Tampilkan postingan dengan label pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pendidikan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 November 2009

Saatnya Belajar Dengan Cara Yang Menyenangkan

Saatnya Belajar Dengan Cara Yang Menyenangkan
Oleh : Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
 
Dalam abad ke 21 ini sudah ada ribuan atau puluhan ribu sekolah, di persada ini, mulai dari tingkat rendah sampai ke tingkat yang lebih tinggi, dibangun sebagai tempat untuk untuk mendidik generasi muda agar mereka bisa menjadi bangsa yang bermartabat. Sekolah itu sendiri coraknya ada tiga, yaitu sekolah formal, informal dan non formal. Sementara rumah itu dengan eksistensi ayah dan ibu juga dapat dianggap sebagai sekolah pertama bagi anak dalam memahami kehidupan dan menguasai life skill  (keterampilan hidup). .
Kemudian bagaimana cara pandang anak-anak yang belajar di sekolah tersebut ?, Tentu saja juga bervariasi. Ada anak yang memandang sekolah sebagai tempat penyiksaan, karena mereka dipaksa melakukan latihan demi latihan dengan ancaman dan tekanan dari bapak dan ibu guru di sekolah. Ada yang memandang sekolah sebagai penjara, karena terpenjara dari pagi hingga sore sehingga kehilangan waktu untuk menjelajah di sawah dan dimkebun. Kemudian juga ada yang memandang sekolah sebagai pabrik otak. Karena disana ada unsur input/ masukan, proses dan output atau produk, dan anak anak didik dipandang sebagai benda dan siap untuk dilatih dan dilatih melulu tanpa memahami apa dan bagaimana hakekat belajar itu sendiri. Idealnya semua anak musti memandang sekolah sebagai tempat yang menyenangkan untuk transfer ilmu agar berubah menjadi manusia yang lebih beradab. .
Rasa senang dalam belajar adalah masalah suasana hati. Ini diperoleh melalui perlakukan guru dan orang tua melalui dorongan dan motivasi mereka. Sebenarnya yang diperlukan oleh anak-anak dalam belajar adalah rasa percaya diri. Maka tugas orang tua dan guru tentu saja menumbuhkan rasa percaya diri mereka.. Dari pengalaman hidup, kita sering menemukan begitu banyak anak yang ragu-ragu atas apa yang mereka pelajari, sehingga mereka perlu didorong dan diberi semangat lewat kata- kata dan perlakuan.
Agar setiap anak bisa belajar dengan senang dan memperoleh hasil yang optimal, maka orang tua sebagai pengasuh di rumah dan guru dari balik dinding sekolah perlu memperkenakan tentang keterampilan belajar, kemampuan dalam berkomunikasi dan memperoleh lingkungan yang menyenangkan. Ternyata belajar juga memerlukan keterampilan. Agar seorang siswa tidak terjebak dalam kebosanan gaya belajar yang monoton (belajar cuma sekedar mencatat perkataan guru dan menghafal melulu) maka mereka perlu tahu bagaimana cara membaca , cara mencatat, cara mengolah suasana hati yang jitu, cara mengolah lingkungan dan cara berkomunikasi dengan guru dan teman teman selama pembelajaran.
Kemampuan dalam berkomunikasi juga menentukan apakah suasana belajar menyenangkan atau tidak. “Bukankan hidup kita juga ditentukan oleh suasana komunikasi atau seni berbahasa”. Berbahasa ? Tentu saja cara berbahasa itu ada 2 macam yaitu: yang menyenangkan atau cara berbahasa yang mengecewakan. Guru maupun orang tua, walaupun katanya selalu mendorong anak agar jadi pintar dalam belajar namun kadang kala cara berbahasa kurang pas menurut pribadi sang anak. “Aku tidak senang belajar dengan guru itu…. Atau tidak suka dengan suasana di rumah ?”. Tentu saja karena gaya berbahasa yang kasar, cerewet, banyak mengomel, suka membentak, banyak memperolok-olokan sang anak, meremehkan harga diri dan ada belasan cara berbahasa negatif lainnya.
Dua orang yang sedang jatuh cinta bisa hubungan mereka bisa  segera putus gara-gara berbahasa yang tidak simpatik menurut pandangan partnernya. Sebaliknya cinta mereka bisa langgeng karena “cara berbahasa yang menarik” selalu mempertahan cara berbahasa yang sopan, santun dan lembut. Suasana berbahasa yang menyenangkan (bernuansa positif: bahasa yang penuh pujian, dorongan/ motivasi dan penghargaan) dan diikuti oleh lingkungan yang menyenangkan tentulah akan membuat potensi belajar anak akan meningkat.. Suasana lingkungan rumah yang kerap membuat anak tidak nyaman adalah kondisi rumah yang sempit, pengap, sembrawut dan ruangan rumah yang hiruk pikuk oleh suara elektronik (lagu dan tayangan televise) yang cedrung membuat kita sendiri  susah berkomunikasi apalagi berkonsentrasi dalam belajar.
Secara umum mengapa pembelajaran anak kecil lebih sukses dibandingkan pembelajaran yang dilakukan oleh orang dewasa ? Sehingga ada pribahasa yang mengatakan bahwa “Belajar diwaktu kecil ibarat menulis di atas batu (akan selalu berbekas) dan belajar di waktu dewasa ibarat melukis di atas air (apa yang dipelajari akan cepat jadi sirna)”. Penyebabnya adalah selain faktor pertumbuhan otak, masa anak-anak dan remaja disebut sebagai the golden age- masa pertumbuhan otak yang pesat, adalah juga karena anak kecil cenderung melalui instink belajar secara global. Global learning atau belajar secara menyeluruh, ya ibarat bayi atau anak kecil yang meneliti lingkungan lewat mulut, tangan, dan mata untuk mengeksplorasi apa saja apa yang dapat dijangkau.  
Beruntunglah bayi dan anak kecil yang memiliki orang tua yang peduli dalam merangsang mereka dalam global learning- menyediakan sarana bermain dan belajar, kertas untuk dicoret atau untuk digunting, bunyi-bunyian, dan benda-benda lain untuk digengagam dan dilempar. Tanpa diikuti oleh kebiasaan orang tua yang terlalu banyak menolong, mengeritik dan serba banyak melarang. Selanjutnya bahwa untuk membuat suasana belajar bisa menjadi nyaman, sangat dipengaruhi oleh respond dan rangsangan (stimulus) lingkungan serta bagaimana tekhnik belajar/ mencatat dan pengalaman pribadi anak atau kita sendiri.  
Respon dan stimulus lingkungan
Tiap hari anak memperoleh dua macam komentar dari teman, orang tua, dan lingkungan yaitu komentar positif dan komentar negatif. Komentar yang sering terucap berhubungan dengan belajar bisa jadi berupa serangkaian kata-kata pujian atau cacian. “Kamu memang hebat, kamu memang pintar, kamu memang jenius, kamu memang disiplin atau yang negatif: kamu sungguh kurang ajar, kamu betul-betul bodoh, otak mu mungkin sudah penuh dengan pasir, kamu memang idiot, dan ada lagi sejuta kalimat negatif  lain yang sangat ampuh dalam menyayat perasaan sang anak”.
Sangat berbahaya bila sang anak atau sang siswa terlalu banyak memperoleh komentar negatif. Sebab semangatnya bisa jadi melorot. “Percuma saja aku rajin belajar atau rajin bekerja karena toh aku tidak akan pernah dihargai sebagai manusia”. Kalau begitu mengapa kita terbiasa gencar membombardir anak-anak atau orang- orang yang posisinya berada di bawah kekuasan kita dengan stimulus negatif. Mungkin gara-gara merasa sok berkuasa atau sok punya power yang membuat orang merasa mudah melemparkan kritikan dan komentar negatif.
Ada anak yang secara sekilas dipandang sangat beruntung karena tinggal dengan orang tua yang berpenampilan sangat gagah dan fasilitas hidup cukup mewah- punya mobil, disuruh ikut les ini dan les itu. Namun sang anak malah bermimpi bahwa alangkah indahnya kalau bisa pindah rumah. Ada apa gerangan ? ternyata Ia (anak) sering kena ancam atau tidak ada contoh,, “Kamu sudah aku masukan les privat sains dan les privat matematik, kalau masih rendah nilai mu, kau pindah saja sekolah ke kampung”. Itulah karena kebiasaan mengancam dan kritikan negatif, maka kecerdasan anak pada akhirnya akan mandek pada usia sekolah.
Sebaliknya, sekali lagi, beruntunglah anak yang memperoleh rangsangan dan respon positif. Anak anak yang memperoleh kaya rangsangan akan bisa menjadi pelajar yang sukses. Dengan kata lain bahwa lingkungan yang miskin rangsangan dan dan dibombardir dengan respon negatif  berpotensi menciptakan anak menjadi  pelajar yang lamban.
Mengapa guru dan orang tua kok senang dengan misbehave atau salah bersikap ? Jika anak merasa kurang percaya diri, maka bantulah dia. Coba menemukan hal hal positif pada dirinya dan pujilah dia agar rasa percaya dirinya bisa datang.  Komentar-komentar positif dapat membangkitkan percaya diri mereka.  
Orang belajar memang tergantung pada faktor fisik (suasana lingkungan), faktor emosional (suasana hati) dan faktor sosiologi atau lingkungan teman, guru, orang tua dan budaya sekitar. Maka berilah suasana pencerahan pada lingkungan, suasana hati dan suasana sosiologi anak.
Tekhnik menctat dan pengalaman pribadi
Cara belajar dan pengalaman pribadi juga menentuka apakah belajar itu nyaman dan menyenangkan atau tidak. Karakter orang belajar memang sangat bervariasi. Ada yang senang belajar dengan cahaya terang atau agak redup, ada yang belajar dengan berkelompok atau sendiri, ada yang senang belajar pakai musik atau suasana sepi, dan ada yang senang belajar dengan suasana berantakan atau rapi. Maka guru, juga para orang tua, perlu memahami variasi mereka dalam belajar dan jangan pernah terlalu mencampuri variasi belajar mereka - kalau akibatnya membuat anak kurang nyaman dan kurang senang dalam belajar.
Bobbi De Porter dan Hernacki (2002) mengatakan bahwa variasi belajar atau modalitas (cara menyerap informasi) juga bervariasi pada setiap orang. Ada orang atau anak yang mengandalkan kekuatan visual yaitu membaca, karakter orangnya adalah cara berbicara cepat. Ada yang bersifat auditorial atau mendengar, karakter orangnya adalah suka bicara sendiri dan kecepatan berbicara sedang, Kemudian ada orang berkarakter kinestetik atau banyak gerakan. Orangnya susah untuk tenang atau duduk diam dan berbicaranya lambat.
Perlu diingat bahwa dalam belajar, supaya anak juga perlu aktif dalam mencatat. Mencatat dalam belajar bermanfaat untuk meningkatkan daya fakir mereka. Ada dua macam cara mencatat: mencatat dengan membuat peta konsep (menulis poin-poin penting dan membuat hubunganya) dan mencatat tulis susun, atau menulis poin poin penting secara bersusun saja. Kiat tambahan dalam mencatat adalah mencatat untuk mendengar secara aktif, misal dalam seminar, pidato, ceramah.. Usahakan duduk paling depan.
Percaya atau tidak bahwa kita semua adalah penulis. Dorongan untuk menulis itu sama besar dengan dorongan untuk berbicara yaitu untuk mengkomunikasikan fikiran dan pengalaman kita. Selanjutnya milikilah dan perkayalah pengalaman hidup. Milikilah pengalaman pribadi yang banyak dan beragam dengan cara banyak bergaul dan melakukan perjalanan . Sebab orang yang mempunyai koleksi pengalaman pribadi yang banyak akan lebih kreatif dalam belajar dari pada  orang yang kurang pengalamannya.
Selain membiasakan mencatat selama belajar maka anak juga perlu mempunyai minat membaca dan mengetahui cara-cara membaca yang tepat. Perlu untuk diketahui tentang kecepatan membaca. Ada kecepatan membaca yang regular atau kecepatan biasa-biasa saja. Skimming atau membaca dengan melihat cepat, misal membaca buku telepon dan mencari kata dalam kamus. Scanning yaitu membaca sekilas, misalnya membaca headline pada Koran atau melihat daftar.
            Agar kita, anak, siswa dan siapa saja bisa merasakan suasana belajar yang menyenangkan maka musti membiasakan untuk berfikir kreatif. Hidup ini indah atau susah memang ditentukan oleh suasana hati dan fikiran. Berfikir kreatif, bukanlah masalah kerja lebih keras, tetapi berfikir dengan banyak alternatif. Orang yang kreatif senang selalu mencoba, melakukan petualangan dan bermain-main dengan tantangan. Salah satu latihan kreatif adalah bercerita tentang kejadian sehari-hari. “Ibu guru, bapak guru dan ayah-ibu di rumah perlu untuk menyisihkan sedikit waktu agar bisa sharing dan berbagi cerita tentang indah dan mudahnya hidupm ini dengan anak”. Last but not least (akhir kata) bahwa siswa/ anak perlu untuk mengulang materi pelajaran akan meningkatkan daya ingat dan pemahaman, sehingga belajar itu akhirnya memang bias jadi asyik, nyaman dan menyenangkan.

(Catatan :Bobbi De Porter dan Mike Hernacki. 2002. Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung : Kaifa)  Marjohan M.Pd, Guru SMA Negeri 3 Batusangkar.

Selasa, 15 September 2009

Semangat Eksplorasi Dan Kualitas Pendidikan


Semangat Eksplorasi Dan Kualitas Pendidikan
Oleh. Marjohan M.Pd
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

Kata lain dari “eksplorasi” adalah menjelajah. Kegiatan eksplorasi tentu saja banyak dilakukan oleh petualang dan pengembara. Kisah –kisah mereka sangat menarik untuk dibaca dan didengar. Dalam pelajaran sejarah dan pelajaran ilmu sosial lain, kita telah mengenal berbagai “eksplorator hebat” melakukan petualangan atau pengembaraan keliling dunia. Vasco Da Gama, Magelhein dan Ferdinan De Lessep menjelajah lautan luas untuk memenuhi rasa ingin tahunya yang kemudian sangat bermanfaat bagi pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Yang lain seperti Ibnu Batutah menjelajah dan menemui negeri-negeri di benua Asia lewat jalan sutera. Imam Al Gazali juga melakukan penjelajahan, penjelajahan spiritual. Saat senggang ia melakukan perenungan dan menulis hingga melahirkan buku-buku, yang paling terkenal adalah seperti buku “Ihya Ulummiddin, Alcemy of Happiness, Ketajaman Mata Hati”, dan lain-lain. Kemudian Arkeolog Belanda, Dubois, juga melakukan penjelajahan hingga menemukan fossil-fossil manusia purba Indonesia di desa Trinil, Jawa Timur.
Bagaimana kira-kira karakter dan pribadi dari penjelajah ulung seperti “Vasco Da Gamma, Ferdinan De Lessep, Magelhein, Ibnu Batutah, Imam Al Gazali dan Dubois ? Apakah mereka mempunyai karakter yang cengeng, manja, mudah putus asa, suka mengeluh, suka membuang-buang waktu dan suka hidup dengan jalan pintas dengan motto “hidup santai masa depan cerah”?. Tentu saja tidak, karena pasti mereka mempunyai karakter yang positif, seperti suka bekerja keras, mempunyai pendirian yang teguh, percaya diri yang mantap, banyak wawasan dan pergaulan, serta semangat pantang mundur dan berjiwa besar.
Kemudian bagaimana dengan karakter orang tua mereka sendiri ? Mereka pasti mempunyai orang tua yang juga mempunyai peran dan pengaruh besar terhadap perkembangan pribadi mereka- mengembangkan semangat percaya diri dan berjiwa besar. Karakter penjelajah yang telah menjadikannya sebagai orang hebat adalah karena karakternya yang kontras dengan karakter sebahagian anak-anak muda yang hidup di seputar kita, atau mungkin karakter kita sendiri. Bagaimana karakter tersebut ? Karakter seperti senang memanjakan diri dan menghibur diri.
Misalnya, kita sering malas berjalan kaki. Menempuh jarak setengah kilometer saja untuk pergi ke sekolah, ke kampus dan ke pasar, kita selalu mengandalkan sarana transport umum, seperti ojek. “wah aku letih kalau jalan kaki sendirian…, wah aku malu dilihat orang kalau berjalan sendirian..!” Kalau makan dalam suatu pesta, sebahagian masyarakat kita cenderung memperlihatkan karakter boros, mengambil semua hidangan dan kemudian separoh jalan, berhenti makan dan membiarkan makanan yang dipersiapkan oleh tuan rumah dengan harga mahal terbuang sia-sia, pada hal mereka mengaku sebagai orang Islam dan sangat tahu bahwa “almubazirun ikhwanusy syaitan- sikap hidup mubazir adalah sahabat syeitan”. Lagi lagi mereka merasa malu kalau dalam pesta menghabiskan hidangan yang ada dalam piring.
Karakter negative sebahagian masyarakat kita yang lain adalah merasa takut kalau berbeda dengan kebiasaan orang lain. Misal, risih dan malu kalau membaca di tempat umum, malu kalau disebut sebagai orang yang sok rajin- pokoknya malu kalau tampil berbeda dari yang lain. Karakter malu yang begini adalah sebagai karakter yang salah tempat. Yaitu rasa malu yang menghalangi diri untuk maju.
Kemudian , karakter-karakter negative lain yang juga berkembang dalam masyarakat kita adalah seperti karakter terlalu betah banyak menonton hingga menghabiskan waktu selama berjam-jam di depan layar kaca untuk menonton sinetron, iklan sampai kepada hiburan musik. Juga karakter yang mudah puas menjadi konsumen dan karakter terlalu suka membalut diri dengan penuh kepalsuan. Sebagian orang suka pamer kemewahan lewat property yang disewa atau dipinjam dari orang lain “hidup susah tetapi penampilan seperti toko mas berjalan”..
Diperkirakan bahwa karakter negative yang berkembang dalam masyarakat kita bisa jadi tumbuh sebagai dampak dari cara mendidik orang tua kita. Misalnya akibat dari kebiasaan orang tua yang miskin dengan nilai pendidikan. Tidak mengkondisikan anak untuk banyak melakukan hal-hal positif- pengalaman berkarya dan berorganisasi/ bersosial di rumah hingga akibatnya anak miskin dengan life skill. Begitu pula dengan pola mendidik orang tua yang tidak menumbuhkan budaya berdialog atau berkomunikasi di rumah. Dimana orang tua cuma pintar menyuruh dan memerintah sang anak semata. Karakter orang tua yang lain adalah sikap masa bodoh- laizzes faire- atas perkembangan kognitif, sikap dan keterampilan anak-anak mereka, dan tidak mewariskan semangat gemar bekerja keras dan sabar dalam menghadapi lika-liku kehidupan ini.
Suatu ketika dalam tahun 1990-an, penulis berkenalan dengan teman-teman dari Perancis (Francoise Brouquisse, Louis Deharven, dan Anne Bedos). Buat apa mereka susah payah, berjalan jauh, menghabiskan waktu dan dana yang banyak ?. Mereka mengatakan bahwa mereka melakukan eksplorasi sambil holiday untuk tujuan sains dan ilmu pengetahuan. Untuk melakukan perjalanan jauh dari Perancis menuju pedalaman Sumatera (Sijunjung, Lintau dan Halaban) mereka melengkapi diri dengan peta topografi yang diperoleh dari museum Belanda tentang Indonesia, kemampuan berbahasa Inggris dan bahasa Indonesia- mereka juga mengenal dasar-dasar bahasa Cina dan bahasa negara lain yang berguna saat mengunjungi negara-negara tersebut. Juga mempersiapkan diri dalam bentuk menjaga kesehatan badan dan keuangan yang cukup.
Di sela-sela waktu istirahat mereka melakukan dialog, membaca dan menulis tentang informasi dan pengalaman yang mereka peroleh dalam perjalanan. Waktu mereka sangat teragenda- terjadwal. Walau berasal dari negara moderen dan dari pusat fashion di dunia, Perancis, namun mereka tampil sangat sederhana dan sangat alami. Cara makan sangat Islami (walau mereka bukan beragama Islam)- makan tidak mubazir (menyisakan makanan). Mereka menyukai kulit orang Indonesia sementara sebagian orang Indonesia merasa minder dengan warna kulit sendiri dan sengaja mekai whitening untuk memutihkan kulit “pour quoi les gens ici aimerent a blanchir leur peau ?- mengapa orang orang disini suka memutihkan kulit ?”
Tentu saja juga banyak orang-orang Indonesia yang memiliki pribadi kuat dan semangat eksplorasi yang tinggi dalam berbagai bidang kehidupan- seni, ekonomi, social, budaya, dan agama. Kisah kisah sukses eksplorasi mereka- para tokoh- tentu dapat kita baca lewat autobiografi mereka atau cerita dari mulut ke mulut. Lantas bagaimana implikasi eksplorasi terhadap pendidikan ? Eksplorasi membuat seseorang lebih cerdas, berwawasan luas dan bermental tangguh. Ekslorasi tidak harus dengan melakukan perjalanan jauh, melintasi bukit dan gunung, menyeberangi lembah dan lautan.
Bayi kecil yang merangkak dan mencari sesuatu tanpa henti-hentinya adalah juga sedang melakukan eksplorasi. Seorang siswa Sekolah Dasar yang asyik membaca kisah pertualangan tak pernah merasa terusik oleh kehadiran orang sekitar juga sedang melakukan tamasya jiwa. Seorang remaja yang duduk dan menuliskan buah fikiran dan pengalaman berarti mencurahkan pengalaman eksplorasinya. Ibu rumah tangga senang menawar harga di berbagai toko juga berarti sedang melakukan eksplorasi harga, agar tidak terjebak dalam permainan harga oleh pemilik toko. Begitu pula dengan seorang calon sarjana (magister dan doctoral) yang bergerak dari satu pustaka ke pustaka yang lain dan mengunjungi berbagai lokasi juga melakukan eksplorasi atau melakukan pencarian. Bangun di tengah malam- bertahajut dan bertanya jawab dalam hati tentang bagaimana seorang hamba menjalani waktu dan mengadukannya pada Ilahi berarti sedang melakukan eksplorasi spiritual.
Pendidikan kita mungkin miskin dengan semangat eksplorasi. Di beberapa sekolah Dasar ada kalanya para siswa seolah-olah di sekap dari pagi hingga siang dan disuguhi hafalan- hafalan, tugas-tugas dan larangan-larangan (mengebiri rasa ingin tahu anak) tanpa mengoptimalkan pengenalan dunia buku. Coba lihat begitu banyak Sekolah Perpustakaan tanpa Perpustakaan dan sebahagian mereka menganggap membaca sebagai sesuatu yang membosankan. Di bangku SMP. SMA, MA dan SMK banyak siswa yang terbelenggu dengan latihan-latihan dan PR-PR, mengolah soal-soal ujian agar nilai UN (Ujian Nasional) tinggi, tanpa diperkenalkan tentang pengalaman hidup- bagaimana cara berdagang, bertani, belayar, beternak, memasak makanan, menjadi pemimpin dalam masyarakat sehingga membuat mereka miskin dalam life skill (keterampilan nilai hidup).
Kemudian saat studi di universitas para dosen cuma menyuguhi dengan ratusan teori, tugas-tugas akademik dan hafalan. Malah banyak gaya belajar mahasiswa ibarat siswa Sekolah dasar dan pelajar yang cuma tahu mencatat dan menghafal. Hingga mereka mencadi penghafal ulung namun miskin pengalaman langsung. Begitu tamat dari perguruan tinggi telah menjadikan mereka sebagai pemimpi ulung yang cuma pintar menunggu seleksi masuk PNS (Pegawai Negeri Sipil) atau menjadi pegawai rendahan di kantor swasta dan BUMN lain.
Idealnya pendidikan kita tidak harus menghafal, menyelesakan soal soal ujian dan mengharapkan selembar ijazah atau sertifikat buat mencari kerja. Namun fenoma adalah banyak orang belajar dan kuliah cuma mengharapkan selembar ijazah. Banyak orang saat kuliah rajin ke perpustakaan, rajin baca buku, pergi kuliah dengan tas yang penuh berisi buku-buku. Namun begitu wisuda dan selesai kuliah maka semua buku disingkirkan dan memilih kesibukan dalam mencari gaya hidup yang lain- fashion, otomotif walau pun otomotif seken. Sehingga banyak yang mengaku sudah sarjana kembali menjadi melek huruf, melek ilmu pengetahuan dan gagap teknologi (gatek). Pembodohan diri dan kristalisasi (membekunya) ilmu pengetahuan bisa menjadi pemandangan.
Para pendidik (guru dan dosen) punya posisi penting untuk mendorong semangat eksplorasi anak didik mereka. Tentu saja para pendidik harus lebih cerdas-memiliki kepintaran berganda- lebih dahulu. Mereka harus melowongkan waktu di luar jam tatap muka untuk melakukan dialog yang berkualitas, mempunyai wawasan yang luas dan menerapkan metode belajar learning by doing, students centered, metode inkuiri, metode debat dan metode diskusi. Bukan metode ceramah melulu, menyuguhi materi hafalan dan menjawab soal soal UN melulu. Pendidik sangat patut menjadi model (berbuat untuk cerdas terlebih dahulu) dan menjadi fasilitator dan motivator.
Orang tua harus pula cerdas karena mereka punya peran dalam mendidik anak- bukan orang tua ideal kalau cuma terlalu menyerahkan pendidikan anak pada sekolah. Orang tua punya peran strategis dalam mendidik anak dalam memanfaatkan waktu. Anak harus pintar belanjar dan pintar mengurus sendiri. Anak punya waktu untuk belajar dan menikmati hiburan dan ikut melakukan aktivitas social di rumah dan di lingkungan agar tidak kuper (kurang pergaulan) dan miskin pengalaman dan wawasan.
Bagi mahasiswa, IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) yang tinggi tidak punya arti kalau sikap mental tidak mendukung (susah berkomunikasi, takut mengambil resiko, takut mencoba) karena miskin eksplorasi (hingga miskin dengan pengalaman) maka ijazah sarjana yang diperoleh sangat bagus untuk di pajang saja di dinding rumah.
Semangat eksplorasi untuk hal- hal yang positif sangat perlu dipertahankan. Eksplorasi telah membuat orang kaya dengan pengalaman langsung. Eksplorasi dapat dilakukan lewat menjelajah alam, kota, menjelajah berbagai tempat- mengenal dan berhubungan dengan orang baru, tempat baru dan suasana baru. Orang orang yang gemar melakukan eksplorasi akan memiliki mental yang kuat dan pengalaman yang banyak. Pendidikan juga membutuhkan eksplorasi untuk membuat kualitas pendidikan yang dimiliki seseorang juga meningkat.
(Marjohan M.Pd, Guru SMAN 3 Batusangkar)

Selasa, 09 Juni 2009

Mendidik Anak Dengan Konsep Coba-Coba


Mendidik Anak Dengan Konsep Coba-Coba

oleh: Marjohan, M.Pd

Guru SMA



Dalam penggunaan bahasa bahwa kata “orang tua” dan “guru” sering disandingkan dan menjadi frase “orang tua dan murid”. Ini terjadi karena kedua tokoh ini memegang peranan penting dalam mendidik dan menemani anak untuk tumbuh dan berkembang.


Hampir semua orang menyadari tentang keberadaan keluarga, orang tua (ayah-ibu) sebagai figure sentral dalam melaksanakan tugas mendidik anak. Kemudian di sekolah, guru sebagai figur atau tokoh sentral dalam mendidik murid di sekolah. Namun orang tua dan guru perlu menyadari bagaimana menjadi pendidik yang baik.


Orang tua adalah guru pertama dalam kehidupan setiap anak. Mereka terlibat dalam proses pembelajarannya di rumah dan dimana saja, dengan alokasi waktu belajar selama 24 jam setiap hari. Berarti di rumah pada umumnya ada dua guru (ayah dan ibu) dan satu atau dua orang anak. Apalagi karena orang tua muda sekarang cenderung mengadopsi program keluarga berencana- cukup dua anak (pria wanita sama saja !). Itu berarti bahwa mereka melakukan proses pengajaran di rumah untuk menjadi manusia yang baik dengan intensif mulai dari anak bangun tidur sampai kepada anak tidur lagi.


“Nah habis tidur kita harus baca doa, kemudian sholat, kemudian merapikan tempat tidur…”, kata seorang ibu (ayah) sambil menuntun anak untuk mulai beraktifitas dengan bahasa yang santun. “hei buyung …. bangun, mandi….matahari dan sekolah…., hai banguun”, bentak orang tua di tempat yang lain dengan gaya bahasa yang penuh emosi. Tentu ada pula proses pembelajaran model lain, yaitu membiarkan anak tidur atau bangun kapan saja suka, terlalu membiarkan atau serba banyak membantu anak. Bentuk-bentuk sentuhan dan cara berkomunikasi antara anak dan orang tua akan menentukan kualitas pendidikan mereka kelak.


Untuk mendapatkan pendidikan rumah (untuk anak) yang berkualitas maka proses beraktifitas di rumah juga harus unggul. Untuk itu apakah orang tua (sesuai dengan kemampuan) telah menyediakan fasilitas pembelajaran. Kalau tidak salah lihat bahwa banyak orang tua yang cenderung menghujani anak dengan fasilitas hiburan. Untuk membuktikannya mari kita kunjungi ke rumah-rumah mereka dan temukan: “mana yang banyak koleksi yang dimiliki anak antara koleksi mainan dengan koleksi bacaan ?”. Apakah anak-anak kita telah memiliki koleksi cerita-cerita nabi, koleksi biografi tokoh untuk membantu mereka dalam mencari identitas diri. Memiliki koleksi mainan untuk anak tidak salah, karena ini bisa membuat anak berani dan cerdas tapi bacaan jangan diabaikan. Namun malah cukup banyak orang tua yang sudi memiliki koleksi keramik dari pada menyediakan perpustakaan bagi anggota keluarga.

Eksistensi guru di sekolah sebagai pendidik juga ikut mewarnai bagaimana mutu anak-anak bangsa ini kelak. Tentu saja untuk menghasilkan generasi yang terdidik dengan baik (cerdas dan ungggul) maka juga diperlukan sentuhan tangan guru-guru yang cerdas dan unggul. Orang mengatakan bahwa ada guru-guru yang unggul dan guru-guru yang tidak unggul. Dalam bahasa plesetannya “ada guru luar biasa dan ada guru yang biasa di luar”. Bangsa ini begitu sibuk membenahi pendidikan gara-gara kualitas pendidikan belum kunjung memuaskan, sementara di negara maju mereka sibuk berbikir bagaimana bisa menghasilkan teknologi baru. Maka ini pasti karena populasi guru-guru tidak unggul atau “guru-guru biasa di luar” guru-guru yang terkesan suka santai, belum kreatif, belum professional, dan kurang suka berinivasi.


Seperti disebutkan sebelumnya bahwa orang tua dan guru adalah dua buah kata yang selalu disandingkan menjadi “parents and teacher”. Mereka perlu tahu tentang permasalahan pendidikan anak-anak/siswa. Permasalahan umum mereka adalah malas belajar, tidak mandiri, kurang memiliki harga diri, tidak patuh, dan suka membangkang. Ini semua dapat dikatakan sebagai penyakit pedagogie atau penyakit dalam pendidikan. Ini mungkin disebabkan oleh gaya kiya sendiri yang salah asuh.


Tanpa merujuk pada teori, maka orang awam pun tahu bahwa anak jadi malas adalah karena mereka miskin motivasi hidup. Orang tua gagal dalam menumbuhkan memotivasi mereka. Anak kurang terbiasakan dalam melakukan aktifitas, no house work and no school work. Atau kita sebagai orang tua malah menjadi figur yang juga pemalas, anak disuruh belajar dan kita tidak pernah belajar untuk jadi orang tua yang ideal.


Pengalaman di sekolah bahwa siswa laki-laki yang pemalas bisa jadi karena memiliki ayah yang juga pemalas- tidak peduli dalam urusan pendidikan anak. Selanjutnya anak menjadi pemalas karena mungkin ayah dan ibu mereka sedang dilanda broken home, selalu bertengkar dan cekcok sehingga anak jadi bingung dan putus asa.


Anak tidak mandiri ? Orang awam juga tahu bahwa anak yang kurang mandiri adalah karena mereka terbiasa banyak dibantu mulai dari bangun sampai tidur lagi. Mereka tidak tahu apa yang harus dikerjakan- tidak dibiasakan mengurus yang kecil-kecil (merapikan kamar), menjaga keberhasilan diri (banyak anak laki-laki tampil sembraut), sampai ikut berpartisipasi dalam merapikan rumah. Atas nama rasa sayang, banyak orang tua yang memonopoli semua pekerjaan rumah sehingga anak tidak memperoleh kuota kegiatan. Seharusnya anak diberi kerja paling kurang memotong rumput di depan rumah, memungut sampah, atau membersihkan pakaian sendiri. Kalau mereka tidak terbiasa beraktifitas maka mustahil bisa menjadi generasi yang mandiri kelak. Malah mereka akan miskin dengan life skill hingga jadi beban hidup bagi orang lain.


Hargailah pribadi anak sejak usia dini kalau tidak maka mereka akan kehilangan harga diri. Sebahagian kita banyak yang hanya gemar banyak menyuruh, memerintah sampai kepada mengomeli anak, namun kurang peduli dalam menghargainya- acuh saja kalau mereka berbicara dan kikir dalam memberi pujian atau prestasi mereka. Sering orang dewasa (orang tua, guru, tante, paman, pengasuh) dalam bertindak menggunakann segenggam kekuasaan. Ini terlihat dari gaya bahasa yang banyak memerintah “kamu harus…., kamu jangan…., kamu musti…., kamu tidak boleh….., pokok nya harus patuh”. Dibalik kekuasaan dalam bentuk banyak menyuruh dan melarang mereka malah miskin dalam memuji dan dan menjaga hati anak. Akibatnya maka lahirlah anak-anak yang pendendam, tidak punya harga diri dan generasi yang berjiwa labil- mudah stress dan mudah putus asa.


Selanjutnya tentang gejala membangkang pada anak, selain karena faktor remaja (kalau ia berusia remaja) yang memperlihatkan gejala suka berontak, juga karena faktor pemodelan orang tua yang juga gemar dengan budaya menghardik. Orang tua penghardik, berbahasa kasar, tidak kenal mufakat berpotensi melahirkan anak yang berkarakter pembangkang. Demikian pula bagi keluarga yang kurang tersentuh oleh sajadah dan alquran, anak-anak mereka juga cendrung terlihat gemar membangkang, itu karena miskin dengan sentuhan spiritual.


Seharusnya mendidik dan mengasuh anak itu menjadi lebih mudah, indah dan menghadirkan banyak anugerah bagi orang tua. Jika kita mau memahami ungkapan popular: dengan ilmu hidup mudah, dengan agama hidup mudah dan dengan seni hidup indah. Ini memberi penekanan bahwa orang tua dan juga guru perlu untuk menuntut ilmu (yang relevan untuk kepentingan parenting dan teaching adalah ilmu psikologi dan pedagogi) dan membudayakan otodidak dan gemar membaca.


Banyak orang tua merasakan kehadiran anak menjadi beban hidup. Ini terjadi karena mereka menjadi orang tua tanpa punya bekal dalam mendidik. Fenomena dalam masyarakat bahwa banyak orang saat menikah tidak mempersiapkan diri menjadi orang tua yang baik dan bagaimana kelak dalam mendidik anak. Maka tidak heran kalau sebahagian orang tua menjadi orang tua yang miskin dengan ilmu dan konsep penidikan. Yang terpantau adalah mendidik anak dengan “metode warisan”. Anak perlu dihardik dan dimarahi karena orang tua sebelumnya juga menghardik dan memarahi. “Aku harus bersikap keras pada anak karena ayah-ibu seperti itu dulu”. Malah sebahagian orang tua mendidik anak dengan konsep coba-coba- try and error.


Pendidikan di negara maju bisa menjadi maju adalah karena faktor rekruitmen guru yang berkualitas. Mereka menjaring guru yang berpotensi- cerdas dan professional, bukan menjaring guru hanya lewat sebatas “tes potensi akademik- TPA” yang bisa dikuasai secara ngebut semalam suntuk dan lulus dalam test PNS. Test atau seleksi model begini sangat bagus dalam menjaring guru yang smart street atau guru yang pandai-pandai dan bukan guru smart akademic atau guru yang pandai, tapi bukan menjaring guru berpotensi dan professional. Faktor lain yang membuat negara maju jadi maju adalah juga faktor kesiapan orang lewat program parenting untuk menjasi orang tua, guru pertama anak di rumah.


Potensi seorang anak untuk tumbuh dan berkembang cukup pesat adalah sejak dalam kandungan hingga usia delapan tahun. Ini berarti bahwa rumah menjadi faktor penting untuk menentukan seorang anak tumbuh prima sebelum mereka pergi ke sekolah. Maka di Amerika Serikat dan juga di negara maju lainnya banyak orang teetarik untuk mengikuti kursus bagaimana menjadi orng tua yangb ideal melalui program “parents as the teacher”. Keluarga dengan anak-anak yang berusia 0-3 tahun mengikuti program tersebut, di Indonesia mungkin semacam kegiatan posyandu- namun posyandu harus lebih berkualitas lagi, jangan terkesan asal-asalan melulu: datang, timbang bayi, tetes vitamin dan pulang (kemudian di rumah orang tua tidak belajar tentang merawat dan mendidik balita dan sang ayah tidak mau tahu). Bagi negara maju Inilah rahasianya mengapa mereka bias maju dan kita tidak heran kalau anak-anak mereka tumbuh cerdas karena pasangan suami isteri ketika menikah mereka sudah disiapkan jadi orang tua. Sementara fenomena pendidikan kita, dalam urusan mendidik, terlalu menyerahkan peran mendidik pada pihak sekolah. Ada yang beranggapan bahwa sekolah adalah perpanjangan tangan orang tua dalam mendidik anak. Kalau begitu apa saja peran dan tanggung jawab orang tua lagi ?


Kini sudah saatnya bagi kita untuk mengubah paradigm lama dan memiliki paradigm baru. Mari menjadi orang tua sebagai educator yang baik dan bertnggung jawab. Kita menyuruh anak belajar dan kita sendiri juga belajar- long life education- untuk menjadi orang tua yang ideal.

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...