Senin, 26 Januari 2009

Refleksi: WNI Keturunan Sangat Peduli Pada Pendidikan Anak

Refleksi: WNI Keturunan Sangat Peduli Pada Pendidikan Anak

Oleh: Marjohan, M.Pd

Guru SMA Negeri 3 Batusangkar



Dari pengalaman hidup diketahui bahwa siswa-siswa yang berasal dari Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Cina lebih sukses dalam pendidikan. Juga sering didengar bahwa sekolah-sekolah milik WNI keturunan lebih berkualitas dan diminati oleh banyak orang. Sekolah- sekolah mereka ada pada setiap kota besar di Indonesia. Sekolah mereka dapat dikatakan menempati peringkat kualitas papan atas.

Orang yang peduli dalam urusan pendidikan tentu segera bertanya dan ingin tahu tentang mengapa ini bisa terjadi. Apa yang membuat siswa mereka unggul dan bagaimana peran orangtua dalam mendidik.

Tentu saja ada beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi anak-anak mereka di sekolah, yaitu harapan orang tua pada pendidikan anak, tidak hanya sekedar berharap dan menyuruh namun juga diikuti oleh aksi mereka- menyediakan sarana belajar atau mencarikan tempat belajar yang unggul agar mereka bisa berprestasi. Patrikakou (1997) mengatakan bahwa tingkat pendidikan orangtua warga keturunan Cina dan harapan mereka pada pendidikan anak menentukan tingkat kesuksesan pendidikan anak-anak mereka.

Fenomena yang kontra adalah bahwa banyak siswa yang bukan WNI keturunan kualitas pendidikan mereka sangat rendah. Orangtua mereka tidak memperlihatkan peran yang berarti dalam mendidik mereka, malah terkesan bahwa mereka terlalu menyerahkan urusan pendidikan anak pada guru di sekolah dan urusan baca Alquran pada guru mengaji di surau-surau. Ini terjadi karena tingkat pendidikan orangtua yang redah, dan harapan yang rendah atas keberhasilan pendidikan anak.

Ada ungkapan yang berbunyi “experience is the best teacher- penglaman adalah guru yang terbaik”. Maka pengalaman orang tua WNI keturunan dalam mendidik anak bisa jadi pengalaman bagi warga Indonesia yang lain. Mereka perlu berfikir dan bertanya tentang bagaimana orangtua dari WNI keturunan membangun harapan pendidikan pada anak dan sekaligus menjadi model bagi mereka.

Petersen (1966) dalam artikel “success story” menulis tentang keberhasilan pendidikan dan ekonomi Cina dan Jepang sebagai bangsa yang suka bekerja keras dan jarang mengeluh, kemudian di rumah, orang tua, menjadi model atau uswatun hasanah bagi anak- anak mereka. Menjadi model atau figure bagi anggota keluarga maka mereka harus rajin dan berprestasi.

Ketidak berhasilan sebahagian anak-anak Indonesia yang lain dalam pendidikan ketika di SMP dan di SMA atau mahasiswa dapat diperkirakan karena mereka belum punya karakter- seperti suka bekerja keras, belajar seius , dan mereka suka mengeluh, serta tidak memiliki semangat juang yang tinggi- berpribadi rapuh dan tidak tahan banting. Orangtua tentu tidak perlu menuduh mereka sebagai generasi yang santai dan pemalas, karena penyebab mereka demikian adalah akibat miskin model dan dukungan moral dari orang tua dan guru-guru mereka, yang mungkin juga kurang suka belajar dan bekerja keras serta senang mengeluh, kemudian bekerja tanpa orientasi untuk berhasil.

Chao (1996) mengatakan bahwa anak- anak Cina mampu menjadi siswa yang terbaik dengan bakat khusus- memenangkan kompetisi olimpiade, computer, robot, juara bulu tangkis tingkat dunia, atau menonjol dalam bidang sains dan tekhnologi. Keberhasilan mereka dalam bidang tersebut tentu karena dukungan budaya dan keluarga. Budaya yang mereka miliki adalah budaya senang bekerja keras dan belajar penuh semangat. Dalam mencari rezki, orang Cina punya moto- jangan biarkan reski dimakan oleh ayam terlebih dahulu (maksudnya jangan suka bangun kesiangan) dan “beri aku ikan maka aku makan satu kali, tapi beri aku kail- ajari aku memancing- maka aku makan ikan selamanya”. Dalam konteks ini WNI keturunan mengajar anak-anak mereka agar memiliki keterampilan hidup dan tidak meminta rezki atau belas kasih dari pihak famili atau orang lain.

Sementara itu budaya sebahagian warga Indonesia yang lain, suka hidup santai, membiarkan fikiran, tangan dan kalbu mereka menganggur. Pada hal orang yang sehat jiwanya adalah orang yang berdiri di atas kaki dan tangan kreatif.

Dukungan orangtua, ayah dan ibu, di rumah sangat menentukan keberhasilan anak dalam bidang akademik. Rata- rata anak yang cerdas atau terampil berasal dari keluarga yang sangat mendukung dan mempersiapkan anggota keluarganya untuk berhasil. Kalau begitu siswa atau anak yang cerdas bukanlah semata-mata dicetak oleh sekolah, seperti anggapan banyak orang. Peran sekolah hanyalah untuk pemantapan. Atau paling kurang perimbangan rumah dan sekolah dalam mensukseskan pendidikan anak adalah fifty-fifty percent.

Tidak hanya WNI keturunan Cina di Indonesia, keturunan Cina di berbagai belahan dunia seperti di Amerika, Kanada dan Australia juga banyak yang sukses dalam bidang akademik dan pekerjaan. Anak- anak mereka sangat berhasil dalam bidang akademik, teknologi dan sains. Bruner (1991) mempertanyakan tentang bagaimana orang-orang Cina bisa membentuk success-expectation walau mereka hidup sebagai kaum minoritas.

Chun (1995) beragumen bahwa orientasi anak- anak Cina pada sains dan tekhnologi bukan merupakan refleksi atas kesukaan mereka, tetapi sebagai respon atas usaha adaptasi mereka dengan lingkungan eksternal. Pastilah keluarga yang berbeda dalam budaya yang berbeda memiliki harapan yang berbeda. Suku Minang, sebagai contoh, dahulu menginginkan anak-anak mereka menjadi pedagang. Namun generasi muda Minang sekarang banyak yang hanya ingin menjadi PNS. Sehingga begitu ada tes jadi PNS, peminatnya membludak sampai dua puluh kali lipat dari kuota yang akan diterima.

Jun Li (2001) mengatakan bahwa latar belakang pendidikan orang tua di daerah imigran lain (Kanada, Amerika, Australia) bisa berkualitas karena fenomena brain drain dan kebijakan di Cina yang membolehkan tiap keluarga memiliki hanya satu anak, maka setiap keluarga betul- betul serius mempersiapkan masa depan buah hati (anak ) mereka dalam kehidupan yang sangat susah. Kemudian kebijakan negara tempat berimigran, karena kebijakan menerima imigran yang berpendidikan tinggi- graduate dan post graduate.

WNI keturunan di Indonesia juga mempersiapkan masa depan anak-anak mereka secara maksimal. Mereka sepakat dan peduli agar anak-anak mereka bisa bersekolah di universitas yang bergengsi di Indonesia. Mereka memandang pendidikan sebagai prioritas utama dan memandang prestasi akademik sebagai salah satu cirri khas kualitas WNI keturunan. Orang tua mereka sudi mengivestasikan uang dan energi dalam pendidikan anak-anak mereka. Mereka yakin bahwa kalau anak-anak mereka unggul dalam studi, maka mereka akan punya masa depan yang gemilang.

Mimpi mereka bisa terwujud karena, sekali lagi, mereka memiliki karakter suka bekerja keras, tidak suka mengeluh, pantang menyerah, dan sangat mendukung/ menghargai prestasi akademik anak. Sementara itu sebagian warga Indonesia yang lain hanya memacu anak-anak berprestasi dalam bidang akademik saja, dan membebaskan anak untuk mengambil tanggung jawab, “wah tidak usah pegang cangkul nak, karena jarimu halus jangan ikut memasak nak, tugas kamu hanya belajar sebagai anak sekolah”. Akibatnya anak menjadi tidak bertanggung jawab dan miskin dengan keterampilan hidup. Kemudian anak mereka jadi orang pemalas, suka memilih milih pekerjaan dan suka mengeluh atau mudah menyerah, mudah putus asa, selanjutnya kalau tamat kuliah jadi penganggur dan cendrung menyandarkan punggung pada orang lain.

Inilah penyebab mengapa banyak anak-anak bangsa ini, begitu lulus dari perguruan tinggi- walau sekalipun dengan nilai cum laude- tetapi setelah itu banyak yang tidak mampu dalam mencari kerja apa lagi unuk menciptakan lapangan kerja. Mereka sudah terlanjur dalam memanjakan diri, tidak memiliki tanggung jawab, suka pilh-pilih pekerjaan, kerjanya hanya menghafal- dan menghafal, namun miskin dengan jaringan kerja atau human relation.

Jun Lin (2001) selanjutnya mengatakan bahwa siswa siswa keturunan Cina sangat menghormati famili dan nenek moyang mereka. Kalau mereka gagal dalam belajar maka mereka akan merasa malu dan kehilangan muka dalam keluarga. Maka anak-anak Cina ingin selalu sukses agar bisa mempersembahkannya untuk menghargai keluarga mereka.

Banyak orang beranggapan bahwa anak-anak WNI keturunan bisa sukses di sekolah dan dalam dunia bisnis karena mereka memiliki otak yang cerdas. Anggapan atau stereotipe yang demikian tidak benar, karena sesungguhnya keberhasilan itu adalah hasil dari kerajinan, disiplin diri, dan pengaturan diri mereka. Kalau hanya kecerdasan, cukup banyak manusia yang cerdas namun kurang beruntung karena tidak memiliki sikap kerajinan, disiplin diri, dan pengaturan diri. WNI keturunan rata-rata sudah punya standar hidup yang harus dicapai yaitu mereka harus menjadi orang yang berhasil. Alasan lain yang membuat mereka berhasil dalam bidang akademik dan bidang pekerjaan adalah agar bisa bertahan dalam hidup sebagai warga minoritas. Mereka memutuskan harus menjadi orang yang well-educated , mandiri dan bertanggung jawab.

Untuk menjadi orang yang berpendidikan baik, anak- anak mereka didik dengan serius, penuh rencana di rumah dan dikirim kemudian ke sekolah yang berkualitas. Kemandirian anak dilatih tanpa mendikte yang banyak atau terlalu mencampuri keputusan anak dan rasa tanggungjawab terbentuk melalui pemberian tugas sesuai dengan usia dan kesanggupan anak- seperti ikut membantu orang tua dalam menjalankan bisnis.

Dalam belajar orangtua selalu menyampaikan pesan bahwa kalau anak-anak tidak rajin dalam belajar dan bekerja maka mereka tidak mungkin menjadi bintang kelas dan sukses dalam bekerja. Maka mereka sangat peduli terhadap PR atau pekerjaan rumah anak dan mengikuti kursus ekstra yang lain agar bisa memperkaya wawasan anak.

Mereka tahu diri bahwa sebagai kelompok minoritas maka tentu mereka dalam posisi yang kurang beruntung. Untuk itu mereka harus menjadi orang yang terbaik, mandiri atau kuat dari orang- orang kebanyakan- orang mayoritas. Karena dengan menjadi terbaik maka mereka tentu akan diperlukan orang lain.

(Marjohan, M.Pd, Guru SMA Negeri 3 Batusangkar)



Daftar pustaka
Chao, R.K. (1996). Chinese and European mothers’ belief about the role of parenting in
children’s school. Journal of cross-cultural psychology, 27, 403-423.

Chun, K.T. (1995). The myth of Asian American success and its educational ramification. In D.T. Nakanishi (ed). The Asian American educational experience: a source book for
teacher and students. New York: Routledge.

Jun Li (2001). Expectation of Chinese immigrant parents for their children’s education; the interplay of Chinese tradition and tha Canadian context. Canadian Journal of
education 26, 4 (2001).

Patrikakou, E.N. (1997). A model of parental attitude and the academc achievement of
adolescent. Journal of research and development in education.

Petersen, W. (1966). A success story; Japanese American style. The New York times.

1 komentar:

if you have comments on my writings so let me know them

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...