Kamis, 20 Agustus 2015

Dimana Letak Intelektualitas Mahasiswa Bila Cendrung Game Kayak Anak SD ??



Dimana Letak Intelektualitas Mahasiswa Bila Cendrung Game Kayak Anak SD ??
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

            Bahwa bermain itulah adalah kegemaran seseorang dari usia balita hingga dewasa, malah ada hingga usia tua. Dalam sebuah teori tentang kebutuhan bermain, yang diungkapkan oleh Jean Piaget. Bermain adalah bagian dari kehidupan anak. Anak menghabiskan sangat banyak waktu buat bermain, lewat bermain anak akan memperoleh pengalaman dan pelajaran, hingga muncullah teori “learning by doing dan learning by playing”.
            Seiring dengan pertambahan usia maka, anak perlu diperkenalkan rasa tanggung jawab. Anak perlu dilibatkan dalam beraktivitas- melakukan kegiatan di rumah seperti: mencuci piring, menyapu rumah, melipat kain, menstrika pakaian, hingga membantu membersihkan motor ayah. Tentu saja orang tua musti mengerti dengan parenting- yaitu ilmu tentang menjadi orang tua yang baik- yang bisa menerapkannya buat mendidik keluarganya. Maka insyaallah keluarga mereka akan tumbuh menjadi keluarga yang cerdas dan bertanggung jawab.
            Bermain juga menjadi kebutuhan remaja dan orang dewasa, karena bermain berguna buat memberikan rasa rileks dan mengusir ketegangan atau stress pada fikiran. Kalau seorang balita perlu waktu bermain selama10 jam perhari, maka dengan meningkatnya umur, kebutuhan bermainnya seharusnya berkurang menjadi 9 jam, 8 jam, 7 jam, dan seterusnya hingga menjadi 2 jam per-hari. Sebagai pengganti dari kelebihan waktu tersebut akan berguna untuk kegiatan belajar, melakukan hobby dan juga kegiatan lain di rumah lainnya.
            Proses pengurangan jam bermain dari jumlah waktu yang banyak hingga hanya 2 jam per hari, tentu tidak datang dengan sendirian. Pola menghargai waktu yang seimbang antara bermain dan belajar atau bekerja, sesuai dengan porsi usia perlu dorongan dari orang tua. Jadinya setiap anak perlu memiliki agenda kegiatan- yaitu daftar beraktivitas di rumah. Dalam agenda kegiatan akan ada waktu buat sholat, membaca al-Quran, membuat PR, istirahat, membaca buku, hingga membantu orang tua. Tentu saja anak yang mampu melakukan aktivitas berdasarkan agenda kehidupan yang dirancang, bakal meraih sukses dalam hidupnya.
            Apa dan bagaimana fenomena yang terjadi sekarang? Bahwa sekarang cukup banyak remaja- siswa SLTA hingga mahasiswa- yang kurang memahami pola dan kebutuhan bermain. Berapa jam mereka harus bermain dan bagaimana pola permainan yang seharusnya mereka adopsi kurang mereka kenal.
            Yang membedakan siswa dan mahasiswa adalah karena ada kata “maha”, yang berarti “sangat; amat; teramat”. Sederhananya kita dapat mengartikan mahasiswa adalah seorang murid yang "besar". Ya benar, Seorang murid yang "besar", dengan kata besar dalam tanda kutip, yang memiliki banyak arti yang kompleks terkait dengan kata sebelumnya. Yaitu seorang mahasiswa harus lebih cerdas, lebih berkualitas dari seorang siswa. 
            Pemahaman bahwa seorang mahasiswa adalah “seorang siswa yang amat dewasa, amat cerdas dan amat dikagumi” sempat tergores dalam memory saya sewaktu masih duduk di bangku SD. Hingga tahun 1980-an atau di awal tahun 1990-an. Saat itu belum begitu banyak orang yang tamatan SLTA melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Juga di saat itu Perguruan Tinggi jumlahnya masih sedikit, dan hanya ada di ibu kota Propinsi. Seorang mahasiswa yang pulang kampung akan didengar semua ucapannya dan akan menjadi suri-teladan (model kehidupan)  segala tindak tanduknya. Dan bila ia mau kembali ke kota tempat ia menuntut ilmu maka ia akan dilepas beramai-ramai oleh tetangga dan terutama kaum kerabatnya.
            Citra tentang seorang mahasiswa adalah siswa besar yang sangat hebat semakin terpatri dalam fikiran, dan semakin saya pahami saat membaca buku sejarah. Apalagi saat menatap foto tokoh intelektual, misal Muhammad Hatta (wakil Presiden pertama RI) yang menuntut ilmu di Negeri Belanda, ia tekun membaca ilmu pengetahuan dan juga aktif berorganisasi buat memperjuangkan kemerdekaan tanah air.
Juga tentang citra seorang mahasiswa, sebagai orang yang hebat membuat saya kagum saat melihat foto Bung Karno menuntut ilmu, berlatih berpidato, membaca buku tebal-tebal, ikut berorganisasi, dan jago bahasa Belanda dan Bahasa Inggris. Saya telah membacabuku biografinya, ditulis oleh Cindy Adam: Soekarno as retold to Cindy Adam.
            Saya kagum bahwa mahasiswa itu adalah orang yang hebat. Menjadi mahasiswa di Pulau Jawa terasa lebih dahsyat lagi. Sewaktu saya masih kecil, kami merasakan bahwa seseorang yang mampu kuliah di Pulau Jawa terasa hebat, karena perjalanan ke sana sulit dan mahal. Apalagi saat itu beasiswa dan bidik misi belum ada lagi. Mencari kesempatan untuk bisa kuliah butuh perjuang hingga bersimbah keringat fikiran. Ya saya merasakan bahwa rata-rata anak-anak Sumatra dan juga dari Pulau lain yang kuliah di sana bisa berhasil setelah bersimbah keringat dan air mata- maksudnya melalui liku-liku kehidupan.
            Zaman berganti, dan itulah kenyataannya bahwa, arti kata “mahasiswa” juga mengalami pergeseran. Di Era Reformasi mahasiswa diidentikan sebagai seorang pembuat onar yang hampir setiap hari muncul dalam media cetak maupun media elektronik, meskipun tidak semua mahasiswa "berperilaku" demikian, banyak juga mahasiswa yang mampu berprestasi dalam bidang akademik dan non akademik, hanya saja intensitas terekspose oleh media yang kurang berimbang dan pencitraan masyarakat lah, yang sebenarnya memberikan sebuah identitas kepada Mahasiswa.
            Namun arti atau makna kata “mahasiswa” tidak lagi sedahsyat mahasiswa di zaman- zaman dulu. Mahasiswa sekarang, ya kadang- kadang ibarat siswa SMA saja. Pintarnya hanya sebatas berkisah betapa indahnya gedung kampus mereka. Kalau mereka berasal dari Perguruan Tinggi favorite maka mereka sebatas bangga memakai jaket dari kampus mereka, yang mana jaket itu sendiri amat jarang mereka pakai kalau di kampus sendiri.
            Makna kata kehebatan mahasiswa semakin merosot saat mereka tidak memantulkan fikiran yang intelektual- miskin dalam hal inspirasi dan tidak mampu memotivasi adik-adiknya. Bagaimana seorang mahasiswa yang sempat dijuluki sebagai “social agent changing- agen buat perubahan” kalau mereka sendiri memilki ilmu yang minim atau ilmu pengetahuan yang pas-pasan. Tidak mampu berkomunikasi dan tidak mampu melakukan improvisasi- atau peningkatan. Jadinya mereka adalah mahasiswa yang serba nanggung: akademik, dan pengetahuan nanggung, dan leadership serta entrepreneur juga nggak kenal. Inilah wajah sebagian mahasiswa kita.
            Dewasa ini, menurut subjektif saya, cukup banyak mahasiswa yang tidak punya budaya buat membaca dan juga tidak terbiasa bertukar fikiran yang terfokus. Kalau membaca, hanya sebatas membaca halaman demi halaman yang ditugaskan oleh sang Dosen. Karena proses ujian tergantung pada kisi-kisi dan standar kompetensi. Maka itulah yang mereka baca dan hafal sesering mungkin, kisi-kisi dan indikator itu pulalah yang ditanya pada ujian mid semester dan ujian semester hingga nilai mereka bisa bertaburan nilai “A”. Namun IPK yang tinggi tidak berarti apa apa sepanjang itu hanya sebatas lipstick picisan saja.
            Bagaimana hakikat dan kualitas mahasiswa sekarang ? Kerutan di dahi karena mencari jawaban makin lama. Apakah mahasiswa itu adalah siswa yang hebat ? Bagaimana kalau mahasiswa itu tidak punya pola kehidupan, kerjanya kupu-kupu saja (kupu-kupu= kuliah pulang- kuliah pulang). Kalau di kampus sebatas memamerkan gadget dan membalas-balas chatting ringan lewat BBM, Facebook dan Twitter. Atau waktu-waktu berharga banyak habis buat bercengkrama dengan suara manja kayak anak SD atau tiap sebentar selfie buat diupload pada instagram.
            Apakah mahasiswa kayak begini masih bisa menyandang status agent of social changing kalau mereka bengong untuk beraktivitas- hingga di rumah atau dikosan cuma membuang buang waktu dalam bentuk menghempaskan domino, main futsal berkepanjangan, juga cukup banyak yang main game online.
            Saya tidak begitu bangga dengan mahasiswa yang tidak terbiasa membaca dan lebih parah lagi saya sering bertanya-tanya apa sih bedanya antara seorang mahasiswa dengan seorang murid kelas dua SD yang ternyata sama-sama suka mengkonsumsi game online ?
            Itulah kenyataanya bahwa gara-gara cukup banyak mahasiswa yang tidak mengenal tentang pola-pola cara belajar efektif dan pemanfaatan waktu maka gaya hidup mereka sudah sama saja dengan siswa yang lebih rendah dari mereka. Malah, sebagaimana yang kita ungkapkan, bahwa bentuk permainannya juga mirip dengan permainan anak-anak SD yang masih ingusan.
Nggak percaya dan mau buktiin ?  Tengoklah box-box internet yang betebaran di seputar kampus, terutama di perguruan tinggi pinggiran, mereka menghabiskan waktu buat mengakses game online. Atau kalau lagi punya laptop dan tablet, maka mereka terpaku dengan game buat merebut skor-skor buat mengantarkan mereka ke dalam khayalan infantile- khayalan kekanak- kanakan dunia maya. Prilaku begini harus diputus sedini mungkin. Apa gunanya negara kita yang luas ini, meluluskan ribuan mahasiswa yang ternyata berkulitas rendah.
            Anak-anak kita, para siswa dan mahasiswaperlu banyak membaca. Mereka harus memiliki buku bacaan, buku motivasi dan majalah/Koran. Ini semua pekerjaan rumah bagi kita. Kini para pemikir pendidikan, guru, kepala sekolah, orang tua dan pemerintah perlu lagi memikirkan untuk memaksimalkan pemanfaatan perpustakaan. Cobalah buka mata, hati dan telinga, bahwa cukup banyak siswa SD yang tidak punya majalah anak-anak lagi, mereka tidak lagi membaca buku buku sang tokoh kehidupan. Karena pustaka sekolah sering terkunci, buku buku berdebu dan koleksi buku tidak memadai. Kita lebih peduli mencat dinding sekolah, membuat gerbang semata.
            Demikian juga saat di bangku SLTP dan SLTA, siswa kita tidak mengenal tokoh kehidupan dari membaca dan kerja mereka hanya sebatas bimbel dan bimbel dan berlomba memburu skor tinggi buat membanggakan sekolah dan orang tua, meski dibalik skor yang tinggi tidak begitu banyak kegiatan yang mereka lakukan. Ada baiknnya siswa kita sejak dibangku SLTP dan SLTA diperkenalkan konsep wirausaha dan entrepreneur.
            Dewasa ini di Perguruan Tinggi ternyata nilai akademik yang tinggi hanya berguna sekedar untuk kelulusan kuliah saja. Sementara kesuksesan dalam dunia kerja lebih banyak ditentukan oleh pengalaman leadership dan entrepreneurship mereka semata. Para siswa yang banyak bersentuhan dengan kisah-kisah bagaimana jadi guru, jadi dokter, jadi perawat, jadi insinyur, kerja di bank, hanya melahirkan generasi yang tetap bermimpi ingin jadi PNS atau menjadi anak buah semata, dan ini tidak salah. Namun lebih dahsyat apabila ekskul  sekolah mendatangkan (mengundang) para  tokoh entrepreneur dan juga tokoh leadership dari kehidupan nyata. Mari kita rancang kegiatan buat mempertajam leadership dan entrepreneur mereka sejak usia dini. Kita beri mereka pengalaman berharga sejak usia dini, karena pengalaman di usia  muda akan bersifat long-lasting atau teringat sepanjang masa (http://penulisbatusangkar.blogspot.com ).   
   

Senin, 03 Agustus 2015

Masa Muda Yang Beruntung- Lucky Young Life



Masa Muda Yang Beruntung- Lucky Young Life
Oleh: Marjohan
Guru SMAN 3 Batusangkar
 
1. Orang Tua Dengan Pengetahuan Yang Minim
            Sudah lama saya ingin menulis tentang pengalaman bagaimana mempelajari bahasa asing yang banyak. Dalam hidup ini, saya sempat mempelajari banyak bahasa, seperti Bahasa Jerman, Bahasa Spanyol, Bahasa Perancis, Bahasa Inggris dan Bahasa Arab. Namun saat saya berusia remaja, tidak banyak sarana belajar untuk mendukung sehingga bahasa-bahasa yang saya pelajari belum terserap secara optimal. Bahasa Asing yang telah menjadi bagian hidup saya adalah bahasa Inggris, Perancis dan Bahasa Arab.
Itu semua saya pelajari secara otodidak. Hal lain yang saya pelajari secara otodidak adalah kiat- kiat untuk menjadi penulis. Jadinya saya sangat rajin membaca buku-buku biorafi penulis. Nama- nama yang masih saya ingat adalah seperti Ernest Hemingway, Hilman- penulis novel lupus, Arswendo Atmowiloto, Zakiah Darajat, Buya Hamka, Zera Zetira, Muchtar Lubis, dll. Kenapa saya suka membaca biografi para penulis ? Karena seseorang yang ingin menguasai sebuah hobi atau karir, maka ia perlu bercermin dengan orang orang yang telah sukses sebelumnya- yaitu melalui membaca biografi mereka.  
Sebelum saya mengisahkan tentang perjalanan saya dalam menguasai berbagai bahasa asing, maka saya ingin memaparkan sedikit tentang latar belakang keluarga sayai. Saya terlahir dan dibesarkan dari keluarga yang ilmu pengetahuan mereka sangat minim.
Meskipun ayah saya seorang prajurit polisi dan ibu hanya memperoleh pendidikan hingga kelas 3 SR (sekolah Rakyat). Dengan demikian dalam mendidik anak mereka hanya sebatas berjuang untuk mencari sesuap nasi buat memenuhi kebutuhan makan dan minum keluarga. Kebutuhan keluarga yang mereka penuhi adalah kebutuhan sandang dan pangan.
Banyak orang-orang yang seusia saya yang waktu kecilnya- di sekitar tahun 1970-an dan 1980-an yang bercerita bahwa mereka makan dengan lauknya adalah sebutir telur yang harus dibagi enam atau dibagi empat. Dan kalau lagi menyantap hidangan maka tidak boleh boros-boros dalam mengambil lauk pauknya. Memang kami diajar untuk hidup sederhana dan bersahaja. Dan ini juga merupakan strategi hidup yang dilakoni oleh banyak orang di Indonesia.
Orang tua saya, sebagai mana banyak orang tua lainnya di negara ini, adalah orang tua yang memiliki ilmu pengetahuan yang sangat terbatas. Mereka mungkin tidak mengerti bahwa anak-anak perlu mengakses (memperoleh) pendidikan yang berkualitas, eksplorasi, kesehatan tubuh yang prima dan hak-hak untuk bermain dan memenuhi rasa ingin tahu setiap anak.
Tentu saja ini adalah mimpi kalau kondisi orang tua juga serba terbatas- terbatas ilmu mereka, miskin wawasan dan rendah ilmu pengetahuan mereka sehingga untuk memenuhi hak-hak anak yang ideal tentu saja adalah sebuah isapan jempol. Memang kondisi ekonomi orang tua saya saat itu berada di ambang miskin. Kami tinggal di rumah bedeng terbuat dari papan dan dinding bamboo. Tentu saja kontrakannya berharga sangat murah. Saya sering melihat ibu membayarkan kontrakan rumah hanya dengan beberapa liter beras saja. Harga nominal sekarang mungkin sekitar Rp. 80 ribu hingga Rp. 100 ribu per bulan.
Saya kadang-kadang merasa malu dengan kondisi rumah yang kami tempati yang terkesan sangat jauh dari kelayakan. Saya sering menolak atau mencari-cari alas an agar teman-teman di sekolah yang ekonomi dan rumah mereka lebih bagus untuk tidak berkunjung kev rumah saya. Jadinya saya membatasi pergaulan karena didera oleh rasa rendah diri.
Pernah suatu ketika kebetulan teman sekolah saya berkunjung secara dadakan, tidak saya layani dan saya malah menyembunyikan diri di bawah kolong rumah hingga ia berlalu. Atau ke tika saya duduk di kelas satu SMP Negeri 1Payakumbuh, saya terserang penyakit campak (measles) saya sengaja tidak memberi kabar ke sekolah. Dengan tujuan agar guru dan teman-teman tidak datang buat membezuk saya. Saya jadi lega saat para siswa dan guru mau membezuk saya pada hari yang ke tujuh, saya ternyata sudah hadir di sekolah dengan wajah yang penuh bercak- bercak hitam yang bertaburan di seluruh permukaan tubuh dan wajah saya.
Saya tidak mengerti mengapa saya memendam inferior complex (rasa rendah diri) yang berlebihan saat itu. Mungkin karena kedua orang tua tidak tahu dan tidak pernah mengajarkan bahwa seseorang tidak perlu merasa rendah diri atas kekurangan harta dan kemiskinan hidup yang kita derita. Karena orang bersosial tidak selalu memandang harta, namun juga memandang fikiran yang bersih dan hati yang suci.   

2. Keluarga Kecil Versus Keluarga Besar
Saat saya kecil di tahun 1970-an, gerakan KB atau keluarga berencana sedang gencar-gencarnya dikampanyekan. Namun orang tua saya terlanjur memiliki banyak anak, anak mereka semua berjumlah 9 orang. Namun yang diboyong oleh ayah saya ke Payakumbuh sebanyak 6 orang. Yang 2 orang lagi- anak yang lebih tua tinggal di Lubuk Alung, dititip kepada nenek, dan satu saudara saya meninggal saat berusia bayi.
Hidup dalam keluarga besar saya rasa punya plus dan minus bagi pertumbuhan anak. Tidak ada istilah pemanjaan pada anak dan juga tidak ada ibu yang memonopoli semua pekerjaan rumah. Semua anggota keluarga- dan juga anak anak dilibatkan dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.
Ayah saya termasuk pimpinan yang bertipe laissez-faire yaitu tidak mau ambil pusing apa yang kami kerjakan. Yang kami tahu bahwa kerja ayah adalah buat mencarin uang. Jadi setiap kali ayah pergi ke luar rumah itu berarti ayah pergi mencari uang. Jadinya ibulah yang menjadi manajer tunggal dalam mengurus rumah tangga yang sederhana itu.
Sebetulnya ibu saya tidak tahu tentang ilmu mendidik dan ilmu parenting- nagaimana menjadi orang tua yang baik. Karena ayah tidak mau tahu tentang urusan rumah dan ibu memiliki tenaga dan tangan yang terbatas untuk mengurus rumah maka kami anak- anak yang lebih besar diberi tugas (job description) buat membantu ibu.
Abang saya, Suwirman, memperoleh tanggung jawab untuk mengurus lampu petromak. Bila sore sudah larut maka ia mulai menyalakan lampu petromak dan malam hari bila lampu bermasalah maka ia bertanggung jawab untuk menghidupkan lagi.
Saat itu rumah kami belum dialiri oleh jaringan listrik. Ia juga punya tanggung jawab untuk memarut kelapa buat ibu setiap kali memasak gulai. Sementara kerja rumah buat saya adalah mencuci piring dan menggiling cabe- hingga jari jemari saya sudah kebal menahan panasnya sengatan cabe.
Disamping itu ibu memberi saya kerja tambahan buat menggembalakan itik- melepas itik dan menjemputnya bila hari telah sore. Di belakang rumah saya terbentang sawah hingga ke kaki bukit. Dan saya sudah hafal dengan pohon-pohon dan puncak-puncak bukit tersebut karena tiap hari terutama bila sore datang saya telah berada di sawah buat menghalau itik-itik pulang ke kandangnya.
Namun bila itik-itik lagi masa dalam masa kawin- pra-bertelur- maka mereka menjadi sedikit lebih liar dan susah buat dikendalikan. Bila dikejut untuk berjalan menuju kandang, mereka ada yang lari dan terbang. Sehingga itik yang pulang ke kandang jumlahnya berkurang. Resikonya saya harus pasang ketabahan dan kesabaran menerima kemarahan ibu karena kelalaian saya. Agar tidak dimarahi ibu karena kelalaian maka saya harus mencari-cari suara itik yang kesasar agar bisa pulang ke kandang dan itu bisa berlangsung hingga gelap malam.
Manfaat hidup dalam keluarga besar yang saya rasa adalah adanya rasa kompetisi sesama saudara, dan pembentukan karakter yang berani. Agaknya anak-anak dari keluarga besar tidak ada yang berkarakter pemalu, karena sejak dari usia dini kita telah terbiasa berekspresi. Juga kemampuan berkomunikasi anak-anak dari keluarga besar lebih bagus dari keluarga kecil.
Keberanian untuk menanggung resiko dan keberanian untuk mengungkapkan fikiran lebih terasa dalam keluarga besar. Sebagaimana yang kami alami bahwa anak-anak dari keluarga besar lebih agresif untuk berbuat dan lebih berani untuk mencoba. Memang anak-anak lebih suka usil, ingin serba mencoba sehingga terkesan lebih lasak –suka coba coba atau lebih usil. Bila bersalah maka kami rentan untuk diejek dan kami sudah kenyang dikritik dan dimarahi.     
Dibanding dengan keluarga kecil, maka anak-anak dari keluarga besar lebih kaya dengan pengalaman hidup. Dalam keluarga saya, ibu lebih dominan sebagai pendidik, tentu saja hanya sebatas memberi instruksi: tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Kami tidak boleh mengganggu ketenangan orang lain, tidak boleh berkelahi, tidak boleh mencuri dan melanggar norma social. Lebih lanjut ibu tidak punya waktu buat mengawasi kami secara detil.
Dalam keterbatasan ekonomi membuat orang tua tidak sanggup membelikan kami permainan, kecuali hanya beberapa kali saja membelikan mobil-mobilan plastic yang harganya cukup murah. Namun permainan yang berbekas dalam fikiran adalah permainan yang kami peroleh dari menjelajah- atau bereksplorasi- di sawah di belakang rumah. Dari sana kami mengenal jenis-jenis serangga dan yang cukup menantang saat kami main perang-perangan dengan cara saling melemparkan lumpur ke tubuh saudara-saudara kami hingga semua pakaian berlumuran lumpur. Takut kalau dimarahi oleh ibu maka sebelum pulang kami mencuci pakaian dan membersihkan di selokan kecil.
Bereksplorasi lewat berlarian, melompat, mendaki menurun di hamparan sawah hingga lading penduduk membuat tubuh kami menjadi kuat. Karena tidak mempunyai uang jajan maka kami minta izin buat memanjat pohon-pohon perawas, jambu, pohon cherry, hingga pohon mangga milik tetangga. Kadang- kadang agar tetangga sudi memberi izin buat memanjat pohon mereka yang sedang berbuah maka kami perlu dulu menyapa mereka dan kalau perlu memberi bantuan atau sekedar mampir dan bersalaman dengan mereka.
Anak-anak dari keluarga besar terasa lebih memiliki kepekaan social. Yabagaimana tidak, interaksi yang sangat intense telah terjadi di antara mereka, kemudian mereka merasa cukup enteng untuk memberi sapaan buat tetangga dan orang-orang yang baru datang.  
3. Keluarga Kecil
            Gerakan KB (keluarga berencana) di negara kita terasa cukup berhasil. Pada umumnya orang sudah tertarik buat memiliki dua orang anak. Dan kadang- kadang memiliki 3 atau 4 orang anak. Namun jumlah yang begini lebih sedikit populasinya menurut pantauan saya.
Malah jauh di luar negeri, di Eropa, sebagaimana yang diungkapkan oleh teman saya warga Perancis yang bernama Anne Bedos, Louis Deharveng dan Francoise Brouquisse bahwa kalau di negeri mereka satu keluarga cukup satu anak atau tanpanak. Itulah mengapa saya menemui bahwa mayoritas teman-teman saya yang berasal dari luar negeri jarang yang mempunyai anak. Saya tidak mau menanyakan tentang mengapa tidak mau memiliki anak, karena itu termasuk privacy atau hak—hak pribadi mereka yang taboo kalau ditanyakan.
Hal-hal taboo lainnya adalah menanyakan umur mereka, gaji mereka dan pekerjaan mereka. Jadi percakapan yang lazim buat permulaan dialog adalah tentang hal-hal yang umum. Seperti menanyakan tentang negara mereka, tentang cuaca, dan tentang hal- hal umum lainnya. Percakapan tentang hal pribadi bisa terjadi bila kita dan mereka sudah terasa lebih akrab dan memperoleh izin dari mereka.
Anak-anak dari keluarga kecil, sebagaimana yang terlihat sekarang, terlihat lebih sehat dan lebih sejahtera. Kita tidak mendengar lagi bahwa anak- anak sekarang kalau makan terpaksa lauk pauk, seperti telur harus dibagi empat  atau di bagi dua. Kebutuhan gizi tubuh anak-anak sekarang lebih baik dari generasi yang terlahir 30 tahun sebelumnya. Malah akses pendidikan dan permainan anak-anak sekarang jauh lebih baik. Lantas apakah anak-anak sekarang bakal lebih sukses ?
Orang tua zaman sekarang telah memiliki ilmu pengetahuan yang lebih baik dari orang tua 30 tahun yang lalu. Sehingga orang tua zaman sekarang telah sadar untuk memenuhi kebutuhan anak seperti kebutuhan “drink, meal, clothing, affectionate and education”. Sekarang orang tua berlomba-lomba buat menyekolahkan anak mereka ke sekolah favorite atau berlabel unggulan. Mereka sadar agar anak mereka perlu memiliki score yang tinggi untuk bidang studi yang masuk dalam UN (Ujian Nasional), seperti kimia, fisika, biologi matematik, bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Sosiologi, dll.
Jadinya orang tua juga mendorong anaknya agar selepas belajar di sekolah agar juga pergi ke lembaga Bimbel (Bimbingan Belajar) agar kelak anak mereka bisa sukses ujian dan kelak bisa bisa kuliah di perguruan tinggi favorite di Pulau Jawa. Perguruan Tinggi yang di pandang favorite sepanjang masalah adalah seperti UI (Universitas Indonesia), ITB, UNPAD, UNDIP, dan UGM. Sementara jurusan yang sangat mereka favoritekan adalah Kedokteran dan Jurusan Perminyakan. Mengapa ? Karena lewat ke dua jurusan ini kelak uang akan mudah mengujur ke dalam kantong mereka.
Inilah realita pendidikan kita di Indonesia. Tetap saja orang tua memiliki ilmu parenting yang kurang memadai. Memang orang tua sekarang- yang cendrung memiliki sedikit jumlah anak- telah memberi memberi mereka “love, attention  and affection- cinta, perhatian dan kasih sayang”. Namun anak- anak sekarang miskin dengan soft skill atau keterampilan social.
Cukup banyak rumah tangga sekarang tidak memiliki job description- pembagian tugas, dimana anak- anak kurang dilibatkan dalam kegiatan di rumah. Anak-anak sekarang tidak mengenal banyak seperti apa melakukan pekerjaan dasar di rumah seperti “mencuci piring, mencuci gelas, mencuci pakaian, menyapu rumah, menyapu halaman, memasak sayur, hingga mensetrika pakaian”. Anak anak hanya didorong buat belajar, kursus, dan dibikin PR dan setelah itu anak terbiasa buat berpangku tangan.
Mereka tidak lagi trampil seperti ayah dan ibu mereka dalam mengurus rumah. Miskonsepsi (salah konsep) dalam mendidik memang berasal dari pemahaman parenting orang tua. Orang tua yang memonopoli semua pekerjaan dan apalagi bagi keluarga yang memiliki pembantu di rumah telah menjadikan anak- anak mereka sebagai tuan besar di rumah, yang pintarnya hanya memberi perintah dan minta tolong.
Ternyata anak-anak yang berambisi untuk memburu skor yang tinggi mampu kuliah di Perguruan Tinggi favorite dan jurusan yang juga mereka favoritekan. Pada saat rekruitmen posisi pekerjaan hanya melihat skor ujian tulis dan IPK kuliah yang tinggi maka mereka cukup mampu menempati posisi tersebut. Namun rekruitmen job seeker telah berubah, dan malah setelah pemerintah mencabut dan membatasi MoU (memorandum of Understanding) penerimaan PNS maka para sarjana yang sekedar jago meraih skor yang tinggi namun miskin dalam soft skill atau kepintaran social akan terkatung-katung harapan sukses mereka sepanjang masa.
Memang benar bahwa pada umumnya pelajar dan mahasiswa kita di Indonesia hanya sekedar jago untuk memburu nilai kognitif. Setiap kali saya ikut dalam rekruitmen siswa baru- di sekolah unggulan- dan saya ikut memberikan wawancara, maka hampir seratus persen anak-anak yang cerdas tersebut hanya tertarik untuk menjadi dokter atau kuliah di jurusan Perminyakan di ITB. Iniberarti bahwa ujung-ujungnya mereka hanya tertarik menjadi bawahan atau menjadi anak buah di tempat yang mereka anggap cukup bergengsi.
Sejak penerimaan PNS (pegawai negeri sipil) telah dikurangi atau dihentikan oleh pemerintah maka Perguruan Tinggi, temasuk Perguruan Tinggi Negeri favorite, memang tidak lagi sebagai wadah penyedia tenaga kerja. Jadinya semua perguruan tinggi hanya sebatas tempat pendewasaan cara berfikir seluruh mahasiswa yang nanti akan dibuktikan oleh selembar ijazah. Jadi para calon sarjana yang berprinsip bahwa Perguruan Tinggi adalah jalan toll buat memperoleh pekerjaan adalah sebuah isapan jempol belaka.
Hanya pemuda yang memiliki soft skill- nilai kecakapan hidup yang lebih mudah untuk mewujudkan jadi diri mereka kelak. Sarjana yang memiliki keterampilan social dan kecakapan vokasional akan berjaya dan memperoleh pekerjaan dan malah dalam menciptakan lapangan pekerjaan baru karena memiliki semangat entrepreneurship (kewirausahaan). Sementara para pemuda yang beasal dari keluarga kecil, yang terbiasa serba dibantu oleh orang tua dan urusan mereka serba dimudahkan akan memiliki pengalaman hidup yang minim dan orang lain tidak tertarik untuk merekrut mereka sebagai partner kerja, tentu akan berdiri dalam deretan para penganggur dan sebagai job-seeker yang berkepanjangan.
Adalah fenomena bahwa anak-anak yang pemalu dan dan miskin dalam ketemprilan social- social soft skill- sering lebih banyak berasal dari keluarga kecil. Karena interaksi social dan interaksi personal mereka lebih sedikit dibandingkan anak-anak yang berasal dari keluarga besar.
Pada sebuah unggulan yang mana siswanya cukup pintar secara kognitif. Mereka selain belajar Bahasa Inggris, juga belajar Bahasa Jepang. Dan mereka belajar teori- teori bahasa Jepang serta mempelajari huruf-huruf Jepang seperti kanji, romanji, katagana dan hiragana. Guru bahasa Jepang mereka ujian dan mereka memperoleh skor sekitar 85 hingga 100. Sebuah skor yang cukup tinggi dan patut diacungkan jempol.
Suatu ketika saya berjumpa dengan dua orang wisatawan berkebangsaan Jepang, sebut saja nama mereka Sho Shimada dan Sumitomo. Saya mengajak mereka untuk berbincang-bincang dengan para siswa yang kebetulan berkumpul dalam sebuah aula. Shimada dan Sumitomo memperkenalkan diri dan juga menjelaskan sesuatu tentang Jepang. Setelah itu mereka mengajukan pertanyaan. Ternyata dari 70 orang siswa yang rata rata memiliki skor bahasa Jepang di rapor mereka dengan angka sekitar 90, namun tidak seorang pun yang berani menjawab atau memberi sepatah kata pun respon dalam Bahasa Jepang.
Nilai 90 yang mereka peroleh di rapor hanya menggambarkan sedikit teori tentang bahasa Jepang namun belum lagi menggambarkan kecerdasan dan keberanian mereka. Inilah fenomena siswa cerdas yang hanya sebatas “smart book”, namun tidak punya nyali besar untuk mampu memaparkan kemampuan mereka. Kemampuan untuk berani dalam berkomunikasi yang santun dan cerdas kepada orang baru dan di tempat yang baru jarang terjadi di rumah.
Apa lagi dalam deskripsi keluarga kecil sekarang, dimana anak hanya didukung buat belajar semata dan kemudian dijejalkan dengan beban PR atau kegiatan bimbel, sehingga mereka hampir tidak punya waktu buat mengikuti kegiatan social dan mengekspresikan aktualisasi diri. Maka jadilah mereka sebagai remaja cerdas yang penakut. Atau remaja yang crrdas tetapi memiliki pengalaman sosial yang sangat minim.
Bukan berarti bahwa orang tua yang memiliki sedikit lebih baik kualitas anak-anak mereka dibandingkan orang tua yang memiliki anak-anak yang banyak. Juga bukan berarti bahwa orang yang berasal dari keluarga besar jauh lebih berkualitas.
Agaknya orang tua yang memiliki sedikit anak lebih memiliki kesempatan yang besar untuk melahirkan anak-anak yang cerdas. Yaitu cerdas intelektualnya, spiritual dan emosionalnya. Orang tua sendiri mutlak harus memiliki pengetahuan parenting yang memadai, agar orang tua bisa menjadi orang tua yang bertanggung jawab dalam mendidik dan membimbing keluarga mereka.

4. Keluarga Kecil Berpeluang Lebih Sukses
            Pada umumnya keluarga di negara maju mengadopsi bentuk keluarga inti. Rumah mereka dihuni oleh ayah, ibu dan anak. Juga pada umumnya orang-orang di negara maju memiliki sedikit anak. Satu atau dua anak, malah juga banyak yang tidak memilki anak.
            Hidup dalam keluarga kecil bukan berarti anak-anak mereka memperoleh pemanjaan. Semua orang tua di sana telah memilki ilmu parenting, dan mereka cukup cerdas untuk mendidik anak untuk menjadi manusia yang cerdas dan bertanggung jawab.
            Di dunia ini agaknya ada sepuluh negara terbaik dalam kualitas pendidikannya- The best top ten nations in education quality- yaitu: Amerika Serikat, Polandia, Jerman, Perancis, Israel, Swedia, England, Korea Selatan, Jepang dan Kanada. Negera-negara tersebut bisa meraih predikat sebagai negara terbaik untuk kategori pendidikan karena kemajuan kualitas SDM masyarakatnya, mereka punya wawasan dan pengetahuan yang luas. Kondisi ini terbentuk karena faktor budaya membaca mereka yang sangat kuat. Juga karena kualitas Pendidikan Dasar dan Pendidikan Lanjutan mereka yang sangat bagus. Kemudian, kaum perempuan mereka, sebagai pembentuk kualitas keluarga, juga sangat menentukan. Inilah komponen dasar untuk menilai kualitas pendidikan  bangsa-bangsa di dunia.
            Dari 10 negara terbaik pendidikannya, saya terkesan dengan kemajuan pendidikan Amerika Serikat, Jepang dan Perancis. Alasannya adalah karena Amerika Serikat sebagai sebuah “Melting Pot” atau wadah besar sebagai tempat meleburnya berbagai ras, agama dan kebudayaan berbagai bangsa. Kalau Jepang, karena orang-orangnya yang berkarakter serius dan bersungguh-sungguh. Dan negara Perancis, sebagai negara pelopor untuk “egalite, fraternite et liberte” atau persamaan, persaudaraan dan kebebasan hidup. Pembahasan lebih detail adalah sebagai berikut:
a) Amerika Serikat terkenal sebagai negara super power yang memang superior pada segala bidang. Yang mencolok adalah pada bidang pertahanan, tekhnologi dan ekonomi. Di sekolah Amerika Serikat rasa ingin tahun dan sikap ilmiah siswa dirangsang melalui gaya belajar “learning by doing- belajar dengan cara berbuat”. Pada pelajaran sains, lab-nya pasti ramai.
Negara Amerika adalah negara sekuler, pendidikan agama diserahkan ke orang tua. Namun bukan berarti mereka tidak belajar tentang akhlak atau etiket. Di sekolah sana pendidikan budi pekerti dan etiket diberikan dalam bentuk kegiatan amal atau charity. Mereka beraktifitas untuk masyarakat yang dikelola oleh Osis dan guru/sekolah. Jadi mereka mengerti tentang etiket, bagaimana menghargai orang, menolong dan berbahasa yang sopan melalui praktek nyata. Sejak kecil secara langsung mereka telah tahu tentang apa yang boleh dan yang tidak boleh dalam masyarakat.
Sekolah dan rumah (karena orang tua mereka mengerti tentang parenting), mereka selalu memperkenalkan pada anak tentang: how to dine, telephone manner, on correspondence, be gracious pada orang lain. Setiap anak harus diberi tahu bahwa shoes are important. Mereka tidak membiasakan anak untuk bertelanjang kaki, be open to the new food, tahu tentang bertanya yang baik, santun saat berada di meja makan, mereka musti bisa bersikap ramah dan mereka musti terbiasa mengucapkan thanks.
b) Jepang, konsep pendidikannya adalah berdasarkan moral atau akhlak. Ternyata konsep akhlaknya juga sesuai dengan ajaran Islam, karena akhlak yang baik sifatnya sangat universal. Di awal tahun pembelajaran, orang tua diundang ke sekolah. Mereka diajak ke dalam kelas buat melihat langsung praktek pendidikan anak mereka. Semua mata pelajaran di sekolah Jepang juga berdasarkan moral. Sejak dari usia dini dan di SD mereka sudah diajar untuk punya rasa malu, dan punya harga diri. Mereka bukan diajar bersekolah untuk bisa berlomba menjadi kaya.
Ada 4 bentuk dari harga diri yaitu: regarding self, menghargai orang lain- relation to other, menghargai lingkungan dan keindahan- relation to nature and sublime, dan menghargai komunikasi dan kelompok- relation to group and society. Setiap anak sekolah harus memahami dan mempraktekan konsep ini dan sehingga orang Jepang jadi suka saling menghagai.
Guru/ sekolah juga menugaskan agar anak di rumah diberi tugas untuk menyikat WC, menyapu, mengepel lantai, jadi bukan harus dibebaskan- tidak terlibat- untuk ikut merapikan rumah. Mereka diajakan untuk tahu arti bertanggung jawab, bukan diajar buat bersenang- senang atau menjadi tuan besar. Ya akibatnya anak jadi menghargai orang lain dan hidup bersahaja, bukan hidup dengan tinggi hati. Anak-anak Jepang tidak ada yang membawa HP ke sekolah. Mereka tidak terbiasa berbicara tentang materi, karena itu adalah memalukan dan dianggap rendah di sana.
Di sekolah anak Jepang juga punya jadwal piket. Juga membersihkan kelas, lantai menyikat WC dan memilih sampah- kalau ada. Mereka makan siang di sekolah dan saling melayani teman- teman mereka. Setelah makan langsung ruangan dirapikan kembali. Praktek pendidikan seperti ini berlaku untuk semua sekolah, bukan hanya berlaku di sekolah unggul saja.
Anak Jepang tidak boleh memakai kendaraan. Itu untuk alasan keselamatan juga untuk kebersihan udara dan lingkungan. Dan Jepang sebagai negara modern tetap memberikan pelajaran Home Economy, dimana anak-anak diajar melakukan simple cooking dan sewing. Bagaimana dengan sekolah negara kita, ya buru-buru menghapus pelajaran life skill ini, hingga anak-anak kita tidak tahu cara memasak dan menjahit, paling kurang membetulkan kancing baju yang sudah terlepas. Seharusnya ahli pendidik kita kembali membetulkan praktek pengajaran yang salah itu lagi.
Dalam PBM- dalam kelas- anak tidak duduk berderet. Mereka duduk dalam grup kecil. Dalam kegiatan tahunan, sekolah melakukan acara jalan-jalan ke object bersejarah, ke festival dan bereksplorasi. Melakukan kegiatan ini untuk beberapa hari dan setelah itu membuat project- laporan perjalanna.
Kegiatan ekskul juga harus diikuti oleh semua siswa. Dan ada beberapa klub ekskul pilihan seperti sport team, music, art group, dan science club. Club sport yang mereka ikuti, mereka ikuti dengan serius sehingga melalui ekskul ini bermunculan para atlit kelas nasional dan kelas internasional.
c) Perancis, bumi diberi Perancis juga bisa disebut dengan bumi Air-Bus, karena pesawat udara Air Bus dibuat di negara ini. Orang Perancis sangat patriotik dengan negara dan bangsa mereka. Mereka hanya menggunakan bahasa Perancis dan suka menggunakan produk Perancis. Film Hollywood dan lagu dari Korea Pop tidak begitu terkenal di sana.
Beda dengan orang di Malaysia yang senang dan bangga memakai bahasa bangsa penjajah, sehingga kemampuan bahasa Malaysia mereka terabaikan. Demikian juga dengan sikap orang kita yang gemar mengkonsumsi produk asing dan label asing ketimbang produk dan label dari dalam negeri sendiri.     
Umumnya orang tua Perancis lebih tertarik menyekolahkan anak mereka pada Grade Ecole, dari pada ke Universitas yang mana mahasiswanya kurang mantap penguasaan life skill mereka. Grande Ecole adalah semacam Sekolah Tinggi yang jelas arahnya setelah menamatkan pendidikan.
Ada beberapa Grande Ecole, seperti Ecole Polythechnique, Ecole National d’administration, dan Ecole Normal Superirur. Orang Perancis sadar betul bahwa pendidikan itu adalah investasi. Maka setiap orang punya semangat yang kuat dalam belajar di sekolah.
Kalau lagi dalam belajar, orang Perancis menganggap bahwa merekalagi sedang bekerja. Pas deranger moi, Je suis en travailler- mohon saya nggak diganggu soalnya neh lagi bekerja (lagi belajar).
Sekali lagi bahwa di sana, pendidikan dianggap sebagai investasi. Jadi semakin tinggi pendidikan seseorang semakin luas kemungkinan ia bisa bikin peluang kerja. Sebaliknya pendidikan kita cenderung berorientasi buat cari uang: “Saya ingin kuliah dokter, saya ingin kuliah di perminyakan karena masa depannya cerah dan lebih mudah buat mendapatkan uang”. Apakah fenomena betul atau salah, maka tentu andalah yang lebih tahu.   

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...