Sabtu, 03 Oktober 2015

Sekolah Perlu Menghasilkan Siswa Yang Mandiri



Sekolah Perlu Menghasilkan Siswa Yang Mandiri
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
            Fenomena penggangguran intelektual perlu sorotan lebih tajam dari arah atas dan bawah. Dari atas, yaitu tentang kebijakan pemerintah, dan dari bawah akibat gagalnya proses mendidik yang kita lakoni (oleh masyarakat: orang tua dan juga pihak sekolah). Terlihat bahwa pendidikan yang telah kita praktekan seolah-olah sekedar mendorong seorang anak untuk menjadi pegawai, dan belum mendorongnya untuk menjadi orang yang mandiri.
“Lebih spesifik, sampai dimana pedulinya lembaga pendidikan formal, utamanya SLTA dan Perguruan Tinggi untuk mengurangi angka pengangguran yang telah mewabah ibarat virus yang menggerogoti tubuh ?”
Ini adalah pernyataan yang sudah diulang-ulang dan diperbincangkan oleh banyak kalangan. Bahwa angka pengangguran terhadap kelompok Warga Negara Indonesia berusia sangat produktif selalubertambah. Mereka adalah para pengganggur terdidik, lulusan perguruan tinggi. Jadinya Perguruan Tinggi bisa dicibirkan karena hanya jago melahirkan banyak sarjana sekedar jago berteori dan mencari IPK yang tinggi mungkin, namun kemampuan untuk “mandiri” sangatminus.
Mereka hanya menciptakan diri mereka sebagai manusia cerdas yang bermental “sub ordinate”- bermental bawahan yang hanya tertarik menjadi buruh, pegawai atau anak buah pada sebuah perusahaan. Kalau tidak ada peluang kerja ya menjadi PENGANGGURAN.
Dahulu saat dunia pendidikan belum begitu berkembang pesat, kakek dan nenek (nenek moyang kita), mereka belum tahu dengan istilah “jobless, unemployment atau penggangguran”. Yang mereka tahu adalah bahwa mereka harus bisa berusaha menghidupi diri sendiri atau mandiri. Pada saat awal kemerdekaan Presiden Sukarno memang selalu mengkampanyekan agar warga negara harus menjadi warga yang BERDIKARI. Istilah ini dibikin Presiden Sukarno sebagai singkatan dari kata “Berdiri di atas kaki sendiri”.
Dampak dari seruan tersebut, semua warga meresponnya. Termasuk nenek moyang kita, mereka segera membuka usaha sendiri: membuka lading baru, membuka sawah baru, membuka perkebunan, bertenak unggas, bertenak ikan, juga ada yang menjadi tukang rumah. Atau menjadi tukang kecil- kecilan, seperti tukang patri, tukang jahit, menjahit sepatu, tambal ban, tukang jahit paying. Semuanya disebut sebagai pekerjaan wong kecil, pekerjaan wong desa.
Ya ropopo, yang penting mereka bekerja dan bisa makan. Tidak ada istilah gengsi- gengsian, yang penting halal. Dan setelah mereka bisa menghidupi diri merekapun akhirnya menikah dan memiliki anak”.
Cita-cita anak anak mereka saat saat itu tidak begitu muluk-muluk. Ya ingin melanjutkan usaha ayah mereka, atau menjadi Tuanku, Kyai, Ulama, guru pesantren, guru di sekolah lokal, menjadi guru ngaji. Pokonya cita cita yang amat mulia saat itu.
Seorang Ulama adalah tokoh yang amat berpengaruh saat itu. Namun kasihan, mengapa dewasa ini amat jarang terdengar anak-anak muda yang ingin menjadi seorang Ulama ? Mungkin ini akibat gaya mendidik dan kehidupan kita yang penuh dengan aura kapitalis dan hedonis. 
Pada saat itu, bagi beberapa orang yang punya keberanian kuat, maka mereka pergi merantau buat belajar menjadi saudagar. Saudagar adalah istilah yang ngetop untuk karir sebagai perdagangan. Mula-mula mereka jadi anak buah, belajar hidup dari induk semang (bos). Mmemang melalui proses hidup yang bersusah payah. Itu ibarat bentuk praktek kerja nyata dan akhirnya lahir begitu banyak saudagar tangguh. Mereka bersaudagar untuk bidang tekstil, mesin, bahan makanan dan lain- lain.
Zaman bergulir dan kebijakan baru pun muncul. Kemudian dunia pendidikan tumbuh dan tumbuh. Anak- anak didik yang duduk dibangku sekolah rakyat atau sekolah dasar diajar buat bermimpi. Kamu kalau udah gede nanti mau jadi apa ?
Tahukah anda apa mimpi yang banyak diungkapkan oleh anak sekolah dari dulu hingga sekarang ? Rata- rata mimpi mereka adalah seperti: ingin jadi dokter, guru, insinyur, polisi, tentara, camat, penyuluh lapangan, mantri kesehatan, bidan, perawat dan lain-lain. Karir ini memang dibutuhkan untuk melayani warga negara dan mereka semua tercatat sebagai karir PNS dan juga Pegawai militer.
Kebutuhan akan tenaga PNS dibuka lebar, rekruitmen PNS setiap tahun cukup tinggi sejak itu. Jumlah PNS mencapai jutaan orang. Malah hampir setiap rumah di Indonesia hampir selalu ada tenaga PNS. Mereka yang bekerja sebagai PNS membisikan dan menyarankan kepada keluarganya dan lingkungannya agar belajar dan kuliah setinggi agar kelak bisa menjadi PNS yang bergaji tinggi pula. Banyak celotehan yang terdengar: “Lebih enak jadi PNS, gajinya memang sederhana namun masa depan terjamin”.
Dampaknya adalah lahirlah ribuan atau jutaan manusia yang bermimpi untuk jadi PNS. Jumlah PNS memang sangat membludak dan untuk menggaji mereka negara kesulitan mencari anggaran. Negara harus berutang pada pihak luar seperti pada Bank Dunia, IMF- Internasional Monetary Fund, dll. Tahu apa efek jeleknya ? Yaitu utang Indonesia jadi membengkak dan nilai rupiah merosot. Nilai rupiah anjlok sampai 1000 Persen. Angka nol pada uang Rupiah sampai “Lima Digit”. Tidak ada angka mata uang negara lain yang kayak begini. Akibatnya warga dunia internasional kurang melirik mata uang kita, enggan menyimpannya dalam dompet mereka.
Difikir-fikir cukup menyedihkan. Tetangga kita Singapura, negaranya kecil, tetapi mata uangnya- dollar Singapura-  sangat kuat. Sekuat mata uang raksasan dunia internasional. Mata uang Ringgit dari Malaysia juga cukup disegani dunia internasional. Dan mata uang rupiah, maaf gimana ?
“Mata uang Rupiah dipandang sebagai “Rubbish Currency” atau mata uang sampah. Sebuah kotak donasi (kotak sumbangan) buat UNICEF yang bersandar di dinding ruang tunggu di bandara Tullamarine- Melboune. Saya ingin menyelipkan uang kertas seratus ribu, namun seperi yang saya saksikan, hanya menerima mata uang Dollar, Yendaka dan Euro, dan tidak berlaku buat rupiah. Air mata saya jadi menetes.
TEntang jumlah PNS yang membludak, setelah puluhan tahun, akhirnya pemerintah menyadari bahwa jumlah PNS yang banyak dan tidak terkendalikan adalah biang kerok yang ikut mengambrukan perekonomian negara. Fenomena di lapangan adalah bahwa banyak PNS yang tidak bekerja dan mereka PNS yang tidak punya pekerjaan tetap makan gaji buta.
Pemerintah mengambil kebijakan. Sekarang pintu buat menjadi PNS sudah tertutup  cukup kecil dan malah ditutup rapat. Anak anak muda cukup banyak yang terlanjur kuliah dengan impian ingin menjadi “Abdi Negara” atau PNS. Calon guru dan calon petugas kesehatan yang jumahnya melimpah ruah menjadi bengong dan separoh frustasi- mungkin juga frustasi. Bengong menganggur maka mereka ikhlas menjadi tenaga honorer atau pegagai kontrak dengan bayaran Rp. 800. Ribu perbulan. Saat ini nilai rupiah anjlok. Honor Rp. 800 ribu hanya cukup untuk menghidupi diri buat satu minggu.
Beberapa anak muda- mahasiswa- yang berada di Universitas, terutama dari Universitas Favorite, berseru bahwa mereka tidak tertarik menjadi PNS dan mereka bakal menjadi “Entrepreur atau Penguasa”. Bagaimana bisa menjadi PNS, karena keran PNS juga sudah amat kecil.
Ah menjadi seorang Entrepreneur ternyata tidak semudah membalik telapak tangan. Malah kursus-seminar, workshop dan training motivasi yang mereka ikuti selama kuliah tidak mebawa hasil. Karena pada umunya mereka tidak punya background entrepreneur dan mereka umumnya  berasal dari rumah tangga yang orang tuanya adalah PNS, atau pegawai kecil lainnya. Mereka juga mendapat dogmatis bahwa “Enak lho jadi PNS, masa depan cerah !!!”.
Pintu PNS sudah amat kecil dan sementara itu mereka miskin dengan pengalaman berwirausaha. Ya apalagi pengalaman wirausaha nyaris di bangku SLTA tidak ada. Kecuali bagi yang dulu belajar di SMK. Mereka diberi pengalaman dan mata pelajaran tentang vokasional dan wirausaha. Namun itupun juga tidak mantap, akhirnya mereka jadi linglung juga.
Bukankah bahwa mayoritas lulusan SLTA adalah dari jenjang SMA dan Madrasah, dengan arti kata miskin dengan ilmu dan pengalaman berwirausaha. Ada sekitar 15.000 sekolah SMA dan Madrasah di Indonesia dan lulusan mereka tiap tahun adalah lebih dari setengah juta orang. Sebagai catatan bahwa mereka semua buta dengan pengalaman wirausaha dan juga sekolah tidak memberi pengalaman buat berdikari. Dapat disimpulkan bahwa mereka adalah sebagai angkatan muda penyumbang angka pengangguran.
“Meski mereka terus kuliah ke Perguruan Tinggi, mereka diperkirakan lulus menjadi sarajana bermental buruh, karena pengalaman berwirausaha di Perguruan Tinggi juga tidak memberi pengaruh atau kesan yang kuat buat mereka”.
Kualitas Indek SDM manusia Indonesia sangat rendah, malah jauh lebih rendah dari negara tetangga seperti Thailand, Singapura, Malaysia dan Australia. Kualitas pendidikan yang rendah dan pengangguran terdidik harus mendapat perhatian dari masyarakat, lembaga pendidikan sejak di tingkat SLTP hingga Perguruan Tinggi.
Juga sudah saatnya pemerintah kita mengubah proposi, perimbangan, antara SMA dan SMK. Negara kita perlu meniru kebijakan pendidikan di negara maju, misalnya negara Jerman, yang mana jumlah sekolah SMK lebih banyak dari pada jumlah SMA. Sekolah SMK tentu saja siswanya dibekali dengan ilmu dan pengalaman berwirausaha, sementara di SMA yang siswanya hanya disuguhi teori, dan mungkin hampa dengan pengalaman berwirausaha hingga diperkirakan kelak mereka bila telah menjadi sarjana bakal jadi sarjana yang bermental pegawai bawahan, atau kalau kalah bersaing sebagai job seeker akan menjadi pengangguran.
Nggak apa-apa buat sementara, karena di SMA siswa juga bisa diberi pengalaman berwirausaha. Seperti yang dilakukan oleh stake-holder di negara Jerman. Di Sekolah Menengah (Secondary School) di Jerman yang namanya adalah “Gymnasium, High School dan Sekolah Internasional”. Untuk di Indonesia sama dengan sekolah SMA, MAN dan SMK. Mereka pada bersemangat memberikan lomba entrepreurship (kewirausahaan). Judul perlombaanya adalah “Entrepreur of Tomorrow”. Para pelajar berlomba dalam menyiapkan “business plans on business modeling they develop themselves”.
Para pemenang lomba kemudian diberi dukungan oleh Frankfurt School of Finance and Management. Lembaga ini memberi fasilitas dan bantuan tekhnik secara gratis. Para pemenang lomba juga akan memperoleh mentor yang punya pengalaman dalam bidang bisnis.
Pengalaman wirausaha harus dimantapkan sejak usia dini. Sebagai catatan bahwa bagi sekolah SMK juga perlu mendatangkan tokoh wirausaha untuk memberi motivasi wirausaha bagi siswa-siswi mereka. Meski di SMK ada mata pelajaran wirausaha, namun para gurunya tentu tidak memiliki naluri berbisnis, kecuali hanya sekedar memompakan teori wirausaha yang mungkin kurang membekas pada fikiran siswa.
Mengingat angka pengangguran lulusan Perguruan Tinggi selalu meningkat, maka Pemerintah kita juga perlu belajar pada kebijakan pendidikan di negara maju yaitu tentang pentingnya memberikan pengalaman wirausaha sejak dini. Pendidikan Eropa, sebagai contoh, sangat giat memperkenalkan pendidikan wirausaha pada semua sekolah dini.
Di Belanda istilah wirausaha adalah “ondernemer” dan istilah di Jerman adalah “unternehmer”. Entrepeneur sudah diperkenalkan sejak dari bangku SMP hingga Perguruan Tinggi sejak tahun 1950-an. Sementara di negara kita kewirausahaan baru jadi fenomena, diperkenalkan, di Perguruan Tinggi, ya sejak Perguruan Tinggi gagal menghasilkan sarjana. Pada hal seorang sarjana sudah bangga  sebagai agent of social change ,  ternyata hanya sebagai penggangguran terdidik yang miskin nyalinya. Pengangguran begini bertambah dalam jumlah ribuan orang tiap tahun.
Sebagai penutup bahwa idealnya kewirausaan ini juga mutlak harus diberikan sejak bangku SMP, karena pengalaman berwirausaha di masa kecil, lebih banyak bekasnya dari pada diberikan hanya setelah dewasa. (Marjohan, M.Pd- Guru SMA 3 Batusangkar- Peraih Predikat I Guru Berprestasi Nasional. Email: marjohanusman@yahoo.com)



Selasa, 08 September 2015

Wirausaha, Teknokrat atau Leadership, Pilih Yang Mana ?



Wirausaha, Teknokrat atau Leadership, Pilih Yang Mana ?
Oleh: Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

            Salah satu ciri-ciri organisasi dalam masyarakat kita sudah modern adalah karenamemiliki visi dan misi. Visi adalah tujuan dan misi adalah langkah- langkah untuk mencapai tujuan. Sebagian besar organisasi atau lembaga telah memajang visi dan misi kegiatannya agar bisa dikenal oleh public dan utama harus dipahami dan dilakukan/ diikuti oleh anggotanya.
            Visi dan misi sebetulnya sudah kita kenal dalam hidup kita. Saat kitakecil, masih bayi hingga balita, orang tua kita sering membisikan ketelinga kita agar kita kelak bila dewasa menjadi orang yang baik. Mereka mendidik dan merawat kita agar kita bisa menjadi orang yang berguna bagi orang tua, bangsa dan agama. Ya itulah misi di awal kehidupan kita.
Kemudian ketika kita duduk di Sekolah Dasar kita mempunyai visi kehidupan atau yang kita beri istilah dengan “cita-cita” yang ukurannya adalah setinggi langit. Saat itu ada yang mau jadi pilot, dokter, duta besar, jadi gubernur hingga jadi presiden dan lain-lain. Tetapi semakin kita beranjak dewasa rasanya kita butuh kerja keras untuk mencapai itu semua. Cita- cita yang kita sebutkan untuk menggapainya tidak segampang yang kita pikirkan sewaktu kita kecil. Mungkin ada beberapa orang yang bisa mewujudkan apa yang telah menjadi cita-citanya.
Kemudian kita diarahkan untuk membuat cita-cita yang lebih realistic. Maka cita-cita kita selanjutnya adalah ingin untuk menjadi polisi, tentara, guru, perawat, pramugari, pegawai bank dan lain-lain. Pokoknya cita-cita kita lebih realistis dan lebih bisa dijangkau. Maka kemudian banyak yang bisa untuk menjangkaunya. Terutama bagi yang ingin berkarir sebagai PNS melalui pekerjaan guru, dosen, perawat, insinyur, dan lain-lain.
Namun di saat pintu PNS sudah mulai tertutup maka kita diharapkan sangat banyak untuk mencari karir sendiri atau menciptakan karir agar kita bisa menyerap tenaga kerja. Sejak itu kita dimotivasi agar memiliki “leadership dan entrepreneurship”. Di Perguruan Tinggi para mahasiswa juga dimotivasi untuk memilki jiwa wirausaha dan kemandirian. Mahasiswa yang hanya sekedar aktif untuk mengejar nilai yang tinggi tidak begitu banyak berhasil dalam mencari karir yang mereka harapkan.
Dikatakan bahwa kalau sebelumnya nilai yang tinggi dan IPK (indeks prestasi akademik) yang tinggi adalah sebagai pertanda nasib baik berpihak padanya. Bila seorang mahasiswa memperoleh IPK tinggi maka setelah wisuda sebuah pekerjaan telah siap menunggunya. Tapi itu tidak berlaku lagi. Nilai atau IPK hanya salah satu syarat buat bisa lulus atau syarat buat bisa mendaftar, selanjutnya bahwa faktow wawasan, kemampuan berkomunikasi, kualitas pribadi lebih menentukan. Sekarang mereka lebih diharapkan agar memiliki kemampuan entrepreneurship dan leadership.
1) Enterpreneur
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, kita bisa tahu tentang entrepreneur atau wirausawan. Wirausahawan  adalah orang yang melakukan aktivitas wirausaha yang dicirikan dengan pandai atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun manajemen operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya.
            Seorang wirausahawan akan mempunyai kesempatan untuk mewujudkan cita-cita dan menciptakan perubahan. Ia juga punya kesempatan dalam mencapai potensinya secara  penuh dan menuai keuntungan yang mengesankan. Tentu saja ia memberikan kontribusi kepada masyarakat dan mendapatkan pengakuan untuk usahanya.
Bila seseorang ingin menjadi seorang wirausawan, maka ia tentu saja perlu memiliki sikap positif untuk berwirausaha. Sikap-sikap yang umum ditemui pada pribadi para usahawan, yaitu punya rasa tanggung jawab atas risiko atas usahanya. Tentu saja  wirausahawan tidak mengambil risiko secara liar melainkan memperhitungkan terlebih dahulu risiko yang akan diambil. Oleh karena itu mereka punya keyakinan akan kemampuan mereka untuk berhasil dan keinginan untuk segera berhasil. Mereka punya energi yang tinggi, jadinya mereka bersikap energik.  Ya tentu saja mereka lebih energik daripada rata-rata orang kebanyakan.
Seorang wirausahawan memiliki orientasi terhadap masa depan. Agar orientasinya bagus maka mereka perlu memiliki wawasan yang kaya. Sebagaimana tokoh sukses berbuat, diharapkan para usahawan banyak bercermin padawirausawan sukseslainnya, perlu membaca biografi mereka sebanyak mungkin, dan kemudian merancang impian mereka ke depan. Juga wirausahawan perlu memiliki keahlian dalam pengorganisasian. Jadinya  wirausahawan adalah juga organizer.
Mereka memiliki sejumlah orang yang ikut beraktivitas bersama mereka. Dengan demikian mereka perlu tahu bagaimana menempatkan the right man on the right place , orang yang tepat di tempat yang tepat. Para wirausawan juga perlu memiliki pengetahuan bagaimana secara efektif menciptakan sinergi antara orang dan pekerjaan, sehingga memungkinkan bagi mereka untuk mewujudkan visi mereka menjadi kenyataan.
Seseorang perlu menggali diri apakah dia seorang wirausahawan atau tidak. Juga seorang wirausawan, kemampuan dan bakatnya tidak jatuh dari langit, namun bisa dilatih lewat belajar. Kunci untuk mengidentifikasi jiwa pengusaha adalah dengan cara melihat karakter seseorang, khususnya pada hal-hal yang menjadi kebiasaan yang alami dan dilakukan dengan baik. Wirausahawan memiliki enam tema karakter utama yang membentuk akronim “FACETS”, yaitu: F (Focus) untuk fokus, A (Advantage) untuk keuntungan, C (Creativity) untuk kreativitas, E (Ego) untuk ego, T (Team) untuk tim, dan  S (Social) untuk sosial. Selanjutnya bahwa ada empat kategori menjadi wirausahawan yaitu penemu, innovator, marketer dan oportunis. Penjelasannya sebagai berikut:
1). Penemu, mendefinisikan konsep, unik, baru, penemuan atau metodologi.
2). Inovator, menerapkan sebuah teknologi baru atau metodologi untuk memecahkan masalah baru.
3) Marketer, mengidentifikasi kebutuhan di pasar dan memenuhinya dengan produk baru atau produk substitusi yang lebih efisien.
4). Oportunis, pada dasarnya sebuah broker, pialang, yang menyesuaikan antara kebutuhan dengan jasa diberikan dan komisi.
2) Leadership
Di saat fenomena pengangguran makin merebak dan juga tidak ketinggalan dengan adanya pengangguran intelektual, yaitu tamatan Perguruan Tinggi yang tidak berdaya karena tidak kunjung memperoleh pekerjaan, maka sejak dini, minimal pada jenjang Perguruan , juga diperkenalkan perlunya semangat leadership bagi mahasiswa.
Bagi orang tua, suatu hari anak-anak yang mereka cintai akan menjalani kehidupannya sendiri. Tentu saja akan ada tantangan dalam hidup ini, maka dibutuhkan jiwa leadership (pemimpin) untuk menghadapi tantangan jaman yang tiap hari semakin berat. Orang tua yang selama ini membantu mereka, mau tidak mau harus merelakan anak menjadi mandiri.
Oleh karena itu, pembentukan karakter yang baik harus ditanamkan sejak dini- utamanya bagaimana anak bisa mandiri.  Orangtua biasanya menginginkan punya anak yang mandiri dan punya jiwa kepemimpinan demi masa depan sang buah hati. Namun, untuk mencapai ini tentu saja tidak mudah. Oleh karena itu sangat penting untuk bisa mengenalkan kebiasaan yang bisa membantu menumbuhkan jiwa kepemimpinan anak.
Proses pembentukan jiwa pemimpin harus dilakukan pada semua aspek kehidupan anak. Selain guru di sekolah, orangtua juga dituntut aktif menjaga agar proses ini berjalan maksimal. Alangkah merepotkan jika pondasi kuat yang susah payah dibangun di sekolah, kemudian hilang ketika si anak menginjak rumah. Misalnya kebiasaan bersikap positif dan proaktif. Untuk sikap positif, di sekolah anak didik untuk bersikap bersih, di rumah orang tua tidak begitu merespon. Di sekolah anak dilatih buat rajin membaca sementara di rumah malah anak disuguhi banyak tontonan yang tidak terkendali.
Untuk sikap proaktif berarti sang anak tidak boleh sekadar menerima perintah dari sekeliling “jangan mau asal diperintah”. Anak harus juga mempunyai niat kuat utuk mengerjakan pekerjaan rumahnya dengan kesadaran penuh akan tanggung jawab.
Anak juga harus dibiasakan membuat prioritas kegiatan. Pada usia sekolah, ada banyak sekali kegiatan menyenangkan yang bisa dikerjakan selain belajar. Prioritas diperlukan agar semua tugas dikerjakan secara maksimal dan selesai pada waktunya. Setelah itu, anak bisa mengerjakan pekerjaan lain sesuka hatinya.
Berikutnya, berikan kesempatan kepada anak untuk memikirkan solusi terbaik untuk semua pihak. Lakukan negosiasi, diskusi dan musyawarah terbuka. Penting bagi para orang tua untuk mendengarkan pendapat anak dan mempertimbangkan sudut pandang mereka. Proses ini juga akan membentuk pemahaman yang baik tentang pentingnya kebebasan berbicara. Hasilnya, anak akan menjadi pribadi yang terbuka dan mampu mengemukakan pendapatnya secara cerdas.
Selanjutnya adalah megajarkan anak untuk lebih banyak mendengar. Contohnya, biasakan untuk membiarkan anak bereksplorasi dengan caranya sendiri dahulu. Koreksi yang tergesa-gesa akan menimbulkan rasa enggan dalam diri anak. Sebaliknya, waktu yang tepat akan menumbuhkan toleransi yang besar dan pemahaman bahwa mereka dimengerti. 
Benar bahwa jiwa pemimpin juga bisa tumbuh berkembang jika anak berada di lingkungan yang positif. Perlu juga diketahui bahwa semua orang mempunyai peran penting masing-masing dalam kehidupan. Anak harus belajar bekerjasama dengan banyak orang untuk bekalnya bersosialisasi.
Proses ini akan mudah diadaptasi anak jika orang tua memperkenal bentuk tanggung jawab, prilaku positif dan proaktif sejak usia dini. Namun, jika baru mengenalnya di usia remaja, tantangannya tentu berbeda. Anak kecil mudah menyerap hal-hal baru karena belum banyak pengalaman hidup yang mempengaruhi cara berpikir dan berprilaku. Mereka masih mudah diarahkan oleh orang-orang yang mereka patuhi. Beberapa hal lain yang juga perlu untuk ditanamkan dalam rangka membentuk jiwa leadership adalah:
a)  Hindari Kebiasaan Mengkritik dan Mengomel
Mengkritik orang lain (termasuk mengkritik anak dan siswa yang berlebihan)  tidak saja mengganggu harga diri seseorang, tetapi membuat orang tidak menyukai kita. Pilihlah cara untuk menyampaikan kritik secara positif dan hindari kritik yang dapat menyinggung perasaan seseorang.
b) Berikan penghargaan yang jujur dan tulus
Sekecil apapun kontribusi seseorang terhadap keberhasilan kita selayaknya mendapatkan perhatian dan penghargaan. Perlihatkan bahwa kita bersungguh-sungguh menghargai usaha mereka. Usaha mereka memberi kontribusi pada keberhasilan kita sama seperti kita juga berkontribusi pada keberhasilan mereka.
c) Bangunlah kemauan untuk berhasil dalam diri orang lain
Dalam kehidupan personal maupun professional, kita sering berada dalam situasi menjual ide kepada orang lain. Ingatlah bahwa seseorang termotivasi untuk melakukan sesuatu karena ada hubungannya dengan kepentingan mereka, bukan kepentingan kita. Bila kita jelaskan bahwa ide kita dapat membuat mereka berhasil, kita akan terkejut melihat betapa banyak kerjasama dapat kita bangun dalam organisasi kita.
d) Beri perhatian yang sungguh kepada orang lain
Sebesar apapun aset finansial ataupun fisik dalam suatu perusahaan, orang-orang yang bekerja di dalamnyalah yang membuatnya berhasil. Mengenal orang-orang yang ada dalam organisasi kita sama pentingnya dengan mengenal aspek teknis pekerjaan kita, Kuncinya adalah dengan memberikan perhatian yang sungguh. Jangan berpura-pura dengan mencoba mengenal orang lain demi keuntungan kita sendiri. Mengenal orang lain seharusnya selalu menjadi proses yang saling menguntungkan.
e) Senyum
Sebuah senyuman yang kita berikan dengan tulus akan sangat berdampak positif bagi kita dan orang lain. Bahkan senyuman adalah ibadah, yang dapat menularkan aura positif kepada orang lain. Selalu murah senyum, karena hubungan baik selalu dapat diciptakan dengan hal yang simpel, seperti perilaku ramah dan senyum yang bersahabat.
3) Jiwa Kreatif (Jiwa Tekhnik)
Kuliah atau bekerja dalam bidang tekhnik adalah pilihan akademik atau karir banyak para remaja. Utamanya bagi yang sedang sekolah di sekolah unggulan. Namun sebagian dari mereka hanya berkutat pada bidang kognitif, sehingga berpotensi melupakan unsure psikomotorik atau skill. Pada hal berkerja pada bidang tekhnik sangat membutuhkan mereka yang berjiwa kreatif. Maka dari sejak dini pembiasaan kreatif perlu untuk ditumbuhkan. Beberapa hal yang bisa menumbuhkan jiwa kreatif yaitu:
a) Bersikap rileks atau santai berguna  dalam menumbuhkan jiwa kreatif. Foto- foto para penemu semuanya memperlihatkan sikap yang rileks. Dalam kondisi yang rileks pikiran seseorang  akan jauh dari tekanan yang mungkin datang dari lingkungan nrumah dan sekolah. Seseorang yang banyak tertekan  akan mempersempit daya kreatifitasnya.
b) Milikilah hobi dan nikmati hobi tersebut, seperti berolah raga dan music. Dengan demikian ide-ide  segar akan mengalir kedalam fikiran seseorang.
c) Memberi tanggung jawab atau tugas-tugas kecil dan beri mereka waktu untuk menyelesaikannya. Ini berguna buat melatih mereka untuk bertanggung jawab.
d) Berilah tenggat waktu, dalam memberikan si anak tugas kecil berilah tenggat waktu untuk penyelesaian tugas yang anda berikan kepada si anak untuk membiasakan anak berusaha menyelesaikan semua tugas yang diberikan tepat pada waktunya, hal ini akan memancing dan memaksa si anak mengeluarkan kemampuannya.
e) Membantu pengembangan imajinasi anak. Imanjinasi adalah dunia yang umumnya identik dengan anak sehingga sesuatu yang mustahil atau tidak mungkin menjadi mungkin bagi anak usia dini. Dengan berimajinasi, anak selalu mencari cara untuk menemukan jawaban dari masalah yang dihadapinya.  Jadi upaya yang harus dilakukan oleh seorang pendidik dan orang adalah untuk selalu memahami, membimbing, dan mendukung imajinasi peserta didik serta mengajak mereka untuk belajar, membaca buku ilmu pengetahuan, melakukan penjelajahan, hingga mengunjungi museum, perpustakaan, dan objek wisata.
f) Menumbuhkan rasa ingin tahu, antusias yang tinggi selalu ada pada anak usia dini dengan benda-benda yang ada disekitarnya atau makhluk baru yang pertama kali dilihatnya. Anak-anak pasti akan memerhatikan, mengamati bagamana dan apa yang terjadi, melihatnya secara detail. Ajaklah anak mendekati sebuah traktor atau pesawat maka ia akan memperhatikannya sangat detail. Rasa ingin tahu yang tinggi seperti itu sering kali membuat anak tidak peduli dengan lingkungannya apakah akan membuatnya kotor, basah, panas, maupun merasa sakit. Hal seperti itu jelas bahwa keingingan anak usia dini dalam mengeksplorasi alam dan lingkungannya sangatlah kuat, dan sangatlah kuat keinginannya untuk mengetahui sesuatu, hal ini berarti betapa kuat semangatnya untuk belajar.
Rasa ingin tahu adalah sifat dasar kreatif, yang mendorong anak untuk menciptakan karya atau ide baru, diawali dengan sikap rasa ingin tahunya terhadap sesuatu, setelah sesuatu itu dieksplorasi secara mendalam barulah mereka menciptakan karya yang baru dan berbeda berdasarkan pengayaannya terhadap apa yang dihadapinya. Maka sekarang di saat kesempatan untuk meraih kerja butuh kompetisi dan persiapan mental anak. Maka selain mereka memantapkan kemampuan kognitif atau akademik, juga perlu bagi setiap anak untuk mengasah jiwa leadership, entrepreneur dan kreatifitasnya. Juga tidak lupa bagi mereka untuk selalu memantapkan ilmu agama mereka agar selalu menjadi manusia yang bertaqwa pada Allah Swt.

Senin, 31 Agustus 2015

Tidak Perlu Memaksa Anak Menguasai Semua Bidang Studi (Bisa Menghancurkan Kreatifitasnya)



Tidak Perlu Memaksa Anak  Menguasai Semua Bidang Studi
(Bisa Menghancurkan Kreatifitasnya)
Oleh: Marjohan M.Pd
Guru SM Negeri 3 Batusangar

Judul artikel ini adalah “Tidak perlu memaksa anak untuk menguasai semua bidang studi”. Tentu saja tulisan ini terinspirasi karena melihat fenomena ambisi orang tua dan lembaga pendidikan terhadap anak yang memaksa anak agar bisa bersekolah di tempat yang bermutu, mengikuti PBM dengan baik dan melahap semua mata pelajaran, terutama mata pelajaran yang menjadi acuan dalam UJian Nasional, atau acuan untuk ujian menuju perguruan tinggi. Alhasil anak dimotivasi, kapan perlu dipaksa untuk ikut les dan bimbel agar kelak bisa memperoleh skor setinggi mungkin. Namun berpijak pada itu apakah orang tua dan lembagapendidikan memahami tujuan pendidikan negara kitaini ?
Pada intinya pendidikan itu bertujuan untuk membentuk karakter seseorang untuk menjadi orang yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kalau begini tujuannya tentu orang tua dan sekolah selalu meluangkan waktu untuk juga memberi model bagai mana anak-anak musti berbuat dan bersikap untuk menjadi orang yang beragama, maksudnya sangat peduli dengan unsure spiritual. Namun praktek dalam kehidupan bahwa kita (mereka) hanya menekankan pada intelektual saja, dengan bukti bahwa adanya UN, atau melalui Ujian atas beberapa mata pelajaran yang dianggap sakral seperti Matematika, Bahasa Indonesia, Fisika, Kimia, Biologi, Ekonomi, Geografi dan Sosiologi. Skor dari hasil ujian semua mata pelajaran ini sebagai tolak ukur keberhasilan pendidikan tanpa melihat proses pembentukan karakter dan budi pekerti anak.
Kalau ada seseorang anak mampu memperoleh skor ujian 80 atau 90 maka dia bisa dianggap sukses meskipun dalam kehidupan sehari-hari kurang peduli dengan sesama dan juga kurang peduli terhadap tanggung jawabnya sebagai seorang anak dalam membantu orang tua. Sungguh menjadi makin sempit tujuan pendidikan anak anak di mata masyarakat dewasa ini. Hanya berlomba memacu kehebatan kognitif saja.
Pada hal dalam upaya meningkatkan kualitas suatu bangsa, tidak ada cara lain kecuali melalui peningkatan mutu pendidikan bukan dalam arti yang sempit- tidak hanya sebatas jago mengejar skor bidang studi semata-mata. Berangkat dari pemikiran itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui lembaga UNESCO (United Nations, Educational, Scientific and Cultural Organization) mencanangkan empat pilar pendidikan baik untuk masa sekarang maupun masa depan, yakni: (1) learning to Know, (2) learning to do (3) learning to be, dan (4) learning to live together. Dimana keempat pilar pendidikan tersebut menggabungkan tujuan-tujuan IQ, EQ dan SQ.
Tiap tahun PBB mengukur tingkat kualitas hidup bangsa-bangsa di dunia yang diberi istilah dengan “human development index” dan indikator mengukurnya adalah berdasarkan “indeks harapan hidup, indeks pendidikan dan indeks pendapatan”. Jadi kualitas manusia di dunia disorot melalui bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Jadinya peringkat indeks SDM Indonesia untuk level dunia sangat tidak membahagiakan.
Bagaimana peringkat SDM negara kita di dunia[1] Kita bisa melihat melihat perkembangan SDM setiap negara melalui situs “World Competitiveness Year Book” sejak tahun 1997 – 2007. Menurut hasil survei World Competitiveness Year Book dari tahun 1997 sampai tahun 2007 pendidikan Indonesia berada dalam urutan sebagai berikut:
- Pada tahun 1997, Indonesia berada di urutan 39 (dari 49 negara yang disurvei). 
- Pada tahun 1999, Indonesia berada pada urutan 46 (dari 47 negara yang disurvei).
- Tahun 2002, Indonesia berada pada urutan 47 (dari 49 negara yang disurvei).
- Pada tahun 2007, Indonesia berada pada urutan 53 (dari 55 negara yang disurvei).
Sementara hasil penelitian program pembangunan PBB (UNDP) tahun 1980-2013, laporan dalam tahun 2013 menunjukkan kualitas SDM Indonesia berada pada urutan 108 dari 187 negara yang diteliti,dan Samoa (urutan 106) dan Mongolia(urutan 103) posisinya lebih baik dari negara kita. Posisi negara Singapura (urutan 9) dan Malaysia (urutan 62) jauh lebih baik. Tingkat SDM ini diukur berdasarkan kualitas kesehatan, umur, tingkat pendidikan dan rata-rata income penduduk.
Kemudian bagaimana dengan kualitas pendidikan negara kita ? Kita bisa lihat pada situs Asian South Pacific Bureau of Adult Education (ASPBAE), bahwa posisi Indonesia menduduki peringkat 10 dari 14 negara berkembang di kawasan Asia Pasifik. Untuk berbagai laporan tingkat internasional seperti kemampuan literacy (membaca) dan numeracy (matematika) maka tetap posisi pendidikan kita belum membahayakan. Konon kabarnya bahwa hasil ujian nasional (UN) juga berguna untuk pementaan kualitas pendidikan antar Propinsi, antar kota dan antar sekolah se-Indonesia. Maka jadilah semua sekolah, mencakup guru, kepala sekolah, dinas pendidikan, kepala daerah dan orang tua memacu anak mereka untuk menggenjot skor. Akibat genjotan atau motivasi untuk ranah kognitif atau otak maka perhatian untuk membetulkan unsure akhlak atau afektif/ sikap dan keterampilan lain kurang memperoleh porsi. Karena dari jatah waktu 24 jam per hari maka 10 jam per hari habishanya untuk mengurus otak anak untuk mengejar skor ujian yang tinggi.
Umpamakan bahwa semua sekolah di tanah air ini telah peduli untuk memberi porsi kognitif, afektif dan psikomotorik yang berimbang di sekolah. Dimana pendidikan afektif (termasuk unsur spiritual) anak melalui program pembiasaan  seperti mengaji al-Quran dan shalat dhuha di sekolah, dan pendidikan keterampilan atau kecakapan hidup melalui program ekskul, namun untuk orang tua semua tetap berambisi agar anak bisa meraih skor yang tinggi untuk semua mata pelajaran, bila mampu paling kurang skornya 80.
Cukup membanggakan melihat kepedulian orang tua dalam memotivasi anak. Malah gaya memotivasi sering bercampur dengan pemaksaan. Saat saya ikut antri menunggu anak pulang sekolah, saat ia masih sekolah di SD, saya sering mendengar orang tua yang berharap anak kalau ujian harus mampu meraih skor yang tinggi dan kalau menerima rapor harus bisa meraih juara umum. Dan paling kurang bisa jadi juara kelas.
Hal yang kontra sebagai fenomena sosial, saat orang tua berharap bisa jadi cerdas dan juara, namun mereka di rumah belum membudayakan kebiasaan membaca. Orang tua malah kagum pada anak yang mampu meraih juara kelas dan skor yang tinggi dan ternyata itu diperoleh lewat cara-cara mencontek, dan balas budi yang diberikan oleh guru kelas. Karena si anak telah ikut les pada guru tertentu dan membayar yang mahal maka jadinya nilai rapor anak diberi skor yang melebih skor rata-rata kelas.
Kita perlu mengapresiasi orang tua yang tidak memberi anak tekanan psikologis, mematok target yang tinggi pada anak, misal harus bisa meraih nilai 100 dalam ujian sains. Jadinya anak bukan termotivasi, malah setiap kali mau ujian anak surat stress duluan. Saya sering mempunyai anak yang down dan menangis saat ia tidak jadi juara atau nilai ujiannya jelek dan saya menghibur:
“Tidak perlu down apalagi meratap kalau tidak jadi juara karena nilai yang asli itu ada dalam fikiran dan pribadi ananda sendiri. Nilai pada rapor ini hanyalah nilai yang terbaca oleh guru dan sering juga dipengaruhi oleh subjektivitas sang guru. Lagi pula negara kita tidak membutuhkan anak-anak yang bermental lemah, tapi yang berpribadi tangguh”.
orang tua berlomba-lomba mencari sekolah berlabel buat anak ternyata juga ada orang tua yang memahami apa dan bagaimana anaknya dan eksistensi pendidikan itu sendiri. Cukup banyak anak disekolahkan ke sekolah berlabel “wahhhh” hanya untuk memenuhi ambisi orang tua. Orang tua bangga kalau anak bisa sekolah pada program akselerasi, orang tua bangga kalau anaknya yang masih berusia 4 tahun sudah bisa caslistung (membaca-menulis- berhitung) meski anak melaluinya dengan otak yang capek. Ada anak yang sekolah di program akselerasi karena ambisius orang tua, merasa muak melihat buku-buku. Bila lagi emosional ia membanting dan melemparkan buku-buku yang dianggapnya sebagai beban yang maha berat.
Di fenomena yang begini ada juga orang tua yang peduli dan memahami tentang hakekat pendidikan. Dia memasukan anaknya ke sekolah yang berbasih keseimbangan antara dunia dan akhirat, juga seimbang antara belajar, ekskul, kegiatan agama dan kegiatan sosial. Jadinya anaknya terlihat seperti anak-anak yang diharapkan oleh undang-undang yaitu yang cerdas namun juga peduli pada lingkungan dan sesama serta betaqwa pada Allah Swt.
Suatu ketika saya bertanya pada seorang bapak, mengapa dia tidak menyekolahkan anaknya di sekolah berlabel. Dan ia menjawab bahwa sekolah unggul itu juga bagus bagi anak-anak yang bisa mengikutinya. Dia malah khawatir kalau anaknya bersekolah di sana akan menjadi “ekor dari gajah”, maksudnya menempati peringkat buncit dengan pengalaman sukses yang jarang, maka biarlah dia belajar di sekolah biasa-biasa saja namun bisa mejadi orang yang berarti dan memperoleh pengalaman sukses di sana.
Dia menambahkan bahwa pada sekolah tertentu yang membuat program keunggulan otak semata, kurikulum sekolah tersebut mewajibkan bahwa untuk bisa lulus dan mendapatkan ijazah ; setiap siswa harus berhasil pada lima mata pelajaran pokok dengan nilai minimal 80 pada masing-masing mata pelajaran, yakni pada mata pelajaran Ujian Nasional. Sehingga semua anak terlihat pontang panting dalam belajar, di sekolah belajar dan sore belajar lagi dalam keadaan capek, malam hari diguyur lagi dengan seabrek PR sehingga mereka kehilangan hari-hari yang indah untuk bersosialisasi dan berinovasi.
Ini adalah sebuah kekeliruan dan kekacauan karena tidak semua anak bisa menyukai semua mata pelajaran. Karena ada anak yang kuat pada verbal, numeracy atau kinestetik. Anak yang tertarik dengan verbal tentu akan kehabisan nafas dalam menguasai mata pelajaran hitung-hitungan. Anak yang tertarik dengan kinestetik atau psikomotorik akan merasa terpenjaran dalam memenuhi target mata pelajaran “maha penting” yang tidak ia minati. Lucunya lagi bahwa siswa yang sempat menjadi atlit olah raga gara-gara terpaksa ikut bimbel menjadi lupa cara berlari dan cara menendang bola.
Beginilah jadinya anak-anak yang belajar hanya gara gara untuk memenuhi ambisi orang tua telah kehilangan kemampuan aslinya setelah keluar dari sekolah. Mereka tidak bisa lagi hidup sesuai dengan bakat alaminya yang seharusnya bisa tumbuh. Jadinya anak yang menonjol sebagai orator, ulama, budayawan, ahli musik, atletik/olah ragawan, sastrawan tidak begitu menonjol karena potensi untuk menumbuhkan mereka tidak lagi proporsional.
Sekali lagi, sesuai dengan judul artikel ini “tidak perlu memaksa anak untuk menguasai semua bidang studi karena bisa memicu anak jadi stress dan kehilangan kreatifitas”. Anak dari orang tua yang sempat saya berbincang dengannya, hanya bersekolah pada sekolah biasa-biasa saja. Bukan sekolah unggulan itu tidak bagus namun tidak sesuai dengan konsep anaknya. Pada sekolah yang biasa, anaknya bisa memilih dua atau tiga mata pelajaran yang dia tekuni dan tidak merasa terbebani oleh ambisi orang tua untuk mengejar skor yang tinggi buat mata pelajaran yang lain.
Kebetulan anaknya tertarik dengan agama, olah raga dan bahasa asing. Jadinya anaknya bisa mengasah tiga kemampuan ini. Sekarang anaknya memiliki tubuh yang atletis, mampu berkomunikasi dan selalu mengenal tempat ibadah. Tamat dari SMA anaknya sudah tahu kemana menyambung dan bagaimana kelak karirnya setelah dewasa.
Seperti dikatakan oleh Menteri Pendidikan Anies Baswedan bahwa nilai yang tinggi hanya berguna untuk syarat kelulusan sementara untuk mencari kehidupan lebih banyak dipengaruhi oleh nilai leadership dan enterpreurship (kepemimpinan dan wirausaha). Selain itu kita dan anak kita juga perlu memupuk nilai-nilai yang lain seperti: religious, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/ komuniktif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung-jawab.

Fenomena dunia pendidikan kita bahwa para lulusan dari sekolah saat ini lebih banyak hanya menjadi pencari kerja dari pada pencipta lapangan kerja, betapa banyak para lulusan yang bekerja tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan yang digelutinya selama bertahun-tahun, sebuah pemborosan waktu, tenaga dan biaya. Betapa para lulusan sekolah tidak tahu akan dunia kerja yang akan dimasukinya, jangankan kemapuan keahlian, bahkan pengetahuan saja sangatlah pas-pasan, betapa hampir setiap siswa lanjutan atas dan perguruan tinggi jika ditanya apa kemampuan unggul mereka, hampir sebagian besar tidak mampu menjawab atau menjelaskannya.
Ini terjadi karena siswa kita miskin dari pengalaman sosial, pengalaman yang berhubungan denga afektif dan psikomotorik, gara- gara banyak dikurung oleh urusan kognitif semata. Sistem belajar yang hanya mengajari anak untuk menghafal bukan belajar dalam arti sesunguhnya. SEkali lagi bahwa setiap siswa dikondisikan untuk berlomba-lomba mencapai nilai yang tinggi dengan cara apapun tak perduli apakah si siswa terlihat setangah sekarat untuk mencapainya.
Nyatanya toh dalam kehidupan nyata, nilai pelajaran yang begitu dianggung-anggungkan oleh sekolah tersebut tidak berperan banyak dalam menentukan sukses hidup seseorang. Dan lucunya sebagian besar kita dapati anak yang dulu saat masih bersekolah memiliki nilai pas-pasan atau bahkan hancur, justru lebih banyak meraih sukses dikehidupan nyata. Nilai yang diperoleh siswa pada rapor hanyalah representasi dari kemampuan siswa dalam “menghapal” pelajaran dan “subjektifitas” guru yang memberi nilai tersebut terhadap siswanya.
Agaknya judul artikel ini membingungkan, namun tujuannya adalah agar orang tua tidak memaksakan ambisiusnya buat anak untuk berharap bisa memperoleh nilai tertinggi untuk semua mata pelajaran. Karena setiap anak memiliki kelebihan dan sekaligus kelemahan dalam bidang yang berbeda-beda. Memaksa mereka memperoleh skor ysng tinggi tentu akan membuat merekakelelahan. Orang tua perlu tahu bahwa mendidik adalah proses membangun moral/prilaku atau karakter anak sementara mengajar adalah mengajari anak dari tidak tahu menjadi tahu dan dari tidak bisa menjadi bisa. Produk dari pengajaran adalah terbangunnya cara berpikir kritis dan kreatif yang berhubungan dengan intelektual sementara produk dari pendidikan adalah terbangunnya prilaku/akhlak yang baik. Jadi simpati dan empati orang tua sangat diperlukan buat anak-anak mereka.




[1] http://sukabaca-baca.blogspot.com/2011/11/urutan-kualitas-pendidikan-indonesia-di.html

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...