Senin, 16 Mei 2011

Tidak Zamannya Lagi Kalau Hanya Sebatas Cerdas Akademis

Tidak Zamannya Lagi Kalau Hanya Sebatas Cerdas Akademis
Oleh: Marjohan
Guru SMAN 3 Batusangkar 
(http://penulisbatusangkar.blogspot.com )
            Memperhatikan segemen berita di media massa yang sering berisi tentang tawuran, pertengkaran, kekerasan, pembakaran dan sampai pada perbuatan kriminal lain, membuat hati ini jadi teriris. Kita harus berfikir dan bertanya “apakah penyebab ini semua ?”. Apa masih terjadikah proses pembelajaran akhlah dan kebaikan di rumah, dalam masyarakat dan di sekolah (?). Fenomena yang dari kehidupan bahwa proses pendidikan, terutama pengajaran akhlak, dari sebagian orang tua pada anak tampaknya tidak sehebat zaman dahulu lagi.

Dalam zaman generasi dahulu, strategi pendidikan karakter/ akhlak adalah lewat pemodelan dan melibatkan anak secara langsung- anak terlibat langsung dan ikut berperan untuk berproses. Anak anak bisa mengurus rumah, meringankan beban orang tua, ikut aktivitas sosial dan mampu menerapkan tatakrama (bersopan santun) seperti yang dimodelkan oleh orang yang berumur lebih tua dan lingkungan sosial.

Agus Listiyono (2011) menyatakan bahwa fenomena pendidikan sekarang hanya sebatas membuat anak-anak cerdas secara akademik. Semua bentuk ujian yang diberikan oleh sekolah-sekolah hanya untuk melahirkan siswa untuk mengukur pintar secara akademik. Untuk menjadi cerdas secara akademik juga sudah diarahkan oleh SKL (standard kelulusan). “Belajarlah sesuai dengan SKL maka niscaya anda jadi hebat”. Namun kadang-kadang kecerdasan akademik tidak relevan dengan kehebatan menguasai nilai-nilai hidup yang lain, seperti “nilai sportivitas, senang kerja keras, sopan santun, suka kerja keras dan sikap heroik yang lain”. Ada anak yang jagoan dalam mata pelajaran (jago akademik) namun berkarakter egois. Orang tua sendiri perlu menumbuhkan kecerdasan nilai-nilai kehidupan buat sang anak.
Kita (para orang tua) dituntut oleh Sang Khalik (Allah Swt) agar bila meninggal dunia kelak, tidak meninggalkan anak-anak yang lemah: lemah akhlaknya, lemah ekonominya, lemah imannya dan lemah pendidikanya. Untuk merespon peringatan ini maka kita perlu melakukan antisipasi (menjawabnya) lewat pemberian pendidikan keluarga yang efektif. Oleh sebab itu para orang tua perlu untuk saling bercermin bagaimana menjadi orangtua yang efektif dan  peduli pada pendidikan keluarga.

Majalah Swa Sembada (22 Januari-4 Februari 2009) muncul dengan edisi yang cukup spesial karena ia mengungkap perjalan sukses beberapa orang tua/ keluarga hingga sukses dalam membimbing anak-anak mereka. Majalah ini, misalnya, memaparkan bagaimana orang tua Sri Mulyani (mantan menteri keuangan RI tahun 2010) membesarkan anak- anaknya. Begitu pula dengan Sutan Takdir Alisjahbana (tokoh sastra pujangga baru), dan Soemarno (mantan Gubernur DKI tahun 1960).

Orang tua Sri Mulyani sangat menjunjung tinggi pendidikan. Untuk urusan profesi mereka menganjurkan pura-putrinya menjadi dokter, insinyur dan dosen. Alasanya bahwa ketiga profesi itu pada masa lalu sangat dihormati secara sosial. Mereka membesarkan anak-anak secara biasa-biasa saja, namun menekankan pendidikan keluarga atas tiga poin yaitu:
“Anak-anak didik untuk selalu bersama dan bersatu. Selain diajurkan jempolan dalam mata pelajaran di sekolah, anak-anak diarahkan untuk aktif dalam kegiatan di luar sekolah, seperti voli, basket, hiking, pramuka, palang merah remaja dan paduan suara. Kemudian membaca dijadikan sebagai kebiasaan atau hobi”.

Bacaan Sri Mulyani pada waktu kecil dan remaja adalah majalah Bobo, Si Kuncung, Gadis dan buku-buku non mata pelajaran. Orang tuanya juga memberi petuah agar anak-anak menjadi manusia yang tinggi tepo sliro (peka atau memahami lingkungan sekitar) dan juga hidup sederhana. Meja makan menjadi ajang menghangatkan keluarga dengan cara berkumpul dan berkomunikasi akrab. “Setiap anak menceritakan apa yang dialami dan orang tua juga menceritakan pengalaman mereka: soal rekan-rekan yang bermasalah, mahasiswa pintar atau yang bego, hingga anak anak secara tak langsung belajar tentang nilai moral”. Orang tua juga menjadi tempat bagi anak-anak untuk berdiskusi.
Children learn what they live- anak anak belajar melalui cara ia hidup. Jika mereka dibesarkan dalam permusuhan maka mereka belajar menjadi tukang berkelahi. Bila mereka diberi dorongan, maka mereka belajar menjadi percaya diri. Ya anak anak belajar pada kehidupannya. Dan kehidupan awal mereka adalah dalam keluarga, ini berarti bahwa melalui keluarga proses pendidikan berawal.

Sutan Takdir Alisyahbana (STA) sangat peduli dengan pendidikan keluarganya. Ia mengatakan bahwa anak anak harus bercita-cita menjadi orang yang luar biasa, dan orang tua adalah guru pertama dan utama bagi anak-anaknya. Sutan Takdir sendiri adalah guru (orangtua) yang hebat di mata anak- anak nya karena ia sebagai orang tua dengan multidimensi (memiliki banyak posisi) atau multi talenta (memiliki banyak kepintaran) bukan orang tua yang minim dengan wawasan dan mudah bersikap santai.

Dikatakan bahwa Sutan Takdir sebagai orang tua yang multi dimensi karena ia seorang sastrawan, seorang rektor, ketua himpunan filsafat, pemimpin pusat penerjemah nasional dan mendirikan sejumlah mass media. Ia memiliki keinginan yang sangat kuat untuk belajar banyak hal, mulai dari bahasa sampai pertanian. Ia selalu memacu semangat anak- anak untuk selalu berprestasi. Tidak boleh menjadi orang average (orang rata-rata atau orang kebanyakan). Anak tidak boleh bersantai-santai dan anak juga diajar menabung sejak kecil, ia sering berbagi cerita tentang kisah-kisah sukses dari tokoh hebat.

Kemudian, Hendarman Supandji juga menjadi sukses (dan menjadi Jaksa Agung RI , tahun 2009) karena didikan orang tuanya. Ia memegang teguh ajaran orang tuanya dan selalu menjaga kekompakan. Ayahnya paling tidak suka melihat orang yang pemalas dan perokok. Jam lima pagi anak anak harus bangun, sholat dan mandi. Meski orang tua punya fasilitas mobil, namun anak-anak harus mandiri dengan membawa sepeda kalau pergi sekolah. Orang tuanya selalu menekankan agar anak mengisi waktu dengan kegiatan positif- olah raga, musik dan melakukan hobi yang lain.

Soemarno (mantan Gubernur DKI tahun 1960) juga melahirkan anak-anak yang sukses di bidang masing-masing. Ia mengajar anak-anak untuk hidup sederhana, jujur, dan tidak memanfaatkan fasilitas untuk kepentingan sendiri, pendidikan juga harus dalam kerangka agama. Anak-anak diajar untuk tidak buang-buang waktu, pemalas, santai, harus suka kerja keras, tidak mudah minta tolong pada orang lain dan juga tidak membebani orang lain “Jangan menjadi beban bagi orang lain”.

Berdasarkan paparan tentang pengalaman orang tua sukses di atas, maka sekarang bagaimana dengan kondisi/ fenomena yang terjadi pada banyak sekolah dan praktek mendidik keluarga di rumah mereka ? Apakah anak-anak ada didik untuk selalu bersama dan bersatu ? Masihkan mereka dipacu agar selalu  jempolan dalam mata pelajaran di sekolah ? Apakah anak-anak diarahkan untuk aktif dalam kegiatan di luar sekolah, seperti voli, basket, hiking, pramuka, palang merah remaja dan paduan suara ?. Kemudian, apakah  membaca dijadikan sebagai kebiasaan atau hobi”. Pertanyaan tersebut patut menjadi referensi bagi rumah tangga dan bagi pendidik serta kepala sekolah di negeri ini.

Namun dalam kenyataan bahwa  kita sering kurang peduli pada kualitas pendidikan anak, tidak pernah melihat catatan pelajaran anak. Penulis sendiri juga jarang melihat buku catatan dan buku pelajaran anak-anaknya. Tentu saja para orang tua perlu melakukan kebersamaan bersama anak dan berbagi cerita/ pengalaman melalui meja makan. Bukan malah menebar cercaan, kemarahan dan mengungkit- ungkit kesalahan anak serta menghunjani mereka dengan khotbah yang panjang.

Kalau selama ini sekolah dan orang tua cenderung bersikap berat sebelah dalam membentuk kecerdasan anak- maksudnya terlalu banyak menggiring anak-anak dalam menekuni bidang akademik. Maka kecerdasan social, emosi dan keterampilan (life skill) juga harus dikembangkan. Walau selama ini Kepala sekolah, atas anjuran stake holder pendidikan, cuma tahu berlomba untuk mengejar prestrasi akademik anak agar tinggi (kalau perlu dikurung dari pagi hingga sore agar belajar dan belajar- walau otot dan tubuh mereka selalu layu). Namun sekarang juga sediakan kesempatan bagi mereka untuk  kegiatan “voli, basket, hiking, pramuka, palang merah remaja dan paduan suara”.  Karena pada hakekatnya ini adalah untuk mencerdaskan bangsa secara utuh.

Kalau selama ini mayoritas Sekolah Dasar di negeri kita tidak memiliki perpustakaan atau tidak memanfaatkan perpustakaan, kini sekarang perlu untuk diperdayakan. Stake holder pendidikan harus mengerti dengan manfaat sebuah perpustakaan sekolah bagi kecerdasan dan pengembangan wawasan anak didik. Mereka harus sadar bahwa banyak anak-anak sekarang kurang mengenal nama-nama majalah, nama-nama pengarang dan tokoh-tokoh hebat lain, ya karena guru tidak memperkenalkannya. Pembenahan pendidikan di sekolah janganlah hanya terfokus pada sector fisik: membangun gerbang, mencat pagar, membuat merek- pokoknya sebatas merawat infrastruktur, tapi juga untuk pembangunan mental dan karakter siswa yang optimal.

Orang tua yang kita bicarakan tadi  adalah orang tua yang multidimensi dan memiliki multi talenta. Mereka pantas melahirkan keluarga jempolan. Implikasinya bagi kita bahwa kita juga harus menjadi guru, orang tua yang memiliki multidimensi- paling kurang dalam mendidik keluarga.  (Note: Agus Listiyono (2011) Pintar Akademik, Catatan Untuk Hardiknas 2011. Jakarta: Sekolah Islam (http://aguslistiyono.blogspot.com)

Selasa, 10 Mei 2011

Komunikasi Seorang Pemimpin: Bukan Memerintah Tetapi Bermohon



Komunikasi Seorang Pemimpin: Bukan Memerintah Tetapi Bermohon

Oleh : ROSFAIRIL
Kepala SMAN 3 Batusangkar
Peranan seorang pemimpin sangat penting untuk keharmonisan suatu tatanan social atau organisasi. Seorang pemimpin memiliki banyak peran dan dua di antaranya adalah untuk : 1) menyelesaikan tugas untuk bisa mencapai target atau perencanaan, 2) memelihara hubungan yang efektif dengan bawahan dan juga membina hubungan baik sesama bawahan.
Berdasarkan poinh di atas terlihat bahwa seorang pemimpin perlu memiliki “kiat” dalam menjalankan perannya. Ia harus cerdas dalam menyelesaikan harapan/ tugas sesuai dengan target yang ditetapkan. Ia juga perlu memiliki kemampuan untuk membangun “jembatan hati” inter personal dalam organisasi yang dipimpinnya.
Pemimpin yang hanya pandai untuk menuntut target lebih tepat untuk hidup kembali di masa lalu (pemimpin yang otoriter). Sementara seorang pemimpin yang pro dengan kehidupan modern (pemimpin bergaya humanistik) perlu memiliki kemampuan untuk  “merangkai keterpautan hati” dengan sesama dalam zona kepemimpinannya. Ia perlu menjaga suasana sehati atau “one heart situation”.
Mengapa sering terjadi konflik internal dalam suatu organisasi ? Konflik tersebut dapat menghambat percepatan pencapaian target yang diinginkan. Adalah fenomena di lapangan bahwa sering suatu organisasi sulit untuk mewujudkan tujuannya. Penyebabnya adalah ketidaksamaan paham di antara masing-masing personal. Kondisi awal pemicu adalah karena tidak tersambungnya jembatan hati satu sama lain. Kemudian mem dengan munculnya rasa “tidak senang” dengan  sesama anggota  dan selanjutnya berkembang rasa “saling mencurigai, saling menyalahkan, dan saling menjatuhkan”. Ini kemudian akan bermuara pada kehancuran suatu organisasi itu sendiri. Jika sampai pada titik klimaks, maka tamatlah riwayat peranan seorang pemimpin.
Seorang ahli tentang kemimpinan, Hildan Carol (1977), berpendapat bahwa seorang pemimpinan adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk mendorong sejumlah orang untuk  bekerja sama dalam melaksanakan kegiatan yang terarah (mencapai tujuan bersama). Dari pengertian ini dan berdasarkan implementasinya di lapangan akan terlihat dua dimensi fungsi yaitu: pertama, dimensi yang berkenaan dengan tingkat kemampuan dalam mengarahkan (direction ability), dan kedua, berkenaan tingkat dukungan atau support atau keterlibatan orang yang dipimpin.
Dimensi dalam direction ability dapat dilihat pada kemampuan pemimpin untuk mendorong orang lain agar  bekerja. Sementara dimensi support bawahan (dukungan dari orang yang dipimpin) sangat berguna dalam melaksanakan tugas pokok- terlihat dari bentuk kerjasama dalam melaksanakan kegiatan yang terarah demi mencapai tujuan bersama.
Dalam operasionalnya bahwa dimensi kepemimpinan akan terlihat dalam bentuk fungsi dari seorang pemimpin. Beberapa fungsi pokok dari kepemimpinan adalah: 1) fungsi instructif (memberi perintah), 2) fungsi konsultatif ( tempat bertukar pendapat), 3) fungsi partisipatif (pemberian kontribusi untuk mencapai tujuan), 4) fungsi delegasi (pelimpahan beberapa kewenangan pada anggota) dan, 5) fungsi pengendalian.
Strategi adalah langkah-langkah khusus untuk mencapai sasaran. Seorang pemimpin perlu memiliki strategi untuk mencapai sasarannya. Sekali lagi bahwa seorang pemimpin perlu peduli untuk  membangun “keterpautan( jembatan ) hati” antar sesama anggota. Seorang pemimpin perlu memiliki strategi yang tepat untuk mewujudkan tujuan organisasi. Kesalahan dalam menempatkan strategi akan menimbulkan kegagalan dalam memimpin.
Dari pengalaman berorganisasi, bahwa “pemimpin yang lebih dominan menggunakan” fungsi instructif- yaitu serba gemar memerintah “tolong kerjakan ini…, tolong kerjakan itu, jangan lakukan ini…dan jangan lakukan itu” ketimbang menggunakan fungsi konsultatif, fungsi partisipatif serta fungsi delegatif, cendrung membuat dia menjadi pemimpin bergaya otoriter.
Tentu saja ada penekanan- penekanan sari setiap fungsi kepemimpinan tersebut. Pada fungsi intructif,  pemimpin menitik beratkan kepada pencapaian tujuan, namun sering mengabaikan rasa humaniora (penghargaan rasa kemanusiaan). Pada hal kunci utama untuk mencapai tujuan yang diinginkan terletak bagaimana seorang pemimpin mampu membangun semangat (memotivasi) anggotanya untuk bekerja.
Pemimpin perlu memperlakukan karyawannya (anggota) sesuai dengan porsi dari tingkat keberadaannya. Pemimpin perlu untuk pandai menghargai orang lai- bawahannya. “Ya, hargailah sekecil apapun jasa dan hasil  kerjanya. Sebab dengan cara demikian, orang akan melipatgandakan potensinya demi kepentingan bersama”.
Perlu diingat bahwa ini pula yang akan membawa pemimpin menjadi sukses dan hebat, Sukses, hebat dan pentingnya seorang pemimpin, sebenarnya bukan karena mengatakan dia orang hebat dan penting, namun karena ia mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan hebat dan juga mampu menjadikan orang/ anggotanya menjadi hebat. “Kesuksesan baru ada, kalau juga ada pengakuan aktualisasi kita sebagai pemimpin yang hebat”. Seyogiyanya seorang pemimpin harus memperlihatkan kepada orang yang dipimpin bahwa dia tetap berada dalam kontek “berpikir positif” dan “pro-aktif” dengan kemampuann yang dimilikinya. Hal ini dalam pandangan bawahannya akan memberikan kontribusi lebih positif. Citra positif pemimpin perlu di jaga agar ia selalu tetap berada di hati bawahan.
Tidak menjadi persoalan apapun bentuk lini kepemimpinannya dan apapun pekerjaan yang dikelola. Kesuksesan pemimpin sangat tergantung pada kemampuan untuk menjaga interaksi dengan orang lain (bawahan) secara efektif dan harmonis. Berkaitan dengan paparan tentang kepemimpinan, maka sebetulnya ada satu aspek atau skill seseorang yang belum mendapat perhatian penuh selama ini. Yaitu aspek assertiveness.
Assertivenes (keasertifan) maksudnya adalah kemampuan berbicara dan bertindak bertindak seseorang yang akan membuat orang lain   merespon secara atentif (penuh perhatian) dan positif. Aspek- aspek ini sangat esensial dalam system kepemimpinan, namun sering terabaikan. Kunci pokok keberhasilan memimpin sebenarnya terletak pada aspek keasertifan. Pemimpin yang kurang mampu memancing respontif dari karyawannya akan mustahil dapat mengaktualisasikan diri dalam pekerjaannya.
Maksudnya bahwa pemimpin (top leader) harus mampu menggelitik sumber energi kerja dari karyawan/anggotanya sehingga mereka bisa terangsang untuk  berpartisipasi- memberikan respon atas apa yang diinginkan oleh pemimpin. Sumber kekuatan tersebut pada hakikatnya terletak pada hati. Maka intinya adalah “jagalah ketersambungan hati” dan jangan buat jarak.
Beberapa “some do-s” dan “some don’t-s” atau beberapa suruhan dan larangan dari pemimpin terhadap karyawannya. “Selalulah membentengi hati karyawan dengan semangat yang menggebu-gebu. Sekali-sekali jangan sakiti hati mereka, buatlah karyawan menjadi rindu karena tidak bertemu dengan kita dalam satu hari. Jadikan ketersangkutan hati melekat dengan hati kita. Buatlah diri kita menjadi kebutuhan bagi mereka untuk berinovasi serta berimprovisasi dalam pekerjaannnya dan dengan keberadaan kita biarkan mereka berkembang sesuai dengan kodratnya sehingga mereka merasa tersanjung dan terhargai dengan demikian akan dilihat tumpukan energi pembangunan yang anya terselubung disudut hati yang paling dalam, ini  akan membludak dengan dahsyat dalam bentuk produk sebuah pekerjaan”.
Terkadang pada saat tertentu, perasaan tidak mendapat perlakuan adil dari karyawan/angota yang tampil dengan pura-pura jatuh. Maka intinya adalah mohon berikan perhatian yang agak lebih padanya, seolah-olah ia berkata “ tolong bangkitkan saya…!”. Di sinilah kepiawaian seorang pemimpin dalam mencermati secara bijak prilaku berpura-pura tersebut. Hal yang juga sangat penting untuk dijaga adalah “hati dan perasaan bawahan jangan sampai terluka oleh perbuatan dan tindakan kita sebagai pemimpin, ini berguna agar bawahan selalu bersikap loyal”.
Jelas sudah bahwa keberhasilan seorang pemimpin bukan terletak pada banyak orang yang ikut dibawah kepemimpinannnya tetapi terletak pada berapa banyak orang loyal dengan yang dinginkannya. Keberhasilan pimpinan terletak pada berapa banyak orang yang loyal bukan pada banyak orang yang ikut, maka ini  berarti bahwa keberhasilan kepemimpinan seseorang adalah seberapa jauh ia mampu memancing respon para anggota. Juga seberapa lama ia dapat  menjaga interaktif secara harmonis.
Mengakhiri tulisan ini bahwa kepemimpinan secara hakiki adalah bukanlah memerintah namun menyembah- ibarat alur sembah yang diperankan oleh ninik mamak dalam masyarakat Minangkabau, yaitu memohon pada orang agar mau berbuat  untuk kita. Dalam hukum social bahwa setiap permintaan berarti posisi tangan selalu berada di bawah, bukan di atas. Maka untuk itu para pemimpin harus pandai-pandai dalam menempatkan diri, yaitu jangan meminta dengan kesombongan, karena kesombongan tidak akan mengantarkan kita pada harapan. Sebaliknya akan membuat jarak lebih jauh dari keinginan.
Sebuah filosofi “alfatihah (surat alfatihah) bahwa untuk mengakses kepemimpinan dalam kehidupan sehari-hari, dengan jelas bahwa Allah Azza Wajalla telah menggambarkan dalam surat alfatiha “untuk sampai kepada permohonan, ada empat pujian yang dilakukan terlebih dahulu”. Kalimat “Ihdinasshirathal Mustaqiim- tunjukilah kami jalan yang lurus”, adalah didahului dengan beberapa pujian antara lain:
“Alhamdulillahirabbul Alamin, Arrahmanirahim, malikiyaumiddin dan iya kana’budu waiya kanast’iin”.
Semua kalimat tersebut adalah pujian pada Allah- Sang Khalik, padahal tanpa dipuji Sang Khalik tetap esa dan tetap mulia. Namun manusia yang sangat miskin dengan kasih sayang jika memohon “ya pandailah memuji terlebih dahulu” supaya apa yang diminta akan terkabul/ terbantu. Kepemimpinan yang dilandasi dengan gaya “membentak dan menghardik” akan membuat para anggota tidak menjadi hormat, melainkan akan bersikap tidak baik.
Pendapat ahli bahwa seorang pemimpin  diterima oleh masyarakat, “80 % ditentukan oleh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritualnya”. Porsi kecerdasan intelektual hanya 20 %. Malah di Amerika Serikat fenomena tersebut mengalami sedikit pergeseran, yaitu bahwa “90 %  kegagalan seorang pemimpin” dipengaruhi oleh perilaku buruk sang pemimpin.
Akhir kata, jadilah pemimpin yang amanah, sesuai dengan sunnatullah. Sebab siapapun yang kita pimpin (dalam kontek bagaimanapun) maka pertanggung jawaban akan tetap diminta oleh sang Khalik di Yaumil Mahsyar nanti. Nabi Muhammad Saw bersabda: “setiap kamu adalah pemimpin dan setiap apa yang kamu pimpin akan diminta pertanggung jawaban disisi Allah. Dalam memimpin jadikanlah Alquran sebagai tuntunan”. Moga moga para pemimpin  member kontribusi untuk keharmonisan hidup masyarakat, amiin. 

Berani Punya Keluarga, Berani Mendidi Mereka

Berani Punya Keluarga, Berani Mendidi Mereka

Oleh: Marjohan

Guru SMAN 3 Batusangkar

Dunia sekarang penuh dengan label, ada label “smart, cerdas, pintar, hebat, berkualitas dan termasuk label unggul”. Label unggul, dahulu dikaitkan dengan produk hewan atau tanaman. Kita dulu mendengar istilah “sayur unggul, jagung unggul, padi unggul, sapi unggul”. Sekarang malah ada istilah “sekolah unggul, anak unggul dan keluarga unggul.

Ada kesan bahwa siapa saja bisa dan punya kesempatan untuk menciptakan “keunggulan” apakah untuk produk atau untuk keluarganya. Label unggul tidak lagi menjadi dominasi para ahli. Dalam bidang pendidikan, maka setiap kepala keluarga (ayah dan ibu) mempunyai kesempatan untuk menciptakan anak-anak unggul melalui sentuhan pendidikan yang juga unggul.

Benar, bahwa lingkungan keluarga menjadi tempat utama untuk menempa anak-anak menjadi manusia unggul. Apa yang harus dilakukan orang tua ? Ya tentu saja terlebih dahulu membentuk karakter (sikap). Orang tua tentu menjadi model secara langsung. Anak-anak unggul biasanya juga mempunyai orang tua dengan karakter unggul. Orang tua unggul tidak identik dengan orang tua yang memiliki kantong tebal, tetapi orang tua yang memiliki prinsip hidup. Namun cukup banyak orang berkomentar “Wah...pantas saja ia berhasil dan sukses, karena orang tuanya termasuk orang terpandang dan punya posisi tinggi”. Namun mereka juga perlu tahu bahwa cukup banyak anak pejabat yang jangankan kariernya tumbuh, malah sekolah anak mereka saja tak selesai. Bahkan pendidikan/ kehidupan anak-anak mereka juga kacau.

Seorang ahli psikologi, bernama John B. Watson, mengatakan “beri saya seribu bayi dan saya akan jadikan mereka seribu manusia yang anda inginkan”. Pendapat ini menyatakan bahwa betapa besar pengaruh lingkungan- terutama lingkungan rumah dan sekolah- terhadap perkembangan hidup seseorang. Tentu saja sangat beruntung seseorang yang memiliki lingkungan rumah dan sekolah yang kondusif (factor yang mendukung) untuk pertumbuh dan perkembangan kualitas seorang anak. “Bila anda adalah orang tua yang sedang mencari lingkungan baru, maka pilihlah lingkungan rumah dan lingkungan sekolah yang berkualitas buat sang anak”.

Selain faktor lingkungan, latar belakang dan bakat seseorang juga ikut menentukan keberhasilan seorang anak. Andai lingkungan rumah sebagai penentu keberhasilan anak, maka betapa pentingnya peran orang tua dalam mengantarkan masa depan anak. Untuk itu orang tua harus memandang anak sebagai manusia dengan eksistensi yang utuh. Sudah saatnya setiap orang tua punya ilmu tentang mendidik anak, “jangan hanya berlepas tangan dan terlalu menyerahkan urusan pendidikan kepada pihak sekolah”. Bila anak gagal maka tidak layak melemparkan kegagalan pada pihak orang lain “ Wah anakku jadi jelek karena pengaruh lingkungan atau pengaruh sekolah”. Seharusnya juga bisa berucap “Wah anak ku gagal karena peran mendidikku dari rumah kurang maksimal”.

Sekali lagi, bahwa selain pengaruh lingkungan sosial, kualitas perkembangan anak juga ditentukan oleh tingkat kecerdasan, minat, bakat, dan orientasi kehidupannya. Seorang anak yang masuk ke fakultas kedokteran karena orientasi (ambisi) orang tuanya hanya sebatas lulus menjadi dokter. Setelah menjadi dokter tidak ada lagi penambahan kepintarannya, karena orientasinya hanya sebatas bagaimana bisa mencari banyak uang dari pasien yang kaya. Kebanggaan orang tua sendiri hanya berorientasi kearah kantong semata. Namun sekarang karir dokter tak senyaring zaman dahulu, karena banyak masyarakat yang mengerti dengan penyakit dan menemui obat alternative secara mandiri. “Wah kalau demam, batuk, sakit kepala obatnya paracetamol, antibiotic, dan minum multivitamin saja”.

Kurangnya wawasan orang tua, guru dan siswa itu sendiri membuat sang anak menjadi pribadi yang selalu kebingungan. Juga akibat miskin pengalaman, miskin model dan miskin dalam menjelajah kehidupan ini telah membuat banyak anak/ remaja kebingungan: tidak tahu hendak kemana dan bagaimana setelah dewasa. Banyak yang berkomentar : “Aku tidak tahu hendak jadi apa setelah dewasa ?”. Ungkapan frustasi dan ungkapan kebingungan ini muncul akibat anak banyak terkurung dan terkungkung dalam lingkungan rumah dan sekolah. Saat liburan pun mereka masih berkurung dalam rumah, sehingga kurang mengenal betapa bervariasinya dunia kerja ini.

“Mengapa begitu banyak sarjana dilahirkan oleh pergruan tinggi di negeri ini namun negeri kita masih saja tertinggal di berbagai bidang kehidupan”, celetuk seseorang yang bersedih melihat fenomena sosial. Memang, dan kalau di negara maju- kemajuan ekonomi juga didukung oleh kemajuan dalam bidang lain- maju olah raga, maju sastra, maju seni dan juga maju filsafatnya. Sementara kalau bagi kita “aktivitas atau karir dalam bidang seni, budaya, olah raga dan filsafat” kerap dipandang sebagai karir yang kurang favorit.

Kalau pendidikan kita ingin maju dan sejajar dengan bangsa-bangsa yang maju di dunia, maka kita (Indonesia) masih membutuhkan banyak sekali orang hebat pada berbagai bidang kehidupan. Maka pemberian pendidikan yang benar untuk generasi mendatang menjadi semakin krusial. Maksudnya adalah pendidikan buat mereka bukan hanya sekedar ilmu, melainkan juga sarat dengan unsur seni. Idealnya para generasi muda kita bisa mengerti dengan pengetahuan dunia, pengetahuan agama dan seni, sehingga ada orang yang berfilsafat “Dengan ilmu hidup mudah, dengan agama hidup terarah dan dengan seni hidup indah”.

Dalam malpraktek pendidikan di rumah bahwa yang belajar itu cuma kalau anak bisa membuat PR. Sementara kalau ada anak yang mengerjakan hobi menggambar atau bermain gitar itu dianggap buang-buang waktu. Demikian pula pengalaman penulis mengajar pada sebuah boarding school yang mana guru pengasuhnya (pembina asrama) tidak mengenal ilmu mendidik (paedagogi) dan psikologi. Semua santri dilarang bergitar, dilarang memutar music walau lewat MP3 karena itu diasumsikan berhura-hura, buang-buang waktu, mengganggu pembelajaran dan juga bisa mencemari budaya pesantren oleh budaya asing. Namun anak/ santri tidak diberi solusi, akibatnya semua siswa/ santri merasa gersang tinggal di lingkungan sekolah dan akhirnya banyak yang pindah ke sekolah luar.

Ternyata seni itu penting, dan seni itu terletak pada kepekaan orang tua membaca dan memahami kecerdasan, talenta, bakat-bakat khusus, minat, antusias dan orientasi sang anak. Semua ini mesti dicermati sejak anak usia dini, kemudian dipupuk dan ditumbuhkembangkan (disediakan fasilitasnya). Dengan demikian ketika anak memasuki usia remaja, sudah tergambar bidang apa yang kelak paling cocok untuk ditekuni anak- karakter seni anak akan terlihat.

Dengan demikian bahwa pembentukan karakter itu penting. Menjadi tugas orang tua untuk mengarahkan anak untuk memilih karakter yang kuat. Dalam hal ini keteladanan orang tua adalah segala-galanya. Sebetulnya anak selalu memperhatikan karakter orang tua, misalnya ketika menghadapi situasi sulit, akankah orang tua menghadapi dengan gagah berani atau justru menghindari, tekun dan disiplin dalam pekerjaan ataukan gemar mencari jalan pintas.

Seorang remaja, ketika kecil terlihat begitu cerdas dalam berkomunikasi dan tekun dalam belajar. Namun setelah menginjak bangku SMA sang remaja berumah menjadi orang yang pasif, mudah putus asa dan senang dibantu. Ternyata lingkungan rumah telah merobek karakter positif yang saat kecil: anak tidak dilibatkan dalam kegiatan rumah, anak banyak dilarang, anak kurang dikondisikan untuk memiliki banyak pengalaman. Lingkungan rumah perlu membentuk karakter kuat pada diri anak.

Pria-pria dewasa yang tidak punya tanggung jawab- dari pagi hingga malam cuma banyak bengong, secara kasar bahwa pintarnya cuma “mancilok atau akronim dari Mandi Cirit (beol) dan Lalok (tidur)” nyaris menciptakan anak anak yang juga bingung menghadapi dunia. Pelajar-pelajar yang malas dan keluyuran disekolah, begitu ditelusuri ke rumah, ternyata mereka punya ayaj yang tidak tahu dengan peranannya. Sebaliknya ayah yang punya karakter- rajin, jujur, dan hidup bersemangat juga akan memiliki ansak anak yang punya prinsip hidup yang juga terarah. Karakter yang kuat akan menopang sukses jangka panjang bersama orang lain. Ternyata memang lingkungan keluargalah yang berperan penting dalam menempa dan membangun karakter sejumlah tokoh sukses di negeri kita.

Sudarmadi dalam majalah Swa Sembada (22 Januari 2009) menulis bahwa tidak sedikit keluarga yang berhasil mendidik anak-anaknya sehingga sebahagian besar punya karier dan prestasi di bidang yang mereka geluti. Bagaimana mereka melahirkan generasi seperti itu dan apa gizi yang diberikan ?

Orang orang unggul sebenarnya bukan produk langsung dari sekolah (SMA dan Universitas) yang mereka lalui, jauh sebelumnya mereka telah tumbuh dari keluarga yang memiliki prinsip hidup. Tentu ada prinsip atau aturan yang mereka kerjakan dan prinsip atau aturan yang mereka hindari.

Yang harus dilakukan keluarga agar anak tumbuh berkualitas adalah:

1. Memberikan kesempatan untuk berkembang sesuai dengan minat dan bakat.

2. Menciptakan suasana agar anak bisa fun dan enjoy dalam pengembangan diri.

3. Menanamkan nilai-nilai positif (kerja keras, disiplin, dan sadar waktu).

4. Membekali anak dengan pendidikan formal memadai.

5. Menumbuhkan keterampilan social dan intelektual.

6. Mendorong semangat berkompetisi dan berprestasi.

7. Membiasakan anak berjuang dulu dalam meminta sesuatu

8. Memberi anak tanggung jawab (tugas rumah)

Kemudian prinsip (aturan) yang tidak boleh dilakukan adalah :

1. Mengarahkan anak tanpa melihat konteks lingkungan dan zamannya.

2.Memaksakan minat anak sesuai dengan kehendak orang tua.

3. Menuruti semua permintaan anak.

4. Menganggap anak tidak berpotensi sehingga lebih banyak mendidik dengan

memerintah.

5. Banyak menuntut kepada anak sementara orang tua tidak mengimbangi dengan

pengorbanan.

Namun cukup aneh bahwa fenomena yang sering ditemui dalam praktek mendidik anak di rumah adalah melaksanakan prinsip yang seharusnya ditinggalkan. Sering anak-anak protes dan berkata “wah mama terlalu cerewet atau papa terlalu banyak campur”. Ini merupakan indikator negative bahwa orang tua terlalu banyak mengarahkan anak sampai hal-hal detail, akibatnya suasana fun dan enjoy (suasana menyenangkan) menjadi hilang. Yang timbul adalah suasana serba diatur, dicampuri dan didikte.

Orang tua berusia muda, yang kurang memiliki ilmu parenting (bagaimana menjadi orang tua) sering terjebak dalam menuruti semua permintaan anak. Seringkali anak kadang- kadang asal minta saja, setelah dibelikan, ternyata benda tadi tidak bisa dimanfaatkan. Begitu pula bagi mereka yang ambisi agar anak cerdas, sering terkesan memaksakan anak. “Wah kamu kalau sekolah di SMA, idealnya ambil saja jurusan IPA, nanti bakal bisa jadi dokter”. Sementara bakat dan minat anak adalah pada seni dan sastra, “wah pilih seni dan sastra...mau jadi apa kamu kelak, mau ngamen...!!”. Sering orang tua memandang jurusan ini dengan sebelah mata.

Penulis sendiri sering terjebak terlalu banyak memaksa dan menuntut anak. “Hei membaca,...hei ...kembangkan hobbi mu...”. Namun perlu disadari yang diperlukan anak bukan banyak menuntut tetapi sediakan fasilitas belajar dan berkarya buat mereka dan setelah itu memberi pemodelan buat anak- model dalam belajar dan berkarya. Memang benar, hidup makin susah, tapi jangan menyerah dan perlu perjuangan. Bagi yang sudah punya keluarga dan punya anak, maka mereka harus member model- tahu dengan parenting atau seni menjadi orang tua. Secara berseloroh dapat dikatakan bahwa : Berani punya keluarga ya tentu juga berani mendidik mereka sejak dini.

Senin, 02 Mei 2011

RENUNGAN BUAT SANG PEMIMPIN


Oleh : ROSFAIRIL
Kepala SMAN 3 Batusangkar

Semua makhluk di jagad raya ini butuh pimpinan dan Allah Azza Wa Jalla adalah Sang Maha Pemimpin. Hampir semua makhluk hidup yang hidup berkoloni (berkelompok), mulai dari serangga hingga hewan buas, juga butuh pimpinan. Masyarakat serangga seperti semut, lebah dan laron memiliki ratu atau raja sebagai pimpinan untuk keteraturan hidup mereka. Terbentuknya susunan masyarakat hewan kecil ini tentu sudah terkonsep secara instink.

Lain lagi dalam masyarakat hewan simpanse, gorilla, atau kumpulan gajah. Pimpinan terbentuk setelah serangkaian perkelahian dan pertarungan. Yang paling kuat dalam hukum rimba, maka dialah yang ditakdirkan menjadi pemimpin. Namun juga ada pimpinan hewan yang terbentuk secara instan. Lihatlah segerombolan ikan yang berenang atau segerombolan burung bangau yang terbang di angkasa. Yang kebetulan berada paling depan maka dialah yang akan menjadi pemimpin.

Kelompok makhluk yang bernama manusia juga membutuhkan pemimpin. Pemimpin dibutuhkan untuk mengatur dan mengelola kehidupan agar harminis. Proses kepemimpinan dalam masyarakat manusia terbentuk bukan secara instink dan juga secara instant yaitu berdasarkan siapa yang kebetulan berada di depan. Tetapi lebih komplek, bahwa pimpinan yang diperoleh adalah berdasarkan pemberian, keturunan, direbut atau dicari melalui suatu sistem. Sedangkan dalam organisasi masyarakat modern, menjadi pemimpin bisa diperoleh sebagai pengembangan karir.

Seseorang yang masuk ke dalam organisasi BUMN, PNS, Swasta, Militer dan lain-lain, pada mulanya tentu diterima dan segera menempati posisi biasa. Namun bagi yang memiliki keinginan untuk mewujudkan power- potensi leadership, maka mereka berusaha mencari posisi untuk menuju pemimpin. Menjadi pemimpin atau kepala sekolah bagi seorang bisa menjadi wujud dari pengembangan karirnya. Idealnya setiap pemimpin perlu melakukan perenungan atas eksistensi pemimpin tersebut.

Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa hidup ini butuh pimpinan. Maka seorang pemimpin mempunyai peran yang sangat penting buat kehidupan sosial. Namun seorang pemimpin perlu melakukan renungan tentang keberadaanya, yaitu seperti apa dan bagaimana seharusnya seorang pemimpin itu bertindak (?)

Siapakah pemimpin itu ? Pemimpin adalah orang yang diberi wewenang untuk memimpin sekelompok orang. Seorang pemimpin bisa lahir karena proses legitimasi- pemberian amanah- yang datang dari arus bawah karena sekelompok orang yang mengusulkannya – atau terlahir melalui rekruitmen karena yang bersangkutan punya keinginan untuk memenuhi ketentuan birokrasi dan hirarki suatu oraganisasi.

Dewasa ini setiap organisasi dan kelompok masyarakat memiliki tujuan yang disebut dengan visi. Visi tersebut diwujudkan melalui serangkaian langkah-langkah strategis yang disebut dengan misi. Dalam koridor ini seorang pemimpin perlu menjalankan perannya agar bisa mewujudkan visi dan misi tersebut. Seorang pemimpin yang ideal tentu akan memberi warna terhadap oraganisasi atau kelompok masyarakat melalui peran strateginya yaitu sebagai “leader, manager, counselor, motivator, innovator, administrator, generator, dan supervisor”.

Sebuah organisasi bisa tumbuh dan berkembang secara kualitatif dan kuantitatif, itu adalah karena posisi kepemimpinan. Namun diluar jangkauannya bahwa keberhasilan organisasinya adalah karena setiap unsur dalam organisasi- mulai dari orang yang menempati posisi biasa sampai pada posisi luar biasa- ikut memberi kontribusi positif dalam menumbuh dan mengembangkan organisasi tersebut.

Sebuah organisasi dalam mencapai tujuannya memerlukan seorang pemimpin. Ia perlu melaksanakan koordinasi terhadap semua elemen dalam organisasi untuk mewujudkan misi demi misi. Dalam peran sebagai “leader” ia punya peran dalam mengarahkan semua anggota agar bisa bergerak menuju arah visi/ tujuan.

Adalah begitu pentingnya peran seorang pemimpin dalam kehidupan kita baik untuk menggiring kita dalam mengerjakan suatu pekerjaan, atau pemimpin mempunyai peran mengantar kita mencapai tujuan maupun pemimpin adalah penggerak roda sebuah organisasi maka kepemimpinan dari seorang pemimpin sangat perlu dijaga.

Seorang pemimpin perlu selalu menyadari tentang eksistensi, bahwa dia bisa menjadi pemimpin karena ada orang- orang yang dia pimpin. Jangan berfikir bahwa dia sebagai pemimpin muncul dengan sendirinya, melainkan terwujud karena izin Sang Khalik (Allah Swt). Tanpa kehadiran orang lain maka seorang pemimpin sekali lagi tak mungkin ada.

Seorang pemimpin juga perlu menyadari bahwa ia bisa menjadi penting, dengan menduduki jabatan penting, juga karena orang lain. Sekali lagi bahwa pentingnya posisi dia sebagai pemimpin adalah karena orang yang membuat dia menjadi penting. Terwujudnya visi sebagaimana yang dinginkan bersama adalah disebabkan oleh banyak orang yang bekerja untuk dia sebagai pemimpin. Ini sebagai pertanda bahwa suksesnya dia dalam memimpin organisasi/instansi adalah berkat bantuan kerjasama orang-orang yang dipimpinnya.

Jangan pernah beranggapan bahwa suksesnya pekerjaan yang dia kelola adalah sebagai kepintarannya sebagai pemimpin namun kesuksesan tersebut terjadi karena dukungan banyak orang. Dengan demikian kesuksesan dan keberhasilan tersebut juga merupakan kesuksesan dan keberhasilan bersama-sama, bukan secara individu. Disamping itu bahwa keberhasilan seorang pemimpin bukan terletak pada banyaknya orang yang ia perintah- mereka patuh secara terpaksa- melainkan dilihat dari segi banyaknya orang yang loyal mengerjakan dengan apa yang dia inginkan.

Kalau boleh seorang pemimpin bisa meyakinkan kepada anggota yang ia pimpin bahwa “setiap kali fajar menyingsing, maka berlarilah lebih cepat melampaui kecepatan dari yang bergerak tercepat, sebab kalau terlambat maka orang tadi akan meninggalkan semua orang yang akan menyusul dirinya sebagai orang yang tercepat ”, dan tanamkan keyakinan bahwa hanya orang yang mempunyai keyakinan pada dirinya yang akan memperoleh kemenangan. Anggota sebuah organisasi perlu memiliki jiwa optimis dalam hidup. Mereka perlu berpacu dan dipicu dengan energy kerja yang dahsyat. Mereka perlu digelitik untuk meraih kemajuan dan perlu dikatakan bahwa “Jika anda ingin hidup dan maju, lakukan selangkah demi selangkah cepat atau lambat, yakinilah bahwa kemenangan akan menjadi milik anda, sekali lagi yakinlah bahwa anda pasti akan memperoleh kemenangan”. Kemenangan hanya milik orang yang memiliki keyakinan dan kepercayaan atas dirinya.
“Anda harus yakin dengan diri anda. Kalau anda tidak yakin dengan diri sendiri, maka tidak ada orang yang akan mempercayai diri anda. Mulailah melakukan apa yang mampu anda lakukan untuk menghilang rasa takut dalam hidup ini”.

Peran pemimpin juga sebagai motivator atau penggerak semangat. Maka sebagai penggerak para anggota ia harus menyadari bahwa fungsinya yaitu “bagaimana menjadikan orang mau bekerja untuk apa yang ia inginkan”. Tentu saja semuanya memerlukan kiat yaitu bagaimana para anggota bisa termotivasi untuk bekerja. Ini memerlukan kesadaran yang dalam bahwa apabila dia mampu menghargai orang yang dia ajak bekerja sesuai dengan keberadaannya.

Tentu saja para anggota akan dapat berbuat melebihi kapasitas yang mereka miliki. “Perlakukan setiap individu sesuai dengan eksistensi dirinya”. Sebab setiap orang yang lahir ke dunia telah memiliki sifat aslinya, bukan sebagai sifat orang lain. Begitu juga dengan orang lain dia lahir sebagai dirinya sendiri, dia ada sesuai dengan keberadaannya bukan sebagai diri kita. Makanya jangan pernah memaksa orang menjadi wujud diri kita sendiri. Tetapi marilah kita menjadi wujud kita dan dan orang lain menjadi wujud mereka pula.

Kalau di amati dalam kehidupan di sekeliling tentang prilaku memimpin. Kita bisa jadi heran atas pemaksaan kehendak dari sebagian pemimpin bahwa maunya orang yang yang berada dalam kekuasaanya harus seperti dia, “kamu seharusnya begini dan begini”. Dia lupa bahwa tanpa ada orang yang masuk ke dalam kekuasaannya maka dia tia tidak akan punya arti apa-apa. Dia juga lupa bahwa pentingnya dia dalam masyarakat sekitarnya adalah karena orang sekitarnya menjadikan dia orang penting. Oleh karena itu, sekali lagi, hargailah orang yang bekerja bersama kita selayak mungkin. “Jangan pernah bertindak semena-mena, karena mereka lah yang menjadikan kita jadi orang hebat”.

Ya benar bahwa para anggota organisasilah yang membuat kita penting di mata orang lain. Pemimpin perlu menghargai pekerjaan bawahan walau sekecil apapun hasilnya. Tidak layak melupakan jerih payah pekerjaan para bawahan kita. Mengapa ? Ya, karena tanpa izin Allah Swt bahwa kita ini adalah ibarat sebutir debu yang tidak punya arti apa-apa.

Pemimpin tidak layak berkata seenak perut nya saja, tanpa menghiraukan perasaan orang lain. “Seolah-olah dia adalah superstar yang tidak punya tandingan, tanpa memiliki kekurangan dan kesalahan”. Pada hal saat pengakuan kesombongan terhadap kehebatan diri maka saat itulah gambaran kita sebagai orang yang tidak tahu diri akan terekspose.

Lebih lanjut bahwa pengakuan kehebatan kita merupakan trik bagi kita dalam menutupi kekurangan yang kita punyai di mata orang lain . Untuk itu jadilah pemimpin yang yang sukses yang rendah hati. Bukan pemimpin yang merasa sukses, diukur berdasar posisi yang diberikan. Namun lebih baik sukses atas seberapa masalah pelik yang dapat kita selesaikan berdasarkan anggota.

Tidak salah kalau ada ahli yang mengatakan bahwa kepemimpinan atau jabatan yang dipegang seorang merupakan pengaruh atau seni bagaimana kita menggerakkan orang lain. Sehingga mereka dengan penuh kemamuan dan tanggung jawab berusaha untuk mencapai visi dari organisasi. Jadi pemimpin adalah seni memotivasi orang lain.

Pimpinan musti dilaksanakan seperangkat unsur pimpinan, mereka ibarat pemain orchestra. Ada yang memegang biola, ada yang membunyikan gendang, ada yang menjadi tukang dendang atau vokalis. Jadi mereka harus tahu dengan peran, jangan saling mencampuri peran yang lain sebab akan berakibat konser orchestra bakal batal terjadi. Pemain unsure music dalam orchestra musti mematuhi dirigen, yaitu pemandu music, sungguh aneh kalau ada pemain music yang menjadi penasehat bagi dirigen saat pertujunjukan terjadi. Bagi posisi dirigent- pemimpin orchestra- maka jadilah pemimpin yang mampu menjadi pengasih, pengasah dan pengasuh, kasihilah orang yang kita pimpin, asahlah ketajaman intuisinya dalam mengembangkan potensinya, dan asuhlah mereka supaya menjadi orang yang akan menggantikan kita di masa mendatang, hidup ini hanya sementara, estafet harus kita siapkan . “Ingat bahwa kita diberi Allah Swt sedikit kemampuan untuk memimpin, itu pun menjelang ajal datang menjemput”.

Adalah sangat naïf bagi pemimpin yang suka sesumbar (besar mulut) dan berkata “inilah hasil kerja saya, tanpa saya instansi ini tidak ada arti apa-apa, karena sayalah ini bisa terjadi karena sayalah kalian bisa begini, dan masih banyak lagi karena saya…… nauzubillahi minzalik”. Pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang selalu santun- santun dalam berfikir, berbuat dan berkata. Jadilah pemimpin yang santun pada Allah (tidak takkabur) dalam artian jangan sekali-kali membuat ke Ilahian baru seolah olah menyamakan diri kita dengan sang Khalik, berikanlah apa yang seharusnya menjadi milik Allah tetap menjadi kepemilikan Allah hindari takjub dengan diri sendiri dengan tidak mengatakan ini karena saya sebab segala sesuatu diatas dunia ini Allah lah yang menentukan serta supaya terhindar dari kesesatan dan pada manusia (tidak sombong) hargailah mereka sesuai dengan keberadaannya masing-masing dan hargai juga hasil kerja orang lain sekecil apapun hasil kerjanya karena kebesaran yang kita peroleh terkadang karena akumulasi dari hal kecil yang dilakukan orang untuk kita. Akhir kata bahwa hendaklah pemimpin memahami makna hidup ini dan jadilah pemimpin yang membuat makna yang baik. Moga moga Allah Swt selalu ridho dengan posisi kita sebagai pemimpin.

Jumat, 22 April 2011

Berburu Passing Grade Sebelum Masuk Ke Perguruan Tinggi


Berburu Passing Grade Sebelum Masuk Ke Perguruan Tinggi
Oleh: Marjohan
Guru SMAN 3 Batusangkar

Untuk menjadi cerdas rupanya tidak perlu mengikuti proses belajar yang panjang. Buat apa harus mempelajari dan membahas teori-teori serta pergi prtaktek ke dalam labor segala. Ya cukup belajar secara instan saja, yaitu melalui latihan menjawab soal-soal ujian. Kini memang banyak siswa, guru dan orang tua meyakini hal ini. Mereka merasakan bahwa anak-anak bisa cepat pintar cukup dengan cara instant yaitu “melatih anak untuk menjawab soal-soal ujian”. Cara ini disebut dengan program bimbel atau bimbingan belajar. Maka tidak heran kalau banyak bimbel yang punya merek atau label “ bimbel smart dan instant” dan mereka siapkan menciptakan siswa-siswa menjadi generasi cerdas yang instant.

Memang demikian bahwa bila kita jeli melihat prilaku siswa-siswa SMA di sekitar kita yang baru selesai melaksanakan UN (Ujian Nasional) maka kita akan melihat fenomena yang membuat hati geli dan bertanya-tanya “wah mereka kemaren selama enam bulan sibuk latihan bimbingan belajar kok sekarang sibuk lagi bergerombolan ke dalam ruangan yang disulap menjadi arena bimbel menuju perguruan tinggi bergengsi ?”

“Betul papa dan mama, kami harus punya passing grade yang tinggi, baru setelah itu punya cita-cita dan memilih perguruan tinggi yang pas”. Sekarang siswa yang hebat harus dilihat skornya, skor tersebut adalah sebagai bukti ia punya kualitas atau tidak. Konsekwensinya bahwa ratusan bahkan ribuan siswa yang baru selesai melaksanakan Ujian Nasional juga harus berburu “passing grade” sebelum menuju Perguruan Tinggi.

Perguruan tinggi favourite memasang standard passing grade yang juga tinggi. Untuk memperoleh passing grade yang tinggi itu tidak sulit. Asal ada uang maka ikutlah bimbel, katanya dalam spanduk bahwa bimbel yang bagus bisa menjamin siswa punya passing grade tinggi dan jebol perguruan tinggi yang favourite “Gagal masuk Perguruan Tinggi maka uang kembali, maka bergabunglah bersama bimbel kami”, demikian iming-iming iklan bimbel. Yang tidak punya uang dan tidak bias ikut program bimbel tidak perlu kehilangan rasa percaya diri.

Apakah Perguruan Tinggi memang butuh siswa yang punya passing grade tinggi ? Tentu saja “ya” karena itu adalah sebagai tanda atau jaminan bahwa mereka bias direkrut menjadi mahasiswa dan tetap bisa membuat harum nama perguruan tinggin tersebut. Namun apakah kelak mahasiswa- mahasiswa yang jago untuk mencari passing grade tinggi bakal sukses setelah menyelesaikan perkuliahan mereka, atau malah mereka menjadi sarjana yang puas dalam membanggakan IPK atau Passing Grade tinggi namun bengong dan miskin dalam kreativitas dalam hidup ini.

Achmanto Mendatu (2010) menulis tentang “Kegagalan Sistem Pendidikan Asia” dan mengutip salah satu artikel dengan judul “Asian Test-Score Culture Thwarts Creativity- Budaya Skor Test Orang Asia Menggagalkan Kreativitas” pada jurnal Science mengatakan bahwa meskipun sejak bertahun-tahun lalu Asia didaulat akan menjadi penghela dunia sains berkat sangat besarnya investasi di bidang sains dan teknologi, kenyataannya Asia masih tetap saja tertinggal di banding negeri-negeri barat (Eropa Barat dan Amerika Utara). Menurutnya, akar permasalahannya adalah budaya pendidikan Asia yang berorientasi pada skor-tes, yang alhasil tidak mampu mengasah keterampilan berpikir dan kreativitas pelajar. Padahal kedua kemampuan itulah yang menjadi dasar untuk bisa menjadi ilmuwan yang berhasil.
Fenomena di Indonesiapun juga demikian, para orang tua dan guru (malah pemerintah juga mendorong) agar siswa/ sekolah berlomba untuk mencari skor yang tinggi. Sekolah yang mampu membuat siswa ujian dengan skor tinggi akan memperoleh appresiasi yang hebat. Dengan demikian semua pelajar dan sekolah berorientasi mengejar skor-tes setinggi-tingginya.

Orang tua dan guru menjelaskan pada anak/ siswa bahwa yang memiliki skor-tes lebih tinggi akan memperoleh karir lebih baik di masa depannya karena persyaratan masuk ke berbagai institusi pendidikan yang lebih tinggi dan lebih baik ditentukan oleh skor-tes. Semakin tinggi skornya tentu semakin baik pula peluangnya. Beragam pekerjaan bergengsi juga hanya bisa dimasuki oleh mereka-mereka yang memiliki skor tinggi. Sekolah yang para siswanya meraih skor-tes tinggi akan naik reputasinya, dan dengan demikian menjamin pendanaan lebih banyak pula.

Pengalaman penulis sebagai guru juga merasakan dan melihat bahwa guru-guru pun ditekan untuk mengajar dengan orientasi agar siswa bisa memperoleh skor-tes yang tinggi. Proses pendidikan pada sekolah berlabel unggul, apakah ia berlabel Sekolah Standard Nasional, Sekolah Rintisan Standard Internasional, dan juga sekolah sekolah kebanyakan, dalam semester ke 6 di kelas tiga SMA (yaitu persiapan sukses UN) lebih terfokus pada program belajar dalam bentuk mengerjakan “latihan-latihan tes” karena diyakini bahwa keberhasilan sebuah sekolah semata-mata dinilai dari catatan skor-tes yang diperoleh siswa di sekolah tersebut.

Achmanto Mendatu (2010) menambahkan bahwa akibat iklim pendidikan berorientasi skor-tes, para orangtua di Asia (termasuk Indonesia) lazim memasukkan anak-anaknya ke suatu les pelajaran tambahan di luar sekolah sejak usia dini. Di Singapura, pada tahun 2008, sejumlah 97 dari 100 pelajar mengikuti les tambahan pelajaran di berbagai institusi persiapan tes (baca: Lembaga Bimbingan Belajar). Pada tahun 2009, industri persiapan tes di Korea Selatan bernilai 16,3 Miliar US$ atau setara dengan 146,7 triliun rupiah. Jumlah itu kira-kira senilai 36% dari anggaran pemerintah untuk dunia pendidikan di negeri ginseng.

Akibat dari gaya kebijakan mendidik yang demikian oleh masyarakat dan juga didukung oleh pemerintah telah menyebabkan waktu sekolah yang panjang dan beban PR yang berat bagi anak. Siswa siswa kita memang terasah kemampuan intelektualnya dalam hal mengingat fakta-fakta untuk kemudian ditumpahkan kembali saat ujian. Hasil dari budaya pendidikan semacam itu adalah kurangnya keterampilan menelaah, menginvestigasi dan bernalar, yang sangat dibutuhkan dalam penemuan-penemuan ilmiah.

Sekarang banyak siswa Indonesia yang mampu meraih juara olimpiade sains di dunia. Namun apakah mereka memang bisa menjadi lebih kreatif- menemukan banyak hal setelah dewasa. Tidak bisa dipungkiri bahwa para pemenang olimpiade sains dunia (fisika, sains, biologi, dan lainnya) mayoritas berasal dari Asia. Ya Indonesia sendiri telah berkali-kali memiliki para juara. Akan tetapi mereka merupakan hasil penggodokan khusus oleh tim khusus olimpiade sains. Mereka bukan hasil alami iklim pendidikan seperti biasa. Jadi, fenomena itu sama sekali belum tentu mengindikasikan keberhasilan sistem pendidikan kita. Faktanya, meskipun mendominasi kejuaraan, Asia tak kunjung melahirkan ilmuwan-ilmuwan kelas dunia. Jumlah ilmuwan yang terlahir dari Eropa/Amerika sangat timpang jauhnya dibandingkan dari Asia.

Teman penulis yang pernah studi di Australia dan keponakan penulis yang juga pernah mengikuti pertukaran pelajaran di Amerika (Youth Exchange Student) mengatakan bahwa pelajar asal Asia memang lebih cerdas di sana. Malah keponakan penulis sendiri menjadi jago dalam kelasnya. Tetapi dengan demikian apakah mengindikasi bahwa pelajar Amerika atau Australia itu sendiri lebih lemah SDM-nya dan kita lebih sukses ? Ya tunggu dulu. Ia menambahkan bahwa siswa-siswa Indonesia pulang sekolah terbiasa menyerbu bimbel, sebaliknya siswa Amerika pulang sekolah menyerbu lapangan olah raga atau ikut orang tua mereka dalam mengeksplorasi alam- membantu usaha dan pekerjaan orang tua untuk memperoleh pengalaman hidup dan sekaligus tambahan uang saku. Para pendidik dan stakeholder pendidikan di Amerika ( juga di Australia) selalu mendorong dan merangsang siswa mereka untuk melakukan eksplorasi. Bukankah melakukan ekplorasi menjadi syarat untuk menjadi kreatif ?. Dengan demikian siswa di sana kecerdasan intelektualnya tidak bersifat instan sebagaimana kebisaaan kecerdasan instant siswa kita melalui bimbel.

Bagaimana dengan siswa cerdas peraih passing grade tinggi di Indonesia ? Mereka umumnya kuliah di jurusan/ fakultas dan Universitas yang berlabel favourite. Dan mahasiswa yang kemampuannya cukup rata-rata juga kuliah pada universitas dan institute yang tersebar di Tanah Air ini. Dari pengalaman banyak orang saat kuliah di Universitas terlihat bahwa banyak mahasiswa yang lemah dalam melihat hubungan-hubungan dalam berbagai literatur, membuat kemungkinan-kemungkinan ide-ide, dan menyusun berbagai hipotesis. Sehingga sering bermasalah tiap kali menulis proposal, skripsi, tesis dan disertasi. Padahal, mereka adalah para peraih IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) cukup tinggi. Ini membuktikan bahwa sistem pendidikan sejak dari Sekolah Dasar, Sekolah Menengah dan Universitas tidak melahirkan talenta saintifik. Ya gara-gara cuma belajar banyak melakukan latihan-latihan ujian. Saat masa anak-anak, mereka banyak dikurung dalam rumah dengan alas an belajar, hingga mereka kurang tahu nilai-nilai social yang berada di luar rumah.

Selanjutnya bagaimana gaya kuliah mahasiswa di Perguruan Tinggi di negara kita, apakah masih berorientasi passing grade ? Tampaknya gaya hidup dan gaya belajar mahasiswa sama saja dengan gaya hidup dan gaya belajar anak-anak SMA. Ya masih berorientasi passing grade. Jauh-jauh dari kampung para orang tua masih rajin kirim SMS pada anak agar rajin kuliah dan belajar yang benar agar IPK bisa diatas 3.00 dan kalau perlu raihlah IPK 4.00 atau cum laude.
Sehingga kerja dan gaya kuliah mahasiswa seolah-olah bersifat “4 D” yaitu “Duduk Datang Diam Dengar” dan jangan begitu kritis karena nanti sang dosen bisa tersinggung, kalau tidak nilai mata kuliah bisa gagal. Di rumah kost terlihat bahwa aktivitas mahasiswa merpakan perpanjangan dari kebiasaan belajar ala SMA dulu, ya contek tugas kuliah teman, copy paste tugas dari internet, main game, main HP, dengar music, main domino, cari pacar, bergitar atau tidur tanpa kenal jam dan bermimpi.

Satu dua mahasiswa juga ada yang aktif dalam organisasi. Namun parahnya ada yang menomorsatukan organisasi dan memandang remeh perkuliahan maka jadilah mereka sebagai mahasiswa abadi atau terpaksa di- drop out dari kampus karena sudah kadaluardsa. Idealnya mereka harus menjadi model mahasiswa yang sukses berorganisasi dan juga sukses dalam kuliah ? Namun model mahasiswa ideal itu juga susah diperoleh.

Model atau cara kuliah yang sukses bisa ditiru dari mahasiswa yang sukses pula. Apakah mahasiswa yang sukses tersebut berasal dari Universitas favourite di pulau Jawa. Juga belum tentu sebab aktivitas mereka yang kuliah di sana, terlihat dari koleksi foto-foto mereka pada facebook juga dominan bersifat hura-hura, seperti hanya penuh dengan acara makan-makan, jalan-jalan, ledek meledek atau sedang main game on line.

Satu atau dua orang tentu juga ada masiswa ideal yang bisa dijadikan referensi dalam kuliah. Yaitu mereka yang tidak cuma menghabiskan waktu di kampus dan tempat kos, namun juga terjun ke lapangan untuk menemui fenomena kehidupan ini. Louis Deharven sarjana asal Perancis dari tahun 1993 sampai tahun 2002 sering datang berlibur ke tempat penulis di Batusangkar (bukan merendah bangsa sendiri dan mengagungkan bangsa lain). Ia menghabiskan waktu dan dana untuk masuk hutan dank e luarb hutan serta masuk goa ke luar goa hanya menemukan jengkerik ukuran besar (cigal) dan jenis ikan dalam goa (Ngalau Indah) di Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar. Hewan tersebut belum tercatat dalam klasifikasi zoology dunia dan segera memberi klasifikasinya. Ia kemudian terus mengembangkan talent saintifiknya bukan secara instant tetapi melalui eksplorasi.

Demikian juga dengan teman penulis, Craig Pentland dari Australia Barat, memberi saran kepada kepada salah seorang siswa penulis yang tergolong kutu buku. Ia mengatakan bahwa “jangan asal membaca semua buku tetapi lakukan eksplorasi dan amati fenomena sosial, bila ada yang aneh maka segera cari literature dan segera pahami untuk menemui solusinya.

Pesan dan gaya saintifik kedua teman tadi barangkali sangat bagus diadopsi oleh mahasiswa yang belum punya gaya belajar yang pas agar menjadi manusia intelektual. Menjadi mahasiswa dan siswa yang ideal bukan berarti harus menghabiskan belasan jam di sekolah atau kampus atau Cuma berlatih mengerjakan latihan demi latiha di rumah. Namun juga melakukan eksplorasi kea lam yang terprogram, bukan asal eksplorasi sehingga terkesan berhura-hura. Bagi yang studi di bidang pertanian dan peternakan maka sering sering turun dari menara gading (kampus) ke lahan pertanian dan peternakan. Bagi yang studi pada ilmu social maka turunlah ke lingkungan social lapisan bawah- lihat dan amati ada apa yang terjadi di sana. Bagi yang studi pada fakultas tekhnik juga rajin-rajinlah ke lapangan untuk menemui fenomenanya di lapangan, jangan turun ke dalam box warnet dan internet melulu, dan seterusnya. Sekarang bagaimana lagi… apakah gaya belajar siswa dan mahasiswa serta gaya mengajar guru dan dosen masih sekedar mendorong mereka memburu passing grade yang tinggi dan cukup bangga dengan Skor yang tinggi meskipun setelah itu bingung untuk berbuat penuh dengan kreatifitas. (Note: Achmanto Mendatu (2010) Kegagalan Sistem Pendidikan Asia. Yogyakarta: Magister Profesi Psikologi UGM)

Kamis, 14 April 2011

Pengalaman Pemuda Sumatera Bekerja di Negeri Sakura

Pengalaman Pemuda Sumatera Bekerja di Negeri Sakura
Oleh: Marjohan
Guru SMAN 3 Batusangkar
(http://penulisbatusangkar.blogspot.com)

Penglaman positif menjadi pekerja di negeri sakura bukanlah pengalaman penulis, tetapi ini adalah pengalaman seorang pemuda bernama Jose, keponakan penulis, yang baru saja mengakhiri pekerjaan dan telah tinggal di Jepang selama tiga tahun. Penulis berfikir bahwa pengalaman Jose dan pengalaman remaja/pemuda yang pernah bekerja di sana sangat layak untuk ditulis.

Cukup banyak sebutan untuk negara Jepang. Sebagian menyebutnya dengan nama “negara matahari terbit, negara samurai, dan negara sakura”. Namun tidak perlu disebut atau diberi gelar dengan negara tsunami atau radiasi nuklir, karena ini membuat kepedihan bagi mereka sebagai tetangga kita.

Setiap orang yang baru datang ke negara dengan empat musim pasti akan mengalami cultural shock- kejutan budaya. Iklim di negara kita yang dapat dikatakan sebagai “summer all the time- musim panas sepanjang tahun”. Musim dingin di sana memang menusuk tulang, kalau bekerja di ladang tidak tahu kalau tangan kita tergores duri. Suhu dingin membuat perasaan sakit tidak terasa dan baru tahu kalau kita sudah mencuci cuci tangan.

Pekerja asal Indonesia yang datang buat pertama kali di Jepang akan mengalami cultural shock dari segi bahasa. Pengiriman tenaga Indonesia menuju Jepang memang lebih professional dan bertanggung jawab disbanding pengiriman tenaga kerja ke Timur Tengah. Sebelum keberangkatan, semua peserta dilatih untuk trampil dalam berkebun- sebagaimana mereka kelak akan diserap kedalam perusahaan perkebunan- mereka musti tahu/ trampil dalam pembibitan, menanam dan memanen. Kemudian mereka juga harus bisa menguasai bahasa Jepang dengan aktif- mereka tahu dengan huruf kanji, romanji, katagana dan hiragana.

Ternyata sampai di negara sakura, bekal bahasa Jepang yang mereka kuasai belum cukup. “Bahasa Jepang yang dipelajari di Indonesia adalah bahasa Jepang standar untuk kota Tokyo. Sementara penduduk di sana memakai bahasa Hogeng, yaitu bahasa daerahnya. Jose sendiri berdomisili di perfektur Ibaraki dan ia harus memahami bahasa Jepang versi Ibaraki Ben. Sebetulnya bahasa Jepang yang dipelajari oleh pekerja Indonesia sudah bisa dipahami oleh penduduk asli Jepang. Namun mereka meresponnya dalam bahasa daerah atau bahasa Hogeng.

Adaptasi pendatang ke Jepang selain dengan faktor cuaca dan bahasa adalah juga dengan disiplin kerja. Bagi bangsa Jepang disiplin kerja adalah nomor satu. Pekerjaan yang dilakukan buruh tidak berat, namun mereka perlu kerja cepat, karena umumnya mereka bekerja dengan menggunakan mesin. Kalau lengah sedikit maka kita tertinggal dan mesin jalan terus. Pekerjaan di Jepang memang serba pakai mesin dan pekerjaan di Indonesia dikerjakan secara manual. Bekerja dengan sesama manusia terasa santai dan bisa ngobrol sambil bekerja dan bekerja di Jepang memerlukan hasil maksimal. Semua produk desa di Jepang serba maksimal- hasil panen padi maksimal, hasil produk susu maksimal, hasil produk sayur juga maksimal. Mengapa ?, ya karena Orang Jepang bekerja lebih serius dan lebih disiplin sehingga bisa memenuhi konsumsi penduduk yang cukup padat.

Musim di Jepang ada empat macam, masing-masing berganti setiap tiga bulan . Haru atau musim semi jatuh pada bulan Maret, April dan Mei. Ini adalah iklim paling ideal dan paling bagus. Suhu terasa sejuk sama halnya dengan suhu atau cuaca di daerah pegunungan di Indonesia. Habis musim haru, datanglah musim Natsu.

Natsu atau musim panas jatuh pada bulan Juni, Juli dan Agustus. Musim panas terasa sangat panas, yang panas bukan mataharinya, tetapi cuacanya. Angin yang bertiup juga terasa panas. Boss nya pada perusahaan Jepang juga memahami, sehingga dalam musim panas istirahat siang diberi lebih lama. Namun kita pergi bekerja lebih cepat, karena selama musim panas siang hari terasa lebih panjang. Jam 4 pagi, fajar sudah menyinsing dan jam 5 pagi orang sudah bisa pergi bekerja. Dalam musim panas orang merasa malas untuk makan, namun mereka ingin minum air lebih sering.

Aki atau musim gugur jatuh pada bulan September, Oktober dan November. Setelah musim panas berlalu, tentu daun-daun pada pepohonan berubah. Cuaca dalam musim aki terasa sama dengan musim semi, dan malah sudah terasa dingin. Dalam musim gugur dedaunan pohon momi berubah menjadi warna merah, sehingga tampak ibarat bunga yang menempel pada pohon, dahan dan ranting. Banyak orang pada musim aki mengabadikan momen ini dengan kamera mereka- karena pemandangan begitu indah/ eksoktik.

Musim Fuyu atau musim dingin jatuh pada bulan Desember, Januari dan Februari. Orang mengatakan musim dingin sebagai musim salju karena dalam musim ini kadang-kadang ada salju namun kemudian mencair di tengah hari yang dingin. Dalam musim ini suhu berkisar antara -70 C sampai 70 C. Perubahan lain dalam musim ini adalah semua orang memakai pakaian berlapis, paling kurang tiga lapis- baju lengan panjang, sweater dan jaket perlengkapan kerja. Keinginan makan dalam musim dingin sangat tinggi, namun kita enggan untuk minum, kecuali minum air yang agak hangat.

Ternyata bangsa Jepang berkarakter sedikit tertutup terhadap pendatang baru, paling kurang untuk memulai pergaulan. Itu karena orang Jepang tidak begitu bergaul dan mereka tidak suka punya banyak teman. Menurut Jose bahwa paling kurang karakter begini untuk di daerah Kanto- Jepang Timur yang meliputi Tokyo, Ibaraki, Shaitima dan Fukushima. Namun kalau orang Jepang sudah akrab dengan kita maka mereka bisa akrab terus. Yang lain, bahwa kalau kita tidak menepati janji maka simpati mereka akan rusak pada kita.

Sebagian penduduk pribumi Jepang, memperoleh informasi yang terbatas dari TV. Program televisi Jepang jauh dari susana hura-hura. TV di sana tidak menayangkan iklan. Program TV mereka banyak berkisar siaran berita, film, dan humor. TV Jepang banyak memberitakan tentang prestasi dan keunggulan dari dalam negeri sendiri dan amat sedikit memberitakan tentang negara lain, sehingga mereka kurang tahu tentang negara lain. TV menayangkan hal-hal yang mereka anggap aneh, dari Indonesia misalnya, ditayangkan tentang suku Asmat, suku Mentawai, tentang orangutan, sehingga Jepang memandang Indonesia sebagai negara terbelakang.

Penduduk Jepang yang belum pernah ke luar negeri memiliki pandangan sempit tentang luar negeri dan merasa super untuk negeri sendiri. Mereka akan sering bertanya “apa kulkas ada di Indonesia, apa pesawat terbang ada di Indonesia…?” Pertanyaan demikian terasa cukup bodoh, ya itu adalah akibat efek berita TV Jepang yang kurang berimbang dan transparan. Malah berita bencana tsunami tidak begitu tercakup dalam berita untuk konsumsi bangsa mereka sendiri- mungkin tujuannya agar bangsa sendiri tidak begitu larut dalam duka lara. Namun orang Jepang yang sudah pernah pergi ke luar negeri, memiliki wawasan luas dan akan menghargai bangsa-bangsa lain.

Memang bangsa Jepang memiliki percaya diri yang lebih tinggi dan menghargai bangsa sendiri lebih tinggi. Tentang produk sendiri, bahwa produk dengan kualitas terbaik dijual untuk konsumsi bangsa sendiri dan produk nomor dua dijual untuk tujuan ekspor. Kemudian tentang cara gaya berbicara bahwa bangsa Jepang tidak berbicara keras-keras di tempat umum khawatir mengganggu orang lain. Suku bangsa asal Thailand kerap dianggap suka bicara dengan aksen yang lebih keras. Bangsa Jepang terlihat senang menggunakan body language atau gerak gerik tangan dalam berkomunikasi. Mereka berbicara dan terbiasa menggunakan kalimat-kalimat singkat dan jelas tanpa diikuti oleh tertawa sampai terbahak-bahak.

Mengapa kedisiplinan sudah menjadi budaya orang Jepang ? Salah satu penyebabnya adalah faktor musim. Dalam musim panas yang hanya berlangsung 3 bulan, orang harus disiplin bercocok tanam dalam waktu yang pendek dan berfikir bagaimana hasil bisa berlipat ganda. Terlambat saja dalam bercocok tanam akan menyebabkan gagal panen.
Unsur tanah di Jepang lebih sehat. Mereka menghindari pemakaian pupuk kimia, namun mereka memakai pupuk organik yang dikelola oleh pabrik. Mereka juga mengkonsumsi nasi dan banyak sayur. Sayur mereka dimasak tidak sampai matang, mungkin separoh matang. Orang Jepang tidak memanjakan anak, tapi mengajak mereka agar hidup mandiri. Bila memberi permen atau kue untuk anak, ya tidak langsung disuapkan ke mulut, tetapi diberikan melalui tangan mereka. Rumah kaca di Jepang sangat membantu dalam musim dingin, yaitu untuk mengatur suhu buat tanaman atau ternak.

Walau penduduk di sana kurang punya amalan agama seperti kita di Indonesia. Namun mereka lebih menghargai alam- hewan dan tanaman. Jose hampir tidak menemui orang Jepang menembak burung, membunuh serangga, melempar kucing dan anjing liar. Mereka juga mencintai lingkungan. Andai mereka menjumpai tanaman bunga liar tumbuh dekat kebun, maka bunga tersebut langsung dirawat, dibersihkan dari rerumputan.

Orang kita sebahagian suka mempertahankan karakter boros. Di tempat pesta banyak orang yang senang menyisakan makanan dan minuman walaupun terasa sangat lezat. Entah apa alasan mereka untuk berbuat demikian. Namun orang Jepang malu dikatakan sebagai orang yang boros, itu karena mereka menganut budaya suka berhemat. Hemat dalam mengkonsumsi air, listrik, makanan dan penggunaan waktu. Dalam perjalanan menggunakan transportasi umum terlihat karakter hemat waktu atau menghargai waktu. Mereka tidak suka ngobrol keras-keras, dan mereka malah lebih suka tidur atau mendengar lagu lewat walkman dan membaca komik (bagi remaja dan anak-anak). Inilah penyebab mengapa industri komik tumbuh cukup subur. Prilaku seperti ini adalah juga wujud dari menghargai waktu.

Pendidikan keluarga di Jepang berorientasi pada kemandirian dan disiplin. Walau Jepang kaya raya dan memproduksi banyak sepeda motor, namun anak-anak tidak diizinkan memakai sepeda motor sampai mereka memperoleh cukup umur untuk memperoleh SIM- surat izin mengemudi- dalam usia 17 tahun. Anak-anak Jepang tidak diantarkan ke sekolah langsung pakai kendaraan. Tapi diantar ke tempat perkumpulan anak-anak dan kemudian anak-anak berjalan menuju sekolah.

Pada umumnya orang Jepang menyukai rumah dengan lantai papan. Maka agar lantai tidak rusak oleh jejak telapak kaki, mereka selalu memakai kaus kaki. Rak sepatu ada di luar rumah. Begitu masuk rumah, sepatu dilepas dan selanjutnya memakai sandal khusus rumah, itulah mengapa kaki orang Jepang bersih-bersih. Mereka tidak menyukai banyak perabot yang serba rumit, cukup yang sederhana atau yang model minimalis saja.

Ada juga kesamaan budaya Jepang dengan kita, yaitu saling berkunjung dan juga membawa buah tangan atau oleh oleh dan saling berharap oleh-oleh. Namun Jepang termasuk bangsa yang suka menangis. Meluapkan kegembiraan juga menangis apalagi kalau merasa sedih. Kalau gagal bangsa Jepang juga menangis. Malah cukup banyak bangsa Jepang yang melakukan hara-kiri- bunuh diri- kalau merasa gagal.

Rata-rata bangsa Jepang ingin memiliki anak satu atau dua orang. Namun sekarang dalam kondisi ekonomi yang cukup sulit maka ada orang tua muda di Jepang yang takut memiliki anak. Sebab setiap anak yang lahir dikenai pajak.

Masa puberitas anak-anak/ remaja Jepang datang lebih cepat. Sebahagian remaja yang berpacaran sudah mengenal hidup bersama- samen leven. Perilaku ini tidak layak untuk kita ikuti karena tidak cocok bagi kita dan bangsa yang menganut ajaran Islam.

Banyak kenangan manis yang terasa setelah tiga tahun tinggal dan bekerja di Jepang. Jose sangat terkesan dan juga terbiasa dengan budaya positif bangsa tersebut seperti suka kerja serius, kemandirian, disiplin yang tinggi (selama di Jepang ia tidak pernah melihat sopir yang ngebut dan meniup klakson) dan juga dengan kebersihan. Berbeda dengan pekerja yang datang dari negara timur tengah yang sebagian memang terbentuk mental buruh atau mental pembantu- yang tidak tahu apa yang musti dikerjakan begitu pulang lagi ke tanah air. Maka bagi Jose yang tumbuh adalah mental suka kerja keras dan kemandirian. Kini ia tengah merintis usaha yaitu membuka ruko, usaha peternakan, perikanan dan mengolah hasil tanam dan juga berencana untuk segera berumah tangga dengan gadis pujaan hati.

Jumat, 08 April 2011

Mengapa Justin Bieber Lebih Ngetop dari Briptu Norman, Shinta dan Jojo ?

Mengapa Justin Bieber Lebih Ngetop dari Briptu Norman, Shinta dan Jojo ?
Oleh: Marjohan
Guru SMAN 3 Batusangkar
http://penulisbatusangkar.blogspot.com

Arus komunikasi dan hiburan dalam tahun 2000-an ini sudah demikian pesat. Apalagi dengan hadirnya berbagai fitur dalam jaringan internet, sehingga infrastruktur (sarana) hiburan dan komunikasi yang bersifat konvensional jadi terpinggirkan. Gedung bioskop, kantor pos, kantor telepon dan telegraf sudah kehilangan pengunjung.

Keberadaan fitur jejaring sosial pada internet seperti friendster, my space, you tube, face book, skype dan twitter telah mendorong banyak orang muda untuk betah duduk di depan layar laptop, ebook dan desktop selama berjam-jam.

Face book telah menjadi fenomena dalam masyarakat. Ia diminati oleh banyak orang muda di dunia. Seperempat penduduk Amerika Serikat atau 125 juta orang telah bergabung menjadi pengguna facebook. Sementara di Indonesia ada 25 juta orang. Apa kira-kira visi dari penemu face book ini ?

Face book mulai dikenal tahun 2004. Fitur ini ditemukan oleh Mark Zuckerberg, seorang programmer computer dan pengusaha kelahiran White Plain, New York. Ia menemukan FB dalam usia 19 tahun. Tentu saja tujuan utamanya menemukan fitur ini sebagai sarana untuk menyalurkan energy kreatifya. Ia dibantu oleh Andrew McCollum, Dustin Moskovitz dan Crist Hughes. Mereka adalah temannya sejak dari Universitas Harvard, Amerika Serikat.

Fitur Face book menjadi lebih menarik dibandingkan jejaring sosial lain. Karena dalam fitur ini para pengguna FB bisa saling berbagi cerita, berbagi foto, link, film/ clip dan juga bisa menciptakan event dan grup untuk saling berbagi simpati dan empati. Menjadi anggota FB begitu mudah. Bila seseorang sudah punya account, mungkin pada yahoo, gmail atau plasa, dan juga mempunyai pass word maka mereka sudah bisa mendaftar sebagai anggota FB. Ada yang menggunakan identitas yang asli atau identitas rekayasa.

Pernak-pernik FB yang paling berguna adalah “wall, info dan photo”. Umumnya pengguna FB paling gemar mengintip orang lain melalui ke tiga konten FB ini. Kalau merasa tertarik ya cukup klik ajakan pertemanan (add) dan konfirmasi.

Dalam dua tahun lalu, pernah ada perdebatan dalam media yang mengatakan bahwa facebook itu haram, karena ia memberikan mudharat. Akhirnya muncul pendapat pro dan kontra dan setelah itu jadi reda. Bagi penulis sendiri, FB cukup bermanfaat. Karena penulis bisa menyimpan seluruh foto-foto dan tidak perlu lagi menyimpan albun yang tebal dalam laci lemari. Penulis juga bisa bertemu dengan teman- teman lama yang sudah terpisah lebih dari 20 tahun yang lalu. Penulis juga bisa memposkan kumpulan tulisan pada note dan juga menyimpan alamat berbagai link situs berguna.
Selain Face Book, you tube, juga merupakan fitur internet yang cukup penting. Steven Shin Chen menemukan fitur ini juga dalam usia cukup muda, yaitu usia 27 tahun. Ia bekerja sama dengan Chad Hurley dan Janed Kareem dalam merampungkan fitur internet ini. You tube dirancang menjadi tube pribadi bagi pengguna fitur ini. Siapa saja bisa mengupload clip atau film dalam you tube untuk disebarkan buat masyarakat di dunia cyber.

Kalau difikir-fikir, Mark Zuckerberg, Steven Shin Chen dan penemu fitur yang lain pantas dianugerasi hadiah nobel. Karena penemuan mereka telah memberi arti khusus dalam membentuk kultur dunia- lintas bahasa, bangsa, agama dan ras manusia. Banyak manusia bisa saling berteman dan bila salah guna ya bisa saling bermusuhan.

Cukup banyak penelitian dilakukan atas keberadaan facebook. Ethan Zuckerman, peneliti dari Havard University, mengatakan bahwa FB lebih menyerupai “Bar di perkampungan”, dimana setiap orang bisa mengetahui nama dan identitas kita. Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya bahwa Face Book bisa menjadi ruang untuk bertukar berita, gossip, penemuan atau untuk menyebarkan pandangan. FB bisa menjadi sarana untuk memperluas perspektif dengan mendengarkan keluh kesah orang lain. FB bisa digunakan untuk mencari informasi secara lokal maupun global.

Sekali lagi bahwa FB bisa digunakan untuk berkomunikasi lintas negara. Onnik Krikorian, wartawan Armenia, mengatakan bahwa sebahagian orang Armenia dan Azeri bisa berteman satu sama lain meskipun kedua negara mengalami konfliks perbatasan.

Tapi tunggu dulu, bahwa FB ternyata bisa sebagai sarana untuk iseng-iseng, perpecahan dan mengibuli orang lain. FB bisa menghalangi dialog. Sekumpulan kecil anak-anak muda di Indonesia dan Malaysia senang bertengkar dan saling menghina bangsa. Memplesetkan Indonesia menjadi Indon (bangsa budak) dan Malaysia dengan plesetan Malingsia. Sungguh karakter ini tak perlu ditiru bagi yang lain.

FB juga bisa memberi efek addictive- kecanduan- pada penggunanya. Dewasa ini ratusan ribu anak sekolah, pulang sekolah digiring oleh kecanduannya menuju cafenet dan warnet (warung internet) dan mereka rela duduk berjam-jam di depannya. Cukup kontra,dengan anak sekolah zaman dulu, pulang sekolah buru-buru pulang ke rumah dan habis itu ikut membantu orang tua. Anak-anak sekarang menghabiskan waktu berjam-jam di depan facebook/ internet.

Penggunaan face book atau internet selama 10 jam perminggu bisa membuat mereka kurang bersosialisasi dengan keluarga, teman dan tetangga. Juga kecanduan internet membuat mereka menjadi cenderung tidak punya waktu untuk membaca koran, membaca kitab suci, dan membaca buku-buku berkualitas lain, sehingga mereka tidak mengenal pemikiran orang-orang hebat di dunia.
Bulan April tahun ini (2011) media massa menjadi heboh, gara-gara Shelly yang berwajah cantik menyalah gunakan facebook dan membujuk orang untuk menyerahkan handphone nya. Kemudian ada lagi, pria baik-baik, masih lajang menikah dengan Icha, sebelumnya saling berkenalan lewat face book, ternyata bernama “Rahmat Sulistiyo” dan berjenis kelamin laki-laki. Ia telah memalsukan identitasnya.

Lebih dari itu, face book telah menggoncang dunia Arab, mulai dari Tunisia, Mesir dan berurutan terus ke Yemen, Yordania danLibia. Revolusi Tunisia dikobarkan oleh ekspresi Face Book milik Mohammed Bouzizi sipedagang buah.

Mohammed Bouzizi adalah pengangguran Tunisia walaupun ia sendiri sarjana lulusan universitas. Pemerintah otoriter dan korup tidak mampu mensejahterakan rakyatnya. Banyak sarjana yang juga menganggur. Malah sebagian pemuda memutuskan menjadi pekerja di negara tetangga. Bagi Bouzizi, agar bisa hidup maka ia memutuskan untuk menjadi pedagang buah dengan gerobak, ya ibarat pedagang asongan. Namun gerobaknya dirampas oleh aparat pemereintah dengan alasan tidak memiliki izin. Tentu saja Bouzizi, sedih, depresi dan ia menulis segala kegalauan fikirannya pada face book. Karena kecewa dengan pemerintah Bouzizi membakar dirinya di depan mesjid hari jum”at dan kemarahan masyarakat merebak hingga menurunkan Presiden Zine Al-Abidin Ben Ali dari kursi kepresidennya.

Revolusi Tunisia yang terinspirasi oleh face book ini disebut dengan revolusi jasmine, atau revolusi melati. Revolusi ini juga menginspirasi rakyat Mesir untuk bergejolak hingga Presiden Otoriter dan korup, Hosni Mubarak turun dari jabatannya. Kerususan merebak ke bagian dunia arab lain, termasuk di Libia. Namun revolusi di Libia berakibat fatal yaitu perang saudara- antara pemerintah dan pemberontak. Amerika, Perancis, Itali dan Nato atas nama PBB ikut campur tangan untuk perdamaian. Namun mereka telah mencuci tangan dengan darah rakyat sipil yang jadi korban keganasan mesin perang mereka. Untuk hal ini, sungguh banyak orang kehilangan simpati terhadap arrogan barat.

Fitur you tube, ya ibarat face book, juga ibarat pisau bermata dua. Ia bisa untuk tujuan baik atau tujuan buruk. Ariel Peterpen telah dijebloskan ke dalam penjara gara-gara video mesumnya bersama Cut Tari dan Luna Maya diupload ke fitur you tube dan sontak menghebohkan orang tua di Indonesia. Namun you tube juga telah memberi berkah kepada banyak orang, seperti terhadap Justin Bieber, Bonan Paputungan, Briptu Norman, Shinta dan Jojo, dan juga terhadap seorang pemuda kocak dari Ambon yang mengupload klip lagunya dengan judul “Udin Se Dunia”. Katanya bahwa udin se dunia itu meliputi; Udin yang di kamar- Kamaruddin, Udin yang jago syaraf- Syarifuddin, Udin yang punya nazar- Nazarrudin, Udin yang kembar- Kambaruddi, dan seterusnya”.

Shinta dan Jojo juga keciprat ngetop lewat you tube dengan klipnya “keong racun”. Sekarang mereka sudah menjadi bintang iklan. Bonan terinspirasi dengan kesenjangan hukum, terkesan memanjakan/meringankan hukum penjahat besar Gayus Tambunan dengan hukuman tak berimbang. Bonan akhirnya menciptakan lagu “Andai Aku Gayus Tambunan” dan mengapload lagu pada you tube. You tube juga memberi berkah buat dia. Dan minggu ini (April 20011) Briptu Norman juga jadi fenomena clipnya lewat you tube dengan meniru lagu artis Shah Rukh Khan dari Bolyywood India. Namun mengapa Justin Bieber yang masih hijau, berusia 16 tahun bisa menjadi selebriti dunia dan mengalahkan kepopuleran Bonan Paputungan, Briptu Norman, Shinta dan Jojo.

Jawabnya adalah karena mereka cuma menyanyikan lagu popo dalam bahasa Indonesia (Briptu menyanyikan lagu India yang mungkin familiar untuk telinga orang Indonesia dank arena ia berdendang pakai seragam polisi). Namun Justin Bieber menjadi ngetop karena ia menyanyi dalam bahasa Internasional (Bahasa Inggris), lihatlah lagunya yang berjudul “Baby”. Disamping itu Justin Bieber memiliki kepintaran berganda, ia bisa berperan sebagai presenter. Justin menguasai alat musik terompet, piano, gitar dan drum. Ia mempelajarinya secara otodidak sejak usia kecil. Ia juga menciptakan lagu dan menyanyikan lagu penyanyi ngetop lainnya. Ia juga mengikuti lomba lagu, walau hanya memperoleh runner up. Justine membuat video klip dan mengupload klipnya pada you tube agar teman-temannya bisa menikmatinya.

Beruntung bahwa Scooter Braum seorang eksekutif marketing rekaman music Amerika Serikat menemui klipnya lewat you tube. Klip Justin dinilai sangat fantastic dan ia diundang ke Amerika Serikat, kemudian terjadi tekan kontrak hingga sekarang Justin kini menjadi fenomena dalam buah bibir remaja se dunia.

Nah para remaja se Indonesia yang menyukai seni. Jangan hanya main gitar setengah setengah. Anda agaknya juga bisa sukses melebihi Shinta-Jojo, Briptu Norman dan Bonan paputungan, malah bisa melebihi ngetopnya Justine Bieber. Asal anda mengembangkan kepintaran berganda- jago dengan multi talenta: bisa gitar, angklung, talempong, xaxando, saluang, suling, piano, dan belajar menciptakan lagu dalam bahasa Indonesia dan juga dalam bahasa Internasional : Bahasa Inggris, Perancis, Spanyol. Lagu anda harus ceria, energic dan menghibur. Kalau sudah punya ya uploadlah di you tube, mana tahu nasib mujur datang segera menjadi selebriti dengan instant.

Kamis, 07 April 2011

Remaja Perlu Memiliki Visi dan Misi Untuk Masa Depan

Remaja Perlu Memiliki Visi dan Misi Untuk Masa Depan
Oleh: Marjohan
Guru SMAN 3 Batusangkar
http://penulisbatusangkar.blogspot.com

Kata visi bukan merupakan kosa kata baru untuk kita dengar. Di mana-mana banyak orang menempelkan visi mereka. Pemerintahan, perusahaan sampai kepada grup-grup aktivitas sosial juga memiliki visi sendiri untuk bergerak ke depan. Sekolah tempat penulis mengabdi juga punya visi yaitu ‘menciptakan generasi cemerlang berdasarkan imtaq (iman dan taqwa) dan Iptek (Ilmu pengetahuan dan tekhnologi).

Visi adalah pandangan ke depan atau keinginan yang perlu diwujudkan di masa depan. Visi juga dapat dikatan sebagai cita-cita yang ingin dicapai. Anak sekolah yang hidup dalam beberapa tahun silam, mungkin tahun 1960-an, 1970-an dan tahun 1980-an, masih punya cita-cita. “Kalau kamu besar nanti kamu mau jadi apa ?”. “Saya mau jadi presiden, jadi guru, jadi polisi, jadi pilot, jadi tentara, jadi dokter”.

Cita-cita yang disebutkan di atas layak sebagai jawaban dari anak-anak yang belajar di taman Sekolah Dasar atau kanak-kanak. Sementara cita-cita dan jawaban remaja pada masa itu mungkin sudah punya referensi, sesuai dengan biografi yang mereka baca. “Saya ingin menjadi arsitektur, diplomat, pengacara, atau saya ingin menjadi hebat seperti Haji Agus Salim atau Presiden Sukarno”.

Waktu atau zaman pun bergulir. Banyak remaja terbawa arus mode dan gaya hidup. Sebagian mengadopsi gaya selebriti “penyanyi, pemusi, bintang iklan, bintang film/ bintang sinetron, presenter dan atlik olah raga’. Sekarang atlet sepak bola seperti Zidane, David Beckham, juga atlet ngetop di Indonesia seperti Irfan Bachdim, dan atlet blasteran lainnya telah menjadi tokoh selebriti”. Kalau ditanya pada remaja, kemungkinan jawab mereka adalah “Saya ingin jadi presenter, bintang sinetron atau ingin jadi selebriti”.

Namun remaja yang punya visi atau cita-cita seperti ini juga tidak banyak. Kecuali bagi mereka yang punya fasilitas- punya gitar, piano, biola, raket tennis atau bagi yang mampu masuk klub olah raga yang biayanya agak mahal. Yang lain cuma bengong dan gigit jari, “Kamu mau jadi apa nanti?”, jawab mereka “belum terfikir, tergantung nilai ujian akhir, tergantung passing grade pada bimbingan belajar, tergantung mama dan papa, pokoknya I don’t know !!”.

Itulah gambaran sebagian remaja di tahun 2000-an ini. Stereotype atau gambaran menurun orang kebanyakan bahwa “remaja sekarang banyak yang memiliki karakter cengeng, manja, cuek mudah stress dan serba ingin dibantu”. Gambara seperti ini mungkin dapat disangkutkan kepada remaja yang sedang study di SMA, SMK, MAN dan juga sebagian mahasiswa yang lagi studi di Perguruan Tinggi.

Coba lihat foto-foto remaja atau mahasiwa lewat facebook yang sedang studi di Perguruan Tinggi favorite atau perguruan tinggi di daerah. Yang terlihat adalah bukan suasana ilmiah/ kuliah, cuma suasana santai, ya sekedar acara makan-makan, godain pacar, atau foto jalan-jalan bareng”. Beda jauh dengan foto yang dibuat oleh tokoh hebat dari negara kita. Misalnya foto Muhammad Hatta sedang baca buku di sebuah kamar di Belanda, Buya Hamka sedang menyiapkan artikel, Haji Agus Salim sedang berdiri di atas podium.

Stereotype terhadap kebanyakan pelajar sekarang adalah bahwa mereka berpenampilan santai, banyak malas dan suka serba diatur atau serba diurus terus. Apa yang terjadi kalau stereotype ini memang terjadi. Tentu negeri ini akan penuh dengan orang-orang yang suka cuek, santai, malas, cengeng, manja, passive dan tidak mandiri. Sementara yang dibutuhkan negara adalah orang-orang yang berkarakter “endeavour”.

Endeavour berarti semangat yang selalu suka kerja keras dan suka kerja, bukan bekerja dan belajar asal asalan, tidak angin-anginan atau (maaf) tidak berkarakter hangat-hangat tai ayam. Endeavour adalah karakter oran- orang dari negara maju. Agama kita (Islam) mengajarkan - man jadda wa jadda- Siapa yang sungguh sungguh akan berhasil. Ternyata ungkapan ini telah dipungut oleh orang-orang dari negara maju.

Memang benar bahwa umumnya orang-orang dari negara maju berkarakter endeavour. Orang-orang dari negeri kita juga ada yang berkarakter endeavour- memiliki semangat hidup yang hebat, tekun dalam bekerja dan belajar serta bertanggung jawab atas diri sendiri. Orang-orang yang seperti ini tentu memiliki visi dan misi dalam hidup untuk meraih masa depan. Namun jumlah orang yang begini tidak banyak. Untuk membuat populasi remaja yang punya visi dalam hidup bias berlipat ganda, maka mereka perlu membuka diri dan harus dimotivasi dan diberi pasokan motivasi atau energy positive.

Media massa di negara kita juga cukup hebat. Isinya tidak cuma sebatas berita dan hiburan, namun juga ada yang berisi tentang motivasi untuk pembacanya, dan sayang untuk dilewatkan.

Koran nasional “Seputar Indonesia” atau Koran Sindo (Jum’at 11, Maret 2011) menulis headline tentang “14 orang WNI yang tercatat sebagai orang terkaya di dunia”. Di sini juga diungkapkan tentang 10 orang terkaya di dunia, mereka berasal dari 6 negara yaitu Meksiko, Amerika Serikat, Perancis, India, Spanyol dan Brazil.
Banyak remaja cuma tahu dengan merek mobile phone (HP= Hand Phone) seperti Nokia, Siemens, Samsung, Nexian, BB, Sony, dan lain lain. Atau mereka hanya tahu dengan penyedia jasa telekomunikasi seperti “telkomsel, indosat, esia, XL dan lain-lain. Ya mereka kemudian menjadi orang yang hanya pintar menggenggam HP dan menebar SMS yang isinya hanya sebatas ungkapan picisan (murahan) tentang cinta, cemburu, benci, sakit hati atau dendam.

Sementara itu orang terkaya di dunia ada yang bisa jutawan atau milyuner karena menekuni pekerjaan dalam bidang jasa telekomunikasi untuk melayani jutaan orang. Carlos Slim, misalnya, seorang pengusaha telekomunikasi Meksiko, ia tidak terlalu dikenal oleh public di luar Meksiko. Ia telah menguasai kerajaan telekomunikasi. Bill Gate menjadi kaya melalui Microsoft, yang membuat puluhan juta orang yang tergila-gila dengan internet.

Barangkali mimpi Carlos Slim dan Bill Gate ketika remaja berbeda dengan mimpi banyak remaja di negeri ini, yang mana sebahagian mereka mungkin bermimpi bagaimana bisa kuliah setelah lulus SMA, kemudian setelah wisuda bias kerja untuk jadi PNS, kerja BUMN atau swasta. Kalau tidak mampu ya pergi mengadu nasib pada paman atau mencari juragan di kota lain.

Pernyataan ini bukan asal tulis saja. Ini malah sebuah kenyataan bahwa banyak orang yang setelah menuntut ilmu selama 17 tahun- 6 tahun di SD, 3 tahun di SMP, 3 tahun di SMA dan 4 atau 5 tahun di Perguruan Tinggi, hanya mampu sebagai pelamar kerja jadi PNS, BUMN atau jadi TNI dan Polisi. Bila belum berhasil ya bertahan sebagai tenaga honorer.Pada hal untuk menyelesaikan kuliah sudah menghabiskan dana puluhan juta rupiah. Namun kemudian kok malah menjadi sarjana bengong saja. Dan honor yang diterima cuma beberapa perak saja, wah tidak berimbang.

Ada orang, kika tidak berhasil dalam meraih mimpi atau cita- cita, mereka segera banting stir untuk menekuni bidang lain- bidang konstruksi bangunan, transportasi, music, peternakan, industry kecil dan sebagainya. Ada yang bergelar sarjana hukum namun ternyata menjadi sukses sebagai pemilik 5 buah restoran. Ini sangat wajar dan terjadi setelah mereka memiliki pasokan motivasi dalam diri mereka. Mereka tidak berkarakter nrimo, pantang menyerah atau pasrah saja atas kesulitan hidup ini.
Ternyata bahwa 14 orang terkaya di dunia, menurut versi majalah Forbes, menjadi kaya bukan karena melalui PNS, pegawai swasta, buruh atau pegawai BUMN. Orang-orang tersebut bisa berprestasi setelah mampu melewati sejumlah kesulitan dan kegagalan hidup. Mereka ternyata memiliki visi dan misi atau cita cita untuk hidup di masa depan.

Budi Hartono dan Michael Hartono bisa melejit prestasinya melalui pabrik rokok Djarum (banyak orang tetap merokok, walau pada label rokok sudah ada peringatan bahwa rokok penyebab kanker dan impotensi). Hartanya semakin bertambah melalui kepemilikan bank swasta besar yaitu Bank BCA.

Low Tuck Kwong menjadi kaya lewat bisnis batubara. Martua sitorus juga bisa memiliki banyak uang karena memiliki bisnis sawit- menjadi produsen minyak kelapa sawit dan bisnis gula. Ketika remaja ia berbisnis udang, dari sinilah bakat bisnisnya tumbuh pesat.

Peter Sondakh bisa memiliki banyak uang setelah memiliki bisnis, salah satunya dengan kontraktor besar dalam membuat jalan layang, jalan toll dan juga bisnis perkebunan. Ada juga yang menjadi kaya karena memiliki bisnis pabrik tekstil, dan plastic, dan juga pendukung perdagangan internasional- contoh perdagangan antar Cina dan Indonesia. Ada pula yang kaya karena memiliki industry kertas.

Membaca buku “Sukarno as retold to cindy Adam” yang pernah penulis baca lebih dari 20 tahun yang silam dapat diperoleh kesimpulan mengapa visi Sukarno merjadi orang hebat dapat terwujud dan missi apa yang ia terapkan dalam hidup. Menjadi pemimpin hebat adalah sebagai visi hidupnya. Missi untuk mencapainya telah diterapkan sejak usia dini. Lihatlah karakter Sukarno yasng terkenal sebagai jagoan diantara teman-temannya. Kalau berlari pasti ia paling cepat, memanjat pohon pasti ia paling tinggi, berkelahi, ia jagonya. Kemudian saat remaja, ia tidak larut dalam masa hura-hura, namun ia mulai bergelut dengan pemikiran orang-orang hebat di dunia lewat membaca buku. Oh ternyata buku-buku banyak dalam bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Maka ia pun belajar ke dua bahasa ini sungguh-sungguh. Ia langsung menggunmakan ke dua bahasa ini dalam pergaulan. Malah agar bahasa Belandanya hebat maka ia menjalin asmara dengan noni belanda.

Agar ia terampil dalam berkomunikasi- menulis dan berpidato, maka ia selalu berlatih. Dikatakan oleh buku tersebut bahwa saat berusia muda Sukarno terbiasa berlatih berpidato di depan cermin besar dalam kamarnya. Untuk bahasa tulisan maka ia banyak mengarang atau menulis. Akhirnya Sukarno masuk ke dalam organisasi dan partai, di siyulah kehebatannya yang didukung oleh potensi diri hingga ia menjadi presiden pertama Indonesia.

Dapat disimpulkan dari tulisan sebelumnya bahwa orang-orang yang mampu menjadi milyuner dapat terwujud karena memiliki visi dan missi atau program untuk masa depan. Visi tersebut mereka wujudkan dengan langkah-langkah strategis atau yang juga disebut misi. Mereka tahu bahwa masyarakat luas memerlukan kertas untuk belajar atau untuk urusan administrasi, masyarakat luas butuh minyak kelapa sawit untuk memasak, butuh sarana telekomunikasi, dan lain lain maka mereka memproduksinya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas. Kemudian uang yang berada dalam kantong masyarakat luas mengalir ke dalam rekening mereka.

Setelah memiliki visi yang jelas maka mereka menguasai strategi. Mereka menguasai input, proses, out put dan out comenya. Para milyuner bukanlah orang pemalas dan bermental lemah. Mereka memiliki tingkat competence yang hebat- mereka jago dalam memanfaatkan waktu, mereka tahu cara berkomunikasi yang baik dan mereka tahu cara merekrut team untuk bergerak maju. Mustahil para milyuner jadi kaya kalau melalui usaha sendiri, mereka musti bergerak maju melalui team kerja yang solid atau kompak.

Remaja sekarang- pelajar dan mahasiswa, musti segera memiliki visi dan misi. Kemudian buang jauh jauh karakter manja, pasif dan serba penakut atau banyak ragu-ragu. Dari sekarang mereka harus agresif untuk maju, memiliki semangat kompetisi yang hebat. Kemudian berfikir sebagai produsen untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak secara massal. Mereka musti menguasai input, menguasai proses dan juga menguasai distribusinya.

Minggu, 03 April 2011

Tsunami Jepang- Aceh dan SDM Manusianya

Tsunami Jepang- Aceh dan SDM Manusianya

Oleh: Marjohan

Guru SMAN 3 Batusangkar

http://penulisbatusangkar.blogspot.com

Dalam kwartal pertama tahun 2011 Dunia merasa cukup tenang. Namun di bagian utara Afrika terjadi revolusi jasmine (revolusi melati) yang dipicu oleh bangkitnya emosi ketidakpuasan masyarakat Tunisia melalui jejaring internet (twitter dan facebook) untuk menggulingkan kepala negaranya. Berita yang dahsyat kemudia terjadi tanggal 11 Maret 2011, yaitu gempa dan tsunami yang melanda Prefektur Miyagi (Jepang). Gempa Jepang yang juga memicu tsunami sangat mirip dengan gempa dan tsunami yang mengoyak ujung Pulau Sumatera (Propinsi Aceh) dan beberapa daerah lain pada tanggal 26 Desember 2004. Beda peristiwa Tsunami yang terjadi di dua negara ini adalah sekitar 6 tahun, dan karakter masyarakatnya juga berbeda dalam menghadapi bencana tersebut.

Sebenarnya kata tsunami cukup baru dalam kamus bahasa Indonesia dan bagi telinga bagi masyarakat Indonesia. Sebelum gempa/tsunami melanda Aceh di akhir tahun 2004 itu, sebenarnya sudah pernah terjadi tsunami di daerah Flores. Namun tsunaminya kecil dan mungkin masyarakat meanggapnya sebagai badai atau taufan. Maka kata tsunami belum lagi popular. Begitu Tsunami pada Desember 2004 tersebut menghancurkan banyak peradaban (harta benda) dan membunuh ratusan ribu orang, maka tsunami menjadi kata yang sangat mengerikan.

Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang berarti “gelombang air) dan bangsa ini sudah biasa menghadapi gempa dan sudah tahu tentang efek tsunami itu sendiri. Gempa Aceh dan Jepang ditenggarai terjadi karena benturan antara lempeng benua dengan lempeng samudera. Subduksi ini kemudian memicu gempa di lepas pantai yang berkekuatan besar atau juga disebut dengan megathrust (Singgalang, 15 Maret 2011).

Jumlah korban tewas akibat tsunami di Jepang tidak sebanyak korban di Aceh. Korban tewas di Jepang yaitu sekitar 10 ribu jiwa, sementara korban tewas di Aceh adalah sekitar 128 ribu jiwa- hampir 13 kali lipat korban tsunami Jepang. Perbedaan jumlah korban mungkin juga berbanding dengan perbedaan kualitas SDM di dua negara ini. Dalam buku L’etat du monde (Didiot, Beatrice, 2001: 586-589: Paris: La Decouverte) terlihat bahwa bahwa ranking SDM bangsa Jepang adalah nomor 9 dari 162 negara di dunia, sementara ranking kita (Indonesia) adalah 102 di dunia. Prediksi kualitas mutu pendidikan (education Index) kita tahun 2011 juga tetap peringkat 102 di dunia (http://en.wikipedia.org/wiki/Quality-of-life). Kalau demikian SDM orang Jepang jauh lebih baik, dan kita bukan bermaksud memandang rendah bangsa sendiri, tetapi mengajak untuk melakukan refleksi atau renungan bersama.

Orang Jepang memang tahu bahwa daerahnya sering dilanda gempa, maka mereka membuat gedung yang tahan gempa dan juga membangun early warning system yang baik. Mereka juga memasang ocean bottom seismograph. Kalau 20 tahun lalu Jepang membutuhkan waktu 20 menit untuk mengeluarkan peringatan tsunami. Namun sejak tahun 2008, negeri ini hanya membutuhkan waktu 2 menit untuk mengetahui ada atau tidaknya tsunami. Sebagaimana tsunami kemarin terlihat di layar kaca bahwa helikopter mereka sudah bertebangan sebelum tsunami dan menuju sumber tsunami. Kemudian orang-orang sudah melakukan prosedur evakuasi sesaat setelah gempa dan menyalakan televisi lalu menyimak peringatan tsunami.

Kualitas manusia antar dua bangsa juga bisa terlihat melalui gempa dan tsunami. Saat gempa kuat menggoncang Jepang, lewat televisi terlihat suasana gempa dalam ruangan kantor. Para pegawai kantor tentu saja cemas dan sangat waspada dengan kondisi tersebut. Namun mereka tetap bersikap tenang. Begitu gemba dating, mereka segera mematikan komputer, atau mematikan kompor bila sedang memasak dan tidak pontang panting berlarian. Setelah semua pekerjaan ditutup maka mereka baru menghindar ke tempat yang mereka anggap aman seperti ke ruang terbuka atau menuju shelter di lantai puncak.

Susana saat musibah di negara berkembang dan termasuk Indonesia nyaris sama. Bila gempa dating atau sinyal tsunami kedengaran, mereka pasti menyampuk dengan penuh kepanikan dan histeris “Awas gempa...awas tsunami. Atau tolong..tolong !!”. Teriakan dan suara histeris ini sangat mudah saling menular. Kondisi serba panik membuat kemampuan berfikir logis jadi hilang, saat itu orang cuma berfikir untuk menghindar dan lari. Nah di sini kerap kali timbul musibah. Seorang ibu yang panik karena teriakan histeris akan membiarkan kompornya menyala di dapur dan inilah yang membuat musibah kebakaran saat gempa. Pada hal bahaya gempa tersebut ada kalanya tidak separah suasana panik yang dialami masyarakat.

Mengubah karakter “panic-minded” atau mudah panik menjadi berfikiran tenang tentu butuh waktu- perlu latihan, didikan dan juga butuh model. Anak anak dan siswa yang diasuh oleh orang tua dan guru dengan pribadi yang tenang akan menjadi generasi yang juga bisa tenang ( terbiasa mengontrol emosi). Pemuda pemudi kita akan memiliki pribadi yang tenang/ pribadi yang stabil bila mereka memperoleh model dari senior (orang yang lebih tua) dengan kepribadian yang juga stabil (tenang dan terkontrol).

Sekali lagi bahwa kita bukan bermaksud untuk memuji-muji karakter orang Jepang dan merendahkan karakter diri sendiri. Bahwa rata-rata income orang Jepang adalah 12 kali lipat dari income orang kita. Berarti mereka adalah orang kaya raya, namun ruang keluarga mereka didesain begitu sederhana. Pada banyak rumah, seperti pengakuan keponakan penulis yang masih berada di kota Uwajima, Pulau Shikoku, Jepang- bahwa ruangan keluarga orang Jepang ditata sederhana. Tidak banyak pernak pernik perabot, yang ada cuma beberapa meja rendah dengan bentangan karpet dan lemari atau rak-rak yang penuh berisi buku, bukan rak-rak untuk pajangan boneka, keramik atau pajangan kepingan VCD player.

Ini sebagai bukti bahwa ruang keluarga adalah sebagai tempat yang nyaman dan sekaligus tempat ruang baca dan belajar sejak usia kecil. Bukan ruang keluarga dengan televisi yang menyala selama 24 jam, atau ruangan keluarga yang disulap sebagai ruang teater- memutar music sampai memekakan telinga dan memutar film tanpa aturan waktu.

Tampaknya orang Jepang tidak terkesan jago dalam berpidato atau berbicara. Jarang kita mendengar orang Jepang berkelakar. Kesannya mereka cukup bersahaja, memberi hormat dengan menundukan kepala. Mungkin ini penilaian subjektif penulis saja. Gaya berkomunikasi mereka tersa datar dan tenang saja. Saat lawan berbicara menyampaikan pendapat, mereka betul-betul mendengan dengan sepenuh hati. Tidak ada kesan bedebat dan berebutan dalam ngobrol. Agaknya seperti itulah idealnya gaya berkomunikasi orang-orang dari negara yang punya SDM tinggi.

Gaya berkomunikasi atau berbahasa yang mungkin sering kita lakukan adalah gaya berbahasa yang terlalu banyak berbicara dan enggan mendengar isi fikiran orang lain. Gaya berbicara yang begini (gaya berbahasa saling berebutan) sebagai karakter dari gaya bahasa yang jauh dari kesan intelektual dan perlu ditinggalkan.

Bangsa Jepang adalah bangsa yang kaya dengan harta yang melimpah. Kekayaan dan fasilitas hidup membuat orang selalu senang dan bergembira. Ya benar bahwa selama ini bangsa Jepang adalah bangsa yang hidup bergembira namun saat bencana datang merenggut harta dan nyawa tentu terjadi perbedaan emosi mereka. Dari suasana yang sangat gembira kepada suasana yang sangat berduka hingga mereka amat bersedih dan saking sedihnya mereka susah untuk menumpahkan air mata.

Ada lagi perbedaan antara kita dan Jepang dalam menghadapi tsunami. Setiap kali bencana datang, kita jarang menyiapkan mental dan pengetahuan. Maka, sekali lagi, saat bencana tiba, kita mudah panik dan stress malah juga tidak punya kesempatan untuk melakukan evakuasi (penyelamatan diri). Hal yang kontra bahwa Jepang betul-betul menyiapkan diri. Untuk mengantisipasi tsunami mereka telah membangun pintu-pintu penghalang agar tsunami tidak gampang mencapai kawasan perumahan warga. Pintu terluar adalah green belt, kemudian sungai sejajar pantai untuk mengontrol banjir dan tsunami. Setelah itu baru ada kawasan perumahan warga.

Saat gempa melanda Aceh, Bengkulu, Jogjakarta, dan daerah Padang Pariaman, terlihat bahwa betapa mudah ambruknya gedung sekolah, perkantoran dan rumah masyarakat. Masyarakat Kabupaten Pariaman (dan juga kampung penulis) sebelumnya mengaggap daerah mereka cukup aman dari gempa, apalagi merasa cukup jauh dari Gunung Merapi, sehingga banyak rumah dibangun tanpa beton penyangga pada rusuk dan pinggang rumah. Apa yang terjadi bahwa gempa tanggal 30 September 2009 membuat ribuan rumah jadi rata dengan bumi dan mereka menjadi homeless (tuna wisma) secara massal.

Tidak demikian dengan yang di Jepang. Goncangan dan hempasan tsunami masih membuat dinding gedung dan rumah berdiri dengan gagah. Juga ada kesan bahwa infrastruktur di sana dibangun secara professional dan penuh perhitungan. Sementara infrastruktur (prasarana umum) di daerah kita dibangun secara asal-asalan- beton yang kekurangan semen, jalan dengan aspal yang tipis. Maka cukup banyak terjadi bahwa ada bangunan, jalan raya, atau bendungan sudah ambruk sebelum diresmikan.

Gempa yang melanda Aceh memang lebih dahsyat karena dampaknya juga melanda banyak negara- mulai dari Aceh, Pantai Barat Semenanjung Malaysia, Thailand, Pantai Timur India, Srilangka, bahkan sampai Pantai Timur Afrika. Tidak heran kalau simpati dunia begitu banyak. NGO (Non Government Organization), utusan pemerintah, Sukarelawan, dan wartawan ramai datang berbagi simpati dan berbagi empati. Tsunami Aceh menjadi berita besar selama berminggu-minggu pada media massa dunia.

Simpati orang juga banyak tertuju pada Jepang. Banyak orang, simpatisan dan sukarelawan bergerak untuk berbagi duka dan berniat/ berencana untuk membalut duka hati saudara kita di sana. Namun tiba-tiba ada ledakan pada pembangkit Nuklir Fukushima. Nyali orang mulai menciut, apalagi terjadi exodus meninggalkan Tokyo guna menghindaroi dampak radiasi nuklir. Sampai kini berita dari Jepang nyaris sepi- kecuali bagi mereka yang bias memahami berita dari TV NHK. Kemudian revolusi Libia makin memanas, maka juru kamera dan kuli tinta memilih kesana. Maka ramailah berita dari Libia, semua stasiun Tv meliput dan mengabarkan Libia dan berita dari Jepang kehilangan porsi.

Tsunami membuat semua bangsa bersimpati, namun musibah ledakan reactor nulklir membuat orang hanya bersimpati dari jarak jauh, malah simpati tersebut hamper hamper tidak terasa. Dari TV NHK terlihat bahwa kini orang Jepang masih berjibaku menyelamatkan lingkungan, diri, dan korban tsunami. Tragedy revolusi di Timur Tengah- Libia, Suriah, Baherain dan Yaman- membuat banyak penulis dan pembuat berita pergi kesana. Perang Libia membuat bencana Tsunami Jepang cenderung terlupakan. Memang bahwa berita sekarang bergulir dari Libia dan simpati pada Jepang janganlah dilupakan. Love for Japan.

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...