Senin, 24 Agustus 2015

Menunggu Cita-cita Jatuh Dari Langit



Menunggu Cita-cita Jatuh Dari Langit
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

            Saat kita masih kecil  sekolah di TK dan SD, ibu guru, bapak guru dan orang tua kita rajin memotivasi kita agar kita memiliki cita-cita- kelak di masa depan bisa menjadi orang sukses. Mereka berdoa dan berharap “moga-moga kamu kelak bisa menjadi orang yang berguna bagi bangsa negara dan agama. Untuk itu gantungkanlah cinta-cintamu setinggi bintang di langit.
            Ya…jadinya sejak itu kita menggantung cita-cita setinggi bintang di langit dan belajar sekuat tenaga. Cita-cita anak-anak TK dan SD memang sangat tinggi, mereka ingin menjadi Presiden, menjadi Menteri dan menjadi Jenderal. Bertambah usia maka cita-cita mereka sedikit menjadi lebih realis, kemudian mereka ingin menjadi dokter, polisi, pilot, tentara, perawat, dan pramugari. Cita-cita mereka sesuai dengan profesi yang sering mereka jumpai, cara berpakaian orang dengan profesi yang telah kita sebutkan di atas membuat mereka kagum dan ingin pula berkarir seperti mereka.
            Kebanyakan anak-anak (siswa SD hingga siswa SLTA) berfikir bahwa untuk menggapai sebuah cita-cita tidak begitu ribet. Cukup belajar sekuat mungkin. Bila mereka bisa juara kelas apalagi juara umum maka kelak karir yang hebat bakal berada digenggam. Saat mereka duduk di bangku SMA, maka kalau mereka ujian dan mampu memperoleh skor mata pelajaran yang masuk ke dalam Ujian Nasional, maka mereka bakal mampu kuliah di Perguruan Tinggi favorite. Dan kalau sudah kuliah di sana (menjadi sarjana)  maka karir yang basah dengan gaji yang gede bakal mengucur ke dalam kantong mereka.
            Dalam zaman merekrut PNS, Pegawai BUMN dan pegawai swasta yang begitu agak longgar- hanya berdasarkan skor memang mereka termasuk orang-orang yang beruntung. Namun peraturan sudah jauh berubah. Untuk PNS, misalnya, pemerintah sangat membatasi penerimaannya. Karena selama ini jumlah PNS yang berlimpah dan tak terkendalikan telah ikut memberatkan anggaran negara untuk menggaji mereka. Dan gara-gara rektuitmen PNS dilakukan secara asal-asalan maka cukup banyak yang direkrut para PNS yang kurang rajin, yang kinerjanya kurang bagus dan kurang mampu memajukan negara.
            Dulu nilai yang tinggi seolah-olah berguna buat menjangkau bintang-bintang yang tinggi, atau cita-cita yang bertebaran di langit. Begitu juara umum maka kelak seseorang bisa meraih karir sebagai dokter, perawat, pramugari, dll. Sekarang tidak lagi, malah dikatakan nilai yang tinggi berguna hanya buat syarat kelulusan dari Perguruan Tinggi, sementara untuk karir lebih didukung oleh keterampilan berwirausaha, leadership dan kemampuan berkomunikasi.
            Sebetulnya juga ada karir yang cukup menantang yang tidak mutlak ditentukan oleh nilai atau skor yang tinggi, tapi dipengaruhi oleh multi talenta seseorang. Untuk hal ini kita bisa bercermin pada biografi public figure, sebut saja seperti Mutiara Djokosoetono , Najwa Shibab, dan Oki Setiana Dewi.
Bagi warga Jakarta dan siapa saja yang mengunjungi Jakarta sudah pasti mengenal Taksi Blue Bird, ya sebuah armada taksi yang banyak bersileweran di kota Jakarta, dan sudah merupakan salah jenis kendaraan yang paling banyak digunakan oleh masyarakat di ibukota Jakarta. Pendiri Taksi Blue Bird adalah seorang perempuan pejuang dari Malang bernama Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono. Ia berasal dari keluarga berada, namun pada usia 5 tahun keluarganya bangkrut. Kehidupan berubah drastis. Dari seorang gadis cilik yang dikelilingi fasilitas hidup naik kemudian menjadi miskin. ia kemudian meniti bangku sekolah dalam kesederhanaan luar biasa.
Jadi penderitaan dan hidup susah bisa memicu seseorang dalam memperkuat motivasi berprestasinya. Kesederhaan hidup Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono telah menjadi motivasi hidupnya. Kesederhanaan hidup Bu Djoko semasa kecil, seperti makanan yang tak pernah cukup, pakaian seadanya, tak pernah ada uang jajan.
Menginjak remaja ketegaran semakin terasah. Ia bertekad memperkaya diri dengan ilmu dan kepintaran atau skill. Ia banyak membaca kisah-kisah inspiratif yang diperoleh dengan meminjam. Jadi tidak ada orang yang ingin sukses menjauhi kebiasaan membaca. Membaca malah bisa memperkaya wawasan berfikir seseorang.
Ia menyelesaikan pendidikan HBS, kemudian lulus Sekolah Guru Belanda atau Europese Kweekschool. Dengan tekad yang kuat ia meninggalkan kampung halaman untuk merantau ke Jakarta. Dan berhasil masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan menumpang di rumah pamannya di Menteng. Kemudian jalan hidup membawa berkenalan dengan Djokosoetono, dosen yang mengajarnya, yang juga pendiri serta Guberbur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Laki-laki itulah yang menikahinya selagi Bu Djoko masih kuliah.
Mereka dikaruniai 3 anak, bekerja sebagai dosen di FHUI dan PTIK. Untuk menambah penghasilan keluarga, Bu Djoko berjualan batik door to door. Tak ada gengsi, tak ada malu, tak ada rasa takut direndahkan oleh sesama isteri. Karakter tidak gengsi-gengsian penting untuk meraih sukses. Namun penjualan batik yang sempat sukses kemudian menurun. Hingga Bu Djoko beralih kemudian berusaha telur di depan rumahnya.
Realita berjualan telur menjadi pilihan bisnis yang brilian masa itu. Saat itu telur belum sepopuler sekarang. Kemudian suaminya sakit-sakitan dan suaminya meninggal. Tak berapa lama setelah kepergian suaminya. PTIK dan PTHM memberi kabar yang cukup menghibur keluarga. Ia mendapatkan dua buah mobil bekas, sedan Opel dan Mercedes. Disinilah embrio lahirnya Taksi Blue Bird.  
Pada suatu malam, Bu Djoko mulai merancang gagasan bagi operasional taksi yang dimulai dengan dua buah sedan pemberian yang dimiliki. Bu Djoko menyusun konsep untuk menjalankan usaha taksinya. Ia memikirkan mobil, cara mengelola dan juga memikirkan pengemudi. Pengemudi itu akan dididik dengan baik, dibina, dirangkul untuk sama-sama berkembang. Inilah fase yang penting dalam sejarah kelahiran Blue Bird.
Usaha taksi terebut menggunakan penentuan tarif sistem meter yang kala itu belum ada di Jakarta. Untuk order taksi, ia menggunakan nomor telefon rumahnya. Karena Chandra ditugaskan menerima telepon dari pelanggan maka orang-orang menamakan taksi itu sebagai Taksi Chandra. Taksi Chandra yang hanya dua sedan itu kemudian melesat popular di lingkungan Menteng karena pelayanan yang luar biasa. Order muncul tanpa henti. Dari hasil keuntungan saat itu, BU Djoko bisa membeli mobil lagi.
Permintaan akan Taksi Chandra terus mengalir. Beberapa mobil yang telah dimiliki dirasa kurang mencukupi. Titik layanan kian melebar, tak hanya di daerah Menteng, tebet, Kabayoran Baru dan wilayah-wilayah di Jakarta Pusat, tapi juga sampai ke Jakarta Timur, Barat dan Utara. Dalam kesederhanaan Bu Djoko memimpin perjalanan besar membawa Blue Bird siap mengarungi zaman. Dia menanamkan kepada awak angkutan bagaimana menumbuhkan sense of belonging yang tinggi terhadap Blue Bird dengan menjadi "serdadu-serdadu" tangguh dan penuh pengorbanan.
Oki Setiana Dewi, sosok publik figur satu ini mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita, wanita muslimah yang cantik ini mulai dikenal ketika ia sukses membintangi film yang berjudul "Ketika Cinta Bertasbih”. Aktif sebagai seorang penulis, pembicara di berbagai pertemuan serta juga sebagai uztadzah,
Oki sendiri menyelesaikan SMA nya juga di SMAN 1 Depok. Ketika SMA, Oki selalu langganan menjadi juara kelas. Ia juga sering mewakili sekolahnya dalam berbagai perlombaan akademis dan non akademis. Oki termasuk siswa yang pintar hingga bisa diterima di Universitas Indonesia. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya pada tahun 2012.
Usai meraih gelar sarjana, Oki menjadi santriwati program Tahfidzul Qur’an di Rumah Qur’an yang terletak di Depok. Lalu, ia mempelajari bahasa arab di Universitas Umm Al Qura di Makkah pada tahun 2012.
Kisah Oki ketika memutuskan memakai jilbab adalah ketika sang bunda terserang sakit yang kata dokter sudah sulit disembuhkan. Mendengar itu Oki jadi sangat sedih. Ia pun lalu memutuskan untuk berjilbab agar bisa lebih dekat dengan Allah dan bisa lebi khusyuk mendoakan kedua orang tuanya terutama bundanya. Sejak saat itulah Oki memakai jilbab.
Selain menjadi artis, ia juga aktif sebagai penulis dengan beberapa judul bukunya yaitu Melukis Pelangi :Catatan Hati Oki Setiana Dewi, Sejuta Pelangi : Pernik Cinta Oki Setiana Dewi, Cahaya Di Atas cahaya Perjalanan Spiritual Oki Setiana Dewi, Hijab I'm In Love, Dekapan Kematian, Ketika Guru SD Sakit. Dalam bukunya yang berjudul Hijab I’m In Love, merupakan karyanya yang paling berbeda karena ia juga mengeluarkan album perdananya dengan judul yang sama.Dalam album Hijab Im in Love (2013) ini dinyanyikan bersama adiknya bernama Shindy.
Oki juga sering mengisi seminar kemuslimahan dan kepemudaan. Oki juga meluangkan waktunya mengajar ngaji di TPA untuk anak-anak dan ibu-ibu. Oki menggalakkan kegiatan DMKM yaitu Dari Masjid ke Masjid dan juga program “Yuk Mengaji, Al Qur’an di Hati” dimana pelaksanaannya juga menyentuh lingkungan Lapas Wanita Tangerang. Kecerdasan dan prestasi Oki juga diakui ketika dirinya ditunjuk sebagai duta untuk Anak-anak Rumah Autis (2012) dan duta Internet Sehat dan Aman oleh kementrian Komunikasi dan Informatika 2010. Oki Setiana Dewi menikah dengan Ory Vitrio yang seorang pengusaha pengusaha restoran.
Kita telah membaca kisah sukses Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono dan Oki Setiana Dewi secara sekilas, kemudian bagaimana dengan kisah sukses Najwa Shihab ? Najwa Shihab nama wanita satu ini dikenal masyarakat sebagai presenter atau pembawa acara di Mata Najwa yang disiarkan di Stasiun televisi Metro TV. Dia merupakan putri kedua dari seorang Tokoh bernama Prof. Dr. Quraish Shihab yang merupakan seorang cendekiawan muslim Indonesia. Berarti Najwa didik dengan banyak ilmu pengetahuan dan banyak pengalaman.
Mengenai pendidikan, Ketika di Sekolah Menengah Atas (SMA), Najwa Shihab terpilih sebagai siswa yang berangkat ke Amerika selama satu tahun dalam program bernama AFS yang dikelola oleh Yayasan Bina Antarbudaya, karenamemiliki wawasan yang luas dan didukung dengan kemampuan berbahasa Inggris. Najwa Shihab kuliah di Universitas Indonesia dengan mengambil jurusan Ilmu Hukum dan menjadi alumni pada tahun 2000. Kendati lulus sebagai Sarjana Hukum, Najwa Shihab lebih memilih terjun di dunia jurnalistik ketimbang seorang pengacara.
Tidakah mengehrankan, ia kemudian bergabung dengan Metro TV salah satu Stasiun Televisi Indonesia untuk mengasah kemampuannya dibidang jurnalistik. Dia dianugrahi penghargaan dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat dalam hal laporan-laporanya ketika menjadi repoter bencana Tsunami di Aceh dimaa ia merupakan reporter pertama yang berhasil melaporkan kondisi setelah tsunami menerjang Aceh, dari laporan atau liputannya, dinilai memberi andil yang sangat berarti dalam hal berkembangnya kepedulian dan juga rasa empati masyarakat luas terhadap tragedi tsunami tersebut yang banyak memakan korban jiwa.
Terlihat bahwa cita-cita seseorang tidak jatuh dengan mudah dari langit. Cita-cita setinggi bintang di langit adalah kata-kata yang diucapkan buat anak-anak kecil sebatas ilusi. Kisah hidup ringkas 3 publik figure di atas memberi tahu pada kita bahwa cita-cita buat sukses harus dipersiapkan, bukan semudah membalik telapak tangan dan, juara kelas saja juga tidak menjamin buat sukses.
Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono mengingatkan kita betapa pentingnya seseorang bisa membaca peluang- seperti memimpikan bisnis dalam sektor transportasi taxi yang didukung dengan semangat dan kegigihan tekad. Pintar saja secara akademik, sebagaimana yang dimiliki Oki, juga belum menjamin buat sukses. Ia mengasah potensi diri untuk memilki keterampilan berganda, bisa sebagai pembicara dan penulis. Tentu saja sejak kecil dan remaja ia juga rajin berlatih berpidato, ikut berorganisasi dan berlatih dalam menulis dan jurnalistik, kemudia ia juga mendalami ilmu Al-Quran dan ilmu jiwa, hingga ia menjadi seorang public figure nasional.
Begitu juga dengan Najwa Shihab, bahwa ia juga memilki kepintaran berganda, kemampuan berbahasa Inggris dan keberanian. Andai ia seorang perempuan yang pasif dan pemalu maka tentu ia sulit untuk move-on. Jadinya bahwaaktif berorganisasi, banyak membaca untuk memperluas wawasan serta kemampuan dalam menulis- jurnalistik- telah memuluskan karir Najwa Shihab itu sendiri.

Kamis, 20 Agustus 2015

Siswa Kita Perlu Memiliki Cita-Cita Yang Lebih Spesifik



Siswa Kita Perlu Memiliki Cita-Cita Yang Lebih Spesifik
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

            Menjadi guru merupakan profesi yang menarik, karena seorang guru akan membantu perkembangan seorang siswa dari kurang cerdas menjadi cerdas, dari kondisi biasa-biasa saja menjadi pribadi yang luar biasa, atau dari seorang kualitasnya masih zero (kosong) hingga menjadi hero, seorang pahlawan, paling kurang seorang pahlawan dalam keluarganya. Untuk menggenjot mutu pendidikan, tiap lembaga pendidikan atau setiap negara memiliki strateginya masing-masing.
            Karena penduduk negara ini sangat banyak, sangat plural (majemuk) dan kualitas SDM juga berbeda maka pemerintah mendirikan beberapa sekolah pelayanan keunggulan. Sekolah yang biasa tetap menjadi perhatian, namun sekolah berlabel unggul dengan program khusus, didirikan untuk melayani siswa yang membutuhkan akselerasi (percepatan) dalam mengakses ilmu pengetahuan. Maka terbentuklah sekolah berlabel keunggulan seperti “SMA unggul, SMA Plus, Sekolah Percontohan, SMK Model, MAN Model, Sekolah Pembangunan, dll”.
            Saya kebetulan mengajar pada salah satu sekolah unggul. Rekruitmen siswa tentu saja memperoleh perhatian khusus, dimana sekolah unggul merekrut murid-murid cerdas lebih awal dari rata- rata sekolah biasa. Tidak sekedar merekrut berdasar skor yang tinggi pada nilai rapor, ijazah dan skor Ujian Nasional. Sekolah program unggul juga memberikan ujian tulis untuk mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Sains dan Ilmu Sosial. Dimana semua mata pelajaran tadi diramu ke dalam satu ujian tulis saja.
            Setelah itu sekolah juga memberi perhatian pada prestasi calon siswa yang dibuktikan oleh copy sertifikat. Yang juga menarik bahwa calon siswa sekolah unggulan juga diwawancara untuk memperoleh input secara langsung agar diperoleh data yang lebih tajam.  
            Setiap awal tahun, saya sering ikut menjadi tenaga perekrut yang mempunyai tugas untuk mewawancarai calon siswa. “Kelak bila sudah dewasa, kamu mau jadi apa ?”. Mayoritas calon siswa pintar yang saya wawancarai kelak bila sudah dewasa ingin menjadi dokter, satu-satu ingin menjadi guru, perawat, pokoknya ingin jadi pegawai.
“Mengapa ya banyak yang ingin jadi pegawai?”. Setelah membalik-balik dokumen ternyata ayah dan ibunya adalah PNS (Pegawai Negeri Sipil). Ya beginilah jadilanya kalau jumlah PNS di negeri ini begitu berlimbah ruah jumlahnya, sehingga anak dan cucunya juga ingin menjadi PNS atau bekerja sebagai orang kantoran.
            Cita-cita ingin menjadi pegawai atau PNS lebih banyak diungkapkan oleh anak perempuan. Sementara calon siswa yang pria memberikan jawaban sedikit lebih bervariasi. Ada juga yang ingin menjadi dokter, juga ada yang ingin berkarir dalam bidang teknik. Juga banyak yang ingin berkarir di teknik perminyakan, dalam imajinasi mereka bahwa kalau bekerja di perusahaan perminyakan maka akan menyembur sangat banyak uang. Disamping itu juga ada yang ingin berkarir sebagai penguasaha.
“Pengusaha di bidang apa?”. Namun kata pengusaha itu sendiri cukup abstrak.
            Mereka protes saat saya klarifikasi apakah mereka ingin berkarir sebagai pengusaha tempe, pengusaha ayam potong, atau pengusaha bahan bangunan. Semua klarifikasi tersebut memperoleh bantahan, karena itu semua adalah pengusaha rendahan dan murahan. Terkesan dari wajah mereka bahwa pekerjaan yang hebat itu adalah pekerjaan yang mempunyai hubungan dengan mata pelajaran yang mereka anggap sangat bergengsi seperti “Kimia, fisika, matematik, biologi, akutansi, dan ekonomi”. Inilah efek dari mengangkat beberapa pelajaran sebagai mata pelajaran Ujian Nasional. Hingga mata pelajaran dan gurunya dianggap sebagai “maha penting” dan mata pelajaran lain adalah kelas dua.
            Mereka sendiri juga kebingungan untuk mendeskripsikan tentang karir yang lebih spesifik. Saat saya konfirmasi ulang maka lagi-lagi mereka menyebutkan karir yang sudah konvensional “menjadi dokter, spesialis anak, spesialis jantung, dosen, insinyur, direktur bank, yang ujung-ujungnya ingin menjadi PNS, pegawai BUMN atau orang bekerja di kantoran. Pada hal dalam kebijakan Presiden Jokowi bahwa pintu PNS sudah ditutup. Untuk itu diharapkan kepada para mahasiswa bila telah wisuda kelak harus mencari karir selain PNS. Sangat bagus kalau mereka mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri.
Saat penerimaan pegawai PNS masih mudah, mahasiswayang punya IPK tinggi punya kesempatan buat jadi PNS atau menjadi dosen. Namun sekarang tidak, kalau ada yang menjadi dosen, ya tentu menjadi dosen honorer yang honornya sangat kecil- karena Perguruan Tinggi bukan gudang uang. Uang lebih mudah datang kalau bekerja di Perusahaan atau kalau berdagang. Maka sekarang bahwa  IPK- Indeks Prestasi Kumulatif- yang tinggi atau biasa-biasa saja tidak banyak berguna, kecuali hanya agar bisa wisuda. Semangat berwirausaha dan leadership jauh lebih berharga.
            Suatu ketika saya berjumpa dengan seorang wisatawan Malaysia, yang aslinya keturunan kota Batusangkar- Sumatera Barat. Saya tertarik ngobrol dengan anak lelakinya bernama Raihan. Ia tergolong anak cerdas dan masih sekolah di Primary School di Malaysia. Saya tertarik mencari tahu tentang cita-citanya di masa depan. Saya berfikir mungkin ia bakal tertarik menjadi seorang dokter, apoteker, seorang pilot. Ya sebagaimana cita-cita anak-anak Indonesia.
Ternyata Raihan ingin bercita-cita dalam bidang kuliner. Ia ingin memiliki restoran yang besar di kota Kuala Lumpur dan menyediakan kebutuhan kuliner berbasis masakan Asia, seperti masakan Jepang, Korea, Indonesia dan India. Mengapa ia tertarik berkarir dalam bidang resto dengan kuliner internasional ?, karena Raihan suka membantu ibunya memasak masakan lezat di dapur di rumahnya di Malaysia. Cukup beda dengan cita-cita yang diungkapkan oleh siswa saya, meski mereka diberi label sebagai siswa unggulan, namun mereka hanya mampu menyebutkan karir yang konvensional, atau karir yang muluk-muluk, yang mungkin jauh dari jangkauan mereka.
Memang benar, bahwa cukup banya siswa Indonesia, apalagi dari sekolah unggulan, hanya mampu bercita-cita dalam ilusi, yang tidak jelas, kurang spesifik dan terkesan di luar jangkauan. Setelah mereka bersekolah sebagai siswa di SMA Unggulan. Saya kembali mewawancarai mereka.
Dan kali ini dari jawaban, mereka mayoritas ingin kuliah di Perguruan Tinggi favorite. Dan mereka menyebutkan perguruan tinggi yang bertengger di Pulau Jawa, seperti UI (Universitas Indonesia), UNPAD (Universitas Pajajaran), UNDIP (Universitas Diponegora), UGM (Universitas Gajah Mada). Kalau ditanya mau mengapa setelah tamat dari Perguruan Tinggi favorite tersebut (?). Dan mayoritas mereka terdiam, tidak tahu apa pekerjaan yang spesifik setelah itu. Dengan demikian mereka para siswa unggulan hanya sebatas tahu untuk memburu tempat kuiah yang favorite saja. Dalam fikiran mereka bahwa dibalik perguruan tinggi tersebut akan terbentang sukses dan Perguruan Tinggi akan memberi mereka sebuah pekerjaan yang basah. Sehingga ada yang bercita-cita kuliah hebat dengan deretan gelar yang panjang dan gaji yang berlipat. Ya cita-cita siswa unggulan yang nggak jelas.
Lagi, suatu ketika saya berjumpa dengan grup siswa dari Jerman dan saya sempat bertukar cerita yang panjang dengan salah seorang siswa yang bernama Lewin Gastrich. Lewin telah menjelaskan tentang karirnya di masa depan. Ia memberi perincian, bahwa selepas dari Secondary School, ia akan mendaftar di Akademi Penerbangan, karena ia suka terbang dan senang dengan tantangan ketinggian. Dan lebih ke depan ia akan bekerja di Badan Penerbangan Luar Angkasa.
Tekhnologi penerbangan luar angkasa yang sudah ia baca adalah seperti di Jerman, Perancis, NASA- di Amerika Serikat,Rusia, dan China. Ia memperkirakan bahwa yang lebih mudah untuk ia akses kelak adalah Badan Luar Angkasa dari Rusia. Namun ia terkendala dengan bahasa. Maka dari sekarang ia sangat rajin belajar Bahasa Rusia secara otodidak dengan memanfaatkan Google di internet. Dapat saya pahami bahwa cita-cita yang dipaparkan oleh Lewin Gastrich lebih jelas dan lebih terperinci dalam menggapainya.
            Saya tidak bermaksud menyanjung dan memuci siswa dari Malaysia, Jerman dan dari negara lain. Saya berharap agar siswa kita di Indonesia, apalagi dari sekolah berlabel unggul, mampu untuk mendesain cita-cita mereka. Cita-cita itu adalah tujuan dan perlu perencanaan yang lebih jelas dan lebih terarah. Mengapa siswa luar negeri memiliki cita-cita yang jelas dan siswa kita bingung dalam mencari karir masa depan mereka ?
            Faktor wawasan, informasi atau ilmu pengetahuan adalah sebagai faktor penentu seorang siswa bisa memiliki cita-cita atau memiliki visi dan misi di masa depan. Adalah fenomena bahwa membaca yang intensive belum menjadi budaya di kalangan masyarakat kita. Coba lihat berapa betul orang yang terbiasa membaca- berlangganan koran dan majalah. Ya betul berlangganan koran adalah sesuatu yang amat langka dalam masyarakat kita, apalagi buat berlangganan majalah.
Selanjutnya bahwa tidak begitu banyak masyarakat kita yang terbiasa membaca buku. Buku yang berkualitas menjadi hal yang langka buat kita temui di rumah-rumah masyarakat. Jadinya masyarakat kita adalah masyarakat yang minim ilmunya- pantaslah peringkat SDM negara kita di dunia tidak begitu menggembirakan.
Guru di sekolah yang berfungsi buat mencerdaskan anak-anak bangsa juga belum membudaya untuk membaca- membaca koran, majalah dan buku-buku motivasi.Kalau para guru sendiri juga malas dalam membaca maka Ilmu guru-guru kita hanya sebatas menguasai buku teks, sementara kebutuhan hidup anak didik kita melebihi dari ilmu buku teks.
Anak-anak kita sejak dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi juga tidak terbiasa membaca. Itulah jadinya banyak anak-anak kita di sekolah belajar hanya sebatas 4D, yaitu datang, duduk, dengar dan diam.
Kalau di Sekolah Dasar, seorang anak harus menguasai kemampuan tiga R, yaitu Reading, wRiting dan aRismetic. Untuk reading atau membaca, siswa kita hanya sebatas mampu membaca satu huruf, satu kalimat, atau sebatas tahu A-Be-Ce dan De. Belum lagi sebatas mampu membaca dan menamatkan lusinan buku. Itulah jadinya anak didik kita tidak banyak yang memahami tokoh-tokoh kehidupan lagi. Karena mereka tidak terbiasa membaca, mereka tidak memiliki majalah lagi. Dalam zaman cyber, anak-anak kita tenggelam dalam permainan game online.
Seperti yang kita lihat pada judul bahwa”siswa kita perlu memiliki cita-cita yang lebih spesifik”, dalam kenyataan mereka memiliki cita-cita yang ngawur, ngambang, kalau kuliah, hanya sebatas memburu universitas bergengsi, setelah wisudamalah jadi bengong. Ini adalah problema bagi kita. Suatu problema dapat disorot dari sudut “sebab dan akibat”.
Penyebab mengapa siswa kita tidak memiliki cita-cita yang spesifik, adalah karena mereka memilki ekplorasi yang minim. Ekplorasi diperoleh lewat menjelajah atau mengenal lingkungan secara langsung. Namun mereka terbiasa mengurung diri di seputar rumah, kurang mengenal lingkungan yang dekat hingga lingkungan yang jauh. Program rekreasi dan eksplorasi belum menjadi agenda ke luarga. Kemudian, ekplorasi juga bisa bisa diperoleh lewat membaca, sesuai dengan pernyataan sebuah ungkah “dengan membaca buku kita bisa menjelah dunia”. Nah siswa kita sendiri adalah orang belum terbiasa membaca hingga jelajah mereka terbatas.
Karena guru dan orang tua juga terbatas wawasan mereka, maka mereka juga tidak mampu menjawab tantangan cita-cita mereka. Jadinya setiap kali sang anak bertanya “Apa cita-cita saya yang terbaik ?”. Maka jawabnya selalu, ingin menjadi PNS, guru, dokter, bidan, perawar, insinyur, kerja di Bangk. Pokoknya bekerja menjadi anak buah terus. Hingga anak mereka belajar dan kuliah, memperoleh IPK yang tinggi tetapi selalu tertarik sebagai “Job Seeker”- pencari kerja, menjadi kerja kantoran, menjadi bawahan anak buah.
“Jadi apa yang diperlukan ?”
Para siswa membutuhkan bimbingan karir. Itulah ketinggalan kita. Di sekolah luar negeri, guru-guru dan terutama counseling membantu anak dalam membimbing karir mereka. Bukan selalu menjadi guru yang mengurus anak bermasalah hingga selalu memasang wajah angker dan suara killer. Di sekolah Secondary College di Norwood, yang sempat saya lihat, guru counseling adalah guru tempat curhat tentang karir dan kehidupan bagi para siswa. Menjadi guru yang dicari, disenangi, bukan guru yang ditakuti.
Ya siswa kita memang membutuhkan bimbingan karir, agar mereka memiliki karir yang lebih spesifik. Siswa kita banyak yang sudah sukses dalam mengejar skor- skor yang tinggi. Mereka cukup pintar dalam belajar, mampu menjadi sang juara di kelas- menjadi juara umum. Mereka belajar serius di sekolah, rumah dan malah juga ikut kursus atau bimbel (bimbingan belajar). Namun bingung dalam mencari cita-cita.
Cita-cita klasik mereka yaitu ingin jadi presiden, jadi menteri, jadi dubes, jadi gubernur, jadi dokter, jadi tentara/ polisi, dll. Ya sebuah cita-cita dari yang tertinggi sampai yang terendah. Atau cukup banyak yang bengong dengan cita-cita dan jawaban mereka:
“Bingung dengan masa depan, tergantung papa dan mama. Tergantung nilai raport, tergantung wali kelas, tergantung hasil ujian/ hasil T.O. Atau itu belum kepikir sekarang…yang penting saya harus belajar dulu”.
Karena cita-cita mereka mengambang dan kurang spesifik jadinya cita-cita mereka jadi berubah-ubah. Apa efek dari cita-cita yang berubah?. Ya tentu saja pilihan jurusan berubah, pilihan gaya belajar berubah, pilihan tempat kuliah berubah. –Visi hidup juga bisa berubah.
Mereka perlu memahami pemilihan karir. Paling kurang pemilihan karir ala Box-Hill atau John L. Holland, yang sempat saya kunjungi di Melbourne. Yaitu pemilihan pekerjaan/jabatan merupakan hasil dari interaksi antara factor, seperti hereditas (keturunan), pengaruh budaya, teman bergaul, orang tua, orang dewasa yang dianggap memiliki peranan yang penting. Setiap siswa perlu tahu bahwa ada enam tipe pribadi berdasarkan pilihan kerja, yaitu tipe realistis, intelektual, sosial, konvensional, usaha, dan artistik.
1) Tipe realistis, ciri-cirinya yaitu; mengutamakan kejantanan, kekuatan otot, ketrampilan fisik, mempunyai kecakapan, dan koordinasi motorik yang kuat, kurang memiliki kecakapan verbal, konkrit, bekerja praktis, kurang memiliki ketrampilan sosial, serta kurang peka dalam hubungan dengan orang lain. Orang yang bertipe ini sukanya tugas-tugas yang konkrit, fisik, eksplisit/ memberikan tantangan. Untuk memecahkan masalah memerlukan gerakan, kecakapan mekanik, seringkali suka berada di luar gedung. Contoh pekerjaan: operator mesin/radio, sopir truk, petani, penerbang, supervisor bangunan, ahli listrik, dan pekerjaan lain yang sejenis.
2) Tipe intelektual, sukanya adalah model pekerjaan yang bersifat akademik, kecenderungan untuk merenungk, berorientasi pada tugas, kurang suka terlibat dalam bersosial. Membutuhkan pemahaman, menyenangi tugas-tugas yang bersifat abstrak, dan kegiatan bersifat intraseptif  (keras/tegas). Sukanya tugas dengan kemampuan abstark, dan juga bersifat kreatif. Ia suka memecahkan masalah yang memerlukan intelejensi, imajinasi, peka terhadap masalah intelektual. Kriteria keberhasilan bersifat objektif dan bisa diukur, tetapi perlu waktu yang cukup lama dan bertahap. Ia tertarik pada kecakapan intelektual dari pada manual. Kecakapan menulis juga mutlak. Contoh pekerjaan: ahli fisika, ahli biologi, kimia, antropologi, matematika, pekerjaan penelitian, dan pekerjaan yang sejenis.
3) Tipe sosial, ciri-cirinya: suka membantu orang lain, pandai bergaul dan berbicara, bersifat responsive, bertanggung jawab, punya rasa kemanusiaan, bersifat religious membutuhkan perhatian, memiliki kecakapan verbal, punya hubungan antar pribadi yang baik, menyukai kegiatan-kegiatan yang rapi dan teratur, menjauhkan bentuk pemecahan masalah secara intelektual, lebih berorientasi pada perasaan. Sukanya menginterpretasi dan mengubah perilaku manusia, serta berminat untuk berkomunikasi dengan orang lain. Contoh pekerjaan: menjadi guru, pekerja sosial, konselor, misionari, ulama, psikolog klinik, terapis, dan pekerjaan lain yang sejenis.
4) Tipe konvensional, ciri-cirinya: kecenderungan terhadap kegiatan verbal, ia menyenangi bahasa yang tersusun dengan baik, senang dengan numerical (angka) yang teratur, menghindari situasi yang kabur atau abstrak, senang mengabdi, mengidentifikasikan diri dengan kekuasaaan, memberi nilai yang tinggi terhadap status dan materi, ketergantungan pada atasan. Sukanya proses informasi verbal dan menyukai matematik secara kontinu, suka kegiatan rutin, konkrit, dan bersifat sistematis. Contoh pekerjaan: sebagai kasir, statistika, pemegang buku, pegawai arsip, pegawai bank, dan pekerjaan lain yang sejenis. 5) Tipe usaha, ciri-cirinya:  menggunakan ketrampilan berbicara dalam situasi dan kesempatan untuk menguasai orang atau mempengaruhi orang lain, menganggap diri paling kuat, jantan, mudah beradaptasi dengan orang lain, menyenangi tugas-tugas sosial. Menyenangi kekuasaan, status dan kepemimpinan, bersifat agresif dalam kegiatan lisan. Sukanya tugas dengan kemampuan verbal untuk mengarahkan dan mempengaruhi orang lain. Contoh pekerjaan: sebagai pedagang, politikus, manajer, pimpinan,  eksekutif perusahaan, perwakilan dagang, danpekerjaan lain yang sejenis.
6) Tipe artistik, ciri-cirinya: senang berhubungan dengan orang lain secara tidak langsung, bersifat sosial dan suka rmenyesuaikan diri. Sukanya adalah artistik, memerlukan interpretasi atau kreasi bentuk artistik melalui cita-rasa, perasaan dan imajinai. Suka mengekspresikan diri dan menghindari keadaan yang bersifat intra-personal, suka keteraturan, atau keadaan yang menuntut ketrampilan fisik. Contoh pekerjaan: menjadi ahli musik, ahli main drama, pencipta lagu, penyair, dan pekerjaan lain yang sejenis.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa anak didik kita perlu memiliki cita-cita yang lebih spesifik. Untuk itu dari usia dini, mereka sudah terbiasa bereksplorasi, budaya membaca untuk menambah wawasan sangat penting bagi orang tua, guru dan siswa sendiri. Kemudian guru dan orang tua perlu memberikan bimbingan karir bagi siswa Perjalanan Hidup Rasulullah Sebagai Cermin Parenting Bagi Kita
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

            Akhir-akhir ini saya amat tekun membaca artikel-artikel tentang parenting. Parenting adalah ilmu tentang bagaimana menjadi orang tua yang ideal. Kualitas parenting orang tua di rumah sangat menentukan kualitas anggota keluarga (anak-anak). Dari media internet kita bisa memperoleh informasi bahwa kualitas parenting orangtua Indonesia belum menggembirakan. Malah sebahagian bisa berkategori sebagai fail-parenting- atau orang tua yang gagal, karena cukup banyak mereka yang tidak tahu peran mereka sebagai orang tua. Pintar mereka sebagai orang tua hanya sebatas menyuruh, melarang dan mencukupi kebutuhan makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Selebihnya orang tua menyerahkan urusan mendidik kesekolah secara bulat- bulat. Ironisnya cukup banyak orang tua yang serba tidak mengerti tentang parenting ini.
            Kualitas SDM atau pendidikan bangsa Indonesia sangat tidak membahagiakan, masih menempati rangking diatas seratus. Ini berarti bahwa Indonesia,ibarat kapal besar, dengan penduduk lebih dari 250 juta, ternyata mereka adalah orang orang yang rendah kualitasnya. Ini juga dibuktikan bahwa setiap kali diadakan pesta olahraga untuk negara-negara Asia Tenggara (Asean Games) maka jarang sekali Indonesia menempati peringkat juara satu atau juara umum. Selalu bisa dikalahkan oleh negara tetangga yang lain.
            Negara Singapura saja, yang besarnya hanya sebesar kota Padang, bisa mengalahkan kualitas prestasi bangsa kita. Apa maksudnya, bangsa bangsa kita adalah bangsa yang kurang rajin, lemah semangat, kurang memiliki semangat juang dan kompetisi. Ya kita adalah sebagai bangsa penonton dan suka konsumerisme yang berlebihan. Penyebabnya banyak, salah satunya karena kualitas parenting kita yang rendah. Sebagai orang tua belum berhasil dalam menanamkan semangat belajar dan bekerja keras- kerja yang serius dan berkualitas.
            Kita boleh kagum dengan kualitas pendidikan di Belanda, yang mana disebut memilki kualitas ibu yang terbaik. Atau kita kagum dengan parenting orang tua di Jepang, Findlandia, Perancis, Australia dan negara Barat lainnya.
Negara Australia merupakan cerminan dari bangsa Eropa di dekat Indonesia. Saat saya berada di Melbourne dan Sydney, saya melihat betapa rapi dan teraturnya tata ruang negara mereka. Betapa berkualitasnya warganya- mereka terbiasa tepat waktu, suka antri dan budaya tertib. Itu semua untuk urusan dunia.
            Namun sayangnya saat saya berada di Hotel Ibis, Hotel Mercure  dan hotel lainnya, saya menjumpai muda-mudi bergaul bebas, persis saat merpesta di akhir pecan. Mereka mengadopsi budaya pergaulan bebas. Di taman kota muda-mudi tanpa risih bermesraan yang di luar batas. Bukan kah hidup ini utamanya bagi orang Islam adalah buat mengabdi pada Allah. Itulah yang saya temukan bahwa parenting mereka adalah parenting sekuler, hanya sebatas berkualitas dan rapi buat urusan dunia semata. Namun buat buat urusan spiritual dan rohani, mereka cenderung mengabaikannya. Jadinya saya ingin bahwa yang patut dikagumi bukan parenting ala Barat, namun adalah parenting yang Islami.
Terus terang bahwa parenting yang sangat baik itu adalah parenting Islam. Sejarah dan prilaku Nabi Muhammad Saw adalah sumber inspirasi parenting yang terbaik bagi kita. Persis sebagaimana Firman Allah dalam kitab suci Al-Quran. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan  yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (Al-Ahzab, 21).
Dalam teori Tabularasa, dinyatakan seorang anak ibarat sehelai kertas putih, coretan-coretan yang diberikan oleh lingkungannya akan menentukan karakter dan kualitas pribadinya. Tukang coret atau pengukir buat kehidupan utama atas diri sang anak tentu saja adalah ibu dan bapanya. Senada dengan teori tabularasa, agama kita, Islam,juga mengatakan bahwa orang tua juga penentu eksistensi kepercayaan seorang anak.
Hadis riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, seorang Nasrani maupun seorang Majusi.
Aneh-aneh saja gaya orang tua sekarang dalam menumbuhkan anak, termasuk mereka yang mengaku punya ilmu mendidik. Begitu anak lahir dan terus tumbuh, mereka diperkenalkan suguhan lirik-lirik lagu yang jauh dari nafas rohani Islam. Bayi-bayi mereka tidur lelap sambil didendang dengan lagu lagu sekuler yang keluar dari audio HP atau gadget mereka.Kemudian saat bayi tumbuh dewasa dan ternyata jauh dari ajaran Islam, maka yang tertuduh adalah pengaruh lingkungan- tanpa alamat yang jelas.
Fenomena orang tua lain, yang mengaku sebagai orang tua modern yang juga tahu dengan ilmu agama adalah mengajak anak mereka untuk terlalu banyak bersenang-senang. Mencari makanan fast-food di mall, pergi eksplore di time-zone atau arena bermain yang berharga mahal dan menjauhi anak dari pengalaman hidup yang susah. Mengapa tidak membawa anak ke kebun, sawah, pinggir sungai agar mereka tahu bahwa ini semua adalah alam yang diciptakan oleh Allah. Jadinya anak tidak mengenal bagaimana orang-orang yang kurang beruntung menjalani kehidupan mereka. Akibatnya orangtua telah mencetak anak-anak yang berkarakter hedonism- memuja kesenangan dan kemewahan hidup.
Setelah itu bahwa sikap orang tua yang terlalu mendorong dan memotivasi anak mereka untuk memuja-muja kecerdasan otak dari pada menjaga kesucian hati anak juga banyak. Anak digenjot untuk mengikuti belasan les, kursus dan bimbel demi bimbel dengan tujuan kelak menjadi orang sukses. Atas nama belajar sang anak dibebaskan dari bekerja. Kebutuhan makan, minum, pakaian dan semua keperluan anak dilayani. Akibatnya anak- anak mereka yang telah merangkak menjadi remaja akhir dan dewasa awal cukup banyak yang tidak mampu melayani diri sendiri. Tidak tahu cara memasak, membersihkan rumah, menstrika pakaian. Malah gara gara dibelenggu oleh tugas belajar dan ikut kursus hingga sang anak tidak tahu cara bersosial lagi. Jadinya mereka tumbuh menjadi pemuda dan pemudi dengan  kecerdasan yang palsu yang tidak akan memberi manfaat pada dirinya dan juga bagi orang lain.
Barusan tadi siang, saya dan anak perempuan saya, menghadiri sebuah kenduri pada suatu tempat di kota Batusangkar. Kemudian kami menyaksikan lantunan lagu-lagu lucu yang dibawakan oleh seorang gadis cilik. Lagu-lagu dangdut yang membahas tentang cinta. Tidak tanggung-tanggung ada tiga lagu yang ia lantunkan dan goyangnya juga terlihat tidak pas untuk usianya. Saya bertanya pada anak perempuan saya: “ Mana sih yang lebih berfaedah dari sisi agama, jago melantunkan lagu lagu konsumsi buat orang dewasa kayak itu atau mampu menghafal sura-surat pendek dari kitab suci Al-Quran ?. Ya demikian, cukup banyak orang tua dan juga penulis, sering melupakan akan makna hidup kita di dunia ini:
“Hidup ini apakah hanya sekedar hura-hura atau buat mengabdi dan beribadah untuk Allah- Tuhan Pencipta Jagat Raya ini ?.” Jadinya kita sering lupa dengan tujuan hidup ini.
Ya itu semua karena kesalahan parenting. Ilmu mendidik kita kerap salah arah. Ada yang tidak memiliki ilmu parenting, sehingga begitu anak terlahir, maka anak tumbuh ibarat bunga liar- tumbuh tanpa arah. Ditiup oleh badai dan diinjak injak oleh berbagai peradaban yang salah.
Anak yang terlahir dari keluarga kita adalah amanah. Roh sucinya seharunya kita tumbuhkan agar selalu mengenal Rabb-nya. Bayi-bayi kecil itu kelak perlu kita tumbuhkan menjadi orang yang bertanggung jawab buat dirinya, lingkungan dan juga buat Tuhan.
Maka parenting yang terbaik adalah parenting yang bercermin pada sejarah tumbuh dan kembangnya pribadi Nabi Muhammad SAW. Nabi terlahir dari lingkungan yang sangat baik. Lingkungan sebagai pembentuk pribadi Nabi yang utama. Ibunda Nabi adalah wanita yang baik dan terhormat. Ibunda Nabi- Aminah binti Wahab- pada waktu mudanya merupakan gadis yang termulia nasab dan kedudukannya di kalangan suku Quraisy.
Menurut penilaian Dr. Bint Syaati tentang Aminah ibu Muhammad yaitu. “Masa kecilnya dimulai dari lingkungan paling mulia, dan asal keturunannya pun paling baik. Ia (Aminah) memiliki kebaikan nasab dan ketinggian asal keturunan yang dibanggakan dalam masyarakat aristokrasi (bangsawan).
Begitu baginda Nabi lahir ke dunia, beliau tidak mengenal kemewahan hidup. Padahal beliau terlahir dari keluarga terpandang. Tentu saja orang yang pertama kali menyusui baginda Nabi Muhammad sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam adalah ibunya sendiri Aminah az—Zurriyah, setelah itu Tsuwaibah al-Aslamiyah selama beberapa hari. Setelah itu Halimah, Nabi Muhammad dibawa ke desanya di Bani Sa’ad yaitu sebuah desa di wilayah Thaif (selama empat tahun).
Sejak awal-awal kehidupanya, beliau diperkenalkan akan realita kehidupan. Bukan diperkenalkan dengan kemewahan dan pemanjaan dengan sejuta larangan. Cukup lama Nabi dalam pengasuhan Halimah, sejak ia bayi- yang butuh asi langsung dari Halimah. Nabi Muhammad dirawat- dibesarkan sebagaimana Halimah membesarkan anak kandungnya sendiri.
Syaima’ adalah puteri Halimah as-Sa’diyah juga turut mengasuh baginda Rasulullah sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam. Sejak usia dini Nabi telah memahami perjuangan hidup, ia ikut mengembalakan kambing sebagai mana anak-anak lain juga melakukannya.
Suatu ketika, ditempat yang agak jauh dari rumah, saat baginda Nabi bermain/ mengembalakan ternak, ia ditangkap oleh Malaikat dan dadanya dibedah- dengan tujuan untuk membersihkan hatinya dari noda- sekejab setelah itu Nabi duduk termenung dan ketakutan hingga ia dijumpai oleh ibu asuhnya- Halimah- dan menceritakan tentang apa yang sudah terjadi.
Maka Halimah takut kalau hal serupa bakal menimpa Nabi lagi. Selanjutnya Halimah as-Sa’diyah mengembalikan Nabi sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam kepada ibunya karena takut terhadap peristiwa pembedahan dada yang terjadi padanya ketika Nabi Muhammad sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam berusia empat atau lima tahun.
Peristiwa dalam kehidupan Nabi selanjutnya cukup banyak. Nabi Muhammad sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam dibesarkan dalam keadaan yatim. Ayahnya meninggal dunia pada saat beliau sholallah alahi was salam masih berada dalam kandungan ibunya. Sepeninggal ayahnya semua biaya hidup Nabi Muhammad sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam ditanggung oleh kakek beliau yang bernama Abdul Muthalib.
Pada saat berusia enam tahun, beliau sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam diajak pergi oleh ibunya ke kota Yatsrib (Madinah al-Munawwarah) untuk mengunjungi keluarga bibi-bibi beliau dari Bani Najjar. Di sana beliau tinggal bersama mereka selama satu bulan. Setelah itu, barulah mereka kembali. Namun dalam perjalan pulang ibunya sakit yang menyebabkannya meninggal dunia, sehingga sekaligus dimakamkan di desa Abwa’. Beliau pulang bersama Ummu Aiaman yang kemudian menyerahkan Nabi sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam pada kakeknya Abdul Muthalib.
Ini berarti bahwa dalam usia anak-anak, baginda Nabi telah memiliki dan mengalami liku-liku kehidupan. Pengalaman hidup ini membuat Nabi memiliki hati dan fikiran yang sangat peka atas penderitaan hidup orang lain. Kepekaan hati dan fikiran cukup jarang dimiliki oleh banyak orang sekarang, terutama bagi kalangan selalu bergelimang dengan gaya hidup hura-hura dan hedonism.
Kakek beliau sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam wafat pada saat beliau sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam berusia 8 tahun. Setelah itu, Nabi Muhammad sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam diasuh oleh paman beliau Abu Thalib sesuai dengan wasiat kakeknya. Abu Thalib juga sangat mencintai Rasulullah sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam. Kehidupan Abu Thalib sangat miskin, namun Allah Swt telah melimpahkan keberkahan dan kemakmuran kepadanya berkat pengasuhannya terhadap Nabi Muhammad sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam. Ketika berusia 12 tahun, beliau sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam dibawa oleh pamannya Abu Thalib ke Syam untuk berdagang.
Dari sejarah Nabi kita tahu bahwa cukup banyak orang-orang yang sangat baik- berhati mulia- yang ikut membesarkan Nabi, yang ikut terlibat dalam parenting Nabi. Mulai dari ibunya, ibu asuhnya, kakeknya hingga pamannya. Parenting yang dialami oleh Nabi tidak memanjakan beliau, namun menumbuhkan beliau untuk memiliki pengalaman hidup, kaya hati, mengenal kekuasaan Allah, Sang Pencipta alam, mengenal tentang hidup yang perlu bekerja, belajar, bergaul, berbuat baik, tidak berpangku tangan. Hingga akhirnya baginda Nabi juga tumbuh menjadi orang yang mampu berorganisasi dan berwirausaha atau berdagang secara baik dan jujur, dan utamanya adalah Nabi sebagai pelita zaman. Membawa kita dari zaman kebodohan ke zaman yang beradab dan juga mengabdi pada Allah.
Moga-moga sejarah Nabi Muhammad selalu menjadi inspirasi bagi kita untuk banyak hal, termasuk dalam hal parenting. Bila kita- anda dan juga saya- memilki anak dan menginginkan anak tumbuh menjadi generasi yang bertaqwa dan beriman. Namun kita membesarkan melalui gaya hidup yang hura-hura, pemanjaan, cinta dunia yang berlebihan, hedonism, dan sekuler, maka kelak tumbuh menjadi orang menurut gaya hidup mereka lalui. Mereka jauh dari Tuhan, jauh dari dunia, jauh dari alam, menjadi pribadi yang cengeng dan kurang bertanggung jawab.  Untuk itu mari kita jadikan sejarah Nabi sebagai paduan parenting bagi kita (http://penulisbatusangkar.blogspot.com ).   

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...