Rabu, 14 Juni 2017

Cerdas Bermental “Sopir” atau “Penumpang?



Cerdas Bermental “Sopir” atau “Penumpang?

Sebetulnya saya sudah mengetahui dan berjumpa dengan Rhenald Kasali- seorang Guru Besar dalam bidan ekonomi yang sangat peduli pada pendidikan- ketika mengikuti kegiatan seleksi guru berprestasi tingkat nasional di Jakarta tahun 2012. Saat itu kami- para peserta mendengar kuliah umum yang disampaikannya. Usai mengikuti kuliah kami memperoleh dua buku yang satu pengarangnya adalah Rhenald Kasali sendiri, dengan judul: Wirausaha Muda Mandiri, tentang kisah inspiratif anak-anak muda menemukan masa depan dari hal-hal yang diabaikan banyak orang.
Namun saya seolah-olah merasa lebih dekat dengan pemikirannya setelah membaca buku-buku karangannya, seperti: Let’s Change, Change leadership Non-Finito, Disruption, Curse Blessing, dll. Salah satu bukunya- Self Driving Menjadi Driver atau Passenger?- sangat mengagumkan dan menginspirasi saya. Saya merasa berenang-renang dalam pemikirannya. Kini saya ingin berbagi pemahaman tentang apa yang ditulisnya, khusus pada buku Self Driving Menjadi Driver atau Passenger ?
Rhenald Kasali megatakan bahwa dunia usaha menghendaki manusia-manusia yang berkarakter driver yang senang untuk berkompetensi, namun juga cekatan, gesit, berinisiatif, dan kreatif. Namun di berbagai kampus, tanpa disadari, yang terjadi justru pembentukan manusia-manusia bermental passenger. Orang-orag muda sekarang cenderung banyak yang pandai, namun outputnya adalah manusia-manusia bermental penumpang.
            Orang-orang demikian kalau belajar fokusnya adalah sekedar bisa menaklukan isi buku teks, yaitu memindahkan pengetahuan dari buku teks ke kertas ujian. Jadi pintar mereka adalah pintar kertas. Kalau mereka kuliah dan menjadi sarjana maka sarjananya sangat mungkin menjadi sarjana kertas. Sementara itu dalam praktek pendidikan, banyak anak sekolah yang terisolasi dari lingkungan yang dinamis. Mereka kurang mengenal bagaimana realita kehidupan ini terjadi. .   
            Ditambah dengan model pendidikan dasar- model pembelajaran yang konvensional- yang hanya sekedar membiasakan siswa pandai menghafal pelajaran sambil melipat tangan dan duduk manis saat belajar. Maka setelah itu terbentuklah menjadi generasi yang pasif. Dalam realita kehidupan mereka bisa kalah oleh orang-orang yang bukan bersekolah tinggi namun- eksis dalam realita hidup. Misalnya bagi orang-orang yang memilih merantau ke luar negeri menjadi buruh migran (TKI). Mereka yang yang tidak bersekolah tinggi ini dipaksa lingkungan untuk berpikir kritis menghadapi dunia baru yang sangat menuntut.
            Para buruh migran Indonesia yang bekerja di Hongkong, Taiwan, Jepang dan Korea Selatan banyak yang memilki pikiran yang lebih hebat dibanding sarjana yang dari kecil tumbuh cerdas karena serba diservis- dimudahkan jalan hidupnya. Pada akhirya mereka menjadi pemuda dan sarjana yang tumbuh menjadi orang dengan karakter penumpang, bukan bermental driver.
            Rhenald Kasali dan juga kita semua sudah lama komplain terhadap dunia pendidikan. Metode pembelajaran di sekolah-sekolah yang terlalu kognitif, dengan guru-guru yang merasa hebat kalau muridnya bisa dapat nilai rata-rata di atas 80- betapa stresnya mereka. Dan sebaliknya memandang rendah terhadap murid yang aktif, namun tidak menguasai semua subjek/ mata pelajaran. Potensi anak-anak hanya dilihat dari nilai, yang merupakan cerminan kemampuan mengopi isi buku dan catatan. Entah dimana pedagogi atau ilmu keguruan itu muncul kalau sekolah tidak mendorong munculnya/ tumbuhnya critical thingking. Mereka mengkritik lulusan yang bisa membebek (menganggur dan pasif), tetapi mereka sendiri tak berhenti menciptakan/ mendidik generasi yang bersifat bebek-bebek dogmatik.
            Sementara itu di perguruan tinggi, juga banyak akademisi yang mengukur kecerdasan mahasiswa hanya dari ujian tertulis, buku test dan kertas test. Rhenald Kasali- sebagai Profesor ekonomi- sering memergoki mahasiswa yang mendapat nilai A dalam kelas marketing (mendapat nilai A dengan sangat mudah) namun mereka memiliki pribadi yang tidak mencerminkan seorang marketing dengan nilai A. Mengapa ? Ya karena cara bicaranya yang ketus pada teman, berpakaian sembarangan, pribadi mereka membosankan temannya. Pada hal seorang marketing itu pribadinya harus menarik dan menyenangkan.
            Akhirnya orang-orang seperti itu (mahasiswa seperti itu) kelak akan kesulitan dalam mencari pekerjaan atau berwirausaha. Mereka juga akan kesulitan dalam memasarkan dirinya dan jadilah mereka sebagai mahasiswa atau sarjana yang frustasi/ depresi.
            Adalah juga fenomena bahwa sekarang banyak orang (calon mahasiswa) berebut untuk bisa kuliah di tempat- di universitas yang bergengsi dan berlabel di pulau Jawa. Ini tidak salah kalau mereka bisa berproses dengan ideal. Namun cukup banyak dari mereka yang berprinsip bahwa label-label universitas tersebut akan menjamin mereka untuk bisa memperoleh pekerjaan dengan mudah di perusahaan ternama di tanah air ini. Pendidikan yang benar adalah “jangan menjual label-label universitas. “Wah saya ini lulusan universitas X pasti perusaha besar yang hebat akan mudah menggaetku, namun jual-lah apa potensi dirimu- kelebihan unggul yang engau miliki !”.
            Sesungguhnya Allah telah memberi kita diri yang bisa kita sebut dengan kata “self- atau diri”. Self ini adalah sebagai kendaraan- maka sekarang kita bisa memilih, mau dibawa kemana self tersebut, mau menjadi penumpang (self-passenger) atau pengemudi (self-driver) nya. Sekali lagi, mau pilih yang mana, mau menjadi self passenger atau self driver ?
            Pilihan yang kita rekomendasikan adalah “jadilah manusia self driver- yaitu manusia yang bisa mengendalikan diri”. Sangat benar bahwa kita harus mampu untuk:
Drive yourself, drive your friend, drive your people, and drive your nation- gerakan dirimu, gerakan temanmu, gerakan orang lain, dan gerakan bangsamu menuju kemajuan dan bangsa yang bermartabat di dunia”.
            Namun kenyataannya adalah banyak orang dalam bangsa kita, di lingkungan kita, atau juga kita sendiri yang “bermental passenger- yaitu bermental penumpang”. Bagaimana dengan karakter seorang penumpang?
Seorang penumpang, dia boleh duduk dengan manis di belakang sopir (driver), tak mau ambil resiko, dia boleh duduk sambil ngantuk atau ngobrol. Sementara seorang driver harus duduk di depan, tidak boleh mengantuk. Dia harus bertanggung jawab atas resiko, dan dia harus tahu jalan. Dia juga perlu memikirkan keadaan lalu lintas dan harus bisa merawat kendaraan.
            Seseorang yang menjadi passenger- berkualitas pengikut dengan mental menjadi kerdil- itu karena dia terbelenggu oleh settingan otak yang kondisinya tetap (statis/ kurang bergerak). Sebaliknya seseorang yang menjadi driver- mampu mendorong- karena memiliki settingan otaknya  (mindsetnya) yang selalu tumbuh (dinamis). Mereka mengajak orang- orang lain untuk ikut berkembang dan bisa keluar dari tradisi lama menuju tanah harapan. Mereka berinisiatif memulai perubahan tanpa ada yang memerintah namun tetap bersikap rendah hati dan kaya empati.      
            Telah banyak orang yang didik begitu lama, dari bangku SD hingga menjadi sarjana. Namun setelah jadi para sarjana, mereka tidak tahu mau pergi kemana. Ya banyak orang yang berpendidikan tinggi namun belum mampu menggerakan (self-drive in) dirinya sendiri, apalagi menggerakan orang lain. Sebaliknya banyak orang yang hanya berpendidikan rendah, namun tidak mau meratapi diri mereka, malah mereka bertarung habis-habisan agar bisa mengatasi masalah hidupnya sendiri dan tidak mau menjadi beban bagi orang lain.
            Pendidikan hidup yang mereka jalani adalah melalui proses belajar, yaitu bagaimana memperbaiki cara berpikirnya dan cara menjalani hidup yang menantang. Sayangnya banyak orang yang berpendidikan tinggi, menjadi sarjana, tetapi tidak mengalami proses belajar tentang bagaimana dengan realita kehidupan ini. Mereka tahunya hanya belajar dengan cara menghafal-dan meghafal saja- sekalipun mampu menjadi juara- namun ternyata bahwa itu belum lagi menjadikan mereka sarjana yang terbiasa berpikir.
Belajar artinya adalah berpikir, ibarat seorang driver yang harus cepat mengambil keputusan di jalan raya yang padat. Ia bisa mengambil jalan-jalan yang lain yang baru sama sekali. Sedangkan menghafal dapat diibaratkan menjadi seorang penumpang yang mana dia boleh mengantuk, tertidur dan tanpa perlu mengambil resiko di jalan.
Masalah yang kini kita saksikan di panggung dunia kerja dan dunia politik, juga di dunia birokrasi dan akademik, semua tidak lepas dari pengalaman bagaimana manusia-manusia Indonesia dididik dalam keluarga pada masa kecil. Melalui tangan orangtua, bayi-bayi mungil yang tak berdaya itu diberi kehangatan, kasih sayang, kelembutan, asupan gizi, ASI dan seterusnya menjadi seorang anak.
Cukup banyak anak-anak yang dibentuk sesuai dengan keinginan orangtua, bukan berdasarkan potensi atau pemikiran anak. Sehingga dalam mengambil keputusan dan berargumen juga tidak mandiri, masih minta pertimbangan pada orangtua. Jadinya anak sering bertanya:
“Mama, ..papa..ini boleh nggak aku kerjain?, ...apa ini sudah boleh aku kerjakan?,...apa sudah waktunya atau belum aku boleh main game?,....pakaian yang aku pakai ini cocok atau tidak ??”. Demikian seterusnya hingga mereka tumbuh dewasa. Saat mereka tumbuh dan bisa berjalan, kita masih membelenggu pikiran mereka dengan hubungan batin pada pikiran kita. Saat mereka ingin ikut berkemah dengan teman-temannya, kita katakan:
“Jangan ikut berkemah nak ..nanti kau sakit”. Atau saat mereka ingin melakukan eksplorasi, travelling, kita/ orang tua juga merasa keberatan. Bahkan saat mereka memilih jodoh, orang tua juga menetapkan syarat-syarat yang ketat. Malah sudah menikah, bahkan tak sedikit orangtua yang mengatur kehidupan anak-cucunya. Tempat tinggal, karier, gaji dan sebagainya masih banyak diurus orangtua.
Rasa ketergantungan anak-anak yang besar semakin hari semakin banyak kita saksikan. Yang kita lupa bahwa anak-anak telah tumbuh menjadi manusia dewasa, yang kurang mampu berpikir secara mandiri karena kita yang melatihnya secara mereka kecil hingga dewasa. Seolah-olah kita tak rela menjadikan mereka manusia dewasa yang mampu berpikir sendiri- jadinya mereka hanya menjadi manusia yang bisa mengeluh yang selalu ingin dibimbing orangtua. Akhirnya mereka menjadi manusia passenger dalam kendaraan keluarga.
Sudah seharusnya anak-anak juga bisa dilatih untuk mandiri dan melepaskan diri dari ketergantungan. Hewan saja tidak selalu melindungi anaknya secara bulat-bulat, sesuai masanya dia melatih anaknya unduk punya keterampilan, untuk mandiri dan setelah itu anaknya terbang dan hidup mandiri. Maka anak-anak muda, para remaja, apalagi para mahasiswa jangan biarkan diri selalu terpasung oleh sesuatu yang dibawa dari masa lalu. Untuk itu lakukanlah perubahan !!!
Kita tidak bermaksud menjelekan praktek pendidikan di Indonesia. Namun hanya sekedar memberi tahu tentang kenyataanya- atau realitanya. Bahwa para pendidik dan juga para dosen merasa puas mengajarkan dengan cara memindahkan isi text book ke kepala mereka (siswa dan mahasiswa), itu namanya belum menuntut ilmu, tetapi baru sekedar memindahkan isi buku ke memory dalam kepala.
Rhenald Kasali mengatakan tentang perbedaan kontras dari eksistensi belajar di Indonesia dengan di Amerika Serikat. Bahwa anak-anak di Indonesia terlihat banyak yang ketakutan dalam megungkapkan isi pikiran dan analisisnya kendati mereka sudah dewasa. Sebaliknya di Amerika Serikat Rhenald Kasali bertemu dengan ribuan pemuda (mahasiswa) dari berbagai bangsa dan mereka berbagai cerita.
Ketika banyak anak Indonesia begitu manja hidup dari beasiswa atau tunjangan dari orangtua, Rhenald Kasali justru berjumpa dengan banyak orang muda dari berbagai negara- Tiongkok, Vietnam, Kamboja, Aljazair, Mesir, dll- yang dibiarkan orangtua untuk belajar hidup. Mereka bekerja keras untuk membayar sewa apartemen, makan sehari-hari dan membayar uang kuliah, dan mereka mendapatkan kemandirian. Ada yang menjadi petugas pembersih toilet yang kerjanya malam hari, memupuk kebun jagung, operator mesin pemotong rumput, mengantar koran, dan mencuci piring di restoran, dll.            
Para mahasiswa yang dulu hidupnya serba mudah, serba diservis hingga bisa memperoleh nilai akademik yang tinggi, namun dalam realita mereka sangat miskin dengan pengalaman hidup di dunia yang nyata. Setelah itu hidup akan terasa terbalik 180 derajad. Jadinya yang perlu kita kasihan, bahwa kita menyaksikan mereka yang dulu hidup begitu dimanjakan (akibat berada dalam comfort-zone) . Namun tak sedikit di antara mereka yang kemudian keadaanya serba terbalik. Tak sedikit di antara mereka yang kemudian kesulitan untuk berselancar dalam dinamika kehidupan yang berubah-ubah dan penuh ketidakpastian. Sementara bagi mereka yang terlatih dengan kesulitan hidup (keluar dari uncomfort-zone) mampu menjalani ketidakpastian. Oleh sebab itu biasakanlah belajar untuk keluar dari comfort zone- dari kebiasaan banyak diservis/ serba dilayani dan merengek pada orangtua melulu.
Keluar dari comfort zone- dan keluarlah dari sangkar emas. Diakui bahwa memang banyak jumlah para mahasiswa sekarang, yang mana  kalau di atas kertas cukup banyak yang telah memperoleh prestasi, namun dalam kenyataanya bahwa mereka yang hanya sebatas mampu meraih nilai atau skor akademik yang tinggi setelah itu tidak tahu mau berbuat apa untuk hidup dan apa bentuk karir mereka.
Ya generasi baru Indonesia banyak dalam bentuk generasi servis. Mereka dibesarkan dengan servis yang dibeli oleh orangtuanya yang bekerja. Yang punya uang berlebih tentu bisa menyewa asisten rumah tangga untuk membereskan tugas-tugas rumah. Semua anak-anak akan bebas dari tanggung jawab untuk ikut beres-beresin rumah. Secara langsung maka para orangtualah yang mendidik anak jauh dari tanggung jawab:
“Anak- anak tidak diajar bertanggung jawab, mengurus diri dan ikut mengerjakan pekerjaan rumah. Namun semua semua diserahkan pada pembantu/ assisten rumah tangga”.
Bagi orangtua yang lebih sejahtera ekonominya juga bisa membeli jasa baby sitter. Bahkan untuk belajar pun, mereka didampingi guru-guru les yang bisa disewa orangtua. Akibatnya anak-anak jadi kurang inisiatif.
Apa jadinya sekarang, ya telah bermunculan generasi anak mami yang lebih banyak dibentuk oleh servis yang dibeli oleh orangtua. Artinya anak-anak dibuat dengan kemampuan berpikirnya hanya sekedar bisa menghafal- hingga mereka menjadi generasi yang memiliki kesulitan berpikir dalam menghadapi tantangan-tantangan baru.
Pergi sekolah untuk apa dan kuliah buat mencari apa ? Masuk universitas pilihan susahnya setengah mati. Kalaupun diterima ternyata juga banyak yang salah kamar. Kalaupun mereka sudah masuk universitas/ atau sekolah yang bergengsi, yang dilatih hanya otaknya saja. Sementara mental dan fisiknya miskin dengan sentuhan. Seharusnya selain otak, fisik mereka juga harus dikuliahkan/ disekolahkan. Sesungguhnya sekolah dan kuliah itu sendiri bukan harus di atas bangku/ dalam kelas melulu, namun harus ada di alam semesta, bertemu debu dan lumpur, berhujan dan berpanas-panas, jatuh dan bangun.
Mengapa sudah jadi fenomena bahwa para sarjana sulit memperoleh pekerjaan? Pada mulanya banyak orang berpikiran bahwa dengan kuliah di universitas, khususnya universitas yang bergengsi dan punya label” maka setelah wisuda pekerjaan bisa datang dengan mudah, banyak perusahaan akan ngiler melihak sosok pribadinya. Ternyata itu hanya isapan jempol dan tidak terbukti.
Perusahaan/ pengusaha tidak mau mencari pegawai yang bertipe pemegang ijazah. Memang juga benar bahwa orang-orang yang berijazah dari universitas bagus- bergengsi dan berlabel unggul- menunjukan sinyal bahwa mereka adalah pekerja keras yang telah terseleksi dengan baik. Namun para pengusaha juga menyadari bahwa kegiatan di kampus-kampus baru sebatas mengisi para mahasiswa dengan ilmu pengetahuan dan teori, sedangkan untuk menghasilkan “manusia yang berpikir” dibutuhkan lebih dari sekedar teori dan ilmu pengetahuan. Yang dibutuhkan adalah seseorang dengan “total pribadi” yang sangat berkualitas. Dan itu semua bisa ditempa oleh serangkaian pengalaman- yang penuh ketabahan, kesusahan, penderitaan, kesabaran dan keberaian.
Lebih lanjut juga dikatakan oleh Rhenald Kasali bahwa Vicki Abeles mengumpamakan pendidikan di sekolah kita dengan istilah “Race To Nowhere” – yaitu perlombaan besar yang muaranya tak jadi apa-apa. Dimana banyak anak anak yang pada mulanya belajar dengan sangat serius dan bersemangat namun bertahun kemudian mereka tidak jadi apa-apa.
Fenomena memperlihtkan bahwa hidup kita sering jadi terbalik. Ada orang yang sekolahnya dilalui dengan “penuh kesungguhan”, namun hasilnya bisa jadi nothing- tak jadi apa-apa. Sedangkan orang yang sekolahnya “main-main” malah bisa menjadi pejabat, politisi terkenal, atau bahkan pengusaha besar. Mungkin orang yang terkesan bermalas-malas mereka malah memiliki mindset (pola bersipiki) sebagai seorang driver, sementara orang yang tekun memiliki mindset (pola bersipiki) sebagai seorang passenger -ya sekedar berharap jadi penumpang.
Namun kita berharap mereka yang bekerja dan belajar dengan bersungguh-sungguh agar bisa bermental driver. Untuk itu kepada mereka yang sedang belajar bersungguh-sungguh kita ajukan sejumlah indikator atau pertanyaan untuk melihat apakah kelak manjadi orang bermental driver atau passenger. Indikator atau pertanyaanya sebagai berikut:
- Coba jelaskan mengapa hidup musti berubah, dan mengapa perubahan menuntut
   manusia untuk berpikir ?
- Apakah orangtua/ lingkungan anda membelenggu perkembanganmu ?
- Apakah anda tertantang untuk mengenal linkungan baru yang lebih banyak ? Apa
   anda bertipe orang rumahan ?
- Apa anda senang diservis, generasi anak mampi atau anak yang lebih mandiri ?
- Apa anda tergila gila dengan gadget dan membuat anda sangat individualis dan
   kurang membuka diri ?
- Apa anda suka melayani, dan punya inisiatif, juga punya navigasi atau kendali diri,
  serta juga punya tanggung jawab ?
-  Ananda memiliki kemampan drive (mengendalikan)- untuk bisa mengendalikan diri,
   teman- teman, lingkungan dan kedepannya untuk mengendalikan bangsa ini ?
- Anda senang menonton orang bekerja ? Atau terpanggil untuk ikut berpartisipasi ?
- Anda mudah gelisah dengan perobahan, dengan hal-hal baru dan juga dengan
   orang baru ? Anda mampu beradaptasi dengan mudah ?
- Dalam bergaul dan berkomunikasi anda suka memonopoli, terlalu banyak
  berbicara, dan kurang bisa mendengar pendapat orang ?
- Apa anda memiliki disiplin diri yang tinggi dan manajemen waktu yang baik ?
- Apa anda punya ketertarikan atau hobby dan suka memenjaganya ?
- Anda mampu berkonsentrasi ? Juga mampu mengendalikan emosi/ amarah ?
- Anda senang beraktivitas ?
- Apa anda suka membuat-buat alasan ? Suka mnunda nunda waktu, menunda
  pekerjaan, bekerja tanpa prioritas ?
- Apa anda suka menghindari tanggungjawab, kurang berani, dan suka membuang
  waktu ?
- Apa anda bisa mengukur kemampuan diri ?
- Apa anda orangnya sangat gigih ? Sangat tekun ? Sangat Pede ? Tidak suka
  pasrah dan menyerah ?
- Apa anda orang nya sederhana ada gaya hidup yang ribet ?
Dari pertanyaan-pertanyaan di atas akan terjawan bagaimana arah pribadi mereka, dan juga arah pribadi kita. Apakah bermental penumpang atau bermental driver- pengemudi. Namun tentu saja arah pribadi yang didambakan adalah yang bermental driver.
Adapun praktek pendidikan yang cenderung mengantarkan anak didik untuk menjadi orang yang bermental penumpang harus segera diperbaiki. Yaitu metode pengajarannya harus dibongkar habis. Sekolah-sekolah yang terlalu mengedepankan hafalan harus merombak diri dengan memberikan lebih banyak ruang bagi siswa untuk berpikir mandiri. Mata pelajaran sains seperti biologi, kimia, fisika harus diubah menjadi mata pelajaran lab yang lebih fun. Dimana anak didik dibuat belajar seperti seorang saintis yang berpikir, dan bukan menghafal.
Karena pengalaman di lapangan pendidikan sering ditemukan anak-anak yang pintar di sekolah, namun belum tentu pintar di masyarakat. Dan kegagalan terbesar justru terjadi pada anak-anak yang dibesarkan dalam persekolahan yang siswanya cenderung suka menghafal.
Memorizing is not good thingking dan menghafal bukanlah cara berpikir yang baik”.  
Maka anak-anak dan juga kita perlu latihan berpikir. Mata pelajaran yang terlalu bersifat menghafal perlu kita renungkan kembali bagaimana model PBM yang bisa membuat siswa aktif dan kreatif. Guru-guru juga harus dilatih ulang. Sebab mereka sendiri sebelumnya telah dibentuk oleh sistem pendidikan menghafal yang sangat merisaukan. Jadinya guru dan para siswa harus berubah dari kebiasaan menghafal menjadi berpikir- thingking oriented.
Karena dengan kemampuan berpikir yang baik akan bisa menghasilkan karya-karya yang besar. Jadi pendidikan perlu disepurnakan, diperbaiki, termasuk cara berpikir guru dan orangtuanya. Dengan demikian kita semua tumbuh dan berkembang menjadi pribadi driver- yang mampu menggerakan dan mengendalikan diri dan memajukan bangsa ini. Ya untuk menjadi nation driver.

Pengalaman Yang Bervariasi (Soft-Skill) Memudahkan Masa Depan



Pengalaman Yang Bervariasi (Soft-Skill) Memudahkan Masa Depan

            Buat apa orang harus bersekolah dari kecil hingga dewasa dan selamanya? Pada umumnya masyarakat telah tahu bahwa sekolah berguna untuk mengubah nasib. Masyarakat  di lapisan yakin bahwa sekolah untuk menjadi cerdas, bisa jadi pegawai atau bekerja di perusahaan sehingga mudah mendapatkan duit.. Jadinya mereka semua memotivasi anak-anak untuk bersekolah. Belajar dengan sungguh- sungguh dalam menuntut lmu, agar kelak mereka bisa memperoleh pekerjaan dengan mudah. Apalagi bila bekerja di tempat yang basah maka hidup akan berubah- menjadi sejahtera. Sebagai konsekuensi maka sekolah yang berkualitas telah diserbu dan diidolakan, karena diyakini akan mampu mengubah nasib para siswa. Dan mereka yang sedang menuntut ilmu di sekolah- di bangku SMA- sangat yakin bahwa sekolah bermutu akan membantu untuk bisa jebol ke perguruan tinggi yang favorit:
  “Kuliah di jurusan favorit dan perguruan tinggi favorit akan bisa membuat kita menjadi orang yang hebat. Lulusan dari perguruan tinggi favorit akan gampang untuk mendapatkan pekerjaan, punya kedudukan dan punya uang yang banyak”. Itulah mimpi-mimpi positif yang memotivasi mereka buat belajar serius. Mimpi ini dipegang teguh oleh  banyak siswa dan juga oleh orangtua mereka.
            Untuk merespon mimpi-mimpi positif tersebut, sejak tahap awal pendidikan, banyak orangtua telah merancang konsep-konsep buat menyukseskan pendidikan anak-anak mereka. Kebijakan orangtua yang begini tidak salah karena mereka bisa dikategorikan sebagai orangtua yang punya tanggungjawab terhadap pendidikan anak. Dengan demikian mereka telah punya visi dan misi buat masa depan anak-anak mereka.    Jadinya sejak anak-anak kecil orangtua telah rajin merangsang kognitif anak.
Mereka mengantarkan anak ke pendidikan pra-sekolah. Selama belajar di PAUD dan TK, mereka memberi pujian- tepuk tangan- bila anak- anak mereka bisa mengucapkan doa-doa, mengucapkan angka satu hingga sepuluh, dan melafalkan beberapa patah kata dalam bahasa Inggris. Dan pujian juga akan ditumpahkan bila anak-anak mereka bisa menyanyikan lagu-lagu berbahasa Inggris.
Ketika memasuki pendidikan SD, maka orangtua juga akan mensetting waktu buat anak-anak agar mereka bisa mengikuti serangkaian kursus, seperti “caslistung (membaca-menulis dan berhitung), kursus bahasa Inggris, hingga kursus sukses UN (ujian nasional).  Pokoknya sejak kelas 1 hingga kelas 6, waktu anak juga habis di ruangan les privat.
Terus begitu anak-anak masuk ke pendidikan di tingkat SMP dan SMA, maka terasa beban materi pelajaran lebih berat, lebih sulit bagi anak. Orangtua yang lebih mengerti tentang penjurusan mencaritahu tentang penjurusan, misal bagaimana penjurusan di tingkat SMA. Kenyataanya orangtua akan berpendapat bahwa jurusan sains lebih favorite karena akan memberi peluang yang luas bagi anak-anak bila kuliah kelak. Maka lagi-lagi para orangtua akan menggiring anak-anak mereka untuk bisa belajar tambahan. Mengiri anak ke rumah guru, mendatangkan guru-guru privat atau mendaftarkan anak mereka pada lembaga bimbel (bimbingan belajar).
            Begitulah anak-anak sekarang dibisikan dan dimotivasi buat persiapan ke masa depan mereka. Kadangkala didesak buat belajar tambahan bukan berdasarkan bakat dan potensi, namun karena memperturutkan ambisi orangtua. Dalam sebuah artikel  pendidikan saya pernah membaca bahwa banyak anak-anak sekarang yang disetting menjadi manusia karbitan, yaitu menjadi pintar yang dipaksakan. Anak yang cerdasnya karbitan akan memiliki karakter yang “instant”, maksudnya karakter yang ingin serba cepat sukses.
Adalah fenomena sosial, bahwa dewasa ini juga banyak tawaran belajar  dengan paket program instant- “cepat pintar”. Paket ini dirancang oleh pebisnis pendidikan. Membaca tawaran ini membuat banyak orangtua yang tergiur. Mereka menyerbu tawaran tersebut. Mereka mungkin memilih paket cepat pintar berbahasa Inggris buat anak, agar anak bisa “cas-cis-cus” segera. Pada hal menurut paedagogi bahwa semua pelajaran butuh waktu agar terjadi proses pembelajaran yang lebih benar. Kualitas-kualitas berlabel instant, hanya akan memberikan hasil yang abal-abal.
Lain generasi dulu dan lain pula generasi sekarang. Generasi dulu lebih terkenal dengan kemandiriannya. Mereka cari keterampilan sendiri, cari ilmu sendiri, dan juga mencari pekerjaan sendiri. Mereka menjadi smart karena usaha sendiri- usaha secara mandiri. Kontra dengan generasi sekarang, yang banyak menjadi “generasi anak mami”. Mereka dibanjiri dengan berbagai pelayanan atau servis, hingga mereka juga dijuluki sebagai “generasi servis”.
Generasi servis maksudnya bahwa mereka bisa menjadi cerdas dengan prestasi akademik yang tinggi bukan semata-mata murni oleh kemandiriannya. Kehidupan mereka banyak diprogram dan banyak diberi servis sejak usia dini.
Saat masih berusia balita orangtua mereka mendatangkan babby-sitter buat mengurus kebutuhan mereka. Kemudian saat sudah lebih besar- bersekolah di SD, dan agar tidak bermasalah dengan mata pelajaran maka orang tua menyewa (membayar) guru privat untuk datang ke rumah guna bisa menemani mereka dalam mengerjakan PR, serta menghadapi ujian-uijian lainnya di sekolah. Itu semua bertujuan agar mereka bisa menjadi bintang pelajar di sekolah.
            Generasi sekarang banyak yang telah menjadi “generasi anak mami”. Generasi yang begini maksudnya bahwa “mami atau ibu mereka”, atas nama kasih sayang dan demi keberhasilan sekolah mereka, maka para mami membebaskan mereka dari tuntutan ikut membantu tugas-tugas di rumah. Mereka tidak boleh ikut merapikan dan mengurus rumah- tidak boleh menyapu, cuci piring, mensetrika, memasak nasi. Itu semua biar mami yang mengerjakan, dan kalau mami punya uang lebih maka mami akan menyewa asisten rumah tangga untuk membereskan semua pekerjaan tersebut.
            Pergilah ke rumah-rumah para siswa yang orangtua mereka sangat ambisius agar anak-anak bisa menjadi hebat di sekolah. Disana anak-anak dipaksa dan dikondisikan buat belajar dan belajar sepanjang waktu. Selama berjam-jam anak-anak terbelenggu- duduk mengerjakan setumpuk PR dari sekolah dan juga PR dari guru bimbel. Terlihat bahwa mereka hanya terbelenggu oleh urusan akademik semata. Untuk memenuhi kebutuhan sendiri- seperti makan, pakaian dan pernak pernik kecil lainnya, mereka juga serba dilayani. Kerja mereka hanya bagaimana bisa mencapai target jadi orang pinter. Jadinya kegiatan mereka hanya belajar dan belajar, makan, nonton, dan kemudian kalau sudah bosan baru main game- online.
Akibatnya anak-anak sekarang jadi tidak punya soft-skill atau kecakapan hidup. Mereka hanya jadi manusia yang suka bergantung pada orangtua, kurang mandiri, kurang terbiasa mengurus diri dengan benar. Maka jadilah mereka sebagai anak-anak yang miskin dengan soft skill- miskin dengan pengalaman. Tidak mampu buat mencuci motor, membersihkan sepatu, menyapu lantai rumah, menstrika pakaian, hingga mengurus hal-hal kecil lainnya, karena semua pekerjaan sudah diambil alih oleh mami atau asisten rumah tangga.
            Kalau demikian maka anak-anak sekarang tidak obahnya ibarat “seorang raja kecil di rumah” karena semua kebutuhannya harus dilayani. Mereka juga menjadi manusia instant dan manusia robot, karena telah diprogram agar bisa pintar- ya...pintar yang tidak bisa memberi kebaikannya yang banyak. Al-hasil memang mereka mampu meraih peringkat akademik yang baik- peringkat 1, 2 dan 3 atau termasuk peringkat 5 besar di kelas, namun prestasi akademik tersebut bersifat fatamorgana- hanya sebatas cerdas di atas kertas. Bisa dilihat namun tidak terpakai. Atau lagi-lagi nilai rapornya jadi bagus karena maminya rajin memberi guru cendera mata, hingga sang guru jadi merasa berutang budi atas kebaikan hati mami dan memberikan nilai servis buat anaknya.
            Memang ada para orangtua (ayah dan ibu) yang sukses dalam memprogram pendidikan sang anak untuk mejadi bintang pelajar di sekolah. Hingga nilainya begitu cemerlang dalam rapor dan dalam ijazah. Namun sayangnya banyak orangtua yang belum memahami konsep parenting yang benar. Para orangtua telah mengambil alih “peran guru dari sekolah” untuk urusan pengajaran atau teaching. Peran orangtua sebetulnya lebih fokus untuk urusan educating (seperti soft skill atau pengalaman sosial) dan peran guru fokus buat urusan teaching (kemampuan akademik).
Banyak orangtua yang terlalu mendewa-dewakan kecerdasan otak anak, sayangnya mereka kurang memahami bagaimana seharusnya menumbuhkan anak dengan agar bisa memiliki karakter-karakter positif (dan juga pengalaman sosial/ soft skill), yaitu seperti bagaimana anak-anak bisa “peduli dengan tetangga, bisa beramah tamah, bisa berbagi dengan sesama, bisa bekerja sama dengan orang lain, terampil dalam membantu diri sendiri, tidak berkarakter individu, dll”.
            Walau pada akhirnya putra-putri mereka mampu memasuki perguruan tinggi favorit, karena perguruan tinggi juga lebih banyak merekrut calon mahasiswa berdasar skor  akademik itu sendiri, dan menyingkirkan karakter-karakter positif yang menunjang kehidupan. Proses perkuliahan mahasiswa masa kini juga sangat besar fokusnya untuk mencapai target agademik. Walau banyak mereka yang bisa menjadi cerdas dalam ranah akademik, itu hanya sekedar cerdas dengan kertas. Namun begitu diwisuda dan menjadi seorang sarjana baru, mereka seolah-olah terbangun dari mimpi panjangnya. Sebagian merasakan bahwa pengalaman akademik saja dari kampus belum mencukupi. Jdinya mereka  melangkah menatap kehidupan yang nyata penuh dengan rasa gamang.
            Sebagaimana yang ditulis oleh Ruth Callaghan, dia mengatakan bahwa: “Employers want graduates with more than just good marks, while good grades may be the only goal for many students. Employers are looking for much more from graduates”.
            Sangat benar, bahwa umumnya mahasiswa berlomba buat mencari nilai akademik setinggi mungkin dan berharap bisa memperoleh nilai cumlaude untuk membuat orangtua mereka bisa jadi bangga. Kebiasaan ini tidak salah dan sudah menjadi fenomena di dunia pendidikan. Namun dunia kerja (perusahaan) lebih mencari orang-orang yang tidak sekedar hanya bagus nilai akademiknya, namun juga harus memiliki soft-skill, keterampil dan pengalaman hidup, yang bervariasi.
            Ruth Callaghan  lebih lanjut mengatakan bahwa banyak pimpinan perusahan yang ngetop di Australia telah berbicara dengan banyak mahasiswa di universitas-universitas Australia. Mereka menemukan bahwa banyak mahasiswa yang yakin prestasi akademik sebagai indikator utama yang dicari oleh dunia kerja- atau perusahaan. Ternyata keyakinan ini salah. Memang untuk masuk universitas yang dicari oleh para mahasiswa adalah bagaimana bisa memperoleh peringkat nilai akademik yang tinggi. Untuk masuk ke dalam dunia kerja, setelah mereka diwisuda, yang dibutuhkan dunia kerja (oleh perusahaan) bukan semata-mata terbatas pada nilai akademik yang tinggi, namun bagaimana mahasiswa juga memiliki kemampuan dibalik nilai akademik tersebut, yaitu seperti:
            Leadership, communication skill, problem solving and customer service- keterampilan dalam bidang kepemimpinan, kecakapan berkomunikasi, kemampuan dalam mengatasi masalah dan kemampuan melayani pelanggan”. Ini semuanya merupakan kriteria yang direkomendasi agar bisa dimiliki oleh mahasiswa- sebagai calon pelamar kerja- saat mereka ikut dalam proses rekruitmen di berbagai perusahaan.     
            Jadi kriteria-kriteria tersebut tidak banyak berhubungan dengan bagaimana tingginya nilai akademik seseorang yang dia peroleh dari perguruan tinggi. Kalau sebelumnya banyak pencari kerja yang meyakini bahwa perusahaan akan mencari orang yang cerdas otaknya dalam belajar, mampu bekerja dan nilai akademis bagus. Ternyata ini merupakan indikator yang sudah ketinggalan zaman. Karena sekarang banyak perusahaan yang punya kriteria tersendiri dalam melakukan rekruitmen. Rekruitmen yang dilakukan bukan rekruitmen tunggal, namun rekruitmen  yang bertahap, gunanya untuk mendapatkan personalia yang sangat cocok bagi atmosfir perusahaan.
Bagaimana dengan faktor-faktor kemampan non-akademik, apakah sangat berpengaruh atas kesuksesan seseorang ?. Jawaban ini dapat kita temui dengan membaca profil orang-orang sukses, salah satunya profil singkat Irwan Prayitno, Gubernur Sumatera Barat, yang mana skor IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) saat wisuda dari jururan psikologi di Universitas Indonesia tidak begitu menggembirakan. Namun  belakangan dia bisa merajut kesuksesan, hingga menjadi anggota Parlemen RI dan juga terpilih dua kali sebagai Gubernur Sumatera Barat.
Irwan Prayitno, nama lengkapnya yaitu Prof. Dr.H. Irwan Prayitno, SPsi, MSc. Ia datang dari keluarga Minangkabau. Irwan menjalani pendidikan menengah di Padang. Irwan Prayitno adalah anak pertama, memiliki tiga adik, dari orang tua yang sama-sama dosen. Jadi orang tua yang berpendidikan tinggi biasanya mampu mendidik anak yang juga cerdas dan berkualitas.
Masa kecilnya yang sering pindah-pindah telah membuat pengalaman geografi dan pengalaman adaptasi sosialnya semakin kaya. Irwan menjalani pendidikan menengah di Padang dan mulai berkecimpung di organisasi sejak SMA, menjalani dua kali kepengurusan OSIS pada tahun kedua dan ketiga di SMAN 3 Padang. Selama di SMA, ia meraih juara pertama di kelasnya dan selalu dipercayakan sebagai ketua kelas. Jadinya Irwan tidak sekedar jago akademik, namun ia juga punya soft-skill yang lain , yaitu peduli pada berorganisasi dan tentunya juga cakap dalam berkomunikasi.
Ternyata anak-anak yang sempat menjadi ketua Osis saat di SMA memiliki kemampuan leadership yang bagus dan pada umumnya sukses setelah dewasa. Ini dibuktikan pada beberapa teman. Salah seorang teman saya saat di SMA, namanya Hidayat Rusdi, pernah menjadi ketua Osis di SMA Negeri 1 Payakumbuh dan setelah dewasa ia sukses berkarir di Perusahaan Perminyakan- Pertamina. Teman saya  yang lain, juga bernama Rusdi, tetapi Rusdi Thaib. Saat di SMA ia juga pernah menjadi Ketua Osis (di salah satu SMA di kota Solok), dan setelah dewasa ia berkarir sebagai Dosen Pasca Sarjana Universitas Negeri Padang dan kemudian menjadi Atase Budaya di Kantor Kedutaan Besar RI- Kuala Lumpur. Jadi betapa pentingnya para siswa harus memiliki keterampilan leadership saat masih kecil atau remaja, dengan harapan setelah dewasa akan lebih mudah meraih sukses dalam kehidupan mereka.
Selanjutnya tentang Irwan Prayitno, bahwa ia sempat berkeinginan melanjutkan kuliah ke ITB bersama dengan teman-temannya. Namun, karena mempunyai masalah dengan mata, ia mengalihkan pilihan ke Universitas Indonesia. Setelah tamat SMA pada 1982, ia mendaftar ke Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Selama kuliah, selain menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan kemahasiswaan, ia banyak menghabiskan waktu di luar kampus untuk berdakwah, mengajar di beberapa SMA swasta, dan menjadi konselor di bimbingan belajar- untuk mendapatkan tambahan uang jajan. Ini mengakibatkan kuliahnya tidak lancar. Namun, menurutnya yang ia cari dalam pendidikan bukanlah nilai semata, tetapi pengembangan diri.
Saat mulai masuk perguruan tinggi, ia aktif dalam diskusi-diskusi dakwah dan perhimpunan mahasiswa. Ia pernah bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jakarta. Akhirnya Irwan mampu menyelesaikan kuliahnya pada jurusan psikologi UI, sayangnya IPK (Indeks Prestasi Kumulatifnya) cukup rendah. Karena IPK rendah, Irwan memilih tidak melamar pekerjaan di Jakarta. Ia memutuskan pulang ke Padang untuk berdakwah dan melanjutkan mengajar kursus. Sebelum mengakhiri kuliahnya, ia telah berpikir bagaimana merintis yayasan yang bergerak di bidang pendidikan.
Saat itu saya kuliah di jurusan Bahasa Inggris-IKIP Padang (sekarang menjadi UNP) dan saya  juga menyibukan diri sebagai pustakawan sukarela pada Perpustakaan Masjid Al-azhar di Komplek Pendidikan IKIP dan UNAND. Di sana saya berkenalan dengan Irwan Prayitno yang sering membawa anak sulungnya. Dan saya mengira itu adalah adiknya, ternyata adalah anaknya.
Saya masih ingat bahwa pada awal karirnya, ia sempat memberi bimbingan konsultasi gratisan bagi mahasiswa yang mau kuliah melalui kegiatan amal yang diselenggarakan oleh Yayasan Amal Shaleh di Air Tawar- Padang. Yayasan ini dibimbing oleh Dr Muchtar Naim, seorang sosiolog dari Unand. Akhirnya Irwan mendirikan kegiatan bimbingan belajar dan juga menjadi aktivitas sosial yang lebih professional. Ia dan teman- teman membuat kelas-kelas kursus.
Pada 1988, kelas kursus berpindah ke Komplek PGAI, Jati. Bermula dari kursus bimbingan belajar, Irwan membentuk Yayasan Pendidikan Adzkia yang secara bertahap mewadahi taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Secara bertahap sejak 1994, Adzkia membuka jenjang perguruan tinggi, selain taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah, dan sekolah kejuruan. Dalam pembinaan anak didik, ia mencurahkan ilmu psikologi yang ditimbanya di bangku kuliah.
Perkembangan Yayasan Pendidikan Adzkia berpengaruh pada kemapanan hidupnya, mendorongnya untuk melanjutkan pendidikan. Pada tahun 1995, Irwan mengambil kuliah di Selangor, Malaysia sambil membawa serta istri dan anaknya. Namun, karena IPK rendah, lamarannya sempat beberapa kali ditolak. Teman sesama aktivis dakwah di Selangor mempertemukannya dengan Pembantu Rektor UPM (Iniversity Putra Malaysia). Kepada Prof. Hasyim Hamzah, Irwan menyatakan kesanggupan untuk menyelesaikan studi dalam tiga semester. Ia mengambil kuliah S-2 bidang pengembangan SDM (Human Resource Development) di UPM- Selangor. Tamat satu setengah tahun lebih awal dari waktu normal tiga tahun pada 1996, ia melanjutkan kuliah S-3 di kampus yang sama.
Sehari-hari di Selangor, ia harus bekerja keras mengurus keluarga. Saat itu, ia telah memiliki lima anak. Dengan istri, ia berbagi tugas karena tak ada pembantu. Irwan mengaku, di antara kegiatannya, dirinya hanya mengalokasikan sekitar 10 sampal 20 persen untuk kuliah. Kegiatan dakwahnya tetap berlanjut. Bahkan, ia menunaikan dakwah sampai ke  London, Inggris dan harus mengerjakan tugas-tugas perkuliahan dalam perjalanan di dalam mobil, pesawat, atau kereta api.
Move on yang dilakukan oleh Irwan Prayitno sangat pesat. Hidupnya mengalir, ia selalu melakukan proses hingga ia bisa menjadi Ketua Partai Keadilan propinsi Sumatra Barat, menjadi anggota DPR RI, dan terus menjadi Gubernur Sumatra Barat. Namun beberapa catatan awal hanya bertujuan bahwa Irwan Prayitno kuliah ke Universitas Indonesia bukan untuk mencari pekerjaan, namun untuk mematangkan pribadi, mengembangkan pemikiran, intelektual, mematangkan kemampuan leadership, juga kemampuan komunikasinya serta keberanian enterpreurship-nya. 
Jadi para pemuda- siswa dan mahasiswa- di zaman sekarang perlu tahu bahwa betapa pentingnya memiliki soft skill atau keterampilan-keterampilan yang bervariasi. Selain memiliki kemampuan akademik juga perlu memiliki soft-skill seperti “kerjasama, ketabahan, ketangguhan, kepemimpinan/ leadership, keampuan berkomunikasi, kemampuan memecahkan masalah dan pelayanan pada pelanggan”. Inilah yang dibutuhkan oleh perusahaan (dunia kerja). Juga mereka perlu tahu bahwa setiap perusahaan memiliki iklimnya  sendiri-sendiri. Ada perusahaan yang bersifat sangat formal dan menerapkan konsep hirarki, dan juga ada perusahaan yang suasananya lebih rileks dan informal.
Dunia kerja tetap selalu mencari/ membutuhkan orang yang berpribadi attraktif dan punya soft skill- keterampilan serta pengalaman yang spesifik. Untuk mengetahui ini dunia kerja akan memberikan penilaian melalui: “action oriented, willing to speak up, willing to brainstorming, and willing to have the opinion”.
Jadi dari paparan di atas dapat disimpulan, sekali lagi, bahwa soft skill -kemampuan dan pengalaman yang bervariasi akan memudahkan jalan bagi kita dalam mendapatkan karir di masa depan.  

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...