibu. Ya Allah itulah saatnya aku membalas jasa ibu. Dan itu pun tentu nggak seberapa dibandingkan jasa dan ketulusan ibu sejak aku masih bayi, merawat dan membesarkan aku dengan penuh rasa kasih dan cinta. Tentu saja aku jua mendoakan ayah dan ibu, agar Allah melimpahkan kesehatan dan rezki yang cukup bagi mereka.
“Moga moga orang tuaku yang sudah berada dalam tidur yang panjang selalu merasa daman dan tenang. Moga moga Tuhan menyayangi mereka selalu, amiiin”.
            Bila sore tiba aku dan Emrizal pergi ke Mesjid Raya di Balai Tangah buat melakukan sholat magrib berjamaah.  Aku senang memakai baju panjang lengan karena membuat statusku sebagai guru semakin mantap. Di lain waktu aku juga pergi sholat di Mushola di daerah Payabadar. Ha…ha…akibatnya aku sering dikunjungi oleh ibu-ibu atau bapak-bapak dan mereka sering bertanya padaku:
“Apakah aku sudi menjadi menantu mereka, maksudnya apakah aku sudi menikah dengan anak gadis mereka”. Dan untuk hal ini aku harus bersikap hati-hati, menimbang untuk menerima atau  menolak tawaran mereka secara baik-baik tanpa menyinggung perasaan orang. 
            Kadang-kadang aku pergi sholat ke mesjid sendirian dan pulang ke rumah bareng dengan jemaah yang berusia tua. Ada seorang jemaah pria yang sudah berumur tua, kami sering pulang bareng. Dia sering bercerita:
“Aku ibarat mobil baru dan lampunya masih terang, sementara dia sendiri sudah tua dan juga ibarat mobil yang sudah tua. Mesinnya  mudah rusak- sering mogok- sehingga sering masuk bengkel. Maksudnya bahwa dalam usia tua, dia sering pergi ke rumah sakit”.
Dia menambahkan bahwa mataharinya sudah amat senja dan sebentar lagi bakal tenggelam. Kalimat-kalimat seperti itu sangat berbekas dalam memoryku. Bahwa manusia itu wajib tua dan wajib tenggelam atau meninggal. Secara tidak langsung bapak tua itu telah berbagi pengalaman hidup bagiku, yakni aku juga  harus mempersiapkan diri selagi masih masih muda dan juga kelak bakalan jadi tua.
Saat jiwa ku terasa kosong maka nasehat-nasehat seperti itu bisa muncul kembali dalam memoriku….dimana aku juga  harus mendekatkan diri pada Allah. Kini bapak tua yang bijaksana tersebut memang sudah meninggal dan kata kata bijaknya selalu lengket dalam memoriku.  

Menyenangi Kelas Yang Membosankan
            Di tahun 1990-an  SMA Negeri 1 Lintau memiliki 3 penjurusan, yaitu IPA, Sosial dan Bahasa. Entah bagaimana (secara tidak langsung) para siswa sepakat menganggap bahwa jurusan IPA adalah jurusan yang favorite, kemudian jurusan Sosial sebagai jurusan yang bagus dan jurusan Bahasa sebagai jurusan yang kurang favorite. Itu akibat system rekruitmen  yang kurang bagus, yakni semua anak anak yang lemah motivasi belajarnya berkumpul dalam jurusan Bahasa. Jurusan ini harus belajar bahasa Inggris 10 jam per minggu. Itu berarti aku harus mengajar kelas yang membosankan- siswa yang rendah motivasi belajarnya.
            Menjadi guru di kelas dengan motivasi belajar rendah memerlukan seni mengajar tersendiri. Jadinya seorang guru tidak mungkin  terlalu berorientasi pada buku teks. Dalam mengajar, aku  memakai filsafat  air, yaitu  aku harus mengalir. Atau aku harus ibarat angin, dimana ada saat tenang dan ada saat ribut. Ternyata saat suasana kelas tenang, kosentrasi siswa bagus- lagi fokus- maka  aku dengan mudah bisa memberikan konsep tentang materi bahasa Inggris dan habis itu memberi latihan dan praktek.
            Namun bila  kosentrasi belajar siswa lagi hancur…. ya aku juga menikmati suasana yang hiruk pikuk, dengan catatan aku harus mengingatkan agar mereka tidak sampai mengganggu kelas di sebelah. Dan utuk kelas ini aku selalu ingat dengan seorang siswa yang bernama “Asmadi”.
            Siswa yang satu ini cukup  lucu dan humoris. Asmadi anaknya heboh, selalu bikin eksperimen. Suatu hari ia sengaja menyembunyikan semir sepatu dalam tasnya. Mungkin ia selalu memperhatikan penampilanku- aku selalu memakai sepatu selalu kotor kesekolah, karena aku jarang  menyemir sepatu. Nah tiba-tiba Asmadi tampil ke depan dan ia segera menyemir sepatuku, haaa haaa..!!!.  
            Jadinya aku merasa sangat  senang sepatuku disemir hingga jadi bersih dan mengkilap. Aku malah menjulurkan kakiku- sepatuku, agar  Asmadi bisa menyemir sepatuku. Kelas menjadi heboh namun bersemangat. Setelah  mereka letih tertawa maka konsentrasi mereka muncul lagi dan aku melanjutkan mengajar Bahasa Inggris hingga bell pulang berdentang.
            Jumlah siswa atau populasi siswa saat itu cukup banyak. Lebih dari 40 siswa per kelas. Kalau dalam kelas terdapat lebih banyak siswa laki-laki maka kebisingan kelas lebih keras dan kalau aku ngomong maka volume suaraku jadi hilang ditelan oleh suara mereka.
Jadinya suaraku harus bisa melebihi kebisingan suaramereka. Aku sering merasa capek karena ngomong keras-keras dalam kelas dan untuk itu sekali- sekali aku pergi ke kantor buat minum untuk melepas dahaga, kalau bisa minum segelas susu tentu lebih baik lagi, karena energiku bisa pulih lagi.
            Aku menyadari bahwa mengajar kelas yang besar populasinya dan siswanya rendah motivasi belajarnya…yaa…  memang kurang enak, namun inilah perjuanganku sebagai guru. Kalau aku bisa membantu siswa yang lemah motivasi menjadi lebih berhasil maka itu berarti aku lebih berhasil sebagai guru.
            Meskipun aku lelah selama mengajar namun aku mesti terlalu tersenyum dan aku selalu berusaha tampil bersemangat. Sebab kalau aku tidak tersenyum dan tidak ceria maka semua siswa terlihat juga tidak bersemangat. Juga aku menghindari untuk tidak banyak duduk, aku harus banyak berjalan dan untung usiaku masih muda, dengan demikian siswa merasa aku layani dalam belajar.
            Sekali-sekali siswaku mengajakku untuk ikut pesta makan-makan. Lokasinya pesta kami cukup sederhana, ya seperti dipinggir sungai di Desa Purnama di Lintau. Kadang kadang kami pergi ke Puncak Pato atau pergi ke Ngalau Pangiang. Di sana kami menelusuri galeri ngalau yang penuh dengan burung layang-layang yang bertebangan. Acara jalan jalan atau menjelajah bareng siswa cukup bagus buat mendekatkan hubunganku dengan siswa. Kalau mereka dekat denganku maka mereka secara tak langsung akan menyukai mata pelajaran Bahasa Inggris.


[1] Salah seorang teman ku dari grup Spelelologie Perancis

Wisuda Tanpa Ada Perayaan



Wisuda Tanpa Ada Perayaan
            Selama aku menuntut ilmu di UNP agaknya ibuku nggak pernah datang, walau jarak Padang dan Payakumbuh hanya bisa dijangkau dalam waktu 3 jam. Sementara ayahku rasanya juga nggak pernah berkunjung dan melihat perkembangan kuliahku. Bagaimana aku bisa berharap mereka bisa datang ke tempat kosanku sementara mereka sebagai ayah dan ibuku ternyata sudah nggak rukun. Sementara kepedulian mereka terhadapku hanya sebatas memberi aku pakaian, makanan  dan ya….memang itu cuma rasanya. Tapi itu sudah cukup bagiku.
            Aku kuliah dengan penuh semangat dan sebagai mahasiswa aku juga memperluas pergaulanku. Dengan demikian aku punya banyak kesibukan positif. Aku ikut aktif di perpustakaan mesjid, aku aktif menambah ilmu agama, aku aktif menjadi guru les privat, aku pernah menjadi guide. Namun aku selalu menomor satukan kuliahku. Akhirnya aku bisa menyeleaikan semua SKS (system kredit semester). Setelah itu aku menemui PA (Penasehat Akademis) dan ikut mengurus keputusan untuk wisuda.
            Aku memberitahu kepada abangku bahwa aku harus wisuda. Aku berharap abangku memberi tahu kepada ayah dan ibu dan juga adik-adiku agar mereka menghadiri peristiwa wisudaku. Sore itu abangku pergi ke Payakumbuh dan aku berharap bahwa wisuda adalah hari paling bahagiaku.
            Pagi berikutnya aku melihat teman teman yang mau wisuda udah selesai berdandan. Ada yang pergi ke salon dan ada yang berdandan mandiri dan mereka terlihat begitu gagah dan cantik. Disamping itu, orang tua mereka, kerabat mereka udah berdatangan untuk merayakan hari yang bahagia itu. Sementara itu, aku bagaimana ?
            Aku harus mengusir rasa lesu. Lesu karena aku wisuda tanpa ada yang mendampingiku. Ternyata abangku juga tidak hadir untuk merayakan acara wisudaku. Mengapa ia tidak hadir ? Barangkali karena aku wisuda lebih duluan dari abangku- mata kuliahku sudah selesai lebih awal dari abangku - dan aku tidak mau nanti ia diledek oleh teman-teman satu kos, sebagai orang yang lamban dan wisuda dikalahkan oleh adeknya (aku sendiri). Dan ibu ku serta ayahku, dimana ? Ya sudahlah. Karena pasti juga ada orang lain yang juga wisuda sendirian.
Wisuda sendirian[1], ya bisa dalam bentuk senang dan sedih. Juga ada orang yang punya hari sejarah (hari wisuda) sebagai  yang hari bersejarah dalam hidupnya. Tentu saja itu merupakan moment  yang tidak akan terlupakan dalam hidup saya yaitu keluar dari gerbang kampus, atau menjadi alumni baru.
Itu berarti ijazah sudah di tangan. Semua orang tersenyum dan wajah ceria, namun suasana sedih bisa datang karena begitu keluar graha (ruangan upacara wisuda) jadi tidak tahu harus datang ke siapa karena tak ada siapa-siapa yang menunggunya di luar, sedangkan orang lain datang dengan penuh kecerian kearah orang tua dan saudara-saudaranya. Jadi dia hanya wisuda sendirian tanpa ditemani tahu ortu dan sudaranya. Ya karena wisuda secara diam-diam. Namun tentu masih ada yang patut disyukuri yaitu keberadaan teman-teman  yang masih setia dan menyambutnya di depan graha.  Tak pernah terpikirkan kalau akan wisuda dalam keadaan seperti ini tp itulah realita hidup.
            Ah…aku juga demikian, wisuda tanpa kehadiran siapa- siapa, termasuk juga tidak ada acara berfoto-foto yang akan memberiku sejuta kenangan. Aku memilih kemeja panjang lengan dan berwarna putih, celana panjang warna gelap. Kemudian aku memakai pakaian wisuda dan toga. Aku berjalan sendirian dengan gagah, tanpa ada yang melepas dari kosan dan juga tidak ada pihak family yang menunggu di aula UNP yang cukup besar.
            Di sekeliling gedung sudah dipadati oleh wisudawan dan wisudawati dengan dandan terbaik mereka. Kaum kerabat dan orangtua mereka saling melempar senyum. Aku tidak boleh cengeng dan aku berjalan sendiri menutup rasa sedihku dengan senyum yang dibuat-buat. Aku juga ingin ada yang memfotoku. Tetapi aku nggak punya kamera- padasaat ituphonecell yang punya kamera belum adalagi.
Untung aku duduk disebelah Kasmizal, temanku satu jurusan. Atas kemurahan hatinya  ia mengambil fotoku bareng dia. Itulah yang menjadi sweet memoryku hingga sekarang bahwa aku pernah diwisuda dan aku pernah kuliah, kalau nggak ada…..ye tentu ngak ada buktinya bahwa aku pernah kuliah dulu. 
            Usai acara peresmian wisuda, aku meleburkan diri juga ikut memberi salam buat rekan-rekan. Mereka kemudian bergabung dengan orang tua dan kerabat mereka buat makan-makan dan mengabadikan kenangan paling manis tersebut. Aku sendiri ?
            Rasanya menjadi kenangan manis dan ada pahitnya. Ya aku memutuskan buat pulang ke kosanku. Aku cuma merayakan wisudaku sendirian. Aku masih dalam pakaian wisuda dan aku memakai toga, aku hanya mengagumi diri sendiri, memuji diriku sendiri. Aku berharap agar abangku hadi dan paling kurang bisa menemani dan mengambil foto wisudaku di hari terindahku..ya sudahlah itulah salah satu jalan ceritaku yang nggak perlu aku sesali tetapi harus aku syukuri, bahwa aku bisa wisuda lebih cepat dari yang aku tergetkan.

Aku Menyukai Profesi Guru
            Aku sudah wisuda beberapa waktu yang lalu dan Alhamdulillah aku juga lulus dalam  rekruitmen (penerimaan) tenaga guru buat SMA di Sumatera Barat. Aku berfikir bahwa tidak ada lagi kegiatan yang bisa aku lakukan di Padang. Jadinya aku memutuskan saja untuk pulang kembali ke Payakumbuh. Sementara abangku masih tinggal di Padang karena ia harus menyelesaikan perkuliahannya di fakultas tekhnik UNP (Universitas Negeri Padang).
            Ayahku seorang polisi dan ia punya relasi dari kalangan guru. Salah seorang relasi atau teman ayah menyarankan aku untuk  menjadi tenaga guru honorer, sambil menunggu surat SK ku pada salah satu sekolah. Aku ingin mengajar di SMA Negeri 2 Payakumbuh, yang terletak di Bukit Sitabuh- Dekat Air Tabit. Namun sekolahnya belum butuh tenaga honorer. Aku mencari sekolah lain.
Akhirnya aku menjadi guru honorer di SMA Negeri 1 Pakan Rabaa Gadut, Kab. Lima Puluh Kota. Wow..betapa senangnya aku jadi guru, meski uang honorer yang aku terima tidak seberapa namun aku sangat gembira menjadi guru muda di sana. Aku mengajar siswa kelas 10. Aku merasa siswa SMA seperti teman-temanku, mungkin karena usia kami nggak jauh.
Untuk menuju sekolah, aku harus  naik angkot pedesaan dari pasar Payakumbuh menuju desa Pakan Rabaa. Aku biasanya berhenti di mesjid di daerah Air Randah buat sholat zuhur. Setelah itu aku berjalan menuju sekolah lewat jalan tikus (jalan pintas), melintasi sawah dan kebuh bareng siswa. Aku merasa nyaman jalan bareng siswa ku. Ya mereka aku rasa seperti teman sendiri.
            Setelah pulang dari sekolah, aku punya waktu yang berlimpah dan kegiatanku tidak ada. Aku hanya di rumah saja. Sementara itu ibuku tidak memiliki ternak ayam broiler lagi- bisnis itu terkesan sudah bangkrut. Wabah penyakit unggas membuat ibu tidak berselera lagi melanjutkan bisnis unggasnya. Keberadaan aku di Payakumbuh juga bisa menemani ibu untuk berbagi hati.
“Aku memilki banyak waktu dan aku memutuskan untuk menjadi seorang guru yang hebat, jadinya aku kembali belajar untuk mengembangkan diri”.
Oleh sebab itu aku mencari buku yang aku  minati. Semuanya aku baca agar dan moga- moga bisa menambah wawasanku. Aku senang membaca buku autobiografi para tokoh sukses, buku psikologi, buku filsafsat, buku agama, buku ilmu mendidik (paedagogi) dan buku humaniora lainnya.
            Aku juga bertekad untuk membaca yang kuat seperti yang dilakukan oleh paramahasiswa di Jepang. Kehebatan membaca mereka sangat terkenal. Ya mereka banyak membaca dan aku memutuskan untuk membaca buku sebanyak 100 halaman per-hari.
Dengan target demikian aku bisa menamatkan 1 atau 2 buku per-minggu. Haaa haa…sangat  dahsyat juga. Jadinya aku mampu membaca puluhan buku dalam satu tahun. Tentu saja  aku tidak  asal membaca. Maka dalam membaca buku aku menggunakan pensil buat menggaris kalimat kalimat yang berkesan bagiku.  Bila selesai membaca, maka semua kalimat yang aku garis bawah1, aku tulis kembali ke dalam buku catatanku. Catatan tersebut sangat berguna sebagai resensi bila aku harus menulis artikel.
“Rasanya aku sudah membaca ratusan judul buku. Ini semua membuat aku menjadi kaya dengan ilmu pengetahuan”.  
            Disamping banyak membaca, aku juga melatih kepekaanku dalam menulis. Mengapa ? Ya karena aku mengagumi para penulis dan aku juga ingin jadi penulis yang hebat. Jadinya aku harus  berlatih (membiasakan) menuliskan ide-ideku. Berlatih merangkai ide-ide. Ya memang terasa cukup sulit.
“Bagaimana aku bisa menulis yang lebih panjang ?” Saat itu aku sering gampang terjebak kehabisan ide dalam menulis. Akibatnya tulisanku mentok..susah selesainya dan bila selesai, tulisanku  nggak terasa indah.
            Ternyata menulis itu juga ibarat melukis. Bagaima ya cara melukis itu ? Pada mulanya harus dimulai dengan membuat garis-garis kasar dulu dan setelah itu baru dilukis secara detail. Demikian juga dalam menulis, yakni aku harus menentukan garis garis besar yang bakal aku kembangkan. Setelah itu baru aku tulis ide-ide  yang lebih terinci/detail.
            Agar tidak kehabisan  ide saat menulis maka kita perlu tahu dengan strategi menulis. Ternyata menulis itu gampang, hanya memaparkan ide berdasarkan apa yang terlihat didengar, dialami dan juga berdasar pengalaman orang lain. Sekali sekali aku memperhatikan gaya bahasa penulis lain. Bagaimana gaya bahasa Buya Hamka[2], gaya bahasa La Rose[3], Lily Munir[4], gaya bahasa Zakiah Darajat[5], dan lain-lain. Yang penting setiap hari aku meluangkan waktu buat berlatih menuliskan ide-ide.
            Ternyata bila kita punya banyak wawasan, maka  kita bisa menjadi penulis dan sekaligus sebagai guru yang mengasyikan. Sebagai guru bahasa Inggris maka aku tidak harus berbicara tentang vocabulary, grammar, pronunciation melulu. Kalau ini terus yang aku bahas tentu para siswaku bakal bosan. Maka bila ada waktu senggang, aku sengaja duduk bareng dengan siswa. Kami sering ngobrol tentang mencari pekerjaan, cara memotivasi diri, tentang kepribadian dan juga bagimana jatuh cinta yang sehat.
Kami juga berdiskusi tentang agama dan juga tentang tentang sejarah Rasul dan para sahabat. Juga tentang pengalaman pribadiku saat kecil, remaja dan saat kuliah di Padang.  


[2] Seorang ulama berasal dari Minang- SumateraBarat
[3] Penulis wanita, tulisannya sering muncul dalam majalah wanita (femina, kartini, dan sarinah) dalam tahun seputar sebelum tahun 1990-an.
[4] Penulis kolom (kolumnis) pada majalah femina di tahun 1980-an)
[5] Tokoh wanita asal Minang dan pernah sebagai ketua DPA (Dewan Pertimbangan Agung)

Menjadi Guru- Menyenangi Profesi

Menjadi Guru- Menyenangi Profesi
            Setiap orang yang punya profesi harus mencintai profesinya. Untuk hal ini nggak usah melihat terlalu tinggi ke atas, lihat saja pada petani. Seorang petani sangat menyukai dan mencintai sawah dan ladangnya, sehingga mereka memiliki alat, cangkul atau traktor, buat berusaha. Bila berjumpa sesama petani mereka mungkin ngobrol tentang irigasi, tentang pupuk dan juga tentang wabah penyakit.
            Aku memilih profesi sebagai guru dan aku harusmencintai profesi sebagai guru. Namun bagaimana seorang guru berjumpa dengan guru lain. Sebagai plesetan, bila mereka berjumpa sesama guru apakah mungkin mereka berbagi gossip atau mereka banyak mengeluh tentang gaji yang kecil dan juga tentang anak didik yang susah diatur ?
            Seharusnya setiap guru menyukai dunia pendidikan. Dan untuk itu mereka tidak harus sekedar mengejar tagihan untuk mencapai target agar anak didik buru-buru memahami buku teks, sementara anak diri belum siap kondisi dirinya. Para guru  harus memahami dunia anak didik mereka: dunia anak- anak dunia remaja. Mereka juga harus tahu lebih dalam  tentang teori mendidik (paedagogi)  dan teori memberi motivasi (psikologi). Kalau ada anak yang nakal maka itu wajar, dimana-mana di dunia semua anak itu sama saja nakalnya.
            Aku bukan tipe orang perfect atau orang yang sempurna, karena aku adalah orang biasa-biasa saja. Namun prinsipku dalam mengajar adalah “terimalah karakter semua anak itu apa adanya” dengan demikian aku harus mengenal mereka dan kita tidak perlu banyak mengeluh bila menjumpai mereka malas atau nakal selama melaksanakan proses belajar dan mengajar.
            Saat itu aku masih kuliah di tahun terakhir pada UNP. Aku punya rencana untuk bisa segera diwisuda  dan pada saat yang sama ternyata ada peluang rekruitmen untuk  menjadi guru (PNS) dan aku berminat. Karena belum punya ijazah  maka aku meminta surat keterangan bahwa aku bakal lulus dalam waktu yang singkat. Surat keterangan tersebut memberi aku kekuatan sebagai persyaratan untuk mengikuti seleksi rekruitmen menjadi guru yang diselenggarakan oleh pemerintah Sumatera Barat.
            Untuk menyukai profesi guru maka aku rajin membaca artikel tentang tokoh pendidikan. Ada banyak tokoh pendidikan di dunia ini. Aku sempat membaca kisah hidup Ki Hajar Dewantara, Muhammad Syafei’, Dorothy Law, Paulo Freire, dan lain-lain.
            Ki Hajar Dewantara[1]  berasal dan keluarga keturunan Keraton Yogyakarta. Dia mengganti namanya tanpa gelar bangsawan agar dapat lebih dekat dengan rakyat. Dia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar, antara lain De Express, Utusan Hindia,dan Kaum Muda. Sebagai penulis yang handal, tulisannya mampu membangkitkan semangat antikolonialisme rakyat Indonesia. Ki Hajar Dewantara juga aktif di bidang politik dengan bergabung ke dalam Budi Utomo, lalu mendirikan Indische Partij sebagai partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia.
Ki Hajar Dewantara memusatkan perjuangan melalui pendidikan dengan mendirikan perguruan Taman Siswa. Ia menanamkan rasa kebangsaaan kepada anak didik. Ajaran Ki Hajar Dewantara yang terkenal adalah ing ngarsa sung tulodo, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani. Artinya adalah:
“Di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi dorongan”. Selain ajarannya di bidang pendidikan, Ki Hadjar juga meninggalkan pesan yang sangat balk diteladani. Pesan tersebut kini dapat dilihat pada Museum Sumpah Pemuda di JI. Kramat Raya, Jakarta:
“Aku hanya orang biasa yang, bekerja untuk bangsa lndonesia dengan cara Indonesia. Namun, yang penting untuk kalian yakini, sesaat pun aku tak pernah mengkhianati tanah air dan bangsaku, lahir maupun batin aku tak pernah mengkorup kekayaan Negara”.
            Muhammad Syafe’i[2] adalah tokoh pendidikan dari Sumatera Barat. Moh. Syafei menuntut ilmu di Negeri Belanda dengan biaya sendiri. Di sini ia bergabung dengan "Perhimpunan Indonesia", sebagai ketua seksi pendidikan.
Di negeri Belanda ini ia akrab dengan Moh. Hatta, yang memiliki banyak kesamaan dan karakteristik dan gagagasan dengannya, terutama tentang pendidikan bagi pengembangan nasionalisme di Indonesia. Dia berpendapat bahwa agar gerakan nasionalis dapat berhasil dalam menentang penjajahan Belanda, maka pendidikan rakyat haruslah diperluas dan diperdalam.
Semasa di negeri Belanda ia pernah ditawari untuk mengajar dan menduduki jabatan di sekolah pemerintah. Tapi Syafei menolak dan kembali ke Sumatara Barat pada tahun 1925. Ia bertekad mendirikan sebuah sekolah yang dapat mengembangkan bakat murid-muridnya dan disesuaikan dengan kebutuhan rakyat Indonesia, baik yang hidup di kota maupun di pedalaman.
Mohamad Syafei mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama Indonesische Nederland School (INS) pada tanggal 31 oktober 1926. Itu sebagai reaksi terhadap sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Semboyan M. Syafei adalah "cari sendiri dan kerja sendiri”. Tujuan lain INS yaitu menanamkan kepercayaan pada diri sendiri dan berani bertanggung jawab.
Prinsip pertama yang dipegang teguh oleh M. Syafei dalam pendidikannya adalah "belajar, bekerja, dan berbuat". Apabila murid hanya mendengarkan saja ilmu pengetahuan yang diajarkan guru melalui kata-kata yang kadang-kadang tidak dimengerti,  tidak  akan  berguna bagi  murid  karena mereka tidak tahu dan tidak akan pandai mempergunakan pengetahuan tersebut dalam kehidupannya.
Pendidikan yang melahirkan bangsa yang suka meniru tanpa berpikir dan bangsa itu tidak akan dapat menjadi bangsa yang besar. Menurut M. Syafei pada setiap manusia terdapat tiga hal pokok yang dapat dikembangkan untuk mendidik manusia itu ke arah yang dikehendaki, yaitu: melihat (45%), mendengar (25%) dan bergerak (35%). Dengan bekerja dan berbuat dalam pendidikan sekaligus dapat mengembangkan seluruh pancainderanya dengan aktif. Sekolah yang baik harus aktif dan dinamis, dengan demikian anak belajar melalui pengalamannya dalam hubungan dengan orang lain.
Aku mengagumi Dorothy Law Nolte[3]. Ia adalah seorang pendidikan yang kutipannya sangat popular dalam bentuk puisi. Aku mengagumi puisi yang ia gubah, yakni sebagai berikut:
-Jika anak hidup dengan celaan, ia belajar memaki
- Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar melawan
-Jika anak hidup dengan ketakutan, ia belajar gelisah
-Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri
- Jika anak hidup dengan olok-olok, ia belajar rendah diri
- Jika anak hidup dengan iri hati, ia belajar kedengkian
- Jika anak hidup dengan rasa malu, ia belajar merasa bersalah.
- Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
- Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
- Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
- Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar mencintai
- Jika anak hidup dengan dukungan, ia belajar menyukai diri mereka sendiri.
- Jika anak hidup dengan pengakuan, ia belajar memiliki tujuan
-Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawaan
- Jika anak hidup dengan kejujuran dan keterbukaan, ia belajar kebenaran dan keadilan
- Jika anak dibesarkan dengan kebaikan dan pertimbangan, ia belajar menghargai
- Jika anak hidup dengan keamanan, ia belajar untuk memiliki iman dalam diri mereka
- Jika anak hidup dengan keramahan, ia belajar bahwa dunia adalah tempat yang bagus untuk hidup.
Dan seperti apakah dulu kita dibesarkan? Dan bagaimanakah cara yang kita  inginkan untuk membesarkan anak kita ? Untuk para pendidik, bagaimanakah dulu kita  didik di sekolah kita? Dan bagaimanakah kita ingin mendidik anak didik kita di sekolah dan juga di rumah ? Lebih lanjut aku juga tertarik dengan pemikiran Paulo Freire.
Paulo Freire[4] (lahir di Recife, Brasil, 19 September 1921 – meninggal di São Paulo, Brasil, 2 Mei 1997 pada umur 75 tahun) adalah seorang tokoh pendidikan Brasil dan teoretikus pendidikan yang berpengaruh di dunia. Freire dilahirkan dalam keluarga kelas menengah di Recife, Brasil. Namun ia mengalami langsung kemiskinan dan kelaparan pada masa Depresi Besar 1929, suatu pengalaman yang membentuk keprihatinannya terhadap kaum miskin dan ikut membangun pandangan dunia pendidikannya yang khas.
Freire mulai belajar di Universitas Recife pada 1943, sebagai seorang mahasiswa hukum, tetapi ia juga belajar filsafat dan psikologi bahasa. Meskipun ia lulus sebagai ahli hukum, ia tidak pernah benar-benar berpraktik dalam bidang tersebut. Sebaliknya, ia bekerja sebagai seorang guru di sekolah-sekolah menengah, mengajar bahasa Portugis. Pada 1944 ia menikah dengan Elza Maia Costa de Oliveira, seorang rekan gurunya. Mereka berdua bekerja bersama selama hidupnya sementara istrinya juga membesarkan kelima anak mereka.
Pada 1946, Freire diangkat menjadi Direktur Departemen Pendidikand an Kebudayaan dari Dinas Sosial di negara bagian Pernambuco (yang ibu kotanya adalah Recife). Selama bekerja itu, terutama ketika bekerja di antara orang-orang miskin yang buta huruf, Freire mulai merangkul bentuk pengajaran yang non-ortodoks yang belakangan dianggap sebagai teologi pembebasan.
Pada 1967, Freire menerbitkan bukunya yang pertama, Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan. Buku ini disambut dengan baik, dan Freire ditawari jabatan sebagai profesor tamu di Harvard pada 1969. Tahun sebelumnya, ia menulis bukunya yang paling terkenal, Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of the Oppressed), yang diterbitkan dalam bahasa Spanyol dan Inggris pada 1970. Pada 1991, didirikanlah Institut Paulo Freire di São Paulo untuk memperluas dan menguraikan teori-teorinya tentang pendidikan rakyat. Institut ini menyimpan semua arsip Freire.

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...