Jumat, 16 Desember 2016

Memperbaiki Mutu Pelayanan Pendidikan Melalui Pendekatan Happy Teaching and Happy Learning



Memperbaiki Mutu Pelayanan Pendidikan Melalui Pendekatan
Happy Teaching and Happy Learning
Oleh: Marjohan, M.Pd
(Guru SMA Negeri 3 Batusangkar- Sumatera Barat)

Abstact:
Indonesia has been independet more than 70 years, together with several asian countries, such as: South Corea, Singapore, Malaysia, etc. Anyhow those countries have grown up to be modern ones. The quality of eduation is to be one factor to speed them up.
Indonesia experiences the stagnan in education quality, several factors triggered it, one of them is feeling boring at School. The writer suggested that the stake holders of education to adopt the approach of teaching and lerning with “happy teaching and happy learning” based.
Several prominet countries in education quality, such as Australia, Singapore, Findland, etc, adopt this approach. Indonesia and more schools inside should adopt this approach, too. Hope this approach will be significantly upgrade our educational quality and walk to be better one in global.  


Pengantar
            Negara kita, republik Indonesia, telah merdeka lebih dari 70 tahun. Ada beberapa negara di Asia yang usia kemerdekaanya hampir sama dengan negara kita yaitu seperti India, Jordania, Korea Selatan, Kuwait, Lebanon, Malaysia dan Singapura. Negara- negara tersebut berusaha selalu untuk memajukan dan mensejahterakan rakyat mereka. Kemajuan dan kesejahteraan tersebut dapat diperoleh melalui pelayanan dan pemberian pendidikan yang berkualitas. Mereka yakin bahwa pendidikan adalah sarana untuk bisa maju dan juga menjadi lebih sejahtera.
            Setelah merdeka lebih dari 70 tahun, ternyata peringkat mutu pendidikan negara- negara yang baru merdeka tersebut terlihat saling berbeda. Poling dari Human Development Index atau Indeks Pembangunan Manusia- IPM (http://hdr.undp.org/en/composite/HDI) memperlihatkan peringkat SDM untuk negara- negara yang telah disebutkan tadi sebagai berikut:
- Indonesia peringkat 110
- Jordania peringkat  80
- Korea Selatan peringkat  17
- Kuwait peringkat  48
- Lebanon peringkat  67
- Malaysia peringkat  62
- Singapura peringkat  11.  
            Dasar penghitungan IPM menurut standar UNDP (United Nation Development Program) adalah berdasarkan kriteria:
“harapan hidup (umur panjang dan hidup sehat), tingkat pengetahuan/ pendidikan dan standar hidup yang layak (tingkat perekonomian masyarakat)”
Dalam laporan UNDP (bisnis.tempo.co) bahwa dalam rentang waktu tiga tahun, 2012- 2014, menunjukan bahwa peringkat IPM negara kita cenderung stagnan (etap jalan di tempat) pada posisi peringkat 111 dari 188 negara di dunia. Sementara IPM global cenderung naik dan ini memberi indikasi bahwa negara- negara di dunia selalu bergerak menuju kesejahteraan. Stagnan dari peringkat IPM bagi negara kita pada level rendah di dunia juga disebabkan oleh faktor kualitas pendidikan kita yang juga stagnan. Diasumsikan bahwa ada beberapa faktor pemicunya.
Anis R. Baswedan, saat masih menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, menyampaikan makalah di depan para kepala dinas pendidikan yang berjudul “Gawat Darurat Pendidikan di Indonesia”. Ia memaparkan tentang berita baik dan juga berita buruk dari kondisi perkembangan negara ini.
            Berita baiknya adalah tentang jumlah institusi pendidikan dasar dan menengah yang terus meningkat sejak zaman kemerdekaan hingga sekarang. Jumlah anak- anak Indonesia yang mendapat akses pendidikan dasar dan menengah juga meningkat. Hal- hal tersebut meliputi angka partisipasi pendidikan dasar juga terus meningkat dan pemberantasan buta huruf terus digalakan. Jumlah mahasiswa cenderung berlipat ganda. Kemudian kinerja baik Indonesia sudah setara dengan negara- negara maju di dunia. Dari 142 negara di dunia maka peringkat indonesia untuk kriteria- kriteria tertentu adalah sebagai berikut:
            - Kapasitas berinovasi (menemukan hal-hal baru), peringkat 30, sudah setara
             dengan Selandia Baru.
            - Tingkat produktivitas (kemampuan menghasilkan sesuatu, peringkat 28
              setara dengan Irlandia.
            - Kecermatan konsumen (dalam hal memperoleh informasi suatu produk),
              peringkat 51, lebih baik dari Rusia, Turki dan Brazil.
            - Favoritismen dalam mengambil keputusan, peringkat 36, setara dengan
              Austria.
            Ineffisien belanja pemerintah, peringkat 34, setara dengan Taiwan dan lebih baik dari Jerman, Inggris dan Israel.
-       Beban regulasi pemerintah, peringkat 36, setara degan negara Luxembourg.
Namun untuk berita yang kurang menguntungkan atau bad news ada beberapa indikator, sebagai paparan berikut:     
- 75 % sekolah- sekolah di Indonesia belum memenuhi standard layanan
   minimun pendidikan.
- Rata rata uji kompetensi guru (UKG) adalah dengan skor 44,5. Sementara
  skor yang diharapan adalah 70.
- Indonesia termasuk 10 negara berkinerja terendah- menurut pemetaan oleh
   Pearson tahun 2012 (thelearningcurve.pearson.curve). Dimana pemetaan
   untuk trendi dalam studi matematika dan sains internasional juga rendah,
   yaitu peringkat 40 dari 42 negara. Kinerja buruk Indonesia pada pemetaan
   global terjadi karena fenomena suap menyuap, pungutan liar dan kurang
   transparansi dalam pemerintahan.
- Hanya 1 dari 1000 orang Indonesia yang punya minat baca yang serius,
  atau 0,001.
- Kekerasan fisik di dalam lingkungan pendidikan menjadi berita yang sering
 muncul. Juga kekerasan fisik yang dilakukan oleh pelajar dan terhadap
 pelajar yang terjadi di luar sekolah. Tidak hanya fisik, tetapi juga kekerasan
 seksual oleh pelajar dan terhadap pelajar di luar sekolah. Kekerasan seksual
 bahkan juga terjadi dalam lingkungan persekolahan.


Masalah
            Melakukan perbandingan tentang kelebihan dan kekurangan suatu objek atau suatu topik bisa menjadi cara yang mudah untuk mengungkap sebuah permasalahan. Jisoo Hyun, seorang staff dari media online Real Clear menemukan 4 perbedaan mendasar yang terjadi dalam praktek pembelajaran di sekolah- sekolah. Ia membandingkan praktek pembelajaran di Amerika Serikan dan Asia, yang juga bisa digeneralisasi buat Indonesia, yaitu tentang:
- Partisipasi kelas
- Hubungan antara guru dan murid
- Sistem pemberian nilai oleh guru
- Kecendrungan belajar pada Bimbel (Bimbingan Belajar).
            Tentang partisipasi kelas, bahwa setiap anak di sekolah yang sudah maju pendidikannya, seperti Amerika Serikat, didorong untuk aktif berpartisipasi dan berdiskusi tentang materi pembelajaran bersama guru dan teman-temannya. Partisipasi dalam diskusi merupakan unsur yang penting dalam sistem pendidikan di lembaga pendidikan yang sudah maju.
Sementara di negara kita proses pembelajaran lebih sering dimonopoli oleh model belajar “berceramah”. Tugas guru adalah mentransfer informasi kepada siswa. Jadinya guru banyak berbicara dan siswa banyak mencatat- malah mencatat sebanyak mungkin. Karena tidak terbiasa dengan berdiskusi, maka saat diajukan pertanyaan, para siswa menjawab dengan malu-malu, diliputi oleh rasa kurang percaya diri.
Jadinya suasana pembelajaran terkesan dalam bentuk 4D (DDDD) yaitu singkatan dari “Datang Duduk Diam Dengar. Pada akhirnya terbentuklah kebiasaan susah untuk nomong. Rasa malu membelenggu mulut dan fikiran siswa.
Tentang hubungan guru dan siswa, bahwa di negara yang pendidikannya lebih maju seperti Singapura, Australia, dan Amerika, terlihat adanya hubungan yang lebih rileks dan bersahabat. Para siswa bisa mengungkapkan fikiran atau ngobrol dengn bebas degan guru- guru mereka. Guru- guru mereka juga menghargai opini atau pemikiran siswa. Sebaliknya di sekolah- sekolah di negeri kita yang terlihat bahwa siswa tidak banyak ngobrol dengan guru-guru mereka.
Umumnya siswa harus memperlihatkan penghargaan yang berlebihan pada guru, harus mematuhi guru dan tidak boleh memperlihatkan ungkapan “tidak suka/ tidak setuju” atas opini guru. Akibatnya para siswa dijangkiti oleh perasaan cemas, takut bersalah dan takut ditertawakan dan juga tidak siap untuk mengambil resiko.
Untuk sistem pemberian nilai oleh guru, kalau di negara maju, menurut Rhenald Kasali (2016:118-119) guru-guru di Amerika Serikat memberi nilai untuk memberi semangat dan memotivasi. Sejelek apapun karya siswa tetap dikomentari dengan frase “very good atau very excellent”. Sementara sistem pemberian nilai oleh guru dan dosen di negara kita adalah untuk menghakimi. Pemberian nilai buruk pada siswa sebagai salah satu bentuk hukuman untuk menjadikan anak anak Indonesia yang cerdas namun tidak percaya diri. Jadi pemberian nilai di negara maju adalah untuk memberi semangat, sementara bagi kita adalah untuk menghakimi.
Tentang fenomena membanjiri tempat Bimbel. Seorang anggota famili penulis, Miftahul Khairi, mengikuti program YES- Youth Exchange Student ke Amerika Serikat, mengatakan bahwa para pelajar Amerika Serikat berbeda dengan fenomena pelajar Indonesia yang cenderung sangat percaya pada eksistensi Bimbel. Di Amerika Serikat umumnya pelajar sangat percaya dengan kualitas pembelajaran di sekolah reguler mereka, sehingga tidak ada fenomena para pelajar yang menyerbu tempat bimbel, belajar di sekolah saja itu sudah cukup.  
Pulang dari sekolah mereka biasanya mengikuti serangkaian kegiatan berolah raga atau kesenian, dalam bentuk ekskul yang lebih serius. Mereka memilih renang, baseball, berkuda, main biola, piano, ballet, dan lain-lain. Kegiatan ekskul yang berkualitas mampu mengatarkan mereka menjadi atlit atau aktor berkelas nasional atau internasional. Atau di luar sekolah mereka mengerjakan tugas sekolah atau PR untuk memperoleh pemahaman atas materi pembelajaran. Kalau kesulitan mereka akan mencari bantuan pada orang tua atau bimbingan tutor- guru mereka sendiri.
Coba bandingkan dengan kegiatan pulang sekolah para siswa kita. Terutama para siswa dari sekolah unggulan dan sekolah terkemuka di kota. Mereka ramai- ramai mendaftarkan diri lagi pada bimbel yang mereka idolakan. Belajar pada bimbel adalah sekedar mengulang-ulang materi pembelajaran, utamanya untuk mata pelajaran yang termasuk pada Ujian Nasional. Tentor akan memandu mereka untuk melatih menjawab soal-soal Ujian Nasional dan ujian akhir sekolah.
Lembaga bimbel memberikan kursus intensive buat menjawab soal-soal ujian kapan perlu sampai jam 10 malam. Sekali lagi ini telah menjadi fenomena. Lembaga bimbel merekrut dan menseleksi para tentor yang memiliki pribadi yang hangat, ramah tamah dan mampu berkomunikasi secara lembut, kemudian para tentor juga memperhatikan kualitas penampilan mereka hingga pribadi memperoleh tempat di hati para siswa. Hasilnya para siswa belajar lebih kerasan belajar.
Memang jadi fenomena, umumnya siswa menganggap guru-guru yang di sekolah kurang kompeten dibandingkan tentor bimbel mereka. Akibatnya mereka lebih fokus pada tentor bimbel dan kadang- kadang kurang serius dengan guru- guru mereka di sekolah. Mengapa hal ini bisa terjadi dalam pembelajaran di sekolah-sekolah Indonesia ?
Untuk menciptakan siswa yang berkualitas, maka para guru Indonesia harus menguasai 4 kompetensi, yaitu kompetensi pedagogi, profesional, sosial dan kepribadian. Bila para siswa kurang mempercayai kualitas guru- guru mereka bisa jadi karena memiliki kompetensi yang rendah- kurang memiliki metode mengajar yang menarik dan menyenangkan, pemahaman bidang studi yang rendah, dan kualitas pribadi dan sosial yang juga masih kurang.
Jeff Hays, dengan website project-nya yang bernama FactandDetail.com menulis fakta dan detail khususnya tentang kehidupan sekolah di Indonesia. Bahwa gaya pedagogi yang lazim di sekolah- sekolah negeri dan swasta di Indonesia menitik beratkan pada metode hafalan dan menghormati otoritas guru secara berlebihan. Tidak begitu lazim dalam proses pembelajaran bagi guru untuk menerapkan metode berdiskusi. Teknik mengajar yang sering dipakai adalah “berceramah”.
Selama pembelajaran guru tidak pernah atau jarang mengidentifikasi masalah individu siswa dan guru juga cenderung membuat jarak hubungan emosi dengan siswa. Para guru lebih terbiasa memperlihatkan perilaku sabar, karena guru yang penyabar dipandang memiliki pribadi yang mengagumkan.       


Pembahasan dan Solusi
            Dari uraian di atas mengenai fenomena praktek pembelajaran di sekolah seperti bagaimana partisipasi kelas, hubungan antara guru dan murid, sistem pemberian nilai oleh guru dan kecendrungan belajar pada Bimbel (Bimbingan Belajar) juga tentang fakta dan detail kehidupan sekolah- sekolah di Indonesia tentu telah menunjukan suasana kelas yang tidak menarik (membosankan). Ini terjadi akibat rendahnya kompetensi pedagogi guru, kurang mengaktifkan atau melibatkan siswa dalam pembelajaran. Juga proses pembelajaran oleh guru yang tidak bervariasi, miskinnya media dan fasiltas belajar, kemudian kompetensi profesional guru yang juga rendah, serta kompetensi sosial dan personal yang kurang menarik.
Semuanya berdampak pada hasil dan motivasi belajar siswa yang cenderung rendah. Ini telah menjadi fenomena dalam dunia pendidika kita. Fenomena ini telah membuat kualitas pendidikan Indonesia selalu stagnan di tingkat dunia.    
Negara kita yang sangat luas ini, yang ukurannya seluas benua Australia, seluas Benua Eropa, atau seluas Amerika Serikat, memiliki puluhan ribu gedung-gedung sekolah. Data online dari badan informasi bidang kesejahteraan rakyat (data.kemenkopmk.go.id) memperlihatkan bahwa ada 144.567 gedung SD, 26.277 gedung SMP dan 10.239 gedung SMA.
Dimana jumlah pelajar Indonesia sebanyak 58 juta yang mana angka ini menyamai jumlah penduduk Inggris Raya. Dari 58 juta siswa, 8 juta siswa SLTA dan 50 juta siswa SD dan SLTP (antaranews.com). Maka dimanakah posisi peringkat kualitas pendidikan kapal besar yang bernama Indonesia ini ?
Menurut versi OECD- Organization Economic Cooperation and Development yang dapat kita baca dari portal pendidikan Indonesia (edupost.id) bahwa posisi pendidikan Indonesia berada di peringkat ke 57 dunia dari total 65 negara. Jadi posisi kualitas pendidikan kita menempati posisi terbawah. Maka kini perlu kita cari solusi buat meningkatkan mutu pendidikan ini.
Ada beberapa solusi yang diasumsikan dapat memperbaiki mutu pendidikan kita seperti sekolah sekolah perlu menerapkan “total excellen service- pelayanan pedidikan prima”, konsep pembelajaran PAKEM- Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan, atau konsep CBSA- Cara Belajar Siswa Aktif. Konsep ini telah lama kita kenal namun pelaksanaannya tetap guru yang memonopoli suasana pembelajaran, malah CBSA telah diplesetkan menjadi Catat Buku Sampai Abis.  
Good neighbour makes good friend- tetangga yang baik membuat persahabatan yang baik. Singapura, Australia dan negara- negara yang lain adalah tetangga yang baik bagi Indonesia dan kita bisa belajar dari pengalaman sukses mereka, termasuk dalam pengalaman mengelola pendidikan.
Australia merupakan negara yang posisi pendidikannya termasuk terbaik di dunia, sama baiknya dengan pendidikan Amerika Serikat, Rusia, Jerman, Denmark, Polandia, Singapura, Belanda dan beberapa negara maju lainnya. Berbagai lembaga pendidikan berkompetisi dalam menciptakan terobosan untuk melayani pendidikan, salah satunya dengan mengusung konsep “Friendly kids- Friendly classrooms”. Konsep yang pro pada suasana “ramah tamah” telah mampu menjaga kualitas pendidikan terbaik Australia (kidsmatter.edu.au).
Negara Findlandia menjadi begitu populer karena memiliki kualitas pendidikan yang terbaik di dunia. Lembaga- lembaga pendidikan di negara ini juga berlomba untuk mempromosikan praktek pendidikan yang berkualitas, salah satu melalui konsep “Happy teaching- happy learning”. Suasana emosi mengajar dan belajar yang selalu menyenangkan membuat kualitas pendidikan Findlandia selalu berada pada posisi terbaik di dunia dan menjadi menjadi rujukan bagi banyak lembaga pendidikan di dunia untuk menerapkan konsep-konsep pelayanan pendidikan yang juga yang terbaik.     
Kemudian Singapura, negara yang sangat dekat dengan Indonesia dan ukuranya hanya sebesar pulau Batam namun kualitas pendidikannya sangat bagus, juga bisa menjadi referensi yang terbaik bagi negara kita untuk meningkatkan mutu pendidikan. Lembaga- lembaga pendidikan di negara kecil ini juga berkompetisi dalam memajukan kualitas pendidikan, konsep “happy atau kegembiraan” juga menjadi fokus mereka. salah satunya dengan mengusung konsep “Happy teachers, Happy Children, Happy Parents (www.dramkids.com.sg) ”. Guru-guru yang gembira, anank-anak yang gembira dan orang tua yang gembira diyakini punya peranan dalam memajukan kualitas pendidikan negara ini.   
Suasana senang berada di sekolah dan belajar bersama guru membuat rasa nyaman dan rasa betah siswa. Rasa betah atau senang sangat signifikan untuk menumbuh kembang segala potensi yang dimiliki oleh setiap anak. Kini sudah saatnya bagi kita- para guru, calon guru, para orang tua- juga ikut berfikir dan berkontribusi dalam memajukan kualitas pendidikan di negara kita ini. Mengusung konsep “happy teaching dan happy leaning” juga sangat cocok untuk diadopsi.
Konsep- konsep kegembiraan dalam belajar yang diaplikasikan di negara Australia, Findlandia dan Singapura sangat tepat buat ditiru. Yaitu dengan menggabungkan konsep- konsep “friendly kids, friendly classrooms- happy teachinh happy learning,- dan happy teachers, happy children, happy parents”.
Konsep belajar dengan suasana friendly kids friendly classrooms dirancang untuk  mengembangkan keterampilan sosial anak didik. Konsep ini bermanfaat dalam menumbuhkan rasa percaya diri mereka. Rasa percaya diri yang tinggi akan terbentuk kalau anak merasakan adanya rasa “self acceptance- rasa diterima oleh lingkungan, pengalaman sukses, dan rasa mau untuk mengambil resiko- atau adanya rasa keberanian untuk tampil”.
Diyakini bahwa belajar akan lebih efektif bila anak anak didik merasakan adanya suasana yang nyaman dan menyenangkan dan melalui sistem belajar secara langsung- yaitu tidak menggunakan metode berceramah dan menyampaikan teori yang sangat banyak oleh guru. Metode belajar secara langsung adalah para siswa diberi kesempatan untuk mempraktekan tentang apa yang telah mereka pelajari.      
Ada 4 struktur untuk menerapkan konsep friendly kids dan friendly classroom, yaitu:
- whole class model, model ini paling baik digunakan untuk proses pembelajaran dalam kelas yang luas: memperkenalkan konsep atau topik baru dan untuk memfasilitasi diskusi kelas
- small group approach, model ini lebih banyak digunakan dan disukai oleh sekolah sekolah yang maju dan juga berguna membuat para siswa lebih fokus atas suatu topik. 
- kombinasi whole class model dengan small group approach, berguna untuk
  memperkenalkan materi pembelajaran yang baru dan kemudian dilakukan
  penguatan dalam kelompok kecil.
- mix and match merupakan metode pembelajaran dalam bentuk game
  (permainan), dimana siswa Siswa menjodohkan potongan gambarnya
  dengan kepunyaan siswa lain.
Konsep happy learning juga diterapkan oleh sekolah- sekolah Findlandia. Sophia Faridi, seorang guru dari Baker College- Chicago, mengatakan bahwa betapa pentingnya sekolah sekolah mengajar dengan suasana menyenangkan. Dia melihat bahwa para guru dan siswa Findlandia tampak begitu ceria di sekolah. Siswa  menikmati pengalaman belajar dan guru terlihat puas dengan aktivitas mengajarnya.
Ada beberapa faktor yang membuat mereka (guru dan siswa) merasa senang dalam belajar, yaitu:
- Proses belajar banyak dilakukan dalam metode bermain.
- Adanya rasa saling percaya di antara pemerintah, dinas pendidikan, kepala
  sekolah, guru, siswa dan orang tua satu sama lain.
- Guru yang dipilih adalah guru yang terbaik. Rekruitmen guru dilakukan
  begitu ketat, melalui saringan yang berlapis, test tertulis, wawancara dan
  menelusuri portofolio yang memperlihatkan prestasi, serta integritas yang
  tinggi. Memiliki motivasi, semangat dan kompetensi pedagogi yang tinggi.
- Sekolah di Findlandia sering mengajak para siswanya untuk bereksplorasi
  ke luar sekolah dan ini punya manfaat untukmembentuk kebugaran fisik
   siswa.
- Evaluasi belajar lebih berfokus pada metakognif (cara berfikir) siswa dalam
   belajar dan juga bagaimana cara belajar mereka.
- Suasana belajar lebih mengutamakan bentuk kolaborasi dan sekolah
   membentuk lingkungan yang mendukung kolaborasi tersebut.
Pendidikan Singapura mampu menempati peringkat kelompok terbaik di dunia. Ini dicapai karena pendidikan di negara ini berfokus pada konsep pendidikan yang memberi rasa nyaman. Ada lembaga pendidikan yang menggenjot kualitas pendidikan melalui konsep happy teacher- happy children- dan happy parents. Lembaga pendidikan tersebut juga memberikan program pengayaan yang terbaik (www.dreamkids.org).
Guru- guru selalu membantu siswa agar bisa tumbuh dan berkembang. Keterampilan diberikan/ diajarkan melalui suasana yang menyenangkan dan cara- cara yang inovative. Sekolah merangsang minat siswa dan juga mendorong  mereka untuk bereksplorasi. Untuk mendukung hal ini maka ada 3 hal yang menjadi prinsip pengajaran, yaitu:
- Suasana belajar harus menyenangkan
- Lingkungan sekolah harus toleran (menerima) bila siswa melakukan
  kesalahan- kesalahan kecil (menjauhi pendekatan menghukum, tetapi
  mendorong siswa buat melakukan inovasi dan kreativitas).
- Proses pembelajaran musti menjadi sarana untuk menghidupkan semangat
  dan minat belajar para siswa.       


Desain Ruang Kelas Berbasis Happy Teaching and Happy Learning
Untuk memberikan pelayanan pendidikan yang berbasis Happy Teaching and Happy Learning tentu butuh dukungan dari  desain ruang kelas, perubahan mindset guru dan pelaksaan pembelajaran yang bisa memberi rasa senang. Ruang ruang kelas yang ada pada kebanyakan sekolah di negeri kita bercorak susunan tradisionil, desain kelas yang tidak menarik, cat dinding yang sudah memudar, bangku dan kursi dari kursi yang penuh coretan. Siswa duduk berjejer dan guru tampil di depan dengan penuh otoriter.
Ruang kelas di sekolah yang maju pendidikannya dirancang begitu menarik. Siswa duduk berkelompok, cat ruang kelas begitu menarik, ada dekoasi dekorasi yang mampu meningatkan motivasi instrinsik para siswa. Pada dindingan kelas terpajang peraturan kelas (class rule), gambar- gambar dan kalimat kalimat motivasi. Untuk mengaplikasikan pembelajaran yang berbasis happy teaching dan happy learning maka kita perlu merujuk pada uraian di atas.
Bahwa kelas dengan konsep yang bisa membuat siswa merasa nyaman mutlak memperhatikan dan menerapkan 4 struktur model atau pendekatan pembelajaran seperi:
- whole class model
- small group approach
- kombinasi whole class model dengan small group approach
- mix and match
Namun tidak mutlak dengan penggunaan 4 model di atas. Yang lebih menjadi fokus adalah pembelajaran yang bisa mengaktifkan semua anak didik. Permainan juga bisa di terapkan, karena ada konsep “learning by playing game”. Kemudian sekolah juga perlu merancang waktu yang lebih banyak buat mengajak para siswa ke luar sekolah, melakukan eksplorasi edukatif, ini bermanfaat untuk kebugaran fisik, dan memberi rasa nyaman dan membangun kebersamaan.
Sebaik apapun rencana pengembangan kualitas pendidikan namun kalau gurunya tidak punya tempat di hati anak didik maka tetap saja pembelajaran terasa begitu membosankan. Bobbi De Porter dan Mark Reardon (2002: 21) dalam bukunya Quantum Teaching, mengatakan bahwa bila seorang guru masuk kelas- mengajar- maka ciptakanlah jembatan hati terlebih dahulu. Juga bahwa seorang siswa lebih tertarik dengan guru yang baik dan bersahabat daripada guru yang cerdas/ pintar namun berkarakter “pemarah dan kurang sabaran”. Tentu lebih menyenangkan kalau guru mereka “ramah, baik, pintar, dan sangat menguasai profesi mereka”. Maka adalah saat nya para guru bisa meningkatkan kecerdasan emosionalnya agar mereka dapat menjadi guru ideal di hati  siswa – siswi nya, sehingga pada gilirannya tercipta suasana pembelajaran yg efektif, aktif, kreatif dan menyenangkan tentunya.
Guru yang ideal tentu saja guru yang bisa mendukung konsep “happy teaching dan happy learning”, dia musti menjadi gru yang difavoritkan oleh anak didiknya. Seorang guru  ideal akan menjadi spesial dalam pandangan siswa karena beberapa alasan, seperti:
- He (she) takes students’ hand, dia membimbing tangan siswa.
- He (she) opens students’ mind, dia membuka fikiran siswa.
- He (she) touches students’ heart, dia menyentuh hati siswa.
Untuk membangun kondisi kelas yang sesuai dengan konsep “happy teaching and happy learning” tentu manajemen kelasnya harus begitu kondusif dan mantap. Ini sebenarnya mudah diwujudkan- yaitu kalau guru dapat mengkondisikan kelas dengan baik. Sebaliknya akan sulit jika guru kurang peduli dengan kondisi kelas. Oleh karena itu terciptanya kondisi kelas yang mantap dan kondusif bagi pembelajaran yang efektif  dan menyenangkan merupakan langkah awal dalam peningkatan prestasi belajar siswa.

 

Bibliografi
Anis R. Baswedan (2014). Gawat Darurat Pendidikan di Indonesia. Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dalam acara silaturahmi Kementrian Pendidikan dengan Kepala Dinas, tanggal 1 Desember 2014, di Jakarta).

Bobbi De Porter dan Mark Reardon.(2002). Quantum Teaching. Bandung: Kaifa .

Jeffrey  Hays. (2013). School Life and Schools in Indonesia. Saga, Japan: Informal
School (http://factsanddetails.com/indonesia/Education_Health_Energy_Tran)

Jisoo Hyun (2014). 4 Big Differences in American and Asian Education Norms.
United States: Real Clear

Sophia Faridi. (2014). Happy Teaching, Happy Learning: 13 Secrets to Findland’s
Success. Chicago: Baker College (www.edweek.org).

Selasa, 11 Oktober 2016

Sebuah Urgensi: Program Literasi Menjadi Prioritas Utama di Sekolah



Sebuah Urgensi: Program Literasi Menjadi Prioritas Utama di Sekolah
Oleh: Marjohan, M.Pd
(SMA Negeri 3 Batusangkar)

            Kata “literasi atau literacy” termasuk kosata low -frequency- yang jarang disebut paling kurang dalam kehidupan saya (sekarang sudah menjadi high frequency- sering disebut). Saat masih muda dan menutut ilmu di IKIP Padang (Institut Keguruan Ilmu Pendidikan) yang sekarang berubah nama menjadi UNP (Universitas Negeri Padang) saya dan mungkin juga sebahagian orang- kurang mengenal kata literasi. Sehingga jadilah kebanyakan  mahasiswa yang di kos-kosan menghabiskan waktu dengan kurang efektif. Mereka datang jauh- jauh dari kampung hanya sekedar belajar sebagaimana cara mereka belajar di bangku SLTA dulu.
            Hingga mencapai usia yang lebih dari separoh baya ini, saya masih belum mengenal istilah kata “literacy”. Dua tahun yang lalu- saya mendapat kesempatan ikut dalam program benchmarking  program, dan saya menemui sebuah ruang di “Norwood Secondary College”- sejenis SMA di daerah Norwood- Melbourne, dengan tulisan “Literacy Room”.
Saya ajukan pertanyaan pada Prof. Dr. Ismet Fanany- pria Asal Batusangkar yang menjadi dekan pada Universitas Deakin. Ia menjelaskan bahwa “Literacy Room” adalah ruangan yang berguna buat membantu para siswa yang bermasalah dengan literasi- seperti membaca dan menulis.
Saya berfikir bahwa literasi sudah menjadi program penting di sekolah. Literasi menjadi prioritas utama mereka. Omong kosong seorang siswa akan menjadi pelajar yang mandiri dalam belajar kalau ia masih melek dengan literasi.
            Dalam makna yang kita pahami bahwa “illiterate” yang berarti “buta huruf atau kurang mengenal literasi”. Sebahagian orangtua yang anak mereka sekolah di bangku SD menjadi puas kalau mereka sudah mengenal abjad dari A hingga Z. Program atau capaian target dasar literasi kita sangat ringan. Baru sebatas bisa membaca huruf- membaca kalimat sederhana- dan hingga membaca paragraf dan terhenti hanya hingga membaca dogeng- dogeng kuno, setelah itu tidak ada lagi.
Beberapa bulan lalu saya ikut dalam kegiatan SEKOLAH GURU INDONESIA yang dikelola oleh yayasan Dompet Dhuafa bekerjasama dengan Koran Singgalang. Kegiatan ini dibimbing oleh teman-teman yang latar belakangnya bukan pendidikan keguruan, namun mereka sangat peduli dalam memajukan pendidikan bangsa kita.
Kegiatan dilakukan pada hari Minggu agar tidak mengganggu PBM di sekolah. Kesan saya dan juga kesan dari yang lain bahwa pada umumnya peserta para guru muda yang memenuhi kriteria selalu datang dengan antuasias, mereka sangat ikhlas menggunakan uang pribadi dari kocek sendiri buat dana transport dan buat beli makanan.
Memang tugas buat mencerdaskan bangsa dan menggenjot kualitas SDM tidak mutlak tanggung jawan para pendidik. Itu semua merupakan tanggung jawab kita semua. Maka rekan-rekan dari yayasan Dompet Dhuafa juga menujukan kepedulian. Mereka merancang program literasi dan program lain buat para guru, yaitu seperti:
1.    Penguasaan literasi digital
2.    Penguasaan komunikasi efektif
3.    Penguasaan metodologi pembelajaran; dan
4.    Pemahaman psikologi yang shahih
Saya jadi malu diri saat membandingkan pelaksanaan kegiatan ini dengan kegiatan MGMP yang saya ikuti bersama kawan- kawan guru dari berbagai sekolah. Dimana pesertanya terkesan kurang antusias dan kurang bersemangat dalam berpartisipasi. Persentase kehadiran saja jauh dari harapan.
Sejak negara kita merdeka, 70 tahun yang lalu, baru sekarang ada ajakan dan kepedulian dalam menggunakan kata “literasi”. Maka baru sekarang kegiatan literasi jadi program di sekolah. Gerakan Literasi Sekolah dikembangkan berdasarkan Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Tujuan gerakan ini untuk membiasakan dan memotivasi siswa agar mau membaca dan menulis guna menumbuhkan budi pekerti.
"Kegiatan literasi ini tidak hanya membaca, tetapi juga dilengkapi dengan kegiatan menulis yang harus dilandasi dengan keterampilan atau kiat untuk mengubah, meringkas, memodifikasi, menceritakan kembali, dan seterusnya,"
Akhirnya Kurikulum 13, yang sempat menjadi pro-kontra dalam tahun sebelumnya, direvisi dan urgensi untuk diterapkan untuk semua lini pendidikan di Tanah Air. Jumlah peserta sekolah yang menerapkan kurikulum 13 selalu meningkat, hingga akhirnya semua harus menerapkan kurikulum ini.
Di awal semester 2016/ 2017 ini banyak pemanggilan guru- guru (sebagai guru sasaran) untuk mengikuti sosialisasi kurikulum 13 yang sudah direvisi. Dalam sosialisasi tercakup bahwa betapa setiap sekolah dan apalagi setiap guru perlu mensukseskan program  pembelajaran melalui “ Pembelajaran aktif, Penguatan Literasi dan Penumbuhan Budi Pekerti”. Sebuah keputusan dan kebijakan yang sangat tepat, karena andai kata ini terwujud maka anak-anak Indonesia akan menjadi manusia punya budi pekerti luhur, aktif dalam belajar dan dan sangat peduli dengan budaya literasi.
Sebagaimana yang dilaporkan oleh UNESCO bahwa persentase minat baca bangsa Indonesia hanya 0,001 persen, maksudnya bahwa dari 1000 orang hanya satu yang terbiasa membaca. Ini sangat minim sekali dan sangat memprihatinkan.
Minat baca bangsa kita masih rendah. Mengapa minat baca orang Indonesia rendah ? Menurut Lucya Andam Dewi, ketua IKAPI- Ikatan Penerbit Indonesia (http://www.cnnindonesia.com) bahwa:
“Kondisi perbukuan Indonesia masih menghadapi masalah klasik: minat baca dan distribusi. Jumlah penulis masih sangat sedikit. Pada 2014, buku yang terbit hanya lebih dari 30 ribu judul. Jumlah penerbit pun kurang. Anggota IKAPI yang tercatat, ada 1.300-an. Namun yang aktif hanya 700 sampai 800 penerbit. Penerbit terpusat di Jawa. Di Sumatra ada sedikit. Di Kalimantan dan Sulawesi ada, tapi belum banyak. Seharusnya penerbit itu ada di setiap provinsi, jadi ada kearifan lokal. Tapi kita masalahnya minat baca."
Fakta-fakta itu membuat Indonesia kalah jauh dengan negara maju. Mereka mempulikasi sekitar 30 ribu judul buku per tahun dibanding penduduk Indonesia yang kurang lebih 250 juta orang, jelas jauh. Perbandingannya satu orang belum bisa membaca satu buku. Padahal di negara maju, satu orang bisa membaca tiga sampai lima buku. Di Indonesia malah kebalikannya. Tiga sampai lima buku dibaca oleh hanya satu orang.
Pengalaman dengan mata dan kepala membuktikan bahwa bangsa kita amat lemah untuk urusan literasi. Kepedulian bangsa maju apa mereka datang dari utara atau selatan menunjukan bahwa mereka sangat mandiri untuk urusan literasi.
Craig Pentland, teman saya sejak tahun 1996 dari Perth- Australia setiap kali datang berlibur ke Sumatera selalu tak pernah lupa menamatkan bacaan tentang Indonesia. Terakhir ia menghadiahkan saya buku “The Rainbow Troop- atau Laskar Pelangi”, karya Andre Hirata dalam versi Bahasa Inggris. Rekan- rekan yang datang dari utara- Eva, Guni dan Ulla Mo (dari Swedia) juga sangat bergairah saat mengomentari buku- buku yang barusan mereka baca. Begitu juga dengan Benjamin dan Celine (dari Perancis) yang menanyakan:
“Siapa nama pengarang Indonesia yang cukup populer dan dimana saya bisa membeli atau memperoleh buku-buku tersebut ?”
Sungguh literasi telah menjadi kebutuhan kognitif utama mereka. Ibarat kebutuhan perut akan makanan dan minuman yang selalu perlu kita cari tiap hari. Pantaslah Bangsa Australia, Swedia dan Perancis lebih maju. Warga negara mereka yang sangat peduli dan butuh dengan literasi ikut memajukan SDM negara mereka.
Akhirnya sosialisasi atau pelatihan Kurikulum 13 yang saya ikuti pada sebuah hotel di Padang berakhir. Ada rasa optimis bahwa program literasi juga menjadi program yang diprioritaskan di sekolah. Semua sekolah- stake holdernya- juga segera menggelar program penguatan literasi sekolah.
Hari berlalu dan minggu berganti, program literasi yang sempat bergema hanya sebatas wacana dan sebatas slogan. Bukankah semua sekolah lebih peduli untuk mengejar skor, demi menjaga nama baik sekolah, nagari, instansi, dan hingga kabupaten atau propinsi. Maka program active learning dan penguatan literasi terasa sepi kembali dan tidak jelas wujudnya. Yang ada hanyalan pelatihan dan pelatihan untuk memacu kehebatan kognitif. Skor yang tinggi melalui kekuatan kognitif bakal bikin orang akan berdecak kagum.    
Dalam buku “School Healing- Menyembuhkan Problem Sekolah” yang ditulis oleh Marjohan (Terbitan :Insan Madani, Yogyakarta, 2009) dapat dibaca bahwa literasi memang merupakan problem di sekolah. Beberapa sub- judul kupasan buku ini: Budaya Membaca dan Menulis  Masih Minim Di Sekolah, Menumbuhkan Budaya Gemar Belajar Dan Hidup Mandiri, dan Kemandirian dalam Belajar Perlu Ditingkatkan.
Ini menunjukan bahwa program literasi belum menjadi agenda utama. Dengan arti kata bahwa perpustakaan yang semrawut, minat baca yang rendah, motivasi belajar yang rendah belum merupakan kekhawatiran yang besar dari warga sekolah. Pada hal cukup banyak program- program unggulan yang kebijakannya dari pusat telah dirancang/ ditulis oleh pakar pendidikan untuk segera diimplementasikan. Namun karena minimnya budaya literasi- yaitu kemampuan seseorang (masyarakat sekolah) dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan kualitas diri susah buat terwujud.
Petunjuk untuk melaksanakan gerakan literasi sekolah, ternyata sudah dirancang. Sayangnya sejumlah orang yang katanya punya peran dalam manajemen pendidikan, tidak memahami/ membaca buku petunjuk tersebut. Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional telah merancang parameter sekolah yang telah membangun budaya literasi yang mencakup lingkungan fisik, Lingkungan Sosial dan Afektif dan Lingkungan Akademik. Gambarannya sebagai berikut:
a). Lingkungan Fisik
- Karya peserta didik dipajang di sepanjang lingkungan sekolah, termasuk koridor dan
   kantor (kepala sekolah, guru, administrasi, bimbingan konseling).
- Karya peserta didik dirotasi secara berkala untuk memberi kesempatan yang
   seimbang kepada semua peserta didik.
- Buku dan materi bacaan lain tersedia di pojok-pojok baca di semua ruang kelas.
- Buku dan materi bacaan lain tersedia juga untuk peserta didik dan orang
   tua/pengunjung di kantor dan ruangan selain ruang kelas.
- Kantor kepala sekolah memajang karya peserta didik dan buku bacaan untuk anak.
- Kantor kepala sekolah mudah diakses oleh warga sekolah.

b) Lingkungan Sosial dan Afektif
- Penghargaan terhadap prestasi peserta didik (akademik dan non-akademik)
   diberikan secara rutin (tiap minggu/bulan). Upacara hari Senin merupakan salah
   satu kesempatan yang tepat untuk pemberian penghargaan mingguan.
- Kepala sekolah mengenali peserta didik bila masuk ruang kelas (bukan hanya
   peserta didik yang berprestasi atau dianggap bermasalah).
- Kepala sekolah terlibat aktif dalam pengembangan literasi.
- Merayakan hari-hari besar dan nasional dengan nuansa literasi, misalnya merayakan
  Hari Kartini dengan membaca surat-suratnya.
- Terdapat budaya kolaborasi antarguru dan staf, dengan mengakui kepakaran masing-
   masing (dan tidak saling menjatuhkan).
- Terdapat waktu yang memadai bagi staf untuk berkolaborasi menjalankan program
   literasi dan hal-hal yang terkait dengan pelaksanaannya.
- Staf sekolah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, terutama dalam
  menjalankan program literasi.

c) Lingkungan Akademik
- Terdapat Tim Literasi Sekolah yang bertugas melakukan asesmen dan perencanaan.
   Bila diperlukan, ada pendampingan dari pihak eksternal.
- Disediakan waktu khusus dan cukup banyak untuk pembelajaran dan pembiasaan
   literasi: membaca dalam hati (sustained silent reading), membacakan buku dengan
   nyaring (reading aloud), membaca bersama (shared reading), membaca terpandu
   (guided reading), diskusi buku, bedah buku, presentasi (show-and-tell
   presentation).
- Waktu berkegiatan literasi dijaga agar tidak dikorbankan untuk kepentingan lain   
   yang dianggap tidak perlu.
- Disepakati waktu berkala untuk Tim Literasi Sekolah membahas pelaksanaan
  gerakan literasi sekolah.
- Disepakati waktu berkala untuk Tim Literasi Sekolah membahas pelaksanaan
  gerakan literasi sekolah.
- Ada kesempatan pengembangan profesional tentang literasi yang diberikan untuk
  staf, melalui kerja sama dengan institusi terkait (perguruan tinggi, dinas pendidikan,
  dinas perpustakaan, atau berbagi pengalaman dengan sekolah lain).
- Seluruh warga sekolah antusias menjalankan program literasi, dengan tujuan
   membangun organisasi sekolah yang suka belajar.

Ternyata langkah- langkah untuk menerapkan program literasi di sekolah sudah cukup detail, namun jarang atau belum sempat terbaca oleh sebagian stakeholder pendidikan. Yang menjadi kepedulian urgen dari pihak sekolah adalah mengejar prestasi akademik dan non akademik. Kebijakan begini sangat tepat dan tidak salah. Yang salah adalah untuk kebutuhan zaman sekarang adalah apabila pihak sekolah kurang peduli dalam urusan literasi- siswa yang tidak bergairah dalam membaca dan menulis, dan kepedulian belajar secara mandiri. Untuk itu, sebagaimana judul tulisan ini, bahwa amat mendesak: program literasi menjadi prioritas utama di sekolah.
Kini saatnya bagi kita untuk sangat peduli buat menumbuhkan kepedulian pada literasi. Ada banyak sumber bagi kita buat menimba ilmu dan pengalaman. Pratiwi Retnaningdyah, Kandidat PhD di Bidang Cultural Studies, University of Melbourne dan tergabung dalam komunitas Gerakan Sekolah Menyenangkan- GSM (http://www.radioaustralia.net.au/indonesian) memaparkan pengalamannya literasi, yaitu tentang: Meningkatkan Minat Baca Ala Sekolah Australia.
“Bagaimana program literasi berjalan di tingkat pendidikan dasar, Siswa di bangku SD selalu membawa pulang satu buah buku di dalam tas sekolahnya untuk bacaan di rumah. Itu merupakan pekerjaan rumah (PR) bagi setiap anak. Sementara PR bagi orang tua ialah membimbing anak membaca buku yang dibawa dari sekolah itu. Di luar buku yang dipilihkan gurunya untuk PR membaca, sekolah juga ingin mengajak orang tua dan anak mencatat kebiasaan membaca buku yang tersedia di rumah, entah itu buku cerita, pengetahuan, dan lain-lain. Untuk itu, sekolah menyediakan buku catatan Home Reading. Tidak diberi nilai meski guru akan memberikan komentar secara berkala setiap bulan. Jadinya di rumah selalu ada reading time, orang memberi catatan atau laporan dan guru di sekolah memberi komentar. Maka beginilah kiat menumbuhkan literasi buat anak melalui kerjasama antara orang tua dan guru”.
Firman Parlindungan, Dosen Universitas Teuku Umar, saat   melanjutkan pendidikan S-3 di Columbus University, Ohio-Amarika Serikat, melaporkan tentang Pendidikan Literasi: Membaca dan Menulis di Ohio - Amerika Serikat (http://utu.ac.id/utunews/artikel-cakrawala). Ia menjelaskan bahwa:
“Belajar tentang pendidikan literasi di Columbus, Amerika Serikat membuka cakrawala tentang nikmatnya dunia membaca dan menulis masyarakat di sini. Semua orang membaca buku, majalah, atau surat kabar harian di halte, di bus kota, atau di kafe-kafe. Orang tua atau generasi muda duduk di taman kota sambil menikmati buku atau novel ratusan halaman. Siswa merasa malu jika tidak membaca. Mahasiswa menjadikan membaca dan menulis sebagai tradisi ilmiah, sedangkan diskusi menjadi rutinitasnya. Perpustakaan bukan satu-satunya tempat untuk membaca. Bagi mereka membaca dan menulis sudah menjadi budaya yang bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja. Di Columbus, Ohio, Amerika Serikat, upaya menjadikan membaca dan menulis sebagai budaya sudah dimulai sejak puluhan tahun silam. Dinas Pendidikan mendorong sekolah untuk merancang kurikulum dan program pembelajaran yang mengarah pada stimulus anak mencintai membaca dan menulis sejak usia dini. Bahkan banyak program yang melatih orang tua untuk membaca cerita-cerita dongeng kepada anaknya di rumah. Orang tua yang memiliki anak usia balita selain menyekolahkan anaknya di Taman Kanak-Kanak atau menitipkannya di Taman Penitipan Anak (Children’s Day Care), mereka juga belajar bagaimana mendukung perkembangan membaca dan menulis anak di rumah secara efektif. Dan program-program tersebut dilaksanakan gratis oleh pemerintah lokal secara berkala”.
- Di sekolah TK, guru-guru dengan kreatifnya membacakan cerita kepada anak-anak di setiap awal pembelajaran. Kegiatan ini juga diikuti dengan latihan pelafalan kalimat dengan penekanan dan intonasi yang tepat. Sudah terbuktik  efektifitas kegiatan semacam ini dalam meningkatkan kemampuan bahasa anak yang mengarah pada kemampuan membaca dan menulis mereka.
- Di tingkat SD kelas satu sampai dengan tiga, setiap siswa diwajibkan membaca dan menulis di rumah melalui penerapan tugas membaca mandiri. Setiap siswa punya reading-log, semacam buku harian membaca, yang berisi berapa lama waktu yang siswa habiskan untuk membaca di rumah dan paraf orang tuanya. Tidak ada patokan menit atau jam. Buku harian itu juga berisi tugas-tugas sekolah lainnya yang harus dikerjakan di rumah seperti menulis. Pada usia ini siswa diharuskan menulis paragraf pendek tentang apa yang sudah dibaca. Saat di sekolah mereka akan diminta untuk menceritakan bacaannya di depan kelas atau di kelompok kecil.
- Sedangkan pada kelas empat sampai dengan enam, ada waktu minimal yang ditetapkan sekolah. Untuk kelas lima misalnya, siswa harus membaca di rumah minimal selama 25 menit sehari dengan pantauan orang tua. Dan kewajiban menulis pada level ini mengharuskan siswa menulis esai yang biasanya terintegrasi dengan pelajaran IPA atau IPS. Kewajiban membaca ini terus berlanjut sampai level SMP dan SMA. Yang membedakannya adalah bahan bacaan dan batasan minimal waktunya.
- Di SMP misalnya, siswa diharuskan membaca buku atau novel kemudian diwajibkan menulis laporan bacaannya di buku harian mereka. Setiap sekolah menerapkan aktivitas yang berbeda dalam rangka membiasakan anak untuk membaca dan menulis.
Deskripsi di atas adalah tentang bagaimana menumbuh-kembangkan literasi buat anak didik dan buat generasi muda Indonesia. Himbauan buat semua sekolah adalah agar “Program Literasi Menjadi Prioritas Utama di Sekolah”.

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...