Kamis, 07 Juli 2011

Tuhan.....,Berilah Aku Kedamaian Fikiran

Tuhan.....,Berilah Aku Kedamaian Fikiran

Oleh: Marjohan Usman

http://penulisbatusangkar.blogspot.com

            Kedamaian fikiran sangat berharga dalam hidup ini. Kondisi fikiran yang begini mampu membuat aku bisa tersenyum meski aku tinggal dalam gubuk sederhana. Aku bisa tetap bahagia walau sedang mengendarai sepeda motor rinsek. Hilangnya kedamaian fikiran bisa menjadi musibah bagiku, termasuk bagi beberapa orang temanku. Beberapa orang temanku tidak mengenal dirinya lagi dan malah ada yang telah hilang ditelan bumi.

            Suatu hari di akhir usia anak-anak, aku memperoleh teman baru. Aku berfikir bahwa ia pasti seorang anak yang beruntung, karena ia tinggal dengan bibinya seorang wanita kaya, punya rumah bagus. Semua kaum kerabatnya terkenal sebagai orang-orang yang punya pengaruh dan punya ekonomi sangat mapan. Saat itu ia pindah sekolah dari sebuah SMP di Propinsi Riau. Papanya seorang kontraktor dan mama tidak bekerja, kecuali mengurus rumah saja. Mamanya sangat menyayanginya dengan sepenuh hati dan malah terkesan over protektif- terlalu banyak melindungi dan banyak melarang “kamu tak boleh melakukan yang itu…dan juga tidak boleh pergi ke sana”.

            Temanku yang bernama Hendra ini banyak berada dalam rumah. Itu karena pola asuhan mamanya yang banyak nerasa taku atas keselamatan anaknya- “takut anak cedera, taklut anak terjatuh, takut anak berkelahi dengan teman dan takut anak tertabrak mobil”. Ya siapa yang merasa takut, tapi ini terlalu berlebihan. Akhirnya Hendra menjadi anak yang penurut, kurang banyak teman- kurang mampu bersosial, dan juga menjadi anak yang pemalu.

            Suatu hari mamanya terjatuh saat menyapu lantai, dilarikan ke rumah sakit dan meningga dunia. Mamanya meninggal karena gangguan jantung. Untuk selanjutnya pengasuhan Hendra berpindah ke bibinya, seorang janda separoh baya dengan enam orang anak. Bibinya berwatak keras dan terkesan kurang ramah. Tersenyum adalah sesuatu hal yang sangat mahal darinya. Temanku Hendra seharusnya  memiliki kemampuan beradaptasi dari pola asuh ibu yang overprotektif dan penuh kasih sayang kepada bibi yang tegas, keras dan suka aktivitas. Ia member  tanggung jawab pada Hendra dan Hendra mematuhi semua aturan dan larangan yang berlaku di rumanya “Tidak boleh menghidupkan TV, tidak boleh mendengar lagu terlalu berisik, tidak boleh menerima teman karena rumah pasti akan sembrawut, tidak boleh berkelahi dengan anak tetangga” dan akhirnya Hendra memilih tinggal dalam kamar sepanjang hari sebagai alternatif aman.

            Aku termasuk remaja kecil yang dibolehkan berkunjung ke rumah Hendra- karena menurut bibinya aku memiliki karakter yang baik, dan bibinya senang dengan ku. Aku memanggil Hendra dan mengajaknya bercanda… namun aku melihat bahwa Hendra sangat penggugup di rumahnya sendiri. Namun ia senang bermain ke rumahku, walau kondisi bangunannya amat sederhana. Di rumahku Hendra bisa tertawa terbahak-bahak dan bisa bercanda sepuas-puasnya. Namun bila balik ke rumahnya, ia harus memasang karakter serius kembali. Ada lagi karakter aneh pada Hendra yang kulihat bahwa ia suka tarik diri dari keramaian orang. Bila familinya datang walau dengan mobil sedan mewah, maka ia buru-buru lari ke rumahku yang hanya terbuat dari papan yang agak reot. Aku pernah bertanya “Kok kamu lari ke sini, enaklah punya family kaya dan punya bobil bagus”. Ia menjawab bahwa ia tidak memperoleh tempat dalam hati famili-familinya, ia hanya merasa sebagai orang kelas dua bersama mereka. 

            Karena tuntutan studi, aku akhirnya berpisah dengan sahabatku. Pernah setelah satu atau dua tahun aku tidak berjumpa lagi, saat aku menjumpainya ia sudah menjadi semakin mudah gugup dan sangat kaku. Mukanya penuh jerawat, karena ia tidak peduli lagi dalam merawat mukanya. Aneh….bahwa kalau berjalan ia suka menunduk- melihat ibu jari kaki saja. Akupun mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengannya. Ia terlihat menjadi antisocial dan tidak peduli untuk berkomunikasi. Akupun tidak punya waktu untuk mendekat sekedar untuk mengatakan hello. Namun setelah bertahun tahun tidak berjumpa, aku datang menemui bibinya. Bibinya mengatakan bahwa ia telah mengalami gangguan mental- skizoprenia/ pribadi yang terbelah. Ia suka jalan sendirian, marah-marah dan suka mengumpulkan puntung-puntung rokok untuk dihisap.

            Kedamaian fikiran juga sirna dari temanku yang bernama “Zamri Amros”. Ia saat itu belajar di sebuah SLTA dan tinggal dalam kamar kost yang sangat sederhana. Aku sering mengajaknya ke rumah atau mengantarkan nasi dengan sepotong goreng telur. Sarapan yang demikian adalah sesuatu yang mahal buatnya. Aku memahami posisi ekonomi orangtuanya sebagai petani kecil- petani miskin yang tinggal di kaki bukit kapur yang tidak subur. Ia jarang pulang kampung karena bakal tidak ada yang diharapkan (uang, harta dan makanan) dari kampung.

            Pulang kampung bukan lah yang membahagiakan bagi Zamri. Di sana ia malah menderita dan sedih yang mendalam melihat kondisi ekonomi dan kesehatan semua anggota keluarganya. Ia tidak pernah memperoleh motivasi dan inspirasi untuk sukses dari mama dan papanya. Sebaliknya, ia malah banyak memperoleh keluhan dan ratapan dari mereka. Ia merasakan hidup ini sempit dan suram. Akibatnya perilakunya tidak ceria dan ia malah penuh  dengan kecemasan- cemas kalau berbuat salah dan cemas kalau dimarahi orang.

            Tamat SLTA, ia malah bengong “mau pergi kemana ?” Ia tidak punya keberanian karena ia memandang diri sangat rendah. Ia tidak berani untuk m,elangkah, karena ia tidak pernah diajar untuk berani. Ia akhirnya pulang kampung dan ia menjadi tumpuan harapan semua orang. Ia sendiri tak mampu memenuhi harapan banyak family. Aku mendengar sahabatku mengalami sakit berat gara-gara fikirannya. Badannya kurus dan ia akhirnya hilang ditelan bumi ini…untung aku masih menyimpan fotonya, saat berkunjung ke kampungku. Hidup ini sangat ganas bila fikiran kita tidak damai.

            Andi adalah teman masa kecilku yang amat aku kagumi. Karena ia pintar dan mudah bergaul dan jago dalam balapan. Aku punya banyak memori bersamanya- kami pernah lomba balapan sepeda, pergi berburu burung di sawah dan mencari buah buahan ke kebun tetangga. Itulah bahwa banyak orang tua diseputar rumahku yang hanya pintar berharap namun miskin dalam berempati. Andi sendiri di rumahnya tidak memperoleh banyak bimbingan dalam belajar. Orang tua hanya berfikir dan berprinsip bahwa mengajar anak untuk jadi pintar adalah tanggung jawab guru di sekolah. Urusan pendidikan Andi diserahkan bulat-bulat pada gurunya di sekolah.

            Tentu saja prestasi akademiknya tidak begitu menggembirakan. Namun orangtuanya mampu untuk mengirim Andi ke sekolah dan universitas swasta yang bergengsi dan biayanya mahal. Pendidikan Andi dari SD hingga perguruan tinggi semuanya swasta dan orangtuanya telah mengeluarkan banyak uang dari koceknya buat Andi, kadang mengeluh dan menyesal “Uang banyak habis tapi kamu tetap bodoh dalam belajar”. 

            Tamat Perguruan Tinggi, ia diharapkan harus bekerja, tidak boleh menganggur karena telah menghabiskan banyak uang. Pergi ke kota Jakarta adalah solusinya. Andi pun jadi immigrant di negara sendiri- ternyata susah mencari kerja di kota dengan jutaan manusia yang stress. Yang mudah hanya menjadi sopir taxi. Itupun ia memperoleh cibiran dikampung, “Apa gunanya kuliah mahal-mahal kalau hanya menjadi sopir taxi…!!”. Andi pasti kalut dan kedamaian fikiran adalah hal yang sangat mahal. Hari itu aku ikut berkumpul di rumahnya menunggu mayatnya, ia korban kekerasan dari penumpang taxi yang tidak dikenalnya. Orangtuanya amat terpukul dengan kepergian Andi, anak laki-laki yang gagah, lembut, namun hilang ditelan keberingasan kota Jakarta.

            Sahabatku yang lain yang telah kehilangan kedamaian dalam fikirannya adalah Gope. Secara sekilas aku fikir bahwa ia anak yang beruntung. Ia punya ayah dan ibu dengan ekonomi dan kondisi social yang begitu sehat. Ia malah juga punya hobbi main sepak bola dan ia sendiri ikut masuk klub bola. Aku kemudian berpisah cukup lama karena aku harus melanjutkan studi. Ia sedikit lebih tua dari aku dan seharusnya ia juga harus meninggalkan rumah untuk pergi studi.

            Setelah tiga tahun aku pulang kampung dan berjumpa dengannya, namun ia menjadi pemuda yang banyak minder (rendah diri) dan suka mengurung diri. Ia tidak tertarik berinteraksi dengan tetangga dan juga dengan familinya sendiri. Aku fikir bahwa penyebabnya menjadi kehilangan ketenangan dalam berfikir adalah dari lingkungan rumah sendiri- namun orang suka menyalahkan tetangga. Menurutku penyebabnya adalah factor orang tuanya dan sibling (saudara kandungnya).

            Aku lihat ayahnya tidak berinteraksi dengannya. Mereka terbisaa berjalan sendiri-sendiri, tidak ada acara kebersamaan. Yang ada malah kebisaaan mengecam dan menyalahkan anak bertubi-tubi. Ibunya juga demikian, kurang banyak peduli dengan perkembangan emosi anak- kecuali ia memperhatikan minum dan makan saja. Dalam bidan akademik ia gagal tiap semester dan tentu saja ia tidak memperoleh penghargaan dalam hidup, aku fikir betapa dahsyatnya arti sebuah pujian dan perhatian. Sejak itu ia sering mengkonsumsi pil penenang untuk mengendorkan ketegangan sarafnya. Kekacauan jiwa susah untuk sembuh total setelah usia dewasa. Maka aku ingin semua orang sejak anak-anak memperoleh pujian, perhatian, kebersamaan, dan pengalaman- pengalaman sukses dalam hidup mereka.  

            Bulan lalu aku pulang ke desaku, aku sudah lama tidak kesana, namun begitu sampai di sana aku menemukan ada kuburan baru. Kuburan temanku…ada apa ? Temanku, Young, akhir-akhir kematiannya sangat menderita dengan fikirannya. Ia tidak bergairah dengan hidupnya. Ia juga tidak berbahagia dengan orang tuanya, terutama ayahnya yang sangat pemarah. Dahulu, kalau Young ada kesalahan maka ayahnya suka naik pitam dan memukul kepala dan telinga anaknya. Akibatnya di rumah Young tidak banyak mengekspresikan perasaan dan pikirannya. Ia merasa orang asing di rumahnya sendiri, mungkin inilah yang dapat dikatakan sebagai peristiwa KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) yang berkepanjangan yang bisa membuat trauma dan depresi bagi teman ku, yang bernama Young.

            Aku sendiri kadang-kadang juga mengalami problem dengan fikiran sendiri- hingga kedamaian  dalam fikiranku jadi hilang. Namun yang aku rasa sebagai penyebabnya adalah karena masa kecilku yang juga kurang bahagia. Ayahku hampir tidak melowongkan waktu untuk melakukan kebersamaan dengan ku, ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan karirnya sendiri. Ibuku juga tidak pernah mengatakan “I love you” pada ku, tidak tahu cara memujiku. Yang ia bisa Cuma banyak marah, mrmerintah dan serba mengatur. Disamping itu aku juga tumbuh sebagai anak yang punya sejuta keinginan dan aku tak mungkin mencapai keinginan tersebut maka aku menangis dalam mimpiku. Namun masih beruntung karena masih ada family, bila datang, yang memberi aku sekeping senyum dan sekeping cinta. Aku bisa bahagia karena masih menjadi remaja/ anak yang punya arti hidup. Aku dan teman-temanku pasti takut kehilangan rasa damai dalam fikiran ini. Aku berdoa kepada Tuhan pemilik kedamaian ini, agar memberi aku dan teman-temanku rasa damai dalam fikiran kami.  

Selasa, 05 Juli 2011

Aku Tidak Ingin Menjadi Muda Lagi

Aku Tidak Ingin Menjadi Muda Lagi
Oleh: Marjohan
http://penulisbatusangkar.blogspot.com
            Hidup ini sangat indah. Namun indah atau susah adalah suasana dari dalam hati. Aku sendiri paling senang memperhatikan keindahan lewat kecerian anak-anak- mengembara, berlari, berlompatan- tidak kenal lelah, dari pagi hingga malam datang lagi dan tertidur- kembali bermimpi.
            Aku juga paling senang memperhatian kecerian remaja, karena dalam kecerian mereka terdapat vitalitas hidup. Aku fikir bahwa anak-anak dan remaja adalah manusia yang paling sibuk di dunia. Coba perhatikan kalau ada keramaian dan acara-acara social yang  penuh dengan kegembiraan, maka di sana pasti terdapat banyak ana-anak dan para remaja.
            Ada hal lain yang membuat aku senang. Aku paling senang melihat seorang ayah yang menggendong dan bermain akrab dan penuh cinta dengan bayinya, karena suasana begini masih langka terlihat. Aku juga senang melihat anak-anak muda yang selalu menebar kebaikan dalam hidup ini. Lantas apakah aku ingin muda lagi ?
            Masa mudah memang sangat mudah. Tetapi aku takut menjadi muda lagi. Dari usia muda hingga usia tua ini aku telah melalui serangkaian peristiwa yang menyenangkan dan peristiwa yang menakutkan dan aku tidak ingin lagi mengulangi peristiwa yang menakutkan dalam hidup. Peristiwa yang menakutkan ada dalam masa anak- anak, masa remaja hingga masa dewasa dan masa tua.
            Peristiwa seperti perpisahan, ditinggalkan, suasana menakutkan dan dimarahi adalah hal-hal yang menakutkan bagiku saat masih anak-anak. Aku sangat gembira bila ada pertemuan dan sedih dengan perpisahan. Pada masa kecil aku sempat dipelihara oleh seorang famili yang amat setia menemaniku. Mengajak aku bermain- membuat mobil-mobilan dari kulit jeruk Bali dan membelinya tali- lalu menyerahkannya padaku. Saat aku menarik mobil-mobilan tersebut ia selalu memberi  aku semangat agar mengembara sekelilng rumah. Bila aku terjatuh dan terluka, maka ia akan meniup luka kecilku dengan tiupan angin dari mulutnya dan berkata “ah jangan menangis, kamu bakal jadi orang hebat”. Namun aku merasa sangat  berduka saat ia harus pergi karena ia harus berumah tangga. Saat itu aku tidak mengerti apa maksudnya berumah tangga, yang jelas aku ditinggal pergi dan aku merasa tidak akan ada lagi orang yang tersenyum pada ku atau menenangkan tangisku.
             Saat aku kecil, aku paling takut kalau aku rewel, karena aku aku segera diusir keluar rumah dan dibiarkan berada dikegelapan malam. Ini termasuk strategi orang tuaku dalam menenangkan semua anak anak- menakut-nakuti dengan kata-kata hantu, kuntilanak, hantu pocong dan aku dibiarkan dalam kegelaman. Aku merasa seolah olah ada jari jari hantu yang  memang menggerogoti sekujur tubuhku. Aku ingin semua orang tua tidak berbuat demikian pada anak-anaknya karena mereka pasti akan menjadi penakut dan tidak bisa mencari solusi atas problema yang mereka hadapi, juga kebiasaan demikian akan menghilangkan karakter kepemimpinan yang baik bagi anak.
             Hal lain yang membuat aku terluka saat masih kecil adalah karena dibeda-bedakan dari saudaraku yang lain. Suatu hari aku pergi bermain-main bersama teman jauh di kebun di belakang rumah. Aku tiba tiba ingin pulang karena aku merasa sangat dahaga. Apa yang aku temukan ayah dan ibuku dan saudara-saudara ku sedang makan sate, makanan kesukaanku, namun buat ku tidak ada. Mereka menduga aku tidak ada di rumah dan jatah sateku diberikan pada anggota yang lain. Aku tidak mengerti alasan mereka, yang jelas aku merasa sedih sekali dan aku pergi ke belakang rumah dan di sana air mataku tumpah sebanyak mungkin. Ibuku memanggilku namun aku ngambek, karena aku merasa sebagai anak yang berbeda dan anak yang tidak berharga. Wah aku tidak ingin menjadi kecil seperti itu lagi.
            Kesedihan-kesedihan ku, dan anak-anak lain- dalam masa anak-anak adalah karena adanya perbedaan. Sebagai anak-anak aku ingin diajak pergi ketempat permainan atau paling kurang aku juga harus diberikan mainan. Tetapi apa boleh dikatakan, orang tuaku tidak pernah tahu dengan keinginan ku. Teman-temanku berpacu dengan sepeda kecil mereka dan aku hanya menjadi penonton saja. Akhirnya suatu hari aku memperoleh sepeda dan aku rajin berlatih main sepeda.
             Setelah aku pintar bersepeda maka aku membonceng adikku. Aku dayung sepeda tersebut sekencang mungkin dan aku menjadi orang paling jago dan paling hebat di dunia ini. Aku suka dengan tantangan maka akau melaju kencang dan kencang. Aku melaju ke atas tumpukan tanah dan aku membuat sepedaku untuk melompati tumpukan tanah. Aku kehilangan keseimbangan dan aku serta adikku segera terbanting ke bumi. Aku luka-luka dan adikku juga luka-luka. Aku segera membeli plester anti luka- handyplast- untuk membalut luka-luka adikku.
              Aku taku dengan ibuku. Ia pasti marah besar. Akhirnya aku dengar suara ibu marah besar dan aku yakin bakal akan dicambuk. Aku tetap membetulkan letak plester pada luka pada wajah adikku. Anehnya  bahwa adikku juga cukup gentlemen, ia tidak menangis. Melihat aku lagi bertanggung jawab atas luka-luka adikku, ibuku batal untuk mencambukku. Mungkin ia juga kasihan melihat aku luka-luka dan adikku juga luka-luka dan buat apa dicambuk lagi. Ibuku termasuk generasi terakhir yang berprinsip bahwa “sayang dengan anak dicambuki dan sayang dengan kampung ditinggalkan. Pada hal sekarang hukum fisik harus dikurangi atau dihentikan.
              Ternyata anak laki-laki paling senang adu kekuatan fisik. Hampir tiap hari aku dan kakakku adu kekuatan fisik- siapa sih yang paling kuat ?. Aku selalu kalah dan aku sakit hati. Aku merasa dendam dan aku mencari teman yang bisa aku ajak untuk adu kekuatan di sekolah dan aku menang. Namun aku kena marah oleh ibu guru karena aku dianggap membuat keributan atau berkelahi di kelas..
               Masa bermain di usia Sekolah Dasar memang mengasyikan. Suatu kali guru-guru DI SD Negeri 3 Payakumbuh lagi rapat. Rapatnya agak lama. Aku dan teman-teman pergi bermain sangat jauh sampai dekat kolam besar. Kami memandang kolam tersebut sebagai tempat melakukan kreativitas. Kami semua melepaskan seragam sekolah dan semua berloncatan ke dalam kolam dan kami berenang. Kami lupa dengan waktu. Seorang temanku “Erman Syam” menemui sebelah anting-anting emas dan ia rembug dengan kami semua untuk menjualnya nanti dan uangnya kita bagi-bagi. Namun kami harus segera ke sekolah. Di sekolah kami ditunggu dengan hukuman dan kami disuruh mencangkul kebun sekolah. Itulah pertama kali aku mencangkul, mengangkat tangkai cangkul yang terasa cukup  berat. Kami tidak tahu kalau itu adalah pelanggaran disiplin di sekolah. Usai pulang sekolah kami pergi ke took emas. Anting emas tadi ternyata memang emas betulan dan telah dibeli oleh penjual di sebuah took emas. Uangnnya digunakan untuk pesta membeli makanan. Hari itu aku punya uang yang agak lebih. Namanya saja uang rezki nomplok.
                Masa-masa di SMP juga tidak begitu terasa indah. Semua teman-temanku mulai memperhatikan penampilan dan aku …aku tampil amat bersahaja. Aku takut minta tambahan koleksi pakaian pada orang tua. Pakaian ku sedikit dan aku jadi malas kalau ikut acara-acara teman. Aku juga tidak mengajak teman-temankku ke rumah, aku malu dengan kondisi rumahku yang begitu kecil, pengap dan berlepotan, sementara teman-temankku rumahnya bagus, bersih dan indah.
               Aku tumbuh menjadi anak yang rendah diri- karena tidak ada potensi yang musti diandalkan- kemampuan olah raga, seni dan akademikku- semuanya hampa. Akhirnya aku musti bergiat dan aku tertarik dengan bahasa Inggris. Aku menjadi lebih jago dari kawan-kawanku dan aku menjadi lebih popular dan punya banyak teman.
                Aku selalu tumbuh dan tumbuh. Aku melihat semua teman-temanku pada bersinar- punya mobil, punya alat music, punya sarana olah raga dan punya orang tua yang beken. Tetapi aku hanya punya mimpi dan suka melamun. Namun aku tidak berguna meratapi kekuranganku, aku tidak meratapi mengapa ayahku tidak memberi aku model hidup yang bagus- mengapa ayahku tidak mengajakku bertukar fikiran . dan ibuku mengapa terlalu banyak melarang dan marah marah sehingga aku tidak punya inisiatif.
                Suatu hari aku mau jatuh cinta pada teman sekelasku. Tetapi bagaimana cara untuk mengungkapkannya. Aku tidak berani dan cintaku pasti bakal ditolak. Aku sudah duluan memandang diri ini sangat rendah. Memandang diri rendah berarti merasa rendah diri. Aneh teman wanita yang mau aku taksir tidak respon padaku. Yang tidak aku taksir itulah yang memberi respon, banyak yang datang pada ku. Aku termasuk yang rajin belajar, namun nilai ku kadang kadang begitu melorot dan aku jadi sedih. Aku melihat bahwa kedekatan guru dan murid bisa membuat nilai tinggi dan aku tidak tahu cara  mendekatkan diri dengan guru-guruku. Namun suatu kali guru kesenianku merayakan ulang tahunku bersama teman-temanku  dalam kelas- dan itu sangat berkesan bagi ku sampai sekarang.
               Tiba-tiba usia belasanku mau berakhir…aku sedi banget. Besok usiaku sudah dua puluh tahun dan aku tidak remaja lagi, karena remaja itu usianya belasan. Kalau dipikir pikir bahwa usia muda tidak akan pernah datang lagi. Aku tidak suka melamun apalagi mencari-cari kelemahan diri. Aku mengembangkan diri semampu ku. Aku memperluas pergaulan dengan orang orang yang sesuai dengan pribadiku. Aku selalu ingin menjadi orang berguna dan dan orang penting. Maka aku rajin mencari identitas diri- kadang aku ingin jadi dokter, aku ingin jadi polisi seperti ayahku, aku ingin jadi pedagang seperti tetanggaku, jadi nakhoda kapal seperti kapal yang pernah aku lihat di Teluk Bayur di Padang dan aku juga membaca buku filsafat dan buku agama untuk ketenangan fikiran dan emosiku.
               Aku belajar untuk menerima diri apa adanya. Karena menerima diri sebagaimana adanya akan membuat fikiran tenang. Suatu hari teman Perancisku berada bersamaku. Mereka dalah Anne Bedos dan Louis Deharveng, mereka berdua sangat pintar tetapi mengapa penampilannya begitu urakan. Rambut panjang dan tidak disisir. Mereka menjawab ‘C’est moi et cela natural”. Suatu hari aku memberi mereka jambu dan mereka langsung memakannya tanpa membuang semut-semut hitam yang terkurung dalam telinga jambu tersebut. Katanya “Je mange tout les foumis et tout sont naturalement- aku makan semua dan semuanya alami”. Aku baru tahu kalau mereka suka dengan ungkapan back to basic dan back to natural.
                   Suatu ketika penjaja kosmetik datang padaku, ia langsung berseru “Duh kasihan uban anda bermunculan dan pakailah semir yang aku jual ini..?”. Aku protes bahwa apakah saya menjadi jelek atau hina kalau rambut beruban dan aku menjawab” Maaf uban ini membuat harga diriku bertambah, kemaren aku salah menyeberang jalan dan karena pak Polisi melihat ubanku, mereka memberi peringatan padaku dengan penuh sopan santun”.
                 Banyak orang takut tua dan mereka tambil jadi aneh-aneh dan salah tingkah. Aku masih ingat bahwa saat bibiku mau menjadi tua , ia sibuk pergi ke salon intuk mengubah penampilannya, suatu ketika ia meniru rambut kribo ala Achmad Albar. Maka ia diledek oleh temannya sebagai gadis tua dengan rambut sarang burung tempua. Orang orang yang takut tua memang telah menyerbu salon dan rajin mengkonsumsi obat obatan.
                   Aku baru tahu bahwa mengapa dulu ada teman ayahku yang usianya sekitar 40-an suka memakai kacamata gelap, memakai topi koboi, dan penampilannya mirip orang orang muda. Atau teman ibuku yang setelah usia 40 tahun atau lebih kembali peduli mengupdate penampilan- memakai lipstick tebal, rambut yang dimodifikasi ibarat penampilan remaja kemudian khawatir terus dengan kerutan yang mulai bermunculan pada wajah mereka. Mereka takut tua dan juga lebih takut kalau ditinggalkan oleh pasangan hidup mereka.
                Aku sendiri masih ingat saat ibuku meratapi kesedihannya karena ditinggal oleh masa mudanya. “Dulu dalam usia begini.. aku tinggalkan nenek mu dan sekarang aku sudah setua dia pula sekaranmg”. Aku saat itu tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh ibuku dan sekarang aku juga mengikuti pertumbuhan usia seperti mereka. Nenekku sudah meninggal dan ibuku baru saja meninggal dan esok aku akan juga menyusul mereka.
               Aku senang menjadi tua dan aku takut menjadi muda lagi. Yang aku takutkan adalah mengulang kesedihan demi kesedihan yang sempat aku lalui sejak kecil hingga aku dewasa dan aku menuju tua seperti ini. Tetapi kalau aku fikir bahwa menjadi tua itu adalah sangat alami dan semua orang serentak lahir dan menjadi besar dan tua sedunia ini. Teman-teman yang dulu sempat aku tinggalkan maka saat berjumpa dengan aku juga aku temui mengalami penuaaan. Wah mengapa harus takut tua dan aku malah takut menjadi muda. Tua yang menyenangkan adalah menjadi tua dengan penuh bijaksana. Menjadi tua yang selalu berbahasa dengan santun dan menjadi dekat dengan manusia dan juga yang terpenting dekat kepada Sang Khalik. Kini aku tengah menikmati penambahan usiaku dengan penuh bijaksana. Aku juga mengisi sebahagian malam dengan tenggelam di atas sajadah dan merasakan kedamaian dalam relung hatiku.  

Minggu, 03 Juli 2011

Kasihan…..Anak- Anak Tanpa Masa Depan

Kasihan…..Anak- Anak Tanpa Masa Depan


Oleh: Marjohan

http://penulisbatusangkar.blogspot.com

Semua orang Minangkabau (orang Padang) pasti mengikuti garis keturunan ibu (matriachat) dan ibuku sendiri berasal dari Lubuk Alung. Nenekku memiliki sawah- ladang dan perumahan di tepi aliran Batang Anai, kira-kira 3 km dari pasar Lubuk Alung. Aku tidak tahu banyak tentang nenekku dan siapa serta bagaimana dengan anak-anak dari nenekku tersebut. Yang masih aku ingat adalah bahwa ibuku memiliki 8 orang bersaudara dan masing masing memiliki anak yang cukup banyak, berkisar 4 orang sampai sepuluh orang. Itulah kelemahan ibuku- dan juga kelemahan beberapa orang lain- yang tidak terbiasa memperkenalkan anaknya dengan anggota keluarga besarnya. Sehingga aku hampir hampir tidak banyak mengenal mereka, malah saat aku pulang kampung aku sendiri merasa sebagai orang asing di antara mereka.

Andaikata aku dibesarkan di sekitar rumah nenekku, pastilah aku akan ikut tumbuh sebagai anak- anak yang juga kurang beruntung dalam memandang masa depan. Aku dan saudara kandungku dibesarkan di kota lain (Payakumbuh), dimana ayahku bertugas sebagai polisi. Aku beruntung bisa tumbuh di daerah perkotaan dengan latar belakang budaya yang cukup heterogen sehingga aku bisa memiliki motivasi hidup yang tinggi dan kompetisi belajar yang juga besar hingga aku bisa memperoleh pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik dibanding familiku di daerah asal usulku- Lubuk Alung. Dimana sebagian besar kaum kerabatku tumbuh tanpa masa depan dan mereka cenderung memiliki pribadi yang rapuh- mudah putus asa.

Ibuku mengatakan bahwa nenekku memiliki 8 orang anak dan masing-masing mereka memilki anak- anak yang banyak. Sayangnya perkawinan mereka semua hampir tidak bahagia. Pamanku yang paling tua menjalani hari-hari tua seolah-olah diasingkan dari keluarganya. Tatkala ia mengalami sakit pneumonia- paru-paru berair- maka semua anak-anaknya enggan untuk memelihara dan mengantarkan ayah mereka yang bertubuh lemah dan sakit sakitan ke tempat nenek ku. Ibarat kata pepatah “habis manis sepah dibuang”.

Ibuku mengatakan bahwa pamanku, sewaktu muda cukup bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya, buktinya ia bisa membangunkan sebuah rumah yang cukup bagus buat istri dan anak-anaknya. Namun mengapa ia dibuang atau diasingkan di hari tuanya saat ia mengalami sakit hingga ia meninggal dunia dalam keadaan menderita dan kesepian.

Aku rasa bahwa rasa kemanusiaan anak-anak perlu untuk ditumbuhkan. Anak-anak yang tidak terbiasa dilatih untuk mencintai sesama dan menyayangi sesama akan tumbuh menjadi pribadi yang tanpa hati- rasa cinta. Anak-anak yang tidak punya hubungan batin yang erat dengan ayahnya sejak kecil, ya akan tetap renggang hingga akhir hayat ayahnya. Aku rasa pamanku waktu muda- pada awal punya anak- kemungkinan lupa untuk membangun jembatan hati dengan anaknya. Barangkali ia cenderung memelihara karakter yang otoriter dan banyak marah dan serba memerintah, itulah bahwa akhirnya semua anaknya tidak memiliki rasa rindu pada ayahnya.

Nasib pamanku yang ke dua juga tidak lebih baik dari yang pertama. Aku masih ingat bahwa pamanku yang ke dua cukup berkarakter pekerja keras- ia memiliki kecakapan sebagai tukang bangunan dan sebagai petani. Ia bisa membuatkan rumah yang cukup besar untuk istri dan anak-anaknya. Namun yang belum ia miliki adalah kemampuan berkomunikasi yang pas.

Pamanku yang ke dua tersebut karakternya lebih baik walau tetap bersifat otoriter dalam berkomunikasi. Ia kurang memiliki kemampuan dalam memahami percakapan orang dan gaya berkomunikasinya kurang indah- bahasanya cenderung menghardik hardik dan membentak- bentak. Dalam urusan pendidikan anak, tentu saja ia tidak tahu sehingga rata-rata anaknya hampir hampir tidak ada yang tamat dari Sekolah Dasar. Nasibnya di usia tua juga cukup sengsara, karena istrinya jauh lebih muda dan sempat selingkuh dan menikah dengan pria lain. Akhirnya ia juga meninggal dalam pengasingan di rumah nenek.

Pamanku yang ke tiga cukup beruntung karena hingga saat ini ia sangat rukun dengan istrinya, walau mereka tidak punya keturunan. Namun ia tidak begitu dekat dengan semua keponakanya, ia jarang dan malas berkomunikasi dengan keponakannya. Akhirnya kaum kerabatnya juga tidak memiliki rasa kangen dan juga cenderung membiarkan karakter individualisnya. Suatu hari ia sakit keras dan hampir tidak ada kaum kerabatnya yang datang untuk membezuknya. Itulah hidup ini secara tidak langsung penuh dengan sebab akibat. Bahwa ia cenderung diabaikan (ignored) oleh yang lain karena ia juga tidak acuh pada kerabat dekatnya.

Tiga orang bibiku tidak pernah pergi ke kota dan tidak memperoleh ilmu yang cukup, maka persis wawasannya juga sempit dan miskin keberanian dan ilmu pengetahuan. Mereka menikah dengan pria-pria yang juga kurang terdidik dan berwawasan sempit. Hampir semua bibiku punya banyak anak. Yang paling sedikit, mempunyai 4 anak, itupun dua anaknya ada yang meninggal. Mereka hidup terlalu menyerahkan hidup pada garis nasib (hidup pasrah atau fatalistic) seperti aliran air. Ada apa gerangan ?

Suami- suami bibiku tidak punya rencana yang hebat dalam hidup mereka. Mereka cuma berfikir bahwa hidup hanya sekedar butuh makan dan pakaian, maka perjuangan mereka dalam hidup hanya sekedar mencari satu suap nasi atau satu liter beras per hari. Namun begitu anak lahir, mereka tidak tahu cara menumbuh-kembangkan anak dan apa yang harus dibutuhkan anak. Para suami bibiku adalah orang-orang kecil dan pola fikirannya juga sangat kecil.

Bibiku yang tua punya 7 anak dan suaminya hanya seorang petani kecil, hidup hanya mengandalkan hasil kebun. Ia tidak punya fikiran bisnis untuk menjual hasil kebunnnya, akhirnya ekonominya sangat minim dan layak dikatakan sebagai keluarga pra-sejahtera. Kenapa ? mereka hidup dalam rumah, yang cocok dikatakan sebagai gubuk, tanpa listrik, tanpa perabot dan fasilitas hidup yang layak dan menyantap makanan yang gizinya tidak memadai- mereka tidak kenal apa itu multi vitamin, apa itu susu dan apa itu makanan yang bergizi.

Hidup mereka hanya bersahaja, untuk makan ya cukup dengan nasi yang ditemani dengan rebusan sayur dan lumuran cabe. Mereka tidak kenal bagaimana standar pendidikan dan standar kesehatan. Untuk sekolah ya sekedar bisa mengeja kalimat- bukan bisa membaca buku. Dan untuk kesehatan maka mereka tidak kenal apa itu istilah pola makan “empat sehat dan lima sempurna”. Dalam keluarga mereka tidak ada kata kata motivasi yang ada hanya kata-kata “menyuruh, melarang, memarahi, menghardik dan kata-kata pasrah- wah kasihan kami memang orang susah dan kami orang miskin”. Demikian bagaimana anak- anak bisa memiliki motivasi dalam hidup dan bagaimana mereka bisa mendidik anak-anak dengan lancer. Sehingga semua anak-anak mereka putus sekolah saat masih di bangku SD dan juga hidup dengan pola pasrah pada takdir/ nasib.

Anak-anak mereka punya obsesi yang sangat praktis. Sebagian dari mereka membayangkan bahwa hidup enak adalah hidup di Jakarta atau di kota besar lainnya. Maka anaknya yang paling tua dengan modal nekad pergi ke Jakarta dan bermimpi untuk bias hidup enak. Namun, kenyataan kemudian, bahwa sudah puluhan tahun sang anak tidak pulang-pulang dan diperkrakan bahwa anaknya sudah jadi mayad dan jasad anaknya sudah terkubur dalam keganasan bumi Jakarta.

Bibiku yang paling tua segera menjadi janda. Suaminya pencandu rokok dan pencandu minuman kopi. Ia adalah perokok maniak dan peminum kopi maniak. Menghabiskan 2 sampai 3 bungkus rokok per hari. Lucu ya…untuk pembeli telur dan ikan- mengaku tidak punya uang namun untuk membeli rokok cukup mudah- ya demikianlah pola hidup orang miskin. Kemudian ia punya pola minum kopi sampai 3 gelas tiap hari- tentu saja bisa menderita gagal ginjal oleh zat racun yang ada pada kopi. Ya akhirnya sakit parah- gangguan paru-paru dan gagal ginjal, karena pola hidup yang tidak sehat.

Bibiku yang ke dua, juga menjadi janda. Suaminya kelewat sensitive dan orang-orang kampung juga usil dalam berbahasa- mereka paling gemar saling mengejek, saling mengkeritik dan saling menghina “Jadi suaminya hanya pintar b ikin anak dan bikin masalah” Tentu saja ejekan demikian bias membakar emosi dan bikin sakit hati. Miskinya gaya berkomunikasi- tidak ada bahasa yang santun- telah membuat hati saling terluka. Ya…bercerai dan tinggalah 5 orang anak dengan seorang ibu yang juga buta huruf dan buta keterampilan hidup.

Anak-anak yang tumbuh dengan ibu sebagai single parent yang miskin pengetahuan dan ketermpilan telah menumbuhkan anak-anak bermental lemagh dan hidup tanpa masa depan. Mereka memandang hidup ini begitu suram “wah buat apa aku harus lahir ke dunia kalau ditakdirkan jadi orang sengsara”. Hidup mereka hanya mengerjakan hal-hal yang sederhana- mengumpulkan pasir dan kerikil dari dasar sungai Batang Anai buat dijual dengan harga murah dan mereka hidup tanpa moto, kecuali selalu dalam keadaan rendah diri. Beberapa di antara mereka tidak menikah karena tidak tahu cara mengatakan “I love you pada lawan jenis”. Atau lawan jenisnya juga kurang tertarik karena mereka tidak bisa mengubah penampilan dan menggunakan bahasa yang indah. Sungguh penampilan dan bahasa yang indah amat berguna dalam hidup ini.

Sebenarnya nenekku tidak miskin karena ia mewariskan lahan tanah yang cukup luas- ada sawah dan ladang dalam ukuran cukup luas. Ada beberapa bidang tanah yang bagus untuk dikembangkan untuk ternak kambing atau ternak ayam/ itik. Namun lahan yang luas tidak ada artinya kalau ilmu dan wawasan kurang. Maka bagi mereka (kaum family) yang memiliki keberanian ya mereka pergi merantau ke metropolitan untuk menjadi buruh.

Malah ada yang telah tinggal cukup lama di metropolitan, kemudian terpaksa pulang kampung. Ternyata mereka juga sengsara di metropolitan, katanya “Dari pada sengsara di negeri orang biarlah sengsara di negeri sendiri”. Andaikata ibu dan ayahkuku tidak hijrah ke daerah lain dan maka kemungkinan pola pikiran ku dan juga orang tuaku juga akan sama dengan mereka (familiku yang di kampung.

Itulah aku merasa beruntung karena bisa hidup pada sebuah kota dengan lingkungan yang cukup heterogen. Sebetulnya kami- para anak anak dari sebuah keluarga- bisa jadi pintar, bukan terbentuk oleh pemodelan dari orang tua. Soalnya ibuku termasuk orang yang sangat otoriter dan pemarah. Dalam ia hanya menggunakan prinsip “menyuruh dan melarang”, pelanggaran atas disiplin yang ia bentuk sendiri akan dicambuk sebagai hukuman. Bagaimana dengan reward ? Reward atau pujian adalah hal yang sangat mahal. Dalam hidupku, orang tuaku mungkin tidak pernah mengajarkan dan memengucapkan kata “Maaf, terimakasih, dan kata kata pujian padaku”.

Ayahku sendiri, sebagai presiden di keluarga, hanya sebagai pemimpin laizzes faire- pemimpin yang serba membolehkan atau masa bodoh. Ayahku hanya cuma tahu bahwa kami hanya butuh makan, pakaian dan kesehatan. Ia berprinsip pada anak-anaknya “Terserah kamu, mau jadi orang gede atau tidak. Namun jadilah orang yang hebat”. Ternyata sepenggal harapan dari ayahku “jadilah orang yang hebat” cukup berguna dalam menggugah semangat juang ku.

Yang banyak menggugah semangat belajar dan semangat hidupku adalah faktor lingkungan dan bacaan yang sering aku konsumsi. Sampai sekarang aku merasa beruntung punya tetangga, dimana orang tua teman cukup peduli dengan makna pendidikan, aku keciprat kena pengaruh. Aku juga terlibat aktif dalam kelompok belajar dengan teman, kami juga punya aktivitas dengan teman-teman tetangga- ikut latihan karate/ dan silat (namun aku sering bolos karena latihannya malam-malam dan aku sering diserang oleh rasa kantuk), aku juga ikut dalam kegiatan karang taruna, aku senang bisa keliling RT buat mengumpul sumbangan. Dan setiap hari minggu pagi kami pergi ke lapangan sepak bola POLIKO untuk berolah raga. Aku bisa lari sepuluh kali keliling lapangan, itu berarti aku bisa lari sejauh empat kilo meter.

Aku juga beruntung bahwa ayahku ternyata juga suka membaca, akibatnya aku menyenangi bacaan. Akhirnya aku punya majalah sendiri yang aku beli tiap minggu- ada majalah Hai, Majalah Sikuncung dan majalah Kawanku. Lewat membaca aku punya sahabat pena dan kemampuan menulisku juga meningkat.

Aku menjadi gemar menulis, menulis cerpen, kisah nyata dan opini. Aku coba-coba menulis dan mengirimnya ke koran- koran dan majalah. Ya ada yang dimuat dan banyak yang ditolak, namun aku tidak patah semangat dan malah selalu menulis. Namun sejak tahun 1992 hingga sekarang tulisanku sudah puluhan atau ratusan yang sudah aku tulis dan dipublikasikan. Malah dua buah buku ku juga sudah terbit untuk skala nasional.

Aku juga memperoleh pengaruh dari orang orang dewasa yang ada di mesjid- mereka adalah para pengurus mesjid. Walau aku tidak memperoleh banyak pengaruh dari orangtua sendiri di rumah, namun orang-orang dewasa lain yang memberi aku perhatian, mengaggap aku sebagai anak mereka sendiri- mengajakku bercerita dan bertukar fikiran. Kadang kadang aku juga rindu dengan mereka. Namun aku tidak mungkin berjumpa dengan mereka, karena mereka mungkin sudah berada di alam sana- sudah meninggal dunia. Moga moga Tuhan (Allah) menyayangi mereka.

Tulisan ini aku tulis bukanlah untuk mengekpose tentang kekurangan keluargaku, tetapi aku ingin berbagi dengan banyak pembaca bahwa betapa banyak keluarga lain yang nasib mereka seperti nasib keluarga ku. Dibalik itu dapat dipetik kesimpulan bahwa betapa hidup ini butuh persiapan, rencana dan motivasi. Bahwa menikah dan punya keluarga itu perlu rencana dan butuh tanggung jawab. Bahwa siapa saja yang mau menikah perlu memiliki ilmu tentang berkeluarga, ilmu mendidik keluarga dan ilmu agama dan kesehatan. Bahwa betapa kekayaan fikran dan keterampilan hidup lebih berharga dari kekayaan alam.

Motivasi dan bahasa yang santun juga sangat dibutuhkan dalam hidup. Kemudian hidup kita bisa berubah melalui bacaan, melalui model atau contoh. Dan yang perlu juga untuk dimiliki adalah semangat juang dan semangat otodidak- atau self learning- dalam hidup. Sungguh hidup terasa indah bila kita memiliki kekayaan ilmu, kekayaan bahasa, kekayaan keterampilan, kekayaan spiritual dan juga kekayaan social/ kekayaan dalam bergaul.

.

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...