Selasa, 23 Januari 2018

Pentingnya Cerdas Buku Dan Cerdas Di Lapangan

Pentingnya Cerdas Buku Dan Cerdas Di Lapangan

Berburu Label “Smart
Kata “smart” sudah begitu familiar di telinga para  remaja. Karena mereka sering menemukan banyak kegiatan yang memakai kata smart seperti: smart kid, smart group, smart house, smart mom. Kegiatan yang menggunakan kata smart sangat disenangi oleh masyarakat luas, terutama para orangtua. Mengapa demikian?
Karena  mereka ingin anak-anak mereka bisa untuk menjadi anak-anak yang cerdas (smart kids) dengan demikian mereka memburu label-label smart. Masyarakat luas juga banyak yang memburu tempat-tempat yang punya label “smart”, seperti: smart English, smart math, smart dance, smart music, dll.
Benar-benar kata smart sudah tersemat di hati. Kata ini malah menjadi branding yang fenomena  dalam dunia bisnis, dunia edukasi, dan aktivitas dalam kehidupan sosial lainnya. Jadinya bermunculan berbagai frase seperti: smart book, smart phone, smart technology,  smart street, think smart and work hard, dll.
            Kata smart berarti cerdas. Smart book berarti cerdas dengan buku. Seorang siswa yang mampu melahap semua buku teks dengan tuntas maka dia adalah orang yang smart book. Apa saja yang dibaca bisa semua masuk ke dalam pemahamannya. Bila mengikuti ulangan harian (UH) maka ia mampu memperoleh skor yang tinggi.
Sementara itu, smart street bukan berarti cerdas di jalan raya. Smart street berarti seseorang yang pintar-pintar dalam hidup, tahu menempatkan diri, mampu memahami perasaan orang lain, mampu berkomunikasi, dll. Remaja yang smart street adalah remaja yang memiliki life skill atau kecerdasan hidup.
            Para remaja yang belajar di sekolah kalau hanya sebatas terfokus dengan bidang akademik maka mereka dikatakan hanya sebatas menjadi smart academic atau juga sebagai smart book. Ya hanya sebatas  jagoan dengan buku-buku. Fenomena begitu sangat banyak di dunia pendidikan. 
Ini adalah pengalaman seorang tour leader yang berhubungan dengan para siswa yang hanya sebatas smart  book dan juga smart street. Pemandu wisata ini memimpin perjalanan wisata satu grup siswa dari sebuah sekolah favorit. Para siswanya terkenal sangat cerdas, nilai akademik mereka sangat bagus, bila ada lomba maka mereka sering menyabet hadiah. Jadinya mereka diberi label “rombongan siswa yang smart book.”
Perjalanan wisata mereka cukup jauh, dari Sumatra terus ke pulau Jawa. Melintasi berbagai kota di pulau Jawa dan suatu ketika mereka berhenti di sebuah  rest area dan setelah itu pergi shopping  di sebuah mall megah-dengan bangunan besar berlantai enam .
Namun para siswa yang hanya sebatas smart book tersesat dalam mall yang gede dan tidak tahu bagaima harus keluar buat berkumpul ke dalam bis wisata yang telah menunggu cukup lama. Mereka menjadi panik- dan kehilangan akal. Tentu saja tour leader butuh waktu cukup lama untuk membantu mereka agar bisa keluar dari mall dan berkumpul dalam bis wisata. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Ya tentu saja karena mereka punya nyali yang kecil, kurang bisa mengambil keputusan sendiri karena sering serba diarahkan. Mereka juga minim dengan pengalaman di luar rumah, kurang memahami liku-liku jalan di alam ini atau kurang paham dengan smart street sehingga bermasalah dalam sepenggal kehidupan nyata. Bila liburan mereka lebih suka berkurung di rumah dan larut dengan gadget saja. 
Sementara itu teman teman mereka yang berasal dari sekolah yang tidak begitu populer juga pernah melakukan kunjungan wisata. Rombongan wisata siswa tersebut juga pernah dibawa tour leader yang sama, dan juga bekerja sama dengan sekolah mereka.
Tour leader juga mendesain paket wisata, mereka melewati rute yang sama, berhenti pada sebuah rest area dan mengunjungi sebuah mall besar buat shopping. Namun tidak satu orang pun yang menelpon karena merasa tersesat jalan. Semua mampu mengembara dalam mall dan keluar mall. Namun mereka juga tidak mematuhi peraturan perjalanan, karena mereka tidak sempat membaca peraturan. Dan mereka adalah para siswa yang kurang bersahabat dengan buku, banyak bermasalah dengan tugas-tugas sekolah. Jadinya mereka keluyuran dan susah buat berkumpul dalam bis wisata. Ini pula problem dengan para siswa yang sebatas smart street.
Negara kita yang sangat luas ini tidak hanya membutuhkan generasi muda yang hanya sekedar  smart book namun juga tidak begitu butuh dengan yang sekedar smart street. Yang dibutuhkan adalah para generasi yang memiliki kecerdasan yang berimbang, smart book dan smart street.

Perbedaan Kultur Berkomunikasi
            Pendidikan negara maju (seperti Amerika Serikat) dan pendidikan negara berkembang (seperti Indonesia) proses belajar-mangajarnya punya perbedaan. Perbedaan tersebut terbentuk oleh perbedaan kultur. Jalaluddin Rakhmat (1998) mengatakan perbedaan kultur dua bangsa sebagian bersifat stereotipe atau pendapat masyarakat umum yang sudah digeneralisasi. Bagaimana perbedaan kultur orang Amerika dan orang Indonesia dalam berkomunikasi?. 
Orang Amerika sejak kecil diajar untuk berkepala dingin, roman muka keras dan pikiran tenang. Dalam belajar di Amerika para siswa (mahasiswa) menghormati guru (dosen) mereka, mereka boleh memiliki pikiran sendiri, malah kadang- kadang juga boleh berdebat dengan guru atau dosen untuk menguji gagasannya. Namun dalam pergaulan antara mahasiswa dan dosen atau antara guru dan murid bersikap santai dan ramah. 
Sementara di Indonesia yang orang-orangnya terkenal ramah-tamah dalam bersosial cenderung menggunakan visualisasi dan indirect language-bahasa yang tidak langsung ke pokok permasalahan. Dalam proses belajar mereka menghormati dosen atau guru, mereka tidak terbiasa untuk berdebat karena dosen dan guru dianggap ahli, dan mahasiswa atau siswa terbiasa mencatat sebanyak mungkin. 
Kedua negara ini jadi berbeda dalam kemajuan sistem pendidikan, mutu kualitas SDM masyarakatnya, budayanya, dan dalam banyak hal. Praktek pelaksaan pendidikan  di sekolah Amerika juga sangat berbeda dengan sebagian sekolah di Indonesia. Saya menulis tentang hal ini bukan bermaksud untuk  menyanjung Amerika Serikat setinggi langit, dan merendahkan wibawa Indonesia, negara yang selalu kita cintai.
            Adalah fenomena bahwa di Indonesia semua anak didorong buat belajar dan membaca membaca sebanyak mungkin, agar mereka menjadi smart book. Kemudian campur tangan orangtua dalam mendidik yang mana mereka hanya sebatas pintar memerintah, menyuruh dan kapan perlu melarang dan marah- marah, dan berpangku tangan setelah itu.
Di sekolah anak-anak belajar, berkompetisi buat memahami dan melahap isi semua buku teks. Kapan perlu mereka juga harus menghafal semua teori, tanpa melewatkan titik dan koma-nya. Al-hasil penguasaan kognitif atau akademik mereka signifikan cukup bagus. 
            Di sebagian sekolah kita banyak remaja yang belajar cukup lama. Pagi hingga siang belajar di sekolah dan setelah pulang sekolah pergi lagi ke tempat bimbel. Mereka terbelenggu oleh urusan akademik semata. Dalam kurikulum lama- kurikulum satuan pendidinkan (Kurikulum KTSP)- dikatakan bahwa siswa belajar untuk memahami tiga aspek, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
Meski sudah ada pemaham kearah konsep afektif (sikap) dan praktek (psikomotorik), tetapi itu hanya sebatas basa-basi. Maksudnya perhatian pada pengembangan kecakapan hidup dan kecakapan sosial anak didik-atau afektif dan psikomotorik-tidak begitu banyak terasah, kecuali bagi mereka yang melebur dengan Osis.

Eksistensi Bimbingan Belajar
            Urusan akademik memang selalu nomor satu, dari pagi hingga sekitar jam tiga sore- hingga usai jam belajar buat pulang ke rumah. Setelah itu para siswa cerdas tadi pergi lagi ke tempat bimbel (bimbingan belajar).
“Cukup melelahkan pak.” Keluh seorang remaja, namun orangtuanya masih memaksa agar dia tetap belajar ekstra agar bisa memperoleh passing grade yang tinggi. Agar dia bisa jebol di jurusan yang bergengsi dan di perguruan tinggi favorit.
Ya begitulah sebahagian anak (remaja) mengeluh karena cukup lama mereka dibelenggu atau terpenjara dalam ruangan akademik. Hingga mereka pulang ke rumah dengan rasa letih dan lesu setelah senja tiba. Dan seperti itulah fenomena konsep belajar para remaja cerdas di seputar kita.
            Menambah porsi belajar melalui Bimbel sudah menjadi sebuah fenomena, terutama bagi para remaja cerdas. Apalagi ada dukungan orangtua yang punya duit cukup. Bimbel itu sendiri gedungnya sudah bertebaran di mana-mana, malah sudah dirancang ke dalam franchise education atau bisnis pendidikan. Bimbel telah menjamur dan tinggal memilih mana yang terbaik dan cocok menurut selera.
            Saat saya berusia remaja sekitar 30 tahun yang lalu, saya sering melihat orang pergi les atau kursus. Bukan untuk mengikuti kursus mata pelajaran seperti yang dilakukan oleh para siswa zaman sekarang, namun dalam bentuk les atau kursus vokasional atau kursus keterampilan seperti les menjahit, les memasak kue yang diselenggarakan oleh keluarga Tionghoa.
Juga ada les otomotif, les merangkai elektronik, hingga les main piano, biola, gitar, les menjahit dan lain-lain. Les atau kursus seperti itu membuat para remaja lebih cerdas secara non akademik. Namun kursus-kursus seperti itu sekarang sudah sangat langka, tidak terlihat lagi.
Yang menjadi femonena adalah kursus yang berhubungan dengan bidang studi UN (Ujian Nasional), yaitu  mengolah soal- soal mata pelajaran yang pokok dalam ujian nasional. Kursus dikemas dalam sebuah nama yang kita kenal dengan “bimbingan belajar”. Sekali lagi bahwa sekarang bimbingan belajar sudah melimpah dan coraknya monoton yaitu sebatas kursus buat tujuan akademik melulu.
            Antara satu Bimbel dengan Bimbel yang lain juga ada kompetisi dalam memperebutkan para siswa yang cerdas. Agar bisa meraih siswa sebanyak mungkin maka pemilik bimbel mendesain interior dan eksterior gedungnya seapik mungkin. Kapan perlu pakai spray pengharum pada ruang cantik penuh AC. Ruang belajar bimbel dengan mentor yang memiliki pribadi menarik dan performance yang anggun, semuanya bisa belajar dengan mentor pilihan.
            Para mentor bimbel yang ramah tamah, bersahabat dan pribadi hangat sering lebih mereka idolakan dari pada  guru- guru mereka sendiri di sekolah. Bisa jadi sebagian mereka sering menjumpai guru-guru mereka berwajah sewot dan berbahasa yang kurang simpatik.
Fenomena dapat terjadi pada berbagai sekolah. Bahwa pribadi mentor dan proses pembelajaran pada bimbel telah mengalahkan PBM di kelas yang kusam dengan guru yang kadang-kadang ada yang nggak bersahabat.
            Singkat cerita bahwa untuk urusan akademik atau kognitif seorang siswa menghabiskan waktu sebanyak 10 jam per hari. 8 jam di sekolah dan 2 jam di luar sekolah. Mereka sangat percaya bahwa pencapaian akademik adalah visi dan tujuan belajar mereka. Yang mereka yakini adalah kalau mereka mampu memperoleh skor akademik yang tinggi maka kelak bisa memilih jurusan yang bagus, kuliah di tempat favorit. Setelah kuliah dan wisuda mereka akan tersenyum karena bakalan berkarir di tempat yang basah, dan banjir dengan duit.
            Orangtua di rumah hanya sebatas  memahami bahwa anak perlu belajar kuat dan bersemangat agar bisa meraih skor dan rangking setinggi langit. Anak perlu memiliki prestasi akademik yang bagus. Jadinya anak-anak musti bisa belajar di sekolah favorit. Orangtua memilihkan sekolah berlabel unggul buat mereka. Mereka menyerbu sekolah berlabel unggul, sekolah model, sekolah perintis, sekolah percontohan, sekolah multi-talenta, dll.
            Memang jadi fenomena dalam masyarakat bahwa mereka senang dengan merek atau label. Sebagai contoh, mereka selalu mencari pakaian atau hal-hal yang berlabel yang hebat. Bahwa sehelai baju kaos berharga 50 ribu  perak yang ada merek “Foot Ball of Europe” lebih dikagumi dan diminati dari pada sehelai baju kaos berharga “seratus ribu perak dan kapan perlu berharga satu juta perak” namun  pada punggungnya ada tulisan “Club Sepak Bola Bintang Kecil”, ya tulisan yang labelnya tidak begitu ngetop.

Perbedaan Gaya Belajar
            Miftahul Khairi, salah seorang pelajar dari sebuah SMA Negeri di kota Bukittinggi, yang baru saja pulang dari Amerika Serikat memaparkan tentang pegalaman pribadinya. Dia baru saja menyelesaikan program pertukaran pelajar, YES- Youth Exchange Program” selama satu tahun. Dia senang sekali berbagi cerita dan pengalaman menarik tentang way of life orang Amerika dan way of life remaja kita. Ia mengatakan bahwa program pembelajaran di sekolahnya di Colorado- Amerika Serikat cukup berbeda dari sekolahnya yang di Bukittinggi.
Banyak teman-temannya yang sekolah di Bukittinggi,  juga siswa-siswa  di tempat lain di Indonesia pada terlalu sibuk dengan urusan akademik. Semua anak pada bersitungkin (asyik) pada satu tujuan akademik saja, yaitu melahap konsep dan rumus- rumus mata pelajaran. Dari pagi hingga siang  mereka belajar di sekolah reguler dan setelah itu dari sore hingga malam belajar lagi di bimbel. Pulang sekolah sudah telat  dan pulang bimbel juga sudah malam. Semua itu membuat badan terasa capek:
“Ah pengen tidur saja atau nonton saja lagi, tetapi takut kena damprat oleh mama dan papa karena dianggap sebagai anak malas”. Juga mana ada waktu lagi bagi mereka untuk ikut bersosial dengan tetangga di seputar rumah. 
Banyak saya dengar  remaja yang mengeluh merasa capek. Fisik mereka yang lesu karena asupan gizi yang salah dan tidak berimbang. Pada umumnya remaja telah merasa sebagai orang yang modern gara-gara telah mengkonsumsi jajanan cepat saji “Makanan dan Minuman Bermerek Internasional’.
Makanan dan minuman tersebut memiliki deskripsi yang panjang, memaparkan bahwa benda tersebut kaya dengan zat kimia/adiktif. Kemudian kebiasaan mengkonsumsi minuman langsung dari show-case, minuman dengan label terkesan  mewah namun tidak menjanjinkan kesan mendorong remaja untuk ikut berperilaku hidup sehat. Sekali lagi malah membuat mereka mengadoppsi life style yang mereka anggap mewah. Asupan gizi yang kurang berimbang membuat mereka jadi kurang sehat.
“Mana mungkin tubuh dan pikiran bisa jadi segar dan bugar dengan life style seperti itu”.
Demikianlan realita cara belajar dan gaya hidup sebahagian generasi sekarang. Yaitu gaya hidup yang hanya belajar buat menggapai cerdas akademik setinggi mungkin, namun mengabaikan kecerdasan non akademik. 
Di negara Paman Sam (Amerika Serikat), dikatakan bahwa bahwa remaja belajar cukup secara alami saja. Mereka tidak begitu dengan demam bimbel. Tempat bimbel itu tetap ada. Hanya para remaja yang merasa betul-betul butuh yang mampir ke sana. Tidak ada fenomena “Bimbel Zoom” atau deman bimbel yang biasanya terjadi di setiap akhir tahun akademik.
“Belajar di sekolah saja itu mereka rasakan  sudah cukup. Mereka tidak perlu lagi pergi ke bimbel,” kata Miftahul Khairi menambahkan.
Di sana guru-guru mereka di sekolah sudah cukup professional. Penampilan menarik, pribadi hangat, sangat menguasai bidang studi dan tahu cara menyajikan pelajaran dengan cara kreatif dan menyenangkan. Ruangan kelas dan lingkungan sekolah penuh dengan iklim excellent service atau layanan prima, yaitu: look, smile, greet, serve, and thank. Bisa jadi guru-guru di kelas Amerika sebagus kualitas guru-guru bimbel kita, atau malah lebih lagi. 
“Ya betul bahwa di sana kami tidak perlu pergi bimbel lagi. Dan bimbel memang ada, tapi hanya dikunjungi bagi yang betul- betul memerlukan layanan. Kebiasaan di sana, usai sekolah mereka pulang ke rumah dan selanjutnya pergi untuk menekuni hobi mereka. Bagi yang gemar berolah raga akan pergi ke lapangan, ada yang main badminton, menunggang kuda, main base ball, main cricket, juga ada yang menekuni badminton, hingga main karate, dan judo, dll . Mereka menekuninya bersungguh-sungguh dan sangat menikmati hobinya. Sehingga pada akhirnya banyak yang menjadi atlit nasional, bahkan juga menjadi atlit internasional beneran”.
Bagi yang gemar pada bidang musik dan seni, mereka pada menyerbu theater. Bagi yang tergila-gila dengan music jazz, music pop, biola, key board maka akan segera bergabung dengan ekskul untuk mendalaminya. Juga ada yang mendalami ballet hingga seni lainnya. Saat remaja mereka menekuni kesenian ini sebagai hobi, namun akhirnya- saat tumbuh dewasa-  mereka bisa berkarir pada bidang ini. Menjadi pemain biola, music, dan theater professional yang berkelas nasional dan malah berkelas internasional. 
Bagaimana dengan urusan akademik? Ya mereka juga selalu memahami dan menekuninya. Agama mereka mungkin selain Islam, namun mereka juga berbuat sesuai dengan konsep agama Islam; “man jadda wa jadda- barang siapa yang bersungguh akan berhasil”.
“Sekali lagi bahwa kualitas PBM di kelas di sekolah Amerika sebagus kualitas bimbel di kelas bimbel terbaik di negara kita, atau lebih baik lagi”.
Eksistensi orangtua di sana seperti ungkapan, yaitu “the man behind the gun.” Bagaimana baik atau buruknya sepucuk senjata ditentukan oleh orang yang memegangnya. Dengan arti kata bahwa mau menjadi apa seorang remaja juga ditentukan oleh peran dari orangtua.
Jadi orangtua juga punya peran penting dalam mendukung sukses kehidupan seorang remaja. Sebagian orangtua di negara kita- sekali lagi- hanya sebatas  memahami bahwa anak perlu menaklukan semua mata pelajaran, jago dengan akademik. Mereka sangat bersimpati dengan anak yang telah menghabiskan banyak waktu di sekolah dan di tempat bimbel agar bisa memperoleh skor akademik yang tinggi agar kelak mereka bisa kuliah di tempat yang favorit (?).  Setelah itu, seperti ilustrasi yang mereka peroleh bahwa karir cemerlang bisa datang dengan mudah.
Jadinya para orangtua bersimpati bahwa anak- anak mereka sudah cukup lelah oleh urusan akademik. Mereka tidak mau mengganggu anak lagi. Mereka berpiki bahwa anak tidak perlu lagi ikut cuci piring, cuci motor, merapikan ruang rumah, juga tidak perlu terlibat dalam kegiatan sosial di lingkungan tetangga.
Karena anak sudah begitu lelah, mereka perlu dibantu dan dilayani. Kalau perlu anak harus dimanjakan. Ada kesan bahwa pendidikan di rumah sekarang bahwa anak tidak perlu lagi dilibatkan. Dengan demikian anak jadi miskin dengan keterampilan hidup (life skill) karena tidak kenal dengan pengalaman harian; memasak, mencuci malah juga tidak tahu bagaimana orangtua mereka berbisnis.
Kasihan anak sudah letih, dan akhirnya anak memilih untuk bersenang- senang, bersantai, sibuk dengan gadget, terbenam dengan game on-line atau hanyut dengan media sosial; facebook, twitter, bbm, dan fitu lainnya. Karena sudah terlanjur suka dengan aktifitas sendiri, kurang meleburkan diri dengan tetangga atau lingkungan sosial maka sekarang lahir ribuan generasi yang kurang peduli dengan sosial. 
Orangtua mendidik dengan konsep yang salah, anak korban (ketagihan) teknologi dan hiburan, hingga pengalaman pendidikan di rumah dan di sekolah hanya menciptakan remaja yang hanya sebatas cerdas akademik namun buta dengan pengalaman harian- kurang punya life skill- dan juga kurang mampu dalam mengurus diri.
Pendidikan dengan cara begini telah menciptakan remaja yang hanya sebatas  “rancak di labuah- sebatas  bagus pada penampilan.” Ya hanya sebatas cakep pada penampilan, smart book but poor in life skill- cerdas dengan buku dan miskin dengan keterampilan hidup.
Hal yang berbeda dengan orangtua di Amerika- bukan bermaksud untuk memuji bangsa Amerika- mereka adalah orangtua yang telah memahami konsep parenting. Orangtua yang punya ilmu parenting bertanggung jawab dalam mendidik dan menumbuhkan anak- anak yang berkualitas.
Jadinya hampir semua orangtua di sana tahu dengan peran mereka. Orangtua sebagai educator, dan guru di sekolah sebagai the teacher. Educator berarti pendidik dan teacher berarti pengajar. Orangtua sebagai educator punya peran dalam menumbuh kembangkan prilaku dan tanggung jawab anak. Individu yang baik adalah individu yang tahu dengan tanggung jawab mereka.
Al-hasil setiap anggota keluarga tahu dengan job description (pembagian tugas) mereka. Setiap orang di rumah punya tugas dan tanggung jawab masing- masing. Ayah dan ibu ikut melibatkan anak dalam aktifitas di rumah dan mendorong anak untuk juga aktif dalam sosial. Hingga sekolah dan rumah-rumah di Amerika menciptakan anak-anak yang smart book and smart street.

Kritikan Kecil Buat Pendidikan Kita
Ini adalah sebuah kritikan kecil untuk proses pembelajaran di sekolah-sekolah kita. Bahwa anak-anak sekolah di negara ini berlomba-lomba buat belajar ya hanya sebatas menjadi smart-book agar kelak mereka mampu menuju perguruan tinggi terbaik. Mereka sudah terbiasa dengan belajar dan belajar demi kualitas akademik- hingga mereka menjadi smart book, dan itu juga sangat penting. Namun proses kehidupan membuat mereka menjadi miskin dengan smart street atau life skill.
Karena memiliki skor akademik yang bagus, pada akhirnya mereka mampu menerobos perguruan tinggi terbaik. Mereka kemudian mengikuti proses perkualiahan hingga tamat dan wisuda. Namun semua universitas tidak memberikan sebuah jabatan dan pekerjaan yang basah buat mereka sebagai sarjana baru, kecuali hanya memberikan selembar janji dalam bentuk ijazah dan transkrip nilai.
Selepas itu bagi sarjana yang hanya sebatas  jagoan dengan akademik namun tidak begitu smart street dan kurang punya life skill. Mereka kemudian akan dilanda oleh ketidak berdayaan dan kegalauan akademik. Tidak banyak yang dapat mereka lakukan setelah menyandang status sarjana, kecuali sebatas  berusaha bertahan buat menunggu datangnya “job- fair” seiap saat. Atau mengirim lamaran demi lamaran ke perusahaan, kantor-kantor dan ke daerah yang jauh dari kampung halaman. Mau pulang kampung ahhhhh enggan. Biarlah dulu menghabiskan waktu hingga usia merangkak tua.
Anak-anak di sekolah sana, saat masih di level SLTA telah punya self-determination (tujuan hidup sendiri) dan punya pilihan karir yang jelas. Pembinaan dan pilihan karir mereka sangat jelas. Jadi mereka memilih perguruan tinggi tidak secara menerabas atau hantam kromo. Memilih jurusan dan perguruan tinggi bukan sebatas ikut-ikutan atau gengsi-gengsian. Di sekolah-sekolah Amerika Serikat tetap ada jurusan yang favorit, namun disana tidak ada fenomena memfavoritkan suatu jurusan dan perguruan tinggi secara berlebihan.
Proses belajar di sekolah dan perkuliahan di perguruan tinggi telah menggiring anak-anak untuk menjadi smart book dan smart street. Kemudian semua orang yang mengerti dengan konsep parenting juga telah menjadi guru terbaik bagi anak-anak mereka, hingga juga ikut mendorong mereka menjadi generasi yang cerdas. Ya cerdas yang berimbang, cerdas dengan buku, cerdas di lapangan, berani, punya nyali dan punya rasa tanggung jawab.

Kualitas pendidikan kita di tanah air, apakah di sekolah berlabel unggul, apalagi di sekolah biasa-biasa saja juga bertujuan untuk mendidik para siswa untuk menjadi cerdas. Namun cerdas mereka mungkin baru sebatas cerdas di tingkat sekolah, tingkat, kecamatan, atau kota. Hanya segelitir saja yang cedas berkualitas propinsi apa lagi cerdas di level nasional. Sementara pendidikan di sana, juga di negara maju lainnya, seperti di Singapura, Jepang, Eropa, anak-anak belajar untuk menjadi generasi cerdas tingkat nasional, dan kapan perlu cerdas untuk tingkat internasional. 

Lima Kekuatan Menunjang Sukses Dalam Belajar

Lima Kekuatan Menunjang Sukses Dalam Belajar

Belajar Dengan Serius Atau Sekedar Asal?
            Menuntut ilmu dan mendapatkan pengalaman menjadi target remaja, utamanya para siswa dan juga mahasiswa. Setiap awal tahun akademik banyak mereka yang memburu sekolah dan perguruan tinggi favorit, karena sekolah dan kampus tersebut punya label unggul. Para siswa berburu sekolah. Calon  mahasiswa berburu perguruan tinggi. Berharap bisa kuliah di pulau Jawa, di universitas yang bergengsi di propinsi, atau akademi dan sekolah kedinasan yang ternama. Kalau mungkin terus studi ke luar negeri.
            “Apa sukses studi itu hanya ada di Eropa, di Jepang, Amerika, Melbourne, di Yogyakarta atau Bandung?”
            “Tentu saja tidak.” Sukses studi bisa terjadi di mana-mana. Tentu sukses studi juga bisa terjadi di dekat kita. Cara untuk meraih sukses tergantung pada proses pribadi yang kita lakukan. Namun ada remaja dalam studi hanya sebatas ikut-ikutan:
“Orang sekolah  maka dia juga sekolah”. Bagaimana eksistensi remaja yang begini? Terhadap mereka mungkin dapat dipaparkan kalimat plesetan seperti:
“Sekolah buat pergaulan, buku rapor sebagai undangan dan uang sekolah sebagai sumbangan.”
 Ya gambaran mereka yang demikian kalau mereka menuntut ilmu secara asal-asalan. Mereka biasanya sering berurusan dengan guru BK (Bimbingan Konseling) di sekolah.
Ternyata bagi yang sudah berstatus sebagai mahasiswa, juga banyak yang terjebak bergaya belajar sebatas  ikut-ikutan. Sebahagian mereka  mengikuti proses kuliah tanpa target. Hanya sebatas  “4D” yaitu “ Datang, Duduk, Dengar  dan Diam saja” di dalam kelas. Sementara itu  di tempat kost aktivitas mereka juga tanpa target. Yaitu hanya sebatas melakukan rutinitas, seperti: makan, minum, menghafal, menghayal, hura-hura, main game, dan sampai begadang tidak karuan.  Padahal sang dosen di kampus mungkin pernah berkata:
“Anda sebagai seorang  mahasiswa telah menjadi kaum intelektual. Anda punya peran dalam sosial yaitu sebagai “social agent of change” atau agen perubahan sosial di tengah masyarakat”.
Tapi kalau  demikian gaya belajar dan gaya hidup mereka, apakah  pantas disebut sebagai agent of change? Oh tentu saja belum pantas.
Sekali lagi, bagaimana perilaku remaja dalam belajar atau dalam kuliah? Ternyata juga bervariasi. Ada yang rajin dalam mengikuti proses pembelajaran. Semua waktu mereka curahkan untuk kegiatan akademik.
Ada yang   yang hanya sebatas kutu-buku. Mereka hanya sebatas terbenam dalam tumpukan buku-buku teks-hingga tidak punya kesempatan untuk bersosialisasi. Mereka menjadi orang-orang yang kurang tertarik dalam bergaul dan pada akhirnya akan memiliki karakter yang kaku, dingin, dan kurang peka terhadap orang lain. Walau mereka kelak bisa meraih prestasi yang tinggi dalam pekerjaan namun  mereka tetap akan menjadi orang yang kaku.
            Remaja juga punya orientasi yang berbeda-beda dalam studi. Ada yang sebatas berorientasi pada akademik. Ada yang senang berorganisasi, ada yang berkarakter produktif dan ada yang melakukan studi tanpa target sehingga mreka terjebak menjadi orang yang selalu bengong.
Yang bergaya study oriented atau academic oriented. Masa muda habis hanya untuk berkutat dengan buku teks, diktat dan buku-buku pelajaran, tujuannya agar bisa memperoleh nilai sempurna pada setiap mata pelajaran. Ada pula yang hanya senang berorganisasi, namun masa bodoh dengan urusan belajar. Ya ujung-ujungnya jadi gagal dalam bidang akademik.
            Selanjutnya  ada  yang telah berkarakter produktif. Yaitu bagi mereka yang memiliki agenda hidup- punya aktifitas yang terjadwal, mulai dari membaca buku, kuliah (bersekolah), berolahraga, beribadah sampai merencanakan agenda-agenda hidup lainnya. Namun juga ada yang bengong saja sehingga tidak tahu apa yang mau dikerjakan. Mereka hanya pandai  menghabiskan waktu dalam box warnet-  duduk terpaku di depan komputer untuk bermain game atau kecanduan nonton TV selama ber jam-jam. 

Mengatasi Gejala Demotivasi
            Bagi remaja yang tidak tahu cara mendesain kegiatan tentu akan sulit untuk memulai sebuah kegiatan  yang bermanfaat, misalnya mengerjakan tugas sekolah, mencuci pakaian, atau membantu orangtua. Ada gejala penyakit yang sering melanda remaja (pelajar dan mahasiswa), yaitu banyak tidur, boros (buang buang uang terhadap hal  yang tidak perlu),  menganggap sepele terhadap tugas-tugas sekolah, kecanduan talk maniac (gila ngobrol pake HP), playing game maniac (gila main game),  dan senang hura-hura. Idealnya mereka harus menyadari kebiasaan negatif ini, karena kebiasaan ini kalau sudah menjadi rutinitas, maka akan berubah menjadi karakter kita.
            Andai gejala ini terjadi pada diri seseorang, ini memberi indikasi bahwa dia sedang mengalami demotivasi, yaitu merosotnya motivasi. Keadaan demotivasi juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: kondisi finansial yang lemah, faktor dalam diri dan faktor luar diri yang kurang mendukung.
Untuk faktor luar diri  (eksternal) seperti: keadaan lingkungan rumah yang hiruk pikuk, tetangga yang lemah SDMnya, teman-teman yang lemah motivasi, sekolah yang lemah manajemen, dll. (Sahar F Abu Jarour, 2014). Untuk mengcounter (mencegah) gejala-gejala demotivasi tersebut (Dian Wibowo Utomo, 2009), ada 4 hal yang bisa dilakukan, yaitu seperti:
a). Segera membuat prioritas, membagi waktu secara efektif, mencari
     alternatif solusi dan melakukan silaturahmi kepada sahabat dan orang
     orang yang memiliki inspirasai dan motivasi hidup.
b)  Kemudian, bacalah buku-buku dan berbagai artikel dari perpustakaan dan
     internet untuk penambah semangat hidup atau motivasi.
c) Kalau ingin sukses, maka cobalah membuat agenda hidup-tentukan target  
     kegiatan harian, mingguan dan bulanan.
d) Juga perlu melakukan hijrah (andai lingkungan menjadi penyebab
     kemalasan kita), karena  faktor lingkungan, seperti teman yang santai akan
    juga membuat kita santai.
Sangat dianjurkan untuk mencari teman yang smart dalam hidupnya. Karena motivasi seseorang bisa menular. Motivasi teman yang smart (yang cerdas) juga akan bisa menular untuk menambah motivasi kita. Namun bukan berarti kita pilih-pilih teman, semuanya teman teman kita.
Dekatilah teman yang sukses, wawancarai dia dan petiklah pelajaran yang banyak darinya, bagaimana mereka belajar. Dan salah satu keterampilan yang terpenting dalam hidup adalah menganalisa mengapa orang lain sukses dan mengadaptasi strategi menang mereka (Coline Rose dan Malcom.J. Nicholl, 2003).
            Dalam pelajaran sains di sekolah, kita belajar tentang hukum causal effect atau pelajaran sebab dan akibat. Hidup kita juga diwarnai oleh hukum sebab akibat. Hukum sebab akibat tidak hanya ada dalam pelajaran sains, tetapi juga ada dalam dunia sastra, sebagaimana terungkap dalam pribahasa: siapa yang menanam dia yang akan menuai (memetik). Tebarlah kebaikan, maka cepat atau lambat maka  setiap kebaikan yang kita lakukan akan membuahkan hasil.
Sebaliknya kejelekan yang andai kita kerjakan, maka juga akan kembali pada kita. Oleh sebab itu kita perlu  lebih banyak menanam kebaikan. Barang siapa yang bersungguh-sungguh maka ia akan mendapatkannya. Ya seperti pepatah dalam bahasa Arab yang berbunyi : man jadda wa jadda- barang siapa yang bersungguh-sunggu akan berhasil. Untuk merealisasikan pribahasa “man jadda wa jadda” agaknya harus diwujudkan dengan konsep total learning atau belajar secara total.

Belajar Secara Total
Total learning dapat  kita lakukan  dengan maksud untuk mengembangkan potensi atau kekuatan yang ada pada diri kita. Pembahasan tentang belajar secara total ini terinspirasi oleh paparan pelatihan motivasi yang diberikan Setia Furqon (2010), seorang motivator berusia muda yang selalu memotivasi banyak anak muda, terutama para pelajar dan mahasiswa. Catatan dan dokumen dari pelatihan tersebut dijadikannya buku  yang berjudul “Jangan kuliah kalau gak sukses”.
Dia mengatakan bahwa untuk sukses dalam belajar, paling kurang diperlukan lima fondasi dasar yang berguna untuk memberi kekuatan bagi kita dalam belajar. Kekuatan tersebut meliputi : kekuatan spiritual, kekuatan emosional, kekuatan finansial, kekuatan intelektual dan kekuatan aksi. Kelima kekuatan tersebut dalam bahasa Inggrisnya adalah  “spiritual power, emotional power, financial power, intellectual power and actional power”.
Saya akan merefleksikan pemikirannya tentang kiat-kiat sukses dalam belajar, dengan judul: Lima Kekuatan Untuk Menunjang Sukses Dalam Belajar. Pembahasannya adalah sebagai berikut:
            1) Spiritual power
Ini berarti kekuatan spiritual. Bahwa kesuksesan sejati adalah saat kita merasa dekat dengan sumber kesuksesan itu sendiri, yaitu Allah Swt-Sang Khalik. Untuk itu ada beberapa kiat yang dapat kita lakukan agar hidayah (petunjuk) bisa datang. Bahwa petunjuk hidup itu sendiri  harus dijemput, bukan ditunggu. Kemudian kita harus mencari lingkungan yang kondusif, karena sangat sulit bagi kita untuk keluar dari lingkaran kemalasan jika lingkungan itu sendiri mendorong kita untuk jadi pemalas. Untuk mengatasinya, maka  kita harus hijrah, misalnya pindah kost ke tempat yang mendukung semangat belajar kita. Kalau sulit untuk pindah kost, maka kita bisa melakukan hijrah melalui perobahan sikap dan pikiran. 
            Untuk memperoleh petunjuk buat kehidupan,  maka kita bisa menemukan guru-guru dalam kehidupan. Guru tersebut adalah orang-orang yang akan  memberi  kita inspirasi agar bisa  bangkit setelah kita terjatuh. Sang inspirator kita tidak harus jago dalam ngomong, orang tersebut  bisa jadi sedikit bicara, namun karya dan prilakunya membuat kita termotivasi.
            Belajar yang didukung oleh spiritual power, memandang proses belajar sebagai sebuah ibadah. Kita harus belajar agar kita menjadi orang yang berilmu, beriman, dan punya martabat. Berharap setelah itu kita juga bisa memberi manfaat pada orang lain dan lingkungan, paling kurang kita bisa memberi pencerahan untuk lingkungan. 
            2) Emotional power
Kekuatan ini (kekuatan emosi) juga dapat kita sebut dengan istilah  kecerdasan emosional (EQ). Kecerdasan ini juga sebagai penentu kesuksesan seseorang. Di dunia ini ada banyak orang-orang cerdas atau jenius dengan IQ di atas rata-rata namun pekerjaanya selalu pada level bawah. Itu terjadi karena kepribadiannya yang kurang disukai atau sulit bersosialisasi.
Kecerdasan emosional seseorang bisa berkembang, karena kecerdasan ini merupakan akumulasi dari karakter individu (seseorang), dan juga dukungan perlu dari faktor lingkungan. Sikap atau karakter sangat penting  dalam membentuk kecerdasan emosi seseorang. Apakah seseorang  berkarakter ramah, gigih dan ulet- maka itu adalah contoh dari bentuk kekuatan emosional (emotional power). 
            Karakter adalah ibarat sebuah perjalanan yang panjang. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa karakter adalah akumulasi dari bentuk pikiran, ide yang kita ekspresikan lewat ucapan dan tindakan, kemudian dipoles dengan suasana emosi. Orang lainlah yang  akan melihat kualitas emosional  kita tadi- apakah disana ada unsur “jujur, peduli, ikhlas, disiplin, dan berani”, atau malah yang terlihat banyak unsure “suka berkhianat, angkuh, boros, cepat bosan dan malas”.
            Emosi itu sendiri dapat dilatih. Beberapa cara untuk melatihnya adalah melalui pembiasaan positif seperti : tersenyum dengan tulus, bila berjumpa dengan teman ya jabatlah tangannya dengan penuh antusias. Kalau ngobrol mari kita biasakan untuk mendengar orang terlebih dahulu. Kita perlu ingat bahwa tidak bijak untuk membuat orang tersinggung. Kalau kita sedang ngobrol maka kita usahakan untuk  menatap mata lawan bicara. Ini  sebagai tanda bahwa kita sedang serius dan ia juga akan  merasa dihargai. Kita juga harus ingat dan tahu dengan nama lawan bicara kita.
            Suasana hati adalah bentuk dari emotional power. Remaja yang sedang menuntut ilmu pengetahuan mutlak memerlukan emotional power, yaitu suasana hati yang solid agar mereka mampu meraih mimpi-mimpi tersebut.
            3) Financial power
Financial power  berarti kekuatan dalam hal keuangan. Bahwa kita seharusnya  memiliki kekuatan keuangan agar bisa sukses dalam studi. Maka banyak orang  menganggap bahwa uang bukanlah hal yang  utama. Mereka malu dikatakan sebagai orang yang matre (mata duitan).  Paling kurang ada dua karakter orang berdasarkan pendekatan ekonomi atau keauangan. Ada  orang bermental miskin dan orang bermental kaya.
Karakter orang bermental miskin adalah mereka yang menginginkan hasil (sesuatu)  yang diperoleh secara instan. Mereka lebih suka membeli banyak barang yang membuat mereka jadi konsumtif. Mereka sulit untuk berubah, dan senang mengandalkan bantuan orang lain. Mereka juga  berkarakter  suka  menerima,dan kalau belajar hanya sebatas untuk mengejar nilai yang bagus.
Sementara itu orang yang bermental kaya adalah mereka yang karakternya  terbiasa menyukai  proses. Dalam shopping ya mereka lebih suka membeli barang yang produktif. Selanjutnya ia (mereka) bersifat kreatif, mandiri, senang memberi, dan dalam belajar (kuliah) bertujuan  untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
Kesuksesan dalam belajar sangat signifikan dengan keberadaan financial power. Uang atau finsial adalah payung buat kehidupan. Keberadaan uang akan memudahkan kehidupan, utamanya dalam mencukupi atau menyediakan kebutuhan minimal kita.   
            4) Intelectual Power
Kemudian hal lain yang perlu kita miliki adalah “intelectual power”. Bahwa kita sendiri sedikit banyak juga harus memahami tentang keberadaan otak. Otak kita  membutuhkan waktu istirahat yang cukup agar otak bisa beroperasi secara optimal. Maka kita perlu untuk bisa memperoleh tidur yang bermutu yaitu tidur yang nyenyak, karena  sangat berguna untuk kesehatan otak. Salah satu fungsi otak adalah membantu kita dalam memahami apa yang kita amati dan yang kita tiru.
Intelektual bermakna seseorang yang memiliki kecerdasan yang tinggi. Jadi untuk hidup kita perlu cerdas. Sehingga ada ungkapan “work hard and think smart- bekerja keras dan berfikir cerdas. Jadinya dalam belajar, kita juga perlu belajar cerdas- belajar dengan cara menyenangkan, mencari informasi bagaimana cara menjadi orang yang mandiri dalam belajar dan juga bercermin pada tokoh sukses tentang rahasia belajar mereka sehingga mengantarkan mereka menjadi pribadi yang berkualitas.
5) Actional Power
Ini berarti kekuatan bertindak. Seorang pemuda (siswa atau mahasiswa) yang menjadi atlit sepak bola menghabiskan puluhan jam untuk membaca buku sepak bola, tentu saja susah baginya untuk menjadi sepak bola yang sejati. Kecuali kalau ia memang sangat rajin dalam latihan menendang bola. Karena praktek menendang bola lebih berarti dari pada hanya membaca buku teori tentang bermain sepak bola.
Dikatakan bahwa orang Jepang bisa menjadi cerdas karena punya kebiasaan mengamati, meniru dan memodifikasi. Bangsa Jepang bukanlah bangsa yang mula-mula menemukan  kendaraan roda dua dan roda empat. Namun mereka adalah bangsa yang  gigih dalam meniru-melakukan atau karena memiliki actional  power- dan memodifikasi penemuan bangsa lain. Budaya senang meniru dan senang memodifikasi tersebut  telah membuat Jepang sebagai negara produsen mobil terbesar di dunia. Negara Jepang pada mulanya mengamati dan  meniru serta  memodifikasi mobil Ford buatan Amerika dan mobil buatan negara lainnya. Jepang  memodifikasinya  hingga bisa menciptakan mobil-mobil yang cantik, seksi dan hemat bahan bakar.
Jadi dapat dikatakan bahwa sekarang kita perlu menjadi cerdas. Ya...cerdas dalam belajar dan juga cerdas dalam hidup.  Untuk  bisa cerdas atau  berhasil dalam  hidup ini maka kita memiliki dan memperdayakan lima kekuatan yaitu action power, financial power, spiritual power, intellectual power, dan emotional power. Dengan demikian pelajar dan mahasiswa yang bakal sukses itu adalah mereka yang memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual, kecerdasan emosi, kecerdasan dalam bersikap (beraksi) dan perlu juga dukungan keuangan. Bukan dalam arti kata kita harus kaya raya (punya banyak uang), namun perlu ada dukungan uang atau dana buat mendukung sukses studi kita.

Kecakapan Hidup Memudahkan Masa Depan

Kecakapan Hidup Memudahkan Masa Depan

Apa Tujuan Menuntut Ilmu?
Soft skill atau kecakapan hidup adalah kemampuan (keterampilan) yang ada dalam diri kita. Kecakapan yang kita maksud adalah kemampuan dalam mengendalikan diri, dapat menerima nasehat orang lain, mampu dalam manajemen waktu, selalu berpiki positif, dll (Warni Tune S dan Intan Abdul Razak, 2016). Sebelum membahas tentang kecakapan hidup, saya akan memaparkan tentang bagaimana konsep pendidikan menurut masyarakat, khususnya menurut para remaja secara umum. 
Buat apa para remaja harus bersekolah dari kecil hingga dewasa dan selamanya? Pada umumnya mereka, terutama para siswa, tahu bahwa belajar itu sangat penting untuk mengubah nasib mereka. Mereka yakin bahwa sekolah berguna untuk membuat mereka jadi cerdas, agar kelak bisa jadi pegawai, bekerja di perusahaan besar  sehingga mudah mendapatkan duit yang banyak. Jadi mereka semua memotivasi diri untuk bersekolah yang benar. Belajar dengan sungguh- sungguh agar bisa memperoleh pekerjaan dengan mudah. Apalagi bila bekerja di tempat yang basah maka hidup akan berubah- menjadi kaya raya.
Sebagai konsekuensi maka sekolah yang puya mutu akan selalu diserbu dan diidolakan. Sekolah ini diyakini akan mampu mengubah nasib mereka. Sekolah bermutu  akan membantu mereka dalam mempersiapkan diri guna bisa jebol ke perguruan tinggi favorit:
  “Kuliah di jurusan favorit dan perguruan tinggi favorit akan bisa membuat aku menjadi orang yang hebat. Lulusan dari perguruan tinggi favorit akan gampang bagiku untuk mendapatkan pekerjaan, punya kedudukan dan punya uang yang banyak”. Demikianlah mimpi-mimpi positif yang memotivasi remaja untuk selalu belajar dengan serius. Mimpi ini dipegang teguh oleh  banyak siswa dan didukung oleh orangtua mereka.
            Bagaimana dengan eksistensi orangtua? Untuk merespon mimpi tersebut, sejak tahap awal pendidikan, mereka merancang konsep-konsep sukses buat pendidikan anak-anak mereka. Sejak dini orangtua selalu rajin merangsang daya fikir atau kognitif anak.
Kebiasaan yang begini sangat bagus karena mereka bisa diberi label sebagai orangtua yang bertanggungjawab terhadap pendidikan. Mereka adalah orangtua yang punya visi dan misi buat masa depan putra- putrinya.
Dari usia dini orangtua betul-betul peduli, mengantarkan anak ke pendidikan PAUD dan TK. Memberi dorongan semangat, pujian, dan tepuk tangan bila mereka mampu mengucapkan doa-doa, menyebutkan angka satu hingga sepuluh, dan melafalkan beberapa patah kata dalam bahasa Inggris. Decak kagum juga akan ditumpahkan bila anak-anak bisa menyanyikan lagu-lagu berbahasa Inggris.
Saat memasuki pendidikan SD, orangtua  akan merancang agenda buat mereka untuk bisa mengikuti serangkaian kursus, seperti “caslistung (membaca-menulis dan berhitung), kursus bahasa Inggris, hingga kursus sukses UN (ujian nasional).  Pokoknya sejak kelas 1 hingga kelas 6 sekolah dasar, waktu mereka akan habis di ruangan les privat.
Selanjutnya  begitu masuk ke pendidikan yang lebih tinggi, di tingkat SMP dan SMA, tentu saja beban materi pelajaran lebih berat, dan lebih sulit. Sebagian orangtua akan mencaritahu tentang cara pembelajaran dan juga penjurusan. Misalnya, bagaimana penjurusan di tingkat SMA. Banyak orangtua berpendapat bahwa jurusan sains lebih favorite karena akan memberi peluang yang luas bagi mereka bila kuliah kelak.
Lagi-lagi para orangtua akan menggiring mereka untuk bisa belajar tambahan. Orangtua memberi sugesti agar mereka menambah ilmu ke rumah guru, mendatangkan guru-guru privat atau mendaftarkan mereka pada lembaga bimbel (bimbingan belajar).
            Begitulah gambaran hari-hari anak dan remaja dihabiskan. Mereka disibukkan dan dimotivasi untuk persiapan menuju  masa depan. Adakalanya mereka didesak buat belajar tambahan bukan karena kemauan sendiri, namun untuk memperturutkan ambisi orangtua. Banyak siswa sekarang yang secara tidak langsung telah dipersiapkan menjadi manusia karbitan.
            Para siswa yang menjadi cerdas secara karbitan terbentuk karena mereka digegas menjadi siswa yang cepat mekar, mereka pun cepat matang dan akhirnya cepat menjadi layu (Dewi Utama Faizah, 2009). Para siswa yang digegas untuk cepat matang atau pintar, hidupnya diprogram secara instan sehingga karakter yang terbentuk adalah karakter karbitan. Maksudnya mereka punya karakter “tidak sabaran” yang ingin cepat-cepat untuk bisa sukses.  
            Juga merupakan sebuah fenomena bahwa ranah pendidikan telah menjadi lahan bisnis. Kita dengan mudah menemukan banyak tawaran belajar  dengan paket program instant, program cepat pintar yang sering diberi label “smart.” Membaca tawaran ini membuat banyak remaja jadi tergiur. Mereka menyerbu biro yang menerbitkan tawaran tersebut. Mereka mungkin memilih paket cepat pintar berbahasa Inggris  agar segara bisa “bercas-cis-cus”.
Budaya instan bermakna budaya yang bersifat serba terburu-buru. Benar bahwa dalam budaya ini ditawarkan resep segala sesuatu diwujudkan serba cepat, mudah dan dadakan. Contoh, untuk program belajar bahasa Inggris mahir dalam waktu 3 bulan atau 6 bulan.
Ini adalah suatu yang nonsense apalagi kalau IQ buntu. Sedangkan untuk lahir ke dunia, bayi butuh waktu 9 bulan, dan untuk jadi seorang bayi yang sempurna, dia butuh waktu 2 tahun. Yang diperlukan adalah kebiasaan selalu belajar, dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas (Mudji Sutrisno, 1994).  
Lain generasi dulu dan lain pula generasi sekarang. Banyak generasi dulu lebih terkenal dengan kemandiriannya. Mereka mencari keterampilan sendiri-sendiri. Mencari ilmu sendiri, dan juga mencari pekerjaan sendiri. Mereka menjadi smart karena usaha sendiri- usaha secara mandiri. Kontra dengan sebahagian generasi sekarang, yang akibat salah didik- banyak dibantu- menjadi generasi yang sangat tergantung pada bantuan lingkungan/ orangtua.
Penyebabnya tentu saja ayah-bunda mereka yang kurang membuat mereka mandiri. Mereka dibanjiri dengan berbagai pelayanan atau servis, jadinya mereka bisa diberi label sebagai “generasi yang suka diservis”.
Generasi servis maksudnya bahwa mereka bisa menjadi hebat dengan prestasi akademik yang tinggi bukan semata-mata murni karena kemandiriannya. Namun karena mereka banyak diprogram dan  diberi servis sejak usia dini (Rhenald Kasali, 2016).
Saat masih balita orangtua mereka mendatangkan babby-sitter buat mengurus kebutuhan mereka. Kemudian saat usia lebih besar, bersekolah di SD, dan agar tidak bermasalah dengan mata pelajaran maka orangtua menyewa (membayar) guru privat untuk datang ke rumah guna bisa menemani mereka dalam mengerjakan PR, serta menghadapi ujian-uijian lainnya di sekolah. Itu semua bertujuan agar mereka bisa menjadi bintang pelajar di sekolah.
            Saya sering mendengar pendapat orang awam dengan telinga sendiri bahwa generasi sekarang- terutama para siswa- dijuluki juga dengan “generasi anak mami”. Generasi yang begini maksudnya bahwa atas nama kasih sayang dan demi keberhasilan sekolah, maka para mami membebaskan mereka dari tuntutan ikut membantu tugas-tugas di rumah. Mereka tidak boleh ikut merapikan dan mengurus rumah- tidak boleh menyapu, cuci piring, mensetrika, memasak nasi. Itu semua biar mami yang mengerjakan, dan kalau mami punya uang lebih maka mami akan menyewa asisten rumah tangga untuk membereskan semua pekerjaan tersebut.
            Pergilah ke rumah-rumah para siswa yang orangtua mereka sangat ambisius agar mereka bisa menjadi hebat di sekolah. Disana mereka dipaksa dan dikondisikan buat belajar dan belajar sepanjang waktu. Selama berjam-jam mereka terbelenggu- duduk mengerjakan setumpuk PR dari sekolah dan juga PR dari guru bimbel. Terlihat bahwa mereka hanya terbelenggu oleh urusan akademik semata. Untuk memenuhi kebutuhan sendiri seperti: makan, pakaian dan pernak-pernik kecil lainnya, semuanya siap dilayani. Kerja mereka hanya bagaimana bisa mencapai target jadi orang pinter. Jadinya kegiatan mereka hanya belajar dan belajar, makan, nonton, dan kemudian kalau sudah bosan baru main game- online.
Apa konsekwensinya? Mereka sekarang jadi tidak punya kecakapan hidup. Saat menginjak usia remaja, duduk di bangku SMA, kecanggungan mereka semakin jelas terlihat.  Mereka hanya jadi manusia yang suka bergantung pada orangtua, kurang mandiri, kurang terbiasa mengurus diri dengan benar. Maka jadilah mereka sebagai generasi yang miskin dengan kecakapan hidup- miskin dengan pengalaman.
Tidak terbiasa melakukan hal-hal kecil, tidak mampu buat mencuci motor, membersihkan sepatu, menyapu lantai rumah, menstrika pakaian, hingga mengurus keperluan lainnya, karena semua  sudah diambil alih oleh mami atau asisten rumah tangga.
            Jadinya sebagian  mereka tidak obahnya ibarat “seorang raja kecil.” Semua kebutuhannya harus dilayani, maunya tahu beres saja. Mereka telah menjadi manusia berkarakter  instant atau sebagai manusia robot.
Mereka menjadi siswa yang pintar namun hanya karena diprogram. Didesain agar bisa pintar. Ya...pintar yang kurang bisa memberi kebaikannya yang banyak. Al-hasil untuk akademik, mereka memang mampu meraih peringkat  yang baik- peringkat 1, 2 dan 3 atau peringkat 5 besar di kelas. Namun kalau hanya sebatas prestasi akademik itu hanya bersifat fatamorgana-hanya sebatas cerdas di atas kertas.
“Bisa dilihat namun tidak terpakai.” Atau lagi-lagi nilai rapornya jadi bagus karena ayah dan bunda rajin memberi guru cendera mata, hingga sang guru merasa berutang budi atas kebaikan hati orangtua dan sebagai konsekuensi tidak berani memberikan nilai “apa adanya” atau nilai yang lebih objektif.
Memang ada para orangtua (ayah dan ibu) yang sukses dalam memprogram pendidikan sang anak hingga mejadi bintang pelajar di sekolah. Nilainya begitu cemerlang dalam rapor dan dalam ijazah. Agaknya para orangtua juga perlu memahami konsep parenting yang benar.
Bila dicermati terlihat bahwa para orangtua seolah-olah mengambil alih “peran guru dari sekolah.” Terlalu banyak porsi untuk teaching atau pengajaran. Semestinya orangtua lebih banyak porsinya untuk educating atau mendidik, yaitu seperti pembentukan kecerdasan personal dan sosial anak. Sementara peran guru lebih banyak porsinya untuk pembentukan kecerdasan  akademik atau teaching.

Jangan Hanya Sebatas Kecerdasan Akademik
Banyak remaja yang terlalu mendewa-dewakan kecerdasan otak atau kecerdasan akademik. Agaknya mereka juga perlu memahami bagaimana menumbuhkan potensi diri, misal bagaimana untuk memiliki karakter-karakter positif  seperti “peduli dengan tetangga, bisa beramah tamah, bisa berbagi dengan sesama, bisa bekerja sama dengan orang lain, terampil dalam membantu diri sendiri, tidak berkarakter individualis, dll”.
            Walau pada akhirnya mereka mampu memasuki perguruan tinggi favorit, karena perguruan tinggi juga merekrut calon mahasiswa berdasar skor  akademik. Karena kesibukan dengan dunia akademik maka secara tidak langsung menyingkirkan penumbuhan karakter-karakter positif yang kelak sangat menunjang kehidupan.
Proses perkuliahan mahasiswa masa kini juga sangat besar fokusnya untuk mencapai target agademik. Walau banyak mereka yang bisa menjadi cerdas dalam ranah akademik, itu hanya baru sebatas cerdas dengan kertas, cerdas dengan teori. Namun begitu diwisuda dan menjadi seorang sarjana baru, mereka seolah-olah terbangun dari mimpi panjangnya. Sebagian merasakan bahwa pengalaman akademik saja dari kampus belum mencukupi. Jadinya mereka  melangkah menatap kehidupan nyata penuh dengan rasa gamang.
            Sebagaimana yang ditulis oleh Ruth Callaghan (2016), mengatakan bahwa: “Employers want graduates with more than just good marks, while good grades may be the only goal for many students. Employers are looking for much more from graduates”.
            Sangat benar, bahwa umumnya mahasiswa hanya berlomba buat mencari nilai akademik setinggi mungkin, berharap bisa memperoleh nilai cumlaude untuk membuat orangtua jadi bangga. Kebiasaan ini tidak salah dan menjadi fenomena di dunia pendidikan. Realita di lapangan bahwa dunia kerja (perusahaan) lebih mencari orang-orang yang tidak hanya sebatas bernilai akademik yang bagus, namun juga harus memiliki kecakapan hidup, keterampil dan pengalaman sosial yang bervariasi.
            Ruth Callaghan (2016) lebih lanjut mengatakan bahwa banyak pimpinan perusahan yang ngetop di Australia telah berbagi pengalaman dengan  mahasiswa di berbagai universitas di Australia. Mereka mengatakan bahwa banyak mahasiswa yang yakin dengan prestasi akademik sebagai indikator satu-satunya yang ditentukan oleh dunia kerja-atau perusahaan.
Ternyata keyakinan ini salah. Memang  dalam pembelajaran di universitas yang dicari oleh para mahasiswa adalah bagaimana bisa memperoleh peringkat nilai akademik yang tinggi. Untuk masuk ke dalam dunia kerja, setelah diwisuda, yang dibutuhkan dunia kerja (oleh perusahaan) bukan hanya terbatas pada nilai akademik, namun bagaimana para kandidat juga memiliki kemampuan selain akademik tersebut, seperti:
            “Leadership, communication skill, problem solving and customer service- keterampilan dalam bidang kepemimpinan, kecakapan berkomunikasi, kemampuan
dalam mengatasi masalah dan kemampuan melayani pelanggan”. Ini semuanya merupakan kriteria yang direkomendasi agar bisa dimiliki oleh mahasiswa sebagai calon pelamar kerja.     
            Jadi kriteria dunia kerja tidak banyak berhubungan dengan bagaimana tingginya nilai akademik seseorang. Kalau sebelumnya banyak pencari kerja yang meyakini bahwa perusahaan akan mencari orang yang cerdas, mampu bekerja dan nilai akademis bagus. Ternyata ini merupakan indikator yang sudah ketinggalan zaman. Karena banyak perusahaan punya kriteria tersendiri dalam melakukan rekruitmen. Rekruitmen yang dilakukan bukan rekruitmen tunggal, namun rekruitmen  yang bertahap, gunanya untuk mendapatkan personalia yang sangat cocok dengan atmosfir perusahaan.

Perlu Kecerdasan Non Akademik
Bagaimana dengan faktor-faktor kemampan non-akademik, apakah sangat berpengaruh atas kesuksesan seseorang? Jawaban ini dapat kita temui dengan membaca profil orang-orang sukses, salah satunya profil singkat Irwan Prayitno, Gubernur Sumatera Barat (periode pertama 2010-2015 dan periode kedua 2016-2021), yang mana skor IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) saat wisuda dari jururan psikologi di Universitas Indonesia tidak begitu menggembirakan. Namun  belakangan dia bisa merajut kesuksesan, hingga menjadi anggota Parlemen RI dan juga terpilih dua kali sebagai Gubernur Sumatera Barat.
Irwan Prayitno, nama lengkapnya yaitu Prof. Dr.H. Irwan Prayitno, SPsi, MSc. Ia datang dari keluarga Minangkabau. Irwan menjalani pendidikan menengah di Padang. Irwan Prayitno adalah anak pertama, memiliki tiga adik, dari orangtua yang sama-sama dosen. Jadi orangtua yang berpendidikan tinggi biasanya mampu mendidik anak yang juga cerdas dan berkualitas.
Masa kecilnya yang sering pindah-pindah telah membuat pengalaman geografi dan pengalaman adaptasi sosialnya semakin kaya. Irwan menjalani pendidikan menengah di Padang dan mulai berkecimpung di organisasi sejak SMA, menjalani dua kali kepengurusan OSIS pada tahun kedua dan ketiga di SMAN 3 Padang. Selama di SMA, ia meraih juara pertama di kelasnya dan selalu dipercayakan sebagai ketua kelas. Jadinya Irwan tidak sebatas  jago akademik, namun ia juga punya keterampilan  yang lain , yaitu peduli pada berorganisasi dan tentunya juga cakap dalam berkomunikasi.
Ternyata  orang-orang  yang sempat menjadi ketua Osis saat di SMA memiliki kemampuan leadership yang bagus dan pada umumnya sukses setelah dewasa. Ini dibuktikan pada beberapa teman. Salah seorang teman saya saat di SMA, namanya Hidayat Rusdi, pernah menjadi ketua Osis di SMA Negeri 1 Payakumbuh dan setelah dewasa ia sukses berkarir di Perusahaan Perminyakan- Pertamina.
Teman saya  yang lain, juga bernama Rusdi, tetapi Rusdi Thaib. Saat di SMA ia juga pernah menjadi Ketua Osis (di salah satu SMA di kota Solok-Sumatera Barat), dan setelah dewasa ia berkarir sebagai Dosen Pasca Sarjana Universitas Negeri Padang dan kemudian menjadi Atase Budaya di Kantor Kedutaan Besar RI- Kuala Lumpur. Jadi betapa pentingnya para siswa harus memiliki keterampilan leadership saat masih kecil atau remaja, dengan harapan setelah dewasa akan lebih mudah meraih sukses dalam kehidupan mereka.
Selanjutnya tentang Irwan Prayitno, bahwa ia sempat berkeinginan melanjutkan kuliah ke ITB bersama dengan teman-temannya. Namun, karena mempunyai masalah dengan mata, ia mengalihkan pilihan ke Universitas Indonesia. Setelah tamat SMA pada 1982, ia mendaftar ke Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Selama kuliah, selain menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan kemahasiswaan, ia banyak menghabiskan waktu di luar kampus untuk berdakwah, mengajar di beberapa SMA swasta, dan menjadi konselor di bimbingan belajar- untuk mendapatkan tambahan uang jajan. Ini mengakibatkan kuliahnya tidak lancar. Namun, menurutnya yang ia cari dalam pendidikan bukanlah nilai semata, tetapi pengembangan diri.
Saat mulai masuk perguruan tinggi, ia aktif dalam diskusi-diskusi dakwah dan perhimpunan mahasiswa. Ia pernah bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jakarta. Akhirnya Irwan mampu menyelesaikan kuliahnya pada jurusan psikologi UI, sayangnya IPK (Indeks Prestasi Kumulatifnya) cukup rendah. Karena IPK rendah, Irwan memilih tidak melamar pekerjaan di Jakarta. Ia memutuskan pulang ke Padang untuk berdakwah dan melanjutkan mengajar kursus. Sebelum mengakhiri kuliahnya, ia telah berpikir bagaimana merintis yayasan yang bergerak di bidang pendidikan.
Saat itu saya kuliah di jurusan Bahasa Inggris-IKIP Padang (sekarang menjadi UNP) dan saya juga menyibukan diri sebagai pustakawan sukarela pada Perpustakaan Masjid Al-azhar di Komplek Pendidikan IKIP dan UNAND. Di sana saya berkenalan dengan Irwan Prayitno yang sering membawa anak sulungnya. Dan saya mengira itu adalah adiknya, ternyata adalah anaknya.
Saya masih ingat bahwa pada awal karirnya, ia sempat memberi bimbingan konsultasi gratisan bagi mahasiswa yang mau kuliah melalui kegiatan amal yang diselenggarakan oleh Yayasan Amal Shaleh di Air Tawar-Padang. Yayasan ini dibimbing oleh Dr Muchtar Naim, seorang sosiolog dari Unand. Akhirnya Irwan mendirikan kegiatan bimbingan belajar dan juga menjadi aktivitas sosial yang lebih professional. Ia dan teman- teman membuat kelas-kelas kursus.
Pada 1988, kelas kursus berpindah ke Komplek PGAI, Jati. Bermula dari kursus bimbingan belajar, Irwan membentuk Yayasan Pendidikan Adzkia yang secara bertahap mewadahi taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Secara bertahap sejak 1994, Adzkia membuka jenjang perguruan tinggi, selain taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah, dan sekolah kejuruan. Dalam pembinaan anak didik, ia mencurahkan ilmu psikologi yang ditimbanya di bangku kuliah.
Perkembangan Yayasan Pendidikan Adzkia berpengaruh pada kemapanan hidupnya, mendorongnya untuk melanjutkan pendidikan. Pada tahun 1995, Irwan mengambil kuliah di Selangor, Malaysia sambil membawa serta istri dan anaknya. Namun, karena IPK rendah, lamarannya sempat beberapa kali ditolak. Teman sesama aktivis dakwah di Selangor mempertemukannya dengan Pembantu Rektor UPM (University Putra Malaysia). Kepada Prof. Hasyim Hamzah, Irwan menyatakan kesanggupan untuk menyelesaikan studi dalam tiga semester. Ia mengambil kuliah S-2 bidang pengembangan SDM (Human Resource Development) di UPM- Selangor. Tamat satu setengah tahun lebih awal dari waktu normal tiga tahun pada 1996, ia melanjutkan kuliah S-3 di kampus yang sama.
Sehari-hari di Selangor, ia harus bekerja keras mengurus keluarga. Saat itu, ia telah memiliki lima anak. Dengan istri, ia berbagi tugas karena tak ada pembantu. Irwan mengaku, di antara kegiatannya, dirinya hanya mengalokasikan sekitar 10 sampal 20 persen untuk kuliah. Kegiatan dakwahnya tetap berlanjut. Bahkan, ia menunaikan dakwah sampai ke  London, Inggris dan harus mengerjakan tugas-tugas perkuliahan dalam perjalanan di dalam mobil, pesawat, atau kereta api.
Move on yang dilakukan oleh Irwan Prayitno sangat pesat. Hidupnya mengalir, ia selalu melakukan proses hingga ia bisa menjadi Ketua Partai Keadilan propinsi Sumatra Barat, menjadi anggota DPR RI, dan terus menjadi Gubernur Sumatra Barat. Namun beberapa catatan awal hanya bertujuan bahwa Irwan Prayitno kuliah ke Universitas Indonesia bukan untuk mencari pekerjaan, namun untuk mematangkan pribadi, mengembangkan pemikiran, intelektual, mematangkan kemampuan leadership, juga kemampuan komunikasinya serta keberanian enterpreurship-nya. 
Para remaja-terutama siswa dan mahasiswa-di zaman sekarang perlu tahu bahwa betapa pentingnya memiliki kecakapan hidup dan keterampilan-keterampilan yang bervariasi. Selain memiliki kemampuan akademik juga perlu memiliki soft-skill seperti “kerjasama, ketabahan, ketangguhan, kepemimpinan (leadership), keampuan berkomunikasi, kemampuan memecahkan masalah dan pelayanan pada pelanggan”. Inilah yang dibutuhkan oleh perusahaan (dunia kerja). Juga mereka perlu tahu bahwa setiap perusahaan memiliki iklimnya  sendiri-sendiri. Ada perusahaan yang bersifat sangat formal dan menerapkan konsep hirarki, dan juga ada perusahaan yang suasananya lebih rileks dan informal.
Dunia kerja tetap selalu mencari (membutuhkan) orang yang berpribadi attraktif dan punya soft skill-keterampilan serta pengalaman yang spesifik. Untuk mengetahui ini dunia kerja akan memberikan penilaian melalui: “action oriented, willing to speak up, willing to brainstorming, and willing to have the opinion”.
Jadi dari paparan di atas dapat disimpulan, sekali lagi, bahwa soft skill-kemampuan dan pengalaman yang bervariasi akan memudahkan jalan bagi kita dalam mendapatkan karir di masa depan.

Menjadi Pemenang Dalam Kehidupan

Meraih masa depan memerlukan perjuangan, salah satunya melalui pendidikan. Pendidikan yang bermutu telah menjadi  harapan banyak siswa. Mereka mencari-cari sekolah unggulan. Semangat mereka yang tinggi untuk menjadi cerdas (smart) perlu diacungkan jempol.
Mereka mencari bimbel (bimbingan belajar) yang ternama, atau mengunjungi guru- guru privat dengan harapan bisa sukses di sekolah dan mampu melanjutkan studi ke perguruan tinggi yang favorit. Ada anggapan bahwa dengan bermodalkan prestasi akademik yang sangat bagus akan membuat mereka sukses di masa depan.
Jadinya banyak remaja (anak sekolah) yang motivasi belajarnya hanya sebatas bisa menjadi juara kelas, juara umum, atau bisa menang dalam lomba OSN (Olimpiade Sains Nasional), atau cerdas secara akademik. Dibalik itu mereka tidak terbiasa untuk pengembangan  kecakapan hidup (soft skill) dalam bentuk kecakapan personal, kecakapan sosial dan juga kecakapan vokasional. Telah menjadi fenomena banyak di antara mereka yang menjadi cerdas, kaya dengan berbagai informasi, dan mampu melanjutkan studi ke perguruan tinggi yang favorit.
Namun setelah menjadi sarjana, ternyata ilmu pengetahuan yang mereka raih selama kuliah belum mampu membuat mereka kuat.  Teori-teori dan pengetahuan yang dipelajari selama ini belum mampu digunakan untuk mewujudkan aktualisasi diri.
Dahulu populasi orang yang pergi kuliah masih sedikit. Semua yang lulus dari perguruan tinggi  mampu memperoleh pekerjaan dan malah juga ada yang menciptakan lapangan pekerjaan. Kesadaran terhadap pendidikan tumbuh terus, maka populasi mahasiswa semakin bertambah. Dari 100% para lulusan perguruan tinggi, 80% akan mampu memperoleh pekerjaan, sementara yang 20% akan menjadi job-seeker atau pengangguran.
Kesadaran menuntut ilmu pengetahuan bertambah terus. Setelah itu dikatakan bahwa dari 100% populasi sarjana  baru, hanya 20% mampu yang meperoleh pekerjaan dan yang 80% akan menjadi penggangguran. Jadi kondisinya sudah terbalik. Fenomena selanjutnya bahwa dari 100%  lulusan perguruan tinggi, maka total yang mengganggur semakin membengkak. Kecerdasan akademik, meskipun  indek prestasi sangat bagus, hingga predikat cum-laude sekalipun, belum tentu bisa menjamin mereka (sebahagian) dalam  meraih pekerjaan yang mereka impikan, apalagi untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Kecuali bagi mereka yang memiliki kecakapan hidup; punya pengalaman sosial, keterampilan berkomunikasi, keberanian, kemauan, kemandirian, dll.
Naskah ini ditulis dalam rangka mengikuti lomba penulisan naskah buku untuk guru pendidikan menengan tahun 2017 yang diselenggarakan oleh Subdit Kesharlindung, Dit Pembinaan Guru Dikmen, Ditjen GTK Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia. Buku ini merupakan gagasan atau opini penulis yang mengupas seputar masalah pendidikan, terutama semangat dan motivasi menuntut ilmu.
Buku ini diberi judul: Menjadi Pemenang Dalam Kehidupan. Kehadiran buku ini bertujuan untuk menambah koleksi bacaan remaja. Berharap agar para remaja memiliki gambaran tentang masa depan. Bagi mereka hidup ini adalah ibarat sebuah perlombaan. Mereka berlari melintasi jalan panjang dan berliku, dan mereka berharap  untuk bisa menjadi pemenang. Selain bacaan remaja, buku ini juga direkomendasikan buat bacaan para orangtua, karena  di dalamnya juga terdapat paparan tentang parenting.
Penulis mengucapkan rasa syukur kepada Allah Swt karena buku ini bisa terwujud. Semua berkat rahmat-Nya. Kemudian ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Drs. Asrul, selaku Kepala SMAN 3 Batusangkar dan para majelis guru, serta berbagai pihak yang memberi kontribusi atas selesainya buku ini. Selanjutnya, terimakasih buat Emi Surya (istri penulis), Muhammad Fachrul Anshar dan Nadhila Azzahra (anak-anak penulis) yang mana waktu kebersamaan buat mereka telah tersita selama penyelesaian naskah buku ini.

Penulis membuka diri untuk menerima masukan berupa saran dan kritikan yang membagun dari pembaca. Saran dan kritikan dapat disampaikan melalui email- marjohanusman@yahoo.com. Moga-moga buku ini bisa memberi manfaat.

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...