Sabtu, 03 Oktober 2015

Mahasiswa Yang Doyan Game Anak SD Belum Cerdas



Mahasiswa Yang Doyan Game Anak SD Belum Cerdas
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

            Bahwa bermain itulah adalah kegemaran seseorang dari usia balita hingga dewasa, malah ada hingga usia tua. Dalam sebuah teori tentang kebutuhan bermain, yang diungkapkan oleh Jean Piaget. Bermain adalah bagian dari kehidupan anak. Anak menghabiskan sangat banyak waktu buat bermain, lewat bermain anak akan memperoleh pengalaman dan pelajaran, hingga muncullah teori “learning by doing dan learning by playing”.
            Seiring dengan pertambahan usia maka, anak perlu diperkenalkan rasa tanggung jawab. Anak perlu dilibatkan dalam beraktivitas- melakukan kegiatan di rumah seperti: mencuci piring, menyapu rumah, melipat kain, menstrika pakaian, hingga membantu membersihkan motor ayah. Tentu saja orang tua musti mengerti dengan parenting- yaitu ilmu tentang menjadi orang tua yang baik- yang bisa menerapkannya buat mendidik keluarganya. Maka insyaallah keluarga mereka akan tumbuh menjadi keluarga yang cerdas dan bertanggung jawab.
            Bermain juga menjadi kebutuhan remaja dan orang dewasa, karena bermain berguna buat memberikan rasa rileks dan mengusir ketegangan atau stress pada fikiran. Kalau seorang balita perlu waktu bermain selama10 jam perhari, maka dengan meningkatnya umur, kebutuhan bermainnya seharusnya berkurang menjadi 9 jam, 8 jam, 7 jam, dan seterusnya hingga menjadi 2 jam per-hari. Sebagai pengganti dari kelebihan waktu tersebut akan berguna untuk kegiatan belajar, melakukan hobby dan juga kegiatan lain di rumah lainnya.
            Proses pengurangan jam bermain dari jumlah waktu yang banyak hingga hanya 2 jam per hari, tentu tidak datang dengan sendirian. Pola menghargai waktu yang seimbang antara bermain dan belajar atau bekerja, sesuai dengan porsi usia perlu dorongan dari orang tua. Jadinya setiap anak perlu memiliki agenda kegiatan- yaitu daftar beraktivitas di rumah. Dalam agenda kegiatan akan ada waktu buat sholat, membaca al-Quran, membuat PR, istirahat, membaca buku, hingga membantu orang tua. Tentu saja anak yang mampu melakukan aktivitas berdasarkan agenda kehidupan yang dirancang, bakal meraih sukses dalam hidupnya.
            Apa dan bagaimana fenomena yang terjadi sekarang? Bahwa sekarang cukup banyak remaja- siswa SLTA hingga mahasiswa- yang kurang memahami pola dan kebutuhan bermain. Berapa jam mereka harus bermain dan bagaimana pola permainan yang seharusnya mereka adopsi kurang mereka kenal.
            Yang membedakan siswa dan mahasiswa adalah karena ada kata “maha”, yang berarti “sangat; amat; teramat”. Sederhananya kita dapat mengartikan mahasiswa adalah seorang murid yang "besar". Ya benar, Seorang murid yang "besar", dengan kata besar dalam tanda kutip, yang memiliki banyak arti yang kompleks terkait dengan kata sebelumnya. Yaitu seorang mahasiswa harus lebih cerdas, lebih berkualitas dari seorang siswa. 
            Pemahaman bahwa seorang mahasiswa adalah “seorang siswa yang amat dewasa, amat cerdas dan amat dikagumi” sempat tergores dalam memory saya sewaktu masih duduk di bangku SD. Hingga tahun 1980-an atau di awal tahun 1990-an. Saat itu belum begitu banyak orang yang tamatan SLTA melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Juga di saat itu Perguruan Tinggi jumlahnya masih sedikit, dan hanya ada di ibu kota Propinsi. Seorang mahasiswa yang pulang kampung akan didengar semua ucapannya dan akan menjadi suri-teladan (model kehidupan)  segala tindak tanduknya. Dan bila ia mau kembali ke kota tempat ia menuntut ilmu maka ia akan dilepas beramai-ramai oleh tetangga dan terutama kaum kerabatnya.
            Citra tentang seorang mahasiswa adalah siswa besar yang sangat hebat semakin terpatri dalam fikiran, dan semakin saya pahami saat membaca buku sejarah. Apalagi saat menatap foto tokoh intelektual, misal Muhammad Hatta (wakil Presiden pertama RI) yang menuntut ilmu di Negeri Belanda, ia tekun membaca ilmu pengetahuan dan juga aktif berorganisasi buat memperjuangkan kemerdekaan tanah air.
Juga tentang citra seorang mahasiswa, sebagai orang yang hebat membuat saya kagum saat melihat foto Bung Karno menuntut ilmu, berlatih berpidato, membaca buku tebal-tebal, ikut berorganisasi, dan jago bahasa Belanda dan Bahasa Inggris. Saya telah membacabuku biografinya, ditulis oleh Cindy Adam: Soekarno as retold to Cindy Adam.
            Saya kagum bahwa mahasiswa itu adalah orang yang hebat. Menjadi mahasiswa di Pulau Jawa terasa lebih dahsyat lagi. Sewaktu saya masih kecil, kami merasakan bahwa seseorang yang mampu kuliah di Pulau Jawa terasa hebat, karena perjalanan ke sana sulit dan mahal. Apalagi saat itu beasiswa dan bidik misi belum ada lagi. Mencari kesempatan untuk bisa kuliah butuh perjuang hingga bersimbah keringat fikiran. Ya saya merasakan bahwa rata-rata anak-anak Sumatra dan juga dari Pulau lain yang kuliah di sana bisa berhasil setelah bersimbah keringat dan air mata- maksudnya melalui liku-liku kehidupan.
            Zaman berganti, dan itulah kenyataannya bahwa, arti kata “mahasiswa” juga mengalami pergeseran. Di Era Reformasi mahasiswa diidentikan sebagai seorang pembuat onar yang hampir setiap hari muncul dalam media cetak maupun media elektronik, meskipun tidak semua mahasiswa "berperilaku" demikian, banyak juga mahasiswa yang mampu berprestasi dalam bidang akademik dan non akademik, hanya saja intensitas terekspose oleh media yang kurang berimbang dan pencitraan masyarakat lah, yang sebenarnya memberikan sebuah identitas kepada Mahasiswa.
            Namun arti atau makna kata “mahasiswa” tidak lagi sedahsyat mahasiswa di zaman- zaman dulu. Mahasiswa sekarang, ya kadang- kadang ibarat siswa SMA saja. Pintarnya hanya sebatas berkisah betapa indahnya gedung kampus mereka. Kalau mereka berasal dari Perguruan Tinggi favorite maka mereka sebatas bangga memakai jaket dari kampus mereka, yang mana jaket itu sendiri amat jarang mereka pakai kalau di kampus sendiri.
            Makna kata kehebatan mahasiswa semakin merosot saat mereka tidak memantulkan fikiran yang intelektual- miskin dalam hal inspirasi dan tidak mampu memotivasi adik-adiknya. Bagaimana seorang mahasiswa yang sempat dijuluki sebagai “social agent changing- agen buat perubahan” kalau mereka sendiri memilki ilmu yang minim atau ilmu pengetahuan yang pas-pasan. Tidak mampu berkomunikasi dan tidak mampu melakukan improvisasi- atau peningkatan. Jadinya mereka adalah mahasiswa yang serba nanggung: akademik, dan pengetahuan nanggung, dan leadership serta entrepreneur juga nggak kenal. Inilah wajah sebagian mahasiswa kita.
            Dewasa ini, menurut subjektif saya, cukup banyak mahasiswa yang tidak punya budaya buat membaca dan juga tidak terbiasa bertukar fikiran yang terfokus. Kalau membaca, hanya sebatas membaca halaman demi halaman yang ditugaskan oleh sang Dosen. Karena proses ujian tergantung pada kisi-kisi dan standar kompetensi. Maka itulah yang mereka baca dan hafal sesering mungkin, kisi-kisi dan indikator itu pulalah yang ditanya pada ujian mid semester dan ujian semester hingga nilai mereka bisa bertaburan nilai “A”. Namun IPK yang tinggi tidak berarti apa apa sepanjang itu hanya sebatas lipstick picisan saja.
            Bagaimana hakikat dan kualitas mahasiswa sekarang ? Kerutan di dahi karena mencari jawaban makin lama. Apakah mahasiswa itu adalah siswa yang hebat ? Bagaimana kalau mahasiswa itu tidak punya pola kehidupan, kerjanya kupu-kupu saja (kupu-kupu= kuliah pulang- kuliah pulang). Kalau di kampus sebatas memamerkan gadget dan membalas-balas chatting ringan lewat BBM, Facebook dan Twitter. Atau waktu-waktu berharga banyak habis buat bercengkrama dengan suara manja kayak anak SD atau tiap sebentar selfie buat diupload pada instagram.
            Apakah mahasiswa kayak begini masih bisa menyandang status agent of social changing kalau mereka bengong untuk beraktivitas- hingga di rumah atau dikosan cuma membuang buang waktu dalam bentuk menghempaskan domino, main futsal berkepanjangan, juga cukup banyak yang main game online.
            Saya tidak begitu bangga dengan mahasiswa yang tidak terbiasa membaca dan lebih parah lagi saya sering bertanya-tanya apa sih bedanya antara seorang mahasiswa dengan seorang murid kelas dua SD yang ternyata sama-sama suka mengkonsumsi game online ?
            Itulah kenyataanya bahwa gara-gara cukup banyak mahasiswa yang tidak mengenal tentang pola-pola cara belajar efektif dan pemanfaatan waktu maka gaya hidup mereka sudah sama saja dengan siswa yang lebih rendah dari mereka. Malah, sebagaimana yang kita ungkapkan, bahwa bentuk permainannya juga mirip dengan permainan anak-anak SD yang masih ingusan.
Nggak percaya dan mau buktiin ?  Tengoklah box-box internet yang betebaran di seputar kampus, terutama di perguruan tinggi pinggiran, mereka menghabiskan waktu buat mengakses game online. Atau kalau lagi punya laptop dan tablet, maka mereka terpaku dengan game buat merebut skor-skor buat mengantarkan mereka ke dalam khayalan infantile- khayalan kekanak- kanakan dunia maya. Prilaku begini harus diputus sedini mungkin. Apa gunanya negara kita yang luas ini, meluluskan ribuan mahasiswa yang ternyata berkulitas rendah.
            Anak-anak kita, para siswa dan mahasiswaperlu banyak membaca. Mereka harus memiliki buku bacaan, buku motivasi dan majalah/Koran. Ini semua pekerjaan rumah bagi kita. Kini para pemikir pendidikan, guru, kepala sekolah, orang tua dan pemerintah perlu lagi memikirkan untuk memaksimalkan pemanfaatan perpustakaan. Cobalah buka mata, hati dan telinga, bahwa cukup banyak siswa SD yang tidak punya majalah anak-anak lagi, mereka tidak lagi membaca buku buku sang tokoh kehidupan. Karena pustaka sekolah sering terkunci, buku buku berdebu dan koleksi buku tidak memadai. Kita lebih peduli mencat dinding sekolah, membuat gerbang semata.
            Demikian juga saat di bangku SLTP dan SLTA, siswa kita tidak mengenal tokoh kehidupan dari membaca dan kerja mereka hanya sebatas bimbel dan bimbel dan berlomba memburu skor tinggi buat membanggakan sekolah dan orang tua, meski dibalik skor yang tinggi tidak begitu banyak kegiatan yang mereka lakukan. Ada baiknnya siswa kita sejak dibangku SLTP dan SLTA diperkenalkan konsep wirausaha dan entrepreneur.
            Dewasa ini di Perguruan Tinggi ternyata nilai akademik yang tinggi hanya berguna sekedar untuk kelulusan kuliah saja. Sementara kesuksesan dalam dunia kerja lebih banyak ditentukan oleh pengalaman leadership dan entrepreneurship mereka semata. Para siswa yang banyak bersentuhan dengan kisah-kisah bagaimana jadi guru, jadi dokter, jadi perawat, jadi insinyur, kerja di bank, hanya melahirkan generasi yang tetap bermimpi ingin jadi PNS atau menjadi anak buah semata, dan ini tidak salah. Namun lebih dahsyat apabila ekskul  sekolah mendatangkan (mengundang) para  tokoh entrepreneur dan juga tokoh leadership dari kehidupan nyata. Mari kita rancang kegiatan buat mempertajam leadership dan entrepreneur mereka sejak usia dini. Kita beri mereka pengalaman berharga sejak usia dini, karena pengalaman di usia  muda akan bersifat long-lasting atau teringat sepanjang masa (http://penulisbatusangkar.blogspot.com ).   
   

Menjadi Orang Indonesia Dengan Level “World Class People”



Menjadi Orang Indonesia Dengan Level “World Class People”
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

            Dalam zaman sekarang, dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang didukung oleh perkembangan tekhnologi informasi komunikasi maka orang mulai berfikir bagaimana mendorong pertumbuhan institusi mereka, yang semua berada pada kualitas level kecamatan, kabupaten, propinsi hingga menjadi kualitas nasional. Dan sekarang berlomba untuk menempati kualitas level dunia. Untuk lembaga perguruan tinggi kita mendengar istilah world class university- universitas kelas dunia, yang lain adalah world class school, world class business, dll.
Untuk perusahaan juga cukup banyak yang sudah menjadi “world class company”, seperti Boeing, Toyota, Exxon, Samsung, IBM, General Electric. Ini adalah segelintir daftar perusahaan – perusahaan kelas dunia yang selama ini acap menjadi acuan dalam memahat best management practices. Apa factor yang membuat perusahaan-perusaan ini bisa menjadi perusahaan kelas dunia ? Ya tentu saja karena perusahaan ini memiliki orang-orang hebat yang selalu berbuat untuk membuat kualitas perusaan tersebut menjadi kelas dunia
Selanjutnya kenapa orang-orang itu menjadi kategori great people ? Ya tentu saja karena kinerja mereka dikelola dengan sistematis dan efektif. Penuh dengan perencanaan yang matang. Sarat dengan perhitungan yang seksama. Toh demikian, meski semua perusahaan kelas dunia berangkat dari latar industri yang berbeda, ada satu hal yang menyamakan mereka : ketika melakukan pengukuran kinerja SDM, mereka fokus pada dua elemen kunci, yakni elemen kinerja (performance results) dan elemen perilaku/sikap kerja/budaya kerja.
Untuk ukuran personal atau orang, maka para kepala  negara seperti Joko Widodo, Barrack Obama. Orang-orang yang berkualitas tinggilah yang bisa melangkah maju menuju manusia kualitas dunia. Sebetulnya seseorang yang kualitasnya berkaliber nasional dan internasional, saat terlahir ke dunia persis sama kondisinya dengan orang yang berkualitas biasa-biasa saja. Kenapa kemudian mereka bisa berbeda, salah satunya karena mereka berbeda dalam memanfaatkan waktu.
Ya betul bahwa ketika terlahir ke dunia, manusia datang tanpa membawa bekal apapun. Namun semua manusia diberikan modal yang sama yaitu waktu. Allah Swt juga mengingatkan umat manusia dalam hal waktu, Allah bersumpah dengan waktu, seperti yang dapat kit abaca pada al-Quran (surat 103:1-3):
“Demi masa (waktu). Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”.
Jadi seberuntung-beruntung manusia adalah mereka yang bisa memanfaatkan waktunya untuk berbuat kebaikan dan juga saling berbagi nasehat. Secelaka-celakanya manusia adalah mereka yang menyia-nyiakan waktunya untuk berbuat keburukan dan bagi yang suka berbuat keburukan dan pelanggaran di dunia.
Ada apa dengan “waktu”? Bahwa Bill Gate, Presiden Jokowi, Zainuddin MZ (alm), Najwa Shihab, seorang Satpan hingga seorang tukang jual bubur sama-sama mempunyai waktu 24 jam dalam 1 hari. Dan kuantitas di dalam waktu ini tidak bisa ditawar dan tidak bisa dilebihkan. Sehingga ada yang sukses sebagai enterpreneur, ada yang suksesnya jadi presiden, ada yang jadi Da’i kondang, Presenter TV, hingga menjadi seorang Satpam dan tukang jual bubur. Mereka semua sukses dan semua dibutuhkan. Lantas bagaimana dengan nasib para pengangguran dan pengemis ?
Apakah waktu di dalam hidup mereka berbeda? Ya tentu saja sama! Pengemis dan pengangguran juga hidup 24 jam sehari. Tapi mengapa nasib mereka begitu berbeda. Back to the original statement kitab suci Al-Quran yang mengupas tentang waktu atau masa : Seberuntung-beruntung manusia adalah mereka yang bisa memanfaatkan waktunya dengan baik untuk berbuat kebaikan.
Manusia yang mampu menjadi manusia kelas dunia tentu saja lebih mampu berbuat dengat sangat prima. Orang orang Indonesia juga cukup banyak yang menjadi orang kelas dunia. Amin Rais, Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan banyak lagi, juga Salim Said, Syafii Ma’arif dan Azyumardi Azra adalah juga orang Indonesia kelas dunia. Kita berharap akan banyak bermunculan manusia kelas dunia. Untuk itu kita perlu bercermin dari perjalanan hidup Salim Said, Syafii Maarif dan Azyumadi Azra menuju pentas dunia.
1) Salim Said, lahir di Pare-pare, Sulawesi Selatan. Salim Said bisa dibilang sebagai kritikus perfilman di Indonesia, ketajamannya dalam mengulas film membuat dirinya tidak disukai oleh para produser. Hingga akhirnya dengan keahliannya tersebut, ia diangkat sebagai Kepala Urusan (desk) Film & Luar Negri majalah Tempo. Jabatannya yang juga pernah sebagai ketua dewan kesenian Jakarta telah menerbitkan beberapa buku seperti Profil Dunia Film Indonesia, Pantulan Layar Perak, dan Dari Festival ke Festival.
Ia menempuh pendidikannya pada SMA, ATNI (1964-1965), Fakultas Psikologi, Fakultas Sosial & Politik UI Jakarta. Lulus doktor ilmu politik di Ohio State University (Amerika) ini semula dikenal sebagai wartawan/penulis. Ketajaman penanya dalam mengulas film (Indonesia) menyebabkan dia kurang disukai produser-produser. Hingga awal 1980-an ia menjadi Kepala Urusan (desk) Film & Luar Negeri majalah Tempo. Tetap bergiat di bidang film, meski ia juga dikenal sebagai pengamat politik dan militer. Anggota

 Dewan Film Nasional selama 2 periode 1989-1995, disamping sebagai Ketua Bidang Luar Negeri Pantap FFI (1988-1992). Pada 1990 dipilih sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta, dan terpilih lagi pada 1993. Sebelum itu menerbitkan pula buku kumpulan tulisan Profil Dunia Film Indonesia (1989), Pantulan Layar Perak (The Shadow on the Silver Screen) dan Dari Festival ke Festival.
2) Ahmad Syafii Ma'arif lahir di Minangkabau pada 31 Mei 1935. Ia bersaudara dengan 15 orang yang seayah namun tidak seibu. Sewaktu ia berusia satu setengah tahun, ibunya meninggal hingga ia kemudian dititipkan oleh ayahnya ke rumah bibinya yang bernama Bainah. Tahun 1942, ia dimasukkan ke Sekolah Rakyat di Sumpur Kudus dan kemudian ia melanjutkan ke Madrasah Muallimin di Balai Tengah, Lintau. Saat ia berusia 18 tahun, ia memutuskan untuk merantau ke Jawa, tepatnya ke Yogyakarta. Di sana ia ingin meneruskan sekolahnya ke Madrasah Mualimin di kota itu. Namun keinginan tersebut tidak terwujud dengan alasan bahwa kelas sudah penuh. Malahan ia direkrut menjadi guru pengajar di sekolah itu.
Setelah ayahnya meninggal pada 5 Oktober 1955, kemudian ia tamat dari Muallimin pada 12 Juli 1956, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya, terutama karena masalah biaya. Dalam usia 21 tahun, tidak lama setelah tamat, ia berangkat ke Lombok memenuhi permintaan Konsul Muhammadiyah dari Lombok untuk menjadi guru. Sesampai di Lombok Timur, ia disambut oleh pengurus Muhammadiyah setempat, lalu menuju sebuah kampung di Pohgading tempat ia ditugaskan sebagai guru. Setelah setahun lamanya mengajar di sebuah sekolah Muhammadiyah di Pohgading, sekitar bulan Maret 1957, dalam usia 22 tahun, ia mengunjungi kampung halamannya, kemudian kembali lagi ke Jawa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Surakarta. Sesampai di Surakarta, ia masuk ke Universitas Cokroaminoto dan memperoleh gelar sarjana muda pada tahun 1964. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya untuk tingkat doktoral pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta) dan tamat pada tahun 1968.Selama kuliah, ia sempat menggeluti beberapa pekerjaan untuk melangsungkan hidupnya. Ia pernah menjadi guru mengaji dan buruh sebelum diterima sebagai pelayan toko kain pada 1958. Setelah kurang lebih setahun bekerja sebagai pelayan toko, ia membuka dagang kecil-kecilan bersama temannya, kemudian sempat menjadi guru honorer di Baturetno dan Solo.https://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Syafii_Maarif - cite_note-FOOTNOTEMaarif2009111.E2.80.93140-8 Selain itu, ia juga sempat menjadi redaktur Suara Muhammadiyah dan anggota Persatuan Wartawan Indonesia.
Selanjutnya bekas aktivis Himpunan Mahasiswa Islam ini, terus meneruskan menekuni ilmu sejarah dengan mengikuti Program Master di Departemen Sejarah Universitas Ohio, AS. Sementara gelar doktornya diperoleh dari Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, Universitas Chicago, AS, dengan disertasi : Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia.
Selama di Chicago inilah, anak bungsu dari empat bersaudara ini, terlibat secara intensif melakukan pengkajian terhadap Al-Quran, dengan bimbingan dari seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam, Fazlur Rahman. Di sana pula, ia kerap terlibat diskusi intensif dengan Nurcholish Madjid dan Amien Rais yang sedang mengikuti pendidikan doktornya.Penulis Damiem Demantra membuat sebuah novel tentang masa kecil Ahmad Syafi'i Maarif, yang berjudul “Si Anak Kampung”. Novel ini telah difilmkan dan meraih penghargaan pada America International Film Festival (AIFF).
Setelah meninggalkan posisnya sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, kini ia aktif dalam komunitas Maarif Institute. Di samping itu, guru besar IKIP Yogyakarta ini, juga rajin menulis, di samping menjadi pembicara dalam sejumlah seminar. Sebagian besar tulisannya adalah masalah-masalah Islam, dan dipublikasikan di sejumlah media cetak. Selain itu ia juga menuangkan pikirannya dalam bentuk buku. Bukunya yang sudah terbit antara lain berjudul : Dinamika Islam dan Islam, Mengapa Tidak?, kedua-duanya diterbitkan oleh Shalahuddin Press, 1984. Kemudian Islam dan Masalah Kenegaraan, yang diterbitkan oleh LP3ES, 1985. Atas karya-karyanya, pada tahun 2008 Syafii mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina.
3). Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, CBE (lahir di Lubuk Alung, Padang Pariaman, Sumatera Barat, 4 Maret 1955; umur 60 tahun adalah akademisi Muslim asal Indonesia.[butuh rujukan] Ia juga dikenal sebagai cendekiawan muslim. Azyumardi terpilih sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 1998 dan mengakhirinya pada 2006. Pada tahun 2010, dia memperoleh titel Commander of the Order of British Empire, sebuah gelar kehormatan dari Kerajaan Inggris. Dengan gelar ini, maka Azyumardi adalah orang pertama di luar warga negara anggota Persemakmuran yang boleh mengenakan Sir di depan namanya.
Azyumardi memulai karier pendidikan tinggginya sebagai mahasiswa sarjana di Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta pada tahun 1982, kemudian atas bantuan beasiswa Fullbright, ia mendapakan gelar Master of Art (MA) pada Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah, Columbia University tahun 1988. Ia memenangkan beasiswa Columbia President Fellowship dari kampus yang sama, tapi kali ini Azyumardi pindah ke Departemen Sejarah, dan memperoleh gelar MA pada 1989.
Pada 1992, ia memeroleh gelar Master of Philosophy (MPhil) dari Departemen Sejarah, Columbia University tahun 1990, dan Doctor of Philosophy Degree dengan disertasi berjudul The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama ini the Seventeenth and Eighteenth Centuries. Tahun 2004 disertasi yang sudah direvisi diterbitkan secara simultan di Canberra (Allen Unwin dan AAAS), Honolulu (Hawaii University Press), dan Leiden, Negeri Belanda (KITLV Press).
Kembali ke Jakarta, pada tahun 1993 Azyumardi mendirikan sekaligus menjadi pemimpin redaksi Studia Islamika, sebuah jurnal Indonesia untuk studi Islam. Pada tahun 1994-1995 dia mengunjungi Southeast Asian Studies pada Oxford Centre for Islamic Studies, Oxford University, Inggris, sambil mengajar sebagai dosen pada St. Anthony College.
Azyumardi pernah pula menjadi profesor tamu pada University of Philippines, Philipina dan University Malaya, Malaysia keduanya pada tahun 1997. Selain itu, dia adalah anggota dari Selection Committee of Southeast Asian Regional Exchange Program (SEASREP) yang diorganisir oleh Toyota Foundation dan Japan Center, Tokyo, Jepang antara tahun 1997-1999.
Sejak Desember 2006 menjabat Direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Sebelumnya sejak tahun 1998 hingga akhir 2006 Azyumardi Azra adalah Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ia pernah menjadi Wartawan Panji Masyarakat (1979-1985), Dosen Fakultas Adab dan Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1992-sekarang), Guru Besar Sejarah Fakultas Adab IAIN Jakarta, dan Pembantu Rektor I IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1998). Ia juga merupakan orang Asia Tenggara pertama yang di angkat sebagai Professor Fellow di Universitas Melbourne, Australia (2004-2009), dan anggota Dewan Penyantun (Board of Trustees) International Islamic University Islamabad Pakistan (2004-2009). Ia juga masih menjadi salah satu anggota Teman Serikat Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan.
Azyumardi Azra dikenal sebagai Profesor yang ahli sejarah, sosial dan intelektual Islam. Ketika menjadi Rektor pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, ia melakukan terobosan besar terhadap institusi pendidikan tersebut. Pada Mei 2002 IAIN tersebut berubah nama menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Hal ini merupakan kelanjutan ide Rektor terdahulu Prof.Dr. Harun Nasution, yang menginginkan lulusan IAIN haruslah orang yang berpikiran rasional, modern, demokratis dan toleran. https://id.wikipedia.org/wiki/Azyumardi_Azra - cite_note-az-1

Sekolah Perlu Menghasilkan Siswa Yang Mandiri



Sekolah Perlu Menghasilkan Siswa Yang Mandiri
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
            Fenomena penggangguran intelektual perlu sorotan lebih tajam dari arah atas dan bawah. Dari atas, yaitu tentang kebijakan pemerintah, dan dari bawah akibat gagalnya proses mendidik yang kita lakoni (oleh masyarakat: orang tua dan juga pihak sekolah). Terlihat bahwa pendidikan yang telah kita praktekan seolah-olah sekedar mendorong seorang anak untuk menjadi pegawai, dan belum mendorongnya untuk menjadi orang yang mandiri.
“Lebih spesifik, sampai dimana pedulinya lembaga pendidikan formal, utamanya SLTA dan Perguruan Tinggi untuk mengurangi angka pengangguran yang telah mewabah ibarat virus yang menggerogoti tubuh ?”
Ini adalah pernyataan yang sudah diulang-ulang dan diperbincangkan oleh banyak kalangan. Bahwa angka pengangguran terhadap kelompok Warga Negara Indonesia berusia sangat produktif selalubertambah. Mereka adalah para pengganggur terdidik, lulusan perguruan tinggi. Jadinya Perguruan Tinggi bisa dicibirkan karena hanya jago melahirkan banyak sarjana sekedar jago berteori dan mencari IPK yang tinggi mungkin, namun kemampuan untuk “mandiri” sangatminus.
Mereka hanya menciptakan diri mereka sebagai manusia cerdas yang bermental “sub ordinate”- bermental bawahan yang hanya tertarik menjadi buruh, pegawai atau anak buah pada sebuah perusahaan. Kalau tidak ada peluang kerja ya menjadi PENGANGGURAN.
Dahulu saat dunia pendidikan belum begitu berkembang pesat, kakek dan nenek (nenek moyang kita), mereka belum tahu dengan istilah “jobless, unemployment atau penggangguran”. Yang mereka tahu adalah bahwa mereka harus bisa berusaha menghidupi diri sendiri atau mandiri. Pada saat awal kemerdekaan Presiden Sukarno memang selalu mengkampanyekan agar warga negara harus menjadi warga yang BERDIKARI. Istilah ini dibikin Presiden Sukarno sebagai singkatan dari kata “Berdiri di atas kaki sendiri”.
Dampak dari seruan tersebut, semua warga meresponnya. Termasuk nenek moyang kita, mereka segera membuka usaha sendiri: membuka lading baru, membuka sawah baru, membuka perkebunan, bertenak unggas, bertenak ikan, juga ada yang menjadi tukang rumah. Atau menjadi tukang kecil- kecilan, seperti tukang patri, tukang jahit, menjahit sepatu, tambal ban, tukang jahit paying. Semuanya disebut sebagai pekerjaan wong kecil, pekerjaan wong desa.
Ya ropopo, yang penting mereka bekerja dan bisa makan. Tidak ada istilah gengsi- gengsian, yang penting halal. Dan setelah mereka bisa menghidupi diri merekapun akhirnya menikah dan memiliki anak”.
Cita-cita anak anak mereka saat saat itu tidak begitu muluk-muluk. Ya ingin melanjutkan usaha ayah mereka, atau menjadi Tuanku, Kyai, Ulama, guru pesantren, guru di sekolah lokal, menjadi guru ngaji. Pokonya cita cita yang amat mulia saat itu.
Seorang Ulama adalah tokoh yang amat berpengaruh saat itu. Namun kasihan, mengapa dewasa ini amat jarang terdengar anak-anak muda yang ingin menjadi seorang Ulama ? Mungkin ini akibat gaya mendidik dan kehidupan kita yang penuh dengan aura kapitalis dan hedonis. 
Pada saat itu, bagi beberapa orang yang punya keberanian kuat, maka mereka pergi merantau buat belajar menjadi saudagar. Saudagar adalah istilah yang ngetop untuk karir sebagai perdagangan. Mula-mula mereka jadi anak buah, belajar hidup dari induk semang (bos). Mmemang melalui proses hidup yang bersusah payah. Itu ibarat bentuk praktek kerja nyata dan akhirnya lahir begitu banyak saudagar tangguh. Mereka bersaudagar untuk bidang tekstil, mesin, bahan makanan dan lain- lain.
Zaman bergulir dan kebijakan baru pun muncul. Kemudian dunia pendidikan tumbuh dan tumbuh. Anak- anak didik yang duduk dibangku sekolah rakyat atau sekolah dasar diajar buat bermimpi. Kamu kalau udah gede nanti mau jadi apa ?
Tahukah anda apa mimpi yang banyak diungkapkan oleh anak sekolah dari dulu hingga sekarang ? Rata- rata mimpi mereka adalah seperti: ingin jadi dokter, guru, insinyur, polisi, tentara, camat, penyuluh lapangan, mantri kesehatan, bidan, perawat dan lain-lain. Karir ini memang dibutuhkan untuk melayani warga negara dan mereka semua tercatat sebagai karir PNS dan juga Pegawai militer.
Kebutuhan akan tenaga PNS dibuka lebar, rekruitmen PNS setiap tahun cukup tinggi sejak itu. Jumlah PNS mencapai jutaan orang. Malah hampir setiap rumah di Indonesia hampir selalu ada tenaga PNS. Mereka yang bekerja sebagai PNS membisikan dan menyarankan kepada keluarganya dan lingkungannya agar belajar dan kuliah setinggi agar kelak bisa menjadi PNS yang bergaji tinggi pula. Banyak celotehan yang terdengar: “Lebih enak jadi PNS, gajinya memang sederhana namun masa depan terjamin”.
Dampaknya adalah lahirlah ribuan atau jutaan manusia yang bermimpi untuk jadi PNS. Jumlah PNS memang sangat membludak dan untuk menggaji mereka negara kesulitan mencari anggaran. Negara harus berutang pada pihak luar seperti pada Bank Dunia, IMF- Internasional Monetary Fund, dll. Tahu apa efek jeleknya ? Yaitu utang Indonesia jadi membengkak dan nilai rupiah merosot. Nilai rupiah anjlok sampai 1000 Persen. Angka nol pada uang Rupiah sampai “Lima Digit”. Tidak ada angka mata uang negara lain yang kayak begini. Akibatnya warga dunia internasional kurang melirik mata uang kita, enggan menyimpannya dalam dompet mereka.
Difikir-fikir cukup menyedihkan. Tetangga kita Singapura, negaranya kecil, tetapi mata uangnya- dollar Singapura-  sangat kuat. Sekuat mata uang raksasan dunia internasional. Mata uang Ringgit dari Malaysia juga cukup disegani dunia internasional. Dan mata uang rupiah, maaf gimana ?
“Mata uang Rupiah dipandang sebagai “Rubbish Currency” atau mata uang sampah. Sebuah kotak donasi (kotak sumbangan) buat UNICEF yang bersandar di dinding ruang tunggu di bandara Tullamarine- Melboune. Saya ingin menyelipkan uang kertas seratus ribu, namun seperi yang saya saksikan, hanya menerima mata uang Dollar, Yendaka dan Euro, dan tidak berlaku buat rupiah. Air mata saya jadi menetes.
TEntang jumlah PNS yang membludak, setelah puluhan tahun, akhirnya pemerintah menyadari bahwa jumlah PNS yang banyak dan tidak terkendalikan adalah biang kerok yang ikut mengambrukan perekonomian negara. Fenomena di lapangan adalah bahwa banyak PNS yang tidak bekerja dan mereka PNS yang tidak punya pekerjaan tetap makan gaji buta.
Pemerintah mengambil kebijakan. Sekarang pintu buat menjadi PNS sudah tertutup  cukup kecil dan malah ditutup rapat. Anak anak muda cukup banyak yang terlanjur kuliah dengan impian ingin menjadi “Abdi Negara” atau PNS. Calon guru dan calon petugas kesehatan yang jumahnya melimpah ruah menjadi bengong dan separoh frustasi- mungkin juga frustasi. Bengong menganggur maka mereka ikhlas menjadi tenaga honorer atau pegagai kontrak dengan bayaran Rp. 800. Ribu perbulan. Saat ini nilai rupiah anjlok. Honor Rp. 800 ribu hanya cukup untuk menghidupi diri buat satu minggu.
Beberapa anak muda- mahasiswa- yang berada di Universitas, terutama dari Universitas Favorite, berseru bahwa mereka tidak tertarik menjadi PNS dan mereka bakal menjadi “Entrepreur atau Penguasa”. Bagaimana bisa menjadi PNS, karena keran PNS juga sudah amat kecil.
Ah menjadi seorang Entrepreneur ternyata tidak semudah membalik telapak tangan. Malah kursus-seminar, workshop dan training motivasi yang mereka ikuti selama kuliah tidak mebawa hasil. Karena pada umunya mereka tidak punya background entrepreneur dan mereka umumnya  berasal dari rumah tangga yang orang tuanya adalah PNS, atau pegawai kecil lainnya. Mereka juga mendapat dogmatis bahwa “Enak lho jadi PNS, masa depan cerah !!!”.
Pintu PNS sudah amat kecil dan sementara itu mereka miskin dengan pengalaman berwirausaha. Ya apalagi pengalaman wirausaha nyaris di bangku SLTA tidak ada. Kecuali bagi yang dulu belajar di SMK. Mereka diberi pengalaman dan mata pelajaran tentang vokasional dan wirausaha. Namun itupun juga tidak mantap, akhirnya mereka jadi linglung juga.
Bukankah bahwa mayoritas lulusan SLTA adalah dari jenjang SMA dan Madrasah, dengan arti kata miskin dengan ilmu dan pengalaman berwirausaha. Ada sekitar 15.000 sekolah SMA dan Madrasah di Indonesia dan lulusan mereka tiap tahun adalah lebih dari setengah juta orang. Sebagai catatan bahwa mereka semua buta dengan pengalaman wirausaha dan juga sekolah tidak memberi pengalaman buat berdikari. Dapat disimpulkan bahwa mereka adalah sebagai angkatan muda penyumbang angka pengangguran.
“Meski mereka terus kuliah ke Perguruan Tinggi, mereka diperkirakan lulus menjadi sarajana bermental buruh, karena pengalaman berwirausaha di Perguruan Tinggi juga tidak memberi pengaruh atau kesan yang kuat buat mereka”.
Kualitas Indek SDM manusia Indonesia sangat rendah, malah jauh lebih rendah dari negara tetangga seperti Thailand, Singapura, Malaysia dan Australia. Kualitas pendidikan yang rendah dan pengangguran terdidik harus mendapat perhatian dari masyarakat, lembaga pendidikan sejak di tingkat SLTP hingga Perguruan Tinggi.
Juga sudah saatnya pemerintah kita mengubah proposi, perimbangan, antara SMA dan SMK. Negara kita perlu meniru kebijakan pendidikan di negara maju, misalnya negara Jerman, yang mana jumlah sekolah SMK lebih banyak dari pada jumlah SMA. Sekolah SMK tentu saja siswanya dibekali dengan ilmu dan pengalaman berwirausaha, sementara di SMA yang siswanya hanya disuguhi teori, dan mungkin hampa dengan pengalaman berwirausaha hingga diperkirakan kelak mereka bila telah menjadi sarjana bakal jadi sarjana yang bermental pegawai bawahan, atau kalau kalah bersaing sebagai job seeker akan menjadi pengangguran.
Nggak apa-apa buat sementara, karena di SMA siswa juga bisa diberi pengalaman berwirausaha. Seperti yang dilakukan oleh stake-holder di negara Jerman. Di Sekolah Menengah (Secondary School) di Jerman yang namanya adalah “Gymnasium, High School dan Sekolah Internasional”. Untuk di Indonesia sama dengan sekolah SMA, MAN dan SMK. Mereka pada bersemangat memberikan lomba entrepreurship (kewirausahaan). Judul perlombaanya adalah “Entrepreur of Tomorrow”. Para pelajar berlomba dalam menyiapkan “business plans on business modeling they develop themselves”.
Para pemenang lomba kemudian diberi dukungan oleh Frankfurt School of Finance and Management. Lembaga ini memberi fasilitas dan bantuan tekhnik secara gratis. Para pemenang lomba juga akan memperoleh mentor yang punya pengalaman dalam bidang bisnis.
Pengalaman wirausaha harus dimantapkan sejak usia dini. Sebagai catatan bahwa bagi sekolah SMK juga perlu mendatangkan tokoh wirausaha untuk memberi motivasi wirausaha bagi siswa-siswi mereka. Meski di SMK ada mata pelajaran wirausaha, namun para gurunya tentu tidak memiliki naluri berbisnis, kecuali hanya sekedar memompakan teori wirausaha yang mungkin kurang membekas pada fikiran siswa.
Mengingat angka pengangguran lulusan Perguruan Tinggi selalu meningkat, maka Pemerintah kita juga perlu belajar pada kebijakan pendidikan di negara maju yaitu tentang pentingnya memberikan pengalaman wirausaha sejak dini. Pendidikan Eropa, sebagai contoh, sangat giat memperkenalkan pendidikan wirausaha pada semua sekolah dini.
Di Belanda istilah wirausaha adalah “ondernemer” dan istilah di Jerman adalah “unternehmer”. Entrepeneur sudah diperkenalkan sejak dari bangku SMP hingga Perguruan Tinggi sejak tahun 1950-an. Sementara di negara kita kewirausahaan baru jadi fenomena, diperkenalkan, di Perguruan Tinggi, ya sejak Perguruan Tinggi gagal menghasilkan sarjana. Pada hal seorang sarjana sudah bangga  sebagai agent of social change ,  ternyata hanya sebagai penggangguran terdidik yang miskin nyalinya. Pengangguran begini bertambah dalam jumlah ribuan orang tiap tahun.
Sebagai penutup bahwa idealnya kewirausaan ini juga mutlak harus diberikan sejak bangku SMP, karena pengalaman berwirausaha di masa kecil, lebih banyak bekasnya dari pada diberikan hanya setelah dewasa. (Marjohan, M.Pd- Guru SMA 3 Batusangkar- Peraih Predikat I Guru Berprestasi Nasional. Email: marjohanusman@yahoo.com)



Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...