Sabtu, 26 November 2011

True Story: Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri Perancis (Sambungan)


Aku juga mengajar privat  untuk mengisi waktu luang. Akhirnya  aku juga  merasakan  enaknya mengajar. Maka saat  ada lowongan untuk menjadi dosen, semua keluarga juga mendukung, maka  aku langsung respon, “Why not”. Pada hal dahulu saat masih duduk di bangku  SMA, juga saat mendaftar ke universitas  aku sudah bilang tidak akan menjadi guru, seperti mama.
Akhirnya aku lulus seleksi menjadi dosen Politeknik Negeri Padang. Aku menjadi young lecturer  dan aku tentu merasa sedikit nervous mengajar mahasiswa yang usianya hampir sebaya aku.
“By the way aku merasa nervous mengajar mahasiswa karena aku sebelumnya hanya terbiasa mengajar anak-anak SD di pusat bimbingan belajar dan sekarang harus mengajar mahasiswa”.
Aku mengajar di Politeknik Negeri Padang, mahasiswa yang aku  ajar usianya sedikit di bawah ku. Mereka  tampak  ibarat siswa SMA. Kami  menyebut mereka sebagai siswa kelas empat SMA- karena tingkah laku mereka masih seperti anak SMA saja. Mereka juga ragu apakah aku  ini dosen mereka  atau tidak.
 “Berapa umur  miss. Apakah miss dosen kami......, apakah miss sudah menikah,...apakah miss  memiliki ilmu yang luas ?” Mereka semua bertanya dan juga ragu atas eksistensiku.            
  Komentar dan pertanyaan mereka muncul akibat  usia ku terpaut sedikit saja  dari usia mereka. Tampaknya mereka sedikit under estimate pada ku. Itu terlihat dari wajah mereka yang sedikit enggan. Ya mahasiswa Politeknik itu kan banyak yang laki-laki, dan sekali lagi mereka itu mahasiswa ibarat murid kelas empat SMA. Karena karakter mereka seperti anak SMA: suka menggoda guru, agak cengeng dan sedikit nakal.
Mereka pun  sering menggodaku, menanyakan statusku.  Ya aku  katakan  “Aku sudah married dan punya anak dua dan tinggal di perumnas”.
            Mereka bertanya lagi “Kok miss  terlihat masih muda,....apakah kami boleh pergi membuat PR ke rumah miss ?”
Malah ada yang agak bandel sampai-sampai   mengirim SMS segala. Sementara dosen wanita yang lebih tua tentu tidak begitu lagi diperhatikan oleh mahasiswa. Memang mereka sedikit nakal.
“ Ya agak sedikit  nakal,  ibarat anak- anak SMK saja. Benar karena  mayoritas mahasiswa Politeknik adalah lulusan SMK”.
            Saat bienvenu (kedatangan) CPNS baru, dan mereka adalah para dosen yang berusia muda, termasuk aku. Kami  diberitahu bahwa mengajar mahasiswa politeknik yang rata-rata banyak berasal dari lulusan STM.  Karakter mereka  agak  berbeda dari mahasiswa yang kuliah di universitas yang orientasinya adalah mencari ilmu. Sementara kalau dipoliteknik, orientasi mereka adalah kuliah untuk siap kerja. Itu perbedaanya.
            So pasti  karakter dan gaya belajar mereka juga  berbeda.
“Miss ..aku kurang  ngerti dengan pelajaran yang miss berikan, boleh dong  ke rumah miss untuk buat PR  atau  minta bantu sama miss ?” Sementara  mahasiswa yang belajar di universitas mereka dituntut untuk betul-betul mandiri.
“Kalau di university...kalau tugas ya tugas...nggak ada bilang- bilang ggak bisa. Kalau di politeknik mereka masih suka bergantung, ada masalah kelas sedikit, langsung bergantung atau mengadu/ bermohon perlindungan”.

From Padang to Bali
            From Padang to Bali, itu terjadi karena keharusan juga. Setelah aku jadi dosen dengan status CPNS (calon pegawai negeri sipil). Untuk menjadi dosen penuh ada peraturannya yaitu tenaga dosen pendidikannya paling kurang harus pascasarjana. Untuk politeknik itu baru sebuah keputusan yang  baru dan berlaku untuk politeknik seluruh Indonesia.
            Sebelumnya  Rektor juga sudah menyatakan bahwa dosen yang  baru memperoleh  pendidikan Strata 1 diwajibkan untuk melanjutkan pendidikan ke S.2 (pascasarjana).
“Aku kemudian melakukan searching ke internet lagi dan menemukan informasi tentang beasiswa. PUDIR I (pembantu rektor I) juga menyatakan bahwa ada kuliah dengan program  double degree. Tetapi  itu untuk bidang pariwisata. Dia menambahkan bahwa program itu  juga  bagus buat ku karena masih ada korelasinya dengan sastra Inggris”.
            Aku mendaftarkan  diri  dan ikut ujian tulis. Setelah aku ikut ujian untuk kuliah double degree, ya ternyata aku dinyatakan lulus.
“Ujian untuk mengambil pascasarjana ke Bali dengan program double degree, calon mahasiwa tidak perlu pergi kesana untuk test. Professornya yang datang ke  Politeknik Padang.  Aku langsung mengikuti ujian tertulis”.
Sistem ujian ya sistem jemput bola, mereka datang untuk memberi ujian. Saat itu ada 5 orang yang ikut  program double degree dan setelah  test/ seleksi semuanya dinyatakan lulus. Malah ada satu orang yang tidak mengambil,  mungkin  karena dia punya alasan keluarga. Dan bagiku sendiri lulus untuk pendidikan  S.2 di Universitas Udayana berarti perpanjangan untuk menjadi mahasiswa lagi.
            Jangankan  pergi ke pulau Bali, aku sendiri  sebelumnya   kurang punya pengalaman tinggal dan studi di kota- kota besar di Pulau Jawa. Naamun  sekarang aku harus beradaptasi untuk tinggal di Pulau Bali, yaitu sebuah pulau  Internasional. Apalagi Pulau Bali  sendiri memiliki kultur  yang berbeda dengan  kultur di kampungku.
            Studi di Bali  tidak begitu  stressed  malah aku merasa santai. Aku juga  merasa  sangat excited.
 “Wow..aku mau kuliah di Bali, wow Bali  daerah yang mengagumkan....!”
Bali adalah sebuah pulau yang sangat beken dan terkenal di seantaro dunia. Namun mamaku  mulai  melakukan interferensi.
“Wah  Ranti , bagaimana hidup dan makanmu di sana ? di situ kan susah makannya,...kamu harus cari makanan halal ya..!!!”
            Penduduk asli pulau Balim umumnya  memiliki   budaya, agama, dan tradisi yang unik dan berbeda  dari daerah-daerah  lain di Indonesia.  Tata cara yang ada di Bali juga beda dengan di kampungku. Naluri  keibuan   mama atas diriku kembali muncul. Mama  mulai mencari info.
 “Siapa  ya orang Kabupaten Tanah Datar atau  orang Batusangkar yang ada di Pulau Bali ? Di mana tempat tinggal yang aman bagi Ranti ? dan dimana makanan halalnya ?” Mama lebih beraksi duluan dari padaku.
Di mata mama mungkin aku masih kecil, jadi aku selalu diurus seperti itu.
“Aku  rasa ini adalah  semacam mother’s instink to protect her daughter’ life”. Sebelum aku pergi kesana, mama lebih dulu memahami dan mengetahui   medannya.
“ Mengapa mama begitu besar khwatirnya, pada  hal aku selalu  bersikap confident. Dan ini  juga sudah  ditanamkan oleh papa sejak dulu
 “Kamu harus selalu memiliki percaya diri yang tinggi”. Kata papa berulang kali. Namun  ternyata papa juga merasa gundah di saat seorang ibu merasa gundah terhadap anaknya.
“ Ya  papa  juga ikut  gundah dan sangat peduli “ Itu karena  aku seorang perempuan dan tidak punya saudara yang tinggal di pulau Bali.
Aku lulus dan terdaftar sebagai mahasiswa Pascasarjana di Universitas Udayana Bali. Aku  mengambil jurusan kajian pariwisata untuk master degree.  Saat  aku  enter ke dalam kelas pariwisata,  aku merasa blank.
 “Karena aku tidak punya basic tentang  dunia parawisata. Pada minggu pertama kuliah tentu ada semacam kelas orientasi, untuk mengenal kampus dan sistem perkuliahan di sana. Wah kuliah pertama itu terasa ngambang saja bagiku”..
Aku merasa blank kuliah di  parawisata karena basic pendidikan S.1 hanya tentang sastra bahasa Inggris. Aku hanya belajar tentang linguistik, semiotik, psikolinguitik dan pragmatik. Sementara di S.2 aku akan menyorot kajian pariwisata. Aku akan belajar tentang hukum, imigrasi, pabean atau beacukai....dan lain-lain.
“Ternyata  kuliah di pariwisata adalah kuliah  tentang ilmu yang interdisipline. Semua disiplin ilmu bisa masuk ke sana. Jadi aku merasa seperti anak  SMA lagi. Ya aku belajar dan belajar, menghafal dan menghafal terhadap semua mata kuliah. Aku juga banyak diskusi dengan teman-teman dari jurusan lain”.
Dari diskusi tersebut aku bisa memahami banyak teori. Kuliah di sana kami  juga bikin tugas bersama teman-teman.  Namun tugas- tugas di S.2  lebih  berat dibanding dengan tugas saat kuliah  S.1. Kalau ada satu buku untuk satu mata pelajaran, maka paling kurang mahasiswa yang kuliah S.2 harus memahami satu chapter perminggu, itu juga harus diringkas, disiapkan  power pointnya buat  presentasai di kelas.
Aku juga harus tentang  trik-trik  agar  sukses kuliah di S.2 di Udayana. Mahasiswa yang sukses atau tidak sukses bisa terlihat dari excited atau tidak excited-nya ia dalam mengikuti perkuliahan. Kemudian juga apakah aktif atau tidak aktif dalam perkuliahan. Karena program double deggree ini nanti musti lanjut kuliah ke Sorbonne, atau universitan Angers di Paris- Perancis, maka aku harus aktif dan merasa excited dengan kuliahku ini.
“Kamu kuliah di Bali...?” Tanya teman
“Ya...aku kuliah di pulau Bali,  sambil kuliah aku juga bisa rekreasi dan shopping”.
Terus terang bahwa aku merasa kesulitan kuliah di Udayana, khusus dalam semester pertama, karena aku harus memahami topik-topik baru.  Senentara itu sistem transportasi di pulau Bali juga berbeda dengan Sumatera Barat. Transportasi disana tidak lancar. Transportasi umum tidak bisa meng-acces semua rute. Jadi yang lebih praktis adalah  naik taxi. Namun untuk mencapai kampus, aku tidak merasa ada masalah.
“Selain kuliah aku juga ikut kegiatan belajar di Alliance Francaise, ya buat belajar bahasa Perancis”.
Karena program kuliah double degree Udayana dan Perancis, mahasiswanya harus menguasai Bahasa Perancis dan ikut belajar Bahasa Perancis. Maka musti ada mess untuk belajar bahasa Perancis. Ini menentukan  apakah mahasiswa bisa lulus atau tidak untuk menuju Paris. Jadi sebelum mahasiswa enter ke universitas di Paris, mahasiswa sudah diseleksi lebih dulu, dengan  ketentuan  kita bisa menyelesaikan pendidikan 2 semester di Udayana, terus kemampuan Bahasa Perancis juga bagus.
“What is double degree ?”
Double degree itu maksudnya adalah “dua sarjana”. Kuliah dalam satu program, kita bisa memperoleh dua gelar sarjana. Seharusnya dalam satu kurun waktu kita bisa mendapat satu gelar sarjana, namun melalui double degree kita bisa memperoleh dua gelar sarjana. Dalam dua tahun dengan dua gelar sarjana- bagi ku yaitu “sarjana pariwisata dan satu gelar sarjana dari Universitas di Paris- gestion touristique et hotelerie”.
Jurusan gestion touristique et hotelerie itu hanya ada di Sorbonne, sementara kalau di Universitas  Angers yang ada  hanya jurusan  touristique. Disana  memang pure departement (jurusan murni) seperti yang ada di Bali.  Program double degree ini memang sudah satu paket perkuliahan. Kalau begitu aku harus menyelesaikan 2 thesis, di Udayana dan di Paris.
Untuk project akhir di Udayana, aku  baru sebatas menyelesaikan propposal thesis, karena waktunya tidak cukup. Selanjutnya aku harus konsentrasi menuju Perancis.
“Nanti bila pendidikanku bisa selesai yang di Perancis maka  aku musti kembali ke Udayana buat menyelesaikan proposalku, melakukan penelitian dan menulis laporan (thesis)”.
Perkuliahanku yang belum selesai di Udayana ditangguhkan dan aku siap-siap untuk enter ke Sorbonne. Aku juga harus menyelesaikan thesis di Paris, yang mana  thesis  tersebut harus  ditulis dalam bahasa Perancis,  kemudian  diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dan ditulis dengan ketentuan penulisan di Udayana.



BAB. VI  Bonjour Paris

Passing Grade
            Pendidikan di Perancis akhirnya menjadi kenyataan. Aku tentu punya cerita dari Bali menuju Paris. Ada dilemna antara lulus atau tidak. Untuk nilai administrasi di Udayana, alhamdulillah, aku bisa lulus dan IPK (indeks prestasi kumulatif) di atas 3.00. Ya sesuai dengan passing grade yang ditentukan oleh Sorbonne universite.
Syarat  untuk mengikuti  beasiswa adalah memiliki TOEFL (Test of English as Foreign Language) dengan skor passing grade 500. TOEFL adalah test untuk Bahasa Inggris. Sementara untuk Bahasa Perancis, level passing gradenya diberi istilah “A-1, A-2, B-1 dan B-2”. Tingkatan passing gradenya juga disebut “ A-une, A-deaux, B-une dan B-deaux”.
“Tidak semua mahasiswa bisa melalui passing grade B-deaux dan aku punya keinginan besar untuk bisa kuliah di Perancis, Bonjour Paris”.
            Aku hampir tidak bisa memperoleh passing grade  B-deaux, mungkin hanya A-deaux, atau  mungkin A-une dan  B-une.
“ A-une, A-deaux, B-une dan B-deaux ya semacam tingkatan nilai TOEFL- mungkin dengan skor 450, 500, 550 atau 600”. Jadi ujian bahasa Perancis di universitas Udayana hanya bisa untuk mencapai A-deaux atau B-une. Sementara untuk di universitas Sorbonne musti skor passing gradenya bahasa Perancis B-deaux.
            B-deaux itu adalah syarat untuk bisa enter menjadi master. Supaya tidak ada kendala dalam perkuliahan maka mahasiswa harus memperoleh level B-deaux. Karena jam untuk belajar Bahasa Perancis selama tinggal di Pulau Bali tidak cukup,  maka belajar Bahasa Perancis dilanjutkan ke CCF- Cultural Centre Francais-  Jakarta.
            Belajar Bahasa Perancis juga perlu kiat-kiat khusus. Cara yang terbaik untuk menguasai bahasa Perancis- dan juga bahasa asing lainnya- adalah melalui praktek, practice makes perfect.
“Kosa kata tidak bisa dihafal, jadi hanya bisa dipakai melalui percakapan. Lewat percakapan kostakata, tata bahasa dan makna kata jadi terpakai”.
            Aku ingin tahu tentang kepastian untuk menuju Paris. Selama ikut kursus bahasa Perancis aku sudah tahu siapa saja yang akan melanjutkan studi di Perancis. Dari pulau Bali hanya ada 3 orang yang terseleksi tidak lulus. Bagi yang bisa melanjutkan kursus bahasa Perancis ke CCF itu berarti bisa ke Perancis, namun itu baru pernyataan sepihak dari Alliance francais Pulau Bali.
            Aku merasa kepastian  untuk bisa kuliah di Perancis belum jelas. Apalagi pihak Dikti  juga pernah bilang  “Kalian belum seratus persen lulus untuk menuju Perancis”. Dikti itu berarti Dirjen Pendidikan Tinggi- dari Kementrian Pendidikan Nasional.  Aku bisa memahami pernyataan Dikti tersebut, apalagi dari segi bahasa Perancis kami  yang belum lancar. Passing grade bahasa Perancis kami untuk bisa studi di Perancis harus pada level B-Deaux. Aku harus melanjutkan pada B-une, mungkin B-une blanc. Ya level untuk B-une pemaksaan target.
            Aku dan teman teman juga harus mengurus visa dan passport. Namun aku masih merasa belum pasti untuk berangkat, karena Bahasa Perancisku belum bagus banget. Kita bisa yakin lulus atau tidak kalau sudah memperoleh attestation dari Paris. Ternyata attestation itu datangnya berbeda-beda, tidak serentak, tentu saja ada yang dapat info lebih dulu, yang belum dapat info tentu masih berfikir apakah lulus atau tidak.
            Akhirnya aku menerima attestation hampir satu bulan sebelum berangkat. Info kedatangan attestation aku peroleh lewat Dikti Jakarta.
“Aduuuhhh....aku punya waktu 15 hari untuk menyiapkan segala sesuatu untuk menuju Perancis. Berarti  waktu yang aku miliki sangat kurang untuk bersiap-siap”.     Untungnya  aku sudah punya passport. Aku membuatnya dulu waktu mau pergi jalan-jalan sekeluarga ke Malaysia. Saat itu mama dan papa juga membuat passport, ya kami sempat berlibur ke Malaysia.                      
            Makin dekat saat keberangkatan menuju Perancis, aku merasakan fikiran dan perasaan serba  berkecamuk. Perasaan risau bercampur dengan perasaan senang, takut, cemas dan confused  about what next- aku bingung tentang apalagi yang bakal terjadi.
“Kebingunanganku yang pertama adalah  tentang argent (uang). Beasiswa dari Dikti pasti macet. Jadi mahasiswa yang mendapatkan program Dikti, termasuk aku, untuk mengurus diri dan menyiapkan dana lebih dahulu. Nota bene aku jangan mengharap uang Dikti lebih dulu”.
            Ternyata benar, ketika kami berangkat menuju Perancis jam 14.00 WIB sore dan beasiswanya baru cair jam 17.00 WIB. Sehingga kami kucar-kacir, menjemput beasiswa ke Dikti dengan tergopoh-gopoh sambil  membawa  dengan segumpal besar bagagge (barang-barang). Alors (kemudian) aku mondar mandir antara Dikti dan bank untuk mengurus beasiswa bagi 5 orang. Saat itu setiap orang memperoleh 6.000 Euro. Setelah itu mata uang Euro harus dikonversi kedalam bentuk Rupiah.
            Ya kami mencari money changer lagi untuk menukar Euro.
“Apakah ada money changer yang punya stock menukar 6.000 Euro kali 5 orang. Kalau money changer bilang ada, maka kami harus balik lagi ke bank. Saat itu kami harus bawa uang cash (tunai) itupun sudah beberapa jam kami alami sebelum keberangkatan. Bearti beasiswa 6.000 Euro untuk enam bulan, jadi 1.000 Euro per bulan”.
            Sebenarnya sebelum aku berangkat ke Perancis, mama sudah stand by lewat pinjaman ke Bank BRI Batusangkar. Ya itu namanya beasiswa dari bunda.
“Nanti kalau ada kesulitan ya nanti ada uang cadangan buat mu. Ini uang dari mama, silahkan tukarkan ke Euro...!”. Kata mama saat itu padaku. 
            Tentu saja pergi ke Perancis tidak seperti pulang kampung. Kalau pulang kampung semua barang-barang bisa diboyong. Namun kalau ke Perancis yang dibawa tentu barang-barang yang diprioritaskan dan terbatas. Sebelum berangkat kami semua sudah diberi penjelasan oleh Dikti dan Pusat Budaya Perancis Jakarta.
            Yang harus dibawa adalah dokumen. Kami disarankan untuk tidak membawa yang asli, tetapi yang sudah dilegalisir. Kemudian mama juga menyediakan rice cooker.
 “Ya Ranti kan orang Indonesia asli, makan nasi, di sana orang tidak masak nasi, ya mama mencari rice cooker kecil buat satu orang, praktis buat masak”. Kata mama.
Aku cari rice cooker buat tyraveling, juga membawa beras 2 liter. Di sana mana aku tahu tempat orang jual beras, paling kurang satu minggu setelah itu baru bisa cari beras. Berasnya ya beras Padang Ganting, namanya beras sokan, rasanya enak sekali.
            Akhirnya aku sebagai gadis yang berdarah separoh desa dan separoh kota buat pertama kali akan  terbang menuju negara super moderen. Kami  berangkat menuju Perancis, dari Jakarta menuju Singapore....oh tidak, pesawat kami terbang dari Jakarta menuju Dubai- sebuah negara Arab. Dari Dubai terbang lagi menuju Perancis. Kami terbang dengan maskapai ETTIHAT –ya tentu pesawat dari negara Arab.
            Pesawat tersebut penuh dengan penumpang asing. Pesawat itu dilengkapi  dengan fasilitas  hiburan. Jadi memang  cocok untuk penerbangan yang cukup jauh dan membosankan, ya kami hampir 10 jam dalam pesawat. Dalam pesawat kami  bisa nonton film, bisa main game dan mendengar lagu. Karena pesawatnya bagus maka pelayanannya juga bagus.
“Dalam pesawat itu  aku mulai mengenal jenis- jenis makanan internasional walau aku tidak tahu makanan tersebut. Aku melihat jenis makanan yang serba asing...ini makan apa.., tentu rasanya beda, kemudian apakah seleraku bisa menerima atau tidak ?” Maka aku selalu memilih omelete....telur dadar...ya telur dadar.
            “Kamu memilih apa ?” Tanya teman.
“Ya omelete, soalnya aku tidak tahu dengan rasa makanan lain. Kalau aku ambil makan yang aku tak kenal rasanya, tahu tahu aku tidak suka. Tentu aku bisa jadi ashamed. Ada sebuah makanan khas dari Bangladesh-namanya Dalpiji- ternyata rasanya tidak pas untuk lidah orang Sumatera”.

Bienvenu a Paris
            Bienvenu a Paris atau selamat datang di Paris.  Penerbanganku bersama  pesawat ETTIHAT cukup lancar dari Jakarta menuju Abu Dabhi, kemudian transit dan terus ke Perancis, mungkin ada selama 10 jam. Pesawat mendarat di bandara Charge De Gaul Etoile di Paris.
“Dari Bandara menuju universitas Sorbonne wah......sangat dilemna dan menyedihkan karena seharusnya kami booking ke Perancis setahun yang lalu”.
            Kata salah seorang dari Indonesia juga demikian, bahwa kami seharusnya  sudah  booking tempat tinggal di Perancis lebih awal, misalnya setahun yang lalu. Sementara itu aku mempersiapkan diri buat menuju Perancis tidak cukup dalam waktu satu bulan. Apalagi aku kuliah di Sorbonne dan harus menjari tempat menginap.
“Sorbonne itu berada dalam wilayah zona satu, itu berarti wilayah jantung kota Paris”.
Daerah yang berada di jantung kota tentu saja merupakan tempat yang favorite . Aku memperoleh informasi bahwa banyak  penginaman atau apartemen yang sudah penuh. Mencari tempat tinggal di kota Paris musti melalui waiting list. Akses untuk mencari penginapan bagi mahasiswa bisa dibantu lewat Crouse.
“Nah saat itu pada libur, maka crouse juga pada sibuk untuk menjawab berbagai email”.
            Aku juga pernah  mengajukan sejumlah pertanyaan dengan cara  mengirim email dan mereka menjawab pakai mesin penjawab email. “Pardon je ne peut pas repondre de ton question audjourd’hui, en vacance - maaf aku tidak bisa menjawab pertanyaan anda sekarang, lagi libur”.
“Jadi pada hari keberangkatan itu, kami tidak tahu mau nginap dimana. Saat itu aku juga tidak tahu duitnya seberapa...aku cuma bawa duit 2.000 Euro untuk 2 bulan sambil menunggu beasiswa kapan cair, alhamdulillah beasiswa saat keberangkatan sudah cair. Ya kalau tidak ada tempat menginap, kita kan bisa cari hotel dan kita punya banyak uang...ha ha!!”
            Arrive la bas (sampai di sana) ya aku sedikit lega. Untung kami semuanya berlima orang dan itu semuanya perempuan. Dan semuanya belum pernah pergi ke luar negeri. Yang berlima itu adalah aku (Ranti), Hajjah, Rossi, Hikmah dan Deni. Jadi dengan berlima aku merasa lega, satu nasib- satu derita.
            Kami berlima langsung melapor ke CROUSE, bahwa kita mahasiswa asing dari Indonesia sudah sampai di Bandara Perancis. CROUSE itu adalah badan yang mengurus etudiante (student) dari luar negeri yang postnya ada di bandara. Sekali lagi bahwa crouse itu adalah lembaga yang mengurus etudiante etranger (foreign student).
Enak juga karena CROUSE punya stand kecil untuk menyambut mahasiswa asing yang datang. Mahasiswa yang sudah datang ya langsung melapor ke sana.
“aku melapor bahwa kami sudah datang dari Indonesie tetapi tidak tahu dimana mau tinggal”. CROUSE memberi kami voucher untuk hotel dan  menginap selama 3 hari 2 malam. Kami juga dikasih tiket bus dan kami dijemput oleh senior PPI.
PPI adalah Persatuan Pelajar Indonesiia untuk wilayah Perancis. Kami harus punya kontak dengan PPI. CROUSE juga semacam pusat informasi bagi mahasiswa asing yang didanai oleh pemerintah Perancis. Aku tidak tahu apakah ada CROUSE di Indonesia, atau mungkin langsung saja diurus oleh biro penerangan, attache budaya atau kantor Duta Besar.
Sebelum berangkat ke Perancis kami sudah mendaftar langsung menjadi anggota PPI. Sehingga PPI Perancis cukup welcome dan kami bisa minta tolong carikan pemondokan buat kami. Ternyata pemondokan di Zona I dan Zona II  memang sangat susah. Syukur ada yang membantu, aku bisa kontak Pak Sudrajat, salah seorang anggota attache pendidikan di KBRI Paris, dan aku kirim email pada beliau.
Email-nya selalu on line. Aku bertanya tentang hal-hal yang aku ingin tahu. Pak Sudrajat mengutus special envoie- Bang Ikhsan- untuk menjemput kami ke Bandara. Jadi Bang Ikhsan adalah semacam guide untuk membantu mahasiswa Indonesia.
Kami mendapat hotel untuk menginap, setelah dipandu oleh Bang Ikhsan. Kami merasa fatigue (letih) juga. Selama istirahat di hotel untuk melepas fatigue, kami semua sibuk email, chatting dengan keluarga, mengabarkan bahwa kami sudah sampai di Perancis dengan selamat.
Kami esoknya mendaftar ke CROUSE lagi. Ternyata kami tidak BGF seratus persent. BGF itu berarti Boursierre Goverment Francaise atau Beasiswa Pemerintah Perancis. Karena biaya hidup perbulan ditanggung oleh pemerintah Indonesia lewat DIKTI dan  Perancis hanya menanggung untuk biaya kuliah saja juga meliputi securite sociale atau jaminan social dan juga jaminan kesehatan, cuma itu. Berarti mereka tidak bertanggung jawab untuk mencarikan lorgement atau penginapan.
“Walau kami bermohon-mohon tetap tidak dapat”. Kami pada hari berikutnnya melapor ke KBRI dan salah seorang staff dari KBRI namanya Buk Ida  memberi kami alamat salah seorang Perancis namanya Madam Francoisse. Tempat tinggal Madam Francoiusse jauh sekali.
“Kami tinggal di rumah madam Franchoisse Kami butuh waktu untuk naik TER- semacam transportasi kereta api- selama  dua setengah jam untuk mencapai kampus, yang lokasinya jauh sekali”.

Zona Kota Paris
Kalau di Paris untuk zona I dan II (arrondissement I dan II) kita bisa menggunakan metro- kereta api bawah tanah. Sementara untuk menuju zona yang lebih luar, ya kita harus menggunakan transportasi TER. Akhirnya kami  memutuskan tinggal di tempat Madam Francoisse karena apartemennya  bisa menampung kami berlima orang. Jadi Madam Francoisse langsung menjadi ibu kost kami.
Madam Franchoisse sendiri sudah memiliki  pengalaman dalam menampung mahasiswa asal Indonesia. Ia punya apartement dan menyewakan beberapa kamarnya untuk mahasiswa Indonesia. Bagusnya lagi bahwa ia juga bisa berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia dengan anak-anak kostnya.  Ia sendiri pernah tinggal dan berkunjung beberapa kali ke Indonesia. Ia cukup memahami budaya dan karakter anak-anak Indonesia jadi  ia bisa menerima anak-anak dari Indonesia.
Setelah tinggal di rumah Madam Francoisse selama dua minggu, kami berlima baru belajar mengenal lingkungan. Mula-mula kami pergi ke luar untuk mencari kiosk dimana orang menjual roti, beras, rempah-rempah dan bahan pangan dari Indonesia.
“Ayo teman-teman kita jalan-jalan ke luar aku ingin beli beras yang bagus agar nasinya enak..!” Ajak salah seorang teman.
Setelah itu kami juga pergi ke kampus dan berbincang-bincang dengan mahasiswa asing yang belajar di universitas Sorbonne.
“Kamu tinggal dimana ?” Tanya seorang teman.
“Kami berlima tinggal bareng di rumah Madam Franchoisse”. Aku menjawab dan teman-teman tersebut tampak surprised bahwa kami berlima bisa tinggal pada satu tempat, karena seperti itu jarang terjadi.
“Biasanya mahasiswa-mahasiwa yang datang ke Paris  kalau mau cari tempat tinggal hanya bisa untuk  satu atau dua kamar, jarang yang bisa untuk lima orang. Selalu ada yang terpisah satu orang”.
Kamar yang aku peroleh milik seorang CROUSE, kamar itu partager (sharing) untuk dua orang. Teman ku yang dua lagi dapat tempat di studio privee (kamar mirip studio) letaknya di lantai bawah.
“Kalau aku mencari kamar  sendirian, sewanya bisa lebih mahal dan itu pun tersedia di luar zona”.
Harga kamarku perbulan 175 Euro dan itupun  aku sudah memperoleh  potongan. Selama tinggal di lorgement, tentu saja kami harus bisa adaptasi dengan ibu kost. Selain itu juga perlu beradaptasi  dengan makanan dan  way of life orang-orang  Perancis.
Hari-hari berikutnya pagi-pagi sekali aku ke luar untuk mencari kartu buat Phone-cell, kartu Perancis, aku juga mau mencari buah-buahan dan daging, walaupun kami membawa beras dan rendang.
 Diam-diam madam Franchoice juga memperhatikan aku. Ia  datang mentertawakan aku:  Tu est a Paris, Pas a Jakarta. Les kiosk encore ferme- Kamu sekarang di Paris, tidak di Jakarta, kedai-kedai masih tutup”. 
Sejak dari Jakarta kami  juga membawa pakaian yang lengkap. Aku sendiri  membawa pakaian untuk musim dingin. Aku merasa cuaca yang sangat kontra antara Jakarta dan Paris, hari terasa dingin dan aku sudah memakai musim dingin. Madam Francoisse berkata lagi.
“ Ranti, mengapa kamu sudah memakai pakaian musim dingin, ini kan masih di akhir musim panas- Pour quoi tu porte le vetement de hiver, il fait en fini de l’ete encore”.
    “Astaga......!!!, mengapa Madam Francoisse menyindir ku. Aku merasa sangat dingin .... suhu sudah terasa dingin dan aku lihat suhu menujukan angka 16 derajat celsius”.
Aku dan teman-teman  sudah merasa kedinginan dan Madam Franchoisse, juga yang lain, terlihat masih santai saja. Pokoknya budaya berpakaian juga dipengaruhi oleh musim dan cuaca . Contohnya pakaian untuk musim panas ya tetap pakaian musim panas, walau kita sendiri sudah merasa kedinginan, mereka masih bertahan. 
Kemudian tentang karakter  madam Francoisse itu sendiri juga perlu kami pahami. Walaupun ia sudah sering datang ke Indonesia dan sudah tahu dengan attitude (sikap) orang Indonesia itu sendiri. Lagi pula ia sendiri bisa berbahasa Indonesia dan mencintai Indonesia, namun juga tetap tidak memahami tentang budaya kami sepenuhnya.
“Pagi-pagi sekali kami sudah bangun. Kami sudah menggunakan kamar mandi untuk berwudlu buat sholat dan cuci muka, ia berkata “Kenapa kalian pagi-pagi sudah bruyant (meribut) itu tidak bagus, di sini kamu boleh beraktivitas di atas jam 9.00 atau jam 10.00 pagi itu baru boleh bruyant, kalau sebelum itu orang-orang masih tidur di sini”.
Kami complaint  (mengeluh) padanya, “Tidak boleh seperti itu madam, kamar mandi kan hanya satu. Tiap pagi kami harus bruyant karena tiap pagi kami harus praying- sholat”. Madam Francoisse menjawab, “Ya kalian boleh tetapi pagi-pagi tidak boleh bruyant, coba suaranya pelan-pelan ya”.
Madam Franchoisse selanjutnya berkata: “Terus saya ingat attitude orang Indonesia bahwa kalian tidak bayar air. Kalau di sini, keluar kamar ya kamu harus matikan lampu. Kalau tentang kebiasaan mandi, saya tahu bahwa di Indonesia orang tidak bayar air. Tapi di Perancis mereka harus bayar”.
Jadi di Perancis orang selalu melakukan budaya penghematan. Itulah mengapa kami selalu dilihat dan Francoisse sering berkata “keluar kamar tolong matikan lampu,,,,ya !!!”.
“Ranti, kenapa kamu tidur tidak mematikan lampu ?” Tanya Madam Francoisse  suatu hari. Aku complaint dan menjawab, “Saya phobie gelap madam, saya terbiasa tidur pake lampu”.
Madam Francoisse menjawab lagi , “Oh cela pas de probleme- oh itu tidak masalah”.
Terus ia juga sering bilang, “Mandi juga tidak boleh lama-lama, tidak boleh buang-buang air yang banyak dan tidak boleh bising (bruyant)”. Pokoknya hidup di Perancis harus ekstra hemat.
Nah itu culturenya kalau di Perancis dan culturenya yang biasa aku lakukan di kampung sendiri. Madam Francoisse selalu mengajak kami untuk memahami budaya hemat orang Perancis, “Parce que quelque chose ici est chere- karena segala sesuatu di sini harganya mahal”.
“Kalian hobi masak ya..maka beras kalian cepat habis”. Kata Madam Francoisse menyindir. Ia kami memang suka masak, masak nasi, masak sayur, masak lauknya, dan madam Francoisse selalu melihat kami dengan senang.
Madam Francoisse itu usianya sudah lebih dari separoh baya dan ia sudah pensiun. Suaminya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Dia mengatakan bahwa dia punya dua anak, satu perempuan dan satu  laki-laki. Yang perempuan sudah menikah, sementara yang laki-laki sudah bekerja tetapi tinggal sama dia.

Seperti Apa Universitas Sorbonne itu ?
Seperti apa Sorbonne itu ? Oh ya waktu aku enter ke Sorbonne kami tidak boleh memakai jilbab. Sorbonne termasuk universitas yang punya M.o.U (memorandum of understanding) yang melarang mahasiswi memakai jilbab di lingkungan kampus.
Dalam wawancara ketika aku enter ke universitas Sorbonne, aku diberitahu:
 Si tu va au Sorbonne universite, tu dois changer ton chapeau- Kalau anda belajar di Universitas Sorbonne, anda harus ganti selendangnya, maksudnya jilbab”. Kami semua mengiyakannya. Akhirnya untuk mengganti jilbab kami berlima memakai chapeau (selendang) menutup kepala yang sederhananya.
Jadi kami berlima memakai chapeau, seperti anak kecil. Orang Perancis melihat kami serba lugu. Kami jalan-jalan keliling kampus universitas Sorbonne. Untuk melihat-lihat dan mengenal lokasi.
“Ayooo.....mari kita melihatnya kampus itu ya...!!, Bagaimana susunan gedung-gedung agar kita tidak tersesat”.
Dalam imajinasiku bahwa mungkin susunan gedung universitas Sorbonne seperti susunan gedung kampus UNAND dan Udayana. Ternyata tidak seperti itu susunannya. Universitas Sorbonne terletak pada gedung dengan lima lantai. Di sana  tedapat kantor Crouse (Kantor informasi buat mahasiswa), lantai dua untuk beureau (kantor), lantai tiga untuk Irrez- Paris Une, dan seterusnya.
Kami ingin mencari seseorang di Universitas Sorbonne namun kami susah mencari orang yang kami maksud, yaitu Madam Surmais. Katanya ruangannya di Sorbonne.
“Kami sudah sering email-emailan, namun susah cari kantornya”. Rupanya  madam yang kami cari itu keluar melihat kami kecil-kecil mirip boneka teletubby dan berkata “Ayo....masuk, cari siapa ya...?”
“Kami mencari madam Sourmais..!” Tanya kami,
“Oh ya saya Madam Sourmais”. Kami datang dari Indonesia dan kami orang Indonesia dan ternyata nama kami sudah terpampang. “Voila...etes vous Indosiennes ?
“Je te vois comme lycennes- aku lihat kamu layak anak SMA saja”, Kata Madam Sourmais, belum seperti  mahasiswa S.2, apalagi wajah kami semua juga masih imut-imut.
“ Tapi wajah orang asia memang seperti itu, terlihat muda dari usianya dan susah untuk ditebak”. Dia bicara seperti itu.
Aku tidak bisa membayangkan, kalau di Indonesia suasana kantor itu ramai, namun kalau di Perancis suasananya  sepi ya harus serba effektif dan effisien- maksudnya serba hebat.
“Buat apa karyawan banyak kalau kerjanya tidak effektif. SDM tenaga kerja yang dipakai di sana sangat minim dan upahnya atau gajinya cukup mahal”. Kata salah seorang temanku saat bincang-bincang ringan di depan kampus Sorbonne. 
Para staff disana juga mengatakan hal yang demikian, “karena tenaga sedikit sementara administrasinya banyak ya kelelahan juga mengerjakannya”.
Tentang tenaga administrasi juga berbeda antara Perancis dan Indonesia. Kalau di Indonesia ya...banyak tenaga administrasinya  sehingga banyak pula yang bisa melayani kita. Kalau di sana tenaga administrasi terbatas dan pelayanannya juga terbatas.
Mereka enak saja bilang: “Attend...je ne pa le temps- tunggu...aku tidak punya waktu”. Nah seperti itu jawaban kebanyakan, ya tidak ada waktu. Sehingga kita susah untuk pose la question (memberi pertanyaan).
Terus kita kalau membayangkan kelas Universitas Sorbonne pasti membayangkan kelas internasional dengan ruangan serba waaaah dan menggunakan bahasa Inggris. Ternyata biasa-biasa saja. Ternyata tidak ada kelas internasional. “Maka di sini Sorbonne, kalian musti parle francais (bicara Bahasa Perancis). Kelas internasional kan identik memakai bahasa Inggris”. Jadi siapa saja belajar di universitas Sorbonne  musti tahu bahasa Perancis.
“Oke kita enter ke Sorbonne dan kita pake bahasa Perancis di sana”. Saat kami di Indonesia kami melihat Universitas Sorbonne memiliki  kelas yang basgus,  kelasnya  full ac, full fasilitas. Ternyata kelas di sana menggunakan kipas angin yang biasa saja dan ini dipakai pada musim panas. Meja dan baku belajar di Sorbonne biasa-biasa saja. Beda dengan kita, kalau kelas S.2 kita kesannya rapi dan lebih bagus dari pada kelas-kelas S.1.
Kuliah di Sorbonne terasa unik, karena kuliah tidak selalu di gedung Sorbonne. Kuliahnnya sistem kelas travelling, bukan moving kelas saja, juga travelling kelas.
“Kami pernah kuliah di cinema, di rumah sakit, ...itu penyebabnya adalah karena keterbatasan kelas, karena di Perancis susah sekali mencari tanah atau lokasi untuk membangun kelas dan gedung baru. Merenovasi gedung saja  susah apalagi meruntuhkannya. Perancis itu lahannya sempit”.
Geografi alam Perancis itu sempit, tidak luas seperti alam Indonesia. Sehingga pada umumnya orang  Perancis membangun rumah susun atau apartemen dan tinggal di apartemen. Tentu saja mereka juga tidak punya pekarangan.
“Kalau ada yang punya pekarangan itu sudah sangat mewah sekali. Punya  pekarangan ukuran 2 kali 2 meter sudah bagus sekali, mereka menanam bunga dan sayur yang mereka hargai  tinggi sekali”.
Teman-teman ku juga bilang “ya memang begitu situasinya di sini”. Kami sempat complaint juga “Kenapa kuliahnya sampai travelling jauh-jauh sekali ? ya sampai ke rumah sakit, ke bioskop”. Ya itu terjadi karena keterbatasan kelas, kalau di Indonesia kalau buka jurusan baru tentu berfikir apakah ada kelasnya atau tidak (?)
Bagusnya bahwa sistem perkuliahan di sana memang sesuai dengan waktu. Kalau 4 SKS (sistem kredit semester) untuk empat jam ya memang empat jam. Kalau bagi kita empat jam pelajaran...kadang-kadang 40 menit kali empat, atau 45 menit kali empat. Kalau 6 SKS ya memang untuk enam jam.
Dosennya betul-betul prepare-bien (well prepared), prepare bien le materi. Kalau aku jadi dosen di sana mungkin aku tidak sanggup mempersiapkan materi sebaik dosen Perancis. Ia menyajikan begitu banyak materi dengan persiapan sebaik mungkin.
Kita  membayangkan  bahwa Universitas Sorbonne itu keren...dosen-dosennya juga keren. Ternyata tidak semua dosennya yang bisa berbahasa Inggris. Mereka tidak melayani bahasa Inggris dan mereka bahkan tidak mengerti bahasa Inggris.
“Kita kan berfikir “kalau pergi ke luar negeri harus berbahasa Inggris- ya seperti itu. Dan teman-teman di kelas juga tidak selalu bisa bahasa Inggris, karena mereka yang enter ke sana memakai bahasa Perancis.
“Seulement  francaise, non parle l’anglais (hanya bahasa Perancis- tidak berbahasa Inggris), seperti kata-kata banyak teman-teman.
Kenapa Sorbonne terkenal di Eropa ? Ya karena ia termasuk universitas tertua juga, sama tuanya dengan Oxford di Inggris. Gedung Sorbonne termasuk gedung situs bersejarah.

Adaptasi dengan Dosen dan Teman-teman Eropa
            Aku harus bisa adaptasi dengan dosen dan teman-teman Eropa. Kalau tidak bisa adaptasi, aku bisa mengalami cultural shocked (kekagetan budaya). Aku juga sempat mengalami cultural shock (kekagetan budaya) pertama karena penggunaan Bahasa Perancis. Sejak dari Jakarta aku berfikir bahwa kalau kita sudah mahir berbahasa Inggris maka itu bisa beres untuk tinggal di Perancis.
“Aku bisa pake  bahasa Inggris dengan teman-teman dan ternyata mereka tidak respon dengan bahasa Inggrisku. Mereka banyak tidak mengerti dengan bahasa Inggris, karena bahasa Inggris ternyata tidak populer di Perancis. Mereka sering bilang: Je ne comprend pas- aku tidak mengerti”.
Mereka bilang seperti itu. Ya mulailah aku rajin menggunakan bahasa Perancis. Pada mulanya aku berbicara  seadanya...bawa kamus selalu, tidak ngerti ya lihat kamus...atau pake bahasa Tarzan (bahasa isyarat). Namun setelah itu aku raji menambah perbendaharaan kata dan aku rajin membuat kalimatnya yang benar. Kalau tidak mahir berbahasa Perancis ya perkuliahanku  bisa jadi berantakan.
            Aku bergabung dengan kelompok  milling list. Sebenarnya dulu sebelum aku enter ke Paris, aku sudah bergabung dengan  milling list nya PPI Perancis. Aku bergabung dengan masyarakat etudiantes (mahasiswa) di Paris. Lewat milling list itu aku bisa menanyakan segala sesuatu. Terus waktu sudah berada di kampus aku juga bergabung dengan milling list yang ada di universitas Sorbonne.
Aku mengutarakan pada milling list bahwa kami bertiga mengalami kesulitan dalam menggunakan bahasa Perancis. Yang bertiga itu adalah aku (Ranti), Hajjah dan Rossi. Dua lagi temanku sejak dari Jakarta, jurusan kuliahnya  berbeda dengan kami yaitu: jurusan antropologi dan patrimoin de historie atau peninggalan sejarah, mereka adalah Hikmah dan Deni. 
Akhirnya teman-teman di kelas universitas Sorbonne bisa welcome pada kami. Mereka menganggap bahwa mahasiswa yang masuk Sorbonne tentu sudah perfect dengan penggunaan  bahasa Perancis. Umumnya mahasiswa  asing yang ingin kuliah di universitas Sorbonne harus  ikut waiting list (daftar tunggu).
Salah seorang teman Perancis berkata  “Soalnya kalau kamu lulus untuk ke Sorbonne, bukan berarti harus masuk tahun ini, ya ada waiting listnya. Menunggu tiga tahun bahkan sampai lima tahun untuk studi ke Sorbonne baru kamu akan dipanggil”.
“Aku tidak seperti itu, malah menunggu beberapa bulan saja”. Paparku padanya.
“Kenapa kamu bisa masuk ke sini begitu cepat ?” Wooww aku jadi surprised dengan kesempatan belajarku di sana.
“Kamu tahunya masuk kesini kapan ya..?”
 “Tiga minggu pendant troiseme ou quartieme avant moi aller – selama tiga atau empat minggu sebelum aku pergi ke sini” Jawabku.
 “Voila – iya” jawab mereka dengan kaget. Karena mereka untuk bisa masuk ke universitas Sorbonne juga menunggu cukup lama. Sementara bagiku terasa serba instant (serba cepat) dan alhamdulillah.
Aku punya kebiasaan tidak mau tertinggal lama, kalau ada masalah ya langsung aku atasi. Aku tidak suka menunda nunda waktu apalagi menunda dalam mengatasi masalah. Aku melanjutkan kebiasaan seperti itu saat belajar di Paris.
“Kalau ada tugas langsung dikerjakan”.
Di sana kalau aku tidak mengerti yang diajarkan oleh dosen, ya minggu pertama dan minggu kedua teman teman cukup welcome- cukup membantu, karena mereka memiliki nice culture. Teman yang nice untuk diajak ngobrol ya aku suka duduk dekat dia selama kuliah.
Aku selalu mencari orang yang nice diajak berteman dan bergaul untuk kuliah dan menulis. Mereka kalau sudah kuliah itu semuanya terlihat serius, kalau sedang istirahat ya bersikap rilek dan kalau sedang bekerja dan belajar terlihat serius sekali.
Kalau nggak ngerti saat dosen intermezzo (selingan) ya aku tanya mereka.
“Saya dapat pointnya seperti ini....bagaimana ya”.
Mereka menjawab “atted Ranti, je t’erxplique desormais- tunggu Ranti nanti aku jelaskan ya..!”  Kadang-kadang aku suka melihat catatan mereka. Kalaupun aku menyalin tulisan mereka, ya tulisannya berbeda-beda dan tidak bisa aku baca.
“Tulisan teman-temann Eropa kok pada jelek semua...!!”. Aku fikir mengapa tulisan mereka banyak yang jelek-jelek. Mereka umumnya asli orang Perancis dan sebagian datang dari Eropa lainnya dan juga dari luar Eropa, seperti aku.
Walau mereka bersikap baik baik, tapi mereka menolak kalau diganggu. Aku tidak bisa bertanya pada mereka dengan bebas.
 “Je sais Ranti , tu as de probleme avec etudi- aku tahu Ranti kamu punya kendala dalam belajar”  Mereka selalu serius dalam belajar itu karena mereka juga susah membagi waktu antara kerja dan kuliah. Kalau tidak serius ya bisa gagal.
“Il n’y a pa le temps beaucoup pour la discuter sur mattre dans la classe (aku tidak ada banyak waktu untuk diskusi tentang materi pelajaran)”. Katanya padaku.  Dia juga bilang bahwa nanti ia akan scan catatannya dan mengirimkan ke e-mailku atau, setelah ia scan ia printkan buatku, ya mereka baik sekali.
Mereka scan kan tiga puluh lembar  catatannya buatku, mereka memang baik.
“voila mon email- ini emailku”, kata ku.
Dan dia memang mengirimkan scannya ke emailku. Mereka memang sangat baik, ikhlas dan sangat suka membantu ku.
Tapi aku mau bilang “aku tidak bisa baca tulisan kamu” kan jadi tidak enak. Ia sudah capek-capek membantuku dan aku tentu juga perlu menggunakan bahasa yang sopan selalu.
Begitu melihat aku kesulitan dalam berbahasa Perasncis selama belajar di kelas dan tidak mengerti dengan mendalam tentang apa yang dibahas dosen, maka teman-teman banyak bersimpati pada ku
“Ranti mana emailmu...nanti aku scankan dan aku kirim ya ke emailmu. Ne t’inquiette pas- don’t worry- dont worry Ranti”. Kata teman-teman yang lain. Ya mereka bilang seperti itu.
Sambil menunggu catatan yang akan dikirim oleh teman, aku coba membikin point-point kuliah yang aku peroleh dari dosen di kelas. Tidak memahami bahasa Perancis secara mendalam membuat kuliah di Sorbonne terasa dalam neraka. Maka aku selalu berusaha keras dalam belajar dan termasuk dalam menguasai bahasa Perancis, malah tidurku hanya dua jam di malam hari.
Teman yang baik hati juga membantu meringankanku dalam belajar, seperti mengirim email dan scannya. Kalau mereka udah mengirim  catatannya mereka bilang ”kamu cari artinya dan kamu interpretasikan (tafsirkan) sendiri”. Nah aku kemudian menerangkannya ke teman-teman tersebut dan ternyata penafsiranku  ternyata betul dan aku gembira. Aku juga mencari literatur lain lewat internet, serta beli buku dan baru belajar lagi- ya seperti itu”.


BAB. VII    Kuliah di Universitas Sorbonne

Menjadi Mahasiswa Sorbonne
“Seperti apa ya perkuliahan S.2 di  Universitas Sorbonne itu ?” Inilah pertanyaan yang sering muncul dalam fikiran sejak dari kampungku hingga sampai di Perancis. Akhirnya aku menjadi salah seorang mahasiswa di universitas tertua di negara Perancis dan juga tertua di Eropa.
“Ya sebenarnya perkuliahan di sana cukup berat. Berat itu karena kita mengalami keterbatasan berbahasa untuk memahami dosen dan memahami literatur. Di Universitas sorbone bahasa pengantarnya adalah bahasa Perancis. Kalau bahasa Perancis kita pas-pasan nah....akan muncul masalah”
Dosen-dosen di Perancis sangat menghargai  kerja keras dan kejujuran, mereka membenci  plagiat- pemalsuan karya tulis.  Misalnya dalam perkuliahan, satu kalimat yang kita ambil, musti dicantumkan sumbernya, dan kalimat tersebut harus diolah menjadi kalimat kita sendiri atau kita pharaprasekan.... sehingga kalimatnya harus beda dengan kalimat yang kita kutip. Kalau masih sama ya itu namanya masih plagiat (atau contekan).
 Membuat satu slide untuk presentasi saja, itu aku butuh waktu sampai 3 hari. Dosen bilang ...perbaiki lagi...kalimat yang dikutip harus diparaphrase- atau memakai kalimat sendiri. Slide yang aku siapkan  saat itu membahas tentang suatu pulau di benua Eropa...ya aku cari di internet.
“Aku cari di internet dan ini artikelnya ada 10 lembar”
Dosen bilang “Ya kamu cari point yang penting-penting saja. Aku searching lagi...dan itu tentang kepulauan di laut Mediterannia. Ya kalau tentang pulau tentu tentang georafinya...aku bingung bagaimana mau memparaphrasenya (?).  Jadi aku bekerja  bolak balik lagi, geografi pulau itu kan bersifat nyata. Nah menurut mereka itu tidak bisa diterima.
Sudah diparaphrase ..ya harus dibolak balik lagi. “Tidak begitu Ranti kamu masih lakukan paraphrase lagi....!!”. Kata teman satu grupku.
Aku harus  paraphrase lagi sampai kalimat-kalimat yang aku tulis berbeda dari sumber yang aku peroleh. Itu aku lakukan sampai tiga kali dan itu bikin aku jadi stress. Jadi untuk tampil dengan power point aku harus butuh waktu tiga hari.
Aku punya grup, satu diantaranya bernama Maud. Aku tanya “Maud bagaimana pendapatmu tentang power point ku ?”  Maud menyarankan agar aku lakukan paraphrase lagi.
“Paraphrase lagi ?” Tanyaku. Maaf, sementara presentasi di kampungku  banyak mahasiswa yang membuat  presentasi copy-paste saja. Tetapi kalau di Perancis, menurutku, ya tidak.
Aku mengambil jurusan S.2 di Universitas Sorbonne di bidang manajemen touristique. Sistem penilaian kuliahnya sama dengan di Indonesia yaitu ada  nilai tugas- nilai presentasi dan nilai ujian. Ujiannya ada ujian tengah semester serta nilai ujian semester, tidak ada ujian individu.
Kuliah di Perancis tentu punya kesulitan dan kemudahan. Kesulitan ya..karena kalau passing graden untuk kuliah S.2 maka  harus  lebih  qualified- bermutu. Proses kuliahnya lebih berat.
“Kamu harus baca literature yang banyak. Lucu juga kalau mahasiswa S.2 membaca sedikit literatur. Teman-teman asli orang Perancis saja masih struggle membuat tugas, apa lagi baki aku dan teman-teman yang jauh dari Perancis”.
Bikin tugas  biasanya kita lakukan seharian penuh- yaitu dari pagi sampai malam. Nah itu  hal biasa dan itu hal yang wajar. Teman-temanku  semua  bikin tugas dengan serius dan mereka  jarang terdengar yang mengeluh. Kalau kita dulu kadang-kadang  suka mengeluh  “Wow bikin tugas saja repot...suka hang out dulu, suka menunda waktu dan malah juga suka komplain”.

Bagaimana Anak Eropa Belajar ?
            Bagaimana sih beda belajar kita dengan anak Perancis ? Kalau mereka (orang Perancis) cara belajarnya lebih sistematis. Bagi mereka kalau belajar itu ya belajar.
 “Saat belajar mereka terlihat bersungguh-sungguh”. Tetapi ada juga bagi anak-anak Perancis yang merasa capek belajar, akhirnya mereka main, namun mereka tidak mengganggu yang sedang belajar.
            Terus kalau membuat tugas mereka serius dalam menyelesaikannya dan dalam presentasi ya mereka duduk dengan serius, menghargai teman yang tampil. Kalau kita (maaf) kadang kadang dalam membuat tugas asal jadi saja (asal-asalan) dan kalau mereka tidak. Kalau mereka saat membuat tugas, mereka menerima kritikan untuk penyempurnaan.
”Ini tugas kamu masih perlu diperbaiki..coba perbaiki lagi...boleh sempurna...!” Ya seperti itu, mereka struggle (berjuang) dalam belajar.
            Aku lihat cara belajar mahasiswa di sana sangat bagus. Tentu ada faktor yang berpengaruh dalam membentuk karakter mereka. Yaitu kualitas orang tua dalam mendidik rumah dan juga kualitas pemerintahan mereka berpengaruh atas kualitas mahasiswa di sana.
            Faktor budaya juga berpengaruh, budaya individu juga ada dampak positifnya   untuk membuat mereka jadi mandiri. “Kalau mereka tidak bangkit dalam belajar, yang menanggung resiko adalah individu yang bersangkutan”. Kegagalan yang terjadi pada diri tidak ada yang lain bisa banyak membantu...seperti itu, jadi individu mereka sangat tinggi.
            Selama aku tinggal di Perancis, aku merasa bahwa aku lebih bersyukur punya budaya Indonesia, khusus budaya  orang Minangkabau. Walau mereka punya budaya struggle yang tinggi, budaya individu dan kemandirian yang lebih tinggi, namun mereka sudah terblokade oleh kebiasaan individual secara turun temurun. Contoh budaya seragam pada warna rumah.
            Aku melihat cat atau warna dinding rumah di sana  semuanya coklat..terlihat membosankan dan tidak ada variasi. Sehingga aku sempat bertanya.
“Mengapa warna dinding rumah kamu semuanya sama, warnanya coklat, jadi terlihat tanpa variasi...kalau dikampung ku setiap orang bebas mendesain warna rumahnya, sehingga terlihat lebih menarik ?”
            Begitu juga saat aku pergi ke taman. Aku  menemui anak-anak  bermain bersama anak anak, dan kakek- nenek  berkumpul-kumpul  kakek- nenek  yangh lain.
“Mengapa kakek-nenek  tidak  menyatu nenek dengan anak-anak. Sehingga  kakek- nenek terlihat pada kesepian”. Paling-paling aku melihat orang orang tua bermain sendirian dengan gelang-gelang atau bermain catur. Aku juga sering melihat nenek atau kakek jalan bareng anjing mereka. Akhirnya  mereka sudah terblokade dalam kesepian budaya mereka.
            Aku pernah bertanya, “Kenapa anda (kakek- nenek) tidak mau bergabung dengan anak anak di taman”. Mereka menjawab   bahwa khawatir mengganggu anak-anak, dan mereka nanti boleh bergabung,  ada timing (waktunya) anak-anak gabung dengan kakek dan nenek, misal seperti pada hari natal.
“Mereka datang ke rumah saya untuk acara natal, tapi mereka setelah itu balik lagi”. Bila anak-anak dan cucu mereka  kembali kerumah mereka  maka  kakek- nenek jadi kesepian lagi, wah kalau begitu lebih enak ni negeri ku.  
            Di sana terlihat anak-anak punya kehidupan tersendiri dan kakek-nenek juga punya aktivitas tersendiri.
 “Apakah anda tidak merasa kesepian ?” Tanyaku suatu hari.
“Kesepian..? Tentu saja...ya bagaimana lagi” Jawab kakek-nenek dengan nada pasrah.
            “Kami dulu punya anak, kami pelihara dan kami didik. Setelah dewasa mereka mandiri dan kami lepaskan”
Ya begitulah budaya mereka, mereka sudah terblokade oleh budaya individu dan beresiko untuk menjadi kesepian di hari tua. Budaya ini kan sudah turun temurun dan aku lihat bahwa mereka sendiri tidak nyaman dengan kondisi itu.
            Kalau di Indonesia kakek-nenek, ayah-ibu dan anak-anak lebih menyatui. Anak-anak senang bermain dengan kakek dan nenek mereka. Jadi kakek-nenek di Indonesia lebih merasa bersatu dengan anggota keluarga mereka dan mereka bisa jauh dari rasa kesepian.

Indonesia di Mata Penduduk Perancis
            “Bagaimana ya pendapat orang Perancis tentang orang Indonesia ?” Tentu saja mereka punya pendapat tersendiri. Waktu aku shopping ke sebuah toko dan pedagangnya  orang Perancis asli (wanita Perancis) dan ia bilang “Je n’ai pas de religion et Je suis une atheist-  aku tidak punya agama dan aku seorang atheist”.
            Walaupun ia atheist, ia sangat appreciate terhadap Indonesia. Ia berkata “Presente- orang mana kamu ?”
Saya menjawab “Saya orang Indonesia”.
            “Oooo Orang Indonesia “ jawabnya. Tetapi karena aku memakai jilbab, maka ia tidak bisa membedakan antara orang Indonesia dengan orang Malaysia.
Ketika saya bilang dari Indonesia, ia bilang “Je sais Indonesia- Aku tahu Indonesia. Saya atheist tetapi  saya suka dengan Islam yang ada di Indonesia”. Ia berkata lebih lanjut,
“Aku lihat bahwa Islam di Indonesia berbeda dengan karakter orang Islam yang di Mekkah. Walaupun di Mekkah tempat munculnya agama Islam tetapi orang laki-laki kurang mengayomi orang perempuan. Sepertinya saya lihat orang laki-laki merendahkan orang perempuan”.
Ia menambahkan, “Ya seperti yang aku ketahui bahwa sampai sekarang orang laki-laki di Arab  masih menempatkan posisi wanita lebih rendah- mungkin seperti budak ya, karena wanita tidak boleh keluar rumah, tidak boleh berkarir. Kalau di Indonesia...orang Islamnya lebih moderen, seperti dalam kitab kamu (seperti dalam Al-quran). Bahwasanya agama kamu akan sangat flexible dengan zamannya”.
“Tetapi kultur orang laki-laki di Arab tampak mengekang, tidak seperti orang laki-laki di negara kamu. Seperti yang saya lihat di televisi bahwa perempuan Islam di Indonesia bisa conduite la voiture (mengendarai mobil). Terus saya lihat perempuan Islam di Indonesia juga bekerja, punya kegiatan di luar rumah, berkarir, dan bisa mengurus suami. Jadi Perempuan Islam punya kesamaan dengan laki-laki Indonesia”.
Wanita itu menambahkan bahwa wanita Islam yang di Indonesia punya ilmu, punya wawasan sehingga bagus untuk pendidikan anak di Rumah. Tetapi berbeda dengan di Arab, beda posisi laki-laki dengan wanita. Sehingga laki-laki bisa semena-mena terhadap wanita- memperlakukan wanita sesuka hati. Wanita tidak bisa berbuat apa-apa dan itu wajar sebagai akibat dari budaya mereka.
“Tetapi tidak begitu dengan wanita Islam Indonesia, mereka punya karir, mereka punya pendidikan dan mereka  juga mengurus anak. Dengan budaya kamu terjadi good cooperation (kerja sama yang baik) antara wanita dan laki-laki”
Wanita perancis itu berkata, ia appreciate sekali dan ia juga senang dengan cara pengamalan Islam di Indonesia.
Aku juga bertanya, “Etes vous fier terrorist en Indonesie- kamu takut dengan terrorist Indonesia ? Orang di dunia mengatakan Islam itu terrorist dan sementara itu Indfonesia adalah negara Islam paling besar di dunia”.
Ia menjawab, “saya tidak takut, karena saya tahu bahwa kepala terrorist itu bukian di Indonesia, ia bukan orang Indonesia, tetapi ia cuma bersarang di Indonesia, karena penduduk Islam terbesar di Indonesia. Saya sangat appreciate dengan Islam Indonesia”.
Walaupun wanita Perancis itu atheist namun ia sangat appreciate dengan Islam Indonesia. Sama halnya dengan pemerintahan Perancis pada waktu Perang Dunia I, bahwa masyarakat Maroko dan Aljazair membantu pemerintah Perancis dalam perang. Sehingga Perancis menang dalam perang dan sebagai appreciate pada orang Islam Maroko dan Aljazair, Perancis menghadiahkan masyarakat Islam sebuah masjid yang lumayan besar di Kota Paris. Aku melihat mesjid Paris itu begitu megah dan besar.
Kemudian aku akan menggambarkan tentang bagaimana dosen perancis memandang mahasiswa asal Indonesia. Tapi pertama-tama mereka kaget, termasuk teman-teman mahasiswa, mereka bilang. ”Vous etes plus jeunes- anda semua tampak masih muda”
Waktu akun presentasi perkuliahan dalam kelas, mereka bilang “kamu plus jeune- kamu masih muda-  untuk menjadi dosen”. Demikian mereka memandang tentang kami.
Sistem pendidikan kita berorientasi ke Amerika ya, bahwa posisi Universitas lebih tinggi dari Politeknik. Sementara kalau di Eropa posiosi Politeknik lebih tinggi dari Universitas.
“Wow vous etes professeurs au Politeknik- kamu dosen politeknik ya...! Umur kamu berapa...?”
“Umurku 25  tahun”, Jawabku.
Mereka protes, “Wah tidak mungkin, umur kamu pasti 19 tahun “. Kemudian aku perlihatkan KTP (Kartu Tanda Penduduk).
 “Woh...benar ya umur kamu sudah 25 tahun. Jadi mahasiswa kamu sebesar apa ya....?”. Tanya mereka.
“Ya sebesar saya semua......” Jawab ku tersenyum.
“That is impossible- wah tidak mungkin”, dan mereka tidak bisa menerima jawabanku karena tidak masuk logika mereka. Karena kalau di Perancis menjadi dosen itu ilmunya musti sudah cukup, sudah terlihat lebih tua dari mahasiswanya.
Saya menerangkan, “Saya  waktu fresh graduate (sarjana S.1) ikut test formasi dosen dan langsung diterima, ternyata  saya  lulus. Kemudian ada formasi bahwa dosen harus S.2, ya  saya  ikut formasi kuliah S.2 di sini baru setelah itu lanjut lagi menjadi dosen. Sebelum mengajar sebagai dosen saya juga sudah punya pengalaman dalam mengajar. Kemudian saya mengajar mahasiswa dan aku katakan pada mahasiswaku bahwa kita hampir seusia.
“Voila...o begitu” Katanya. Tapi mereka tetap merasa aneh dan kembali bertanya “Sebesar apa mahasiswa kamu ?”

Sorbone and Everything in French
Sorbone juga menyediakan beberapa fasilitas buat mahasiswa, misalnya internet buat mahasiswa. Disamping itu universitas Sorbonne juga menyediakan fotocopi gratis buat mahasiswa. Jadi mahasiswa menggunakannya  untuk memfotokopi apa saja. Kecuali telepon, tidak ada yang gratis.
Perancis itu negaranya bien organisee- well organised. Aku diberi  kalender agademik dan tiap-tiap pindah akademik sudah ada event yang teratur. Pindah musim dari musim dingin ke musim semi, misalnya ada liburan dua minggu- dua minggu. Jadi kita selalu merencanakan kegiatan untuk setiap liburan “Voila...liburan besok kita kemana...?” Dan kami berlima segera merencanakan kegiatan libur.
Liburan ku pertama di Perancis adalah ke tempat famili. Aku memutuskan untuk jalan sendiri, karena aku punya famili di sebuah kota kecil di Perancis, yaitu di kota Pau, sebuah kota dibawah pegunungan Pyrenne. Familiku itu bekerja di perusahaan Indonesie Total, semacam perusahaan minyak. Mula-mula ia bekerja di Kalimantan dan kemudian pindah ke sini, ke Perancis.
Di Perancis dia  bekerja di Pau. Akhirnya aku bisa sampai disana dan kami bisa bersilaturrahmi. Ia mengatakan bahwa ia sudah tinggal di sana selama dua tahun, balik lagi ke Kalimantan- bekerja dan kembali lagi ke Pau. Tinggal di Perancis enak sekali, karena jaminan sosialnya cukup memadai. Meskipun ia bawa istri dan dua anak namun tidak ada masalah.
Sebelumnya untuk pergi ke kota Pau, ada dilemna ya membuatku sedikit  ragu antara pergi atau tidak. Karena kota Pau agak jauh ke selatan. Harga tiket untuk orang yang usia 25 tahun ke bawah, beda dengan yang berusia 26 tahun ke atas. Yang berusia 25 tahun ke bawah, dikenakan biaya tarif tiket separoh umur orang dewasa yaitu sama dengan tarif anak-anak, separoh harga. Kita memperoleh diskon 50 %., tapi kita harus punya kartu dan aku juga bikin kartu.
Ya aku buat kartu yang menyatakan usia ku masih 25 tahun. Karena usia 25 tahun berarti aku memperoleh fasilitas diskon harga. Jadi diantara kami berlima maka aku yang berusia paling muda, maka aku yang bisa menikmati potongan harga.Tentu saja temanku yang berempat merasa iri hati untuk  hal ini.
Karena kota Pau sangat jauh ke bawah, ke selatan, dan biayanya sangat mahal. Di kota Pau mimpiku untuk main ski bisa terwujud, ya mimpiku sejak masa kecil. Saat itu kami sedang liburan musim dingin. Aku masin ski di pegunungan Pyrenne. Pyrenne adalah pegunungan panjang di Perancis dan cukup populer di Eropa. Tempat-tempat main ski itu banyak karena pegunungan Pyrenne itu sangat panjang di selatan Eropa, dekat ke arah Spanyol dan Italy.
Aku mengira main ski itu gampang. Aku mencoba main ski di pegunungan Pyrenne. Ake menyewa sepatu ski dan tongkat ski. Aku coba meluncur dan ternyata sulit, aku terjatuh tunggang langgang. Memang sakit dan pegal, penasaran aku coba lagi dan lagi aku jatuh berguling guling. Sepatuku terbenam dalam salju. Sepatunya sangat berat sehingga aku dibantu untuk melepaskan dari benaman salju. Akhirnya aku menyewa pelosotan dan aku belajar meluncur seperti mainan anak- anak, ya asyik juga dan aku senang karena mimpiku bermain ski sudah terwujud.
Ada banyak tempat menarik yang telah aku kunjungi di Perancis. Pertama aku pergi ke Eiffel. Kalau orang melihat Eiffel itu begitu excited (menyenangkan). Aku juga memikirkan hal yang sama saat aku berada di Sumatra, namun setelah aku pergi ke Eiffel dan melihat Eiffel dengan mata dan kepala sendiri.
“Ya...Eiffel itu biasa-biasa saja. Eiffel itu hanyalah sebuah bangunan besi atau kerangka  besi  yang grande (besar) saja”.
Ini gedung besi memang  lebar dan tinggi. Tapi begitu melihat bahwa umurnya sudah begitu tua ya...baru terasa makna dan nilai sejarahnya., maka kita baru bisa appreciatenya. Aku melihat tidak ada semacam keunikan pada Eiffel.
Kalau di Sumatera Barat atau di Batusangkar, kita tentu bisa bisa melihat Rumah Adat yang bangunannya cukup unik, seperti atapnya dari ijuk, tiang rumah adat ada yang miring, dinding rumahnya yang penuh ukiran. Kemudian ada jenis rumah adat yang lain, jadi kesannya betul-betul indah dan unik. Kalau menara eiffel aku lihat tidak unik...karena sudah perfect (sempurna). Ya karena Perancis itu IT-nya  (informasi Technology) lebih maju, maka menara Eiffel bisa terlihat lebih keren dan unik.
Aku juga berfikir bahwa apakah orang Perancis di sana juga tahu dengan rumah adat yang di Batusangkar.
“Ya waktu aku ikut sebuah acara di Kedutaan Besar Indonesia di Paris, saat itu semua kedubes dari seluruh dunia ada di sana.  Kebetulan waktu itu aku memakai pakaian  baju kurung adat Minangkabau untuk menyambut para tamu”.
Para tamu surprised melihatku dan bertanya, “Kenapa topi kamu seperti ini”.
Aku menjawabnya “Chapeaunya (topinya) ini namanya tengkuluak, memang   seperti tanduk buffalo karena atap rumah adat kami juga seperti tanduk buffalo”.
Aku menceritakan bahwa Minangkabau itu asal katanya “Menang Kerbau atau the winning buffalo”.
“Saya pernah pergi ke West Sumatra (Minangkabau)  dan saya punya satu miniatur rumah adat kamu”. Kata salah seorang Duta Besar padaku. Mereka terlihat excited (terlihat senang).
Kalau di Eropa pakaian tradisionil mereka  lebih mengacu kepada pakaian kerajaan Inggris. Pakaian kita lebih mengacu pada ke bentuk ya ada dasarnya, kainnya dari  beledru. Contoh seperti pakaian adat kita, atau mungkin  pakaian adat daerah ada yang memakai goni seperti pakaian adat di Irian Jaya.
“Di Perancis bentuk   pakaian dan rumah adat tidak banyak variasi, kalau kita punya banayk variasi pakain dan rumah adat jadi begitu unik”.
Di kampus kami juga bincang-bincang tentang tradisi. “Terus terang mereka hampir tidak ada yang tahu dengan Pagaruyung dan rumah adatnya. Mereka cuma lebih tahu Bali, karena beberapa orang di antara mereka telah berkunjung ke Bali. Mereka mengatakan bahwa orang Indonesia itu nice (sangat baik)”.



BAB VIII.  Meneropong ISTANO BASA Pagaruyung Dari Paris

Bagiku sendiri saat aku dekat di kampung (Padang Ganting) dan begitu dekat dengan Istano Basa Pagaruyung, namun Istano Basa Pagaruyung terlihat biasa-biasa saja. Tetapi  setelah aku berada di Perancis dan pergi jalan-jalan ke Eiffel, aku juga merasa rindu dengan Batusangkar, dengan Istano Basa Pagaruyung. Aku merasa bangga bahwa Istano Basa Pagaruyung juga begitu anggun, tidak kalah cantik dari Eiffel dari Perancis.
“Aku jauh-jauh di Perancis mempelajari budaya sendiri. Terasa indahnya negeriku, Batusangkar, ya setelah aku jauh beribu-ribu mil jauhnya di negeri orang. Aku sangat merasakan bahwa Pgaruyung itu begitu indah, orang-orangnya ramah, punya event budaya yang banyak, lantas alamnya begitu magnificemt- menakjubkan”.
Kita juga punya budaya bagus dan mereka juga punya budaya bagus dan mereka hidup lewat budayanya juga. Mereka membuat gedung yang punya nilai sejaran dan yang membangunnya hanya para ahli, sementara kalau di kampungku, rumah adat dibangun secara kolaborasi (gotong royong) oleh masyarakat dan pemuka adat.

Tempat-Tempat Menarik di Perancis
Kenapa sih menara Eiffel bisa menjadi populer ? “Itu karena menara Eiffel sebagai menara paling tinggi pada waktu itu. Kemudian dari dalam menara Eiffel kita bisa melihat view  kota Paris yang menakjubkan. Menara itu terdiri atas tiga tingkat, kita bisa naik tangga kemudian lift menuju puncak menara. Kita bisa membeli tiket untuk naik lift atau tangga menuju puncak pada sebuah tempat di pinggang menara Eiffel. Owww ......menara Eiffet itu besar sekali, karena pada tiang yang empat itu sudah lift dan tangga. Jadi dibandingkan dengan tugu Monas (Monumen Nasional) di Jakarta ya Monas belum berarti”.
Setelah mengunjungi   menara  Eiffel, aku juga mengunjungi Le Musse De L’ouvre. Musse de L’ouvre adalah museum tempat tersimpannya lukisan Monalisa. Lukisan ini terkenal dengan “Misty Smile” atau senyum yang berkabut. Monalisa tersenyum namun senyumnya punya seribu makna- apakah itu senyum sedih, sakit, senang, cemburu....jadi senyum yang susah untuk ditebak. Senyum misty smile adalah senyum banyak makna.
Itulah bedanya dengan kita, orang Perancis appreciate sekali dengan museum. Mereka bisa betah tinggal berlama-lama dalam museum. Jadi kalau mereka datang ke sini, kita bawa mereka ke rumah gadang, ke museum, ke Istano Basa Pagaruyung, maka mereka betah sekali dan tinggal berlama-lama dalamnya. Mereka terlihat excited, terlihat mereka sangat menghargai sejarah. Orang tua dan muda semua suka pergi ke museum. Sementara kita di sini tidak termasuk pencinta museum. Bagitu pergi ke museum bikin boring (bosan) dan karakterku tidak usah ditiru. Bagi mereka tinggal di museum terlihat kedamaian
Aku juga suka mengunjungi Arc De Triompe atau gerbang kemanangan. Gerbang ini dibangun oleh Napoleon Bonaparte untuk menghargai perjuangan tentaranya. Dekat Arch De Triompe ada jalan Champ D’ellysse.
“Champs d’ellysse est le plus belle avenue sur le monde- Champ d’ellyse adalah jalan terindah di dunia”. Aku juga mengunjungi Sans Sacre, itu adalah gereja. Gereja yang dibangun di atas bukit, dari sana kita juga bisa melihat view of Paris dan termasuk menara Eiffel.
Aku juga pergi ke Notre Dame. Ini adalah juga gereja dan di depannya ada tempat bulat, semacam zero ground atau titik nolnya kota Paris. Zero ground juga semacam daya tarik untuk wisatawan mengunjungi Paris, dan yang belum menginjak zero ground di depan Notre Dame dianggap belum benar-benar mengunjungi kota Paris. Atau ada cerita bahwa andai kita menginjakkan kaki ke sana maka suatu  kita akan datang lagi ke Paris.
“Aku  berjalan di depan Notre Dame dan aku mencari-cari dimana posisi lobang zero ground itu. Ternyata zero ground itu tidak besar, kecil, namun kok bisa dibuat menjadi daya tarik. Ya itu karena bien organisse- karena dikelola dengan baik hingga menyebar ke dalam emosional banyak orang di dunia”.
Bulan ramadan juga datang di Perancis....haaa dan aku pernah berpuasa di Perancis. Aku juga punya pengalaman dalam menjalankan ibadah di negara tersebut. Tentu saja waktu berbuka dan waktu sahur di Perancis berbeda dengan di negara kita. Di negara kita karena terletak persis di pertengahan globe- di garis equator, maka jumlah malam sama panjang dengan jumlah siang, masing-masing selama 12 jam. Kalau di Perancis berbeda-beda, kalau puasa di musim panas ya...siangnya panjang. Sahurnya cepat dan berbukanya lambat. Tetapi kalau berpuasa di musim dingin ya.... siangnya pendek, sahurnya bisa jam 6 pagi dan berbukanya jam 5 sore.
Kalau kita menanyakan di mana mesjid, dan mesjid pasti ada. Tetapi jangan bayangan mesjid seperti di negara kita atau seperti gedung mesjid di negara negara Arab. Tetapi di kota-kota kecil, mesjid tampak tidak seperti mesjid, ia adalah bangunan biasa saja tetapi telah digunakan sebagai  “Praying place” atau tempat sembahyang. Di sana ada kegiatan sholat namun kita tidak mendengar suara azan, karena pemerintah Perancis melarang azan pakai microphone. Kalau azan, ya di dalam saja, dan kalau kita ingin tahu jadwal waktu sholat silahkan download sendiri atau minta ke pengurus mesjidnya.
Orang Perancis juga ada yang beragama Islam. Orang- orang di Perancis sholad di mesjid tidak pakai mukena kayak kita. Mereka sudah pakai jilbab, menutup aurat, pakai kaus kaki. Jadi mereka pakaian apa adanya di badan dan langsung sholat, jadi tidak ribet pakai mukena segala seperti kita di Indonesia.
Ternyata habis sholat tata cara berdoa mereka sedikit berbeda. Mereka habis sholat tampak tenang-tenang saja, mungkin lagi berzikir atau berdoa. Kalau kita berzikirnya jelas menghitung jari dan berdoanya kita mengangkat tangan. Aku berfikir bahwa merka lama sekali berdoanya, ketika aku sodorkan tangan untuk salaman, mereka membalas.
 “Tu prie comme ca- leve tes mains- kamu berdoa seperti itu- mengangakat tangan”, tanya mereka, “Oui, parce que on demande quelque de Dieu Allah- ya kita angkat tangan karena meminta dan bermohon pada Tuhan Allah” jawabku. “Ah...ce bien comme ca- ah bagus seperti itu” kata mereka lagi.
Di Perancis juga banyak orang yang memakai jilbab, juga ada jilbab yang dalam. Dulu juga ada yang memakai cadar. Tetapi sekarang Pemerintah Perancis melarang pemakaian cadar. Kalau kedapatan perempuan muslimah memakai cadar ya mereka dikenai denda 1.000 Euro lebih. Pemerintah Perancis hanya  mengizinkan pemakaian jilbab saja, bukan pemakaian cadar.

Halal Food
            Halal food atau makanan hal adalah hal yang susah diperoleh di Perancis. Orang-orang muslim tentu perlu berhati-hati dalam mencari daging, khawatir kalau memakan jambon atau daging babi. Di sana daging ayam dan daging yang ada tanda halalnya harganya sangat mahal. Harganya bisa dua kali lipat.
            Untuk mendapatkan daging halal kita bisa pergi ke butcherie halal. Bucherie halal adalah toko daging yang khusus menyediakan daging halal semuanya.
“Ya ada label halalnya, dan sekali lagi harganya mahal. Tidak semua daerah punya bucherie halal, jadi kita harus mencarinya”.
“Adu aku lapar dan pengen beli makanan dari pedagangan makanan yang bakal lewat. Apakah ada di Paris?”
“Oh...tidak ada”. Di sana tidak seperti di negara kita yang ada warung, kedai makanan, tempat jual bakso, somai, sate, rujak, nasi goreng  dan makanan-  yang kadang-kadang lewat dan kita tinggal membelinya dari rumah. Kalau di sana jam 8.00 malam toko dan kiosk sudah tutup.
Kalau begitu harus  kita  prepare bien (mempersiapkan dengan baik) dan takut kita kelaparan kalau belajar malam
“Ya kita persiapkan sebelum toko tutup. Kalau di sana kalau toko tutup ya tutup. Meskipun kita antri namun kalau sudah tiba waktu tutup ya ditutup”.
            Tentang cara makan. Kalau kita di Indonesia makannya terdiri atas nasi dan lauk pauk. Aku lihat bahwa teman-teman Perancis makannya banyak sekali. Makan mereka ada yang namanya baguet, ya sejenis roti keras, dan ini sangat terkenal. Ada yang makan croissant- juga sejenis roti. Makan siang mereka terdiri dari roti yang panjang.
            Ada temanku membawa roti yang panjang dan banyak “Makan kamu ternyata banyak ya..!” Kataku pada teman yang bisa menghabiskan banyak roti, yang ia makan selama perkuliahan yang cukup lama dari jam 9.00 pagi sampai jam 7.00 malam.
Di universitas Sorbonne juga tersedia resto yang menjual pizza yang isinya kentang, salada, telur dan mentega seperti itu. Sebagian teman beli roti, salad dan “apporte dans la classe- membawanya kedalam kelas” untuk dikonsumsi selama kuliah.
            Kalau kami dari Indonesia pergi kuliah juga bawa bekal “ada nasi, lauk, sayur, buah”.
Dan mereka melihat “kamu makan ini tiap hari ?”
Aku menjawab, “C’est bien, et tu port beaucoup croisant tout le jour aussi- iya dan kamu juga bawa banyak roti tiap hari”
            “Kamu langsing tapi mengapa makan roti sekantong...!” Kataku.
Mereka pernah makan nasi tetapi tidak terlalu suka makan nasi, katanya “Makanan kalian terlalu banyak bumbu”.
Mereka juga bertanya “Kamu bisa masak asia....bagaimana kamu masak rendang, sampadeh, gulai ayam , kamu cari bahannya kemana...?”
Aku menjawab “Ke toko asia”. Woww ...pasti harganya mahal karena bahan-bahannya diimpor dari Asia.             Kalau mereka cuma makan baguet, yang nota bene di dalamnya ada sayur, kentang, daging dan semuanya tidak diimport.
Dulu ada teman (turist asal Perancis)  yang berlibur di Batusangkar dan ketika mereka hendak balik ke Perancis, aku tercium aroma bumbu kambing.
“Kenapa ya ada aroma bumbu kambing..?” Ternya iya, Fanchoise Belluche membawa beberapa saschet bumbu kambing ke negaranya. Katanya bumbu tersebut enak ditaburi di atas makanan, rasa dan aromanya enak sekali.
            Orang-orang Perancis suka suasana happy. Mereka suka soiree- atau  night party. Umumnya  orang-orang kantor   libur Jumat, Sabtu dan Minggu. Maka mahasiswa Perancis pada Jum’at malam sudah mulai ber happy-happy (soiree). Tentu saja suasana di apartemen jadi heboh dan  kita tidak bisa komplain terhadap  suasana yang demikian. Mereka heboh sampai jam 3 malam, mereka mabuk-mabuk itu biasa. Namun orang Indonesia tidak perlu meniru soiree  seperti itu.
            Orang Perancis juga  paling hobby membuat soiree pada weekend.
“Bagaimana besok ya..kita buat soiree..?” Mereka mengadakan soiree untuk mengatasi stressed, karena tingkat stressed mereka cukup tinggi. Tingkat frustasi juga tinggi.
Tentang pelayanan. Di Perancis berlaku layana post. Kalau mau ke bank musti buat rendezvous atau janjian dulu. Dan orang orang di sana paling hobby rendesvous- janjian dulu. Kalau rendesvous tentu tidak ada antrian dan itu butuh besoin beacoup de temps- butuh waktu yang banyak.
            Mereka bilang “Aku susah hidup di Perancis, birokrasinya banyak”. Ya memang begitu kalau di Perancis, mereka juga merasakan.
“Waiting is boring...!!” Mereka  mengalami  stressed tinggi karena sebahagian  kuliah dan juga bekerja dengan target yang tinggi. Oleh sebab itu mereka selalu struggle.
“Ya beginilah kalau umur sudah 20 tahun ke atas. Maka untuk mengatasi stress ya kami perlu membuat soiree”.
            Ternyata mereka appreciate juga terhadap budaya  mengundang makan. Kalau orang Perancis mengundan makan beda caranya dengan budaya kita di Indonesia. Aku lupa waktu itu, kami  diundang makan di Rumah Catalina.
“Wow enak...dan Catalina baik sekali”. Ternyata kami dibagi atas  beberapa kelompok kecil.
“Kenapa  kami  musti dibagi atas beberapa kelompok..?” Tanyaku.
Ia menjawab, “Iya karena masing masing doivent apporter quelque choses (harus bawa sesuatu) seperti minuman, banana, roti”.
Aku menyela “Kalau begitu undangannya sama saja dengan bohong-bohongan. Kalau seperti itu, aku juga bisa mengundang kalian tiap hari”. Ya ternyata mereka hanya menyediakan tempat saja.
            “Iya mereka menyediakan tempat, dan membagi kelompak atas empat orang, nanti kita beli juice apa...,minuman apa......, makanan apa..desert nya apa dan nanti kita gabungkan duitnya, ya seperti itu.
” Waktu pertama aku bergabung dengan teman-teman Perancis karena aku suka bergaul dengan yang lain. Tetapi kemudian aku mengalami pembengkakkan dalam kekurangan uang, karena aku harus beli dua. Kalau di Indonesia ini namanya adalah arisan”.
            Ini arisan karena harus serba dibawa sendiri. Mereka ternyata excited juga.
“Aduh Ranti..kita minumnya vin rouge (anggur merah) saja”.
 Tapi yang bilang “Kamu tidak boleh minum vin rouge  karena ada alkoholnya, karena kamu orang muslim jadi kamu minum juice saja”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

if you have comments on my writings so let me know them

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...