Ratusan Ribu Siswa SD, SMP dan SLTA di Indonesia Mungkin Alergi Melihat Buku (?)
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
Hidup bahagia dan sejahtera adalah cita-cita semua manusia di dunia. Adaikata bahagia dan sejahtera ada di balik samudera kehidupan dan memerlukan kualitas SDM yang tinggi untuk mencapainya. Maka kapal dengan merek Indonesia, menurut laporan Bank Dunia tahun 1999, menempati peringkat SDM yang ke 102 dari semua Negara anggota PBB. Itu berarti kapal Indonesia membawa penumpang yang jumlahnya lebih dari 200 juta jiwa namun kualitas SDM bangsa nya baru sekedar bisa membaca, menulis dan berhitung. Setelah sekedar “bisa” untuk ke tiga skill ini mereka berhenti dalam mengembangkan ilmu. Maka dapat diartikan bahwa kualitas rata-rata SDM bangsa kita mungkin sama dengan kualitas seorang bocah di negara maju yang telah terbiasa dengan pola hidup “long life education”- pendidikan seumur hidup. Sementara itu kita sendiri terbiasa menjadi malas membaca, malas menulis dan malas berhitung, itu gara-gara kita menerapkan pola hidup “long life watching- menonton seumur hidup atau long life day dreaming- mimpi sepanjang kehidupan. Kalau demikian maka apakah kita mampu mencapai tujuan hidup yang bahagia dan sejahtera ?
Uraian di atas menunjukan bahwa kualitas pendidikan kita masih belum bagus. Andai ada suatu sekolah yang melaporkan bahwa di sana terjadi peningkatan angka-angka kesuksesan belajar menjadi 100 persen. Maka jangan buru-buru percaya, sebab kita khawatir kalau proses memperoleh angka itu penuh dengan rekayasa atau cara-cara yang tidak valid. Buktikan saja ke lapangan, bagaimana sorotan mata, prilaku murid dan gaya berjalan nya, apakah smart atau pada bengong (?). Anak-anak yang berada di lingkngan yang berbudaya belajar tinggi, cara berjalannya cepat/ tangkas , bicaranya mantap, percaya diri tinggi dan daya tahan belajar hebat serta bacaan serta teknologi tinggi menjadi kebutuhan mereka. Kalau ciri-ciri ini tidak dijumpai maka itulah dia angka-angka rekayasa untuk mendustai publik.
Masalah peningkatan SDM adalah juga tanggung jawab dunia pendidikan. Yaitu mulai dari tingkat SD, kalau perlu sejak tingkat PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) dan TK, terus SMP, SLTA, dan Perguruan Tinggi. Pemerintah dan education stake holder telah melihat indikasi ini dan menyediakan alokasi dana untk meningkatkannya. Namun kadang-kadang kegiatan peningkatan mutu pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kurang tepat sasaran. Saat kualitas pendidikan siswa anjlok maka guru-guru ditatar dan dilatih. Namun sebagian guru kurang bersemangat dalam mengikuti pelatihan, mereka tampak malas. Mereka ikut hanya sekedar memenuhi kuota saja atau untuk mengharapkan selembar sertifikat untuk bahan naik pangkat dan sertifikasi guru. Di saat siswa disuruh bergiat dan diberi program akselerasi, sementara sebagian guru mengalami deteriorasi- pemunduran atau stagnasi (jalan di tempat). Maka Nonsense bagi guru yang tidak peduli dengan kualitas diri akan mampu untuk meningkatkan kualitas SDM anak didik mereka. Namun kita salut dan berterima kasih pada bapak dan ibuk guru yang selalu membudayakan belajar dalam kehidupan.
Tanggung jawab meningkatkan kualitas SDM generasi kita yang dilakukan sejak dari bangku SD sampai ke bangku SLTA (SMA, SMK DAN Madarasah) dan sebenarnya tidak hanya bergantung pada guru, tapi juga pada peran orang tua (ayah dan ibu) di rumah. Karena anak-anak berada di rumah lebih lama dibanding berada di sekolah. Selama ini ada anggapan tersirat bahwa guru merupakan perpanjangan tangan orang tua dalam mendidik anak. Anggapan ini tidak salah, namun cenderung agak melepaskan tanggung jawab dan sayangnya bahwa mayoritas orang tua belum memberikan peran mendidikan mereka secara optimal. Bentuk peran mendidik mereka sangat dangkal hanya sekedar menyuruh dan melarang saja, “Belajar lah nak…, belajar lah nak…!”.
Sementara itu sebahagian kaum bapak-bapak ada yang bersikap apatis, tidak mau tahu dalam hal mendidik anak dan menyerahkan urusan mendidik sepenuhnya pada ibu. “Tugas ayah kan mencari nafkah dan tugas ibulah mendidik itu”. Demikian kira-kira pembelaan sebahagian kaum laki-laki. Namun bagaimana kalau sang ibu juga ikut berkarir di luar rumah, mungkin sebagai PNS, pegawai swasta, BUMN, dan lain-lain. Maka kalau ditanya pada kaum bapak-bapak mengapa tidak ikut mendidik anak. “Oh itu tidak sesuai dengan kodrat kami kaum pria, …atau aku tidak berbakat mendididik, ….saya tidak sabaran menghadapi anak-anak, ….saya tidak punya waktu dalam mendidik anak”.
Begitulah, cukup banyak pria yang malas terjun langsung dalam mendidik atau bermain dengan anak. Sebahagian mereka menekuni hobi, melowongkan waktu untuk anjing pemburu, mengurus ayam jago atau burung. Yang lain mengaku tidak punya waktu , namun waktunya berlimpah untuk main domino atau menguruh motor second yang baru dibeli. Ada pula kaum pria yang merasa kehilangan sifat maskulin bila terlibat mengendong anaknya, pada hal Allah Swt, dalam Alqur’an, sangat memuji karakter Luqman (Surat Luqman, 16-19) yang mengasuh dan mendidikan anak-anak nya untuk bertauhid dan bersosial. Maka dari mana asal mulanya kok sebahagian kaum lelaki dari bangsa kita beranggapan bahwa mendidik kurang layak bagi lelaki ?
Kini banyak orang tua yang punya kelebihan financial peduli untuk meningkatkan kualitas SDM anak-anak mereka. Mereka mndatangkat guru privat atau mengirim anak ketempat les, mungkin mengambil les fisika, les matematika, kimia, atau les bahasa Inggris. Ada anak yang telah mengikuti les Bahasa Inggris selama bertahun-tahun tapi hasilnya tetap nol, karena dia hanya sekedar ikut-ikutan dan tidak pernah mempraktekan bagaimana berbaha Inggris tersebut. “Ibarat belajar beberanang, seseorang telah membaca lusinan buku tentang berenang namun ia sendiri tidak pernah terjun ke dalam air, ya gagal terus sebagai perenang”.
Dikatakan bahwa sekolah adalah tempat menimba ilmu dan buku-buku musti menjadi benda wajib untuk disukai dan dibaca siswa. Namun kalau ditanya apkah mereka senang membaca, maka banyak yang menjawab “saya tidak suka membaca”. Malas membaca adalah ungkapan klasik yang diucapkan oleh ribuan bahkan ratusan ribu anak-anak sekolah di Indonesia. “Saya kalau membaca buku, mata cepat berair, …saya kalau membaca mata cepat mngantuk, … saya kalau membaca cepat bosan”. Apa yang menyebabkan sehingga begitu banyak anak sekolah (dan juga mahasiswa) tidak suka membaca ? Jawabnya adalah karena tidak terbiasa dengan buku “aku alergi kalau memegang buku, cepat bosan dan mengantuk”.
“Bosan, mengatuk, mata berair kalau membaca” benar ini adalah cirri-ciri orang yang belum punya budaya belajar, bukan orang yang terpelajar dengan baik, well educated person. Mayoritas bangsa kita beragama Islam, namun tidak seharusnya kita mengabaikan nasehat Khalik seperti yang tertulis dalam Al-Qur’an yang mengajarkan tentang perintah “iqra- bacalah…!” sebagai ayat pertama turun buat manusia. Namun mengapa kita banyak yang kurang merespon nya, tidak terbiasa dan terkondisi dalam membaca. Selanjutnya kita malah terbiasa bermain, bersenda gurau, nonton, hura-hura atau buang-buang waktu. Pada hal perintah pertama ang turun dari Allah Swt buat manuasia bukanlah “la’ibun- bermainlah, atau lahwun- berguaraulah…!”.
Tentu pemerintah dan pakar pendidik menjadi sangat repot dalam menggenjot kualitas SDM kita. “Kalau begitu apa penyebab kualitas SDM kita cenderung tumbuh agak lambat ?” Ada banyak penyebabnya yang membuat kualitas pendidikan ini susah untuk meningkat. Salah satu penyebab adalah pembinaan semangat membaca sejak dini tidak tuntas. Target guru ketika anak belajar membaca di bangku SD hanya sekedar bisa membaca “ini budi…ini budi…”, setelah bisa membaca kalimat-kalimat pendek tadi, maka pembinaan membaca terhenti, guru tidak pernah/ jarang memperkenalkan apa yang harus dibaca, seharusnya mereka mengatakan “nak untuk bisa lebih pintar, kita harus banyak membaca buku, buku cerita, komik, buku agama, majalah, buku petualang, semuanya ada di pustaka, yok kita ke sana….!” Namun fenomena yang terjadi adalah bahwa system pembinaan semangat membaca sejak usia dini di SD sampai ke tingkat Universitas tidak terjadi dengan baik. Itu karena keberadaan perpustakaan pada banyak sekolah tidak punya arti apa-apa dalam memajukan mutu pendidikan lewat keberadaan reading society- masyarakat yang gemar membaca.
Di negara yang luas ini tentu terdapat ribuan sekolah, mulai dari SD, SMP, SMA, SMK, MA sampai ke Perguruan Tinggi. Mayoritas perputakaan mereka hanyalah sebagai symbol atau sebagai pelengkap dalam system administrasi sekolah. Malu rasanya kalau suatu sekolah tidak punya perpustakaan. Namun kita seharusnya menjadi lebih malu lagi karena ada ratusan ribu anak-anak sekolah di nusantara ini yang tidak suka membaca.
Untuk membuktikan pernyataan ini, maka cobalah lakukan survey mendadak ke berbagai sekolah dasar yang berlokasi agak di luar kota, atau boleh jadi juga yang dalam kota, maka akan ditemukan banyak SD yang perpustakaanya terkunci, menjadi ruangan yang tidak menarik untuk dikunjungi . Yang dijumpai hanyalah koleksi buku buku, Koran, majalah usang yang telah berdebu dan kurang terurus dan koleksinya tidak pernah bertambah, karena tidak punya uang untk membeli. “tidak punya uang untuk membeli tetapi gerbang sekolah bisa disulap jadi megah, inilah trendinya, pembangunan fisik lebih penting daripada pembangunan mental”. Dan kalau pun ada perpustakaan yang memiliki koleksi menarik, namun tetap kekurangan pengunjung karena kurangnya sosialisasi untuk menanamkan minat membaca pada siswa.
Di sekolah kecintaan membaca dan menyemarakan perpustakaan kurang aktif, maka tak heran banyak murid SD yang kerjanya hanya berkeliaran, melompat dan berlarian kian kemari, saling mengejek, belajar bulyiing (menggertak) kawan-kawan yang kecil dan lemah. Bagaimana kalau kita mulai bermimpi supaya anak-anak ini ramai-ramai menyerbu perpustakaan, tenggelam dalam mencintaai bacaan dan berkelana keliling dunia lewat buku. Kalau ini bisa terwjud pasti sekolah yang bersangkutan akan lebih menarik, siswanya lebih kaya wawasan dan cerdas. Gurunya tidak perlu lagi mundar mandir dari kelas ke kantor saat jam PBM karena bosan mengajar siswa-siswa yang dianggap begok.
Di rumah amat jarang orang tua yang menyediakan perpustakaan bagi keluarga. Yang ada hanya family theatre atau teater keluarga. Lihat begitu banyak rumah dengan lemari bagus untuk menempatkan televisi dengan layar besar, play station, VCD player, tumpukan kepingan kaset CD, dan lain-lan yang siap untuk menyala siang malam. Anak terbius atau terpukau di depan layar, menikmati suguhan musik, iklan, sinetron, dan film-film lain yang dating silih berganti. Sehingga ada pertanyaan “Siapakah ibu yang ke dua bagi anak-anak mu yang membuatnya lupa beraktivitas, berkarya dan belajar ?” Ya tentu saja adalah televisi.
Aktifnya home thetra di rumah dan kurang berfungsinya perpustakaan di sekolah telah membuat banyak anak didik kita menjadi asing, gagap dan alergi dengan bacaan. Mereka tidak berselera melihat buku. Kalau begitu apa saja yang diperbncangkan oleh anak-anak sejak dari bangku sekolah dasar sampai ke Perguruan Tinggi.
Karena umumnya pelajar kita amat gemar menonton maka anak-anak yang duduk di bangku SD pada saat senggang akan berbagi cerita tentang hantu, pocong, tuyul dan kutilanak yang keluyuran untuk menakuti jiwa-jiwa mereka. Itu adalah akibat mereka asik tenggelam menonton film-film sirik dan tahyul yang banyak disuguhkan oleh televisi. Anak-anak yang duduk di SMP akan asik ngobrol tentang model rambut punk, bagaimana membikin rambut bisa warna warni, bagaimana penampilan bisa gagah dengan model celana melorot. Kemudian anak-anak di SMA mungkin sibuk merawat kulit agar tidak hitam dan mendownload lagu dengan lirik-lirik yang banyak merangsang libido, karena kata-kata yang sering muncul dalam lagu idola mereka adalah katakata; peluk aku, cium aku, dekap aku, bla…bla..bla.,? Remaja yang sering mendengar lirik-lirik lagu yang menggambarkan kegiatan seksualitas dapat mendorong mereka untuk mewujudkan dalam kehidupan seks mereka, na’uzubillah.
Perguruan Tinggi rata rata punya gedung atau ruang perpustakaan yang bagus. Tetapi percuma, karena budaya malas membaca dan alergi dengan buku sudah tertanam sejak dalam rumah tangga dan sejak dari SD maka yang terlihat bahwa perpustakaan cendrung sepi pengunjung atau tanpa pengunjung. Paling paling tempat ini dijadikan sebagai tempat alternative untuk mojok atau pacaran , karena tenang, sepi dan jauh dari usikan. “Nah mahasiswa sebagai calon sarjana, kaum intelektual, sebagai agent of change- agen perubahan, namun malas membaca, lantas kemudian bagaima kualitas intelektualnya, kemudian sebagai agent of change ya apa yang mau diobahnya ?” Bukan rahasia lagi kalau gaya hidup mahasiwa juga seperti ABG, suka pamer penampilan, suka buang-buang waktu, kerjanya cuma sekedar hadir ke kampus dan pulang buat tidur, bermain gitar, main play station atau jangan –jangan menghabiskan waktu untuk yang bukan-bukan, pantasan banyak mereka yang enggan untuk wisuda “lebih enak kuliah, dari pada tamat dan buru-buru jadi pengangguran”.
Lantas apa yang harus dilakukan untk menggenjot kualitas SDM bangsa ini. Tentu saja ada banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan untuk ini, salah satunya adalah kembali melakukan pemberdayaan gerakan gemar membaca. Pemerintah, alumni, stakeholder sekarang janganlah hanya berfikir bagaimana bisa memiliki sekolah dengan gedung bertingkat, sekolah dengan gerbang dan jalan hotmix namun bagaimana bisa mengjajak anak anak dan memberi model untuk kembali bisa mencintai membaca, tidak lagi alergi melihat buku-buku. Kalau perlu di mana mana yang ada bukan iklan rokok, atau iklan hiburan duniawi lain. Namun adalah juga iklan dan baliho tentang buku-buku baru dan iklan agar pada rumah dan tiap sekolah perlu punya pustaka yang representarif.