Kamis, 25 Februari 2016

Tidak Memaksa, Namun Mendorong Anak Dalam Belajar

Tidak Memaksa, Namun Mendorong Anak Dalam Belajar

Judul artikel ini adalah “Tidak perlu memaksa anak namun mendorongnya dalam belajar” apalagi sampai memaksa anak untuk menguasai semua bidang studi”. Tentu saja tulisan ini terinspirasi karena melihat fenomena ambisi orang tua menginginkan anak menjadi “super boy dan super girl”.
Anak yang super dalam pandangan sebahagian orang tua adalah yang jago dengan urusan akademik. Maka mereka memaksa anak agar bisa bersekolah di tempat yang bermutu, mengikuti PBM dengan baik dan melahap semua mata pelajaran, terutama mata pelajaran yang menjadi acuan dalam Ujian Nasional, atau acuan untuk ujian menuju perguruan tinggi. Alhasil anak dimotivasi, kapan perlu dipaksa untuk ikut les dan bimbel agar kelak bisa memperoleh skor setinggi mungkin. Namun berpijak pada itu apakah orang tua memahami tujuan pendidikan negara kita ini ?
Pada intinya pendidikan itu bertujuan untuk membentuk generasi beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kalau begini tujuannya tentu orang tua juga harus memberi model bagai mana anak-anak musti berbuat dan bersikap untuk menjadi orang yang memahami unsur spiritual dan sosial. Namun dalam kehidupan bahwa kita terlalu menekankan pada unsure intelektual saja. Jadinya anak yang jago dengan urusan akademik dianggap sangat hebat. Skor dari hasil ujian semua mata pelajaran ini sebagai tolak ukur keberhasilan pendidikan tanpa melihat proses pembentukan karakter dan budi pekerti anak.

Kalau ada seseorang anak mampu memperoleh skor ujian 80 atau 90 maka dia bisa dianggap sukses meskipun dalam kehidupan sehari-hari kurang peduli dengan sesama dan juga kurang peduli terhadap tanggung jawabnya sebagai seorang anak dalam membantu orang tua. Sungguh makin sempit tujuan pendidikan anak anak di mata masyarakat dewasa ini. Hanya berlomba memacu kehebatan kognitif semata.
Pada hal dalam upaya meningkatkan kualitas suatu bangsa, tidak ada cara lain kecuali melalui peningkatan mutu pendidikan bukan dalam arti yang sempit- tidak hanya sebatas jago mengejar skor bidang studi semata-mata. Indra Djati Sidi (2001) mengatakan bahwa berangkat dari pemikiran itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui lembaga UNESCO (United Nations, Educational, Scientific and Cultural Organization) mencanangkan empat pilar pendidikan baik untuk masa sekarang maupun masa depan, yakni:
a) Learning to think, yang berguna untuk membentuk creative thinking.
b) Learning to do, berguna buat problem solving.
c) Learning to be, yang mana berguna bagi dirinya sendiri agar bisa mandiri.
d) Learning to live together.
Dimana keempat pilar pendidikan tersebut menggabungkan tujuan-tujuan IQ (inteligent quotient), EQ (emotional quotient) dan SQ (spiritual quotient). Dalam era globalisasi ditandai oleh nilai kompetisi, efisiensi, transparansi, profesionalisme dan kualitas yang tinggi. Untuk itu para guru harus memiliki profesionalisme, kompetensi, mampuberkomunikasi dan berkualitas agar mampu membentuk anak didik yang matang intelektualnya, emosional, moral dan spiritualnya. 
Tiap tahun PBB mengukur tingkat kualitas hidup bangsa-bangsa di dunia yang diberi istilah dengan “human development index” dan indikator mengukurnya adalah berdasarkan “indeks harapan hidup, indeks pendidikan dan indeks pendapatan”. Jadi kualitas manusia di dunia disorot melalui bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Jadinya peringkat indeks SDM Indonesia untuk level dunia sangat tidak membahagiakan.
Bagaimana peringkat SDM negara kita di dunia Kita bisa melihat melihat perkembangan SDM setiap negara melalui situs “World Competitiveness Year Book” sejak tahun 1997 – 2007. Menurut hasil survei World Competitiveness Year Book dari tahun 1997 sampai tahun 2007 pendidikan Indonesia berada dalam urutan sebagai berikut:
- Pada tahun 1997, Indonesia berada di urutan 39 (dari 49 negara yang disurvei). 
- Pada tahun 1999, Indonesia berada pada urutan 46 (dari 47 negara yang disurvei).
- Tahun 2002, Indonesia berada pada urutan 47 (dari 49 negara yang disurvei).
- Pada tahun 2007, Indonesia berada pada urutan 53 (dari 55 negara yang disurvei).
Sementara hasil penelitian program pembangunan PBB (UNDP) tahun 1980-2013, laporan dalam tahun 2013 menunjukkan kualitas SDM Indonesia berada pada urutan 108 dari 187 negara yang diteliti,dan Samoa (urutan 106) dan Mongolia(urutan 103) posisinya lebih baik dari negara kita. Posisi negara Singapura (urutan 9) dan Malaysia (urutan 62) jauh lebih baik. Tingkat SDM ini diukur berdasarkan kualitas kesehatan, umur, tingkat pendidikan dan rata-rata income penduduk.
Kemudian bagaimana dengan kualitas pendidikan negara kita ? Kita bisa lihat pada situs Asian South Pacific Bureau of Adult Education (ASPBAE), bahwa posisi Indonesia menduduki peringkat 10 dari 14 negara berkembang di kawasan Asia Pasifik. Untuk berbagai laporan tingkat internasional seperti kemampuan literacy (membaca) dan numeracy (matematika) maka tetap posisi pendidikan kita belum membahayakan. Konon kabarnya bahwa hasil ujian nasional (UN) juga berguna untuk pementaan kualitas pendidikan antar Propinsi, antar kota dan antar sekolah se-Indonesia. Maka jadilah semua sekolah, mencakup guru, kepala sekolah, dinas pendidikan, kepala daerah dan orang tua memacu anak mereka untuk menggenjot skor. Akibat genjotan atau motivasi untuk ranah kognitif atau otak maka perhatian untuk membetulkan unsur akhlak atau afektif/ sikap dan keterampilan lain kurang memperoleh porsi. Karena dari jatah waktu 24 jam per hari maka 10 jam per hari habishanya untuk mengurus otak anak untuk mengejar skor ujian yang tinggi.
Umpamakan bahwa semua sekolah di tanah air ini telah peduli untuk memberi porsi kognitif, afektif dan psikomotorik yang berimbang di sekolah. Dimana pendidikan afektif (termasuk unsur spiritual) anak melalui program pembiasaan  seperti mengaji al-Quran dan shalat dhuha di sekolah, dan pendidikan keterampilan atau kecakapan hidup melalui program ekskul, namun untuk orang tua semua tetap berambisi agar anak bisa meraih skor yang tinggi untuk semua mata pelajaran, bila mampu paling kurang skornya 80.
Cukup membanggakan melihat kepedulian orang tua dalam memotivasi anak. Malah gaya memotivasi sering bercampur dengan pemaksaan. Saat penulis ikut antri menunggu anak pulang sekolah, saat ia masih sekolah di SD, penulis sering mendengar orang tua yang berharap anak kalau ujian harus mampu meraih skor yang tinggi dan kalau menerima rapor harus bisa meraih juara umum. Dan paling kurang bisa jadi juara kelas.
Hal yang kontra sebagai fenomena sosial, saat orang tua berharap bisa jadi cerdas dan juara, namun mereka di rumah belum membudayakan kebiasaan membaca. Orang tua malah kagum pada anak yang mampu meraih juara kelas dan skor yang tinggi dan ternyata itu diperoleh lewat cara-cara mencontek, dan balas budi yang diberikan oleh guru kelas. Karena si anak telah ikut les pada guru tertentu dan membayar yang mahal maka jadinya nilai rapor anak diberi skor yang melebih skor rata-rata kelas.
Kita perlu mengapresiasi orang tua yang tidak memberi anak tekanan psikologis, mematok target yang tinggi pada anak, misal harus bisa meraih nilai 100 dalam ujian sains. Jadinya anak bukan termotivasi, malah setiap kali mau ujian anak sudah menjadi stress duluan. Penulis sering melihat anak yang menjadi down dan menangis saat ia tidak jadi juara atau nilai ujiannya jelek dan penulis berusaha untuk menenangkannya:
“Tidak perlu down apalagi meratap kalau tidak jadi juara karena nilai yang asli itu ada dalam fikiran dan pribadi ananda sendiri. Nilai pada rapor ini hanyalah nilai yang terbaca oleh guru dan sering juga dipengaruhi oleh subjektivitas sang guru. Lagi pula negara kita tidak membutuhkan anak-anak yang bermental lemah, tapi yang berpribadi tangguh”.
orang tua berlomba-lomba mencari sekolah berlabel buat anak ternyata juga ada orang tua yang memahami apa dan bagaimana anaknya dan eksistensi pendidikan itu sendiri. Cukup banyak anak disekolahkan ke sekolah berlabel “wahhhh” hanya untuk memenuhi ambisi orang tua. Orang tua bangga kalau anak bisa sekolah pada program akselerasi, orang tua bangga kalau anaknya yang masih berusia 4 tahun sudah bisa caslistung (membaca-menulis- berhitung) meski anak melaluinya dengan otak yang capek. Ada anak yang sekolah di program akselerasi karena ambisius orang tua, merasa muak melihat buku-buku. Bila lagi emosional ia membanting dan melemparkan buku-buku yang dianggapnya sebagai beban yang maha berat.
Dalam fenomena yang begini ada juga orang tua yang peduli dan memahami tentang hakekat pendidikan. Dia memasukan anaknya ke sekolah yang berbasis keseimbangan antara dunia dan akhirat, juga seimbang antara belajar, ekskul, kegiatan agama dan kegiatan sosial. Jadinya anaknya terlihat seperti anak-anak yang diharapkan oleh undang-undang yaitu yang cerdas namun juga peduli pada lingkungan dan sesama serta betaqwa pada Allah Swt.
Suatu ketika penulis bertanya pada seorang bapak, mengapa dia tidak menyekolahkan anaknya di sekolah berlabel unggul (?). Dan ia menjawab bahwa sekolah unggul itu juga bagus bagi anak-anak yang bisa mengikutinya. Dia malah khawatir kalau anaknya bersekolah di sana akan menjadi “ekor dari gajah”, maksudnya menempati peringkat buncit dengan pengalaman sukses yang amat minim, maka biarlah dia belajar di sekolah biasa-biasa saja namun bisa kepala seekor semut- mejadi orang yang berarti dan memperoleh pengalaman sukses di sana.
Dia menambahkan bahwa pada sekolah tertentu yang membuat program keunggulan otak semata, kurikulum sekolah tersebut mewajibkan bahwa untuk bisa lulus dan mendapatkan ijazah ; setiap siswa harus berhasil pada lima mata pelajaran pokok dengan nilai minimal 80 pada masing-masing mata pelajaran, yakni pada mata pelajaran Ujian Nasional. Sehingga semua anak terlihat pontang panting dalam belajar, di sekolah belajar dan sore belajar lagi dalam keadaan capek, malam hari diguyur lagi dengan seabrek PR sehingga mereka kehilangan hari-hari yang indah untuk bersosialisasi dan berinovasi.
Ini adalah sebuah kekeliruan dan kekacauan karena tidak semua anak bisa menyukai semua mata pelajaran. Karena ada anak yang kuat pada verbal, numeracy atau kinestetik. Anak yang tertarik dengan verbal tentu akan kehabisan nafas dalam menguasai mata pelajaran hitung-hitungan. Anak yang tertarik dengan kinestetik atau psikomotorik akan merasa terpenjaran dalam memenuhi target mata pelajaran “maha penting” yang tidak ia minati. Lucunya lagi bahwa siswa yang sempat menjadi atlit olah raga gara-gara terpaksa ikut bimbel menjadi lupa cara berlari dan cara menendang bola.
Beginilah jadinya anak-anak yang belajar hanya gara gara untuk memenuhi ambisi orang tua telah kehilangan kemampuan aslinya setelah keluar dari sekolah. Mereka tidak bisa lagi hidup sesuai dengan bakat alaminya yang seharusnya bisa tumbuh. Jadinya anak yang menonjol sebagai orator, ulama, budayawan, ahli musik, atletik/olah ragawan, sastrawan tidak begitu menonjol karena potensi untuk menumbuhkan mereka tidak lagi proporsional.
Sekali lagi, sesuai dengan judul artikel ini “tidak perlu memaksa anak untuk menguasai semua bidang studi karena bisa memicu anak jadi stress dan kehilangan kreatifitas”. Anak dari orang tua yang sempat penulis berbincang dengannya, hanya bersekolah pada sekolah biasa-biasa saja. Bukan sekolah unggulan itu tidak bagus namun tidak sesuai dengan konsep anaknya. Pada sekolah yang biasa, anaknya bisa memilih dua atau tiga mata pelajaran yang dia tekuni dan tidak merasa terbebani oleh ambisi orang tua untuk mengejar skor yang tinggi buat mata pelajaran yang lain.
Kebetulan anaknya tertarik dengan agama, olah raga dan bahasa asing. Jadinya anaknya bisa mengasah tiga kemampuan ini. Sekarang anaknya memiliki tubuh yang atletis, mampu berkomunikasi dan selalu mengenal tempat ibadah. Tamat dari SMA anaknya sudah tahu kemana menyambung dan bagaimana kelak karirnya setelah dewasa.
Seperti dikatakan oleh Menteri Pendidikan Anies Baswedan bahwa nilai yang tinggi hanya berguna untuk syarat kelulusan sementara untuk mencari kehidupan lebih banyak dipengaruhi oleh nilai leadership dan enterpreurship (kepemimpinan dan wirausaha). Selain itu kita dan anak kita juga perlu memupuk nilai-nilai yang lain seperti: religious, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/ komuniktif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung-jawab.
Fenomena dunia pendidikan kita bahwa para lulusan dari sekolah saat ini lebih banyak hanya menjadi pencari kerja dari pada pencipta lapangan kerja, betapa banyak para lulusan yang bekerja tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan yang digelutinya selama bertahun-tahun, sebuah pemborosan waktu, tenaga dan biaya. Betapa para lulusan sekolah tidak tahu akan dunia kerja yang akan dimasukinya, jangankan kemapuan keahlian, bahkan pengetahuan saja sangatlah pas-pasan, betapa hampir setiap siswa lanjutan atas dan perguruan tinggi jika ditanya apa kemampuan unggul mereka, hampir sebagian besar tidak mampu menjawab atau menjelaskannya.
Ini terjadi karena siswa kita miskin dari pengalaman sosial, pengalaman yang berhubungan denga afektif dan psikomotorik, gara- gara banyak dikurung oleh urusan kognitif semata. Sistem belajar yang hanya mengajari anak untuk menghafal bukan belajar dalam arti sesunguhnya. Sekali lagi bahwa setiap siswa dikondisikan untuk berlomba-lomba mencapai nilai yang tinggi dengan cara apapun tak perduli apakah si siswa terlihat setangah sekarat untuk mencapainya.
Terlihat jelas dalam kehidupan bahwa nilai pelajaran yang begitu dianggung-anggungkan oleh sekolah tersebut tidak berperan banyak dalam menentukan sukses hidup seseorang. Dan lucunya sebagian besar kita dapati anak yang dulu saat masih bersekolah memiliki nilai pas-pasan atau bahkan hancur, justru lebih banyak meraih sukses dikehidupan nyata. Nilai yang diperoleh siswa pada rapor hanyalah representasi dari kemampuan siswa dalam “menghapal” pelajaran dan “subjektifitas” guru yang memberi nilai tersebut terhadap siswanya.

Artikel ini memberi penekanan pada orang tua agar tidak memaksakan ambisiusnya terhadap anak untuk memperoleh nilai tertinggi pada semua mata pelajaran, karena berdampak membuat anak jadi sangat lelah. Namun orang tua harus selalu mendorongan agar anak-anak mereka selalu melakukan proses belajar yang berimbang antara akademik dan non akademik dalam bentuk “learning to think, learning to do, learning to be dan learning to live together”.Yakni suatu proses belajar yang sangat harmonis hingga akhirnya kita mampu  mendapatkan generasi yang mandiri, memiliki creative thinking, dan tahu dengan problem solving, sehingga keberadaanya signifikan bagi orang lain.

Campur Tangan Ayah Menentukan Kualitas Pribadi Anak

Campur Tangan Ayah Menentukan  Kualitas Pribadi Anak

            Sejak beberapa dasawarsa yang lalu menetap di kota telah menjadi pilihan hidup bagi. Proses urbanisasi terjadi sepanjang waktu, tidak terfokus hanya pada metropolitan, namun termasuk kota-kota kecil yang tersebar di nusantara ini. Penyebabnya adalah di kota lebih tersedia bervariasi jenis pekerjaan mulai dari sektor pekerjaan informal, non-formal dan formal. Mulai dari pekerjaan buruh kecil, usaha kecil-kecil, jadi PNS, pegawai BUMN hingga pekerjaan yang bergerak pada sektor bisnis skala besar. Jadinya demi pekerjaan mereka hijrah  meninggalkan tanah kelahiran mereka di desa.
            Sebagai tempat tinggal mereka memilih kompleks perumahan atau griya. Apa lagi dengan menjamurnya adanya bisnis properti, hingga mereka bisa memilih tempat tinggal sesuai dengan kekuatan ekonomi mereka. Mereka bisa memilih mulai dari bentuk perumnas sederhana, perumnas mewah hingga taraf kondominium yang berharga sangat mahal.
            Tulisan ini tidak akan membandingkan atau meninjau harga tempat tinggal tersebut. Namun ingin melihat karakter atau gaya manajemen rumah tangga mereka sebagai dampak hidup dalam suasana heterogen. Masyarakat di pedesaan hidup dalam suasana sosial homogen, kalau dalam komplek perumnas lebih bercorak heterogen- heterogen sederhana hingga heterogen yang lebih kompleks. 

            Masyarakat heterogen yang hidup di kompleks perumnas akan sangat menarik untuk diperbincangkan. Paling kurang tentang bentuk intervensi (campur tangan) orang tua atas anak-anak mereka. Bagaimana gaya kepemimpinan mereka dalam mendesain masa depan anak-anak mereka. Gaya kepemimpinan ini berdampak pada kualitas masa depan anak-anak mereka.
            Campur tangan seorang ayah, atau keberadaan seorang ayah, jelas akan memberi dampak pada anak-anak. Terutama pada anak laki-laki. Coba kita perhatikan fenomenanya, seorang kaki-laki yang suka ugal-ugalan di jalan raya. Ternyata ayahnya tidak terlalu banyak mengurus karakternya. Kecuali sang anak tumbuh lewat manajemen pembiaran atau hanya sebatas dilarang dan disuruh saja.
Bagaimana dengan anak laki-laki yang menjadi actor keributan di sekolah hingga suka tawuran dan membuat keributan sosial adalah dampak dari gagalnya manajemen seorang ayah pada keluarga. Penyebabnya sang ayah dan juga ibu tidak punya pengaruh atas anak-anak mereka. Mereka hanya sebatas orang tua biologis, namun bukan menjadi orang tua secara psikologis.
Ayah yang tidak begitu banyak memperlihatkan kepedulian pada anak laki-laki akan terefleksi pada karakter anak laki-laki, sang anak akan memilki nyali yang lemah. Intensitas kedekatan anak dan ayah berdampak pada kuat atau lemahnya nyali/ keberanian anak, juga berdampak pada visi hidup anak yang kurang tajam.
Orang tua yang tidak mengajarkan tentang pentingnya tanggung jawab membuat anak kurang memahami perannya dalam kehidupan sehingga mereka kurang memahami makna tanggung jawab. Jadinya lebih baik anak laki-laki hanya dibesarkan/ didik oleh seorang hidup namun memahami bagaimana memperdayakan potensi anak laki-lakinya.
            Tinggal dalam sebuah perumnas adalah ibarat hidup dalam sebuah laboratorium sosial. Memang benar bahwa kita ini ibarat hidup dalam labor. Dimana kita sebagai seorang ahli dan orang-orang diseputar kita adalah objek yang sangat menarik untuk disurvey- bagaimana perilaku dan gaya memimpin seorang ayah atas keluarganya.
            Pada sebuah perumnas kecil atau griya terdapat sekitar 30 kepala keluarga. Secara umum karakter pimpinan keluarga dapat dikelompokan atas 6 bentuk gaya manajemen. Gaya manajemen keluarga mereka adalah seperti: 1) otoriter absolute, 2) setengah demokrasi dan setengah otoriter, 3) manajemen berorientasi tugas, 4) laissez   faire atau masa bodoh, 5) Peran ibu lebih dominan, dan 6) manajemen banyak kerja tanpa banyak bicara- no talking work only. Pembahasannya sebagai berikut:
            1) Ayah dengan tipe otoriter absolute
Ayah dengan tipe ini memandang dirinya lebih tahu dan serba tahu. Semua kebijakan dan keputusan yang ia ambil adalah paling benar. Ini karena latar belakang ayah yang begini memilki kemampuan berkomunikasi yang lancar dan banyak pengalaman perjalanan tentang pahitnya hidup sewaktu muda. Namun kurang membaca dan juga tidak mengenal ilmu parenting- ilmu dan pengalaman dalam mendidik anak.
            Dia dan keluarganya mengadopsi pemisahan kerja yang jelas. Mencuci pakaian, mencuci piring, menyapu rumah, mensetrika hingga memasak adalah tugas rumah buat perempuan. Dia memiliki dua anak laki-laki. Sejak kecil kedua anak laki-laki ini tidak diperkenalkan untuk mengerjakan tugas-tugas perempuan, sementara itu kedua anak laki-lakinya juga tidak diberi tugas rumah sebagai latihan untuk memiliki rasa tanggung jawab.
            Sang ayah juga hampir jarang hadir di rumah untuk memberi model di rumah, jadinya anak laki-lakinya tumbuh tampa tahu tanggung jawab. Di rumah juga tidak ada percakapan bahwa pentingnya peran membaca dan belajar, apalagi anak mereka tidak memilki tempat atau kamar sendiri, karena kondisi ekonomi mereka yang cenderung berda pada batas garis sederhana. Namun di rumah yang kecil mereka menyala televisi sepanjang hari.
            Jadinya anak laki-laki mereka tidak mengenal tentang pentingnya peran belajar dan juga tidak tahu cara mengurus diri. Hingga ke dua anak laki-laki mereka mencapai usia remaja, semuanya dilayani atas kebutuhan makan, pakaian dan mereka tidak mampu membantu dan melayani diri mereka sendiri. Hasilnya anak-anak mereka kurang memilki pengalaman sukses. Sebaliknya malah penuh dengan pengalaman gagal, jadinya kedua anak laki-lakinya sering tinggal kelas dan malah salah seorang mengalami D.O (drop out) atau putus sekolah. Namun akhirnya menyesal menganggur dalam usia yang sangat belia sehingga sekarang berusaha untuk bisa lagi bersekolah.
            Anak laki-laki yang satu lagi, sebelumnya juga pernah tinggal kelas, namun akhirnya bisa menyelesaikan pendidikan SLTA-nya. Pada mulanya orang tuanya gembira karena dia memperoleh program undangan untuk bisa kuliah di perguruan tinggi. Namun hanya satu semester bisa bertahan, semua nilai mata kuliahnya menunjukan nilai jelek dan tidak memuaskan ? Apakah gara-gara sang anak termasuk kategori bodoh atau lemah daya serap ? Tentu saja tidak. Penyebabnya adalah gara-gara gaya hidup yang suka begadang dan hura-hura. Hampir semua tugas-tugas kuliah tidak diselesaikan dan gara-gara selalu begadang maka ia pergi kuliah dengan mata mengantuk dan akhirnya memilih menjadi mahasiswa drop-out.
            Kini kedua anak laki-lakinya mengalami drop-out. Penyebabnya cukup sederhana, yaitu sejak kecil tidak memperkenalkan pada anak rasa tanggung jawab, hidup yang disiplin, dan juga miskinnya komunikasi dan pesan-pesan tentang betapa pentingnya arti dari ilmu pengetahuan.
            2) Ayah yang setengah demokrasi
Pola kepemimpinan ayah yang begini berarti juga setengah otoriter. Kebetulan ayah yang bergaya begini memilki kemampuan berkomunikasi yang bagus. Dengan demikian ia mampu berperan demokrasi dalam setiap percakan. Benar atau salah sebuah ide bukan mutlak keputusan ayah semata. Namun kadang sang ayah juga suka memaksakan konsep dan memaksakan kehendak.    
            Ayah ini suka memaksakan kehendak, mungkin karena khawatir cukup banyak pada anak wanitanya. Tidak pernah mengizinkan anaknya untuk memilih tempat kuliah di tempat yang jauh. Itu betul juga bahwa kepedulian dan khawatir atas keselamatan anak wanita lebih banyak. Biar menutut ilmu di tempat yang dekat saja, karena kesuksesan dalam studi, lebih ditentukan oleh faktor kualitas pribadi manusianya, bukan ditentukan oleh faktor tempat kuliah semata.
            3) Ayah yang manajemen berorientasi pada tugas
Ayah yang bertipe begini kebetulan tidak begitu jago dalam ngomong. Gaya berkomunikasinya adalah instruksional, ya banyak bersifat memerintah atau menyuruh.jarang sekali berbahasa yang interaktif. Namun anak- anaknya cukup berprestasi. Begitu ditanya tentang sukses sekolah dan pendidikan anak-anaknya adalah karena mereka sejak kecil diperkenalkan akan tanggung jawab.
            Rumah tangganya mengenal job description- atau pembagian tanggung jawab. Tidak ada istilah pemisahan bentuk pekerjaan. Anak laki- laki biasa saja mencuci piring, menstrika, menyapu rumah hingga memasak. Pokoknya tanggung jawab mengelola rumah adalah bersama. Jadinya sang anak merasa punya tanggung jawab di rumah dan juga bertanggung jawab atas diri mereka sendiri.
            4) Ayah yang manajemen bersifat laissez-faire
Ayah yang bertipe begini berarti biarkan saja atau masa bodoh. Ayah bertipe seperti ini kebetulan penulis temukan memiliki latar belakang rumah yang konvensional dimana rumahnya tidak mengenal budaya membaca- tidak ada surat kabar, apalagi buku-buku. Kecuali di rumang tamu menyala televisi untuk menebarkan hiburan sepanjang waktu.
            Sang ayah juga belum memberi contoh bagaimana membangun hidup yang berkualitas, agaknya juga jarang percakapan keluarga yang membahas cita-cita. Yang jelas hidup ini terserah anak-anak yang penting tetap pada koridor sebagai anak yang baik. Jadinya apakah orang tua juga anak-anak memilki aspirasi yang rendah, masa depan atau cita-cita yang kabur dan juga tidak mengenal budaya kerja keras dan belajar serius.
            Akhirnya setelah tamat dari SLTA anak-anaknya jadi bingung untuk melangkah kemana. Andai nilai yang tinggi tidak begitu urgen dalam mencari pekerjaan dibandingkan dengan keberanian untuk mengambil keputusan. Maka sang anak juga belum tidak memiliki keberanian. Ini adalah efek dari pemberian pengalaman sukses yang sangat kurang pada anak saat mereka dalam usia eksolorasi- yaitu usia anak anak dan usia remaja.
            5) Ayah yang didominasi oleh ibu.
Ayah yang wibawanya didominasi oleh ibu secara berlebihan memberi dampak pada nyali atau keberanian anak laki-laki yang kurang optimal. Bagi anak laki-laki sosok ayah merupakan sumber inspirasi dan tokoh pertama yang ditiru. Ayah yang tunduk pada dominasi ibu akan bingung bagaimana untuki menjadi sosok pribadi pria yang ideal, paling kurang karakter kepemimpinan, mengambil inisiatif (mengambil keputusan) dan kemandiriannya juga kurang.
            Sebaliknya anak perempuan yang memiliki ibu yang karakter dominan juga akan menjadi wanita yang kelak juga akan mendominasi kaum pria (tentu saja tidak semuanya demikian) paling kurang akan lebih agresif dan akan kesulitan buat menemui laki-laki yang perfek dalam pandangannya. Bahwa tentu saja orang yang betul-betul perfek, karena perfek itu pada hakekatnya diproleh melalui proses. Jadinya keluarga yang manajemen keluarga didominasi oleh ibu akan memiliki anak-anak yang kebingungan dalam mencari jati diri. Keluarga ini memiliki 5 orang anak perempuan yang sudah remaja dan dewasa namun belum ada yang memilki kekasih, masih jomblo, karena sulit menemukan pria yang sesuai dengan npersepsinya dan begitu pula dengan anak laki-lakinya yang sudah dewasa juga bingung untuk mendapatkan wanita karena nyalinya kecil.
            6) Ayah yang hanya peduli dengan kerja
Ayah yang bertipe begini cukup banyak. Rumah mereka tidak diterangi oleh buku-buku atau ilmu pengetahuan. Ayah hanya peduli dengan kerja. Jadinya anak-anak mereka umumnya kurang berhasil dalam akademis, malah banyak yang bermasalah dengan mata pelajaran. Ujung-ujungnya adalah mereka menyumbang angka drop out. Namun kemudian mereka belajar dari alam, langsung berlatih dalam bengkel, dalam tokoh, dalam lapangan. Inilah bentuk real dari belajar pada universitas kehidupan. 
Dari 6 gambaran karakter manajemen ayah terhadap keluarga mereka bisa mewakili karakter masyarakat kita yang lebih luas. Kita bisa belajar dari pengalaman mereka untuk mengadopsi manajemen yang terbaik buat kita dan keluarga kita.         

Menjadi Orang Yang Berfikiran Realita, Bukan Pemimpi

Menjadi Orang Yang Berfikiran Realita, Bukan Pemimpi

            Tidak saja Indonesia yang menggunakan sekolah berlabel unggul untuk meningkatkan kualitas pendidikan, Amerika Serikat yang pendidikannya sudah dapat dikategorikan sangat baik juga mempelopori sekolah unggulan. Meskipun negara ini tidak menggunakan label yang kentara dengan sebutan “school plus” atau “excellent school”. Walau bagaimana gebrakan Amerika, ia selalu menjadi kiblat bagi negara berkembang, termasuk negara kita yang juga sering mengadopsi program sekolah Amerika.
            Gaya pendidikan atau pembelajaran kita, kadang kala, terasa masih bercorak gaya tempo dulu. Orang tua dan guru masih suka banyak melarang yang tidak jelas manfaatnya. Kebiasaan banyak melarang malah membuat anak menjadi sulit untuk mengambil inisiatif atau prakarsa, miskin inovasi dan kreatifitas. Kalau kita gagap  untuk melakukan prakarsa (inisiatif) dalam suatu aktifitas dan mengambil keputusan, suka menunggu dan senang untuk diatur oleh orang lain, maka ini adalah buah dari hidup dalam rumah dan sekolah yang membudayakan “suka melarang”.

Maka kini saatnya perlu perubahan. Dalam pendidikan tidak tepat lagi kalau terlalu banyak melarang dan mengatur, namun memberi kebebasan positif. Bagaimana pembelajaran yang ideal ? Kita bisa mencari contoh dari sekolah yang maju dari dalam negeri atau dari luar negeri, Amerika misalnya. Bukan berarti kita berkarakter ke-barat-baratan.
Salah satu pusat belajar unggulan di Amerika Serikat, yaitu metropolitan learning center interdistrict magnet school for global and international studies (http://www.mlc.crec.org), yang kebijakan pendidikan membuat sekolah punya magnet/ daya tarik untuk studi global dan internasional.  Stakeholder pendidikan menjanjikan kecerdasan pada siswa untuk menghadapi masa depan yang maju. Prinsip pengajaran yang dianut oleh pusat belajar ini adalah:
Let them talk, let them lead, let them learn, let them join, let them play, let them live, let them dance/ move, in the break time- let them eat”.
Dari semua frase tadi, yang perlu dicatat adalah kata “let” atau “biarkan”. Yaitu biarkan mereka ngobrol, biarkan mereka saling membimbing, biarkan mereka aktif belajar, biarkan mmereka bergabung dengan ekskul, biarkan mereka bermain, biarkan mereka hidup, biarkan mereka menari saat senggang, dan biarkan mereka makan bersama. Ini berarti sebuah kata untuk pembebasan dan mendorong mereka untuk menjadi kreatif dan inovatif, serta kontra dengan kemalasan dan suasana yang statis.
            Teman penulis, Arjus Putra- guru Bahasa Inggris SMA Negeri 3 Batusangkar, Sumatera Barat, pernah berkunjung ke sekolah MLC (Metropolitan Learning Center) yang berlokasi di 1551 Blue Hills Avenue Bloomfield. Ia menceritakan tentang ciri- ciri keunggulan sekolah Amerika Serikat ini, terutama dalam pembelajaran  di sekolah, yaitu  dalam bentuk adanya kebebasan dalam berekspresi atau let them talk.
Di negara- negara berkembang atau di sekolah yang kualitas pendidikannya rendah, kebebasan dalam berekspresi kurang terwujud, malah ekspresi anak didik disana cendrung terbelenggu, kurang tampak saluran untuk mengekspresikannya. Dalam kelas hanya guru yang sibuk berbicara- teacher centered. Dalam event-event sekolah anak didik hanya pintar berekspresi berdasarkan hafalan, dan melupakannya setelah itu.
Kepemimpinan di sekolah unggulan MLC ini bukan bercirikan “one man show” dalam arti hanya monopoli atau otoriter seorang kepala sekolah. Namun kesuksesan kepemimpinan sekolah unggulan ini adalah karena team work antara Kepla Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Eksistensi Staff sekolah, juga eksistensi dari ketua jurusan untuk mata pelajaran . Team work kepemimpinan dan manajemen sekolah selalu memotivasi, memberi model dan menemani warga sekolah/  anak didik untuk merencanakan masa depan. Bukankah hidup ini perlu ambisi atau cita-cita, maka setiap anak didik harus punya ambisi.
Cinta belajar adalah budaya utama di sekolah MLC yang telah membuat sekolah tersebut memiliki daya tarik ibarat magnet atau magnet school. Di sekolah sekolah yang kualitasnya sering dipertanyakan (kualitas rendah) yang menjadi ciri khas atau budaya adalah warga sekolah yang gemar hura hura atau kongkow, duduk bareng bareng dan tertawa terbahak bahak. Saling meledek, saling meremehkan berpotensi membuat orang (anggota mereka sendiri) untuk malas berkembang.
Anak didik yang telah membudayakan gemar belajar selalu berfikir dan berusaha bagaimana mereka bisa sukses. Mereka sangat yakin dengan ungkapan bahwa pendidikan dan ilmu pengetahuan  adalah berkah yang bisa datang kalau digapai dan dikejar.”Belajar ketika belajar dan bermainlah ketika bermain”. Siswa di sekolah MLC tampak sangat professional dalam belajar- jadi juga ada “siswa professional”. Begitu waktu untuk belajar datang maka mereka segera serius dan berkosentrasi dan berharap tidak ada yang mengganggu, “Maaf teman saat saya belajar mohon jangan datang dulu”.
Sekolah SMA di negeri kita mengenal ada tiga jurusan yaitu jurusan IPA (sains), jurusan IPS (Ilmu Sosial) dan jurusan Bahasa. Maka entah mengapa orang tua siswa dan siswa sendiri sangat mengagungkan jurusan IPA dan memandang sebelah mata jurusan bahasa, dan jurusan IPS sebagai jurusan kelas dua. Di sekolah MLC (metropolitan learning center) juga ada penjurusan. Ada siswa yang belajar di SMA MLC ini pada core class (Kelas Inti), elective class (kelas elektif) dan essential class (kelas Esensial). Semua jurusan ini terisi oleh anak didik, ini berarti tidak ada primadona kelas atau jurusan fovarite  seperti SMA- SMA yang ada di negeri kita.
Mata pelajaran pokok pada core class adalah matematika, ilmu sosial, bahasa Inggris, bahasa asing dan sains. Di jurusan atau elective class, siswa mempelajari mata pelajaran “seni, sejarah dunia, geografi manusia, bahasa Spanyol, sastra dan kalkulus, akuntasi, anatomi dan ilmu jaringan, fitness dan ilmu gizi. Sedangkan di kelas essensial, anak didik mempelajari seni, kesejahteraan personal, literature keuangan, musik, latihan sains, bahasa dunia, dan seminar. Setiap siswa memahami bagaimana menjadi orang yang well-rounded (orang berguna) adalah dengan menjadi well-educated (orang yang kaya ilmu dan wawasan).
Mata pelajaran yang diajarkan pada ketiga jurusan tadi ibarat lingkaran yang saling bersinggungan. Mata pelajaran pokok yang ada pada core class juga dipelajari di jurusan lain. Selanjutnya coba kita lihat mata pelajaran dalam  juruan di SMA di negerim kita. Ya,  ibarat tiga linggaran yang hampir tidak bersinggungan.
 ”Gara gara dilemparkan ke dalam jurusan ilmu sosial, maka ada siswa yang bermohon nilai mata pelajaranya diturunkan saja agar tidak melampaui nilai mata pelajaran sains”
Anak anak yang lulusan dari jurusan IPA, saat kuliah akan melahap semua jurusan yang semestinya disediakan untuk jurusan ilmu sosial atau ilmu bahasa. Penjurusan di SMA telah menciptakan siswa yang berkarakter arrogant, atau arrogant berjamaah- mass arrogant, mereka  sangat membanggakan jurusan IPA dan secara tidak langsung jurusan sosial dan bahasa menjadi inferior.
Ciri-ciri lain dari sekolah unggulan, atau sekolah yang berkualitas adalah para siswa yang sangat bangga dan menghargai guru-guru mereka. Tentu saja ini terjadi karena guru guru di sana sangat professional, menguasai mata pelajaran dan hangat dalam berkomunikasi. Hubungan guru dan murid di sana bercirikan kekeluargaan. Siswa atau murid dengan leluasa mengekspresikan isi hati dan fikiran pada guru mereka dan tentu saja sang guru akan memberikan respon positif, appresiati atau penghargaan dalam berinteraksi.
Kalau begitu tentu tidak ada disana guru-guru yang kualitasnya bersifat karbitan atau guru-guru yang ilmunya  tua semalam dari siswa. Guru guru disana telah memandang karir guru sebagai profesi serius. Guru guru di sana tidak mengenal budaya minta dilayani.
”Tolong hapuskan papan tulis, tolong isikan tinta board maker ini, tolong pasangkan kabel OHP (overheard projector), tolong ambilkan ambilkan air minum di kantin, apalagi sampaii menyuruh siswa membelikan rokok”.
Guru disana penuh persiapan dan menguasai apa saja yang berhubungan dengan pembelajaran dan mata pelajaran. Mereka tentu malu kalau ternyata tampil di depan siswa sebagai guru yang blo-on.
Selain memperhatikan kompetence, punya wawsan keilmuan, paedagogi, sosial dan komunikasi, mereka juga memperhatikan performance atau penampilan. Pakaian mereka necis dan rapi, kalau begitu guru guru juga perlu well-groomed, berdandan rapi dan baik, tapi tidak perlu seperti model, bintang sinetron atau toko-mas berjalan.
Ciri lain dalam pembelajaran di sekolah yang maju adalah let them teach, yaitu guru- guru yang bebas berinovasi dan berkreasi dalam mengajar. Mereka tak perlu takut bakal disupervisi, karena supervisi disana tidak mencari kesalahan apalagi sampai menggurui dan mendikte. Di sana tidak berlaku istilah juara kelas, yang ada adalah juara mata pelajaran. Bagi siswa yang jago dalam satu mata pelajaran maka guru dan sekolah segera bereaksi untuk memberikan penghagaan dan merayakan kemenangan dan sekaligus memotivasi siwa yang lain agar juga bisa meraih penghargaan.
Budaya kuper atau ”kurang pergaulan” ternyata bukan budaya siswa di sekolah unggulan atau di negara maju. Untuk itu mereka megenal istilah ”let them join” atau ayo bergabung. Mereka mungkin bergabung ke dalam paduan suara, musik, olah raga, teknologi dan kegiatan ekstra sekolah yang lain. Tentu saja ada guru pendamping untuk memberi motivasi dan mendukung spirit mereka.
Experience is the best teacher- pengalaman adalah guru yang terbaik. Sekolah MLC juga menyediakan kegiata eksra seperti kelompok olah raga catur, kelompok pencinta alam, music production, penggunaan ICT, essay writing, basket ball dan football, sewing atau menjahit, kegiatan koran sekolah, kelompok dansa atau tari, pelatihan kepemimpinan. Ternyata jenis ektra sekolah hanya berlaku untuk satu semester dalam setahun. Untuk semester berikutnya ada lagi kegiatan ekskul (ekstra kurikuler) seperti pembahasan atau kritik film, klub bahasa Perancis, kritik film asing, basketball dan softball, musik, drama, tari, belajar bahasa Cina dan Jepang, kepemimpinan, dan pencinta alam.
Ternyata anak anak di negara maju tidak membudayakan menjadi “anak rumahan”, yaitu bila libur mereka hanya di rumah, karena ini berpotensi membat diri kurang kreatif dan pendidikan kecakapan hidup (life skill) kurang optimal.  Saat waktu senggang dari sekolah, mereka tidak kongkow-kongkow, main domino, atau bengong dan bermenung sampai berjam-jam. Mereka akan ikut aktif dalam pengembangan bakat seperti masuk grup seni, klub- olahraga ski atau klub robot, pokoknya ikut beraktifitas. Dalam melakukan aktifitas dan belajar, mereka memperlihatkan keseriusan dan tanggung jawab serta datang tepat waktu.
Hal-hal yang dilakukan siswa di sekolah MLC tiap hari, sebagai komitmen mereka,  adalah mematikan bunyi-bunyian (HP dan MP3) saat belajar, akrab dalam bersahabat, berhenti ngobrol saat belajar, tidak bercanda saat belajar, mendengar pembelajaran dengan sepenuh hati, sign in dan sign out, atau  ada absent masuk dan absent mengakhiri kegiatan, membuat tekat atau pledge “untuk menjadi yang terbaik” dan ikut aktif atau berpatisipasi dalam belajar/ kegiatan.
Kegiatan atau event yang ada di sekolah unggulan adalah bahwa siswa harus peduli pada karir di masa depan. Maka bila ada pekan raya karir, career fair, mereka ikut hadir. Mereka memandang penting untuk bergabung dalam kegiatan kepemimpinan, kegiatan, amal sosial, seni dan olah raga. Hal yang paling mereka tunggu adalah memperoleh pengalaman dari global travel, mengunjungi negara lain seperti, Mesir, Jepang, China, dan negara lain. Tentu saja hal ini terasa sangat mahal dan ekslusif bagi kondisi siswa kita. Namun kita kan juga sudah membudayakan acara jalan-jalan- stydy tour, walau kesannya baru sebatas mengunjungi shopping center dan pusat keramaian. 

Terakhir bahwa yang juga dibudayakan di sekolah unggulan adalah membuat album dan memori. Sungguh para siswa di sekolah yang berbudaya maju menyebut diri sebagai “realtor”, orang yang berfikiran realita dan bukan selalu menjadi dreamer atau pemimpi. Maka sejak di bangku SMP dan SMA mereka sudah punya rencana, bukan seperti kita yang banyak bingung memandang masa depan, dan ikut terjebak mengidolakan satu karir, dan satu universitas, tanpa memahami dan mengenal potensi diri. Sering banyak ditanya ”Tamat SMA kamu kuliah dimana ? dan kalau udah gede apa yang dapat kamu kerjakan ?”. Maka jawaban yang diperoleh adalah jawaban klasik ”I don’t know”. Kini saatnya siswa kita tidak menjadi seorang pemimpi tapi berubah menjadi orang yang berfikiran realita.

Meledakan Pertumbuhan Kecerdasan Anak

Meledakan Pertumbuhan Kecerdasan Anak

            Tumbuh-kembang seorang anak sebetulnya dapat dilihat dari berbagai sisi, yaitu sisi kognitif (perkembang otak), psikomotorik (keterampilan atau gerak) dan afektif. Seorang anak itu sendiri juga bisa dilihat dari unsur biologis, psikologis, spiritual, dan sosial. Seorang anak berada dalam masa keemasan atau “golden age” yang pertumbuhannya begitu dasak dalam bentuk ledakan yang hebat.
Ide ini mungkin sulit untuk dipahami. Namun mari kita telusuri kembali pada awal-awal masa pertumbuhannya. Di awal masa kelahirannya, seorang bayi terlahir dengan berat 3 kg. kemudian pertumbuhan berat badannya berturut turut adalah 65 %, 60%, 50%, 40 % dan terus mencapai angka 10 %, 5% hingga mencapai angka pertumbuhan yang stabil setelah proses pertumbuhan dalam ledakan besar itu berakhir.
Tentu saja pertumbuhan biologis (tubuh) anak dalam ledakan yang hebat terjadi bagi anak yang mengkonsumsi asupakan gisi secara normal dan sempurna. Hingga pertumbuhan anak berakhir setelah terjadi osifikasi atau pengerasan tulang di akhir masa remaja mereka.

Penambahan berat badan bayi dengan asupan gizi yang sempurna terjadi setiap minggu dan bisa diukur setiap bulan. Penambahan dari tumbuhnya ukuran tubuh, dalam bentuk ledakan terus terjadi selama masa anak-anak dan berakhir dalam masa remaja. Yang mana hitungan pertumbuhannya terlihat setiap tahun.
Otak adalah organ yang betanggung jawab untuk membuat seorang bayi atau anak menjadi cerdas. Ledakan kecerdasan juga terjadi dalam usia anak-anak. Dimana ditandai dengan pertumbuhan lingkaran kepala dalam ukuran millimeter setiap minggu dalam tahun pertama dan kedua dari kehidupannya. Setelah pertumbuhan otak sempurnamaka selanjutnya yang terlihat adalah pertumbuhan kecerdasan anak.
Dalam buku David Hull (1985) dalam buku “The Macmillan Guide to Child Care” menggambarkan tentang ledakan pertumbuhan kecerdasan anak dari segi personal dan sosial, keterampilan berbahasa, gerak halus dan gerak kasar. Ledakan kecerdasan terjadi dalam masa 2 tahun (masa bayi), dimana ledakan terhebat adalah dalam tahun pertama. Ledakan-ledakan kecerdasan mencapai perkembangan dasar hingga mereka berusia 5 tahun.
Perkembangan personal dan sosialnya dari mampu tersenyum karena digoda hingga mampu memakai baju sendirian dalam waktu singkat. Pertumbuhan kemampuan bahasa dimulai dari seonggok bayi merah, yang hanya mampu menangis, kemudian mampuan melambaikan tangan hingga mampu ngobrol dalam kalimat yang sempurna dalam waktu 4 tahun. Sedangkan kemampuan motoriknya, dimulai dari mampu memegang tangan, menjangkau permainan hingga mampu melukis kepala manusia pada usia 4 tahun.
Betapa ledakan kecerdasan terjadi dimana- mana dan juga bagi anak-anak kita. Ledakan kecerdasan yang dahsyat dalam masa 4 atau 5 tahun pertama kehidupan mereka merupakan bentuk kecerdasan dasar- basic intelligent- dimana selanjutnya kecerdasan mereka siap buat dikembangkan. Mereka sudah memiliki kecerdasan dasar yang hebat yang siap buat untuk diledakan untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang maksimal. Namun bagaimana respon lingkungannya, termasuk guru dan orang tuanya ?
Orang tua yang peduli dengan pertumbuhan dan perkembangan anak akan memperdalam tentang ilmu parenting mereka. Anak- anak bisa maju terutama karena memperoleh pengasuhan dari orang tua yang berkualitas. Pada umumnya bangsa-bangsa yang memilki SDM yang bagus adalah karena mampu mengoptimalkan ledakan kecerdasan anak-anak mereka. Kita agaknyaperlu belajar dari rahasia manajemen mendidik anak atau parenting management  mereka.
Di dunia ini sangat banyak negara-negara yang memiliki orang tua yang hebat dalam mendidik anak dan juga ada orang tua yang hebat dalam mendidik anak di negara kita. Ya anak-anak bisa  menjadi maju, sekali lagi, adalah  karena orang tua mereka sangat memahami konsep parenting- yaitu peran orang tua yang bertanggung jawab dalam mendidik dan membesarkan mereka (anak-anak).
Mari kita pahami bagaimana parenting mereka. Misalnya, kita pilih saja parenting dari4 negara maju saja. Yaitu negara yang  yang terkenal  hebat  dalam mendidik anak. Negara tersebut adalah  Perancis, Cina, Amerika dan Jepang. Orang tua di negara-negara tersebut adalah orang tua yang ideal dan kita patut belajar dari bentuk parenting mereka.
1).Orang Tua Perancis
Penulis merasa beruntung bisa berkenalan dengan tiga orang Perancis, Louis Deharveng, Anne Bedos dan Francoisse Brouquisse. Mereka telah menjadi teman penulis sejak tahun 1993 sampai sekarang (2012). Mereka sering mengunjungi (berlibur) ke tempat penulis secara teratur di Batusangkar. Tentu saja penulis punya kesempatan untuk saling bertukar fikiran dengan mereka. Itu membuat penulis mengenal negara Perancis dan budaya negara mereka lebih mendalam. Penulis jadi tahu mengapa Perancis menjadi salah satu negara terhebat di Eropa dan juga di dunia. Itu semua karena masyarakat Perancis dibesarkan dan didik oleh orang tua yang sasngat hebat dalam mendidik keluarga mereka.
Apakah orang Perancis bersikap lebih baik ? Penulis pernah berbincang-bincang dengan orang Perancis. Penulis dan juga tetangga berkesimpulan bahwa ‘Orang Perancis bersikap lebih baik”. Teman-teman penulis orang Perancis tersebut bukan orang timur namun mereka berbicara sangat sopan dan juga makan dan minum tanpa mubazir. Cara mereka makan sangat sesuai dengan ajaran Islam, makan tanpa menyisakan makanan.
Salah seorang famili keluarga kami menikah dengan wanita Perancis dimana penulis bisa mengamati bagaimana mereka mendidik dan membesarkan anak mereka. Penulis melihat bahwa keluarga Prancis  tidak repot/ bising pada waktu makan kita. Mereka tampak seperti  sedang berlibur- ya terlihat rileks saja. Anak balita mereka bisa duduk tenang di kursi, menunggu makanan. Tidak ada jeritan atau juga tidak merengek. Penulis juga mencari karakter keluarga Perancis dan benar bahwa itu adalah karakter rata-rata.
Penulis sering melihat anak kecil yang mudah marah  pada waktu makan dan anak-anak Perancis jarang bersikap demikian.  Bila anak mereka rewel maka orang tua mereka tidak bersikap angresif dalam menenangkan anak mereka, kecuali mereka selalu bersikap tenang atau rileks saja. Pelajaran dari keluarga Perancis, bahwa  orang tua Perancis  memperkenalkan pelajaran cara “bersopan santun” dalam hidup kepada anak-anak  mereka sebagai berikut:
a) Anak-anak harus mengatakan halo, selamat tinggal, terima kasih dan minta pamit. Ungkapan ini membantu mereka dalam bergaul dan sekaligus membuat pribadi mereka disenangi.
b) Ketika anak-anak menunjukan karakter nakal, maka orang tua memberi mereka   peringatan dengan cara "Membelalakan mata"- sebagai isyarat teguran, tanpa harus mengomel atau membentak.
c) Orang tua Perancis  mengingatkan pada anak bahwa “siapa yang bos/ pimpinan”.  Orang tua Prancis mengatakan, "Ini saya yang memutuskan", maksudnya agar anak    mampu bertanggungjawab dan mengambil keputusan.
d) Jangan takut untuk mengatakan "tidak." Dan anak-anak harus belajar bagaimana    mengatasi frustrasi.
Mengapa  anak-anak Prancis tidak terbiasa melempar makanan? Dan mengapa orang tua mereka tidak suka berteriak atau menghardik ? itu sudah menjadi karakter positif mereka. Orang tua Prancis juga  tidak sempurna, namun mereka memiliki kebiasaan  yang bagus dan benar-benar mereka laksanakan. Mereka  bersemangat kalau berbicara dengan anak-anak, tidak asal-asalan dalam menjawab pertanyaan anak. Mereka mengajak anak melakukan eksplorasi- memperkenalkan alam pada anak- mengajak mereka ke luar rumah dan juga  membacakan banyak buku- untuk memperkenalkan bacaan pada anak. Mereka juga membawa  anak untuk belajar tenis, kursus melukisan dan ke museum ilmu pengetahuan interaktif.
Orang tua Perancis selalu melibatkan diri dalam keluarga. Mereka menganggap bahwa orang tua yang baik perlu menyediakan waktu buat anak. "Bagi saya, malam hari adalah waktu buat bersama keluarga/ anak. Orang tua Perancis sering memberi anak stimulus (rangsangan untuk berbuat positif) dan selalu ingin anak mereka menerapkan disiplin.
Bagaimana mereka mendidik anak ? Ya tentu saja melalui disiplin. Namun kata disiplin tidak berhubungan dengan hukuman- sebagai pengertian yang sempit. Kalau ada kesalahan langsung membentak anak- bukan demikian. Orang tua Perancis tidak buru-buru  menjemput anak yang menangis namun mendorong mereka untuk menenangkan diri sendiri.  Ketika anak-anak mencoba untuk mengganggu pembicaraan, ibu berkata, "Tunggu  sebentar ya sayang, ibu tengah berbicara..!!" Kata sang ibu dengan sopan dan sangat tegas pada anak.
Ibu atau ayah Perancis juga mengajar anak-anak mereka bagaimana : belajar bermain sendiri. "Yang paling penting adalah bahwa ia belajar untuk menjadi bahagia dengan dirinya sendiri, "Orang tua Perancis mempercayakan anak-anak untuk cukup banyak kebebasan dan otonomi/ kemandirian.  Menyediakan makanan buat diri sendiri, menyediakan pakaian buat diri sendiri- jadi dari usia kecil tidak diajar bermanja atau serba dibantu. Ya bagaimana kelak anak bisa sukses dalam hidup kalau mereka sepanjang hidup terbiasa banyak dibantu.
2).Orang Tua Cina
Dimana-mana di dunia orang Cina terkenal sebagai orang yang berhasil. Dapat dikatakan bahwa majunya negara Singapura adalah juga karena pengaruh orang-orang keturunan Cina. Ekonomi Indonesia juga dipengaruhi oleh sebagian orang-orang keturunan Cina. Dari media masa kita dapat ketahui bahwa orang-orang Canada dan Amerika Serikat keturunan Cina juga termasuk orang-orang yang berpengaruh di sana.
 Kita bertanya-tanya bagaimana orang tua Cina dalam  membesarkan anak-anak mereka hingga  sukses. Kita bertanya-tanya   apa yang dilakukan orang tua hingga menghasilkan anak yang jago dalam  matematika, musik, ICT dan perlombaan sains. Amy Chua (2011) seorang penulis tentang parenting mengungkapkan beberapa hal yang tidak pernah diizinkan oleh orang tua Cina pada anak-anak mereka:
a) Menginap atau bermalam di rumah seseorang.
b) Hura-hura atau buang-buang waktu.
c) Mengeluh.
d) Menonton TV atau bermain game computer
e) Memperoleh skor nilai yang rendah.
f) Tidak menjadi siswa/ mahasiswa yang terjelek.
Ibu-ibu di negara Cina mengatakan bahwa mereka percaya anak-anak mereka bisa menjadi siswa "yang terbaik", bahwa "prestasi akademik mencerminkan orang tua yang sukses," dan bahwa jika anak-anak tidak berprestasi di sekolah berarti ada "masalah" dan itu berarti orang tua sang anak  "tidak melakukan pekerjaan mendidik dengan baik’.
Orang tua Cina menuntut nilai sempurna karena mereka percaya bahwa anak mereka bisa mendapatkannya. Jika anak mereka tidak mendapatkan maka ibu Cina menganggap itu karena si anak tidak bekerja/ belajar cukup keras. Maka solusi atas kondisi tersebut “anak perlu dikritik atau dipermalukan”. Bukan hanya sekedar mempermalukan anak namun orang tua berlepas tangan dalam hal mendidik.
Orang tua Cina percaya bahwa anak-anak mereka berutang kepada mereka semuanya karena mereka telah berkorban dan berbuat banyak bagi anak-anak mereka. Dan memang benar bahwa ibu Cina  menyediakan waktu yang sangat melelahkan agar anak bisa mengikuti les privat, pelatihan, menginterogasi dan memata-matai anak-anak mereka. Maka pemahamannya adalah bahwa anak-anak Cina harus menghabiskan hidup mereka dan mentaati mereka dan membuat mereka bangga.
Orang tua Cina percaya bahwa mereka tahu apa yang terbaik untuk anak-anak mereka dan karena itu  mereka mengesampingkan semua keinginan anak-anak yang belum logika. Itu sebabnya putri Cina belum dapat memiliki pacar saat di bangku SMA  dan mengapa anak-anak Cina tidak bisa pergi hura-hura.
3). Orang Tua Amerika
Suatu hari penulis berkenalan dengan Dr. Jerry Drawhorn. Dari Jerry penulis mengetahui beberapa kebiasaan dan budaya orang amerika. Sebagai seorang arkeolog ia pernah berbicara tentang kecerdasan. Ada banyak orang Amerika yang begitu pintar dan kepintaran mereka adalah sebagai kontribusi dari orang tua mereka. Penulis kemudian mencari tahu bahwa dari beberapa kelompok etnik yang ada di Amerika maka etnik Yahudi termasuk unggul dalam mendidik keluarga mereka.
Etnik Yahudi Amerika telah lama dikagumi oleh banyak orang di Amerika karena kemampuan mereka dalam menghasilkan anak-anak yang berkembang secara akademis. Mereka punya budaya “guilty” atau merasa bersalah kalau tidak berhasil dalam hidup dan ini punya dampak dalam menciptakan keberhasilan mereka.
Rasa bersalah (guilty) adalah bentuk emosi yang memberi rasa rumit dalam fikiran. Orang tua Yahudi merasa bersalah kalau keluarga mereka gagal atau kurang berhasil dalam berbuat. Gambarannya bisadalam bentuk ungkapan:
I am ashamed if I am not success, my parent will be embarrassed if I am fail, our people will be forgotten if we have very poor score, etc
Rasa bersalah ini merupakan dorongan yang kuat dalam melindungi dan juga dalam menyempurnakan mutu kehidupan diri dan kehidupan keluarga. Agar hasil kegiatan mereka bisa sempurna maka mereka tidak mau berbuat asal-asalan, mereka berbuat lebih profesional. Rasa bersalah telah mendorong semua orang Yahudi untuk berbuat secara serius dalam berbagai bidang kehidupan sehingga mereka menjadi bangsa yang berkualitas.
Orang tua Yahudi juga menularkan rasa bersalah pada anak mereka, sehingga dalam belajar bila mereka tidak memperoleh hasil yang belum maksimal maka akan timbul rasa guilty atau rasa bersalah. Selanjutnya rasa bersalah menjadi pendorong untuk berbuat lebih berkualitas. Jadi bagaimana anak-anak Yahudi memperoleh skor akademik yang tinggi dan juga untuk mendapatkan perhatian dari perguruan tinggi terbaik? Tentu saja adanya dorongan yang kuat dari dalam hati, bila tidak bisa maka mereka akan mengalami rasa bersalah (guilty) yang mendalam.
4) Orang Tua Jepang
Bagaima dengan kualitas karakter anak-anak  di Jepang ? Kualitas mereka terbentuk dari kualitas parenting para orang tua dan juga dukungan media masa sehingga terbentuklah masyarakat yang punya disiplin, empati dan pendidikan yang pro pada karakter.
a) Menumbuhkan disiplin keluarga.
Tentu saja setiap pemuda dan pemudi Jepang yang ingin menikah maka mereka terlebih dahulu mengikuti kursus parenting, atau juga belajar secara otodidak tentang menjadi orang tua yang baik (parenting). Jadinya setelah menikah dan punya anak maka mereka tidak kebingungan dalam menanamkan konsep. Disiplin adalah konsep utama yang selalu ditanamkan oleh orang tua untuk keluarga mereka.
Karena memahami konsep parenting, maka ibu di Jepang bersikap lembut namun juga tegas. Sejak lahir, anak-anak selalu bersama ibunya. Mereka tidak pernah luput dari pengawasan sang ibu. Ibu-ibu di Jepang disiplin sekali terhadap anak-anaknya dan kedisiplinan ini diajarkan sejak dini. Anak-anak tidak selamanya bersikap manis, kadang-kadang bersikap agak nakal dan menjadi hilang kontrol.
Jika sang anak tidak mematuhi- bersikapmenganggu ketertipan umum, maka mereka akan memukul kepala si anak. Hukuman ini lazim buat orang Jepang, dan memukul kepala tentu saja tidak lazim bagi kita dan juga tidak harus kita tiru (mungkin diganti dengan bentuk mencubit atau memukul selain kepala untuk tujuan mendidik.
Namun di tempat umum, ibu-ibu Jepang pantang untuk memarahi atau bersikap kasar terhadap anak, karenaanak perlu dipelihara harga dirinya. Mereka dihukum ketika sudah di rumah. Oleh sebab itu, anak-anak Jepang jarang yang bersikap seenaknya karena jika mereka melanggar aturan maka mereka tahu apa konsekwensinya. Namun kadang ada juga ibu-ibu yang memukul kepada si anak di tempat umum jika sang anak bersikap kelewatan atau berbahaya.
b) Berempati bisa berarti memahami perasaan orang lain.
Orang tua Jepang umumnya sudah punya wawasan yang baik, yang mereka peroleh lewat pendidikan atau lewat otodidak, hingga mereka bisa menjadi model bagi anak. Orang tua yang berkarakter baik akan cenderung melahirkan anak yang juga baik. Umumnya orang Jepang dan juga orang di negara maju cenderung  mendahulukan orang lain sebelum diri sendiri. Misal kalau lagi menyetir maka cenderung memperlihatkan kesabaran dan tidak mau menjadi raja jalanan.
Ketertiban dan sopan santun anak sangat diperhatikan di Jepang bila anak tidak tertib  maka mereka memperoleh hukuman. Di tempat umum, anak-anak jangan sampai mengganggu kenyamanan orang lain. Misalkan di restoran, tidak ada anak-anak yang hilir mudik, berjalan kesana kemari. Semua anak duduk di bangkunya masing-masing. Bayi selalu digendong atau dipangku oleh ibunya. Jika sang bayi rewel, sang ibu akan berdiri dan menggendongnya.
Di rumah sakit, klinik, mall, dan tempat umum lainnya, tidak ada anak-anak yang berjalan mundar mandir, lari kesana kemari, berbicara keras-keras. Misalkan di klinik atau rumah sakit, berbahaya jika anak kita berjalan-jalan atau bahkan berlari-lari. Di kereta, anak-anak harus duduk dengan tertib dan tidak berisik. Banyak penumpang yang ingin tidur dan beristirahat, jadi pikirkan kenyamanan mereka juga.

Pengalaman-pengalaman parenting dari orang tua di negara maju tadi perlu kita adopsi untuk menemani ledakan kecerdasan anak sejak dari masa bayi hingga mereka remaja dan dewasa. Ada beberapa catatan yang harus kita kuasai antara lain:  memperkenalkan pelajaran cara “bersopan santun” dalam hidup kepada anak-anak,mengajarimereka bertegur sapa,mengucapkan terima kasih, menghindari banyak mengomel pada anak, apa lagi sampai menghardik-hardik. Berkomunikasi dengan anakdengan penuh semangat. Juga mengajarkan pada anak untuk bisa menghargai waktu, tidak hura- hura,lupa diri karena asyik dengan permainan. 

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...