Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan

Minggu, 03 Oktober 2010

Mungkin Kita Sudah Menjadi Bangsa Pemarah

Mungkin Kita Sudah Menjadi Bangsa Pemarah
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar


Agaknya media massa di negara kita, terutama Televisi, telah mengadopsi gaya pemberitaan Barat bahwa “good news is the bad news”. Berita yang baik adalah berita yang mengabarkan tentang hal-hal yang buruk. Berita buruk yang kerap menjadi berita menarik untuk ditayangkan oleh media televisi adalah seputar kerusuhan supporter pemain bola yang membela tim idolanya, kerusuhan penonton konser music gara-gara bersenggolan saat saling bergoyang, tawuran antara pelajar gara-gara masalah sepele, kerusuhan antar warga kampung, malah juga kerusuhan antara orang cerdas yang duduk dalam lembaga negara.

Gambaran di atas, dan juga fenomena yang diperoleh dari dari tayangan televisi, terkesan bahwa bangsa kita sudah menjadi bangsa yang suka kerusuhan, kemarahan, dan tawuran, “Isi beritanya banyak yang seram-seram: criminal, perampokan, perekelahian dan tawuran”. Sementara itu banyak cerita-cerita dan pernyataan yang datang dari luar mengilustrasikan bahwa bangasa Indonesia adalah bangsa yang ramah tamah. Sekarang mana yang benar, apakah kita masih bangsa yang ramah tamah atau memang menjadi bangsa yang suka melakukan tawuran dan suka marah ?

Wilayah georafi Indonesia memang sangat luas dan penduduknya juga sangat banyak. Kemudian kedua bentuk karakter ini- karakter pemarah dan ramah tamah- memang selalu ada. Suasana ramah tamahan masih terasa kental bila kita berada di daerah atau di pelosok. Begitu juga di perkotaan bagi warga yang masih menjungjung tinggi nilai sopan santun dan ramah tamah. Berita yang ditayangkan oleh televisi , tentang kerusuhan dalam konser musik dan sepak nola, tawuran antara dua kubu preman, tawuran antar pelajar sampai kepada perbedaan pendapat orang orang cerdas yang lepas kendali yang berada dalam instansi negara juga sudah menjadi fenomena.

Kita sekarang sedang berada di atas dunia dan bukan berada dalam soraga. Berada di dunia berarti bahwa kita akan tetap mendengar “bad news sebagai good news”. Sejak dulu tentang “bad news” seperti peperangan, perkelahian, kerusuhan, tawuran dan kemarahan memang selalu ada. Bad news yang menjadi good news sebagai versi berita media masa sekarang boleh saja ada. Namun kalau boleh frekuensi dan porsinyanya janganlah terlalu gede sebagaimana ada sekarang ini.

Dalam realita bahwa bisa jadi porsi karakter kemarahan kita makin bertambah. Coba simak tentang berita TV dan surat kabar, yang mana porsi berita kriminal- pembantaian, perampokan, penipuan, korupsi dan kekerasan- juga semakin meningkat. Kalau ini semua adalah gambaran superficial- gambaran permukaan- maka bagaimana keadaan bagian dalamnya ? Gambaran superficial bisa jadi berasal dari masalah dan karakter yang juga tumbuh di dalam kepribadian bangsa ini. Patut kita pertanyakan sekarang bahwa, apakah keramah tamahan bisa menjadi barang yang langka kelak di negara ini ? Apakah kemarahan, kekerasan dan tawuran akan menjadi karakter kita, sebagai penggantinya ?

Pasca masa balita, seorang anak akan memasuki masa bersekolah dan dimulai dengan belajar di bangku SD, terus ke bangku SMP dan SLTA (SMA, MA dan SMK). Memasuki usia belajar berarti mereka harus mampu memahami konsep mata pelajran. Apakah mereka masih merasakan indahnya belajar bersama guru TK dan PAUD- penuh pujian dan dukungan motivasi ketika di SD, SMP dan SLTA ?. Bisa jadi “ya” dan bisa pula “tidak” dan mereka merasakan pembelajaran di sekolah ibarat berada dalam pusat rehabilitasi jiwa dan penjara. Ini bisa terjadi bisa sang pendidik (guru) lebih banyak memberikan porsi kemarahan dan kejengkelan.

“Wah kamu sulit sekali mengerti dengan konsep yang saya ajarkan, kesabaran saya jadi habis ?”.Kalimat begini bisa jadi pemandangan umum bagi kita. Namun perlu dipertanyakan bahwa apakah banyak guru yang lebih mengutamakan pencapaian tujuan kurikulum walau siswa mengerti / tidak mengerti dan segera memaksakan kehendak agar mereka bisa tenang dan mengikuti pembelajaran dengan tatapan mata yang kosong atau memprioritaskan pencapaian belajar siswa. Pembelajaran yang hanya sekedar mengejar target kurikulum, memaksa siswa untuk patuh , tidak boleh banyak bergerak dan saling mengganggu, “lipat tangan dan duduk yang manis” sungguh membelenggu kreatifitas anak. Metode enteng ini memang membuat anak patuh dan tenang, namun serba pasif dan juga agresif. Suasana yang penuh menekan berpotensi menciptakan anak jadi agresif dan menjadi pemarah kelak.

Kehidupan sosial dalam dunia anak-anak kerap sering bercorak kehidupan ala rimba, “yang kuat itulah yang akan menjadi pemenang, yang kuat akan menguasai yang lemah”. Tidak percaya ? Mari perhatikan suasana bermain anak-anak. Mereka yang bertubuh kuat dan berbadan gede merasa jagoan, mereka bergerak leluasa sambil menyenggol dan mendorong teman-teman yang bertubuh kecil dan bertubuh lemah, sehingga satu- dua anak sengaja menghindar karena ketakutan. Akhirnya mereka yang berotot kuat dan bertubuh gede menjadi jago, disegani dan ditakuti. Fenomena seperti ini perlu mendapat pehatian dari orang dewasa- guru dan orang tua. Sebab ini adalah cikal bakal dari karakter premanisme di dunia anak-anak..

Kekerasan mudah terbentuk di bangku SD dan SLTP (SMP dan tsanawiyah). Fenoma prilaku bullying (menggertak dan menakuti teman) ada di sekolah ini. Anak anak pintar sering memperoleh ancaman dari teman yang bertubuh gede dan otot kuat (namun pemalas dan bodoh) agar bisa member bantuan/bocoran selama ujian. Anak baik-baik dan lugu sering menjadi permainan bagi mereka yang merasa jago. “awas kalau kamu tidak kasih saya dalam ujian, kamu akan ku jitak”. Sungguh sekolah yang budaya belajar dan bersosialnya kurang kondusif akan subur dengan karakter gertakan dan ancaman, sehingga anak anak tertentu akan kehilangan rasa aman dalam belajar.

Karakter bullying pada anak anak perlu untuk diatasi, bila tidak mereka berpotensi menjadi trouble maker dalam masyarakat. Di sekolah yang suasana pembelajaran sangat miskin- ekstrakurikuler tidak berjalan dan tidak ada pemodelan dari figure guru (karena guru hanya bersembunyi dalam menara gading/ kantor majelis guru)- akan melahirkan siswa yang gemar keluyuran dan melakukan hal iseng- mengganggu orang lain. Kalau begitu sekolah sekolah yang perpustakaanya terkunci sepanjang masa dan sekolah yang siswanya miskin dengan aktivitas positif perlu untuk mengubah performent sekolah tersebut.

Populasi penduduk Indonesia makin bertambah. Kerumunan orang dalam ruangan (dalam kota , dalam rumah, dalam kantor, dalam gedung) juga makin bertambah. Akibatnya orang akan mudah menjadi stress, apalagi jumlah pengangguran juga meningkat. Tersenggol sedikit bisa membuat orang jadi bentrok, salah omong dan salah lihat orang bisa jadi marah. Dalam hal ini, kemampuan beradaptasi dan bersimpati perlu untuk dimiliki.

Adaptasi adalah kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri, yaitu kemampuannya dalam menerima dan memahami kekurangan temannya. Ia harus memahami apakah sang teman punya karakter “talk active, hyperactive, pembosan, easy going, ceroboh” dan mereka harus bisa saling memahami dan bisa hidup berdampingan. Kemampuan bersimpati juga bisa meningkatkan keharmonisan dalam bergaul. Simpati adalah kemampuan memahami apa yang sedang dirasakan oleh teman/ orang lain, sehingga ia kemudian bisa hidup berdampingan bersama.

Kemampuan bersimpati dan beradaptasi mutlak diperlukan dan dimiliki oleh seseorang. Kemampuan beradaptasi dan bersimpati perlu untuk dimiliki oleh orang dewasa terahadap remaja dan anak, dari pemimpin terhadap bawahan, oleh guru terhadap murid, oleh orang tua terhadap anak dan dari orang yang melayani (aparat pemerintah) terhadap masyarakat (orang yang dilayani), kalau tidak maka mereka- orang dewasa, guru, orang tua, dan stakeholder/ pemilik kekuasaan akan leluasa untuk mengumbar kemarahan- menggunakan kekuasaan mereka sebagai sumber untuk memarahi orang yang berada dalam posisi bawah.

Karakter suka marah juga bisa tumbuh subur dalam suasana yang pengap- sempit, ramai, tidak ada pembagian kerja, tidak ada manajemen rumah tangga dan miskin toleransi. Rumah rumah yang begini cukup banyak, apalagi sejak migrasi ke kota sudah jadi budaya. Umumnya banyak keluarga yang hanya mampu membuat atau mengontrak rumah dengan ruangan kecil dan dihuni oleh anggota keluarga yang cukup ramai. Bagaimana kalau di sana juga tidak ada house management ?.

Rumah tangga yang tumbuh tanpa manajemen akan cenderung jatuh pada kebiasaan “gali lobang tutup lobang”, yang maksudnya adalah meminjam uang untuk menutup hutang sebelumnya. Kemudian rumah tangga yang kurang jelas dalam job description sehingga anggota keluarga yang laki-laki kebingungan dalam mencari kegiatan dan kaum wanita kelebihan beban kerja. Soalnya dalam pola keluarga berciri tradisionil, pekerjaan mencuci, memasak, mengasuh/ mendidik anak dianggap pekerjaan feminin dan pria merasa maskulin merasa jatuh harga dirinya kalau kebetulan ikut serta. Akibatnya maka berlipat gandalah beban kerja kaum wanita- dan akhirnya stress, depresi dan meledak dalam bentuk kemarahan. Ini kemudian akan menjadi bagian dari hidupnya.

Anak yang tubuh bersama ibu yang pemarah dan ayah yang masa bodoh, tentu juga kurang memiliki pribadi yang kurang stabil- mereka juga pemarah, mudah menarik diri dan juga kurang punya pribadi yang stabil karena mereka melihat tokoh di rumah- ayah dan ibu- juga demikian. Dikatakan oleh orang bijak bahwa anak belajar dari kehidupan- anak yang diberi cinta dan kasih sayang akan juga menyayangi, anak yang tumbuh dengan cercaan dan amarah akan menjadi orang yang suka mencerca dan marah-marah.

Terus kalau ditelusuri ke dalam dunia institusi- kantor, PNS, swasta, BUMN, dan usaha lain bahwa adakalanya orang yang menempati posisi atas menunjukan powernya terhadap yang berada dibawah. Power tersebut mereka perlihatkan kadangkala dengan suasana amarah. Itulah fenomena hidup bahwa yang merasa berkuasa leluasa untuk memarahi yang dikuasai, yang merasa kuat leluasa untuk menekan dan memarahi yang lemah. “Kenapa kok menonjolkan kekuasaan dan amarah bisa menjadi fenomena ?, Mengapa tidak kita tidak menonjolkan kompromi dan persuasive, serta mempengaruhi orang lain (partner dan teman). Sekali lagi mari kita pertanyakan bahwa apakah kita memilih menjadi bangsa pemarah ataukah menjadi bangsa yang masih menjunjung tinggi nilai ramah tamah ? Setiap orang tentu akan punya jawaban tersendiri.

Selasa, 28 September 2010

Orang Lintau Juga Bisa Jadi Doktor (Inspirasi dari profil Oki Murasa dan Revalin Herdianto)

                                                  Orang Lintau Juga Bisa Jadi Doktor
                                    (Inspirasi dari profil Oki Murasa dan Revalin Herdianto)
Oki Muraza et Famille
Revalin et Famille

                                                               Oleh: Marjohan, M.Pd
                                                             Guru SMAN 3 Batusangkar


Suatu hari penulis berjumpa dengan seorang teman baru yang diperkirakan bahwa ia adalah lulusan dari Universitas terbaik di Indonesia seperti UI, ITP, UGM, atau Universitas di Pulau Jawa yang sudah dikenal luas. Universitas tersebut pada umumnya terkenal dengan lulusan atau alumni yang cukup cerdas, punya wawasan, punya motivasi dan semangat kompetisi yang tinggi. Penulis bertanya apakah ia juga lulusan dari salah satu perguruan tinggi tersebut. “Saya cuma lulusan Perguruan Tinggi di daerah dan sukses itu ada di mana-mana. Di desa pun orang juga bisa sukses”, jawab teman baru tersebut. Pernyataan tadi telah memberi inspirasi atas judul artikel ini bahwa siswa dari daerah kampung/ desa- seperti daerah Lintau di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat- juga bisa jadi Doktor.

Pengalaman menjadi guru (walau bukan di sekolah perkotaan) di daerah atau desa. Bahwa Kecamatan Lintau Buo- Kabupaten Tanah Datar seputar tahun 1990-an mungkin masih dianggap sebagai daerah yang bersuasana desa atau kampung. Itu karena pada masa itu fasilitas transport masih terbatas. Banyak siswa yang cerdas dan berbakat belum banyak yang terprovokasi untuk memilih sekolah di luar kecamatan- yang mereka anggap unggul atau berkualitas. Ternyata bahwa mereka merasa sangat senang belajar di sekolah daerah ini. Setelah lebih dari lima belas tahun penulis juga mendengar bahwa cukup banyak alumni (siswa yang belajar dari sekolah di daerah ini) yang menjadi orang- memperoleh posisi kerja yang sangat bagus.

Face Book pernah jadi fenomena unik dan sangat membantu. Meski pernah muncul pros and cons bagi santri pesantren- facebook itu dinyatakan haram. Ini tentu tergantung pada cara memandang dan menggunakan kacamata warna apa ? Dalam kenyataan bahwa Facebook malah memberi manfaat positif sebagai jejaring sosial- menemukan teman yang hilang atau yang terputus komunikasi. Lewat Facebook penulis sendiri berjumpa kembali dengan banyak teman lama dan bekas murid di tahun 1990-an. Memang ternyata mereka banyak yang menjadi orang- berhasil dalam karir. Ada dua bekas murid yang paling berkesan dalam memori penulis, nama mereka adalah “Revalin Herdianto dan Oki Murasa”. Dahulu kedua-duanya juga belajar di sekolah desa (Kecamatan Lintau Buo yang saat itu masih terasa seperti kampong yang damai dan terisolir- karena transpor mobil umum terbatas sampai jam 14.00 siang), namun murid murid ku yang istimewa tersebut sekarang mampu meraih gelar Doktor. Profil mereka pun memberi inspirasi atas tulisan ini.

Revalin Herdianto (nama kecilnya adalah DEDI), ia dapat dikatakan sebagai figure yang berhasil dalam menggapai mimpinya dalam bidang akademik. Di awal tahun 1990-an ia hanya belajar di SMAN 1 Lintau, sekolah yang masih bersuasana kampong saat itu. Ia tidak pernah mengikuti bimbel (bimbingan belajar) seperti lazimnya anak-anak sekarang. Ia hanya banyak belajar sendirian dan telah menjadi siswa yang mandiri dalam belajar.

Kelas 2 SMA jurusan fisika, ia pernah sakit campak- dan tidak bisa ujian. Penulis sebagai guru bahasa Inggris berdoa atas kesembuhannya, ia adalah yang super/ cemerlang dalam mata pelajaran bahasa Inggris dan ia berhak memperoleh nilai paling tinggi. Meski ia tidak bisa ikut ujian, nilai angka 90 buatnua sudah penulis serahkan pada wali kelas. meski ia datang ke penulis (guru bhs Inggrisnya) dan ia hanya ikut ujian sebagai formalitas saja.

Penulis menyempatkan waktu untuk berkunjung ke rumahnya dan mengenal sosok ibunya yang sangat mandiri dan penyabar. Penulis punya catatan tentang karakter/ pribadi revalin bahwa aOkigaknya ia tidak membutuh komando orang tua dan guru dalam belajar. Orang tuanya tidak akan berteriak teriak menganjurkanya dalam belajar. Ia dan teman-teman (kelompok belajarnya) sudah punya kebiasaan belajar sebagai kebutuhan.

Bukan berarti ia harus terpaku pada meja belajar sepanjang hari dan membenamkan kepala di atas tumpukan buku-buku sepanjang hari. Sebagai warga sosial, Revalin juga melibatkan diri dalam berbagai aktifitas masyarakat di kampong. Ia ikut ke ladang, ikut gotong royong membangun jalan desa, dan juga ikut menjelajah alam bersama teman-teman. Saat di SMA, kemampuan belajar Revalin biasa-biasa saja- namun ia duduk di kelas unggulan. Pada saat duduk di perguruan tinggi ia memperoleh strategi belajar yang tepat dan kemampuan akademiknya melejit.

Ada prinsip belajar yang ia jalani yaitu “study while studying and play while playing- belajarlah saat belajar dan bermainlah saat bermain. Banyak siswa sekarang kurang menerapkan prinsip belajar yang begini. Mereka malah mengadopsinya menjadi prinsip belajar yang berbalik arah yaitu “play while studying dan study while playing- bermainlah saat belajar dan di sini bearti kurang ada keseriusan dan konsentrasi dalam belajar.

Belajar di sekolah berarti harus terjadi komunikasi dua arah antara guru dan murid. Anak-anak yang berasal dari rumah yang punya komunikasi dua arah maka di sekolah akan terbiasa juga dengan komunikasi dua arah. Di rumah, Revalin juga terbiasa dengan suasana komunikasi dua arah. Orang tuanya tidak sekedar menyuruh dan melarang. namun orang tua/ keluarganya juga melibatkan fikiran dan tenaga Revalin dalam menjalankan kegiatan harian di rumah.

Ia memperoleh beasiswa penuh untuk mengikuti program master ke Australia. Pelamar beasiswa ke luar negeri harus bisa memperoleh standar TOEFl- Test Of English as Foreign Language yang disaratkan oleh program, mungkin skornya 500 atau lebih. “Apa rahasia agar kita bisa memperoleh TOEFl yang tinggi ?”

Ada tiga hal yang diuji dalam TOEFL yaitu kemampuan membaca, mendengar dan tata bahasa (structure). Cara yang terbaik untuk meraih TOEFL tinggi adalah dengan berlatih dalam mengerjakan soal-soal. Kemudian membiasakan diri dalam membaca teks bacaan yang agak panjang. Sementara untuk meningkatkan kemampuan listening kita harus tahu strateginya- apakah pertanyaan dalam listening menanyakan tentang informasi umum, informasi tersirat, informasi rinci, menanyakan tujuan dari reading dan yang paling penting adalah banyak latihan mendengar.

Ia bisa menyelesaikan program master tepat waktu dan sekarang juga sedang menyelesaikan program post-graduatenya (program Doktoral). Setiap orang, termasuk siswa yang bearasal dari kampung bisa mencari beasiswa untuk program master dan program doctoral dalam negeri, maupun dari luar negeri. Revalin Herdianto sendiri merampungkan program graduate melalui beasiswa IALF- Indonesia Australia Language Foundation yang punya kantor di Bali dan Surabaya.

Di awal tahun 1990-an penulis juga sempat berbincang-bincang dengan seorang pelajar cerdas yang bernama Oki Murasa- seorang siswa SMP yang punya fenomenal dengan peringkat NEM (Nilai Ebtanas Murni ) paling tinggi di Kabupaten Tanah Datar saat itu. Daya serap belajar Oki Muraza sangat bagus- daya rekamnya ibarat mesin fotokopi. Ternyata Oki bisa menjadi siswa yang fenomenal dengan peringat nilai tertinggi bukan lewat pemanjaan. Karena orang tuanya tidak memberikan pemanjaan, namun ia memberikan kasih sayang, perhatian, tanggung jawab dan penghargaan kepada Oki. Pemanjaan berarti mengikuti semua kemauan anak tanpa pengontrolan. .

Oki Muraza- Oki Muraza adalah murid seorang guru Fisika yang bernama Emi Surya (Istri Penulis). Di rumah Emi Surya selalu memberi good news: "Uda...aku punya murid...anaknya bersih...ganteng...cakep...alim....baik...rajin....cerdas...dan memorinya ibarat mesin fotokopi". Kalimat ini kami bahas terus dan penulis jadi penasaran hingga akhirnya bisa berjumpa dengan seorang siswa yang amat cakep...pintar...baik...dan alim.

Ketika itu ia belajar di SMP (di Lintau Buo) malah tinggal hanya dengan orang tua tunggal- ibu kandung yang memperoleh pendidikan sarjana di Universitas Sriwijaya. Ibunya juga memberi Oki tanggung jawab untuk mandiri dalam belajar, namun juga ikut meringankan pekerjaan ibunya- mengupas kelapa, mencat pagar, mencuci piring atau mungkin pekerjaan lain. Aktifitas ini penting untuk memperkaya anak dengan pengalaman hidup- life skill. Sukses dalam bidang akademik di bangku SMP/ SMA tentu akan memberikan kemudahan bagi siswa untuk memperoleh pendidikan lebih tinggi melalui jalur bea-siswa. Bagi Oki sendiri ia memperoleh beasiswa untuk melanjutkan ke sekolah SMA Taruna Nusantara, sekolah unggulan yang paling diminati oleh lulusan SMP se Indonesia, dan sejak tahun 1993 penulis tidak mendengar banyak tentang Oki Muraza.

Setelah 17 tahun tidak mendengarnya maka Penulis di tahun 2010 ini mengetahuinya sebagai Doktor Oki Murasa. Lagi-lagi ia menjadi inspirasi bagi penulis untuk menulis tentang siswa kampung juga berhak jadi Doktor. Facebook lagi-lagi memberi kemudahan bagi penulis untuk tahu banyak tentang dia secara langsung. Oki juga memiliki blogger.

Melalui blognya (http://murazza.multiply.com) penulis juga bisa mengetahui tentang kisah sukses dan perjalanan hidupnya. Dalam usia muda (30 tahun) Oki bisa menjadi Doktor dan bekerja sebagai tenaga peneliti di Abu Dhabi, United Arab Emirates. Dan sebelumnya ia bekerja di beberapa institute di Eropa. Meski berada jauh dari kampung (Indonesia), namun kecintaannya terhadap tanah air masih tergores.

Pendidikan Oki dalam menggapai mimpi menjadi Doktor adalah, setelah menyelesaikan pendidikan SMP Negeri 1 Lintau, ia melanjutkan pendidikan ke SMA Taruna Nusantara di Magelang. Selanjutnya ia memilih studi di ITB Bandung, kemudian program masternya pada Chemical Engineering, Technische Universiteit Delft, Delft, the Netherlands dan selanjutnya untuk doctoral (PhD) pada Chemical Engineering, Technische Universiteit Eindhoven, Eindhoven, the Netherlands. Ia mengatakan bahwa penguasaan bahasa asing mutlak diperlukan untuk studi yang lebih tinggi, apalagi kalau di luar negeri.

Oki Muraza juga memperoleh “honor and award” dalam menggapai mimpi menuju Doktoral, yaitu seperti dari NIOK (Netherlands Institute for Catalysis Research- Institut Belanda untuk Riset Catalysys). Oki memperoleh nilai tertinggi saat menyelesaikan program Doktoralnya. Ia memperoleh berbagai beasiswa dan termasuk beasiswa yang disponsori oleh Unesco- Belanda.

Anak anak yang sekarang sedang belajar di SMP dan SLTA (SMK dan SMA) di kampung atau di pedesaann juga bisa sukses, menjadi Doktor seperti halnya Revalin Herdianto dan Oki Muraza. Yang suka bersantai saja tentu saja tidak akan berhasil, namun yang bisa banting stir- paling kurang seperti pola dan gaya hidup Revalin dan Oki kemungkinan bisa juga menjadi Doktor. “Bagaima karakter anak-anak desa/ kampung yang diperkirakan bakal sukses kelak ?”

Ya mereka harus menjadi siswa yang mandiri dalam belajar. Jangan pernah butuh komando/ diperintah orang tua dan guru untuk memulai belajar, “Belajar lagi nak….buat Pe-er nya segera….!” Orang-orang yang telah sukses dalam profesi mereka, saat belajar di bangku SMP dan SMA bukan berarti mereka harus terpaku pada meja belajar sepanjang hari. Namun mereka juga melibatkan diri dalam berbagai aktifitas masyarakat. Mereka serius dalam belajar, belajarlah saat belajar dan bermainlah saat bermain. Mereka memiliki komunikasi dua arah di rumah (yaitu antara anak dan orang tua) dan di sekolah (antara siswa dan guru). Mereka juga ikut serta/ berpartisipasi dalam mengurus diri dan mengurus rumah. Mereka bisa sukses (karena rido dari Allah Swt). Kemudian juga memiliki kemampuan bahasa Inggris dan meraih skor TOEFl- Test Of English as Foreign Language yang disaratkan oleh program mungkin seputar 500 atau lebih. Selanjutnya mereka juga memiliki mental yang tangguh, tidak cengeng, tidak gemar minta bantuan- tapi mereka terbiasa dengan “help your self terlebih dahulu, gampang beradaptasi dan bergaul dengan berbagai macam karakter dan pola fikir orang.

Akhir kata bahwa mereka juga terbiasa punya tanggung jawab atas diri sendiri dan dalam membantu orang lain. Revalin Herdianto dan Oki Muraza telah menjadi inspirasi bagi penulis dan juga pembaca blog ini dimana saja berada.

Selasa, 21 September 2010

Timbang Rasa Penting Dalam Mendidik

Timbang Rasa Penting Dalam Mendidik
Oleh; Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

Sebahagian orang mungkin sudah lama tidak mendengar kata kata “timbang rasa” lagi. Seharusnya kata-kata ini masih diucapkan oleh teman-teman, anak-anak muda dan malah juga generasi tua sebagai tanda bahwa mereka masih peduli dengan “bertimbang rasa” dalam menjaga kualitas kounikasi. Kalau dulu orang tua sering berpesan, member pituah, pada anak-anak mereka “Anak ku…jagalah perasaan orang apabila kamu bergaul, mengangalah dulu sebelum berbicara”. Hingga suatu hari ternyata penulis masih menemukan kata-kata “timbang rasa’ tertera sebagai merek sebuah home industry di kawasan kota Payakumbuh.

Timbang rasa berarti menimbang perasaan orang dalam berkomunikasai. Timbang rasa sangat penting, karena ia adalah bumbu yang membuat pergaulan dan komunikasi terasa enak. Orang yang punya timbang rasa dalam berkomunikasi jadi menarik dan pergaulannya sangat disenangi. Timbang rasa , kalau begitu sangat perlu untuk dimiliki oleh siapa saja- tua, muda, laki-laki, perempuan, kaya, miskin dan apa saja bangsa dan agamanya.

Berkumpul bersama anggota keluarga sambil menonton TV atau acara-acara kekeluargaan- makan bersama, traktiran dan sampai pesta kecil kecilan sekedar melepas kangen, sudah menjadi kebutuhan banyak orang. Apalagi bagi mereka yang jauh dari kampung halaman. Kadang kala dalam suasana kebersamaan ini terjadi guyon dan ledek meledek. Pada mulanya memang bisa untuk menambah keakrapan, namun salah guyon dan salah membuat ledekan malah bisa menjadi bisul untuk menebar rasa sakit hati dan perpecahan.

Banyak orang (kakek, nenek dan ayah- ibu) berfikir bahwa anak-anak kecil belum punya pikiran, hingga mereka butuh arahan dan didikan. Sebagian dalam bertindak dan berkata kepada mereka juga kurang memperhatikan hati (emosi) mereka. “Wah kamu ini bloon, udah berkali kali diberi peringatan namun tidak juga mengerti, dasar bebal atau muka tembok”. Bagaimana kira kira perasaan anak atas komentar tadi ?

Banyak orang yang kurang mempertimbangkan perasaan anak. Sebagian orang tua rata-rata hanya bersikap lembut terhadap bayi, balita dan anak-anak yang berusia hingga masuk SD, ya saat mereka masih terlihat lucu dan patuh. Namun begitu anak terlihak mulai agresif, sudah punya banyak kawan dan sibuk mengembangkan gerak dan melakukan eksplorasi. Mereka telah diberi label sebagai anak bandel oleh karena itu mereka (anak-anak) mulai berhubungan dengan sejuta suruhan dan larangan dari orang tua.

Menghargai perasaan anak sangat pentig dalam mendidik.Namun dalam kenyataan jarang terealisasi. Ini juga menjadi kebiasan dari pasanagn kakek- nenek yang tinggal di rumah kecil, di sebuah kota di Pulau Sumatera. Mereka tidak ada pekerjaan, kecuali hanya sekedar mengurus kebun kecil dan kucing piaraan. Selebihnya hari-hari mereka terisi dengan kegiatan nonton TV dan rebutan untuk mengomentari hal hal kecil. Kebiasaan gemar mengomentari hal-hal kecil terbawa-bawa terhadap cucunya yang hanya datang sekali setahun untuk berlibur.

Punya kakek dan nenek itu sangat indah. Anak-anak biasanya membayangkan tokoh kakek-nenek ibarat tokoh dalam buku cerita dan tokoh dalam kartun. Orangnya sangat baik dan penyayang. Namun dalam kenyataan tidak demikian dalam ilusi Rido dan Anita. Sebagai anak-anak yang masih duduk di bangku SD dan SLTP, mereka tentu punya segudang kegiatan, yang sering dianggap sebagai kenakalan bagi orang tua/ kakek dan nenek.

Mereka melompat, berlari, mendorong perabot dan berteriak-teriak dalam rumah. Kakek- nenek yang tidak terbiasa dengan suasana ini pasti akan menjadi jengkel. Tiba-tiba tertumpah air ke lantai. Ini hal biasa namun komentar dan kemarahan kakek-nenek meledak melebihi hal yang sebenarnya. “Kamu sangat usil dan nakal ya.., membuat keributan…, mendorong dorong…, ibumu sudah salah didik…!”. Suasana begini sering terjadi dan bagi orangtua muda yang tidak sabaran terhadap omelan kakek-nenek akan segera berkemas kemas. Memutuskan kembali untuk , berangkat pulang. “Good bye…kakek…., good bye nenek…..lebih aku pulang kembali, karena rumah ini bukan sweethome bagi cucu cucumu.”. Hal seperti ini juga tidak harus terjadi.

Perubahan gaya mengasuh berpotensi menimbulkan gap (jurang pemisah) antara generasi sekarang- orang tua dengan kakek-nenek. Seharusnya kakek- nenek zaman sekarang harus menjadi generasi tua yang lebih terdidik dan makin bijak sana. Ibu dan ayah muda juga perlu mengenal karakter yang tidak disukai oleh generasi tua. Dalam berbagaimsuasana, timbang rasa sangat dibutuhkan. Kakek-nenek yang punya timbang tasa akan menjadi figure yang disayangi oleh cucu dan anak anaknya.

Timbang rasa perlu dibawa terus, kapan saja dan di mana saja termasuk saat pulang lebaran. Sebagaimana berlebaran , dengan fenomena exodus lebaran, sudah menjadi fenomena dalam masyarakat kita. Coba lihat suasana bila lebaran mau datang- arus transportasi menjadi super sibuk.. Di sana terjadi arus migrasi masal menuju kampung. Sekali lagi bahwa orang luar negeri akan melihat fenomena ini sebagai exodus besar-besar. “Ini memang exodus, ya happy exodus”.

“Apa yang diharapkan dari kedatangan orang orang dan family yang datang dari rantau ?”. Sebahagian berharap untuk silaturahmi dan melepas rasa kangen, namun dibalik itu ada juga mengharapkan “ oleh oleh atau yang dikenal dengan THR- tunjangan Hari Raya” dari mereka. THR biasanya dibagi-bagikan tiap lebaran datang, di hari lain mungkin namanya traktiran ‘traktir dong om….traktir dong tante”.Cukup banyak orang memprovokasi anak-anak kecil untuk minta oleh oleh- atau namanya uang tip, uang traktiran atau parsel (bingkisan) yang datang dari om, tante, abang, kakak sampai kepada opa-oma, “Hei itu om mu….ayo minta uang untuk beli sepeda”. Sehingga dari kebiasaan, akan tumbuh anak-anak dan generasi muda yang gemar minta traktiran. Asal ada orang baru datang maka yang mereka harapkan cuma oleh-oleh, dan uang traktiran, atau cendera mata.

Kebiasan mengharap cedera mata dan oleh-oleh atau traktiran dari karib kerabat dan family yang datang telah membuat cukup banyak dari mereka yang enggan untuk pulang kampong atau bersilaturahmi. Soalnya takut diserbu dengan uang traktiran. “Kampungnya kan dekat, kenapa jarang pulang kampung, apa tidak kangen dengan orang tua..?”. Rasa kangen kepada orang tua dan adik kakak selalu memang selalu ada. Namun yang membuat kaki berat untuk melangkah ke sana adalah kebisaan orang-orang sekeliling, mulai dari yang kecil sampai ke yang besar mengharapkan traktiran - sekeping uang untuk dibagi-bagikan. Kalau jumlah mereka satu atau dua orang tdak msalah, namun bila jumlah mereka cukup besar bisa-bisa mengganggu keuangan. Ya solusinya adalah tidak usah pulang kampung atau hentikan budaya berharap uang traktiran dari siapa saja yang datang.

Hal lain yang membuat seseorang menjadi enggan untuk menemui family/ kerabat atau kenalan yang lain juga karena kurangya timbang rasa dalam bentuk lain. Hidup ini penuh dengan orang-orang berkarakter unik. Ada orang punya karakter yang suka ngobrol tentang dirinya melulu, yang lain cuma jadi pendengar. “Aku kemaren dapat ini… aku kemaren buat ini rasanya enak…, anakku kemaren jadi hebat….suamiku kemaren ganti mobil….rumah ku kemaren direnovasi…”.

Pembicaraan yang terlalu banyak “aku” atau terfokus pada pembicaraan tentang diri akan membuat orang jadi males datang bersilaturahmi untuk kali berikutnya. Sudah jelas jumlah telinga itu “dua” melebihi jumlah mulut (satu mulut) namun kita kadang-kadang terlalu doyan banyak bicara yang tidak terlalu penting daripada mendengar pembicaraan teman dengan sepenuh hati.

Kemampuan dalam bertimbang rasa jauh lebih penting dari pada kebiasaan pamer kekayaan, pamer kehebatan anggota keluarga dan kebiasaan monopoli dalam ngobrol. Ini pulalah yang dialami Upik (bukan nama sebenanya) yang diajak oleh salah seorang paman untuk datang ke rumahnya. “Ayolah Upik datang ke rumah paman, penting banget buat mu”. Setelah tiba di sana ternyata Upik tidak menjumpai hal yang penting. Kecualinya Sang Paman sibuk mempromosikan rumahnya yang berharga mahal, tipe minimalis dan dilengkapi dengan perabot pilihan yang harganya cukup mahal. “Lemari ini kemaren Paman beli di Bukittinggi harganya hampir sepuluh juta, loteng rumah ini mirip dengan rumah dokter di Kebayoran Baru, besok Paman akan merenovasi garasi untuk tiga mobil”. Dalam kenyataan apa sih yang dirasakan Upik saat itu ?

Selanjutnya bahwa timbang rasa juga perlu hadir di sekolah, mulai dari bangku SD, SMP, SMA dan malah sampai ke Perguruan Tinggi. Murid kelas satu SD, seperti yang dikatakan oleh salah seorang teman penulis, akan menjerit ketakutan terhadap guru yang mereka anggap tidak punya timbang rasa. “Tukar gurunya….aku takut dengan guru itu, dia galak” Atau malah ada murid yang sampai ngompol dalam celana dan menggigau dalam tidur gara gara pengalaman seram mereka di siang hari- harus belajar bersama guru yang mereka anggap tidak tahu tentang bertimbang rasa dengan bocah-bocah kecil.

Begitu pula untuk siswa tingkat SLTA, ternyata ada siswa yang melarikan diri dari kelas, dari sekolah setelah punya pengalaman buruk belajar bareng dengan guru yang kurang memiliki timbang rasa. “Tiap kali belajar dengan saya, kok kamu ngelamun melulu” Timbang rasa bukan berarti harus tidak punya disiplin, harus mengikuti kehendak siswa. Namun timbang rasa disini adalah kemampuan guru untuk menimbang perasaan siswa- bersimpati dan berempati. Tidak melecehkan potensi, apalagi harga diri siswa. “Ah percuma saja kamu juara kelas, tapi kok egois sama kawan-kawan”.

Saatnya kata-kata timbang rasa musti dipopulerkan lagi dan saatnya timbang rasa diaplikasikan dalam hidup. Pedagang yang punya timbang rasa, banyak bersabar dan tidak suka mengomel terhadap pembeli yang gemar menawar, bakal menjadi pedagang yang laris manis. Rumah sakit dengn dokter dan perawatnya yang mengutamakan timbang rasa atau pelayanan prima terhadap pasien, akan membuat pasien bisa sembuh lebih awal. Rumah sakit yang yang mengutamakan timbang rasa akan membuat pasien betah berobat ke sana dan tentu tidak perlu berfikir untuk pergi berobat sampai ke negeri jiran segala.

Timbang rasa juga penting hadir di rumah. Suami yang punya timbang rasa terhadap istri akan memperoleh panen cinta dari istri dan sebaliknya. Istri penting mengutamakan timbang rasa pada suami agar perkawinan langgeng terus. Kemudian ada sebuah umah yang selalu dikunjungi banyak anak anak dan remaja. Semua anggota keluarga betah berada di rumah. “Itu karena anggota keluarga, terutama anak-anak, memperoleh kasih sayang dan juga diberi pembagian kerja. Di rumah mereka dihujani dengan banyak kata maaf dan rasa aman- bebas berekspresi. Akhirnya mereka tidak perlu lagi pergi ke luar rumah untuk mencari kasih sayang”. Kesimpulanya adalah hadirkanlah selalu rasa timbang rasa setiap saat di mana saja berada.

Jumat, 17 September 2010

Pola Asuh Yang Kaku Menciptakan Pribadi Yang Kacau Balau

Pola Asuh Yang Kaku Menciptakan Pribadi Yang Kacau Balau
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

Banyak orang merasa hidup kurang beruntung. Mereka merasakan dunia ini tidak indah- terasa suram, sempit dan kurang berpihak kepada mereka. Hal ini terjadi gara-gara mereka dibesarkan di rumah- di lingkungan- dengan orang tua (keluarga) yang mengasuh anak tanpa memberikan rasa aman dan rasa tenang. Suasana ramah tamah dan komunikasi yang penuh dengan kelembutan menjadi sesuatu yang mahal untuk diperoleh.

Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua (juga pengganti orang tua) yang bersifat kaku- banyak menonjolkan unsur kekerasan dan amarah- sangat berpotensi menjadikan anak sebagai manusia yang pribadi kacau balau. Karakter mereka juga bisa jadi kasar, emosional, beringas, mahal senyum- hingga juga cenderung menjadi skizoprenia (pribadi yang terbelah) atau juga disebut dengan gila.

Perubahan pola asuh yang dilalui seseorang dalam hidupnya, terutama selama masa anak-anak dan remaja- yang begitu kontra sangat berpotensi melahirkan mentality-shocked (kejutan mental) pada diri seseorang. Hendro mengalami mentality shocked saat masih berusia muda. Itu gara-gara perobahan pola asuh. Betapa sebelumnya ia merasa bahagia karena dibesarkan oleh ibunya sendiri yang penyabar dan lembut. Ibunya sendiri punya karakter sangat pencemas dan berprasangka bahwa lingkungan bisa menjadi sumber kerusakan moral bagi anaknya.

Sang ibu khawatir kalau Hendro menjadi anak nakal/ bandel. Maka mulailah ia memberikan sejumlah larangan. “Tidak boleh menonton film sembarangan dan acara TV yang dipandang jorok, tidak boleh bergaul dengan anak tetangga, tidak boleh pulang terlambat, tidak boleh berbohong”. Jadinya aktivitas Hendro hanya terfokus di dalam rumah semata.

Suatu ketika musibah datang. Ibu tercintanya terkena serangan jantung dan meninggal. Untuk selanjutnya, Hendro pindah ke dalam asuhan Bude (kakak mama), seorang janda dengan enam orang anak. Ia berkarakter tegas. Apakah si kecil Hendro bisa beradaptasi dengan pola asuh bude yang sangat kontra dengan ibunya sendiri ?

Selama tinggal bersama Bude, Hendra hampir tidak pernah memperoleh senyuman, kelembutan kata-kata dan juga kesempatan bertutur kata- berbagi cerita dengan siapa saja dalam rumah. Barangkali karena beban hidup yang pelik dan anak-anak yang banyak membuat Budenya juga sulit untuk tersenyum dan beramah tamah. Lengkap sudah Bude menjadi figur ibu pengganti yang kaku dan dingin.

Gaya komunikasi (gaya bahasa) Bude dengan Hendro cukup kaku, hanya sebatas memberi perintah dan larangan. “Selama tinggal di rumah ini, tugas kamu adalah ini…, ini… dan ini…,(membersihkan kamar mandi, menjaga air bak mandi tetap penuh dan juga menjaga pekarangan rumah bebas sampah sepanjang hari), kemudian kamu dilarang melakukan ini ….dan itu…” Usai melaksanakan tugas yang diberikan Bude, maka Hendro mengurung diri dalam kamar. Ia tidak berani untuk banyak ngobrol dengan Bude yang mudah galak (pemarah). Sementara itu ia kurang punya pengalaman dalam pergaulan.

Hari-hari terasa panjang. Hendro menyibukan diri dengan membaca dan dengan fikirannya sendiri. Di sekolah, ia juga tidak punya teman akrab. Ia malah cenderung menyendiri, ini disebabkan karena kurang mengenal seni bergaul yang baik.

Hendro hanya mampu bertahan hidup bersama budenya dengan fikiran normal selama tiga tahun. Tahun keempat ia terlihat depresi. Ia tidak mampu lagi menatap wajah orang, kalau dilihat maka ia mengalihkan pandangannya atau berjalan merunduk. Selanjutnya ia menjadi acuh terhadap penampilannya, rambut awut-awutan, muka jerawatan dan gigi tidak terurus. Barangkali itulah awal gejala skizoprenia- alias pribadi yang terbelah.

Kemudian ada figur yang bernama Garin. Ia lebih beruntung karena tinggal bersama kakak-adik dan ke-dua orang tuanya. Ia dibesarkan oleh orang tua sendiri, namun mengapa ia bisa jadi depressi ?

Sejak kecil hingga akhir masa remaja, Garin terlihat normal seperti halnya anak-anak lain. Ia bisa bergaul secara normal di sekolah dan di rumah. Ia mengikuti kegiatan sepak bola dan ikut bergabung dengan klub sepak bola. Namun dalam hal berkomunikasi, Garin cuma bertutur kata/ berbagi cerita dengan teman-teman sebaya. Di rumah sendiri ia memilih banyak diam. Itu karena kakak dan kedua orang tuanya tidak mengembangkan pola kebersamaan. Di rumah jarang terjadi canda dan tawa. Yang ada malah suasana marah dan bahasa yang bernada memerintah dan melarang. Kakak-kakak cuek dan ibu bapa berkarakter masa bodoh. Pola komunikasi di rumah memang terasa kaku dan dingin.

Garin tidak memiliki cita-cita di masa depan. Tamat dari SMA ia mengalami kebingungan dan tidak tahu dengan siapa harus berbagi rasa- curhat. “Dengan kakak, takut diejek dan dengan orang tua juga tidak ada respon”. Mereka juga tidak mengerti dengan hakekat masa depan. Jadilah Garin beranjak dewasa tanpa cita-cita, selanjutnya ia membenamkan diri dalam kamar. Masa depannya suram, diri terasa tidak berguna dan emosinya mudah meledak. Garin mengalami putus asa, stressed dan depresi dan butuh pil penenang setiap saat. .

Zamri dan Eriko, dua orang anak muda yang tumbuh dengan kondisi mental porak pranda sebelum dijemput oleh kematian dalam usia sangat muda. Derita kemiskinan yang dialami oleh orang tua mendorong Zamri untuk memilih sekolah SMK sebagai jalan pintas, dengan harapan pendidikan bisa cepat selesai dan cepat pula dalam memperoleh pekerjaan. Itu berarti cepat pula ia untuk bisa berbakti kepada orang tua.

Zamri menjadi anak yang sangat diharapkan orang tua agar bisa mengubah hidup. Ternyata Zamri yang miskin dengan pengalaman hidup dan pengetahuan yang tidak memadai merasa terbebani oleh harapan orang tua yang sangat berlebihan. Zamri hanya mampu bermimpi dan berandai-andai. Sekali lagi bahwa ia sendiri tidak punya banyak pengalaman hidup- life skill- untuk mewarnai kehidupan ini. Zamri merasa bahwa sekolah hanya bisa memberi mimpi dengan segudang teori dan bukan solusi.

Tamat dari SMK, Zamri mencoba untuk mengadu untung di metropolitan. Dengan modal nekad dan selembar ijazah, ia berangkat menuju ibu kota. Ia terdampar dan tidak tahu untuk berbuat apa maka ia dipulangkan oleh Dinas Sosial ke kampung halaman. Merasa hidup gagal dan juga kepribadian yang lemah membuat zamri jadi depresi, kesehatan yang memburuk terus membuatnya menutup mata di usia muda.

Hal yang sama juga dialami oleh Eriko. Ia anak yang tumbuh ibarat rumput liar- tumbuh sendiri dan tidak banyak memperoleh sentuhan lembut orang tua dan sanak saudara. Peran orang tua hanya sebagai pemberi makan, minuman dan pakaian. Tidak begitu peduli tentang urusan pendidikan. Bila ia melakukan kesalah sebagai seorang anak kecil- berkata jorok dan mencuri hal hal kecil milik saudaranya, maka Eriko segera memperoleh corporal punishment- hukuman fisik- seperti tendangan, pukulan dan cambukan.

Bisa jadi ayahnya salah memahami pribahasa yang berbunyi ”saya dengan kampung ditinggalkan dan sayang dengan anak dilecuti”. Atau orang tuanya pernah berteori bahwa supaya karakter anak tidak menjadi-jadi maka ia perlu disakiti. Cara mendidik/ pola pengasuhan yang demikian membuat Eriko merasa “tidak ada rasa aman dan rasa damai di rumah lagi”.

Pola asuh yang keras dan kasar terjadi karena gaya kepemimpinan orang tua yang otoriter, berpotensi membuat anak berkarakter keras dan jahat, Eriko agaknya juga berkarakter agresif terhadap teman-teman. Pada akhir masa remaja, ia merasa kesepian. Teman-teman sebaya sudah pergi merantau atau mencari jodoh dan pekerjaan. Ia kurang mampu beradaptasi dan bergaul dengan banyak orang. Dalam keluarga ia merasa ditolak dan dengan teman teman juga merasa tidak diterima. Ia merasakan dunia begitu kelabu, sempit dan tidak bersahabat. Ia banyak mengurung diri dan sibuk membenamkan diri dalam illusi, jadi depresi dan berakhir dengan kematian juga di usia dua puluhan.

Pola asuh yang kaku berpotensi membuat seseorang berkarakter kaku pula. Pola asuh ini membuat seseorang menjadi miskin dengan pengalaman emosional dan bersosial sehingga susah untuk mengekspresikan perasaan. Gejala ini dialami oleh Miss.Eti dan Bernard.

Miss Eti terlahir sebagai putri- anak kedua- dari tujuh orang bersaudara. Kematian sang ayah membuat ibu menjadi janda, tanpa keterampilan hidup yang memadai. Maka anak-anak terpencar-pencar berpindah ke dalam pengasuhan orang lain. Miss Eti jatuh ke dalam pengasuhan sebuah keluarga tanpa nak dan kurang memiliki pengalaman tentang membesarkan anak.

Agar Miss Eti tidak menjadi gadis yang berandal menurut versi fikiran ibu asuh, maka ia memberikan sejumlah aturan dan sejumlah larangan. “Dilarang bergaul dengan anak-anak tetangga yang diperkirakan nakal, dilarang mengenal laki-laki, dilarang pulang terlambat, dilarang bersenang-senang agar tidak jadi pemalas”. Maka Miss Eti diperlakukan mirip sebagai pembantu oleh ibu asuhnya.

Miss Eti memang bisa beradaptasi dan ia tumbuh menjadi gadis yang patuh dan tidak suka protes. Hidupnya terlihat sunyi, mungkin ia tidak mengenal betapa indahnya jatuh cinta. Over protektif dan banyak larangan membuat Miss Eti susah untuk bisa tersenyum apalagi untuk beramah tamah. Ia sempat menikah, namun karena tidak belajar mengenal pria membuatnya ketakutan dalam perkawinan. Untung sang suami bisa menerimanya sebagai istri apa adanya- kehilangan percaya diri. Ia sendiri sering menjadi bad mood dan berucap “Apakah aku masih cantik ?”

Kesulitan hidup dan perceraian dengan suaminya membuat Ibunya Bernard menyerahkan pola pengasuhan Bernard kepada pamannya. Namun Bernard dalam pengasuhan tidak memperoleh banyak sentuhan emosi- ungkapan kasih sayang. Ia hanya diberi tugas memelihara ternak, bila ada kesalahan “ya dibentak dan dimarahi”. Ia melalui hari-hari yang juga tidak indah, namun mampu beradaptasi dengan kehidupan yang keras ini melebihi dua puluh tahun. Hingga akhir usianya sudah di atas kepala tiga (usia 35 tahun). Pihak keluarga segera memintanya untuk mengakhiri masa lajang, namun ia berkata “Bagaimana aku bisa menikah karena aku tidak bisa mencintai wanita dan mengatakan I Love You”.

Di saat persoalan hidup makin sulit dan makin rumit. Tekanan hidup dari luar makin bertambah, maka apakah masih layak bagi kita yang hidup di zaman moderen ini mengadopsi pola pengasuhan yang kaku terhadap orang-orang dan anak-anak yang berada dalam pengasuhan kita. Sangat bijak bagi kita menyingkirkan karakter kaku tersebut. Yang tepat untuk kita terapkan adalah memberikan suasana aman, damai dan penuh kasih sayang. Kita perlu menjauhan orang yang berada dalam pengasuhan dari kata-kata kasar. Karena manusia itu unik, setiap orang tentu punya karakter tersendiri. Kita perlu beradaptasi dengan semua karakter yang berada dalam pengasuhan kita. Bila kita ingin merubah karakter mereka, mari pakai cara-cara yang sejuk tanpa pemaksaan dan yang persuasive. Tokoh-tokoh di atas nyata, namun nama dan settingnya sudah dimodifikasi.

Selasa, 14 September 2010

Sarjana Rendah Hati Lebih Laris

                                     Sarjana Rendah Hati Lebih Laris
                                       (Gie Wahyudi atau Sriwahyudi)
                                                                                Oleh: Marjohan, M.Pd
                                                                             Guru SMAN 3 Batusangkar

Tulisan beikut juga terinspirasi oleh pribadi muridku Gie Wahyudi yang sangat terpuji, ia baik hati dan amat santun dalam bekomunikasi. Ia sempat menjadi muridku terbaik dan belajar denganku selama tiga tahun dan dia punya banyak teman akrab seperti Viko, Hani, Harum cempaka, dan lain-lain, namun tulisan ku ini adalah tentang dia, seorang sarjana yang rendah hati.
             
Dunia usaha selalu membutuhkan orang-orang yang cerdas. Orang-orang cerdas bisa jadi berasal dari keluarga cerdas dan sekolah yang hebat. Seseorang mungkin berfikir bahwa sekolah yang hebat mampu menghasilkan siswa yang hebat atau cerdas karena sekolah tersebut memiliki standard disiplin yang tinggi, guru yang tegas, berwibawa dan mahal senyum, sementara fokus aktivitas siswanya adalah selalu belajar dan berlatih. Namun dalam kenyataan bahwa kondisi pembelajaran di sekolah yang hebat, bukanlah demikian (?).

Pengalaman saat mengunjungi sekolah- sekolah berkualitas- sekolah unggulan, dengan uang sekolahnya sangat mahal- dijumpai kondisi sekolahnya yang begitu harmonis dan damai, hubungan antara guru-siswa yang rileks, berinteraksi melalui bahasa yang lembut dan santun. Sementara staff dan kepala sekolah tidak pernah memperlihatkan karakter yang berlebihan- dingin dan arrogant. Sebaliknya ada sekolah yang dipromosikan sebagai sekolah- lembaga pendidikan yang berkualitas- menerapkan disiplin yang hebat- ketat dan kaku- dalam kenyataan populasi siswanya merosot terus.

Pemilihan ketua osis (organisasi intra sekolah) yang dicampuri oleh kekuasaan sekolah biasanya akan memilih ketua osis yang yang cerdas namun dipandang berkarakter arrogant dan suka mengatur oleh sebahagian anggotanya. Demilkian pula dalam pemilihan Kepala Desa, Wali Nagari, Bupati/ Wali Kota dan pemilihan Gubernur yang dipengaruhi oleh kekuatan dari atas biasanya juga akan memilih tokoh yang hebat dalam berpidato, namun berkarakter otoriter, arrogant dan suka mengatur. Sebaliknya pemilihan tokoh (ketua osis, Kepala Desa, Wali Nagari, Bupati/ Wali Kota dan Gubernur) yang dipilih oleh anggota/ rakyat, mereka akan memilih tokoh/ figure yang cerdas atau hebat namun rendah hati.

“Pilihlah orang yang cerdas dan rendah hati..!” Fenomena ini juga terjadi dalam dunia usaha/ dunia kerja: perusahaan swasta, dan BUMN. Ada salah seorang sarjana lulusan Universitas di daerah bisa memperoleh posisi pekerjaan di perusahaan yang bergengsi di ibu kota ( Jakarta ). “Mengapa anda bisa memperoleh pekerjaan dengan posisi yang bagus di metro politan dan mampu bersaing dengan lulusan dari perguruan hebat seperti UI, ITB, IPB, UNPAD, Gajah Mada, dan lain-lain ?” Dia menjawabnya bahwa keunggulannya yang dinyatakan selama wawancara- ia dinyatakan sebagai sarjana berkualitas yang rendah hati. Kalau ini menjadi fenomena maka sarjana cerdas namun berkarakter angkuh, arrogant, otoriter dan egoist akan tidak laku dalam dunia kerja. Namun apakah banyak mahasiswa dan para sarjana yang tahu dengan fenomena ini ? Bisa jadi “ya” dan bisa jadi “tidak”.

Sampai detik ini, cukup banyak orang tua yang memasung anak di rumah atas nama pendidikan atau kasih sayang. Mereka hanya memaksa dan memotivasi anak sekedar belajar dan mengikuti berbagai macam kursus mata pelajaran. Namun mereka tidak diberi pengalaman tentang kecakapan hidup- mengikuti kegiatan kemasyarakatan dan kegiatan di luar rumah lainnya, karena dianggap sebagai buang-buang waktu dan mengganggu pelajaran. Pada akhirnya anak memang tumbuh jadi cerdas secara akademik namun mereka kurang memilki kepekaan sosial- cuek, acuh dan masa bodoh terhadap sesama.

Begitu pula dengan kodisi pembelajaran di banyak sekolah. Para guru mungkin sekedar mengejar pencapaian kurikulum. Menghardik, membentak dan mengancam agar siswa bisa tertib dan mengikuti disiplin. Ini merupakan suasana belajar dengan guru-guru yang bergaya otoriter. Dalam kenyataan bahwa gaya belajar yang memaksa, menggertak, mendikte, mengejek bisa berpotensi dalam mematikan motivasi dan semangat belajar anak didik.

Namun, saat sarjana cerdas yang rendah hati, menjadi fenomena di dunia. Orang cerdas yang rendah hati lebih disukai dari pada mereka yang cerdas namun sombong, arrogant, dan tinggi hati. Maka kini masyarakat- guru dan orang tua perlu untuk meresponnya dalam praktek edukasi di rumah dan di sekolah.

Program belajar yang diyakini bisa membuat anak bisa jadi cerdas namun rendah hati selalu diminati. Learning center yang bisa membantu anak jadi cerdas dan rendah hati juga menjadi ngetrend, walau biaya belajarnya mahal- selalu diserbu.

Ada learning center sebagai tempat belajar dan bermain, yang merancang program belajar dan bermain agar anak tumbuh cerdas dan peka terhadap sosial (www.playhousedisney-asia.com) menawarkan aktivitas seperti :let your preschooler get a headstart through fun learning in the world filled with discovery and imagination on play house, designed for kids- fun learning in a world. Tentu saja aktivitas ini berada di tempat belajar yang menyenangkan- membuat anak cerdas namun rendah hati- adalah dengan menyediakan sarana belajar dan bermain dalam kelompok teman sebaya. Di sana mereka ditemani oleh guru yang berkarakter penyayang- menyayangi dan membimbing anak-anak untuk melakukan discovery (penemuan).

Sarana belajar yang berorientasi discovery tidak perlu serba mahal. Sarana belajarnya bisa jadi berupa tanah, pasir, kerikil, rumput, serangga, hewan kecil, balok-balok, cangkul kecil, bangku kecil, pisau tumpul, dan lain-lain yang bisa digenggam oleh tangan kecil dan mengoperasikannya. Yang penting di sana tidak ada suasana menakutkan- gertakan, kemarahan guru/ orang tua, penekanan dan permusuhan. Namun yang ada musti suasana pencarian, kebersamaan, semangat eksplorasi yang diperkaya dengan pujian dan pompa semangat.

Mushola dan surau juga bisa menjadi learning center di daerah perumahaan- untuk menciptakan anak-anak yang cerdas dan rendah hati. Kegiatan didikan subuh, dimana ada anak yang bertanggung jawab sebagai protokol, pembaca do’a, pembaca ayat/ bacaan sholat, juz amma, zikir dan kultum (kuliah tujuh menit) yang mengkondisikan mereka tampil di depan sesamanya. Ini cukup ampuh untuk membuat mereka tumbuh dengan rasa percaya diri yang tinggi. Selanjutnya bahwa musholla dan surau juga bisa efektif sebagai learning centre untuk daerah perumahan apabila di sana juga ada kegiatan reading society, kesenian dan olah raga.

Kini apalagi ? Ya, orang tua yang berkarakter cerewet, pemarah, dan suka menekan dalam mendidik sudah tidak zamannya lagi. Juga sudah tidak zamannya lagi bagi guru yang cuma mendidik sekedar membayar tugas. Lebih peduli terhadap kerapian dan kelengkapan administrasi/ RPP namun tidak berkarakter kreatif dan inovatif sebagai seorang guru. Apalagi bila mereka miskin dengan pengalaman paedagogi, wawasan dan informasi, serta lfe skill.

How to do and what to do ? Sri wahyudi- sekarang nama barunya "Gie Wahyudi" , salah seorang murid penulis ketika belajar di SMA, adalah cuma seorang anak pedagang es keliling yang selalu meningkatkan kualitas percaya diri. Ia ikut tampil dan ikut berbicara di depan teman-teman. Kesempatan seperti itu bisa meningkatkan rasa percaya diri. Di rumah ia juga ikut meringankan kerja orang tua. Ia juga ikut bergaul dan berinteraksi dengan anak-anak tetangga- berendam air, main lumpur, mencari serangga, mengembara di sawah, namun juga serius dalam belajar dan membaca. Ia mencoba untuk berdialog dengan banyak orang dan mengunjungi banyak tempat. Setelah tamat kuliah, maka ia menjadi sarjana yang rendah rendah hati, mengikuti kompetisi bursa kerja dan segera mrmperoleh posisi kerja yang cukup punya gengsi di ibu kota.

Dari pengalaman hidup kita ketahui bahwa orang-orang cerdas yang rendah hati bukanlah orang yang memperoleh pendidikan secara karbitan. Namun mereka adalah orang yang tumbuh dari tempaan pengalaman hidup yang kaya variasinya. Mereka ikut bersosial, beribadah, meringankan beban hidup orang tua, peduli dengan aktivitas tetangga dan tidak gengsi gengsian dalam bekerja. Sarjana- orang cerdas- yang rendah hati adalah orang yang pas dengan karakter bangsa ini. Moga moga bermunculan ribuan sarjana rendah hati seperti Gie Wahyudi (https://www.facebook.com/giewahyudi)

Senin, 13 September 2010

Musibah Dalam Rumah Bisa Berakibat Fatal

Musibah Dalam Rumah Bisa Berakibat Fatal
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar



“Mujur tidak dapat diraih dan malang tidak dapat ditolak”, adalah ungkapan yang sering kita dengar, ini berlaku pada semua orang dan termasuk bagi orang tua penulis sendiri. Sejak kematian ayah penulis karena stroke tujuh tahun lalu, ibu penulis sering berucap “apakah aku masih bisa hidup dalam waktu setahun atau dua tahun ini ?”


Kematian dan kelahiran memang suatu hal yang ghaib. Tidak ada orang yang tahu “kapan dan dimana” ia akan mati. Bagi ibu penulis, dalam kenyataan, malah ia meninggal tujuh tahun setelah kematian sang ayah. Semua orang mungkin bisa kaget dalam menyambut kematian anggota keluarga, apalagi bila mereka tidak terbiasa dalam menyiapkan mental.


Pendidikan umum yang kita peroleh (kecuali bagi mereka yang sekolah di pendidikan jalur agama) mulai dari bangku SD, SMP, SMA dan terus ke tingkat Sarjana, Pascasarjana dan Doktoral, hanya membuat kita tahu banyak tentang ilmu duniawi semata. Kebanyakan pemahaman ilmu agama kita hanya gara-gara bekal ilmu yang kita peroleh pada saat duduk di bangku SD dan SMP saja. Beruntunglah bagi mereka yang melakukan otodidak, sehingga setelah dewasa kualitas pemahaman agama mereka tidak setara dengan anak kecil lagi.


Penulis bisa sedikit menghibur diri, karena pernah menjadi remaja mesjid/ remaja surau, sehingga sempat menambah ilmu agama- menghafal banyak do’a, ayat pendek/ juz amma, dan tata cara menyelenggarakan jenazah. Saat mobil ambulance meraung-raung menuju rumah sakit, penulis ikut di dalamnya dan berkosentrasi mengulang-ulang hafalan do’a dan shalat jenazah.


Penulis berfikir bahwa mungkin tahun ini (2010) adalah tahun kematian buat ibu. Setiap kali pulang kampung/ mengunjungi ibu, beliau selalu menyampaikan tentang kemunduran fisiknya- mata yang susah untuk melihat, fikiran yang sangat pelupa dan perasaan tubuh yang sering kurang stabil. Penulis memang melihat sorot matanya yang sering kosong dan kulit pipi yang agak gembul.


Jam satu dini hari, minggu pertama bulan puasa, ada telepon dari kampung mengatakan bahwa ibu jatuh terpeleset dan tertimpa air mendidih, “Ya Allah, mengapa ini bisa terjadi ?”. Menjaga keselamatan orang tua lanjut usia (lansia) seharusnya ibarat menjaga keselamatan anak-anak balita- jauhkanlah hal hal yang membahayakan dari keselamatan jiwanya. Sebuah petaka terjadi pada ibu penulis, saat ia ingin pergi ke kamar kecil, ia terpeleset dan terhenyak (terduduk) ke dalam wadah yang berisi air mendidih.


Malam itu adik penulis menjemput ibu dan melemparkan amarahnya atas kecerobohan family dalam menjaga ibu. “Jangan begitu…., marah-marah tidak akan mengatasi masalah dan tidak mungkin kami punya maksud jelek untuk mencederai orang tua kami sendiri”, kata salah seorang family. Itu namanya taqdir. Taqdir yaitu peristiwa buruk dan peristiwa baik yang bisa terjadi dalam kehidupan setiap orang.

Malam itu ibu penulis dijemput dan dibawa dengan mobil carteran ke rumah sakit Adnaan WD di Payakumbuh. Perawat segera memasang infuse dan pipa cateter untuk menyalurkan urine ke kantong urine. Kulit yang sudah tua terlihat lebih parah bila melepuh. Kemudian penulis dan beberapa anggota keluarga bergantian menjaga dan menemani ibu yang terbaring di dalam kamar bedah.


Terus terang penulis separoh berani melihat luka bakar yang terlihat begitu parah. Wilayah bakarnya cukup luas, mulai dari punggung terus ke panggul dan (maaf) terus ke wilayah kemaluan- perih bukan. Kadang-kadang kulitnya melengket ke kain dan berdarah bila terkelupas. Posisi ibu untuk tidur jadi serba susah, miring susah, telentang susah dan tengkurap susah, karena luka bakar melingkari bagian bawah tubuh. “Ya, ampun lebih aku wafat saja saat itu”, keluh ibu agak putus asa.


Hari itu ibu tampak bosan tidur dengan posisi tengkurap dan ia ingin berubah posisi. “Bismillahirrahmanirrahim…, one-two-three”. Kami mengangkat tubuh ibu dan ibu meraung ibarat anak kecil. Ya memang sakit karena ada lagi kulit yang melengket terkelupas dan kembali berdarah. Luka bakar lansia memang lama sembuhnya.


Aroma luka bakar ibu agak menyengat penciuman, kami menyewa orang yang terampil membersihkan, karena kami sebagai anak laki-laki (penulis) tidak tahu banyak apa yang harus dibersihkan- namun kami juga ikut membersihkan bab (buang air besarnya) nya. Setelah aroma amis ibu hilang, orang-orang tidak enggan lagi untuk mendekat.


Setelah terbaring hampir dua minggu tanpa banyak bergerak, akibatnya ibu menjadi resah dan stress. Ibu terbiasa jarang mengeluh, namun beliau terdengar ngomong sendiri- barangkali itu adalah sebagai kompensasi untuk mengatasi rasa sakit, bosan dan stress. Penulis dan family yang lain, memegang jari jemari atau mengusap dahi ibu dan mengajaknya ngobrol tentang masa lalu yang indah dan mengungkapkan betapa rasa sakit ibu juga kami rasakan bersama sama. Ibu bisa tersenyum dan jadi lega.


Akhirnya luka bakar ibu mulai mongering dan tinggal lagi masa-masa penyembuhan untuk beberapa hari lagi. Ibu sudah banyak tersenyum, dan bisa bercanda. Perawat pun melepaskan pipa infuse dari tangan ibu. Saat itu penulis memutuskan untuk pulang sebentar untuk mengontrol anak-anak yang sedang berpuasa ke Batusangkar.


Lagi-lagi telpon (Hape) bordering, “Ibu sudah meninggal dunia…!”. Mulut penulis spontan berkomat-kamit melantunkan do’a untuk menenangkan hati, sambil members-bereskan rumah dan anak-anak dan menunggu keputusan.


Keputusannya adalah bahwa jenazah ibu dimandikan dan dikafankan, juga disholatkan, saja di rumah sakit. “mengapa begitu..?’. Setelah gempa melanda daerah Padang dan Pariaman tanggal 31 September tahun lalu, itu membuat rumah-rumah kami yang di Lubuk Alung separoh hancur dan merusak dapur serta sumur. Akhirnya dari rumah sakit Adnaan WD Payakumbuh, jenazah ibu dilarikan lagi dengan ambulan dan penulis menyusul dari batusangkar. Arus mudik orang yang pulang kampung untuk berlebaran sedikit mengganggu kelancaran transportasi.


Jenazah ibu disholatkan lagi di Lubuk Alung. Sanak family semuanya hening dan mereka menunggu penulis yang terlambat datang selama satu jam. Penulis tidak sempat ikut sholat jenazah, namun penulis akan melakukan sholat ghaib sore itu atas mayat ibu tercinta.

Penulis mewakili adik-kakak dan keluarga lain dalam menyampaikan kata-kata maaf dan bela sungkawa. Penulis tidak bisa melihat siapa yang hadir, kecuali menatap tubuh ibu yang terbungkus dengan kain kafan. Penulis sempat meraba wajah ibu dari balik kafan, dengan perasan lirih. Kemudian penulis ikut menggotong ibu menuju kuburan, saat itu suasana terasa begitu sunyi.


Adik, keponakan dan bertiga dengan penulis meluncur ke dalam kuburan untuk menyambut jazad ibu yang diturunkan dari tandu. “satu…dua…tiga”, Alhamdulillah jazad ibu cukup ringan. Mungkin karena di hari hari tuanya ibu cukup rajin sholat sunat dan berzikir. Penulis ikut meletakkan jasad ibu dengan rasa hati yang pilu. Sekali-sekali penulis meraba tangan ibu terus ke pundak dan kepala ibu. Secara spontan bibir penulis bergetar dan berbisik, “ibu…..aku mencintai, menghormati dan menyayangimu sepenuh hati. Ibu…., Bila anakmu banyak khilaf dalam bertindak dan bertutur kata sehingga melukai hatimu, maka maafkanlah anakmu ini…., Ibu…ini sentuhan ku yang terakhir atas jasad mu,…selamat jalan dan maafkanlah aku ibu…!”. Tidak terasa air mata penulis pun jatuh berderai. Kuburan ibu makin padat dan penulis ke luar dengan berat hati.


Enam September itu penulis ikhlas sekali melepas kepergian ibu menuju Sang Pencipta, dari pada ibu menderita lebih lama di kamar bedah. Ternyata luka bakar ibu belum begitu sembuh, karena masih ada sedikit noda darah terpercik dari berkas lukanya yang terlihat dari kafannya. Malam itu penulis tidak bisa tidur, rasanya ingin lagi bisa bersama ibu di dunia, tetapi itu tidak mungkin. Penulis membayangkan hari hari indah- saat ibu datang ke sekolah, saat ibu memberi penulis semangat hidup jikalau sedang stress, saat penulis telah mendapatkan gadis pilihan dan minta pendapatnya, dan masih ada sejuta kenangan bersama ibu.


Memiliki ibu dan ayah yang masih hidup itu begitu indah. Andai kematian mereka masih bisa ditunda karena kita mampu merawatnya maka lebih tepat kita rawat orang tua yang telah lansia dengan penuh bijaksana. Kepada mereka yang masih punya ibu dan bapa, berbuat baik dan bermanja-manjalah selagi beliau masih hidup. Namun jauhi hal hal yang membahayakan beliau agar musibah tidak segera merenggut nyawanya.

Kamis, 06 Mei 2010

Menjadi Penulis Kreatif Melalui Blogger

Menjadi Penulis Kreatif Melalui Blogger
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
marjohanusman@yahoo.com

Posisi seseorang menjadi penulis, apalagi berkaliber propinsi, nasional atau berkaliber dunia, adalah cukup mulia. Lewat tulisannya, penulis bisa mengubah pola fikiran seseorang menjadi lebih berbudaya. Seorang penulis juga berjasa karena bisa memperkenalkan opininya, dirinya dan daerahnya kepada pembacanya di berbagai tempat. Pada zaman setelah kemerdekaan Indonesia, orang-orang di Negara tetangga bisa jadi mengenal daerah Minang, Danau Maninjau atau kota Padang melalui karya sastra Buya Hamka.

Menjadi penulis mempunyai arti tersendiri. Walau penulis sudah lama meninggal namun nama dan karyanya bisa selalu dikenang, misal seperti William Shakespeare dan Khalil Gibran, mereka telah lama tiada namun karya sastranya tetap menjadi kupasan orang di berbagai tempat di dunia. Selanjutnya bahwa profesi menulis tidaklah menjadi dominasi kaum pria, wanita pun bisa menjadi penulis hebat berkaliber dunia, seperti halnya Jk Rowling.

Sekali lagi bahwa banyak orang di dunia yang kenal dengan nama “ Shakespeare” atau William Shakespeare. Ia dilahirkan tahun 1564 di Stratford-on-Avon, Inggris. Ia sendiri tidak sempat kuliah di perguruan tinggi. Di usia muda ia sudah merasakan suka duka kehidupan. Ia menikah dalam usia muda dan punya tiga anak, namun ketiga anaknya meninggal dalam usia muda. William terbiasa menuliskan perasaan dan pengalaman hidupnya, termasuk pengalaman orang-orang yang dia temui. Kebiasaan melakukan proses kreatif dalam menulis membuat tulisannya makin tajam dan alur bahasanya makin menarik untuk dibaca. Menulis sudah menjadi kesukaanya dan dalam usia tiga puluh Shakespeare sudah menunjukkan keberhasilan dalam menulis.

Kahlil Gibran lahir di Beshari, Lebanon, 1883. Pada usia 10 tahun, bersama ibu dan kedua adik perempuannya, Gibran pindah ke Boston, Amerika Serikat. Tak heran bila kemudian Gibran kecil mengalami kejutan budaya- cultural schock, seperti yang banyak dialami oleh para imigran lain. Namun proses Amerikanisasi Gibran hanya berlangsung selama tiga tahun karena setelah itu dia kembali ke Bairut.

Selama awal masa remaja, visinya tentang tanah kelahiran dan masa depannya mulai terbentuk. Ia merasakan bagaimana tirani (kejamnya) perlakuan pemerintahan pada rakyat dan bagaimana munafiknya sebuah organisasi sosial , kemudian bagaimana peran kaum wanita Asia Barat yang cuma sekadar sebagai pengabdi- posisinya terpinggirkan selalu. Ini semua mengilhami cara pandangnya Gibran yang ia tuangkan ke dalam tulisannya. Ia kemudian pergi lagi ke Amerika dan saat jauh dari tanah kelahiran, ia dapat menulisnya dari jauh- yang ia paparkan adalah segala sesuatu yang kontra dari sudut sudut budaya. Ia menulis dengan tokoh/ orang-orang yang gemar melakukan korupsi dan juga tulisan tentang pembebasan orang-orang yang tertindas.

Suka duka yang ia lalui dan tragedy yang terjadi dalam keluarganya (kematian familinya oleh penyakit Tuberklosa) juga membuat pengalaman emosi dan rohaninya makin menumpuk. Ia pun menulis pengalaman- pengalaman bathinnya. Selain menulis dalam bahasa Arab, dia juga terus menyempurnakan penguasaan bahasa Inggrisnya- menulis dalam Bahasa Inggris. Diam-diam dalam hatinya, Gibran ternyata mengagumi kehebatan budaya positif dari Barat. Karya pertamanya dalam bahasa Inggris, “The Madman”, “His Parables and Poems”.

Novel Harry Porter lebih terkenal dari nama pengarangnya. Joanne Kathleen Rowling atau J.K. Rowling lahir di Chipping Sodbury, dekat Bristol, Inggris, 1965. Ia menjadi sorotan kesusasteraan internasional pada tahun 1999 saat tiga seri pertama novel remaja Harry Potter mengambil alih tiga tempat teratas dalam daftar "New York Times best-seller". Rowling lulusan Universitas Exeter, Rowling pindah ke Portugal pada tahun 1990 untuk mengajar Bahasa Inggris- menjadi guru. Di sana ia menikah dengan seorang wartawan Portugis. Anak perempuannya, Jessica dilahirkan pada tahun 1993. Setelah perkawinan pertamanya berakhir dengan perceraian.

Tentu saja perceraian itu membuat perasaannya gundah dan Rowling pindah ke Edinburgh bersama dengan anaknya. Rowling menghadapi masalah untuk menghidupi keluarganya. Semasa hidup dalam kesulitan, membuat pengalaman batin Rowlin makin kaya. Sebagai guru Rowling selalu bersifat kreatif dan ia mulai menulis sebuah buku. Ia mendapat ide tentang penulisan buku itu sewaktu dalam perjalanan menaiki kereta api dari Manchester ke London.

Di penghujung Desember 2001, Rowling menikah dengan Dr. Neil Murray di Skotlandia. Rowling adalah penulis yang produktif dan terhitung telah menulis tujuh novel Harry Poter. Novelnya yang lain adalah “Harry Potter and the Order of the Phoenix (2003), menyusul Harry Potter and the Half-Blood Prince (2005) dan Harry Potter and the Deathly Hallows (2007)”.

Kenapa tiga penulis di atas bisa produktif dalam menulis ? Jawabnya adalah karena mereka mampu memanfaatkan pengalaman hidupnya dan mengolahnya/ memaparkannya ke atas kertas secara kreatif. Jika berbicara tentang topik menulis kreatif maka, ternyata juga banyak penulis kreatif dari negara kita, seperti Andreas Hirata si penulis novel Laskar Pelangi. Dulu ada lagi penulis muda seperti Zara Zetira, Hilman penulis Lupus, La Rose dan lain-lain.

Naning Pranoto dengan bukunya yang berjudul “Creative Writing – 72 Jurus Seni Mengarang (Jakarta: PM Pustaka, 2004)” juga bisa disebut sebagai pakar penulis kreatif. Dia menekuni dunia creative writing, sekaligus secara formal belajar mengenai bidang menulis dan sebelumnya ia juga bekerja sebagai wartawan majalah Mutiara dan Kartini. Ia juga telah menulis sekitar 15 novel dan juga menulis buku non fiksi. Ia juga rajin sebagai salah satu pakar penulisan yang aktif membagikan ilmunya melalui berbagai workshop penulisan kreatif. Tampaknya, latar belakangnya sebagai jurnalis serta kekayaan imajinasinya memungkinkan untuk kreatif dalam menulis.

Proses kreatif menulis seseorang sebenarnya bisa menjadi pengalaman bagi penulis lain-penulis pemula. Pelatihan untuk menjadi penulis kreatif sangat berguna untuk meningkatkan kualitas tulisan para penulis muda. Karena siapa saja bisa menulis asalkan ia mau dan disiplin dalam menulis, serta tahu apa yang mau ditulisnya. Salah satu persyaratan untuk menjadi penulis yang berkualitas tentu saja harus banyak membaca. Namun untuk penulis pemula, cukup dulis menulis dari pengalaman-pengalamannya atau impian-impiannya dan sebagainya.

Menjadi penulis kreatif itu banyak manfaatnya. Menulis berguna untuk mengekspresikan butir-butir pemikiran, ide-ide atau gagasan untuk menjadi inspirasi pembacanya. Menulis juga sebagai terapi jiwa—semacam pelepasan. Banyak orang yang berbagi problem (curhat) dengan buku diary-nya dan akhirnya tulisannya bisa memberikan pencerahan.

Minat menulis masyarakat kta- terutama kaum remaja dan pelajar- dewasa ini sudah meningkat. Internet bisa digunakan sebagai sarana untuk berkarya, dan mereka meng-upload tulisan sendiri apakah fiksi dan non fiksi pada blogging mereka sendiri (lewat wordpress, blogspor, yahoo dan lain-lain). Tulisan mereka juga bertebaran dalam Koran dan majalah, tentu saja juga banyak tulisan mereka yang belum mereka publikasikan. Mempunyai teman untuk sharing (berbagi) dalam menulis bisa pula menjadi sumber inspirasi dan energi untuk terus menulis.

Memiliki blogging untuk tulisan pada internet sangat bermanfaat. Bahkan tidak sedikit yang meng-upload naskah pada blogging, bisa diterbitkan menjadi buku. Penulis sendiri juga mempunyai blogging pada blogspot dan sebuah penerbit dari Yogyakarta menjumpai naskah buku lewat blogging tersebut. Selanjutnya terjadi kontak perjanjian untuk menerbitkan buku penulis yang berjudul “School Healing Menyembuhkan Problem Sekolah”. Buku tersebut sangat tepat dibaca oleh masyarakat: orang tua, guru, masyarakat, pendidik di perguruan tinggi dan mahasiswa.

Tapi ada juga yang sekadar iseng-iseng dalam menulis. Mereka membuat blogging kemudian tidak menulis lagi dengan sejuta alas an: “tidak punya waktu atau tidak in the good mood”. Idealnya bahwa kalau memang mau menulis seharusnya tidak usah menunggu in the good mood. Soal waktu memang adalah alasan yang sudah klasik, “Wah saya sibuk, wah saya tidak punya waktu”. Pokoknya bisa dibuat seribu atau sejuta alasan dengan menggunakan kata kata “tetapi atau but”.

Dalam menulis ada juga yang menggunakan strategi “controversial”. Menulis itu tidak selalu membuat penulis jadi kaya. Buku penulis bisa jadi sangat menarik, namun saya sebahagian orang ingin memperolehnya secara “gratis”. Apakah ini sebagai efek dari fenomena gratis- Pendidikan Gratis, Biatya Obat Gratis, Kuliah gratis dan gratis…..gratis…..gratis yang lainnya. Penulis mungkin lebih mudah menjadi (agak) kaya dengan membuat kursus Bahasa Inggris, Kursus Bahasa Perancis atau bimbingan belajar, sehingga uangnya bisa diraup per minggu atau per bulan.

Menulis bagi penulis memberikan kepuasan batin tersendiri karena bisa berbagi opini dengan banyak teman dan punya banyak teman sedunia. Prospek menulis buka kadangkala kurang bagus . Sebab buku kadangkala kurang bagus promosi dan distribusinya. Kadang kala penerbit di Indonesia belum mau mengeluarkan dana untuk promosi, bahkan untuk meluncurkan atau launching saja tidak mau. Jadi, penulisnya mesti ikut aktif, kalau perlu membiayai peluncurannya. Namun jangan patah dalam menulis karena paparan pengalaman penulis ini.

Menulis kreatif dapat diawali dengan cara menulis apa saja. Menulis bisa ibarat membaca. Apa yang kita baca bisa menjadi sumber tulisan kita. Dan faktor yang berpengaruh pada produktivitas kita adalah karena penulis memang selalu terdorong untuk menulis, the strong will to do writing!.

Menulis butuh ide, bisa jadi datang dari berbagai hal. Ide-idenya bisa bersumber dari perjalanan hidup (misal menulis novel atau cerpen) saat kita bertemu dengan berbagai manusia dengan berbagai karakter, “Saya hanya menulis apa yang saya tahu, saya lihat dan saya pahami”. Seorang penulis idealnya juga harus membaca biografi atau karya penulis lain. Maka kita bisa mencari karya dari penulis pemenang nobel sastra, seperti pengarang dari barat “Garcia Marquez, Toni Morrison, Gunter Grass, Hemingway, Fulker”, juga bisa dari pengarang Timur seperti Buya Hamka, Nawal El Sadawi yang feminis, dan lain-lain. Tapi idealnya kita baca karya penulis kaliber dunia.

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan tentang bagaimana melakukan aktivutas menulis yang kreatif itu. Penulis punya pengaruh yang hebat dalam membuat daerah dan oipininya dapat dikenal oleh masyarakat/ pembaca secara luas dan bertahan sampai bertahun-tahun. Menulis tidak hanya monopoli kaum pria namun wanita juga bisa menjadi penulis yang hebat. Pengalaman pribadi dan pengalaman orang lain- tentang suka duka kehidupan - bisa menjadi bumbu atau inspirasi dalam menulis.
Tiap penulis tentu punya selera atau strategi sendiri dalam menulis, ada yang bercanda, bergurau, mengeritik atau menulis secara kontroversi. Ada orang yang produktif dalam menulis- melalui sudut pandang yang kontra- misal menulis tentang budaya sendiri saat berada jauh dari kampung halaman. Semua penulis idealnya banyak bertukar fikiran, membaca karya dan fikiran orang lain- kalau boleh karya atau buku berkaliber dunia.

Menulis tidak langsung membuat seseorang jadi kaya, tapi menulis bisa menjadikan seseorang populer, punya banyak teman dan mendatangkan rasa puas tersendiri. Dari sudut akademik, kemampuan menulis sangat membantu. Kenapa ada mahasiswa dan sarjana yang terjebak dengan karakter negatif “copy paste, membuat karya tulis aspal- asli tapi palsu, melakukan plagiat atau memalsukan karya tulis orang lain yang sangat memalukan ” ?. Kenapa cukup banyak mahasiswa setelah menyelesaikan semua mata kuliah terpaksa angkat kaki (drop out) dari universitas ? Salah satu penyebabnya adalah tidak mampu menulis proposal, menulis laporan skripsi, tugas akhir, tesis dan disertasi. Maka mereka yang menggeluti penulisan kreatif insyaallah akan terbebas dari masalah ini.

Dalam zaman ICT ini, dimana seseorang orang bisa menjadi lebih kreatif lagi- memanfaatkan account pada google, yahoo, hotmail, plasa, dan lain-lain, untuk menjadi bloggers. Mereka bisa membuat blogging melalui blogspot, wordpress, multiply, atau yang lain. Namun jangan melakukan proses kreatif setengah hati dengan alasan klasik “wah saya tidak punya waktu untuk menulis”. Menulis pada blogging bisa membuat kita jadi kreatif. Tulisan kita akan bermanfaat bagi orang lain dan bagi kita sendiri. Manfaat yang utama adalah adanya rasa puas dalam hati- punya banyak teman dan selalu memuat kita awet muda- muda pikiranya dan jauh dari kepikunan, karena otak atau fikirannya selalu bekerja dan bermanfaat bagi orang. Khairunnas anfahum linnas- manusia yang baik adalah yang bermanfaat bagi orang lain.

Senin, 19 April 2010

Kehilangan Figur Ayah Membuat Pria Sulit Jatuh Cinta

Kehilangan Figur Ayah Membuat Pria Sulit Jatuh Cinta
Oleh: Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

Dalam kehidupan ini sangat banyak pengalaman-pengalam an menarik yang dapat kita pungut dari lingkungan untuk menjadi pengalaman yang positif bagi kita (sebagai suri teladan dalam kehidupan). Persis seperti yang diungkakan oleh pribahasa populer yang berbunyi “experience is the best teacher”, pengalaman adalah guru yang terbaik dan “alam takambang jadi guru”. Paparan tulisan berikut adalah pengalaman seorang teman yang dituturkan kepada penulis tentang kesulitannya dalam jatuh cinta dan ia ketakukan kalau menjadi seorang “Gay”. Namun ia melakukan proses kreatif dan self-therapy untuk menyembuhkan problemnya. Ia menyadari bahwa kesulitan psikologisnya terjadi karena ia semapt kehilangan figur ayahn dalam hidupnya.

Pencarian figur (tokoh idola dalam hidup) mulai terjadi sejak awal kehidupan setiap orang, dan mencampai puncak identifikasi (mencari identitas diri) pada masa remaja- keseluruhan masa ini dapat juga disebut dengan “golden age”. Anak laki-laki menjadikan ayah sebagai tokoh idola, sebagai teman bermain dan ibu tempat bermanja-manja. Sebaliknya bagi anak perempuan tentu saja menjadikan ibu sebagai tokoh idola dan figur ayah tempat bermanja-manja. Makanya terlihat bahwa anak laki-laki gemar meniru prilaku ayah (meniru gaya berbicara ayah dan cara-cara yang lain) dan anak perempuan meniru prilaku ibu- mereka bermain peran sambil meniru bagaimana sang ibu marah atau menggoda bayi.

Andai figur ayah atau figur ibu sempat hilang atau susah untuk diperoleh maka figur tokoh pengganti juga bisa mengganti posisinya. Kehadiran kakek, paman dan famili laki-laki dewasa juga bisa menjadi sumber identifikasi bagi anak laki-laki. Kemudian, kehadiran figur nenek, tante dan famili perempuan yang telah dewasa juga bisa menggantikan figur ibu yang hilang.

Agaknya di lingkungan pedesaan atau pada rumah yang kekerabatannya masih luas (extended family atau keluar besar), maka kehilangan figur ayah atau ibu, karena mereka studi, meninggal dunia atau bercerai. Ini tidak akan memberi masalah yang besar bagi pencarian tokoh identitas bagi anak laki-laki/ anak perempuan. Sebab, seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa mereka bisa memperoleh tokoh panutan atau tokoh identifikasi dari kakek atau nenek, paman atau tante dan orang dewasa yang terlibat dalam pengasuhan pada mereka.

Ayah yang berkarakter smart (rajin dan bijaksana) juga bisa menularkan karakter smart tersebut pada pribadi anak laki-laki. Begitu juga bibi yang rajin dan tekun juga bisa menularkan karakter rajin/ tekun pada anak perempuan mereka. Kemudian, mengapa ada anak-anak yang berkasus di sekolah- malas, santai, menjadi pengganggu, kehilangan motivasi dan semangat bekerja/ belajar pada masa remaja? Ini bisa ditelusuri kepada bagaimana karakter ayah dan ibu mereka di rumah.

Demikian pula halnya dalam pencarian jati diri dalam hal cinta. Anak perempuan akan belajar mencintai lawan jenis berdasarkan pola cinta ibu pada ayahnya dan anak laki-laki akan belajar mencintai lawan jenis melalui cinta ayah pada ibunya. Anak-anak laki laki yang memiliki ibu sedikit pemarah cenderung mencari wanita yang agak agresif atau pemarah dan anak perempuan yang ayahnya humoris tentu juga mendambakan pasangan hidup yang juga humoris.

Lantas ayah dan ibu yang selalu betengkar, kemudian sang ibu menceritakan karakter jelek sang ayah pada anak perempuan tentu akan sangat berbahaya terhadap psikologi anak. Karena ini sangat berpotensi membuat anak perempuannya menjadi “dingin pada pria” (Kaum ibu perlu tahu bahwa tidak tepat menceritakan tentang kejelekan suami pada anak anak perempuan maupun anak laki-laki, sebab membuat anak perempuan benci dengan makhluk pria dan anak laki-laki kehilangan karakter jantannya). Begitu pula dengan ayah yang tidak punya peran apa-apa di rumah, sangat berpengaruh untuk membuat anak laki-laki kehilangan keperkasaan dalam dirinya.

Mencintai lawan jenis, sebagai mana dijelaskan di atas, sangat dipengaruhi oleh karakter orang tua. Ini juga dialami oleh teman penulis, yang bernama Abel (seorang remaja laki-laki dan bukan nama sebenarnya). Pada masa kanak-kanak, figur ayah sudah menjadi tokoh identitas baginya. Ia cukup akrab dengan ayah dan sering melakukan kebersamaaan di waktu senggang. Ia ingin gagah dan banyak teman seperti ayah, ia ingin kuat seperti ayah dan ia akan memilih karir sebagai penguasaha seperti sang ayah.

Tiba-tiba saat Abel duduk di bangku SMP, ia merasakan tidak ada ketenangan dalam rumah. Ayah dan ibu selalu bedebat, bertengkar dan adu mulut oleh hal-hal sepele. Abel menjadi bingung dan ia tidak bisa lagi berkosentrasi dalam belajar dan berkosentrasi dalam melakukan hobi membacanya. Ia menjadi remaja yang suka ke luar rumah. Di sekolah kadang kadang ia bermasalah dengan guru gara-gara lupa membuat PR.

Disiplin Abel dalam belajar dan dalam membantu pekerjaan di rumah sudah mulai berantakan. Apalagi Abel merasa lebih senang bila ia bisa tidur di rumah teman. Suatu malam temannya memutar film panas yang cocok dikosumsi oleh orang dewasa dalam kamar dan mereka nonton bareng. Pengalaman-pengalam an ekstra (pengalaman esek-esek) sering diperoleh anak lewat bergaul dengan teman. Malah dua orang remaja laki-laki atau remaja perempuan yang tidur dengan cara berbagi ranjang yang sempit sangat dikhawatirkan akan muncul prilaku lesbianisme atau homoseks karena dorongan libido yang tebentuk pada masa remaja maka mereka saling meraba-raba diri, lama-kelamaan jadi ketagihan. Untuk itu sangat dianjurkan kepada orang tua dan juga pengelola sekolah berasrama 9seperti di pesntren) agar mencegah siswa tidur pada satu kasur bersama-sama.

Di rumah teman-lah Abel mengenal film porno, bacaan porno dan bersama teman pula Abel memperoleh pengalaman menghisap rokok, mula-mulanya secara iseng dan ikut-ikutan, selanjutnya merokok sudah menjadi kebutuhan dan gaya hidup. Kalau tidak ikut menghisap rokok maka ia akan diledek dan dihina “wah kamu tidak jantan… wah kamu kayak perempuan saja”. Orang tua perlu mengenal dengan siapa anak bergaul/ berteman dan andai kata anak bermalam di rumah teman , maka orang tua juga harus tahu bagaimana kondisi sosial rumah dari teman anak kita, apakah sesuai dengan standar moral atau serba membolehkan pergaulan bebas ?.

Prahara pun datang. Akhirnya ayah Abel punya wanita simpanan (nikah siri) dan hari-hari di rumah seperti neraka. Sang ibu menjadi aneh, berkarakter sensitive- mudah marah marah atau menangis sepanjang waktu. Abel tentu saja tidak menyukai karakter ibu seperti ini. Abel membenci karakter ayah dan juga kurang simpati dengan karakter sang ibu. Akhirnya Abel tumbuh sebagai remaja tanpa idola dan remaja yang susah mengenal betapa indahnya jatuh cinta.

Satu hal yang masih tersisa pada diri Abel yaitu semangat atau motovasi belajar yang tinggi dalam suasana rumah yang berantakan . Ia mencari kesibukan positif dan mampu mengontrol diri dan meningkatkan kosentrasi belajar yang tinggi. Dalam kondisi rumah yang gersang dan suasana emosional yang penuh kebingungan Abel masih bisa meraih prestasi akademik. Ia mampu melanjutkan studi dari SMA ke perguruan tinggi yang agak favorite dan Abel masih bisa menyelesaikan studi sesuai dengan rencananya.

Namun aneh, “teman –teman Abel kok mudah jatuh cinta tapi tidak demikian bagi Abel ?”. Walau dia masih menganggap diri normal- tidak tetarik pada kaum sejenis (Aku masih normal katanya), namun ia sulit jatuh cinta pada wanita kecuali sekedar berteman akrab saja. Teman-temannya memandang bahwa Abel beruntung karena ia bisa TTM (teman tapi mesra) dengan banyak wanita remaja atau wanita dewasa berusia muda. “wah kau beruntung Abel, punya wajah cakep dan bisa punya pacar yang cantik”. Namun ia merintih dan menjerit “Aku sulit menyukai wanita dan tidak pernah merasa jatuh cinta pada wanita”.

Abel sudah berusia hampir seperempat abad (25 tahun). Teman-temanya sudah ada yang bertunangan dan jatuh cinta dengan penuh romantika. Lagi-lagi, Abel sebenarnya tidak pernah jatuh cinta. “Kalau kamu mengalami mimpi basah (wet dream), siapa yang kamu bayangkan dalam mimpimu?”. Nah itulah problemnya, ia hanya membayangkan orang lain dalam adengan romantis dan ia sebagai penonton dan ia bukan sebagai aktor dalam mimpi romantisnya. Selanjutnya ia takut menikah, takut kalau tidak bisa menjalankan peran sebagai suami sejati. Ia juga takut dan khawatir disebut sebagai homoseks atau anggota gay yang tidak sesuai dengan kodrat manusia normal. Sering Abel jadi takut dan tidak bisa tidur (insomania) bila memikirkan hal tersebut. Figur ayah yang hilang telah membuat nya ketakutan dalam menjalin cinta dengan wanita, takut kelak ia tidak bisa mebuat wanita puas atau bahagia- terutama dalam berhubungan biologis.

Abel termasuk pria yang tidak suka meratapi diri, maka ia rajin mencari artikel tentang “how to fall in love and how to love woman”. Ia mencoba menjalin cinta dengan wanita yang lugu, yang tidak tahu banyak dengan psikologi dan maskulinitas kaum pria, Dengan cara demikian ia bisa berperan cukup aktif dan agresif pada lawan jenis (kekasihnya) . Abel pun mulai bisa berjalan-jalan di taman dengan romantis walau kadang-kadang sedikit berpura-pura dengan wanita yang sudah dianggap sebagai pacarnya.

Akhirnya Abel menemui cintanya dan mulai melangkah serius untuk jenjang perkawinan. Ia rajin bertukar pengalaman tentang bagaimana untuk membina rumah tangga. Akhirnya cinta Abel dengan soulmatenya bias meningkat. Menjalin pertunangan dan melakukan pernikahan yang sangat direstui oleh keluarga menjelang usia 30 tahun.

Pesta sudah berakhir namun setelah dua minggu, Abel dan istrinya masih berstatus perawan-ting ting dan perjaka tulen secara biologis. Untung istrinya tidak banyak menuntut. Istrinya cuma hampir tiap malam membisikan ke telinga Abel “Tunaikanlah tugas mu pada ku Bang Abel !”. Abel pada mula merespon dengan keringat dingin, penuh cemas dan ereksinya malah hilang. Namun mereka berdua selalu rileks dan saling memahami karakter- karakter Abel sebagai pria yang mudah cemas.

“Bang Abel mungkin stress ya. Untuk itu kita sabar. Aku juga sabar dan aku kan istrimu, bang”. Wanita yang tenang, penuh pengertian dan tidak banyak menuntut sangat membantu dalam memulihkan rasa percaya diri atas kejantanan sang suami. Abel mulai mampu untuk mengontrol diri, menguasai emosi dan mengenal psikologi serta organ biologi pasanagn nya. Malam itu Abel bisa menunaikan tugas nya, walau belum seratus persen plong, sebagai lelaki tetapi dengan karakter yang cemas dan ketakutan akan gagal dalam menjalankan peran.

“Mengapa abang Abel serba terburu-buru dan ketakutan menunaikan tugas mu pada ku”, Kata istrinya, dan Abel menjelaskan latar belakang dirinya dengan karakter ayah yang kurang pasa untuk perkembangan jiwanya. Untuk memulihkan rasa percaya diri sebagai lelaki maka Abel juga mengkonsumsi tablet penambah hormone, melakukan olah raga agar membuat staminanya cukup bagus. Melalui beberapa kali terobosan cinta, Abel mampu membuktikan bahwa ia juga perkasa. Malam selanjutnya istrinya membisikan “Kenapa kau sekarang jadi hebat (perkasa) bang Abel ?” Pengakuan atas kehebatan dan keperkasaan atas suami oleh istri membuat harga diri pria (suami) kembali pulih. Efek positif tentu saja sang istri akan panen kehangatan.

Pada hari hari berikutnya dan hubungan cinta selanjutnya Abel dan istrinya bisa berjalan sangat normal. Beberapa bulan kemudian istri Abel mulai memperoleh “morning sickness” dan ia mual-mual dan ngidam. Abel menjadi bangga dan lebih percaya diri dan selalu berkomat-kami memuji Rabbi “Alhamdulillah- Tuhanku telah menormalkan emosiku, sehingga sekarang aku mampu menunaikan tugas ku sebagai suami dan kelak bila bayiku lahir aku insyallah menjadi ayah yang baik bagi bayi-ku”.

Abel mengatakan bahwa kehilangan figur ayah sempat membuat percaya dirinya sebagai lelaki berantakan. Namun masalah kejiwaan tentu bisa diatasi dengan ketekunan dalam mengubah cara pandang dan melakukan terapi bersama teman hidup (istri) yang dicintai.

Sekarang juga banyak laki-laki yang takut untuk menikah. Bila alasanya karena tidak mampu padahal karir dan ekonominya cukup mapan maka diperkirakan mereka mengalami krisis jati diri sebagai calon suami yang juga dialami oleh Abel, maka ada baiknya mereka belajar dari pengalaman Abel dalam jatuh cinta dan menikah. Kemudian juga diserukan kepada sang ayah dan sang ibu agar “jadilah figur membina rumah tangga yang baik bagi anak-anak” agar sang anak kelak tidak bermasalah dengan cinta dan perkawinan mereka. .

Rabu, 14 April 2010

Proses Belajar Kreatif Para Ilmuwan

Proses Belajar Kreatif Para Ilmuwan
Oleh: Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

SMA (Sekolah Menengah Atas) adalah sekolah yang sangat banyak dipilih untuk sekolah tingkat SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas). Di sekolah ini (SMA) dan juga di Madrasah Aliyah, jurusan sains dianggap jurusan paling favorit. Mula-mula jurusan ini bernama jurusan paspal, kemudian menjadi IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), kemudian jurusan ini pecah dua menjadi jurusan fisika dan jurusan biologi, kemudian menjadi jurusan IA (Ilmu Alam), ada lagi yang menyebutnya dengan jurusan sains. Bidang studi yang meliputi jurusan ini adalah matematika, biologi, fisika, kimia, dan matematika. Sekarang ke empat bidang studi ini tercakup ke dalam bidang studi yang diuji dalam UN (Ujian Nasional).

Alasan mengapa jurusan IPA banyak dipilih (menurut anggapan siswa) karena kemungkinan untuk meraih sukses kuliah di universitas dengan jurusan bergengsi lebih luas. Kemudian, kesempatan untuk merair sukses dalam karir juga lebih besar. Namun apakah hal ini benar dan apakah mereka telah belajar secara kreatif ?

Menjadi kreatif di zaman modern saat ini sudah menjadi sebuah kewajiban. Suaru negara tentu akan menghadapi banyak masalah jika negara tersebut kurang memberdayakan sumber daya manusianya untuk bisa menjadi kreatif. Menjadi kreatif itu luas maknannya. Kreatif dalam berkarya, kreatif dalam berpikir bahkan berkreatif dalam menyelesaikan masalah.

Dalam belajar sains atau IPA, guru dan siswa seharusnya perlu mengenal background dari ilmuwan dan bagaimana mereka bisa menciptakan konsep ilmu/ suatu rumus. Dalam realita bahwa umumnya guru dan siswa juga mengenal konsep dan rumus dan proses pembelajaran kerap kali bercorak membahas rumus dan soal-soal saja. Sangat tepat rasanya kalau guru dan siswa juga mengenal proses kreatif para ilmuwan (seperti Albert Einstein, Thomas Alfa Edison, Isaac Newton, Charles Darwin dan lain-lain) dalam menemukan suatu fenomena lewat membaca buku biografi mereka.

1) Einstein, cara berbicaranya pada masa kecil tidak begitu menarik. Kemampuan berbahasa atau berbicaranya sangat lambat. Melihat kondisi itu orang tuanya sangat prihatin sehingga ia berkonsultasi dengan dokter. Karena kemampuan berbicaranya yang lambat membuatnya pernah gagal di sekolah dan kepala sekolah menyarankan agar ia keluar dari sekolah. Tentu saja ia memberontak kepada sekolah yang mengusirnya dan menganggapnya sebagai anak yang sangat bodoh.

Pada masa kecil, Einstein adalah anak yang baik dan ia punya karakter suka menolong, karakter ini membuatnya makin cerdas. Kemampuan berbahasanya memang lebih rendah dibandingkan kemampuan numerika atau matematika. Ia tidak pernah gagal dalam mata pelajaran matematika. Sebelum ia berumur lima belas tahun ia telah menguasai kalkulus diferensial dan integral yang dipelajarinya secara mandiri/ otodidak. Saat di sekolah dasar, dia berada di atas kemampuan rata-rata kelas, namun ia memiliki kegemaran untuk memecahkan masalah rumit dalam aritmatika terapan. Orang tuanya ikut mendukung minat Einstein dalam matematika. Ia membelikan buku-buku teks sehingga ia bisa menguasai pelajaran angka-angka selama liburan musim panas.

2) Thomas Alfa Edison, ia belajar bagaimana cara menemukan lampu. Sebelum lampu pertamanya menyala ia melakukan 5000 eksperimen yang selalu berakhir dengan kegagalan. Namun cara berpikir yang dimiliki oleh Thomas Alfa Edison sangatlah positive dan tahan banting, ini membawanya kepada kreativitas tingkat tinggi.

3) Isaac Newton, lahir di Woolsthorpe- Lincolnshire, Inggris. Ia adalah seorang fisikawan, matematikawan, ahli astronomi, filsuf alam, alkimiwan, dan teolog yang berasal dari Inggris. Ayahnya yang juga bernama Isaac Newton meninggal tiga bulan sebelum kelahiran Newton . Newton dilahirkan secara prematur; Ketika Newton berumur tiga tahun, ibunya menikah kembali dan meninggalkan Newton di bawah asuhan neneknya.

Newton memulai sekolah saat tinggal bersama neneknya di desa dan kemudian dikirimkan ke sekolah bahasa di daerah Grantham dimana dia akhirnya menjadi anak terpandai di sekolahnya. Saat bersekolah di Grantham dia tinggal di-kost milik apoteker lokal (William Clarke). Sebelum meneruskan kuliah di Universitas Cambridge (usia 19), Newton sempat menjalin kasih dengan adik angkat William Clarke, Anne Storer. Namun Newton memfokuskan dirinya pada pelajaran dan kisah cintanya menjadi semakin tidak menentu/ putus begitu saja.

Keluarganya mengeluarkan Newton dari sekolah dengan alasan agar dia menjadi petani saja, bagaimanapun Newton tidak menyukai pekerjaan barunya. Kepala sekolah King's School kemudian meyakinkan ibunya untuk mengirim Newton kembali ke sekolah sehingga ia dapat menamatkan pendidikannya. Newton dapat menamatkan sekolah pada usia 18 tahun dengan nilai yang memuaskan.

Newton diterima di Trinity College Universitas Cambridge (sebagai mahasiswa yang belajar sambil bekerja untuk mengatasi masalah keuangannya) . Pada saat itu, kurikulum universitas didasarkan pada ajaran Aristoteles, namun Newton lebih memilih untuk membaca gagasan-gagasan filsuf modern yang lebih maju seperti Descartes dan astronom seperti Copernicus, Galileo, dan Kepler. Ia kemudian menemukan teorema binomial umum dan mulai mengembangkan teori matematika yang pada akhirnya berkembang menjadi kalkulus.

4) Charles Darwin lahir tanggal 12 Februari 1809 di Shropshire , Inggris. Ia anak ke lima Robert Waring Darwin. Ia belajar sesuai dengan kurikulum berbahasa Yunani Klasik. Ia tidak memperlihatkan prestasi yang banyak secara akademik. Kemudian ia mengambil jurusan kedokteran tetapi tidak banyak memperoleh kemajuan. Untuk itu ia melakukan usaha lain agar bisa maju. Ayahnya menyarahkan Darwin untuk menjadi pendeta dan belajar di Christ's College untuk belajar teologi. Tetapi ia juga tidak memperoleh kemajuan, ia malah senang berburu dan permainan menembak.
Ternyata Darwin mempunyai minat dalam mengkoleksi tanaman, serangga, dan benda-benda geologi. Ia tertarik dengan bakat berburu sepupunya William Darwin.

Darwin mengembangkan minatnya dalam serangga dan spesies langka. Naluri ilmiah Darwin didorong oleh Alan Sedgewick, seorang ahli bumi, dan juga didorong oleh John Stevens Henslow, seorang professor botany. Darwin kemudian menjadi naturalist (pencinta alam) dan ikut melakukan ekspedisi dengan HMS Beagle. Tim ekspedisi HMS Beagle berlayar dan mengunjungi banyak negeri di lautan Pasifik Selatan sebelum kembali ke Inggris melalui Tanjung Harapan Baik di Afrika Selatan, dalam rangka mengelilingi dunia.

Darwin juga sangat dipengaruhi oleh pemikiran Thomas Malthus, dengan bukunya “Essay on the Principle of PopulationI”. Buku tersebut mengatakan bahwa populasi seharusnya bertambah sesuai dengan batas persediaan makanan, kalau tidak maka akan terjadi persaingan untuk memperebutkan makanan. Setelah membaca buku ini, Darwin memfokuskan teorinya bahwa “the diversity of species centered on the gaining of food - food being necessary both to survive and to breed”- semua jenis spesies terfokus dalam memenuhi kebutuhan makanan dan makanan berguna untuk kelangsungan hidup dan untuk berkembang biak.

Dari paparan di atas terlihat bahwa sukses seorang ilmuwan berskala dunia tidak jatuh dari langit, atau diperoleh saat kelahirannya. Kesukses sebagai ilmuwan diperoleh melalui proses kreatif (belajar kreatif) selama hidupnya.

Tidak semua orang memiliki kemampuan berganda yang hebat, Einstein misalnya pada masa kecil tidak beruntung dengan kemampuan bahasanya, namun ia mengembangkan kemampuan yang lain. Einstein bisa melejit pada bidang matematika. Bagi kita, mungkin bisa melejit pada bidang olah raga, musik, organisasi atau pada bidang lain.

Kesuksesan seorang anak juga akan terbentuk dengan dukungan orang tua seperti yang dialami Einstein, atau dukungan tokoh lain seperti yang dialami oleh Darwin . tidak mungkin seseorang bisa sukses untuk skala nasional, apalagi untuk skala internasional kalau mereka tidak betah membaca. Newton membaca gagasan-gagasan filsuf seperti Descartes dan astronom seperti Copernicus, Galileo, dan Kepler. Darwin dipengaruhi oleh pemikiran (buku) Thomas Malthus, nah bagaimana dengan anda ? Orang bisa sukses karena memiliki karakter tidak mudah putus asa, Thomas Alfa Edison, misalnya, sangat tahan banting dan tidak suka mengeluh. Sebelum menemui sebuah lampu pijar yang bisa menyala, ia harus melakukn 5 000 kali eksperimen di bengkel milik ayahnya.

Bagaimana proses belajar kreatif para ilmuwan berskala internasional ? Cukup simple yaitu miliki suatu bakat atau minat dalam bidang ilmu (misal dalam seni, fisika, kimia, sejarah, ekonomi, geografi, dll), kemudian kembangkan minat tersebut dengan belajar keras dan lakukan otodidak. Mintalah dukungan dari orang terdekat, termasuk guru. Miliki karakter yang tahan banting (tidak suka putus asa dan mengeluh), miliki minat dan kesenangan membaca yang mendalam untuk mnambah wawasan. Untuk sukses maka diperlukan puluhan, ratusan atau ribuan kali latihan.

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...