Rabu, 01 Juli 2015

Berharap Presiden Jokowi Berlari Sekencang Kepala Negara Malaysia dan Singapura

Berharap Presiden Jokowi Berlari Sekencang Kepala Negara Malaysia dan Singapura
OLeh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

            Dalam kehidupan ini sering kita melihat sekelompok kecil orang berbagi cerita- ngobrol- tentang hal yang ada di seputar mereka. Paling sering ngobrol tentang anggota keluarga. Membahas tentang kelebihan dan kekurangan anak- anak mereka, atau mungking membahas tentang keunggulan pasangan hidup: suami atau istri mereka. Jauh di sana juga ada kelompok lain yang mungkin mengupas tentang issue yang berhubungan dengan negara, tentu itu semua dalam bentuk debat kusir. Sebuah perdebatan yang tentu tidak perlu begitu sistematis sehingga tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah.
            Kita ini adalah rakyat dari sebuah negara yang wilayahnya begitu luas dan penduduknya begitu padat, termasuk terpadat ke empat di dunia, setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Dan negara ini, setelah merdeka sekitar 70 tahun, telah dipimpin oleh 7 orang Presiden. Tentu saja figure mereka sangat menarik buat diperbincangkan, sebagaimana kita memperbincangkan orangtua: ayah dan ibu kita.
            Presiden BJ Habibi, sangat membanggakan, karena memiliki latar belakang pendidikan yang sangat bagus di tingkat internasional. Beliau sangat intelektual dan sholeh. Konon kabarnya ia senang berpuasa Senin- Kamis, jago dengan tekhnologi dirgantara, menguasai bahasa Inggris dan Jerman dan terkenal di internasional.
Presiden Megawati juga membanggakan kita. Karena ia membuktikan pada dunia internasional bahwa Perempuan dari negara mayoritas Islam juga bisa menjadi pemimpin negara yang sangat luas.
            Kemudian, Presiden Abdul Rahman Wahid, atau popular dengan panggilan Gus Dur, juga terkenal di dunia. Beliau memiliki wawasan yang luas, intelektual, jago bahasa Inggris dan Bahasa Arab, dan sebagai penulis. Beliau adalah seorang ulama yang moderat dan politikus ulung. Semasa pemerintahan Gus Dur, beliau memberi kemerdekaan berekspresi kepada suku minoritas (Cina) dan agama minoritas Kong Hu Cu. Sehingga suku minoritas dengan senang hati sudah memperlihatkan eksistensi mereka. Setiap tahun baru Imlek, suku bangsa Cina telah bisa mengucapkan Xong Chi Fa Chai. Suku bangsa Cina meski jumlah mereka minoritas namun punya peran signifikan dalam kemajuan ekonomi bangsa.
            Presiden SBY, atau Susilo Bambang Yudhoyono, dan Presiden Suharto sangat membanggakan kita. Mereka berdua sangat gagah dan berbibawa, dunia internasional cukup menganggumi dan mereka mengerti dengan militer dan membuat kestabilan buat bangsa yang luas ini.
            Presiden Sukarno, presiden pertama Republik Indonesia adalah presiden yang sangat saya kagumi. Agaknya banyak orang di Indonesia punya prinsip yang sama dengan saya. Presiden Sukarno sangat popular, melebihi populernya dari presiden- presiden yang telah saya sebutkan di atas.
            Kepopuleran Presiden Sukarno yang begitu dahsyat adalah karena ia memiliki kualitas SDM yang lebih tinggi. Kualitas kepemimpinan Presiden Sukarno saat itu sama levelnya dengan pemimpin dari negara- negara lain, dan mereka adalah pemimpin level dunia atau level internasional. Presiden Sukarno berteman akrab dengan berbagai kepala negara  seperti: Jawaharlal Nehru (Perdana Menteri India), Gamal Abdul Nasser (Presiden Mesir), John Fitzgerald Kennedy (Presiden Amerika Serikat), Fidel Castro dan utusannya Che Guevara (dari Cuba), Nikita Kruschev (Pemimpin Uni Soviet- Sekarang bernama Rusia), dan Josep Broz Tito (dari Yugoslavia). Mereka itu semua merupakan kepala negara bergengsi dari benua Afrika, Eropa, Asia dan Amerika.
            Saya merasa beruntung sempat membaca buku biografi Presiden Sukarno dalam bahasa Inggris yang judulnya “Soekarno as retold to Cindy Adam”. Isi buku tersebut sangat berbekas dalam memori. Di sana dipaparkan tentang bagaimana seluk beluk dan sepak terjang kehidupan Presiden Sukarno dari kecil hingga ia menjadi orang yang berpengaruh di Indonesia dan di internasional. Dalam paragraf berikut akan saya paparkan serba sedikit tentang beliau.
Banyak masyarakat sekarang yang belum mengenal bagaimana proses belajar yang hebat itu. Paling sering mereka hanya terbiasa belajar karena selalu diberi komando dalam belajar oleh orang tua dan guru. Atau mereka pergi ke pusat Bimbel (bimbingan belajar) atau pergi belajar ke rumah guru agar jadi pintar. Di pusat bimbinan belajar atau di rumah guru merekapun hanya sebatas mengolah soal soal ujian matematika, fisika, kimia, biologi, dan bahasa Inggris, pokoknya pelajaran yang menjadi acuan dalam ujian nasional. Namun apakah ini yang dinamakan sebagai proses belajar yang kreatif ?
Belajar sebagaimana yang digambarkan di atas baru hanya sebahagian kecil dari proses belajar, hanya sekedar menguasai konsep, dan belum lagi disebut sebagai belajar yang sejati. Untuk melakukan proses belajar yang hakiki atau belajar yang sejati maka kita bisa mengambil cermin diri dari tokoh sejarah, misal bagaimana Presiden Sukarno (Bung Karno) pada waktu kecil belajar dan melakukan proses kreatifitas yang lain (?).
Membaca adalah kebiasaan positif yang selalu dilakukan Bung Karno sejak kecil. Apa alasan mengapa Bung Karno harus gemar membaca, rajin belajar dan belajar tentang segala sesuatu ?  Didorong oleh ego yang meluap-luap untuk bisa bersaing dengan siswa-siswa bule, maka Bung Karno sangat tekun membaca, dan sangat serius dalam belajar. Ketika belajar di HBS- Hoogere Burger School  Surabaya, dari 300 murid yang ada dan hanya 20 murid saja yang pribumi (satu di antaranya adalah Bung Karno) yang sulit menarik simpati teman-teman sekelas. Mereka memandang rendah kepada anak pribumi sebagai anak kampungan. Namun Bung Karno adalah murid yang hebat sehingga satu atau dua guru menaruh rasa simpati padanya.
Rasa simpati gurunya, membuat Bung Karno bisa memperoleh fasilitas yang  lebih untuk “mengacak-acak atau memanfaatkan” perpustakaan dan membaca segala buku, baik yang ia gemari maupun yang tidak ia sukai. Umumnya buku ditulis dalam bahasa Belanda. Problem berbahasa Belanda menghambat rasa haus ilmunya (membaca buku yang ditulis dalam bahasa Belanda). Entah strategi apa yang ia peroleh secara kebetulan, namun Bung Karno punya jalan pintas (cara cepat) dalam menguasai bahasa Belanda. Bung karno menjadi akrab dengan noni Belanda sebagai kekasihnya. Berkomunikasi langsung dalam bahasa asing (Bahasa Belanda) adalah cara praktis untuk lekas mahir berbahasa Belanda. Mien Hessels, adalah salah satu kekasih Bung Karno yang berkebangsaan Belanda.
Dalam usia 16 tahun, Bung Karno fasih berbahasa dan membaca dalam Bahasa Belanda. Ia sudah membaca karya besar orang-orang besar dunia. Di antaranya dalah Thomas Jefferson dengan bukunya Declaration of Independence. Bung Karno muda, juga mengkaji gagasan-gagasan George Washington, Paul Revere, hingga Abraham Lincoln, mereka adalah tokoh hebat dari Amerika Serikat. Tokoh pemikir bangsa lain adalah seperti Gladstone, Sidney dan Beatrice Webb juga dipelajarinya. Bung Karno juga mempelajari ‘Gerakan Buruh Inggris” dari tokoh-tokoh tadi. Bung Karno juga membaca tentang Tokoh Italia, dan ia sudah bersentuhan dengan karya Mazzini, Cavour, dan Garibaldi. Tidak berhenti di situ, Bung Karno bahkan sudah menelan habis ajaran Karl Marx, Friedrich Engels, dan Lenin. Semua tokoh besar tadi, menginspirasi Bung Karno muda untuk menjadi maju dan smart.
Penelusuran atas dokumen barang-barang milik Bung Karno di Istana Negara, yang diinventarisasi oleh aparat Negara yang ditemukan setelah ia digulingkan. Dari ribuan item miliknya, hampir 70 persen adalah buku. Sisanya adalah pakaian, lukisan, mata uang receh, dan pernak-pernik lainnya. Harta Bung Karno yang terbesar memang buku.
Dari biografinya (Sukarno As retold to Cindy Adams) diketahui bahwa betapa dalam setiap pengasingan dirinya, baik dari Jakarta ke Ende, dari Ende ke Bengkulu, maupun dari Bengkulu kembali ke Jakarta, maka bagian terbesar dari barang-barang bawaannya adalah buku. Semua itu, belum termasuk buku-buku yang dirampas dan dimusnahkan penguasa penjajah. Apa muara dari proses belajar sepanjang hidup yang sangat kreatif adalah mengantarkan Bung Karno menjadi Presiden yang pernah memperoleh 26 gelar Doktor Honoris Causa. Jumlah gelar doktor yang ia terima dari seluruh penjuru dunia, 26 gelar doktor HC yang  rinciannya, 19 dari luar negeri, 7 dari dalam negeri. Ia memperoleh gelar doctor HC dari Far Eastern University, Manila: Universias Gadjah Mada,  Yogyakarta: Universitas Berlin: Universitas Budapest: Institut Teknologi Bandung: Universitas Al Azhar, Kairo: IAIN Jakarta: Universitas Muhammadiyah Jakarta: dan universitas dari negaralain seperti Amerika Serikat, Kanada, Jerman Barat, Uni Soviet, Yugoslavia, Cekoslovakia, Turki, Polandia, Brazil, Bulgaria, Rumania, Hongaria, RPA, Bolivia, Kamboja, dan Korea Utara.
Kemudian, bagaimana masa kecil dan proses kreatifitas  Bung Karno yang lain? Agaknya Bung Karno telah memiliki jiwa leadership (kepemimpinan) sejak kecil, karena apa saja yang diperbuat Bung Karno kecil, maka teman-temannya akan mengikuti. Apa saja yang diceritakan Bung Karno kecil, maka teman-teman akan patuh mendengarkannya. Oleh teman-temannya, Bung Karno bahkan dijuluki “jago”. karena gayanya yang begitu “pe de”. Itu pula yang mengakibatkan ia sering berkelahi dengan anak anak Belanda.
Ada satu karakter yang tidak berubah selama enam dasawarsa kehidupannya. Salah satunya adalah karakter pemuja seni. Ekspresinya disalurkan dengan cara mengumpulkan gambar bintang-bintang terkenal. Karena kecerdasan dan keluasan wawasannya sejak kecil maka pada usia 12 tahun, Bung Karno sudah punya gang (pasukan pengikut yang setia). Kalau Bung Karno bermain jangkrik di tengah lapangan yang berdebu, segera teman temanya mengikuti. Kalau Karno diketahui mengumpulkan prangko, mereka juga mengumpulkannya.  Kalau “gang” mereka bermain panjat pohon, maka Bung Karno akan memanjat ke dahan paling tinggi. Itu artinya, ketika jatuh Bung Karno pun jatuh paling keras daripada anak-anak yang lain. Dalam segala hal, Bung Karno selalu menjadi yang pertama mencoba. “Nasib Bung Karno adalah untuk menaklukkan, bukan untuk ditaklukkan”.
Bung karno menganut ideologi ‘berdiri di atas kaki sendiri’. Saat menjadi presiden Bung Karno dengan gagah mengejek Amerika Serikat dan negara kapitalis lainnya: “Go to hell with your aid.” Persetan dengan bantuanmu. Ia mengajak negara-nega-ra sedang berkembang (baru merdeka) bersatu. Pemimpin Besar Revolusi ini juga berhasil mengge-lorakan semangat revolusi bagi bangsanya, serta menjaga keutuhan NKRI. Bung Karno juga memiliki slogan yang kuat yaitu “gantungkan cita-cita setinggi bintang untuk membawa rakyatnya menuju kehidupan sejahtera, adil makmur”.
Bung Karno adalah juga orator Ulung. Gejala berbahasa Bung Karno merupakan fenomena langka yang mengundang kagum banyak orang. Kemahirannya menggunakan bahasa dengan segala macam gayanya berhubungan dengan kepribadiannya dan latihan latihan berpidato yang ia lakukan. Ketika masih belajar Bung Karno sering berlatih berpidato sendirian di depan kaca dan juga berbicara di depan gang nya.  Bung Karno juga gemar menuliskan opini-opininya dalam bentuk artikel. Kumpulan tulisannya dengan judul “Dibawah Bendera Revolusi”, dua jilid. Jilid pertama boleh dikatakan paling menarik dan paling penting karena mewakili diri Soekarno sebagai Soekarno. Tulisanya yang lain dengan judul “Nasionalis-me, Islamisme, dan Marxisme” adalah paling menarik dan mungkin paling penting sebagai titik-tolak dalam upaya memahami Soekarno dalam gelora masa mudanya.
Apa yang dapat kita jadikan I’tibar (pembelajaran) dari uraian di atas (dari kehidupan Bung Karno) dan kita hubungkan dengan cara belajar dan gaya hidupm kita ? Bahwa membaca adalah kebiasaan positif yang perlu selalu dilakukan. Sebagaimana halnya Bung Karno membaca buku-buku berbahasa asing (bahasa Belanda). Untuk membuat bahasa asingnya lancar adalah dengan mempraktekan/menggunakan bahasa tersebut dengan orang yang mahir (pribumi maupun orang asing). Setelah lancar berbahasa asing/ bahasa Belanda, ia tidak cepat merasa puas dan berhenti belajar. Ia malah membaca biografi tokoh tokoh besar di dunia dan juga buku buku berpengaruh di dunia sehingga ia memiliki wawasan dan cara pandang yang luas.
Untuk menjadi sukses maka juga perlu punya prinsip hidup “mandiri atau berdikari (berdiri pada kaki sendiri), jangan terlaku suka untuk mencari bantuan. Kemudian juga penting untuk mengembangkan pergaulan/ teman yang banyak untuk melakukan proses bertukar fikiran. Juga penting untuk melatih jiwa pemimpin- bukan jiwa penurut, pasif atau pendengar abadi.
Selanjutnya bahwa juga penting mengembang kemampuan berbicara/ berpidato lewat latihan sendiri dan berpidato didepan kelompok. Kemampuan berbicara/ berpito perlu didukung oleh kemampun menulis, karena membuat pidatio punya kharismatik an menarik. Ini dapat dikembankan melalui latihan demi lathan. Untuk menjadi maju maka kita perlu pula memiliki keterampilan berganda (menguasai seni, olah raga, dekat dengan Manusia dan dengan Sang pencipta (Allah Azza Wajalla) serta mencari inspirasi dari tokoh hebat. Maka salah satunya gaya belajar Bung Karno juga bisa menjadi inspirasi bagi kita.
            Nah sekarang kita punya Presiden lagi, yaitu Presiden Joko Widodo. Presiden ini terkenal dengan profile merakyatnya, karena suka blusukan dan tidak segan buat loncat-loncat ke dalam got untuk menginvestigasi kerusakan lingkungan. Beliau adalah figure Presiden yang merakyat banget.
            Dalam zaman cyber ini, semua orang bebas berekspresi dan tentu saja musti berekspresi yang sangat bertanggung jawab. Saat saya membuka email Yahoo, terbaca pada situs berita sebuah kritikan pedas Amin Rais yang mengatakan bahwa Presiden Jokowi ibarat burung onta yang suka menunduk-nundukan kepala. Maksudnya bahwa Presiden Jokowi suka mengundur-undur rencana untuk merombak kabinet (reshuffle cabinet). Karena kinerja menteri, sebenarnya juga termasuk kinerja Pak Jokowi, yang di awal masa kepemimpinan ini terkesan kurang berhasil Alasannya karena ia gagal dalam menstabilkan harga Rupiah yang melemah, harga pasar yang anjlok, ekonomi yang kurang bergairah dan angka pengangguran yang tinggi.
            Dulu, Presiden Sukarno punya teman- teman banyak dari pimpinan negara terkemuka di dunia dan mereka saling berbagi, maka Pak Jokowi idealnya juga harus demikian, ia perlu menimba ilmu kepemimpinan.
Bak kata pepatah “Tuntutlah Ilmu ke Negeri Cina”. Tetapi pak Jokowi tidak perlu jauh- jauh dulu ke cina, yang memang pemerintah dan masyarakatnya memiliki karakter yang tangguh, bersungguh-sungguh dalam membidangi sesuatu. Presiden Jokowi cukup belajar memimpin negara kepada Kepala Negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia yang perkembangan negara mereka sudah jauh- amat pesat- meninggalkan negara Indonesia.
            Negara Singapura adalah sebuah negara yang sangat mungil. Andai negara pulau ini digunting dan dijatuhkan pada geografi Indonesia, hanya hampir seluas Danau Toba di Sumatera Utara, mungkin lebih kecil lagi. Benar, Singapura panjangnya 42 km dan lebanya sekitar 20 km.  
            Negara kecil ini cukup miskin dengan sumber daya alam, tidak punya areal peternakan, tidak ada danau buat kolam ikan atau tambak udang, tidak ada air terjun besar  dan areal perkebunan, sawah dan ladang, namun penduduknya yang sangat padat tidak ada yang mati kelaparan. Malah penduduknya tergolong terkaya di dunia, jauh lebih kaya dari bangsa kita yang mayoritas banyak hidupnya yang sengsara.
            Apa kuncinya ? Pemerintah Singapura menciptakan pulau negara ini menjadi pusat Industri. Manajemen negaranya memakai manajemen negara industri. Maka sekarang berdiri cukup ramai pusat industri, bukan untuk memenuhi kebutuhan rakyat singapura tetap untuk tujuan memenuhi kebutuhan pasar dunia.
Singapura juga menyulap lembaga pendidikan menjadi dunia industri. Mereka mendirikan sekolah dan Universitas dan mendesai kurikulum untuk tujuan masyarakat internasional dan mendesain dan mempromosikan industri pendidikan buat negara luar. Anak-anak Indonesia yang bisa belajar di Singapura merasa bangga dan terhormat dengan sendirian. Mereka benar-benar pintar merancang image.
            Bayangkan dari kebijakan menciptakan negara berbasis industri- industry oriented- maka bermunculan begitu banyak industri seperti: industri parawisata, industri pendidikan, industri pasar, industri elektronika, industri perdagangan, dll. Dari industri parawisata orang berdatangan hanya sekedar berbelanja di pasar-pasar mereka yang serba sempit.
“Saya pernah makan pada sebuah restoran yang tergolong besar di sana dan ternyata masih tergolong kecil untuk ukuran Indonesia”.
Dari industri pendidikan, maka berlomba-lomba para orang tua untuk menyekolahkan anak mereka untuk bersekolah di sana. Apalagi orang tua yang berduit banyak lebih getol menyekolahkan anak mereka di sana. Promosi Pendidikan adalah kekuatan mereka dalam memajukan industri pendidikan tersebut. Promosi mereka adalah untuk tujuan internasional, sehingga masyarakt internasional yang berduit berdatangan ke sana. Mereka membawa valas (valuta asing) mereka dan menukarkannya dengan valuta Singapura dan dampaknya hasil Dollar Singapura menjadi sangat stabil dan sangat kuat di internasional.
“Salah satu kelemahan manajemen pendidikan kita adalah, lembaga pendidikan kita hanya punya promosi berskala lokal, buat masyarakat lokal, membawa mata uang lokal (Rupiah), sehingga mata uang Rupiah menjadi bertebaran, berserak-serak, akhirnya nilainya rendah”.
Presiden Jokowi, dan kita semua, juga patut belajar dari Kepala Pemerintahan Malaysia. Sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu, kondisi negara Malaysia hampir mirip dengan kondisi negara Indonesia saat itu. Dan saat Pimpinan Pemerintahan dibawah kendali Doktor Mahatir Muhammad, maka terjadilah perubahan yang sangat dahsyat.
Kuala lumpur yang sembrawut ibarat kota Jakarta dibenahi. Disamping kota Kuala Lumpur diciptakan sebuah kota satellite yang bernama “Puta Jaya”. Kota ini disulap, semua wilayah didesain dalam bentuk sebuah taman yang maha luas dan di dalamnya berdiri gedung-gedung megah buat pusat pemerintahan. Dan Kuala Lumpur sengaja menjadi Ibu Kota negara dan pusat perekonomian.
Di kota Putra Jaya didirikan juga gedung-gedung yang artistik. Ada gedung yang mnyerupai objek wista di Mesir, Iran, Amerika Serikat, India, dll. Kemudian ini semua dirancang buat industri parawista. Malaysia memang pintang membuat label wistaa, yaitu “Malaysia is truly Asia”. Anda belum betul-betul berkunjung ke benua Asia, kecuali kalau sudah mampir di Putra Jaya Malaysia”.
Wah promosi mereka dahsyat, dibandingkan dengan  promosi parawista di kampung saya yang sangat tertinggal. Suatu ketika saya mendapat telephone dari grup wisata warga Singapura. Mereka ingin melihat Pesta Pacu Jawi namun menerka tidak tahu bagaimana cara pergi ke sana. Mereka menelpon saya karena memoperoleh nomor HP saya melalui blogger saya di internet.
Encik Marjohan…, we are a group of tourist from Singapore and want to see Program Pacu Jawi in your country, could you explain us how we go there..???.Masya Allah kenapa mereka menelpon saya ???”
Dan ternyata informasi parawista di kampung saya memang minus dan kurang update dan informasi dirancang hanya buat konsumsi masyaraksat lokal. Saat itu saya memandu perjalan mereka lewat telepon hampir satu hari hingga akhirnya kami berjumpa dan sayapun juga ikut menikmati attraksi pacu jawi tersebut.
Balik ke judul topik bahwa berharap Pak Jokowi bisa berlari sekencang Kepala Negara Singapura dan Malaysia. Sebetulnya Mahatir Muhammad, yang sudah membuat gebrakaan dahsyat buat Malaysia, adalah seorang ahli ekonomi. Presiden kita juga seorang ekonom atau pengusaha- yaitu kabarnya memiliki usaha meubel di kota Solo.
Bedanya adalah Mahatir Muhammad adalah ahli ekonomi berkelas internasional dan Pak Jokowi masih belum, beliau adalah praktisi ekonom hanya untuk seukuran kota Solo saja baru. Karena figur dan kehangatan pribadi Pak Jokowi belum terasa betul sampai ke Ujung pulau Sumatra, bida jadi nggak begitu terasa keberadaanya di Kalimantan, Sulawesi, dll. Seharusnya figure dan popular pengaruh Pak Jokowi harus terasa ke negara tetangga Australia, Malaysia, Thailand, dan kapan perlu hingga ke Eropa dan Amerika.
Gebrakan yang dilakukan oleh Perdana Menteri Malaysia saat itu, Mahatir Muhammad, untuk memajukan perekonomian dan peradaban Malaysia mirip seperti yang dilakukan noleh negara Singapura yaitu “State industry oriented”. Apa saja bentuk sektor negara berbasis industri: industri parawista, industri perdagangan, industri transportasi, hingga pendidikan juga berbasis industri.
Lagi lagi pengalaman saya saat berkunjung ke sebuah Perguruan Tinggi di Malaysia, di kawasan daerah biasa-biasa saja di kota Nilai, yang namanya “Nilai College”. Pemerintah telah merancang lembaga pendidikan ini buat konsumsi masyarakat internasional. Lagi-lagi Badan Promosi Pendidikan Internasional, yang belum dimiliki oleh mayoritas Perguruan Tinggi di Indoinesia, telah mampu mengundang warga internasional seperti dari negara Timur Tengah, Cina, India, Srilangka, Myanmar, Pakistan, Thailand, Eropa dan juga Indonesia untuk belajar di sana.
Anak anak yang belajar di sana terlihat tidak begitu hebat dan cerdas namun yang jelas mereka semua sudah menjadikan kampus itu menjadi komunitas internasional. Tentu saja akan ada kunjungan orang tua dari siswa dan mahasiswa asing tersebut  untuk melihat anaknya belajar di Malaysia. Kunjungan warga internasional yang begitu signifikan ke negara Malaysia membuat valuta asing berlimpah di negera jiran ini, hingga mata uang Ringgit tetap berkualitas di dunia internasional.
Begitu banyak yang bisa kita petik dari “best practice”, praktek terbaik dalam menjalankan pemerintahan oleh Kepala Negara Malaysia dan Singapura. Kita berharap agar Kepala Negara kita yang sekarang. Pak Joko Widodo, bisa merombak kabinet. Namun yang jelas kita berharap agar Presiden Jokowi bisa berlari sekencang pimpinan pemerintah Singapura dan Malaysia agar negara kita bisa Berjaya seperti mereka. Hingga mata uang Rupiah bisa berdiri dengan gagahnya, industry bermunculan, perekonomian bergairah dan pengangguran menurun.
(Marjohan, M.Pd- Guru SMA 3 Batusangkar- Peraih Predikat I Guru Berprestasi Nasional. Email: marjohanusman@yahoo.com)

Selasa, 30 Juni 2015

Pendidikan Kita Menghasilkan Manusia Yang Belum Mandiri



Pendidikan Kita Menghasilkan Manusia Yang Belum Mandiri
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

            Tiba- tiba fikiran saya tergelitik untuk mengupas tentang proses pendidikan yang dilakoni oleh masyarakat kita yang belum menghasilkan manusia yang kurang mandiri. Ini terjadi saat saya membaca sepenggal berita yang muncul pada milis yahoo, memaparkan kritikan pedas Amin Rais, pendiri Partai PAN, terhadap Presiden Jokowi. Ia mengungkapkan bahwa Jokowi ibarat seekor burung onta. Pernyataan ini karena melihat Jokowi selalu mengulur- ulur waktu dalam melakukan reshuffle cabinet (perombakan kabinet).
            “Burung onta bila lagi panik, karena bertengkar sesama burung onta, ia suka menimbun kepalanya ke dalam pasir. Ibarat seseorang yang suka mengulur- ulur penyelesaian masalah”.
            Kita kangen lagi bisa melihat lahirnya seorang presiden yang kualitasnya sama dengan Presiden pertama republik ini yaitu Presiden Sukarno. Dari sejumlah presiden yang telah memimpin di negara ini, seperti Suharto, BJ Habibie, Gusdur, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo, maka Sosok Presiden Sukarno jauh sangat berkualitas. Ini cukup membanggakan kita sebagai bangsa Indonesia. Ia memiliki penampilan yang gagah, jago dalam berkomunikasi, wawasannya sangat luas dan pergaulan internasionalnya sangat hebat.
Kualitas kepemimpinan Presiden Sukarno saat itu sama levelnya dengan pemimpin dari negara- negara lain, dan mereka adalah pemimpin level dunia atau level internasional. Presiden Sukarno berteman akrab dengan berbagai kepala negara  seperti: Jawaharlal Nehru (Perdana Menteri India), Gamal Abdul Nasser (Presiden Mesir), John Fitzgerald Kennedy (Presiden Amerika Serikat), Fidel Castro dan utusannya Che Guevara (dari Cuba), Nikita Kruschev (Pemimpin Uni Soviet- Sekarang bernama Rusia), dan Josep Broz Tito (dari Yugoslavia). Mereka itu semua merupakan kepala negara bergengsi benua Afrika, Eropa, Asia dan Amerika.
Bagaimana dengan kualitas presiden- presiden setelah itu ? Setiap orang tentu penilaian masing- masing. Dan bagai mana pula dengan Presiden Indonesia yang sekarang yaitu Presiden Joko Widodo ? Ya sudahlah, setiap orang akan punya penilaian masing-masing.
Terbetik kabar bahwa Presiden Jokowi akan melakukan perombakan kabinet. Ini terkait karena kondisi sosial ekonomi negara yang lagi sakit. Nilai rupiah yang selalu melemah, nilai jual barang atau perdagangan yang lesu dan angka penggangguran intelektual yang cenderung makin meningkat. 
Fenomena penggangguran intelektual perlu sorotan lebih tajam dari arah atas dan bawah. Dari atas, yaitu tentang kebijakan pemerintah, dan dari bawah akibat gagalnya proses mendidik yang kita lakoni (oleh masyarakat: orang tua dan juga pihak sekolah). Terlihat bahwa pendidikan yang telah kita praktekan seolah-olah sekedar mendorong seorang anak untuk menjadi pegawai, dan belum mendorongnya untuk menjadi orang yang mandiri.
“Lebih spesifik, sampai dimana pedulinya lembaga pendidikan formal, utamanya SLTA dan Perguruan Tinggi untuk mengurangi angka pengangguran yang telah mewabah ibarat virus yang menggerogoti tubuh ?”
Ini adalah pernyataan yang sudah diulang-ulang dan diperbincangkan oleh banyak kalangan. Bahwa angka pengangguran terhadap kelompok Warga Negara Indonesia berusia sangat produktif selalubertambah. Mereka adalah para pengganggur terdidik, lulusan perguruan tinggi. Jadinya Perguruan Tinggi bisa dicibirkan karena hanya jago melahirkan banyak sarjana sekedar jago berteori dan mencari IPK yang tinggi mungkin, namun kemampuan untuk “mandiri” sangatminus.
Mereka hanya menciptakan diri mereka sebagai manusia cerdas yang bermental “sub ordinate”- bermental bawahan yang hanya tertarik menjadi buruh, pegawai atau anak buah pada sebuah perusahaan. Kalau tidak ada peluang kerja ya menjadi PENGANGGURAN.
Dahulu saat dunia pendidikan belum begitu berkembang pesat, kakek dan nenek (nenek moyang kita), mereka belum tahu dengan istilah “jobless, unemployment atau penggangguran”. Yang mereka tahu adalah bahwa mereka harus bisa berusaha menghidupi diri sendiri atau mandiri. Pada saat awal kemerdekaan Presiden Sukarno memang selalu mengkampanyekan agar warga negara harus menjadi warga yang BERDIKARI. Istilah ini dibikin Presiden Sukarno sebagai singkatan dari kata “Berdiri di atas kaki sendiri”.
Dampak dari seruan tersebut, semua warga meresponnya. Termasuk nenek moyang kita, mereka segera membuka usaha sendiri: membuka lading baru, membuka sawah baru, membuka perkebunan, bertenak unggas, bertenak ikan, juga ada yang menjadi tukang rumah. Atau menjadi tukang kecil- kecilan, seperti tukang patri, tukang jahit, menjahit sepatu, tambal ban, tukang jahit paying. Semuanya disebut sebagai pekerjaan wong kecil, pekerjaan wong desa.
Ya ropopo, yang penting mereka bekerja dan bisa makan. Tidak ada istilah gengsi- gengsian, yang penting halal. Dan setelah mereka bisa menghidupi diri merekapun akhirnya menikah dan memiliki anak”.
Cita-cita anak anak mereka saat saat itu tidak begitu muluk-muluk. Ya ingin melanjutkan usaha ayah mereka, atau menjadi Tuanku, Kyai, Ulama, guru pesantren, guru di sekolah lokal, menjadi guru ngaji. Pokonya cita cita yang amat mulia saat itu.
Seorang Ulama adalah tokoh yang amat berpengaruh saat itu. Namun kasihan, mengapa dewasa ini amat jarang terdengar anak-anak muda yang ingin menjadi seorang Ulama ? Mungkin ini akibat gaya mendidik dan kehidupan kita yang penuh dengan aura kapitalis dan hedonis. 
Pada saat itu, bagi beberapa orang yang punya keberanian kuat, maka mereka pergi merantau buat belajar menjadi saudagar. Saudagar adalah istilah yang ngetop untuk karir sebagai perdagangan. Mula-mula mereka jadi anak buah, belajar hidup dari induk semang (bos). Mmemang melalui proses hidup yang bersusah payah. Itu ibarat bentuk praktek kerja nyata dan akhirnya lahir begitu banyak saudagar tangguh. Mereka bersaudagar untuk bidang tekstil, mesin, bahan makanan dan lain- lain.
Zaman bergulir dan kebijakan baru pun muncul. Kemudian dunia pendidikan tumbuh dan tumbuh. Anak- anak didik yang duduk dibangku sekolah rakyat atau sekolah dasar diajar buat bermimpi. Kamu kalau udah gede nanti mau jadi apa ?
Tahukah anda apa mimpi yang banyak diungkapkan oleh anak sekolah dari dulu hingga sekarang ? Rata- rata mimpi mereka adalah seperti: ingin jadi dokter, guru, insinyur, polisi, tentara, camat, penyuluh lapangan, mantri kesehatan, bidan, perawat dan lain-lain. Karir ini memang dibutuhkan untuk melayani warga negara dan mereka semua tercatat sebagai karir PNS dan juga Pegawai militer.
Kebutuhan akan tenaga PNS dibuka lebar, rekruitmen PNS setiap tahun cukup tinggi sejak itu. Jumlah PNS mencapai jutaan orang. Malah hampir setiap rumah di Indonesia hampir selalu ada tenaga PNS. Mereka yang bekerja sebagai PNS membisikan dan menyarankan kepada keluarganya dan lingkungannya agar belajar dan kuliah setinggi agar kelak bisa menjadi PNS yang bergaji tinggi pula. Banyak celotehan yang terdengar: “Lebih enak jadi PNS, gajinya memang sederhana namun masa depan terjamin”.
Dampaknya adalah lahirlah ribuan atau jutaan manusia yang bermimpi untuk jadi PNS. Jumlah PNS memang sangat membludak dan untuk menggaji mereka negara kesulitan mencari anggaran. Negara harus berutang pada pihak luar seperti pada Bank Dunia, IMF- Internasional Monetary Fund, dll. Tahu apa efek jeleknya ? Yaitu utang Indonesia jadi membengkak dan nilai rupiah merosot. Nilai rupiah anjlok sampai 1000 Persen. Angka nol pada uang Rupiah sampai “Lima Digit”. Tidak ada angka mata uang negara lain yang kayak begini. Akibatnya warga dunia internasional kurang melirik mata uang kita, enggan menyimpannya dalam dompet mereka.
Difikir-fikir cukup menyedihkan. Tetangga kita Singapura, negaranya kecil, tetapi mata uangnya- dollar Singapura-  sangat kuat. Sekuat mata uang raksasan dunia internasional. Mata uang Ringgit dari Malaysia juga cukup disegani dunia internasional. Dan mata uang rupiah, maaf gimana ?
“Mata uang Rupiah dipandang sebagai “Rubbish Currency” atau mata uang sampah. Sebuah kotak donasi (kotak sumbangan) buat UNICEF yang bersandar di dinding ruang tunggu di bandara Tullamarine- Melboune. Saya ingin menyelipkan uang kertas seratus ribu, namun seperi yang saya saksikan, hanya menerima mata uang Dollar, Yendaka dan Euro, dan tidak berlaku buat rupiah. Air mata saya jadi menetes.
TEntang jumlah PNS yang membludak, setelah puluhan tahun, akhirnya pemerintah menyadari bahwa jumlah PNS yang banyak dan tidak terkendalikan adalah biang kerok yang ikut mengambrukan perekonomian negara. Fenomena di lapangan adalah bahwa banyak PNS yang tidak bekerja dan mereka PNS yang tidak punya pekerjaan tetap makan gaji buta.
Pemerintah mengambil kebijakan. Sekarang pintu buat menjadi PNS sudah tertutup  cukup kecil dan malah ditutup rapat. Anak anak muda cukup banyak yang terlanjur kuliah dengan impian ingin menjadi “Abdi Negara” atau PNS. Calon guru dan calon petugas kesehatan yang jumahnya melimpah ruah menjadi bengong dan separoh frustasi- mungkin juga frustasi. Bengong menganggur maka mereka ikhlas menjadi tenaga honorer atau pegagai kontrak dengan bayaran Rp. 800. Ribu perbulan. Saat ini nilai rupiah anjlok. Honor Rp. 800 ribu hanya cukup untuk menghidupi diri buat satu minggu.
Beberapa anak muda- mahasiswa- yang berada di Universitas, terutama dari Universitas Favorite, berseru bahwa mereka tidak tertarik menjadi PNS dan mereka bakal menjadi “Entrepreur atau Penguasa”. Bagaimana bisa menjadi PNS, karena keran PNS juga sudah amat kecil.
Ah menjadi seorang Entrepreneur ternyata tidak semudah membalik telapak tangan. Malah kursus-seminar, workshop dan training motivasi yang mereka ikuti selama kuliah tidak mebawa hasil. Karena pada umunya mereka tidak punya background entrepreneur dan mereka umumnya  berasal dari rumah tangga yang orang tuanya adalah PNS, atau pegawai kecil lainnya. Mereka juga mendapat dogmatis bahwa “Enak lho jadi PNS, masa depan cerah !!!”.
Pintu PNS sudah amat kecil dan sementara itu mereka miskin dengan pengalaman berwirausaha. Ya apalagi pengalaman wirausaha nyaris di bangku SLTA tidak ada. Kecuali bagi yang dulu belajar di SMK. Mereka diberi pengalaman dan mata pelajaran tentang vokasional dan wirausaha. Namun itupun juga tidak mantap, akhirnya mereka jadi linglung juga.
Bukankah bahwa mayoritas lulusan SLTA adalah dari jenjang SMA dan Madrasah, dengan arti kata miskin dengan ilmu dan pengalaman berwirausaha. Ada sekitar 15.000 sekolah SMA dan Madrasah di Indonesia dan lulusan mereka tiap tahun adalah lebih dari setengah juta orang. Sebagai catatan bahwa mereka semua buta dengan pengalaman wirausaha dan juga sekolah tidak memberi pengalaman buat berdikari. Dapat disimpulkan bahwa mereka adalah sebagai angkatan muda penyumbang angka pengangguran.
“Meski mereka terus kuliah ke Perguruan Tinggi, mereka diperkirakan lulus menjadi sarajana bermental buruh, karena pengalaman berwirausaha di Perguruan Tinggi juga tidak memberi pengaruh atau kesan yang kuat buat mereka”.
Kualitas Indek SDM manusia Indonesia sangat rendah, malah jauh lebih rendah dari negara tetangga seperti Thailand, Singapura, Malaysia dan Australia. Kualitas pendidikan yang rendah dan pengangguran terdidik harus mendapat perhatian dari masyarakat, lembaga pendidikan sejak di tingkat SLTP hingga Perguruan Tinggi.
Juga sudah saatnya pemerintah kita mengubah proposi, perimbangan, antara SMA dan SMK. Negara kita perlu meniru kebijakan pendidikan di negara maju, misalnya negara Jerman, yang mana jumlah sekolah SMK lebih banyak dari pada jumlah SMA. Sekolah SMK tentu saja siswanya dibekali dengan ilmu dan pengalaman berwirausaha, sementara di SMA yang siswanya hanya disuguhi teori, dan mungkin hampa dengan pengalaman berwirausaha hingga diperkirakan kelak mereka bila telah menjadi sarjana bakal jadi sarjana yang bermental pegawai bawahan, atau kalau kalah bersaing sebagai job seeker akan menjadi pengangguran.
Nggak apa-apa buat sementara, karena di SMA siswa juga bisa diberi pengalaman berwirausaha. Seperti yang dilakukan oleh stake-holder di negara Jerman. Di Sekolah Menengah (Secondary School) di Jerman yang namanya adalah “Gymnasium, High School dan Sekolah Internasional”. Untuk di Indonesia sama dengan sekolah SMA, MAN dan SMK. Mereka pada bersemangat memberikan lomba entrepreurship (kewirausahaan). Judul perlombaanya adalah “Entrepreur of Tomorrow”. Para pelajar berlomba dalam menyiapkan “business plans on business modeling they develop themselves”.
Para pemenang lomba kemudian diberi dukungan oleh Frankfurt School of Finance and Management. Lembaga ini memberi fasilitas dan bantuan tekhnik secara gratis. Para pemenang lomba juga akan memperoleh mentor yang punya pengalaman dalam bidang bisnis.
Pengalaman wirausaha harus dimantapkan sejak usia dini. Sebagai catatan bahwa bagi sekolah SMK juga perlu mendatangkan tokoh wirausaha untuk memberi motivasi wirausaha bagi siswa-siswi mereka. Meski di SMK ada mata pelajaran wirausaha, namun para gurunya tentu tidak memiliki naluri berbisnis, kecuali hanya sekedar memompakan teori wirausaha yang mungkin kurang membekas pada fikiran siswa.
Mengingat angka pengangguran lulusan Perguruan Tinggi selalu meningkat, maka Pemerintah kita juga perlu belajar pada kebijakan pendidikan di negara maju yaitu tentang pentingnya memberikan pengalaman wirausaha sejak dini. Pendidikan Eropa, sebagai contoh, sangat giat memperkenalkan pendidikan wirausaha pada semua sekolah dini.
Di Belanda istilah wirausaha adalah “ondernemer” dan istilah di Jerman adalah “unternehmer”. Entrepeneur sudah diperkenalkan sejak dari bangku SMP hingga Perguruan Tinggi sejak tahun 1950-an. Sementara di negara kita kewirausahaan baru jadi fenomena, diperkenalkan, di Perguruan Tinggi, ya sejak Perguruan Tinggi gagal menghasilkan sarjana. Pada hal seorang sarjana sudah bangga  sebagai agent of social change ,  ternyata hanya sebagai penggangguran terdidik yang miskin nyalinya. Pengangguran begini bertambah dalam jumlah ribuan orang tiap tahun.
Sebagai penutup bahwa idealnya kewirausaan ini juga mutlak harus diberikan sejak bangku SMP, karena pengalaman berwirausaha di masa kecil, lebih banyak bekasnya dari pada diberikan hanya setelah dewasa. (Marjohan, M.Pd- Guru SMA 3 Batusangkar- Peraih Predikat I Guru Berprestasi Nasional. Email: marjohanusman@yahoo.com)

Minggu, 28 Juni 2015

Pendidikan Kita Menciptakan Siswa “Cerdas Lokal” atau “Cerdas Internasional” ?


Pendidikan Kita Menciptakan Siswa  “Cerdas Lokal” atau “Cerdas  Internasional” ?
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

            Kata-kata “smart” sangat diburu oleh banyak orang. Orang tua ingin anak mereka menjadi smart kid dan bersekolah di smart school. Banyak masyarakat yang memburu tempat kursus yang punya label “smart”. Kemudian juga muncul istilah smart book dan smart street.
            Banyak orang tahu bahwa kata smart berarti cerdas. Smart book berarti cerdas buku, maksudnya kalau di sekolah seorang siswa mampu melahap semua buku teks dengan tuntas. Apa saja yang dibaca bisa semua masuk ke dalam fikirannya. Sementara itu, smart street berarti cerdas di jalanan, maksudnya seorang siswa pintar dalam hidup, tahu menempatkan diri. Orang yang smart street adalah orang yang memiliki life skill.
            Anak anak kita yang belajar di sekolah unggulan, pada umumnya sudah memiliki smart book. Namun suatu kali saya pergi menemati mereka buat studi tour ke pulau jawa, mereka tersesat dalam mall yang gede dan tidak tahu bagaima harus keluar buat berkumpul ke dalam yang menunggu cukup jauh. Mereka cukup kehilangan akal, meski butuh waktu cukup lama buat membantu mereka. Ini terjadi dalam akibat mereka minim dengat smart street dan bermasalah dalam sepenggal kehidupan nyata.
            Sementara itu teman teman mereka yang berasal dari sekolah lain yang tidak punya label unggul atau label smart. Malah mereka sedikit terkenal nakal, tentu saja kenakalan yang masih bisa diberi tolerasi, saat terjebak di jalan buntu dan sepenggal masal social. Mereka bisa mencari solusi. Itu karena mereka memahami jalan atau street, sehingga mereka cukup tahu dengan smart street.  
            Indonesia dan Amerika Serikat adalah dua negara yang cukup berbeda, ibarat berbedanya timur dan barat. Kedua negara ini berbeda dalam kemajuan system pendidikan, kualitas SDM masyarakatnya, budayanya, dan banyak hal. Praktek pelaksaan mendidik di sekolah Amerika juga sangat berbeda dengan sekolah di Indonesia. Saya menulis hal ini bukan untuk maksud menyanjung Amerika Serikat setinggi langit, dan merendahkan wibawa Indonesia, negara yang selalu saya cintai.
            Di Indonesia semua anak di dorong buat belajar dan membaca membaca sebanyak mungkin, agar mereka menjadi smart book. Meski dalam urusan mendidik banyak orang tua sekedar pintar memerintah, menyuruh dan kapan perlu melarang dan marah- marah, dan berpangku tangan setelah itu. Di sekolah anak-anak belajar, berkompetisi buat memahami dan melahap isi semua buku teks. Kapan perlu mereka harus menghafal semua teori, tanpa melewatkan titik dan koma-nya. Al-hasil penguasaan kognitif atau akademik mereka signifikan cukup bagus.
            Di negara ini banyak anak yang hanya belajar dan terbelenggu oleh urusan kognitif semata. Meski sudah ada pemaham kea rah konsep afektif/ sikap dan praktek, tetapi itu hanya sebatas basa-basi. Maksudnya belum menyentuh dasar keberanian anak.
            Urusan akademik memang selalu nomor satu, dari pagi hingga sekitar jam tiga sore- hingga datanglah usai jam belajar buat pulang ke rumah. Setelah itu anak- anak pintar dikirim lagi ke tempat bimbel atau bimbingan belajar. Cukup lama mereka dibelenggu atau terpenjara dalam kamar akademik. Hingga mereka pulang ke rumah dengan letih dan lesu menjelang senja tiba. Dan seperti itulah fenomena anak anak unggulan a’la Indonesia.
            Memang belajar pada Bimbel sudah menjadi sebuah fenomena bagi anak-anak cerdas dan orang tua mereka punya duit cukup. Bimbel itu sendiri gedungnya sudah bertebaran di mana-mana, malah sudah dibikn dalam franchise education atau bisnis pendidikan. Bimbel telah menjamur dan tinggal memilih mana yang terbaik dan cocok menurut selera.
            Antara satu Bimbel dengan Bimbel yang lain juga ada kompetisi dalam memperebutkan anak anak cerdas. Agar bisa menjadi menariki maka pemilik bimbel mendesain interior dan eksterior gedungnya seapik mungkin. Pakai spray pengharum pada ruang cantik penuh AC. Ruang belajar bimbel dengan tentor yang memiliki pribadi menarik dan performance anggun, semuanya menjadi belajar dengan mentor pilihan.
            Tentor bimbel yang ramah tamah, bersahabat dan pribadi hangat sering lebih mereka idolakan dari guru- guru mereka sendiri di sekolah mereka yang kadang kala berwajah sewot dan berbahasa yang kurang simpatik. Ya ini adalah fenomena, bahwa pribadi tentor dan proses pembelajaran pada bimbel telah mengalahkan PBM di kelas yang kusam dengan guru yang nggak bersahabat.
            Singkat cerita bahwa untuk urusan akademik atau kognitif seorang siswa menghabiskan waktu sebanyak 10 jam per hari. Mereka sangat percaya bahwa pencapaian akademik adalah visi dan tujuan belajar mereka. Yang mereka yakini adalah kalau mereka mampu memperoleh skor akademik yang tinggi maka kelak mereka bisa memilih jurusan yang bagus, kuliah di tempat favorite. Setelah kuliah dan wisuda mereka akan tersenyum karena bakalan merkarir di tempat yang basah, kapan perlu banjir dengan duit.
            Yang mereka telah lihat dan ditayangi video bahwa bagi yang memiliki skor akademik, bakalan di jurusan terbaik dan universitas favorite. Pada akhirnya rententan karir- karir cemerlang sudah menunggu. Ini memang adalah motivasi terbaik buat menggenjot minat belajar.
            Orang tua di rumah juga sudah memahami bahwa anak perlu belajar kuat dan bersemangat untuk meraih skor dan rangking setinggi langit. Anak perlu memiliki prestasi akademik yang bagus. Jadinya anak-anak musti bisa belajar di sekolah favorite. Orang tua memilihkan sekolah berlabel unggul buat mereka. Mereka menyerbu sekolah berlabel unggul, sekolah model, sekolah perintis, sekolah percontohan, sekolah multi-talenta, dll.
            Memang bangsa kita dan apalagi anak anak muda senang dengan merek atau label. Mereka selalu mencari pakaian mereka, sebagai contoh. Sehelai baju kaos berharga 50 ribu  perak yang ada merek “Foot Ball Europe” lebih dikagumi dan diminati dari pada sehelai baju kaos berharga “satu juta perak” namu pada punggungnya ada tulisan “Club Sepak Bola Bintang Kecil”.
            Seorang family yang baru pulang dari Amerika Serikat, setelah mengikuti program pertukaran pelajar, YES- Youth Exchange Program” tindak henti henti berbagi cerita dan pengalaman menarik tentang way of life mereka dan way of life kita. Ia mengatakan bahwa program pembelajaran di sekolahnya di Colorado cukup berbeda dari sekolahnya yang di Bukittinggi.
Banyak teman-temannya yang sekolah di Bukittinggi,  juga siswa-siswa  di Indonesia secara umum, pada terlalu sibuk dengan urusan akademik. Semua anak pada bersitungkin untuk melahap rumus- rumus pelajaran. Pagi hingga awal sore belajar di sekolah dan dari sore hingga malam belajar lagi di bimbel. Pulang sekolah dan pulang bimbel membuat badan sudah tersa capek dan pengen tidur saja atau nonton saja lagi, dan mana ada waktu lagi buat menolong mama di rumah.  
Badan mereka lesu karena asupan gizi yang salah dan tidak berimbang. Pada umumnya anak anak kita telah merasa sebagai warga modern dengan mengkonsumsi jajanan cepat saji, makanan dan minuman yang kaya dengan racun- racun kimia. Kemudian kebiasaan mengkonsumsi minuman langsung dari show-case, minumah dalam labelmewah namun tidak menjanjinkan kesan ikut mendorong anak berperilaku hidup tidak sehat dan mengadoppsi life style mewah. Pokoknya asupan gizi yang kurang hewat membuat mereka juga kurang sehat. Mana mungkin tubuh dan fikiran terasa bisa jadi segar dan bugar dengan life style seperti itu.
“Ya demikianlan realita cara belajar dan gaya hidup mereka. Gaya hidup yang hanya belajar buat menggapai cerdas akademik setinggi mungkin semata”
Di negara Paman Sam sana, dikatakan bahwa bahwa anak-anak belajar secara alami saja, tidak begitu demam bimbel betul. Tempat bimbel itu tetap ada. Belajar di sekolah saja itu mereka rasa sudah cukup. Mereka tidak perlu lagi pergi harus ikut bimbel.
Guru- guru mereka di sekolah sudah cukup professional. Penampilan menarik, pribadi hangat, sangat menguasai bidang studi dan tahu cara menyajikannya dengan cara kreatif dan menyenangkan. Ruangan kelas dan lingkungan sekolah penuh dengan iklim layanan prima: look smile, greed, serve, and thank. Bisa jadi guru-guru di kelas Amerika sebagus kualitas guru-guru bimbel kita, atau malah lebih lagi.  
“Ya betul bahwa di sana kami tidak perlu pergi bimbel lagi. Dan bimbel memang ada, tapi hanya dikunjungi bagi yang betul- betul memerlukan layanan”.
Kebiasaan di sana, usai sekolah mereka pulang dan selanjutnya pergi untuk menekuni hobi mereka. Bagi yang gemar berolah raga akan pergi ke lapangan, ada yang main badminton, menunggang kuda, main base ball, main cricket, hingga main karate. Mereka menekuninya bersungguh- sungguh- sangat menikmati hobinya. Sehingga pada akhirnya banyak yang menjadi atlit nasional atau internasional beneran”.
Bagi yang gemar pada midang music dan seni, mereka pada menyerbu theater. Ada yang mendalami music jazz, music pop, biola, key board, mendalami ballet hingga seni lainnya. Mereka juga menekuni hobi ini hingga pada akhirnya- saat tumbuh dewasa-  mereka bisa berkarir pada bidang ini. Menjadi pemain biola, music, dan theter professional.  
Bagaimana dengan urusan akademik ? Ya mereka juga selalu memahami dan menekuni. Walau mereka pada umumnya tidak beragama Islam, namun mereka berbuat sesuai dengan konsep agama kita “man jadda wa jadda- barang siapa yang bersungguh akan berhasil”.
“Sekali lagi bahwa kualitas PBM di kelas di sekolah Amerika sebagus kualitas bimbel di kelas bimbel terbaik di negara kita, atau lebih baik lagi”.
Orang tua juga punya peran penting dalam mendukung sukses kehidupan seorang anak. Orang tua di negara kita memahami bahwa setiap anak perlu memahami dan menguasai akademik. Mereka sangat bersimpati dengan anak mereka yang telah menghabiskan waktu di sekolah dan di tempat bimbel agar bisa memperoleh skor akademik yang tinggi dan kelak kuliah di tempat yang favorite (?).  Setelah itu seperti ilustrasi yang mereka peroleh bahwa karir cemerlang datang dengan mudah.
Makanya orang tua bersimpati bahwa anak- anak mereka sudah cukup lelah oleh urusan akademik dan mereka tidak mau mengganggu anak lagi. Anak tidak perlu lagi ikut cuci piring, cuci motor, merapikan ruang rumah, juga tidak perlu terlibat dalam kegiatan social di lingkungan tetangga.
Karena anak sudah begitu lelah, mereka perlu dibantu dan dilayani. Kalau perlu anak harus dimanjakan. Ada kesan bahwa pendidikan di rumah sekarang bahwa anak tidak perlu lagi dilibatkan. Jadinya anak tidak kenal dengan pengalaman memasak, mencuci malah juga tidak tahu bagaimana orang tua mereka berbisnis.
Kasihan anak sudah letih, dan akhirnya anak memilih untuk bersenang- senang, bersantai, sibuk dengan gadget, terbenam dengan game online atau hanyut dengan facebook, twitter, bbm, dan media social lainnya. Karena sudah terlanjur suka dengan aktifitas sendiri, tidak melebur dengan tetangga atau lingkungan social maka lahir ribuan generasi yang kurang peduli dengan social.  
Kita mendidik dengan salah konsep, anak korban tekhnologi dan hiburan, hingga rumah-rumah dan sekolah kita yang menciptakan anak yang hanya cerdas akademik namun buta dengan lingkungan- tidak punya life skill- kurang mampu dalam mengurus diri. Pendidikan kita telah menciptakan anak- anak yang sekedar “rancak di labuah”  yang sekedar cakep pada penampilan, smart book but poor life skill.
Hal yang berbeda dengan orang tua di Amerika- bukan bermaksud untuk memuji bangsa Amerika- mereka adalah orang tua yang memahami konsep parenting. Perkawinan di sana punya sarat bahwa semua calon pengantin sebelum menikah musti mengikuti kursus parenting- bagaimana menjadi orang tua yang ideal. Orang tua yang bertanggung jawab dalam mendidik dan menumbuhkan anak- anak yang berkualitas.
Hampir semua orang tua di sana tahu dengan peran mereka. Orang tua sebagai educator, dan guru di sekolah sebagai teacher. Educator berarti pendidik dan teacher berarti pengajar. Orang tua sebagai educator akan menumbuh kembangkan prilaku dan tanggung jawab anak. Individu yang baik adalah individu yang tahu dengan tanggung jawab mereka.
Al-hasil setiap anggota keluarga tahu dengan job description (pembagian tugas) mereka. Setiap orang di rumah punya tugas dan tanggung jawab masing- masing. Ayah dan ibu ikut melibatkan anak dalam aktifitas di rumah dan mendorong anak untuk juga aktif dalam social. Hingga sekolah dan rumah- rumah di Amerika menciptakan anak-anak yang smart book and smart street.
Anak- anak di Indonesia berlomba-lomba buat belajar smart agar kelak mampu menuju perguruan tinggi terbaik. Mereka sudah terbiasa dengan belajar dan belajar demi kualitas akademik- hingga mereka menjadi smart book, dan itu juga sangat penting. Namun proses kehidupan membuat mereka menjadi miskin dengan smart street atau life skill.
Karena memiliki skor akademik yang bagus, pada akhirnya mereka mampu menerobos perguruan tinggi terbaik. Mereka kemudian mengikuti proses perkualiahan hingga tamat dan wisuda. Namun semua universitas tidak memberikan sebuah jabatan dan pekerjaan yang basah buat mereka sebagai sarjana baru, kecuali hanya memberikan selembar janji dalam bentuk ijazah dan transkrip nilai.
Selepas itu bagi sarjana yang miskin smart street dan tidak punya life skill akan dilanda oleh ketidak berdayaan dan kegalauan akademik. Mereka berusaha bertahan buat menunggu datangnya “job- fair” tahun berikutnya atau mengirim lamaran demi lamaran ke daerah yang jauh darim kampung halaman. Mau pulang kampung ahhhhh enggan. Biarlah dulu menghabiskan masa hingga usia merangkak tua.
Anak- anak di sekolah sana, saat masih di level SLTA telah punya pilihan karir yang jelas. Pembinaan dan pilihan karir mereka sangat jelas. Jadi mereka memilih perguruan tinggi tidak secara menerabas atau hantam kromo. Memilih jurusan dan perguruan tinggi bukan sekedar ikut-ikutan atau gengsi- gengsian. Di sana tidak ada fenomena memfavoritekan suatu jurusan dan perguruan tinggi secara berlebihan.
Proses belajar di sekolah dan perkuliahan di Perguruan Tinggi telah menggiring anak- anak untuk menjadi smart book dan smart street. Kemudian semua orang yang mengerti dengan konsep parenting juga telah menjadi guru terbaik bagi anak- anak mereka, hingga juga ikut mendorong mereka menjadi generasi yang cerdas dengan buku, cerdas di lapangan, berani, punya nyali dan punya rasa tanggung jawab.
Kualitas pendidikan kita di tanah air, apakah di sekolah berlabel unggul, apalagi di sekolah biasa- biasa saja mendidik anak menjadi cerdas. Namun cerdas mereka mungkin baru sebatas cerdas di tingkat sekolah, tingkat, kecamatan, atau kota. Hanya segelitir saja yang cedas berkualitas propinsi apa lagi cerdas di level nasional. Sementara pendidikan di sana, juga di negara maju lainnya, seperti di Singapura, Jepang, Eropa, anak- anak belajar untuk menjadi generasi cerdas tingkat nasional, dan kapan perlu cerdas untuk tingkat internasional.
(Marjohan, M.Pd- Guru SMA 3 Batusangkar- Peraih Predikat Guru Berprestasi Nasional)

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...