Edison Says:
I run private English school for children aged between 10
and 19 years old in a small city in West Sumatra. My goal as the
principal of the school is to provide youth from my region with the
English skills required to communicate better in the modern world, and
therefore provide them with better opportunities in their lives.
I
would like to welcome any fluent English speakers under the age of
thirty to come assist my teachers in the classroom. You would help
immensely by having simple conversations with the students and give them
a real English speaking experience inside or outside the classroom.
All
the students are very welcoming and curious about my visitors and I am
certain that you will have a great experience while interacting with
them. You can expect answering all their curious questions, pose for
pictures and be invited for lunches, snacks and dinners.
Classes
in my school run from 2pm to 6pm and mostly consist of two
lessons/classrooms per day. I would also like to invite you to visit
government schools in the mornings, where you can help me by talking
with students there and promoting my after-school English program.
In
return for your efforts, I will provide you with accommodation in a
private room next to my house with its own separate entrance, private
bathroom and a balcony with views of the mountain range. Apart from that
I will provide you with breakfast, dinner, and unlimited coffee.
Dinners are prepared by my wonderful wife Noufie and you will be able to
taste true local cuisine.
Additionally, if you are able to drive
a scooter, I can provide you with one to get around for a nominal fee.
This way you can explore surrounding areas in the mornings before the
classes.
In your free time I would like to introduce you to the local
culture and will help organize your visits to places worth visiting
nearby my town of Batusangkar (a rather small town at the center of
Minangkabau culture). This town is surrounded by mountains, lush
jungles, tropical plants, and vast rice fields.
No credentials
are required. Do not worry if you don’t have previous experience in
teaching. Your presence in the classroom and your efforts in encouraging
students to have simple conversations is still very valuable.
I hope
to host you at my place and MY TEACHING STAFF 's village and introduce
you to my family, friends and unique culture of West Sumatra.
Please
note that we are unable to host couples that are not married, as my
family and I are Muslim and it conflicts with our beliefs. Thank you for
your understanding.
I am MARJOHAN USMAN, the teacher at Senior High School. I like to meet many people and I like travelling. I love teaching and I love the world of kids. I have email : marjohanusman@yahoo.com and my youtube channel is: https://www.youtube.com/results?search_query=marjohan+usman
Sabtu, 30 Juli 2016
Sabtu, 16 Juli 2016
Ironi perayaan gelar sarjana: sebuah naskah pidato Wisuda
Ironi perayaan gelar sarjana: sebuah naskah pidato Wisuda
Oleh: Dewi Setya
Siapa sih yang nggak tahu mbak Erica Goldson? Lulusan terbaik Coxackie-Athens High School Amerika yang beberapa tahun silam pidato wisudanya menjadi viral di peredaran maya. Pidato nyinyir yang mengkritik sistem pendidikan ala peternakan. Berikut saya kutip secuil nyinyirannya.
“…the majority of students are put through the same brainwashing techniques in order to create a complacent labor force working in the interest of large corporations and secretive government, and worst of all, they completely unaware of it…”
“…mayoritas siswa dicuci otaknya agar puas menjadi tenaga kerja perusahaan besar dan badan rahasia pemerintah, dan yang terburuk dari itu semua, mereka sama sekali tidak menyadarinya…”
Terinspirasi darinya, saya pun menyusun naskah pidato untuk sebuah upacara yang sama. Sayangnya, saya enggak berkesempatan untuk berpidato, sebab bukan mahasiswa terbaik yang terindikasi memperoleh skor tertinggi.
Di sini kekecewaan berujung. Jika mahasiswa terbaik indikatornya hanya IPK, lantas bagaimana cara institusi pendidikan tinggi menghargai puncak karya ilmiah mahasiswa? Kenapa enggak ada skripsi terbaik?
Kan mesakne mahasiswa yang serius mengerjakan penelitian dengan segala asketisme dan idealismenya, eh, dianggap kalah berharga dibanding presensi kehadiran mahasiswa yang dikonversi menjadi Indeks Prestasi Akademik. Untung, saya bukan tipe mahasiswa yang mengerjakan karya ilmiah seserius itu.
Well, sebab naskah pidato ini enggak memuat sanjungan penuh takzim untuk para dosen sebagaimana lazimnya sehingga juga ditolak untuk dibacakan. Maka, dengan segala kepasrahan saya serahkan kepada Mas Eddward S. Kennedy, selaku pihak otoritatif dari situs paling bahagia se-jagat maya.
Berikut naskah pidato wisuda yang saya coba susun.
Assalammualaikum wr.wb..
Yang terhormat seluruh wisudawan-wisudawati setanah air…
Ada tiga momentum berurutan di mana linimasa medsos dipenuhi foto perayaan pelepasan status mahasiswa. Pendadaran, yudisium, dan upacara wisuda. Ini semacam prosesi lamaran, pre-wedding, lalu nikahan.
Karena ada 3 periode wisuda dalam setahun di kampus ini, maka sebanyak 9 kali setahun linimasa medsos saya mengalami musim upload foto nyengir memegang balon dan bunga, dengan interval waktu tertentu.
Ternyata perayaan gelar sarjana kini tak kalah ngepop dengan event hip hip hura UKM maupun BEM (Badan Event Mahasiswa). Coba bayangkan, berapa omset studio foto dan rias wajah wisuda per tahun? Hmm.. bisnis yang prospektebel, bukan?
Memandang upload-an foto dengan caption “Alhamdulilah” yang bisa saja lebih panjang dari kereta api Malioboro Express itu, saya bukannya iri, tapi, geli(sah) dan diliputi perasaan campur aduk setelah mengalami hal serupa yang disebut kelulusan.
Kelulusan sejatinya adalah melepas hak untuk mengakses jurnal-jurnal nasional hingga internasional yang dilanggankan oleh kampus (well, meski kita juga bayar sih, tapi kan kolektif, sehingga lebih murah). Melepas hak untuk berlangganan jurnal tertentu dengan biaya jauh lebih murah dari harga normal. Melepas diskon-diskon via member card bertipe mahasiswa di beberapa merchant tertentu. Melepas kesempatan makan enak di seminar-seminar besar dengan gratis atau dengan biaya lebih murah dan bonus-bonus lainnya.
Jadi, status mahasiswa dan bonus materi adalah sesuatu yang inheren.
Lha, gelar sarjana sodara sekarang? Apa bisa buat beli tiket ArtJog 9 di JNM dengan rabat 50%?
Terlepasnya status mahasiswa juga mengurangi rasa percaya diri untuk turut melafazkan SUMPAH MAHASISWA setelah beratus-ratus meter longmarch di jalanan. Ini, kawan-kawanku sekalian, akibat dari pranata sosial yang senantiasa mengusik melalui julukan “pengangguran”.
Wisudawan-wisudawati rahimakumullah…
Sudah berapa judul buku yang khatam Anda baca dan didiskusikan? Berapa karya ilmiah yang Anda produksi? Berapa ulasan kritis atas persoalan sosial yang Anda terbitkan? Seberapa luas bergaulkah Anda? Mampukah Anda kini membaca realitas sosial? Seberapa banyak lembaga riset yang pernah Anda kunjungi? Seberapa sering Anda berbaur di ruang-ruang diskusi? Berapa kali Anda turun aksi (meski cuma megangin bendera sambil selfie)?
Pertanyaan sarkas di atas harus selesai dijawab, sebelum Anda tergesa-gesa bangga mengupload foto-foto berkostum kebaya dengan seperangkat konde itu di seluruh akun medsos. Btw, kenapa, ya, musti kebaya? Kalau mau total berbudaya, harusnya sekalian pakai baju adat daerah masing-masing dong, supaya nggak Jawa-sentris, biar kita bisa juga karnavalan.
Jangan-jangan selfie cengar-cengir pamer selempang cumlaude itu enggak relevan dengan gelar sarjana Anda yang penuh beban ideologis?
Kan ngisin-ngisini kalau lulus sarjana taunya cuma kampus, warung kongkow, dan kos-kosan. Kalau kosannya mirip rumah kos Tjokroaminoto, tempat berkumpul orang-orang repolusioner, sih mending, lha ini cuma buat kelonan. Jangan-jangan sodara juga enggak tau Angmo? Keterlaluan betul. Kurang populer apa Mas Puthut EA mengudara di linimasa medsos sampai-sampai mahasiswa di kota berpredikat ‘pelajar’ ini enggak tau Angkringan Mojok?
Mereka yang mengantar kita sampai ke depan pintu gerbang kemerdekaan pastilah berangkat dari realitas sosial, bukan dari ruang berpendingin yang harum. Gimana sekarang mau membuka pintu gerbang dan masuk ke halaman kemerdekaan kalau membaca ruang sosial saja Anda belum tuntas? Mau selamanya di depan pintu gerbang?
Sudah begitu, sodara mengaku sebagai intelektual setelah dapet toga? Memangnya seberapa berarti karya ilmiah Anda dalam menuntaskan persoalan fakir, miskin, anak terlantar, hingga jomblo? Tanpa visi ideologis, jumlah angka yang dibanggakan itu hanyalah sarana transaksi antara tenaga dan kapital.
Duhai wisudawan-wisudawati yang berbangga diri…
Mari kita kenang masa kenikmatan menjadi mahasiswa. Masa di mana kebebasan berkarya dan kritik sana sini, tanpa merasa tertekan kala mengosongkan kolom gaji perbulan pada formulir pendaftaran SIM. Maka, ingin rasanya misuh saat menjumpai mahasiswa yang baru lulus ospek kok sudah kebelet lulus kuliah prematur.
Oalah, le… Selesai kuliah 3.5 tahun itu hal yang lumrah semenjak perguruan tinggi menerapkan sistem SKS (Selesai Kuliah Secepatnya).
Contohlah Mbak Kalis Mardiasih yang tertawan lama oleh status mahasiswanya, namun produktif tak kepalang. Apa? Anda enggak kenal dia siapa? Ngana sepertinya punya smartphone yang sudah saatnya juga diwisuda.
Dari tulisan-tulisan tercecer Mbak Kalis seseungguhnya kesadaran naif masa mengambang medsos perlahan dikonversi menjadi kritis. Nilainya bisa melebihi tugas kuliah yang ujung-ujungnya dikonversi menjadi angka-angka dengan judul indeks prestasi kumulatif. Mahasiswa sejenis itu yang kelak perayaan wisudanya bakal jadi sebuah milestone, bukan ironis. Laksana calon jama’ah haji yang tiba giliran keberangkatan setelah beratus-ratus purnama mengantri.
Wisudawan-wisudawati yang sudah siap siaga tongsis…
Sebelum saya mengakhiri pidato ini, marilah kita mengukur seberapa ironis perayaan gelar sarjana kita hari ini?
Demikian, saya tutup pidato ini dengan berpura-pura candid di depan kamera. Mas yang megang kamera tolong agak mendekat… *cekrek*
sumber: http://mojok.co/…/ ironi-perayaan-gelar-sarjan a-sebuah-nask…/ via Bangsa Mahasiswa
(rewritten from Facebooknya ALVIN SALENDRA :
https://www.facebook.com/PendidikanIndonesia123/photos/a.863657890351749.1073741828.852951308089074/1142721719112030/?type=3&theater
Oleh: Dewi Setya
Siapa sih yang nggak tahu mbak Erica Goldson? Lulusan terbaik Coxackie-Athens High School Amerika yang beberapa tahun silam pidato wisudanya menjadi viral di peredaran maya. Pidato nyinyir yang mengkritik sistem pendidikan ala peternakan. Berikut saya kutip secuil nyinyirannya.
“…the majority of students are put through the same brainwashing techniques in order to create a complacent labor force working in the interest of large corporations and secretive government, and worst of all, they completely unaware of it…”
“…mayoritas siswa dicuci otaknya agar puas menjadi tenaga kerja perusahaan besar dan badan rahasia pemerintah, dan yang terburuk dari itu semua, mereka sama sekali tidak menyadarinya…”
Terinspirasi darinya, saya pun menyusun naskah pidato untuk sebuah upacara yang sama. Sayangnya, saya enggak berkesempatan untuk berpidato, sebab bukan mahasiswa terbaik yang terindikasi memperoleh skor tertinggi.
Di sini kekecewaan berujung. Jika mahasiswa terbaik indikatornya hanya IPK, lantas bagaimana cara institusi pendidikan tinggi menghargai puncak karya ilmiah mahasiswa? Kenapa enggak ada skripsi terbaik?
Kan mesakne mahasiswa yang serius mengerjakan penelitian dengan segala asketisme dan idealismenya, eh, dianggap kalah berharga dibanding presensi kehadiran mahasiswa yang dikonversi menjadi Indeks Prestasi Akademik. Untung, saya bukan tipe mahasiswa yang mengerjakan karya ilmiah seserius itu.
Well, sebab naskah pidato ini enggak memuat sanjungan penuh takzim untuk para dosen sebagaimana lazimnya sehingga juga ditolak untuk dibacakan. Maka, dengan segala kepasrahan saya serahkan kepada Mas Eddward S. Kennedy, selaku pihak otoritatif dari situs paling bahagia se-jagat maya.
Berikut naskah pidato wisuda yang saya coba susun.
Assalammualaikum wr.wb..
Yang terhormat seluruh wisudawan-wisudawati setanah air…
Ada tiga momentum berurutan di mana linimasa medsos dipenuhi foto perayaan pelepasan status mahasiswa. Pendadaran, yudisium, dan upacara wisuda. Ini semacam prosesi lamaran, pre-wedding, lalu nikahan.
Karena ada 3 periode wisuda dalam setahun di kampus ini, maka sebanyak 9 kali setahun linimasa medsos saya mengalami musim upload foto nyengir memegang balon dan bunga, dengan interval waktu tertentu.
Ternyata perayaan gelar sarjana kini tak kalah ngepop dengan event hip hip hura UKM maupun BEM (Badan Event Mahasiswa). Coba bayangkan, berapa omset studio foto dan rias wajah wisuda per tahun? Hmm.. bisnis yang prospektebel, bukan?
Memandang upload-an foto dengan caption “Alhamdulilah” yang bisa saja lebih panjang dari kereta api Malioboro Express itu, saya bukannya iri, tapi, geli(sah) dan diliputi perasaan campur aduk setelah mengalami hal serupa yang disebut kelulusan.
Kelulusan sejatinya adalah melepas hak untuk mengakses jurnal-jurnal nasional hingga internasional yang dilanggankan oleh kampus (well, meski kita juga bayar sih, tapi kan kolektif, sehingga lebih murah). Melepas hak untuk berlangganan jurnal tertentu dengan biaya jauh lebih murah dari harga normal. Melepas diskon-diskon via member card bertipe mahasiswa di beberapa merchant tertentu. Melepas kesempatan makan enak di seminar-seminar besar dengan gratis atau dengan biaya lebih murah dan bonus-bonus lainnya.
Jadi, status mahasiswa dan bonus materi adalah sesuatu yang inheren.
Lha, gelar sarjana sodara sekarang? Apa bisa buat beli tiket ArtJog 9 di JNM dengan rabat 50%?
Terlepasnya status mahasiswa juga mengurangi rasa percaya diri untuk turut melafazkan SUMPAH MAHASISWA setelah beratus-ratus meter longmarch di jalanan. Ini, kawan-kawanku sekalian, akibat dari pranata sosial yang senantiasa mengusik melalui julukan “pengangguran”.
Wisudawan-wisudawati rahimakumullah…
Sudah berapa judul buku yang khatam Anda baca dan didiskusikan? Berapa karya ilmiah yang Anda produksi? Berapa ulasan kritis atas persoalan sosial yang Anda terbitkan? Seberapa luas bergaulkah Anda? Mampukah Anda kini membaca realitas sosial? Seberapa banyak lembaga riset yang pernah Anda kunjungi? Seberapa sering Anda berbaur di ruang-ruang diskusi? Berapa kali Anda turun aksi (meski cuma megangin bendera sambil selfie)?
Pertanyaan sarkas di atas harus selesai dijawab, sebelum Anda tergesa-gesa bangga mengupload foto-foto berkostum kebaya dengan seperangkat konde itu di seluruh akun medsos. Btw, kenapa, ya, musti kebaya? Kalau mau total berbudaya, harusnya sekalian pakai baju adat daerah masing-masing dong, supaya nggak Jawa-sentris, biar kita bisa juga karnavalan.
Jangan-jangan selfie cengar-cengir pamer selempang cumlaude itu enggak relevan dengan gelar sarjana Anda yang penuh beban ideologis?
Kan ngisin-ngisini kalau lulus sarjana taunya cuma kampus, warung kongkow, dan kos-kosan. Kalau kosannya mirip rumah kos Tjokroaminoto, tempat berkumpul orang-orang repolusioner, sih mending, lha ini cuma buat kelonan. Jangan-jangan sodara juga enggak tau Angmo? Keterlaluan betul. Kurang populer apa Mas Puthut EA mengudara di linimasa medsos sampai-sampai mahasiswa di kota berpredikat ‘pelajar’ ini enggak tau Angkringan Mojok?
Mereka yang mengantar kita sampai ke depan pintu gerbang kemerdekaan pastilah berangkat dari realitas sosial, bukan dari ruang berpendingin yang harum. Gimana sekarang mau membuka pintu gerbang dan masuk ke halaman kemerdekaan kalau membaca ruang sosial saja Anda belum tuntas? Mau selamanya di depan pintu gerbang?
Sudah begitu, sodara mengaku sebagai intelektual setelah dapet toga? Memangnya seberapa berarti karya ilmiah Anda dalam menuntaskan persoalan fakir, miskin, anak terlantar, hingga jomblo? Tanpa visi ideologis, jumlah angka yang dibanggakan itu hanyalah sarana transaksi antara tenaga dan kapital.
Duhai wisudawan-wisudawati yang berbangga diri…
Mari kita kenang masa kenikmatan menjadi mahasiswa. Masa di mana kebebasan berkarya dan kritik sana sini, tanpa merasa tertekan kala mengosongkan kolom gaji perbulan pada formulir pendaftaran SIM. Maka, ingin rasanya misuh saat menjumpai mahasiswa yang baru lulus ospek kok sudah kebelet lulus kuliah prematur.
Oalah, le… Selesai kuliah 3.5 tahun itu hal yang lumrah semenjak perguruan tinggi menerapkan sistem SKS (Selesai Kuliah Secepatnya).
Contohlah Mbak Kalis Mardiasih yang tertawan lama oleh status mahasiswanya, namun produktif tak kepalang. Apa? Anda enggak kenal dia siapa? Ngana sepertinya punya smartphone yang sudah saatnya juga diwisuda.
Dari tulisan-tulisan tercecer Mbak Kalis seseungguhnya kesadaran naif masa mengambang medsos perlahan dikonversi menjadi kritis. Nilainya bisa melebihi tugas kuliah yang ujung-ujungnya dikonversi menjadi angka-angka dengan judul indeks prestasi kumulatif. Mahasiswa sejenis itu yang kelak perayaan wisudanya bakal jadi sebuah milestone, bukan ironis. Laksana calon jama’ah haji yang tiba giliran keberangkatan setelah beratus-ratus purnama mengantri.
Wisudawan-wisudawati yang sudah siap siaga tongsis…
Sebelum saya mengakhiri pidato ini, marilah kita mengukur seberapa ironis perayaan gelar sarjana kita hari ini?
Demikian, saya tutup pidato ini dengan berpura-pura candid di depan kamera. Mas yang megang kamera tolong agak mendekat… *cekrek*
sumber: http://mojok.co/…/
(rewritten from Facebooknya ALVIN SALENDRA :
https://www.facebook.com/PendidikanIndonesia123/photos/a.863657890351749.1073741828.852951308089074/1142721719112030/?type=3&theater
Langganan:
Postingan (Atom)
Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"
SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...
-
Semangat Eksplorasi Dan Kualitas Pendidikan Oleh. Marjohan M.Pd Guru SMA Negeri 3 Batusangkar Kata lain dari “eksplorasi” adalah menjelajah....
-
Orang Lintau Juga Bisa Jadi Doktor (Inspirasi dari pr...
-
Naskah Buku The Inner Changing-Perubahan Dari Dalam Diri Ditulis oleh : MARJOHAN M.Pd Guru SMA Negeri 3 Batusangkar, Kab. Tanah Datar, S...