Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan

Kamis, 08 April 2010

Kartini Tidak Butuh Nyanyian dan Kain Kebaya

Kartini Tidak Butuh Nyanyian dan Kain Kebaya
Oleh: Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

Sejak dulu sampai sekarang gaya kepemimpinan orang tua di rumah sangat mempengaruhi kualitas SDM sang anak. Secara umum ada gaya orang tua yang demokrasi (selalu bertukar pikiran dengan take and give). Ada orang tua yang laizess faire atau berkarakter masa bodoh, dan orang tua yang otoriter- yang selalu merasa menang sendiri.

Pembelajaran di zaman kuno yang miskin dengan fasilitas, lingkungan yang otoriter sangat lumrah membuat banyak orang jadi tertindas. Bila ada yang mampu dan maju pribadinya, maka ia perlu dijadikan sebagai model dalam kehidupan. Memang ada, dia adalah Raden Ajeng Kartini. Ia hidup dalam zaman pembelengguan/ pingitan atas kaum perempuan. Perempuan hanya layak sebagai tukang jaga dapur. Namun Kartini berjuang untuk bangkit, maju dan berusaha agar kaum perempuan juga jadi maju dan tidak dilecehkan oleh kaum pria sepanjang masa.

Kisah perjuangan Kartini menginspirasi kaum perempuan agar bangkit menjadi cerdas- punya emansipasi/ hal azazi yang layak - dapat dibaca dalam kumpulan tulisannya yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang- Door Duisternis Tot Licht”. Untuk mengingat jasanya maka Komposer menciptakan lagu “Ibu Kita Kartini”. Sejak lagu ini diciptakan sampai sekarang lagu ini dinyanyikan oleh banyak siswa di berbagai sekolah, lebih lebih dalam bulan April, karena hari lahir Kartini tanggal 21 April, maka lagu “Ibu Kita Kartini” makin bergema.

Juga untuk merayakan hari Kartni sebagai lambang perjuangan kaum perempuan untuk memperoleh hak azazi, nuansa lomba berkebaya dan bersanggul ala Kartini digelar di mana-mana. Sebuah refleksi untuk direnungkan bahwa “apakah Ibu Kartini memang butuh nyanyian dan butuh lomba bersanggul dan berkebaya seperti itu? Apakah kartini memang hanya mengajarkan kaumnya untuk pintar bersanggul, berkebaya dan bernyanyi, atau apakah ini yang dinamakan sebagai pemodelan atas karakter Kartini ?. Yang anggun jalannya, elok wajah, sanggul dan kebayanya adalah pemenang. Apakah yang begini yang patut diberi “Kartini Award” ?. Ada baiknya kaum perempuan kembali melakukan flash back (kilas balik) atas kehidupan Kartini.

Raden Ajeng Kartini lahir pada tahun 1879 di kota Rembang. Ia anak salah seorang bangsawan, masih sangat taat pada adat istiadat. Setelah lulus dari Sekolah Dasar ia tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi oleh orangtuanya. Ia dipingit sambil menunggu waktu untuk menikah. Kartini kecil sangat sedih dengan hal tersebut, ia ingin menentang tapi tak berani karena takut dianggap anak durhaka. Untuk menghilangkan kesedihannya, ia mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian dibacanya di taman rumah yang ditemani Simbok (pembantunya) .

Akhirnya membaca menjadi kegemarannya, tiada hari tanpa membaca. Semua buku, termasuk surat kabar dibacanya. Kalau ada kesulitan dalam memahami buku-buku dan surat kabar yang dibacanya, ia selalu menanyakan kepada Bapaknya. Melalui buku inilah, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa (Belanda, yang waktu itu masih menjajah Indonesia ). Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan Indonesia . Perempuan tidak hanya di dapur tetapi juga harus mempunyai ilmu. Ia memulai dengan mengumpulkan teman-teman perempuannya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Ditengah kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga menulis surat dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda. Tidak berapa lama ia menulis surat pada Mr.J.H Abendanon. Ia memohon diberikan beasiswa untuk belajar di negeri Belanda.

Beasiswa yang didapatkan Kartini tidak sempat dimanfaatkannya karena ia dinikahkan oleh orangtuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Setelah menikah ia ikut suaminya ke daerah Rembang. Suaminya mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah perempuan. Berkat kegigihannya Kartini berhasil mendirikan Sekolah Perempuan di Semarang, Surabaya , Yogyakarta, Malang , Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Ketenarannya tidak membuat Kartini menjadi sombong, ia tetap santun, menghormati keluarga dan siapa saja, tidak membedakan antara yang miskin dan kaya.

Pada tanggal 17 september 1904, Kartini meninggal dunia dalam usianya yang ke-25, setelah ia melahirkan putra pertamanya. Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon memngumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul “Door Duisternis Tot Licht” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Raden Ajeng Kartini sudah lama meninggalkan kaumnya namun ide, fikiran dan cita-citanya tentu selalu relevan dengan zaman sekarang. Namun bagaimana realita perempuan sekarang kalau kita rujuk kepada pribadi Raden Ajeng Kartini ?.

Umumnya perempuan sekarang memang sudah banyak yang memperoleh pendidikan. Ada yang memperoleh emansipasi dan pendidikan tinggi. Namun sebahagian besar baru sebatas bisa membaca (melek huruf) dan sebatas bisa berhitung (melek angka) dengan cita-cita masih yang kerdil atau tidak memiliki cita-cita sama sekali, karena bingung dengan kondisi masa depan. Pribadi mereka pun banyak yang masih rapuh- mudah putus asa. Ada yang terlalu manja dan terlalu cengeng.

Beberapa karakter mereka yang lain yang perlu dikritik karena begitu kontra dengan karakter kartini. Yaitu gaya hidup hedonisme (terlalu memuja kemewahan dan kesenangan hidup) dan konsumerisme. Gejala-gejala ini sudah terlihat sejak kaum perempuan duduk di bangku SLTA, menjadi Mahasiswa dan setelah dewsa kelak. Agaknya Kartini tetap senang melihat kaumnnya menjadi cantik, namun ia akan gerah bila melihat para perempuan yang pemalas- malah bergerak, malas belajar, malas bekerja, banyak menggantungkan hidup pada orang tua, kakak atau terlalu menunggu komando dari suami. Karakter yang ideal dengan harapan Kartini- sesuai dengan kodrat perempuan timur/ perempuan Indonesia adalah seperti karakter yang terdapat dalam uraian singkat tentang Kartini tadi.

Bahwa Kartini tahu dengan adat istiadat dan tidak memungut adat/budaya luar tanpa filter- adat yang menjunjung tinggi etiket (tata krama berpakaian, berbicara, bersikap) tanpa harus memungut gaya hidup yang glamour hingga lupa diri. Kartini takut dianggap sebagai anak durhaka (maka ia tidak mau menentang orang tua) berarti ia bersikap bijaksana dalam mengangkat harga diri.

Meskipun Kartini menikah tapi ia tidak berhenti dalam belajar. Ia masih setia mengoleksi buku (mengumpulkan buku-buku yang berkualitas) dan melakukan otodidak- belajar mandiri atau belajar sepanjang hayat (long life education). Ia melakukan korespondensi untuk bertukar fikiran dengan orang yang juga punya wawasan dan malah membuka diri untuk menguasai bahasa Asing (Bahasa Belanda).

Cukup kontra dengan kebanyakan perempuan sekarang yang hanya belajar hingga universitas atau selagi masih bersekolah. Kemudian tidak pernah menyentuh buku lagi setelah dewasa atau setelah berkeluarga sehingga fikirannya membeku atau mengristal. Maka cukup berbanding lurus kalau ibu yang berhenti belajar menciptakan keluarga/anak- anak yang juga kurang berhasil dalam bidang akademik atau kehidupan, dan lantas kemudian menuduh sekolah sebagai biang kerok kegagalan.

Buku bacaan Kartini bisa jadi buku level orang orang yang hidup di Eropa (Belanda) pada masa itu. Sebab mayoritas kartini membaca buku terbitan Belanda dan menulis buat sahabatnya J.H Abendanon juga dalam Bahasa Belanda. Ini berarti bahwa dalam usia seputar 20 tahun, tanpa pergi Les Bahasa Inggris Kartini sudah menjadikan Bahasa Internasional (Bahasa Belanda) sebagai bahasa kedua dalam hidupnya. Sekali lagi bahwa cukup kontra dengan pemuda dan pemudi sekarang yang belajar bahasa asing yang hanya sekedar mampu bercakap dan mengatakan “hello, how are you….. what is your name”, namun tidak pernah membaca dan menamatkan buku-buku berskala internasional dalam bahasa Inggris/ Perancis, bahasa Jepang atau (juga) bahasa Arab- sesuai dengan bahasa yang mereka pelajari. Mereka menguasai bahasa asing cukup sederhana saja, hanya sekedar mencari muka dan mencar nilai buat rapor dan penyenang hati orang tua.

Karakter Kartini yang lain adalah bahwa ia tidak egois dan mengutamakan diri (self-fish). Walau ia cerdas namun ia dalam usianya yang muda sudah/ dan selalu mencerdaskan kaum perempuan dengan gratis/ penuh ikhlas dalam ruangan yang sederhana- hanya ada ruangan dengan bangku dan papan tulis- inilah disebut dengan sekolah kartini. Saat itu ia menjadi perempuan ternama karena usahanya, namun ia tetap rendah hati, dan tidak sombong.

Zaman begitu cepat berlalu, produk teknologi dan ICT saling berpacu. Tayangan program media cetak dan media elektronik dari berbagai stasiun televisi bukan membuat orang makin kenal dan akrab dengan Kartini. Apalagi nama, ide dan pemikiran Kartini jarang disinggung dan dikupas. Ini membuat sosok Kartini nyaris terlupakan kecuali hanya sekedar nyanyian “Ibu kita Kartini” yang dengan setia masih dilantun oleh anak-anak SD sambil berlarian atau hanya sekedar upacara seremonial tiap tanggal 21 April untuk memperebutkan kontes perempuan anggun dengan kebaya dan dan sanggul indah.

Terus terang pakaian kebaya dan sanggul yang besar tidak ada artinya apabila karakter hidup kontestan dan kaum perempuan yang lain sangat kontra dengan pribadi, prilaku atau karkter Kartini. Sebelum Kartini nyaris terlupakan maka buru burulah mencari biografi Kartini, temui hikmah darinya dan ikuti suri teladannya- jadikanlah gaya hidup Kartini sebagai gaya hidup kaum perempuan Indonesia kembali.

Senin, 05 April 2010

Barrack Obama Memberi Inspirasi Para Remaja dari tiga Benua Dalam Menggapai Mimpi Di Masa Depan

Barrack Obama Memberi Inspirasi Para Remaja dari tiga Benua Dalam Menggapai Mimpi Di Masa Depan
Oleh; Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

Hampir semua anak-anak di seluruh dunia mengenal cerita Cinderella. Cerita tentang seorang gadis yang malang dan karena keajaiban ia bisa tinggal di istana sebagai istri pangeran. Kemudian bila ada tokoh anak laki laki yang biasa-biasa saja pada waktu kecil dan setelah dewasa menjadi presiden untuk negara super power (Amerika Serikat), maka ia dapat pula dijuluki sebagai “Cinderboy”. Dan ia adalah Barrack Obama. Kalau Cinderella adalah sebuah cerita dogeng dan Cindereboy adalah sebuah kisah nyata.

Nana Andoh Amankwando, teman penulis dalam face book, dari Ghana mengatakan bahwa figure Barrack Obama telah menjadi inspirator yang hebat bagi para remaja di kampong ayahnya Kenya an di seantaro Afrika. Kedatangannya (sebagai Presiden USA) sangat ditunggu-tunggu, memotivasi dan membangkitkan semangat para pemuda di benua Africa untuk memacu semangat menjadi maju menuju pentas dunia. Dan penulis juga mengatakan kepada temana dari Ghana tersebut bahwa sosok Barrack Obama juga menjadi motivasi dan inspirasi bagi pemuda di kawasan Asia, terutama dari Indonesia, apalagi ia sempat hidup, dan belajar di Jakarta pada masa kecilnya. Tentu saja para remaja yang ingin menggapai mimpi-mimpi yang hebatnya perlu belajar dari pengalam hebat Barrack Obama.

Barack Hussein Obama lahir di Honolulu, Hawaii, 4 Agustus 1961 (dari ayah orang Kenya) dan Ann Dunham (wanita Amerika Kansas), bertemu ketika bersekolah di Universitas Hawaii, ayahnya belajar dengan status sebagai murid asing. Keduanya berpisah ketika Obama berusia dua tahun dan akhirnya bercerai. Ayah Obama kembali ke Kenya dan melihat anaknya untuk terakhir kalinya sebelum meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas tahun 1982. Setelah bercerai, Dunham menikahi Lolo Soetoro (manager suatu perusahaan minyak, berkebangsaan Indonesia) dan keluarganya pindah ke Jakarta (1967). Obama bersekolah di SD Santo Fransiskus Asisi di Tebet selama tiga tahun, lalu pindah ke SD Negeri Menteng 1 (atau SD Besuki) di Menteng hingga berusia 10 tahun. Obama diketahui masih dapat memahami dan berbicara bahasa Indonesia secara sederhana.

Ia kembali ke Honolulu, tinggal bersama kakek dan neneknya. Ia belajar di Sekolah Punahou sejak kelas lima (1971) hingga lulus SMA (1979). Ibu Obama kembali ke Hawaii tahun 1972 selama beberapa tahun dan kemudian ke Indonesia untuk menyelesaikan kerja lapangan untuk disertasi doktoral. Ia meninggal karena kanker rahim tahun 1995. Sebagai seorang dewasa, Obama mengakui bahwa ketika SMA ia menggunakan mariyuana, kokain, dan alcohol (karena merasa broken home), ia jelaskan itu sebagai kesalahan moralnya yang terbesar.Setelah SMA, Obama belajar di Perguruan Tinggi Occidental selama dua (di Los Angeles) kemudian dipindahkan ke Universitas Columbia (New York City) kemudian ia lulus dalam bidang politik- hubungan internasional (1983).

Ia pernah bekerja di Business International Corporation dan kemudian di New York Public Interest Research Group. Obama kemudian pindah ke Chicago dan bekerja sebagai direktur Developing Communities Project (DCP), sebuah perkumpulan masyarakat berbasis gereja. Selama menjabat sebagai direktur DCP, stafnya bertambah dari satu menjadi tiga belas dan pendapatan per tahunnya meningkat (ini terjadi karena ia berhasil dengan program pelatihan kerja- pelatihan persiapan perguruan tinggi), ia juga bekerja sebagai konsultan dan instruktur untuk Gamaliel Foundation, sebuah institut perkumpulan masyarakat. Di pertengahan 1988, ia untuk pertama kalinya mengunjungi Eropa, dan Kenya untuk bertemu bertemu saudara Kenya-nya untuk pertama kalinya.

Obama masuk kuliah Hukum lagi di Universitas Harvard pada 1988. Sambil kuliah ia menulis dan sebagai editor Harvard Law Review, kemudian menjadi pimpinan editor. (walau posisi sukarela penuh waktu). Pada libur musim panas, ia kembali ke Chicago untuk bekerja sebagai associate musim panas di firma hukum Sidley & Austin (1989) dan Hopkins & Sutter (1990). Ia menyelesaikan program doctoral melalui belajar keras dan bekerja keras dengan nilai magna cum laude.

Lulus dari Harvard (1991) kembali ke Chicago. Ia terpilih sebagai presiden (pimpinan redaksi) majalah Harvard Law Review berkulit hitam pertama, ini membuat kontrak penerbitan dan pembuatan buku mengenai hubungan ras. Ia memperoleh beasiswa dari Universitas Chicago untuk membuat bukunya. Ia juga menulis memoir pribadi dan buku dengan judul Dreams from My Father.

Awal tahun 1992, Obama menjadi dosen hokum di Universitas Chicago selama dua belas tahun. Ia juga menjadi kelompok Penceramah (1992 hingga 1996) dan kemudian sebagai Penceramah Senior (1996 hingga 2004). Ia juga bergabung dengan sebuah firma hukum dengan dua belas pengacara yang berpengalaman.

Di pertengahan tahun 2002, Obama mulai melakukan kampanye menuju Senat AS. Ia aktif melakukan kampanye, ceramah dan debat dengan kontra partai atau grupnya. Ia bisa meyakinkan banyak orang dengan fakta dan argumennya. Obama berbicara mengenai perubahan prioritas ekonomi dan sosial pemerintah AS. Ia mempertanyakan Perang Irak oleh administrasi Bush dan memberii penghargaan pada tentaranya. ia mengkritik pandangan partisan terhadap elektorat dan meminta Amerika bersatu dalam perbedaan, dengan mengatakan, “Tidak ada yang namanya Amerika liberal dan Amerika konservatif; yang ada hanyalah Amerika Serikat.”

Obama dan Richard Lugar mengunjungi sebuah fasilitas perombakan misil bergerak Rusia. Ia kemudia terpilih sebagai anggota Komite Senat untuk Hubungan Luar Negeri, Obama melakukan perjalanan ke luar negeri menuju Eropa Timur, Timur Tengah, Asia Tengah dan Afrika. Ia bertemu dengan Mahmoud Abbas sebelum menjadi Presiden Palestina, dan menyampaikan pidato di Universitas Nairobi yang mengkritik korupsi dalam pemerintahan Kenya.

Tanggal 10 Februari 2007, Obama mengumumkan pencalonannya untuk Presiden Amerika Serikat. Obama mengangkat masalah pengakhiran Perang Irak, meningkatkan kebebasan energi, dan menyediakan perawatan kesehatan universal. Tanggal 19 Juni, Obama menjadi kandidat presiden partai besar pertama. Terdapat tiga debat presiden antara Obama dan McCain bulan September dan Oktober 2008. Setelah debat, Obama memenangi polling nasional. Dalam pidato kemenangannya yang disampaikan di depan ratusan ribu pendukungnya di Taman Grant di Chicago, Obama menyatakan bahwa “perubahan telah tiba di Amerika.” Lahir di Hawaii, Obama akan menjadi Presiden AS pertama yang lahir di luar Daratan Amerika Serikat.

Catatan lain tentang Obama bahwa ia menjalin komunikasi dan keakraban dengan semua familinya. Waktu kecil Obama bermain ditepi pantai bersama kakeknya, StanleyArmour Dunham. Kerika tinggal di Indonesia, seperti yang ia singgung “keluarga kami tidak berkecukupan pada tahun-tahun awal itu, karena angkata bersenjata Indonesia tidak membayar para letnannya dengan gaji besar. Kami tinggal di sebuah rumah sederhana, di pinggiran kota, tanpa pendingin udara, kulkas atau toilet siram. Kami tidak punya mobil. Ayah tiri saya mengendarai sepeda motor, sementara ibu saya naik bus umum setiap pagi ke kedutaan AS, tempatnya bekerja sebagai guru bahasa Inggris.” Obama bergaul dengan anak-anak tetangga seperti biasa. Justru ia cepat sekali populer, lantaran bentuk fisiknya yang lain dari anak kebanyakan. “Mainnya sama anak-anak kampung di sini seperti biasa. Yang saya ingat, dia biasa bermain gundu dan sepak bola,”

Para remaja (pelajar dan mahasiswa) di Indonesia sekarang perlu bercermin dari pengalam hebat Barrack Obama. Mereka perlu membaca biografinya dan memahami gaya belajarnya hingga bisa bersinar terang. Sebagian mahasiswa kita juga ada yang melakukan pengalaman belajar yang hebat: punya pengalaman hidup yang bervariasi, belajar serius dan aktif berorganisasi. Namun jumlah mahasiswa yang begini tidak banyak. Yang ramai populasinya adalah mahasiswa dan pelajar yang santai, letoi, kuliah jauh-jauh dari rumah tanpa aktif menimba pengalaman.

Mereka pergi kuliah sebagai pendengar ceramah dosen yang pasif. Pulang kuliah duduk duduk/ kongkow atau pergi pulang untuk menyelesaikan gunjingan, main kartu sambil menghisap rokok, atau menghabiskan waktu hanya dengan menggoda lawan jenis ala anak SMA. Waktu-waktu senggang mereka isi dengan mai handphone, main facebook, pergi mejeng ke mall/ hypermarket dan jarang sekali mereka melakukan debat serius/ debat formal. Sampai akhirnya mereka bingung dalam menyeleaikan skripsi atau Tugas Akhir. Kelak bila selesai kuliah dan wisuda tiba tiba menjadi bingung hendak mau bekerja dimana. Fenomena mereka sangat kontra dengan gaya belajar Barrack Obama dan para pemuda/ mahasiswa di seberang sana (ngara maju).

Barrack Obama bisa berhasil bukan karena factor kebetulan, atau factor keberuntungan. Jauh-jauh hari sejak kecil ia telah memiliki pengalaman hidup yang bervariasi- telah melakukan perjalan antar Negara, Amerika dan Indonesia. (Remaja kita seharusnya jangan banyak mengurung diri dalam rumah, tetapi juga harus banyak melakukan penjelajahan). Ia melakukan interaksi dengan banyak manusia secara aktif/ secara langsung. Orang tuanya memberi kebebasan untuk melakukan banyak pengalaman positif bersama teman budaya. Ia adalah juga pelajar yang aktif dalam mengikuti berbagai kegiatan keagamaan, seni dan olah raga. Liburan kuliah/ sekolah digunakan untuk mencari pengalaman kerja dan mobilitas sosialnya sangat tinggi.

Obama juga peka dengan masalah kemanusiaan dan opininya sering ditulis, disampaikan dalam ceramah yang ia lakukan. Ia juga senang melakukan debat untuk menguji kemampuan logikanya. Ia juga mengasah kemampuan menulis- ia menulis memoir dan bekerja di penerbitan majalah. Ia juga jeli membaca peluang kerja dan bergabung dengan assosiasi dan bekerja dengan professional. Kemapuan berbicara, berdebat dan berpidatonya dan ditambah dengan pengalaman bergaulnya yang sangat luas membuatnya menjadi figure simpatik bagi kalangan orang berkulit berwarna di Amerika Serikat. Karakternya tidak kaku dan wawasannya luas.

Hal di ataslah yang mengantarkannya bisa menjadi senator dan selanjutnya menjadi President of USA yang ke 44 yang berasal dari warga kulit hitam dan yang berasal dari luar daratan Amerika, yaitu Hawaii. Sekali lagi bahwa terpilihnya Barrack Obama menjadi presiden termuda dan berkulit hitam telah mengilhami (member inspirasi) banyak orang terutama para kaum muda/ remaja di tiga benua yaitu Africa (Dimana ayahnya bearsal dari Kenya), Asia atau Indonesia (tempat masa kecilnya bersama ibu dan bapak tirinya), dan Amerika sebagaimana ia menjadi inspirtor bagi orang amerika non kulit putih. Kini pungutlah pengalaman hebat Barrack Obama untuk menggapai mimpi di masa depan.

Jumat, 26 Maret 2010

Bila Siswa Sekolah Dasar Kecanduan Game on line

Bila Siswa Sekolah Dasar Kecanduan Game on line
OLeh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar


Apa yang terlintas dalam fikiran siswa Sekolah Dasar di zaman dulu bila lonceng pulang segera berdering, misal tahun 197O-an dan 1980-an, tentu saja mereka ingin segera pulang agar bisa menyantap nasi dengan lauk pauk, goreng tempe, goreng terong dan sepotong goreng ayam (seperti dideskripsikan dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia saat itu) kemudian melakukan petualangan, bersepeda-sepeda, main layang-layang, memanjat pohon manggis, membantu orang tua menggembalakan ternak sampai kepada memancing belut dan berburu burung pipit di sawah dengan catapel. Siswa SD yang berorientasi ingin maju mungkin ingin masuk les bahasa Inggris, les mengetik, sampai kepada les elektronika.

Kata sebahagian orang bahwa sikap anak anak sekitar 20 atau 30 tahun silam menghadapi sekolah penuh dengan tanggung jawab. Mereka takut dan malu bila ternyata memperoleh nilai merah dalam rapor, mengikuti ujian dalam keadaan tidak siap dan tidak naik kelas. “Itu kan dulu, dimana motivasi instrinsik- motivasi yang berasal dari dalam diri- sangat tinggi”. Bagaimana kenyataanya dengan anak zaman sekarang ?

Cukup aneh dan bisa membuat kita kaget. Bahwa sebahagian anak anak sekarang ada yang masa bodoh dan kurang peduli dengan urusan sekolah. Mereka kurang peduli dengan PR, kurang peduli apakah guru mau memberi mau ujian atau tidak, apakah mau remedial atau mau tinggal kelas. Yang merasa lebih peduli dan jantungnya bisa copot adalah orang tua mereka sendiri. “sekarang tampaknya yang bersekolah itu adalah orang tua, sementara sang anak cuek cuek saja”, demikian komentar salah seorang orang tua siswa.

Apa yang terlintas dalam fikiran siswa Sekolah Dasar sekarang (dan juga dalam fikiran siswa SMP dan SLTA) bila mendengar bel tanda waktu pulang ?Belum tentu mereka membayangkan untuk buru buru menemui ayah ibu, ingin menyantap hidangan makan siang yang lezat, ingin sholat zuhur, ingin membuat PR, atau ingin untuk segera bertualang hingga main bola sepuas puasnya. Namun yang terlintas dalam fikiran mereka adalah bagaimana agar bisa segera memperoleh tempat duduk didepat komputer pada cafenet atau warung net. Membayangkan betapa asyiknya bisa main game on line.

Ada dua permainan game on line yang popular diantara permainan lain yaitu permainan empire dan poker. “Permainan empire adalah permainan koloniaL, ada yang menjajah dan ada yang terjajah. Pemain sendiri berperan sebagai penjajah yang menyerbu negeri orang dengan menunggang kuda. Permainan ini membuat kita punya strategi dan lebih agresif. Kalau permainan poker adalah semacam permainan berjudi, pakai kartu dan ada taruhannya, walau tidak memakai uang yang sebenarnya. Pemain bisa jadi emosional dan marah marah. Kalau ada orang dalam box internet berkata jorok, marah marah, pasti mereka sedang main game on line yang bernama poker”, kata Muhammad Fachrul Anshar (12 tahun ) menjelaskan. Pemilik cafenet dan warnet yang peduli tentu sangat tepat bila memberi peringatan agar pengguna internet tidak membuka situs porno dan berkata jorok dan kasar.

Permainan game on line memang sangat mengasyikan, ditambah lagi karena pemilik warnet juga memanjakan pengunjung cilik dengan fasilitas box yang sejuk, tempat duduk nyaman dan headphone yang bagus serta harga agak yang miring. Sekarang internet sudah menjadi industry ICT milik rumah tangga, apalagi dengan modal cuma pulsa telpon namun bisa meraup uang jajan siswa sampai mereka tekor atau deficit. Memang dalam pengamatan bahwa banyak siswa SD sampai siswa yang lebih besar menjadi pencandu internet- game on line- lebih betah berada dalam box net selama berjam-jam, menahan lapar, enggan untuk pulang, menahan panggilan orang tua sampai uang jajan dan kalau perlu uang sekolah mereka dihamburkan di sana.

Inilah yang menjadi keluhan banyak orang tua terhadap prilaku anak mereka yang timbul akibat menjamurnya industry internet- ada internet yang diberi izin sampai kepada internet liar. Dahulu orang tua protes dan mengutuk usaha hiburan yang bernama play station. Karena perhatian anak anak banyak terfokus hanya untuk datang ke play station dan enggan untuk belajar di dalam kelas. Sering siswa membolos dan lari ke play station. Sejak saat itu play station liar dan play station pengganggu telah menjadi musuh guru, orang tua dan musuh siswa dalam belajar, karena ia mampu menghancurkan minat dan motivasi belajar mereka.

Tentu saja banyak orang tua berharap agar play station penganggu segera lenyap. Kini play station mungkin sudah agak lenyap atau kurang diminati karena suasananya terlalu hiruk pikuk. Namun timbul lagi gangguan belajar yang lebih dahsyat bagi siswa yang tidak bisa mengontrol diri yaitu game on line. Sekali lagi bahwa game on line bisa membuat pengguna internet – para siswa- tergila gila, terbius hingga lupa diri untuk pulang.

Industry internet yang menjamur di suatu kota/ desa atau nagari mampu menyedot banyak pelajar. Orang tua yang anak mereka masih belajar di SD atau SMP sering cemas. “wah anak ku selalu lambat pulang, aku cemas kalau ia tertabrak motor, atau memperoleh gangguan dari orang yang jahat”. Orang tua yang selalu menunggu dengan harap harap cemas, namun sang anak tenang tenang saja dalam box internet.

Benar bahwa tumbuhnya industry internet yang dikelola oleh bisnis rumah tangga atau bisnis hiburan kecil kecilan telah membuat prilaku baru bagi generasi junior ini. Mereka tidak lagi gagap teknologi, mereka telah mampu mengotak atik key board computer dan kaya dengan pengalaman dalam dunia maya. Namun mereka menjadi lebih agresif, kurang sabaran di rumah. Karena game on line juga mendorong mereka untuk agresif. Mereka juga menjadi kurang gerak dan kurang berkeringat, adakalanya mereka terbiasa senang menahan lapar, menahan kencing (maaf). Kalau ini terbiasa dipastikan mereka akan kronis untuk sakit lambung, sakit usus dan sakit ginjal kelak.

Kalau semua siswa di Indonesia sudah pada kecanduan dengan game on line sampai berjam-jam, kurang gerak dan kurang keringatan, maka diduga bahwa akan tidak ada bangsa Indonesia lagi yang mampu memenangkan kejuaraan olah raga di tingkat Asean, Asia apalagi tingkat dunia. Negara luas tetapi kualitas tenaga manusianya “letoi tidak berdaya”. Juga bila banyak siswa yang cuma jadi kerajingan dengan game tetapi pemalas dalam bergerak dan berkarya, maka kelak bila telah dewasa mereka akan menjadi orang dewasa yang juga pemalas dan jadi beban hidup bagi orang lain “yang cuma cerdas otak, pintar berangan angan tetapi malas dalam melakukan action. Kecanduan game on line pada sebagian siswa membuat mereka punya karakter baru. Yaitu karakter boros, pemalas dan sampa kepada karakter suka mencuri uang teman atau uang orang tua.

Rasanya anak laki-laki penulis yang sekolah di SD sudah menjadi anak yang baik, karena santun, taat, patuh, suka belajar dan suka membantu. Namun akhir akhir ini sering telat sampai berjam-jam pulang ke rumah. Tentu saja ibunya jadi cerewet dan rewel. Kadang- kadang ia juga suka bertengkar dengan adiknya gara gara uang dalam celengannya dicongkel. Atau ibunya separoh menuduh karena dompetnya sering berantakan. Sampai suatu hari ia jadi malu tertangkap tangan menghela uang yang cuma dua ribuan. Tapi itu kan karakter mencuri. “Apakah ayah mengajar mu untuk mencuri uang ?” Bisik penulis padanya agar ia tidak merasa dipermalukan.

Penyebab prilaku mencurinya adalah karena ia merasa uang jajannya tidak cukup karena ternyata setiap hari menjadi pelanggan game on line. Karena uangnya habis di internet ia pun sering pulang jalan kaki sejauh 4 km “Oke, ayah tambah uang jajan kamu dan kamu hanya boleh pergi ke internet hanya untuk satu jam. Sisakan uang untuk ditabung. Bila melanggar aturan kamu dihukum dan mencangkul rumput depan rumah selama satu jam !”. Sangat bijaksana bila orang tua selalu berbahasa santun pada anak dan menjauhkan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Namun bagaimana nasib anak lain yang sama karakternya, namun orang tua mereka suka melakukan KDRT?

Internet dan game on line punya manfaat positif, seperti diungkapkan di atas. Anak jadi cerdas, kaya dengan kosa kata, tangkas, wawasan luas dan tidak gagap teknologi. Namun efek negatif akibat ketidak mampuan mereka dalam mengendalikan diri, maka mereka menjadi “addicted” atau ketagihan, lupa pulang, malas belajar hingga bermasalah dengan orang tua dan guru di sekolah. Solusinya adalah agar ada pengaturan. Sudah saatnya ada penertiban internet liar, walau telah menjadi industry rumah tangga, karena sudah menyangkut kenyamana anak anak secara umum. Guru di sekolah mungkin juga harus menyediakan internet di pustaka tetapi tidak untuk game melulu (namun dalam kenyataan bahwa banyak kodisi SD yang sangat parah- dinding kelas jorok dan bangku reot). Orang tua juga perlu bijaksana dalam memahami dan memberi anak tanggung jawab dan perhatian. Yang lebih penting lagi agar para penguasa public (pemerintah) mulai dari ketua RT, ketua pemuda, kepala Desa, Wali nagari, sampa kepada pemberi izin warnet (legislatiif, eksekutif dan yudikatif) juga perlu mengatur kepemilikan warnet terhadap siswa SD dan SMP yang tidak mungkin mampu mengendalikan diri dan emosi mereka.

Selasa, 29 Desember 2009

Merajut Pendidikan Berkualitas

Merajut Pendidikan Berkualitas
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

Kosa kata “Gap” yang berarti celah atau ketimpangan telah menjadi gangguan hubungan antar individu. Contohnya ada kata gap-communication atau gap- social , kita mengenalnya sebagai ketimpangan hubungan antara golongan yang kaya dengan golongan yang miskin, yang terdidik dan yang tidak terdidik. Kemudian ketimpangan antara orang yang berada di kota dengan orang yang berada di pedesaan.

Ketimpangan atau gap untuk pendidikan di negeri ini adalah dalam bentuk hubungan antara out put sekolah dengan kualifikasi tenaga kerja. Kualitas pendidikan di desa dengan yang di kota, kualitas pendidikan penduduk kaya dengan kualitas penduduk miskin, serta kualitas pendidikan di pulau Jawa dengan kualitas pendidikan di luar Jawa. Gap social tidak perlu kita lestarikan namun harus dicari solusinya.

Banyak orang sependapat bahwa pendidikan bisa menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi ketimpangan yang ada diantara kita. Dewasa ini banyak masyarakat yang telah menyadari akan pentingnya arti membangun diri dan melengkapi diri dengan pendidikan. Dengan cara demikian maka pendidikan bisa menjadi engine of growth- sebagai penggerak dan lokomotif bagi pembangunan diri dan pembangunan bangsa ini.

Idealnya pendidikan yang kita peroleh harus mampu untuk mendorong semangat invention (penemuah hal-hal baru) dan semangat innovasi (melakukan perubahan yang positif). Namun pendidikan yang bagaimana ? Tentu saja pendidikan yang memberikan kreatifitas, kebebasan dan rasa aman dengan menyediakan banyak sarana/ fasilitas- melakukan identifikasi dan eksplorasi atau penjelajahan terhadap peserta didik (siswa-siswi).

Paradigm pendidikan sekarang ini musti memberi penekanan pada proses learning (belajar) daripada teaching (mengajar) dan murid yang mandiri dalam belajar. Pendidikan yang berfokus pada learning (belajar) tentu bisa membuat anak didik lebih kreatif, apalagi bila mereka dikondisikan untuk melakukan eksplorasi yang banyak. Sementara peran guru sebagai fasilitator musti mampu memberi rasa aman dan kebebasan- tanpa banyak mendikte, mencela dan terlalu mengontrol mereka.

Karena dinamika pendidikan maka sekarang telah ada sekolah yang memberikan pelayanan berkualitas dalam mendidik: memberikan rasa aman dan kebebasan bagi anak didik mereka. Praktek ini tentu saja memuat murid semakin kreatif dan senang melakukan educational exploration. Namun bagi sebahagian sekolah yang lain adakalanya hal ini belum terwujud. Dari pengalaman di lapangan coba lihat tentang prilaku dan tujuan belajar sebahagian siswa-siswinya. Adalah fenomena bahwa banyak mereka yang tujuannya bersekolah adalah untuk memperoleh ijazah, sehingga proses belajar cenderung mereka abaikan karena ijazah lebih penting daripada learning. Ini bearti kerusakan mental bagi mereka. Untuk mencegah banyaknya anak didik yang bermental demikian, belajar hanya demi berharap selembar ijazah, maka diperlukan peran guru, peran sekolah dan peran rumah yang solid. Ini berarti bahwa guru musti berkualitas, kemudian sekolah dan rumah punya kultur dalam mendidik.

Anak yang bagus prestasi belajarnya adalah anak yang berasal dari rumah yang memelihara kultur belajar, maka sebagai konsekuensinya bahwa orang tua perlu membimbing anak. Mereka harus punya kegiatan yang terstruktur di rumah- anak tahu kapan waktu untuk belajar, bermain, dan membantu orang tua. Kemudian mereka suka berdiskusi dengan orang tua, atau orang tua mengajak mereka berdiskusi. Orang tua juga harus punya informasi tentang belajar anak di sekolah, mengetahui bagaimana plus dan minus belajar anak. Anak yang tidak terlatih dan terbimbing seperti kondisi hal di atas tentu akan gagal. Kegagalan juga bisa disebabkan oleh waktu atau kegiatan yang tidak terstrukur, tidak ada dialog tentang pendidikan di rumah atau orang tua yang masa bodoh tentang belajar anak.

Seberapa pentingkah kultur edukasi di sekolah ? Untuk memajukan pendidikan maka diperlukan peran guru yang punya kemampuan pada mastery learning, critical thinking, decision making dan communication. Kemudian juga diperlukan guru yang mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi untuk menghadapi perubahan kurikulum. Untuk menjadi guru yang cerdas dengan mastery learning, maka kita perlu pembisaaaan otodidak- membisaakan diri dengan konsep long life education. Untuk menjadi kritis maka guru perlu berkomunikasi dan membuka diri.

Kadangkala sekolah bisa ibarat sebuah department store (took serba ada) yang menyuguhkan barang dagangannya dalam bentuk variasi mata pelajaran- matematika, KWN, olah raga, agama, bahasa, dan lain-lain. Semua mata pelajaran tersebut dapat dikelompokan kedalam mata peajaran numerasi dan mata pelajaran literasi. Numerasi berarti mata pelajaran yang berkaitan dengan angka-angka , sementara literasi adalah mata pelajaran yang berhubungan dengan literatur atau bahasa. Memang bahwa pendidikan lama berfokus pada kemampuan verbal (bahasa) dan logika (matematik). Namun sekarang, teori pendidikan yang baru, yang fokusnya adalah untuk peengembangkan kemampuan berganda dalam mendidikan anak- multiplied ability dengan penekanan pada pemahaman space, kinestetik, music, intrapersonal, interpersonal, alam, logika dan verbal.

Adalah lazim kalau dahulu orang tua menuntut agar jago dengan pelajaran berhitung (matematika) dan menganggap anak sebagai siswa pemalas kalau ternyata lebih suka dengan bola dan kegiatan olah raga. Padahal lewat kegiatan olah raga tersebut sang anak bisa menjadi olahragawan handal, seperti Diego Maradona, Ronaldo, dan lain-lain. Atau sang orang tua mencela anak yang kerjanya menyanyi melulu dan memaksanya untuk mengikuti kursus bahasa Inngris, pada hal kemampuan menyanyi itu bisa mengantarkan anak menjadi presenter dan entertainer yang jitu. Maka untunglah bahwa sekarang pendidikan berpihak pada pengembangan kepintaran berganda anak didik.

Selanjutnya bahwa untuk implikasi pendidikan jangka panjang maka kita perlo mendorong anak untuk mengembangkan basic skil, thinking skill dan personal skill. Basic skill meliputi kemampuan berhitung, berbicara, menulis, mendengar dan kemampuan membaca yang tinggi -counting, speaking, writing, listening, dan reading yang tinggi. Sebagai interprestasi bahwa betapa penting bagi setiap orang tua sejak dini mengajak anak agar bermain-main dengan angka, (Upik …kalau di rumah ini ada lima orang, maka berapa jumlah tangan…?), kemudian juga membudayakan acara kebersamaan untuk membaca dan melakukan bincang-bincang keluarga. Demikian pula halnya bagi sekolah agar bisa menyusun agenda ekskul (ekstra-kurikuler), mungkin merancang kegiatan lomba cerdas cermat, lomba debat dan pidato, serta mengaktifkan koran sekolah dan perpustakaan sekolah.

Untuk thinking skill meliputi kreatifitas, problem solving (Pemecahan masalah), dan visualizing (Kemampuan memandang masalah), kemudian personal skill meliputi self management atau mengendalikan diri, tanggung jawab, jujur dan socialibility. Implikasinya adalah bahwa guru dan orang tua harus menghargai bentuk fikiran anak. Mereka harus mendengar ekspressi anak sejak usia dini. Tidak tepat lagi dalam acara kebersamaan ayah dan ibu menganggap anak selalu sebagai anak bawang- kehadiran mereka hanya sebagai pelengkap, suara mereka tidak begitu digubris. Juga sangat tepat bila orang tua dan guru menghargai sosial anak, menghargai nilai pergaulan dan kebersamaan mereka. Disini sangat diharapkan pengembangan emosi- emosional quotient atau kecerdasan bergaul anak.

Tentu saja orang tua dan guru mempunyai peran strategis dalam mengembangkan emosi siswa mereka. Dari gaya kepemimpinan, maka kepemimpinan demokrasi adalah sangat pas dan berkontribusi dalam meningkatkan kehangatan emosi anak. Cara lain untuk meningkatkan EQ (emotional quotient) anak adalah dengan mengkondisikan mereka banyak bergaul. Tentunya pergaulan yang terkontrol (bukan hura-hura dan kongkow-kongkow melulu) dan melakukan aktifitas sosial. Kemudian anak juga perlu melakukan kegiatan dalam bidang olah raga dan kesenian agar bersikap lincah dan energik.
Menjadi siswa yang hebat dalam pandangan pendidikan pada zaman sekarang bukan berarti seorang siswa harus membenamkan kepalanya dalam buku melulu, menghafal rumus-rumus, kalimat per kalimat tanpa melupakan titik dan komanya. Mengajar tidak lagi berarti meringkaskan buku buat anak didik dan mendiktekanya bila sang guru letih dalam mencatatkanya. Selanjutnya dalam proses pembelajaran siswa tidak tepat lagi kalau menjadi penonton dan pendengar melulu.

Namun disinyalir dalam praktek pendidikan masih banyak gaya mengajar si pendidik yang bersifat “CMGA” atau cara mengajar guru aktif dengan gaya murid yang “DDCH” atau duduk, diam, catat dan hafal (Zamroni, 2000:31-32). Seharusnya siswa musti diusahakan dan dikondisikan agar menjadi aktif, karena mereka adalah sebagai pelaku dan pemain dalam pendidikan. Guru sebagai fasilitator dan bukan berarti sebagai sumber ilmu lagi. Sekolah harus sebagai tempat yang menyenangkan dan bukan sebagai tempat yang membosankan. Guru juga musti aktif dan memberikan model dalam kultur edukasi sekolah, anak didik diusahakan berani untuk berbicara- menyampakan gagasan. Motivasi belajar di sekolah tidak tepat lagi sekedar untuk ujian saja, namun musti berfokus pada proses learning.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mencerca dan menjelekan pendidikan negeri sendiri, namun adalah sebagai otokritik. Bahwa sampai detik ini kondisi pendidikan kita apakah di tingkat SLTP, SLTA maupun di tingkat perguruan tinggi masih banyak yang bersifat one way direction, sang dosen paling getol dengan system ceramah. Guru-guru di tingkat SLTP dan SLTA dituntut untuk menggunakan berbagai metode pembelajaran. Sementara mereka (para dosen) terkesan bebas dari tuntutan dan bersikap arogan dalam menerapkan model pembelajaran (perkuliahan)yang bercirikan student-centered. Mereka member kuliah sesuka mereka tanpa ada yang melakukan supervisi. Pendekatan ini di tingkat SD, SLTP dan SLTA tak dapat merangsang murid untuk belajar keras sehingga daya serap jadi rendah.

Dalam praktek edukasi masih ada yang musti diobah, missal tentang gaya pelayanan. Coba lihat gaya kepemimpinan di sekolah, masih ada kepemimpinan kepala sekolah dengan gaya komando, guru yang terlalu dominan dan siswa yang kurang aktif. Fokus sekolah selalu nilai/ NEM dan sedikit agak mengabaikan aspek proses. Maka ini harus diubah menjadi gaya kepala sekolah dengan managemen berbasis sekolah, menghargai kreatifitas guru tidak perlu lagi dominan, karena mereka bukanlah sumber belajar, kecuali hanya sebagai fasilitator dan motivator. Eksistensi NEM dan nilai tidak perlu dibesar-besarkan kalau itu hanya bersifat instan dan rekayasa. Proses pembelajaran atau learning musti dipandang sebagai pokok dari edukasi. Individual learning telah menghasilkan siswa yang berotak, namun yang lebih tepat sekarang adalah cooperative learning yang menghasilkan siswa yang berotak dan berhati, bagus IQ nya dan mantap EQ nya. Untuk menyonsong pendidikan yang berkualitas maka kuncinya adalah tentu kultur edukasi dengan merajut pendidikan yang juga berkualitas. (Marjohan M.Pd, Juga penulis buku School Healing Menyembuhkan Problem Sekolah).
(Catatan: Zamroni (2000). Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing).

Minggu, 20 Desember 2009

Saatnya Guru Sertifikasi Menjadi Learning Manager

Saatnya Guru Sertifikasi Menjadi Learning Manager
Oleh. Marjohan M.Pd
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

Topik tentang pendidikan sangat menarik untuk dibicarakan, karena berbicara tentang bagaimana melakukan perubahan terhadap diri, dari keadaan kurang berkualitas menjadi orang yang sangat berkualitas. Secara umum bahwa peran pendidikan adalah selalu menjadi tanggung jawab orang tua, guru/sekolah, pemerintah, dan individu yang bersangkutan.

Dari sudut pendidikan di rumah, peran orang tua adalah memberikan pembiasaan positif, bagaimana agar anak terbiasa membaca, terbiasa berkata sopan, terbiasa menolong terbiasa beribadah. Untuk hal ini orang tua harus memberikan model (contoh) terlebih dahulu dan juga menyediakan fasilitas belajar dan bermain, karena bermain juga sebagai kebutuhan primer sang anak.

Kalau ada kata ”education atau pendidikan” dan kata ”teaching atau pengajaran”, maka kata edukasi atau pendidikan ditujukan pada orang tua, sebagaimana peran mereka dalam mendidik keluarga. Namun ada juga orang yang mampu memberikan ”education” dan sekaligus memberika “teaching” pada keluarga. Tentu ini bagi mereka yang punya komitmen kuat dan mungkin mungkin orang tua menguasai Bahasa Arab, Bahasa China, Bahasa Inggris, atau menguasai matematik, fisika dan yang lain, atau orang tua sebagai pengajar seni baca A-Qur’an. Pendidikan itu memang bermula dari orang tua, kemudian sebahagian dilimpahkan pada sekolah dan mesjid (TPA atau Taman Baca Alqur’an) untuk pengajaran atau teaching.

Seperti yang telah dikatakan tadi bahwa peran guru adalah pelaksana teaching, yang umumnya bersifat kognitif, meskipun ada juga mata pelajaran yang bersifat afektif atau pembentukan sikap. Namun pembentukan afektif yang sempurna tentu saja di rumah melalui model dari orang tua dan suasana rumah.

Semua guru adalah pelayan publik, khususnya siswa-siswi mereka. Dalam mengajarkan suatu mata pelajaran (misal bahasa, sains atau ilmu sosial) pada siswa, maka guru dapat diibaratkan sebagai ”penjual barang” yang sedang menawarkan barang dagangannya pada pembeli dengan berbagai karakter. ”Ada yang melakukan pendekatan yang bagus, ada yang marah-marah, ada yang rada-rada cuek, ada yang menghardik-hardik”. Tentu saja guru yang bisa memberikan pengajaran dengan metode dan pendekatan yang memuaskan dan menyenangkan akan menjadi guru yang signifikan dalam menceradaskan anak-anak bangsa.

Kalau guru dalam mendidik adalah untuk mencerdaskan dan mencerahkan pemikiran, maka peran orang tua adalah dalam ranah ”afektif” atau sikap. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa peran orang tua dalam membina (mendidik) tingkahlaku anak adalah melalui pemberian contoh (teladan atau model) yang idealnya dijiwai oleh pengalaman beragama. Namun fenomena yang terpantau dalam zaman yang penuh dengan hiruk pikuk tekhnologi ini bahwa banyak orang tua mendidik afektif anak namun kurang memolesinya dengan jiwa agama. ”Di rumah jarang melantunkan bacaan Al-quran, membahas betapa pentingnya menyantuni fakir miskin dan anak yatim, betapa penting berpakaian yang rai dan sopan, betapa penting menjadi orang yang ramah dan suka saling membantu. Kalau demikian tidak perlu heran kalau mereka cenderung melahirkan generasi yang miskin dengan spiritual quotient.

Oleh sebab itu sebelum afektif anak kita menjadi parah maka kita, sebagai orang tua dan guru, musti berubah fokus edukasi dan pengajaran- selalu menyisipkan pesan pesan moral dan nilai agama dalam setiap interaksi kita dengan anak. Agar pengajaran lebih berbekas dalam sanubari anak maka gaya pembelajaran dan pendekatan musti beralih dari teacher centered menjadi, dimana murid-murid aktif dan mandiri.
Kecerdasan yang dihargai dahulu, secara tradisionil, adalah kecerdasan lingustik dan logis atau matematik. ”Kalau anak jago matematik maka itulah yang diangga sebagai anak jagoan di kelas”. Dalam kenyataan hidup bahwa anak yang jago di kelas hanya gara-gara rajin menghafal namun pribadinya super kuper (kurang pergaulan) juga bisa tidak sukses setelah dewasa, ada yang ”pengangguran” karena tidak beruntung untuk bidang akademik, namun setelah banting stir (tambah semangat untuk berjuang) bisa menjadi pengusaha restoran, sukses melalui dunia hobinya.

Ternyata untuk bisa bertahan hidup, mengembangkan diri, seseorang akan rugi besar kalau hanya mengandalkan satu jenis kepintaran. Lebih lanjut bahwa yang diperlukan dalam hidup adalah seseorang yang memiliki kepintaran berganda, yaitu: kecerdasan space (visual), kinestetik, musik, intrapersonal, interpersonal, logika, visual, dan agama atau spiritual. Pelajaran olah raga dan seni, sebagai contoh, sebagai dua jenis mata pelajaran dengan bentuk kecerdasan yang berbeda, yang selama ini dianggap sebagai mata pelajaran kelas dua (rendahan) tenyata berguna untuk membentuk siswa memiliki fisik yang kuat, jiwa demokrasi dan kreatif.

Menjadi cerdas adalah urusan ”fikiran” yang merupakan fungsi dari organ otak, yang salah satu fungsinya adalah untuk berfikir. Banyak orang tidak menyadari bahwa ternyata potensi otak kita sungguh luar biasa untuk mengubah wajah dunia. Tetapi potensi itu sia-sia saja karena kita belum bisa menggunakan dan memanfaatkannya. Karena sebagian besar kita tidak mengerti dan tidak mengetahui cara memotivasi otak tersebut.

Sekali lagi bahwa potensi otak itu sungguh luar biasa, ia ibarat raksasa tidur. Kalau tidak dikembangkan tentu tidak berfungsi. Mengaktifkan potensi otak harus dilakukan sejak dini, sejak bayi, atau sejak dalam kandungan dengan sikap sabar seorang ibu dan gizi yang dimakannya. Info yang perlu kita ketahui bahwa pertumbuhan otak anak usia 4 tahun baru mencapai 50 %, kemudian anak usia 8 tahun mencapai 80 %. Pertumbuhan ini terjadi dengan mengupaya dan mengaktifkan potensi otak lewat pemainan dan pengalaman atau eksplorasi (merangsang semua panca indera anak). Itulah gunanya anak harus masuk play group, TK- yaitu untuk melakuka proses bermain sambil belajar.

Di SD prestasi belajar anak yang pernah sekolah TK lebih baik dari pada yang tidak pernah. Namun kita perlu tahu bahwa yang paling penting untuk kita lakukan adalah pengelolaan emosi anak melalui seni dan gerak- olah raga. Memasukan anak dalamm usia dini ke sekolah bukan bermaksud untuk memaksa mereka untuk mengingat sampai melelahkan otak.

Lihatlah, di TK mereka bermain sambil belajar, bernyanyi dan olah raga. Anak yang cerdas emosinya lebih kreatif, mandiri, inovatif, dapat menolong diri dan dapat menolong orang. Anak murid yang diberi kesempatan untk tampil di depan kelas akan memupuk rsa percaya diri. Usia SD, SLTP dan SLTA adalah usia pembentukan jati diri.

Umumnya orang sepakat mengatakan bahwa memotivasi keja otak adalah urusan pendidikan, atau urusan orang tua, guru, masyarakat, pemerintah dan si pemilik otak itu sendiri. Dalam realita bahwa metode dan suasana pengajaran di sekolah sendiri sedikit memotivasi potenasi otak, itu kalau siswa hanya disiapkan untuk mendengar dan menerima seluruh informasi. Demikian pula halnya bila sebahagian orang tua di rumah ada yang kurang momotivasi otak anak untuk menjadi kreatif dan produktif dalam berfikir. Apalagi kalau sampai ada orang tua yang berotensi mematikan kreatifitas berfikir anak, gara-gara di rumah terbiasa banyak melarang, banyak mengejek, banyak mematikan semangat berjuang mereka.

Cara belajar kuno yang biasa kita terapkan di sekolah selama ini bisa tidak efektif buat mencerdaskan otak anak didik. Untuk menguasai materi di sekolah , kata Paulo Freire (dalam Indra Djati Sidi,2001:27) bila siswa harus menghafal. Pendidikan seperti ini sangat analog dengan kegiatan menabung, atau belajar dengan gaya bank (bank system method) guru sebagai penabung dan murid sebagai celengan. Ini mengakibatkan murid tidak punya keberanian untuk menyampaikan pendapat, tidak kreatif dan tidak mandiri, apalagi untuk menjadi inovatif.

Suasana belajar yang penuh terpaksa berdampak pada hilangnya aktivitas potensi otak. Untuk mengaktifkan otak maka suasana belajar- di rumah, di sekolah, di tempat penitipan anak, dan di learning center- harus menyenangkan. Tentu saja guru harus punya wawasan luas, ceria, hangat dan berfungsi sebagai fasilitator untuk mengajak dan merangsang anak untuk belajar. Kalau demikian halnya sekolah atau guru harus mengubah paradigma dari teaching (mengajar) menjadi learning (belajar). Sekarang timbul pertanyaaan, ”apa sih beda teaching denga learning (?)”.

Learning adalah usaha seseorang dalam membangun pemahaman sendiri terhadap suatu objek atau materi yang sedang dipelajari. Sementara teaching adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa untuk memfokuskan perhatian atau memperoleh perhatian mereka (Mc. Inerney, 1998). Tentu saja makna kata ”learning dan teaching” di atas adalah bisa jadi masih sempit.

Sekolah dan guru sudah, sebagai penyelenggara kegiatang ”teaching and learning” idealnya harus mendapat kepercayaan dari masyarakat untuk mendidik anak mereka. Seharusnya guru- guru, kepala sekolah dan komite sekolah berfikir dan prihatin kalau tiap awal tahun akademik banyak masyarakat kurang melirik sekolah mereka dan mempercayai (mendaftar) anak pada sekolah lain. ”Ada apa gerngan dengan sekolah kita ini, kenapa anak bapak anu atau ibu anu kok tidak melirik sekolah kita ?”. Barangkali ada proses pembelajaran, pelayanan sekolah dan manajemen sekolah yang yang tidak layak dan kurang memuaskan. Maka dengan cara begini berarti sekolah dan guru ikut mempertanggung jawabkan pendidikan tersebut pada masyarakat, dan bukan pada pemerintah saja dalam bentuk laporan demi laporan yang kadang kala penuh dengan polesan.

Lebih lanjut tentang bagaimana arus kebijakan pendidikan sebelumnya di nusantara ini ? Tentu saja arus kebijakan atau arus komando selalu turun dari atas ke bawah. Arus komando atau birokrasi yang sebelumnya terlalu berkarakter sentralis yang panjang. Kebijakan dan keputusan dimulai dari pusat ke propinsi, ke kabupaten, ke sekolah dan ke guru. Dan ini terbukti tidak efektif lagi, sebab sering komando dari atas salah tafsir (karena tidak dimengerti setelah sampai di bawah, atau gara-gara guru kurang kreatif). Syukurlah bahwa rantai komanto atau birokrasi tersebut kini telah diputus menjadi desentralisasi dalam otoda- otonomi daerah. Maka peran pemerintah juga bergeser dari regulator menjadi facilitator. Itulah mengapa pemerintah hanya menetapkan standar minimun untuk kelulusan (sebagai contoh).

Fenomena Otoda dan desentralisasi sangat tepat untuk era sekarang- era globalisasi. Era ini ditandai oleh komputerisasi, efisiensi, transparansi, profesionalime dan kualitas yang tinggi. Untuk itu guru harus kompeten dan berkualitas yang ditandai dengan karakter ”komputerisasi, efisiensi, transparansi, profesionalime, berkualitas”, juga mampu berkomunikasi untuk membentuk anak didik yang matang intelektual, emosional, moral dan spiritual.

Guru zaman sekarang harus menjadi ”Guru profesional”. Apalagi bagi yang sudah mencicipi kue (uang) yang bernama sertifikasi, yang sudah mereka nikmati untuk renovasi rumah, mempermak mobil second, jalan-jalan ke mall, menabung untuk biaya kuliah, untuk bantu famili atau biaya pendidikan anak. Ada kesan bahwa sebahagian guru penerima sertifikasi adalah sebagai ”guru profesional bual-bualan”. Tidak masalah, untuk selanjutnya kalau mereka mau, mereka bisa saja menjadi guru profesional benaran melalui pengembangan diri lewat buku, menulis, internet, seminar, kuliah, dan lain lain. Kalau mengajar atau berbahasa dalam sosial (di rumah dan di sekolah) mereka telah beralih dari gaya berkomunikasi satu arah menjadi komunikasi dua arah.

Kini semakin banyak guru yang kommit dengan kata ”guru profesional”. Guru profesional adalah ciri untuk guru masa depan atau guru pemberi pencerahan untuk pendidikan bangsa ini. Maka sangat tepat kalau kita para guru kini berfungsi sebagai coach (pelatih), counselor dan learning manager.

Tidak perlu dulu mencari teori, namun coba perhatikan bagaimana aktifitas seorang coach di lapangan. Guru dan siswa langsung turun ke lapangan pembelajaran, tidak beraksi sebagai penonton yang kerjanya cuma berteriak, berseru, bersuit-suit, asal memuji dan sampai memaki-maki, namun ikut mengawasi kualitas, langsung memberi contoh dan langsung memberi semangat lagi. Sambil berada di lapangan ia juga memberikan peran counselor.

Bukan bermaksud terlalu memuji sekolah sekolah berkualitas di negara tetangga (Australia) seperti diungkapkan oleh pengalaman teman yang telah melakukan studi banding ke sana. Bahwa guru-guru di sana, bila jam pembelajaran dimulai mereka segera bergerak ibarat seorang pelatih. Berjalan tegap, cepat dan bersemangat. Di leher bergelantungan kunci untuk labor,dan lemari dalam kelas. Karena mereka terbiasa melakukan sesuatu untuk pembelajaran sendirian, tanpa minta tolong, kecuali kalau ada assisten, apalagi minta tolong kepada siswa untuk menjemput itu dan ini yang sengaja ditinggalkan atau tertinggal, atau memasang hal hal kecil yang sangat sepele.

Selama pembelajaran amat jarang guru di sana yang terpaku duduk di depan. Aktifitas yang dilakukan adalah berbicara tentang apa dan bagaimana topic, memberikan model dan meminta respon siswa, kemudian memberi elayanan secara individual tanpa melupakan monitoring secara klasikal. Sekali-sekai sang guru berhenti dekat bangku siswa, sharing fikiran dan menulis sesuatu langsung di atas meja. Karena ternyata meja belajar siswa di sana terbuat dari bahan papan atau bahan yang bisa ditulis dan sekaligus bisa dihapus kembali. Suasana iklim kelas mencerminkan adanya pelayanan prima. Sang guru tentu sangat tahu bahwa mereka digaji oleh Negara untuk melayani dan mendidik dengan prima.

Peran guru masa kini, khusus bagi mereka yang sudah memperoleh pengalaman, traning, informasi apalagi yang sudah menikmati dana sertifikasi (sekali lagi) musti berperan sebagai learning manager. Sebagai pengelola (manager) untuk mencerdaskan siswa maka mereka musti kenal betul dengan siapa siswanya dan apa materi pembelajaran yang terbaik buat mereka. Apakah siswa memang belajar optimal ? Untuk itu mereka selalu memberikan motivasi, melakukan monitor dan evaluasi, kalau ada yang kurang diperbaiki dan kalau meningkat segera diberi reward.

Paling kurang guru yang bertinak sebagai learning manager memahami 4 pilar pendidikan yang dipopulerkan oleh oleh komisi Unesco yaitu setiap orang harus dapat; learning to think- creative thinking, learning to do- problem solving, learning to be- himself/ independent, dan learning to live together. Atau belajar untuk berfikir- yang berarti berfikir kreatif, belajar untuk berbuat yang berarti menyelesaikan masalah, belajar untuk mandiri, dan belajar untuk bisa hidup bersama-sama. Maka guru sebagai learning manager harus tidak mendorong pembelajaran yang membeo atau siswa yang pasif dengan kebiasaan siswa yang cuma sekedar menghafal menghafal sepanjang hari.

(Catatan: 1) Indra Djati Sidi. (2001). Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma Baru. Jakarta: Logos. 2) McInerney, Denis. (1998). Educational Psychology, Constructing Learning, 2nd edition. New York: Prentice Hall) Marjohan M.Pd juga Penulis Buku School Healing Menyembuhkan Problem Sekolah.

Selasa, 15 Desember 2009

Sekolah Unggulan Gaya Amerika Tidak Mengenal Jurusan Primadona


Sekolah Unggulan Gaya Amerika Tidak Mengenal Jurusan Primadona
Oleh:  Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

            Tidak saja Indonesia yang menggunakan sekolah berlabel unggul untuk meningkatkan kualitas pendidikan, Amerika Serikat yang pendidikannya sudah dapat dikategorikan sangat baik juga mempelopori sekolah unggulan. Walau Negara ini tidak menggunakan label yang kentara dengan sebutan “school plus” atau “excellent school”. Walau bagaimana gebrakan Amerika selalu menjadi kiblat bagi negara berkembang, termasuk negara kita yang juga sering mengadopsi program sekolah Amerika.
            Gaya pendidikan atau pembelajaran kita, kadang kala, terasa masih bercorak gaya tempo dulu. Orang tua dan guru masih suka banyak melarang yang tidak jelas manfaatnya. Kebiasaan banyak melarang malah membuat anak menjadi sulit untuk mengambil inisiatif atau prakarsa, miskin inovasi dan kreatifitas. Kalau kita gagap  untuk melakukan prakarsa (inisiatif) dalam suatu aktifitas dan mengambil keputusan, suka menunggu dan senang untuk diatur oleh orang lain, maka ini adalah buah dari hidup dalam rumah dan sekolah yang membudayakan “suka melarang”. Maka kini saatnya perlu perubahan. Dalam pendidikan tidak tepat lagi kalau terlalu banyak melarang dan mengatur, namun memberi kebebasan positif. Bagaimana pembelajaran yang ideal ? Kita bisa mencari contoh dari sekolah yang maju dari dalam negeri atau dari luar negeri, Amerika misalnya. Bukan berarti kita berkarakter ke-Barat-baratan.
Salah satu pusat belajar unggulan di Amerika Serikat, yaitu metropolitan learning center interdistrict magnet school for global and international studies (http://www.mlc.crec.org), yang kebijakan pendidikan membuat sekolah punya magnet/ daya tarik untuk studi global dan internasional.  Stakeholder pendidikan menjanjikan kecerdasan pada siswa untuk menghadapi masa depan yang maju. Prinsip pengajaran yang dianut oleh pusat belajar ini adalah “let them talk, let them lead, let them learn, let them join, let them play, let them live, let them dance/ move, in the break time- let them eat”. Dari semua frase tadi, yang perlu dicatat adalah kata “let” atau “biarkan”. Ini berarti sebuah kata untuk pembebasan dan mendorong mereka untuk menjadi kreatif dan inovatif, serta kontra dengan kemalasan dan suasana yang statis.
            Ciri- ciri keunggulan pertama dalam pembelajaran  di sekolah MLC (Metropolitan Learning Center) yang berlokasi di 1551 Blue Hills Avenue Bloomfield,  adalah kebebasan dalam berekspresi atau let them talk. Di negara- negara berkembang atau di sekolah yang kualitas pendidikannya rendah, kebebasan dalam berekspresi kurang terwujud, malah ekspresi anak didik disana cendrung terbelenggu, kurang tampak saluran untuk mengekspresikannya. Dalam kelas hanya guru yang sibuk berbicara- teacher centered. Dalam event-event sekolah anak didik cuma pintar berekspresi berdasarkan hafalan, dan melupakannya setelah itu.
Kepemimpinan di sekolah unggulan MLC ini bukan bercirikan “one man show” dalam arti hanya monopoli atau otoriter seorang kepala sekolah. Namun kesuksesan kepemimpinan sekolah unggulan ini adalah karena team work antara Kepla Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Eksistensi Staff sekolah, juga eksistensi dari ketua jurusan untuk mata pelajaran . Team work kepemimpinan dan manajemen sekolah selalu memotivasi, memberi model dan menemani warga sekolah/  anak didik untuk merencanakan masa depan. Bukankah hidup ini perlu ambisi atau cita-cita, maka setiap anak didik harus punya ambisi.
Cinta belajar adalah budaya utama di sekolah MLC yang telah membuat sekolah tersebut memiliki daya tarik ibarat magnet atau magnet school. Di sekolah sekolah yang kualitasnya sering dipertanyakan (kualitas rendah) yang menjadi ciri khas atau budaya adalah warga sekolah yang gemar hura hura atau kongkow, duduk bareng bareng dan tertawa terbahak bahak. Saling meledek, saling meremehkan berpotensi membuat orang (anggota mereka sendiri) untuk malas berkembang. Anak didik yang telah membudayakan gemar belajar selalu berfikir dan berusaha bagaimana mereka bisa sukses. Mereka sangat yakin dengan ungkapan bahwa pendidikan dan ilmu pengetahuan  adalah berkah yang bisa datang kalau digapai dan dikejar.”Belajar ketika belajar dan bermainlah ketika bermain”. Siswa di sekolah MLC tampak sangat professional dalam belajar- jadi juga ada “siswa professional”. Begitu waktu untuk belajar datang maka mereka segera serius dan berkosentrasi dan berharap tidak ada yang mengganggu, “Maaf teman saat saya belajar mohon jangan dating dulu”.
Sekolah SMA di negeri kita mengenal ada tiga jurusan yaitu jurusan IPA (sains), jurusan IPS (Ilmu Sosial) dan jurusan Bahasa. Maka entah mengapa orang tua siswa dan siswa sendiri sangat mengagungkan jurusan IPA dan memandang sebelah mata jurusan bahasa, dan jurusan IPS sebagai jurusan kelas dua. Di sekolah MLC (metropolitan learning center) juga ada penjurusan. Ada siswa yang belajar di SMA MLC ini pada core class (Kelas Inti), elective class (kelas elektif) dan essential class (kelas Esensial). Semua jurusan ini terisi oleh anak didik, ini berarti tidak ada primadona kelas atau jurusan fovarite  seperti SMA- SMA yang ada di negeri kita.
Mata pelajaran pokok pada core class adalah matematika, ilmu social, bahasa Inggris, bahasa asing dan sains. Di jurusan atau elective class, siswa mempelajari mata pelajaran “seni, sejarah dunia, geografi manusia, bahasa Spanyol, sastra dan kalkulus, akuntasi, anatomi dan ilmu jaringan, fitness dan ilmu gizi. Sedangkan di kelas essensial, anak didik mempelajari seni, kesejahteraan personal, literature keuangan, musik, latihan sains, bahasa dunia, dan seminar. Setiap siswa memahami bagaimana menjadi orang yang well-rounded (orang berguna) adalah dengan menjadi well-educated (orang yang kaya ilmu dan wawasan).
Mata pelajaran yang diajarkan pada ketiga jurusan tadi ibarat lingkaran yang saling bersinggungan. Mata pelajaran pokok yang ada pada core class juga dipelajari di jurusan lain. Selanjutnya coba kita lihat mata pelajaran dalam  juruan di SMA di negerim kita. Ya,  ibarat tiga linggaran yang hampir tidak bersinggungan. ”Gara gara dilemparkan ke dalam jurusan ilmu sosial, maka ada siswa yang bermohon nilai mata pelajaranya diturunkan saja agar tidak melampaui nilai mata pelajaran sains”  Anak anak yang lulusan dari jurusan IPA, saat kuliah akan melahap semua jurusan yang semestinya disediakan untuk jurusan ilmu sosial atau ilmu bahasa. Penjurusan di SMA telah menciptakan siswa yang berkarakter arrogant, atau arrogant berjamaah- mass arrogant, mereka  sangat membanggakan jurusan IPA dan secara tidak langsung jurusan social dan bahasa menjadi inferior.
Ciri-ciri lain dari sekolah unggulan, atau sekolah yang berkualitas adalah para siswa yang sangat bangga dan menghargai guru-guru mereka. Tentu saja ini terjadi karena guru guru di sana sangat professional, menguasai mata pelajaran dan hangat dalam berkomunikasi. Hubungan guru dan murid di sana bercirikan kekeluargaan. Siswa atau murid dengan leluasa mengekspresikan isi hati dan fikiran pada guru mereka dan tentu saja sang guru akan memberikan respon positif, appresiati atau penghargaan dalam berinteraksi.
Kalau begitu tentu tidak ada disana guru-guru yang kualitasnya bersifat karbitan atau guru-guru yang ilmunya  tua semalam dari siswa. Guru guru disana telah memandang karir guru sebagai profesi serius. Guru guru di sana tidak mengenal budaya minta dilayani, ”tolong hapuskan papan tulis, tolong isikan tinta board maker ini, tolong pasangkan kabel OHP (overheard projektor), tolong ambilkan ambilkan air minum di kantin, apalagi sampaii menyuruh siswa membelikan rokok”.  Guru disana penuh persiapan dan menguasai apa saja yang berhubungan dengan pembelajaran dan mata pelajaran. Mereka tentu malu kalau ternyata tampil di depan siswa sebagai guru yang blo-on.
Selain memperhatikan kompetence, punya wawsan keilmuan, paedagogi, sosial dan komunikasi, mereka juga memperhatikan performance atau penampilan. Pakaian mereka necis dan rapi, kalau begitu guru guru juga perlu well-groomed, berdandan rapi dan baik, tapi tidak perlu seperti model, bintang sinetron atau toko-mas berjalan.
Ciri lain dalam pembelajaran di sekolah yang maju adalah let them teach, yaitu guru- guru yang bebas berinovasi dan berkreasi dalam mengajar. Mereka tak perlu takut bakal disupervisi, karena supervisi disana tidak mencari kesalahan apalagi sampai menggurui dan mendikte. Di sana tidak berlaku istilah juara kelas, yang ada adalah juara mata pelajaran. Bagi siswa yang jago dalam satu mata pelajaran maka guru dan sekolah segera bereaksi untuk memberikan penghagaan dan merayakan kemenangan dan sekaligus memotivasi siwa yang lain agar juga bisa meraih penghargaan.
Budaya kuper atau ”kurang pergaulan” ternyata bukan budaya siswa di sekolah unggulan atau di negara maju. Untuk itu mereka megenal istilah ”let them join” atau ayo bergabung. Mereka mungkin bergabung ke dalam paduan suara, musik, olah raga, teknologi dan kegiatan ekstra sekolah yang lain. Tentu saja ada guru pendamping untuk memberi motivasi dan mendukung spirit mereka.
Experience is the best teacher- pengalaman adalah guru yang terbaik. Sekolah MLC juga menyediakan kegiata eksra seperti kelompok olah raga catur, kelompok pencinta alam, music production, penggunaan ICT, essay writing, basket ball dan football, sewing atau menjahit, kegiatan koran sekolah, kelompok dansa atau tari, pelatihan kepemimpinan. Ternyata jenis ektra sekolah hanya berlaku untuk satu semester dalam setahun. Untuk semester berikutnya ada lagi kegiatan ekskul (ekstra kurikuler) seperti pembahasan atau kritik film, klub bahasa Perancis, kritik film asing, basketball dan softball, musik, drama, tari, belajar bahasa Cina dan Jepang, kepemimpinan, dan pencinta alam.
Ternyata anak anak di negara maju tidak membudayakan menjadi “anak rumahan”, yaitu bila libur mereka hanya di rumah, karena ini berpotensi membat diri kurang kreatif dan pendidikan kecakapan hidup (life skill) kurang optimal.  Saat waktu senggang dari sekolah, mereka tidak kongkow-kongkow, main domino, atau bengong dan bermenung sampai berjam-jam. Mereka akan ikut aktif dalam pengembangan bakat seperti masuk grup seni, klub- olahraga ski atau klub robot, pokoknya ikut beraktifitas. Dalam melakukan aktifitas dan belajar, mereka memperlihatkan keseriusan dan tanggung jawab serta datang tepat waktu.
Hal-hal yang dilakukan siswa di sekolah MLC tiap hari, sebagai komitmen mereka,  adalah mematikan bunyi-bunyian (HP dan MP3) saat belajar, akrab dalam bersahabat, berhenti ngobrol saat belajar, tidak bercanda saat belajar, mendengar pembelajaran dengan sepenuh hati, sign in dan sign out, atau  ada absent masuk dan absent mengakhiri kegiatan, membuat tekat atau pledge “untuk menjadi yang terbaik” dan ikut aktif atau berpatisipasi dalam belajar/ kegiatan.
Kegiatan atau event yang ada di sekolah unggulan adalah bahwa siswa harus peduli pada karir di masa depan. Maka bila ada pekan raya karir, career fair, mereka ikut hadir. Mereka memandang penting untuk bergabung dalam kegiatan kepemimpinan, kegiatan, amal sosial, seni dan olah raga. Hal yang paling mereka tunggu adalah memperoleh pengalaman dari global travel, mengunjungi negara lain seperti, Mesir, Jepang, China, dan negara lain. Tentu saja hal ini terasa sangat mahal dan ekslusif bagi kondisi siswa kita. Namun kita kan juga sudah membudayakan acara jalan-jalan- stydy tour, walau kesannya baru sebatas mengunjungi shopping center dan pusat keramaian.  
Teakhir bahwa yang juga dibudayakan di sekolah unggulan adalah membuat album dan memori. Sungguh para siswa di sekolah yang berbudaya maju menyebut diri sebagai “realtor”, orang yang berfikiran nyata dan bukan selalu menjadi dreamer atau pemimpi. Maka sejak di bangku SMP dan SMA mereka sudah punya rencana, bukan seperti kita yang banyak bingung memandang masa depan, dan ikut terjebak mengidolakan satu karir, dan satu universitas, tanpa memahami dan mengenal potensi diri. Sering banyak ditanya ”Tamat SMA kamu kuliah dimana ? dan kalau udah gede apa yang dapat kamu kerjakan ?”. Maka jawaban yang diperoleh adalah jawaban klasik ”I don’t know”. Kini saatnya siswa kita tidak menjadi dreamer tapi berubah menjadi realtor”.

Sekolah Unggulan Gaya Amerika Tidak Mengenal Jurusan Primadona


Sekolah Unggulan Gaya Amerika Tidak Mengenal Jurusan Primadona
Oleh:  Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

            Tidak saja Indonesia yang menggunakan sekolah berlabel unggul untuk meningkatkan kualitas pendidikan, Amerika Serikat yang pendidikannya sudah dapat dikategorikan sangat baik juga mempelopori sekolah unggulan. Walau Negara ini tidak menggunakan label yang kentara dengan sebutan “school plus” atau “excellent school”. Walau bagaimana gebrakan Amerika selalu menjadi kiblat bagi negara berkembang, termasuk negara kita yang juga sering mengadopsi program sekolah Amerika.
            Gaya pendidikan atau pembelajaran kita, kadang kala, terasa masih bercorak gaya tempo dulu. Orang tua dan guru masih suka banyak melarang yang tidak jelas manfaatnya. Kebiasaan banyak melarang malah membuat anak menjadi sulit untuk mengambil inisiatif atau prakarsa, miskin inovasi dan kreatifitas. Kalau kita gagap  untuk melakukan prakarsa (inisiatif) dalam suatu aktifitas dan mengambil keputusan, suka menunggu dan senang untuk diatur oleh orang lain, maka ini adalah buah dari hidup dalam rumah dan sekolah yang membudayakan “suka melarang”. Maka kini saatnya perlu perubahan. Dalam pendidikan tidak tepat lagi kalau terlalu banyak melarang dan mengatur, namun memberi kebebasan positif. Bagaimana pembelajaran yang ideal ? Kita bisa mencari contoh dari sekolah yang maju dari dalam negeri atau dari luar negeri, Amerika misalnya. Bukan berarti kita berkarakter ke-Barat-baratan.
Salah satu pusat belajar unggulan di Amerika Serikat, yaitu metropolitan learning center interdistrict magnet school for global and international studies (http://www.mlc.crec.org), yang kebijakan pendidikan membuat sekolah punya magnet/ daya tarik untuk studi global dan internasional.  Stakeholder pendidikan menjanjikan kecerdasan pada siswa untuk menghadapi masa depan yang maju. Prinsip pengajaran yang dianut oleh pusat belajar ini adalah “let them talk, let them lead, let them learn, let them join, let them play, let them live, let them dance/ move, in the break time- let them eat”. Dari semua frase tadi, yang perlu dicatat adalah kata “let” atau “biarkan”. Ini berarti sebuah kata untuk pembebasan dan mendorong mereka untuk menjadi kreatif dan inovatif, serta kontra dengan kemalasan dan suasana yang statis.
            Ciri- ciri keunggulan pertama dalam pembelajaran  di sekolah MLC (Metropolitan Learning Center) yang berlokasi di 1551 Blue Hills Avenue Bloomfield,  adalah kebebasan dalam berekspresi atau let them talk. Di negara- negara berkembang atau di sekolah yang kualitas pendidikannya rendah, kebebasan dalam berekspresi kurang terwujud, malah ekspresi anak didik disana cendrung terbelenggu, kurang tampak saluran untuk mengekspresikannya. Dalam kelas hanya guru yang sibuk berbicara- teacher centered. Dalam event-event sekolah anak didik cuma pintar berekspresi berdasarkan hafalan, dan melupakannya setelah itu.
Kepemimpinan di sekolah unggulan MLC ini bukan bercirikan “one man show” dalam arti hanya monopoli atau otoriter seorang kepala sekolah. Namun kesuksesan kepemimpinan sekolah unggulan ini adalah karena team work antara Kepla Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Eksistensi Staff sekolah, juga eksistensi dari ketua jurusan untuk mata pelajaran . Team work kepemimpinan dan manajemen sekolah selalu memotivasi, memberi model dan menemani warga sekolah/  anak didik untuk merencanakan masa depan. Bukankah hidup ini perlu ambisi atau cita-cita, maka setiap anak didik harus punya ambisi.
Cinta belajar adalah budaya utama di sekolah MLC yang telah membuat sekolah tersebut memiliki daya tarik ibarat magnet atau magnet school. Di sekolah sekolah yang kualitasnya sering dipertanyakan (kualitas rendah) yang menjadi ciri khas atau budaya adalah warga sekolah yang gemar hura hura atau kongkow, duduk bareng bareng dan tertawa terbahak bahak. Saling meledek, saling meremehkan berpotensi membuat orang (anggota mereka sendiri) untuk malas berkembang. Anak didik yang telah membudayakan gemar belajar selalu berfikir dan berusaha bagaimana mereka bisa sukses. Mereka sangat yakin dengan ungkapan bahwa pendidikan dan ilmu pengetahuan  adalah berkah yang bisa datang kalau digapai dan dikejar.”Belajar ketika belajar dan bermainlah ketika bermain”. Siswa di sekolah MLC tampak sangat professional dalam belajar- jadi juga ada “siswa professional”. Begitu waktu untuk belajar datang maka mereka segera serius dan berkosentrasi dan berharap tidak ada yang mengganggu, “Maaf teman saat saya belajar mohon jangan dating dulu”.
Sekolah SMA di negeri kita mengenal ada tiga jurusan yaitu jurusan IPA (sains), jurusan IPS (Ilmu Sosial) dan jurusan Bahasa. Maka entah mengapa orang tua siswa dan siswa sendiri sangat mengagungkan jurusan IPA dan memandang sebelah mata jurusan bahasa, dan jurusan IPS sebagai jurusan kelas dua. Di sekolah MLC (metropolitan learning center) juga ada penjurusan. Ada siswa yang belajar di SMA MLC ini pada core class (Kelas Inti), elective class (kelas elektif) dan essential class (kelas Esensial). Semua jurusan ini terisi oleh anak didik, ini berarti tidak ada primadona kelas atau jurusan fovarite  seperti SMA- SMA yang ada di negeri kita.
Mata pelajaran pokok pada core class adalah matematika, ilmu social, bahasa Inggris, bahasa asing dan sains. Di jurusan atau elective class, siswa mempelajari mata pelajaran “seni, sejarah dunia, geografi manusia, bahasa Spanyol, sastra dan kalkulus, akuntasi, anatomi dan ilmu jaringan, fitness dan ilmu gizi. Sedangkan di kelas essensial, anak didik mempelajari seni, kesejahteraan personal, literature keuangan, musik, latihan sains, bahasa dunia, dan seminar. Setiap siswa memahami bagaimana menjadi orang yang well-rounded (orang berguna) adalah dengan menjadi well-educated (orang yang kaya ilmu dan wawasan).
Mata pelajaran yang diajarkan pada ketiga jurusan tadi ibarat lingkaran yang saling bersinggungan. Mata pelajaran pokok yang ada pada core class juga dipelajari di jurusan lain. Selanjutnya coba kita lihat mata pelajaran dalam  juruan di SMA di negerim kita. Ya,  ibarat tiga linggaran yang hampir tidak bersinggungan. ”Gara gara dilemparkan ke dalam jurusan ilmu sosial, maka ada siswa yang bermohon nilai mata pelajaranya diturunkan saja agar tidak melampaui nilai mata pelajaran sains”  Anak anak yang lulusan dari jurusan IPA, saat kuliah akan melahap semua jurusan yang semestinya disediakan untuk jurusan ilmu sosial atau ilmu bahasa. Penjurusan di SMA telah menciptakan siswa yang berkarakter arrogant, atau arrogant berjamaah- mass arrogant, mereka  sangat membanggakan jurusan IPA dan secara tidak langsung jurusan social dan bahasa menjadi inferior.
Ciri-ciri lain dari sekolah unggulan, atau sekolah yang berkualitas adalah para siswa yang sangat bangga dan menghargai guru-guru mereka. Tentu saja ini terjadi karena guru guru di sana sangat professional, menguasai mata pelajaran dan hangat dalam berkomunikasi. Hubungan guru dan murid di sana bercirikan kekeluargaan. Siswa atau murid dengan leluasa mengekspresikan isi hati dan fikiran pada guru mereka dan tentu saja sang guru akan memberikan respon positif, appresiati atau penghargaan dalam berinteraksi.
Kalau begitu tentu tidak ada disana guru-guru yang kualitasnya bersifat karbitan atau guru-guru yang ilmunya  tua semalam dari siswa. Guru guru disana telah memandang karir guru sebagai profesi serius. Guru guru di sana tidak mengenal budaya minta dilayani, ”tolong hapuskan papan tulis, tolong isikan tinta board maker ini, tolong pasangkan kabel OHP (overheard projektor), tolong ambilkan ambilkan air minum di kantin, apalagi sampaii menyuruh siswa membelikan rokok”.  Guru disana penuh persiapan dan menguasai apa saja yang berhubungan dengan pembelajaran dan mata pelajaran. Mereka tentu malu kalau ternyata tampil di depan siswa sebagai guru yang blo-on.
Selain memperhatikan kompetence, punya wawsan keilmuan, paedagogi, sosial dan komunikasi, mereka juga memperhatikan performance atau penampilan. Pakaian mereka necis dan rapi, kalau begitu guru guru juga perlu well-groomed, berdandan rapi dan baik, tapi tidak perlu seperti model, bintang sinetron atau toko-mas berjalan.
Ciri lain dalam pembelajaran di sekolah yang maju adalah let them teach, yaitu guru- guru yang bebas berinovasi dan berkreasi dalam mengajar. Mereka tak perlu takut bakal disupervisi, karena supervisi disana tidak mencari kesalahan apalagi sampai menggurui dan mendikte. Di sana tidak berlaku istilah juara kelas, yang ada adalah juara mata pelajaran. Bagi siswa yang jago dalam satu mata pelajaran maka guru dan sekolah segera bereaksi untuk memberikan penghagaan dan merayakan kemenangan dan sekaligus memotivasi siwa yang lain agar juga bisa meraih penghargaan.
Budaya kuper atau ”kurang pergaulan” ternyata bukan budaya siswa di sekolah unggulan atau di negara maju. Untuk itu mereka megenal istilah ”let them join” atau ayo bergabung. Mereka mungkin bergabung ke dalam paduan suara, musik, olah raga, teknologi dan kegiatan ekstra sekolah yang lain. Tentu saja ada guru pendamping untuk memberi motivasi dan mendukung spirit mereka.
Experience is the best teacher- pengalaman adalah guru yang terbaik. Sekolah MLC juga menyediakan kegiata eksra seperti kelompok olah raga catur, kelompok pencinta alam, music production, penggunaan ICT, essay writing, basket ball dan football, sewing atau menjahit, kegiatan koran sekolah, kelompok dansa atau tari, pelatihan kepemimpinan. Ternyata jenis ektra sekolah hanya berlaku untuk satu semester dalam setahun. Untuk semester berikutnya ada lagi kegiatan ekskul (ekstra kurikuler) seperti pembahasan atau kritik film, klub bahasa Perancis, kritik film asing, basketball dan softball, musik, drama, tari, belajar bahasa Cina dan Jepang, kepemimpinan, dan pencinta alam.
Ternyata anak anak di negara maju tidak membudayakan menjadi “anak rumahan”, yaitu bila libur mereka hanya di rumah, karena ini berpotensi membat diri kurang kreatif dan pendidikan kecakapan hidup (life skill) kurang optimal.  Saat waktu senggang dari sekolah, mereka tidak kongkow-kongkow, main domino, atau bengong dan bermenung sampai berjam-jam. Mereka akan ikut aktif dalam pengembangan bakat seperti masuk grup seni, klub- olahraga ski atau klub robot, pokoknya ikut beraktifitas. Dalam melakukan aktifitas dan belajar, mereka memperlihatkan keseriusan dan tanggung jawab serta datang tepat waktu.
Hal-hal yang dilakukan siswa di sekolah MLC tiap hari, sebagai komitmen mereka,  adalah mematikan bunyi-bunyian (HP dan MP3) saat belajar, akrab dalam bersahabat, berhenti ngobrol saat belajar, tidak bercanda saat belajar, mendengar pembelajaran dengan sepenuh hati, sign in dan sign out, atau  ada absent masuk dan absent mengakhiri kegiatan, membuat tekat atau pledge “untuk menjadi yang terbaik” dan ikut aktif atau berpatisipasi dalam belajar/ kegiatan.
Kegiatan atau event yang ada di sekolah unggulan adalah bahwa siswa harus peduli pada karir di masa depan. Maka bila ada pekan raya karir, career fair, mereka ikut hadir. Mereka memandang penting untuk bergabung dalam kegiatan kepemimpinan, kegiatan, amal sosial, seni dan olah raga. Hal yang paling mereka tunggu adalah memperoleh pengalaman dari global travel, mengunjungi negara lain seperti, Mesir, Jepang, China, dan negara lain. Tentu saja hal ini terasa sangat mahal dan ekslusif bagi kondisi siswa kita. Namun kita kan juga sudah membudayakan acara jalan-jalan- stydy tour, walau kesannya baru sebatas mengunjungi shopping center dan pusat keramaian.  
Teakhir bahwa yang juga dibudayakan di sekolah unggulan adalah membuat album dan memori. Sungguh para siswa di sekolah yang berbudaya maju menyebut diri sebagai “realtor”, orang yang berfikiran nyata dan bukan selalu menjadi dreamer atau pemimpi. Maka sejak di bangku SMP dan SMA mereka sudah punya rencana, bukan seperti kita yang banyak bingung memandang masa depan, dan ikut terjebak mengidolakan satu karir, dan satu universitas, tanpa memahami dan mengenal potensi diri. Sering banyak ditanya ”Tamat SMA kamu kuliah dimana ? dan kalau udah gede apa yang dapat kamu kerjakan ?”. Maka jawaban yang diperoleh adalah jawaban klasik ”I don’t know”. Kini saatnya siswa kita tidak menjadi dreamer tapi berubah menjadi realtor”.

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...