Selasa, 29 Januari 2008

Sebentar Lagi Ujian Nasional, Jangan Lupa Merekayasa atau Mencontek


Sebentar Lagi Ujian Nasional, Jangan Lupa Merekayasa atau Mencontek

Oleh : Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
(Program Layanan Keunggulan)


Judul di atas bukan mengajak siswa dan stakeholder pendidikan melakukan hal yang demikian, karena bertentangan dengan etika pendidikan. Namun berharap agar bersikap kontra terhadap judul di atas.
Ujian nasional sudah menjadi fenomena dalam pembicaraan orang tua, guru, anak didik dan para ahli pendidikan sampai kepada pihak pemerintah di level nasional. Bila semester ke dua datang (bulan Januari sampai Juni) maka setiap sekolah khususnya SMA dan para pendidik di sekolah tersebut mulai serius dan berkosentrasi untuk menyusun dan melaksanakan program pembelajaran “sukses menyonsong UN” dalam bentuk pemberian pelajaran tambahan agar semua anak didik kelak bisa lulus ujian nasional (UN) dengan sukses. Nilai UN adalah indikator untuk menentukan kelulusan anak didik dan bagi sekoloah nilai UN menjadi tolak ukur dalam menentukan kualitas atau peringkat sekolah di suatu kota atau dalam provinsi itu sendiri. .
Orang tua dan guru di sekolah tentu juga perlu untuk merespon kedatangan ujian nasional. Tentu saja ada beberapa macam bentuk respon orang tua terhadap kedatangan ujian nasional ini. Yaitu ada orang tua yang peduli dan dan orang tua yang kurang peduli sama sekali.
Orang tua yang peduli atas UN tentu akan ikut mencikaraui atau melakukan campur tangan terhadap cara dan gaya belajar anak- anak mereka. Orang tua yang begini akan ikut mengorbankan waktu dan keuangan buat anak agar bisa sukses dalam menempuh UN kelak. Orang tua yang merasa peduli ini ikut menemani anak dalam belajar dan sampai mencari tahu tentang perkembangan prestasi belajar anak mereka di sekolah.
Secara finansial bahwa orang tua yang peduli terhadap UN ikut menyediakan dana bagi anak- anak mereka agar bisa ikut kegiatan bimbel (bimbingan belajar) di sekolah atau di luar sekolah, serta juga melengkapi sarana belajar mereka. Tentu saja orang tua yang peduli dengan UN adalah orang tua yang terdidik atau mereka yang punya wawasan tentang mendidik.
Sebenarnya tidak ada orang tua yang tidak peduli kepada Ujian Nasional anak anak mereka. Namun karena kurang wawasan dalam mendidik atau rendahnya SDM (sumber daya manusia) ini membuat mereka terlihat kurang peduli atas eksistensi UN bagi anak anak mereka.
Setiap sekolah juga memiliki gaya dalam merespon kedatangan UN bagi anak didik. Biasa sekolah melakukan bimbingan UN berdasarkan kebijakan dan keputusan dari pihak atasan. Misalnya melaksanakan kegiatan belajar ekstra setelah jadwal belajar normal. Belajar ekstra untuk menghadapi UN hanya diberikan untuk mata pelajaran yang tercakup dalam UN. Tahun lalu ada 3 mata pelajaran UN- bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan matematik dan tahun ini jumlahnya menjadi lipat dua, untuk program IPA seperti fisika, biologi, kimia, matematik, bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Sementara itu angka standar kelulusan juga lebih meningkat dan cara belajar siswa apakah meningkat atau jalan di tempat.
Mata pelajaran UN menjadi mata pelajaran favorite dan tentu guru bidang studi tersebut juga mendapat perhatian yang lebih dari guru- guru dan bidang studi UN. Tentu saja ada guru yang tersinggung bila ada anak didik yang menanak tirikan mata pelajaran. Kalau ada maka itulah efek keberadaan UN di dunia pendidikan.
Mata pelajaran UN juga telah dilirik sebagai lahan bisnis lewat kegiatan bimbel (bimbingan belajar). Bimbel yang dikemas secara apik ternyata bisa dijual mahal,missal lewat super camp bimbingan belajar yang harganya bisa jutaan rupiah. Kegiatan ini bisa menyerap sarjana sesuai dengan bidang studi UN, sekaligus untuk menghindari pengangguran tingkat tinggi. Tentu saja kegiatan UN yang berorientasi komersil hanya bisa dijangkau oleh anak didik yang berduit, sementara mereka yang finansialnya pas- pasan mungkin harus gigit jari. Ini juga dampak pembelajaran UN yang kurang pihak kepada orang yang mampu.
Kegiatan belajar tambahan tentu juga memberikan efek positif bagi anak didik yang memiliki motivasi belajar tinggi. Mereka yang lemah motivasinya atau cendrung menyukai belajar di rumah akan merasakan bahwa belajar tambahan menyambut UN di sekolah sore ibarat belajar di camp konsentrasi.
Sekolah berlabel unggul seperti SMA plus, SMA Unggul , SMA akselarasi, dll, tentu saja merancang belajar tambahan agar sukses di UN dengan melibatkan orang tua, komite sekolah, tokoh masyarakat dan alumni untuk mendukung dan memberikan motivasi bagi anak didik supaya bisa lulus UN dengan skor tinggi sebagai harga mati bagi mereka. UN memperoleh respon positive bagi sekolah berlabel unggul. Namun respon bervariasi atas pelaksanaan UN datang dari sekolah SMA dan SMP yang taraf kualitasnya agak rendah atau biasa- bias saja.
Standar skor kelulusan UN selalu meningkat tiap tahun. Anak didik merespon dengan penuh kegelisahan. Bila mereka tidak tidak mampu memperoleh skor minimal untuk standar lulus UN berarti mereka gagal dalam UN dan berarti tidak bisa lulus dari SMA secara normal. Alternative lain mereka bisa mengambil ujian paket C. namun lulus lewat paket C bisa jadi terasa sebagai aib dan memalukan . lulus dengan paket C berarti lulus setaraf dengan orang orang belajar asal asalan dan pernah drop out pada tahun- tahun sebelumnya.atau ijazah (sertifikat) paket C bisa jadi dipandang sebagai ijazah dengan kualitas kelas dua.
Agar anak didik bisa lulus secara normal maka orang tua dan guru- guru , juga para stakeholder pendidikan di sekolah tertentu melakukan rembug rahasia dan keluarlah ungkapan ungkapan penuh prihatin atau pesimis ; “ wah kasihan kita pada anak- anak “ atau ada bisikan “kamu harus pandai pandai ya dan UN”. Pengalaman yang terlihat adalah ada pihak pendidik dan orang tua (berkolaborasi) agar anak didik harus saling mencontek dan saling tolong menolong dalam UN. Adalah suatu fenomena dalam dunia pendidikan bahwa ada beberapa sekolah yang melegalitas kasus contek
Rekayasa untuk meluluskan atau membantu anak didik dalam UN bisa dalam bentuk merapatkan bangku peserta ujian. Mengatur tempat duduk selang seling antara siswa lemah dan siswa yang pintar. Menginstruksikan kepada anak didik agar saling bekerjasama dan tidak kikir selama ujian atau harus pintar- pintar untuk menyebarkan kunci ujian. Malah ada pihak guru atau pihak sekolah yang membocorkan soal ujian , merlonggarkan pengawasan selama ujian, merekayasa kertas lembaran anak didik itu sendiri.cara- cara haram atau illegal ini dilakukan adalah agar anak- anak didik mereka bisa lulus dengan angka tinggi dan sekaligus sekolah yang bersangkutan (SMP, SMA atau MAN) bisa mempertahankan angka palsu sebagai angka prestasi sekolah.
Selama musim UN makin mendekat, maka bagaimana harapan sekolah (guru dan orang tua) apakah ingin anak didik lulus UN dengan penuh tanggung jawab atau lulus UN lewat budaya rekayasa dan mencontek. Ke dua bentuk budaya belajar ini menentukan kualitas bangsa di masa datang. Anak didik akan tumbuh menjadi calon pemimpin bangsa apakah mereka tumbuh lewat nilai kejujuran dan kerja keras atau tumbuh menjadi pemimpin lewat budaya rekayasa dan gemar mencontek. Di pundak mereka nanti nasib bangsa ini berada. .

(Marjohan. Guru SMA Negeri 3 Batusangkar- Program Layanan Keunggulan)

Rabu, 23 Januari 2008

Karakter Guru Berpengaruh Terhadap Masa Depan Siswa

Karakter Guru Berpengaruh Terhadap Masa Depan Siswa
By : Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

Kehadiran orangtua – ayah dan ibu- sangat besar artinya bagi anak. Melalui kehadiran dan interaksi dengan orangtua anak dapat mengenal indahnya dunia dan memahami suka- duka kehidupan ini. Melalui orangtua maka anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan bahasanya. Untuk selanjutnya melalui orangtua pula seorang anak dapat mengenal sosial atau mengenal orang lain.
Seiring dengan bertambahnya usia anak dan makin luasnya eksplorasi mereka, akhirnya (dalam usia kanak- kanak) setiap anak mengenal dunia sekolah dan sekaligus menjadsi anggota atau kelompok sosial di sekolah. Di sini mereka mengenal sosok figur atau orang lain yang bisa mereka kagumi, takuti, segani yang mereka panggil sebagai guru yang punya peran sebagai orang tua mereka di sekolah.
Saat anak belum mengenal dunia sekolah, maka egosentris adalah ciri khas adalah karakter mereka. Apa saja yang ada di seputar jangkauan indera mereka diklaim sebagai miliknya atau dalam konsep kekuasaanya. Namun saat mereka sudah bersentuhan dengan dunia sekolah- seperti taman kanak- kanak- maka karaktere egosentris secara perlahan berkurang dan menghilang. Mereka akhirnya memahami dan mengenal realita sosial, harus bisa menerima posisi kalah atau menang, bertentangan atau berdamai.
Guru lah orang tua bagi anak di sekolah, setelah keberadaan orang tua yang di rumah, yang sangat berpengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa dan kepribadian anak. Sangat beruntung bahwa semua guru taman kanak- kanak mendapat respon yang simpatik dari anak- anak akibat positif dari karakter atau prilaku guru yang ramah tamah dan sangat simpatik atau bersahabat. Karakter yang mereka miliki telah mampu untuk merebut hati anak makhluk- makhluk kecil itu- (anak didik mereka). Sehingga di rumah mereka selalu memuji dan menyanjung kelebihan ibu guru mereka.
Memasuki usia Sekolah Dasar mereka harus berhadapan dengan berbagai macam karakter manusia- guru guru , teman dan senior senior mereka- yang lebih bervariasi. Ada yang baik, lembut, penyayang dan yang lebih menyeramkan adalah kalau ada karakter yang galak dan pemarah. Maka tidak heran kalau anak- anak kecil itu mengawali hidup mereka di Sekolah Dasar dengan penuh kecemasan dan ketegangan. Dan mereka masih beruntung bila guru-guru di SD (Sekolah Dasar) kelas satu masih memperlihatkan karakter yang simpatik dan ramah tamah menyerupai karakter guru- guru mereka saat masih di Taman Kanak- Kanak. Namun mimpi buruk akan terjadi bagi anak- anak kecil tersebut apabila mereka harus belajar dan berintegrasi dengan guru- guru kelas satu atau kelas dua SD yang kurang bisa bersimpati dan berempati dan juga kurang ramah di mata anak didik. Maka di sini mulai terjadi kejutan mental yang pertama bagi mereka dalam bentuk ekspressi; menangis, menarik diri, ketakutan dan sampai mengalami ngompol dalam kelas.
Bila kasus ini terjadi pada suatu kelas atau suatu SD , maka adalah sangat ideal bila bapak dan ibu guru segera mengintrospeksi diri agar mereka tidak tampil menakutkan di mata manusia berusial kecil tersebut.
Beruntung bahwa Tuhan menganugerahi manusia kemampuan untuk beradaptasi (menyesuaikan diri) dan berakomodasi (mengubah lingkungan) dengan social dan lingkungan fisik. Maka dengan kekuatan dan kemampuan untuk beradaptasi dan berakomodasi anak didik mampu untuk bertahan hidup dan berintegrasi dalam kehidupan sosial di sekolah.
Guru adalah manusia biasa dan sebagai manusia biasa dalam melaksanakan peran sebagai pendidik dan sebagai pemimpin bagi anak didikdalam pelaksanaan PBM (Proses Belajar Mengajar) mereka memiliki gaya tersendiri. Secara umum ada tiga tipe kategori dari gaya mereka yaitu; gaya demokrasi, gaya otoriter, gaya laizzes faire dan gaya pseudo demokrasi.
Keberadaan guru dengan gaya atau karakter otoriter- memperlihatkan kekuasaan mutlak atas anak didik- selama pelaksanaan PBM dapat mendatangkan mimpi buruk bagi setiap anak didik. Senyum manis dan kata- kata yang lembut merupakan barang yang langka yang diperoleh dari guru berkarakter otoriter. Guru killer adalah istilah lain yang diberikan oleh anak didik untuk guru berkarakter otoriter tersebut.
Sekali lagi bahwa belajar dengan guru yang berkarakter otoriter adalah suatu mimpi buruk bagi anak didik. Suasana kelas tentu saja akan menjadi tenang dan teratur. Gerak laju jarum jam dinding terasa begitu lambat dan lama. Atmosfir ruangan kelas menjadi lebih kaku dan menegangkan dan menakutkan. Guru berkarakter killer atau berkarakter otoriter akan berpotensi untuk melahirkan anak didik yang suka membisu dan penakut. Adalah suatu keputusan yang bijaksana bagi pribadi yang memiliki karakter otoriter untuk tidak menjadi pendidik dimanapun berada, apalagi mengajar untuk Sekolah Dasar, karena keberadaan mereka cendrung merugikan dan merusak pertumbuhan jiwa anak didik.
Pseudo demokrasi adalah berarti “demokrasi yang palsu”. Karakter guru dengan pseudo demokrasi agaknya juga tidak memperoleh simpati di mata anak didik. Soalnya guru dengan karakter begini cendrung memonopoli kekuasaan. Keputusan yang ia buat disosialisasikan kepada anak didik namun keputusan akhir tetap menjadi monopoli mutlaknya.
Guru dengan karakter laissez faire- masa bodoh- cendrung menurunkan kualitas budaya sekolah. Suasana kelas akan menjadi amburadul, apalagi bila populasi kelas cukup besar. Peranan guru yang berkarakter lassez faire bisa agak bagus apa bila ia mengelola kelas yang berpopulasi kecil. Agaknya guru dengan karakter demikian perlu bersikap lebih tegas dan punya prinsip atas nilai kebenaran. Menambah kualitas ilmu dan wawasan dan kemudian bersikap lebih tegas akan mampu mengatasi problema karakter laizzes faire.
Guru yang berkarakter demokrasi adalah guru yang memiliki hati nurani yang tajam. Guru dengan karakter beginilah yang mampu menghadirkan hatinya dalam emosi anak didik selama pembelajaran. Guru berkarakter demokrasi dan memiliki wawasan yang tinggi tentu akan mampu memenangkan hati anak didik atau memoltivasi mereka dalam pembelajaran. Guru yang mampu menghadirkan hatinya pada hati anak didik disebut sebagai guru yabg baik dan mereka akan dikenang oleh anak didik sepanjang hayatnya. Yang lebih banyak dikenang adalah guru yang baik.
Setiap anak didik telah banyak mengenal banyak guru dalam hidupnya, ada guru yang pintar dan ada guru yang baik. Sekali lagi bahwa guru yang berkesan bagi mereka adalah guru yang menghadirkan hati atau emosinya saat melaksanakan PBM. Guru yang cerdas atau pintar namun memiliki pribadi yang kaku, mungkin juga kasar, kurang bisa bersimpati, pasti tidak banyak memberi pengaruh kepada anak didik.
Guru yang mampu memberi pengaruh untuk masa depan anak didik lewat kata- kata atau bahasanya adalah guru yang memiliki pribadi yang hangat dan juga cerdas. Untuk itu adalah sangat ideal bila setiap guru mampu meningkatkan kualitas pribadinya menjadi guru yang cerdas, yaitu cerdas intelektual, cerdas emosi dan juga cerdas spiritualnya. Maka guru- guru yang beginilah yang patut diberi hadiah dengan lagu “guru pahlawan tanpa tanda jasa”.
Kata kata yang diucapkan oleh guru kepada siswa atau anak didik dalam pergaulan mereka di sekolah sangat menentukan masa depan mereka. Kata kata yang diucapkan oleh guru pada anak didik ibarat panah yang lepas dari busur. Kata yang keluar dari mulut guru akan menancap pada hati anak didik. Bila kata- kata tadi melukai hati mereka, maka goresannya akan membekas sampai tua. Sering kata kata yang tidak simpatik dari seorang guru telah menghancurkan semangat hidup mereka. Sebaliknya kata kata yang mampu memberi dorongan semangat juga sangat berarti dalam menumbuh dan mengembangkan semangat hidup- semangat belajar dan bekerja mereka. Maka untuk itu guru perlu menjalin hubungan dengan anak didik lewat kata- kata yang berkualitas.
(Marjohan, Guru SMA Negeri 3 Batusangkar)

Selasa, 22 Januari 2008

HIDUP DAMAI DI TEMPAT KOS


HIDUP DAMAI DI TEMPAT KOS
Oleh : Marjohan

Tidak semua orang tua mampu untuk menyediakan satu kamar untuk setiap anak. Tentu saja ini semua karena keterbatasan dana. Rata-rata orang tua hanya menyediakan satu kamar saja untuk ditempati oleh beberapa orang anak.
Hidup sekamar dengan adik atau dengan kakak tidak menjadi soal. Sebab bila ada problem kita bisa langsung mengadakan rembug, atau campur tangan orang tua dapat meredakan ketegangan kita bila telah memuncak. Tetapi kita tidak mungkin hidup begitu terus. Suatu saat kita musti angkat kaki, meninggalkan rumah, mungkin karena hendak menyambung studi atau karena kita telah mendapat kerja.
Mencari tempat kos merupakan tujuan pertama. Meski ada famili menawari kita untuk tinggal disana, tetapi rata-rata tinggal di luar, ditempat kos, jauh lebih enak dan aman. Sedangkan tinggal bersama famili ada resikonya, paling kurang kita musti bisa berbasa-basi.
Tidak ada problem bagi orang yang punya banyak duit, sebab ia bisa mengontrak kamar sendiri dan hidup dengan tenang, tanpa ada campur tangan orang lain. Sedangkan bila kita patungan untuk mengontrak kamar resikonya bisa fifty-fifty, sesuai dengan jumlah anggota 2, 3 atau 4 orang.
Rata-rata kamar, tempat kos, yang dicari mempunyai syarat. Harus ada air dan ada listrik. Biasanya syarat ini sudah oke untuk kebanyakan pria (cowok). Tapi bagi kaum cewek syaratnya agak lebih seperti ada air, ada listrik, ada ruang tamu dan ada dapur. Tempat kos yang dekat dengan kampus atau dengan kantor bagi yang bekerja lebih diminati oleh pekerja dan mahasiswa. Apalagi bila tidak ada campur tangan orang punya rumah.
Hidup damai di tempat kos akan dapat kita peroleh bila kita punya teman yang berwatak sama. Problema akan terasa bila warganya memiliki watak yang berbeda. Kamar kos dengan warga 2 atau 4 orang akan lebih oke, bila dibandingkan dengan kamar yang warganya 3 orang, sebab salah seorang tentu akan terasing.
Sudah lumrah bagi orang-orang yang tinggal di kamar kos hidup nomaden, hidup berpindah. Biasanya seorang mahasiswa atau pegawai muda akan segera meninggalkan tempat kosnya ke tempat lain bila keadaannya jorok, bising, sempit, jauh lokasinya, sewa mahal dan tidak ada ketenangan di sana.
Di lokasi dekat dengan kampus atau kantor lebih diminati orang. Oleh sebab itu banyak orang berlomba untuk mendirikan rumah, yang kamar-kamarnya untuk disewakan. Agar lebih menarik, pemiliknya sengaja menata agar tampak seindah mungkin dan melengkapinya dengan berbagai fasilitas. Sehingga orang yang tinggal disana akan merasa segan untuk pindah ke tempat lain.
Problema untuk tinggal sekamar tetap ada, sebab lebih banyak perbedaan antara dua individu dari pada persamaanya. Secara emosi ada juga perbedaan, seperti pemalu, penangis, pemarah, pencemburu dan pendendam. Dalam segi ekonomi, ada orang yang royal, suka foya-foya, hemat sampai kepada kikir. Menurut watak ada orang yang bersih, jorok, pendiam, tukang ngobrol, suka begadang dan suka musik keras. Malah bagi yang tampak alim akan terganggu oleh teman yang suka pacaran, nonton dan membaca yang berbau agak porno, apalagi porno tulen.
Bila kita bisa mendapati teman-teman dengan watak yang sama pada sebuah kamar kos tentu kita bersyukur. Tetapi bila tidak tentu ada baiknya pada awal-awal waktu kita tetapkan sesuatu, misalnya tentang keuangan, makanan, nonton, menghidupkan musik keras sampai kepada cara menerima tamu. Begitu pula tentang menjaga kebersihan, keindahan dan ketenangan kamar kos. Dan masing-masing pribadi tentu harus mematuhi peraturan yang telah ditetapkan itu. Tentu semua itu untuk mendapatkan hidup damai di tempat kos.

Jumat, 04 Januari 2008

Pola Pendidikan Di Rumah Masih Miskin Dengan Sentuhan Spiritual

Pola Pendidikan Di Rumah Masih Miskin Dengan Sentuhan Spiritual
Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
(Program Layanan Keunggulan)

Walau agama Islam lahir di Timur Tengah lebih dari 15 abad yang lalu namun pemeluk terbesar agama ini adalah di Indonesia. Tentu saja kita (pemeluk Islam di Indonesia) merasa bangga dengan status negara sebagai mayoritas pemeluk Islam terbesar di dunia. Namun kita perlu berfikir- melakukan refleksi- tentang apakah sebagai pemeluk Islam terbesar di dunia, jumlah yang besar hanya dari segi kuantitas namun untuk kualitas cendrung amat rendah, karena pemeluknya masih jauh dari pemahaman dan pengamalan spiritual dan cenderung mengadopsi nilai hedonisme (paham mencari kesenangan hidup) semata mata.
Jauhnya kita- sebagai pemeluk Islam- dari pengamalan agama yang berkualitas adalah gara-gara pola pendidikan di rumah yang miskin dari sentuhan spiritual. Diduga ada banyak faktor sebagai penyebabnya, beberapa di antara nya adalah akibat kehadiran televisi di rumah yang amat sarat dengan nuansa sekuler, kepedulian orang tua yang berlebihan terhadap fasilitas hiburan daripada pendidikan. Karena kualitas pengajaran agama di rumah hanya sebatas pandai membaca abjad Arab atau alif- ba- ta saja dan akibat dari pemodelan- panutan atau suriteladan- orang tua yang lemah dalam mengimplementasi kan ajaran agama.
Televisi memberikan dampak negatif dalam mengikis nilai spiritual. Kehadiran tabung elektronik ini di tengah keluarga bangsa Indonesia dimulai sekitar tahun 1980-an. Saat itu televisi mungkin masih dianggap sebagai kebutuhan lux atau kebutuhan sekunder. Karena saat itu hanya keluarga yang tergolong mampu yang bisa memiliki pesawat televisi. Kemudian sekitar tahun 1990 pesawat televisi secara besar- besaran hadir di tengah masyarakat. Maka benda ini tidak lagi dianggap sebagai barang mewah, namun sudah dianggap sebagai kebutuhan primer, karena kadang kala penduduk dengan rumah gubuk juga mampu menghadirkan pesawat televisi dengan layar jumbo di tengah keluarga mereka.
Pada mulanya program televisi dirancang oleh orang yang berduit- pemilik stasiun televisi adalah untuk memberi masyarakat Indonesia program pendidikan dan program hiburan yang masih ramah lingkungan. Serasi dengan warna dan corak adat kita sebagai bangsa timur- memperhatikan nilai agama dan nilai adat istiadat. Pada masa itu orangtua masih bisa bersyukur atas kehadiran televisi yang belum begitu mencemaskan terhadap perkembangan anak. Dampak televisi pada waktu itu hanya baru sebatas membuat anak- anak kecanduan duduk berjam-jam di depan pesawat televisi dan mengabaikan pelajaran.
Namun sejak pengelola media masa – media cetak dan media elektronik- sudah kehilangan misi suci untuk mendidik bangsa ini dan atas nama globalisasi mereka merasa enteng untuk menghadirkan program hiburan yang kurang berkualitas ditinjau dari segi agama dan sebagai bangsa timur. Maka itulah awal bangkitnya krisis demi krisis dan melangkah masuk ke tengah keluarga bangsa Indonesia.
Karakter sebahagian orang kita yang punya kebiasaan menonton televisi selama berjam- jam membuat sesuatu yang mereka tonton membekas dalam diri mereka. Karena sesuatu yang dilihat atau ditonton berulang-ulang bisa mempengaruhi prilaku seseorang. Sementara itu kita tahu bahwa materi utama dari program televisi adalah iklan dan rentetan hiburan demi hiburan. Iklan yang ditayangkan tujuannya adalah untuk mengajak dan menjanjikan gaya hidup yang konsumerisme, gaya hidup serba mewah dan serba megah. Program- program yang ditayangkan televisi lambat laun akan mampu untuk mencuci otak jutaan penonton yang umumnya adalah anak- anak muda.
Hiburan yang dikemas dengan menghadirkan figur selebriti- artis dan presenter- yang sengaja dipoles dengan gaya sekuler, jauh dari nilai agama, ini terpantul dari gaya mereka dalam berpakaian, bertindak dan bertutur, telah mengajak jutaan penonton yang berusia muda agar bersikap dengan cara yang sama. Di saat program televisi tidak lagi sebagai sahabat bagi keluarga, namun hanya sebagai pembawa mudharat atau bencana atas pelunturan nilai budaya itu sendiri. Maka cara yang tepat bagi orang tua adalah agar memilih atau mengatur jam tayangan program televisi sesuai dengan pola pendidikan dan pola pengasuhan anak di rumah. Atau mungkin mereka tidak perlu membeli pesawat televisi sama sekali.
Fenomena yang terlihat sekarang adalah bahwa rumah tangga terlihat lebih kaya dengan sarana hiburan namun miskin dengan sarana pendidikan. Orang tua lebih peduli untuk menghadirkan sarana hiburan buat keluarga dengan kemampuan dan ukuran kantong mereka dari pada menghadirkan sarana pendidikan . Adalah cukup mudah bagi kita untuk menemui sarana hiburan seperti VCD player, paly station, tape recorder sampai kepada menghadirkan sarana hiburan yang berharga sangat mahal. Tentu saja tidak ada salahnya bila orang tua menyediakan sarana hiburan seperti ini, namun adalah kurang bijaksana apabila mereka kurang peduli untuk melengkapi sarana belajar keluarga.
Inilah kenyataan bahwa lebih mudah bagi kita untuk menjumpai kepingan VCD dangdut atau film kartun- karena umumnya orang kita masih demam gemar menonton- dari pada menemui buku , majalah dan koran yang berkualitas pada tiap keluarga. Pada hal salah satu fungsi bacaan adalah untuk mendidik anggota keluarga. Tetapi kalau bangsa kita belum terbiasa membaca maka bagaimana mereka bisa menjadi orang yang kritis dalam berfikir. Kita tahu bahwa salah satu manfaat dari kebiasaan membaca adalah untuk membentuk seseorang menjadi orang yang kritis dan analitis dalam berfikir.
Kita tahu bahwa banyak rumah tangga yang belum memiliki perpustakaan mini sebagai sarana belajar keluarga. Yang baru ada yaitu kepedulian orang tua untuk menyediakan bioskop sebagai sarana hiburan keluarga. Maka kalau kualitas bangsa ini lemah dalam bidang pendidikan (membaca), tentu inilah salah satu sebagai penyebab ya- kita miskin dengan kualitas pendidikan. Untuk itu kini adalah tepat kalau orang tua juga peduli untuk menghadirkan perpustakaan mini sebagai sarana belajar keluarga. Dan juga sangat tepat bagi keluarga untuk menanamkan kebiasaan dan kegemaran membaca- bagi anggota keluarga sejak dini bagi anak anak mereka.
Untuk menjadi warga yang berkualitas maka setiap anggota masyarakat harus gemar membaca. Ajakan atau perintah untuk membaca akan kurang berarti kalau hanya sekedar memerintah atau menyuruh saja. Menyediakan sarana belajar dan memberi mereka model langsung adalah sangat efektif. Karena Pemberian model jauh lebih efektif dari pada memberi mereka khotbah sebanysk seribu kali. Maka sebelum anak menyukai membaca tentu orang tua harus membiasakan diri untuk membaca terlebih dahulu.
Pendidikan agama bagi keluarga, dalam bentuk khutbah dan ceramah dari orang tua untuk membentuk anak akhlak anak, cendrung kurang bermanfaat, karena khutbah dan ceramah akan dirasakan sebagai hal yang serba membosankan. Yang lebih berkesan dalam mendidik agama atau spiritual anak adalah melalui pemberian model langsung dari orang tua, dan kemudian melibatkan anak secara langsung dengan kegiatan beragama bersama orang tua dan anggota keluarga yang lain. Orang tua perlu menetapkan prilaku yang standard untuk bertindak bagi anggota keluarga, misalnya tata cara berpakaian, cara berkata, bergaul dengan tetangga, dan lain- lain, yang sesuai dengan ajaran agama dan harus dicontohkan atau dimodelkan oleh terlebih dahulu oleh orangtua. sangat tidak bijak, misalnya, bila seorang ayah hanya pandai menyuruh anak untuk rajin shalat serta itu ia jarang dalam membaca kitab suci, sementara dia sendiri bolong- bolong dalam beribadah dan tidak pernah terlihat oleh anak menyentuh kitab suci untuk dibaca. Atau ibu yang hanya pandai menyuruh anak gadisnya berpakaian muslim sementara dia sendiri berpakaian you can see, celana hawaii dan pakaian ketat serta rambut diberi cat dengan penampilan mirip dengan selebriti atau presenter televisi.
Kita akui bahwa pemahaman umat Islam di Indonesia terhadap kitab suci Al Quran hanya sebatas pandai membaca alphabet “alif-ba- ta” saja, tanpa pernah mengerti apa yang dibaca. Membaca al-Quran seperti ini dianggap belum sampai ke dalam hati sanubari, tetapi baru sebatas kerongkongan saja. Idealnya untuk peningkatan pemahaman al Quran adalah dengan menggunakan metode translation (menterjemah) untuk pembelajaran ,di TPA dan TPSA. Tentu saja ini perlu kajian dan manajemen khusus, serta memberi mereka gaji yang berkualitas dengan gaji yang juga tinggi.
Atau juga tepat apabila kalau pembelajaran al Quran di TPA dan TPSA menggunakan pendekatan khusus, yaitu kursus bahaa Arab setelah santri anak didik tuntas dalam membaca Al Quran. Tentu saja kelak jumlah pemeluk Islam yang menguasai bahasa Al Quran atau bahasa Arab jumlahnya melebihi dari orang yang mengerti bahasa Inggris dan pada hakekatnya kelak umat islam di Indonesia tidak lagi seperti buih di pinggir pantai, jumlahnya banyak tetapi mudah hancur ditiup oleh badai kehidupan.

Marjohan, guru SMA Negeri 3 Batusangkar
Program Pelayanan Khusus
.

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...