Membudayakan Penghargaan untuk Mendongkrak Motivasi Belajar Anak
Oleh : Marjohan, M.Pd
SMAN 3 Batusangkar
Dalam buku L’etat du monde annuaire, annuaire economique geopolitique mondial, diedit oleh Didiot Beatrice (2001) dilaporkan bahwa menjelang tahun 2000 posisi human indicator index atau tingkat Sumber Daya Manusia Indonesia menempati peringkat 102, negara Vietnam yang merdeka lebih akhir dibanding Indonesia satu digit lebih baik dari Indonesia, yaitu 101. Kemudian dalam buku The State of The World Atlas, ditulis oleh Dan Smith (1999) memaparkan bahwa posisi SDM Indonesia menempati peringkat 88 di dunia dan Negara Turkmenistan yang baru merdeka tahun 1991, lepas dari Uni Soviet, posisi SDM nya juga lebih baik satu digit dibandingkan Indonesia, yaitu posisi 87. Dibandingkan level SDM pada laporan terdahulu, maka laporan dalam buku terakhir tampaknya ada perbedaan, namun sebagai bangsa Indonesia kita belum bisa berbahagia karena angka dalam laporan terakhir tetap sangat jauh dari yang kita harapkan, apalagi mengingat ukuran negara Indonesia sebagai Negara yang luas wilayahnya dan banyak penduduknya cukup membuat mata kita perih. Malah dapat dibuat pertanyaan “apakah begini kualitas bangsa ku yang jumlahnya 200 juta orang lebih itu, jumlahnya banyak namun ibarat buih di pantai- banyak tapi isinya hampa?”
Oleh : Marjohan, M.Pd
SMAN 3 Batusangkar
Dalam buku L’etat du monde annuaire, annuaire economique geopolitique mondial, diedit oleh Didiot Beatrice (2001) dilaporkan bahwa menjelang tahun 2000 posisi human indicator index atau tingkat Sumber Daya Manusia Indonesia menempati peringkat 102, negara Vietnam yang merdeka lebih akhir dibanding Indonesia satu digit lebih baik dari Indonesia, yaitu 101. Kemudian dalam buku The State of The World Atlas, ditulis oleh Dan Smith (1999) memaparkan bahwa posisi SDM Indonesia menempati peringkat 88 di dunia dan Negara Turkmenistan yang baru merdeka tahun 1991, lepas dari Uni Soviet, posisi SDM nya juga lebih baik satu digit dibandingkan Indonesia, yaitu posisi 87. Dibandingkan level SDM pada laporan terdahulu, maka laporan dalam buku terakhir tampaknya ada perbedaan, namun sebagai bangsa Indonesia kita belum bisa berbahagia karena angka dalam laporan terakhir tetap sangat jauh dari yang kita harapkan, apalagi mengingat ukuran negara Indonesia sebagai Negara yang luas wilayahnya dan banyak penduduknya cukup membuat mata kita perih. Malah dapat dibuat pertanyaan “apakah begini kualitas bangsa ku yang jumlahnya 200 juta orang lebih itu, jumlahnya banyak namun ibarat buih di pantai- banyak tapi isinya hampa?”
Bangsa Indonesia (kita, pemerintah dan rakyat) harus merespon laporan peringkat SDM tadi dengan rasa malu karena peringkat kualitasnya sangat mengecewakan. Namun kita harus optimis dan bertanggungjawab untuk peningkatannya. Maka dalam rentang waktu sejak seputar tahun 2000 atau setelah keluarnya laporan tingkat SDM negara-negara se dunia sampai sekarang sudah ada beberapa kebijakan pemerintah terbit untuk meningkatkan mutu SDM. Diantaranya adalah dalam bentuk merevisi kurikulum, menerbitkan kebijakan baru dalam pendidikan, membentuk undang-undang pendidikan yang lebih merespon perkembangan dan pro aktif pada kemajuan zaman.
Dari semua elemen pendidikan di negara kita, mulai dari tingkat Tk sampai ke Perguruan Tinggi, merasa bertanggung jawab untuk menuntaskan dan memparbaiki kualitas SDM bangsa. Maka sebagai imlementasinya dan kebijakan untuk meningkatkan mutu, dibentuklah berbagai program peningkatan mutu guru, peningkatan mutu sekolah, peningkatan mutu bahan ajar, dan lain-lain. Namun kualitas SDM untuk dunia pendidikan tersangkut pada kualitas murid-murid/ para pelajar.
Selanjutnya bahwa kualitas murid, juga pelajar dan mahasiswa tidak hanya ditentukan oleh eksistensi sekolah atau kampus belaka terhadap mereka karena lebih dari separoh waktu kehidupan mereka di habiskan di rumah bersama orang tua. Ini berarti bahwa kualitas SDM mereka juga ditentukan oleh eksistensi rumah, yaitu bagaimana campur tangan dan perhatian orang tua dalam mendidik dan membangkitkan motivasi belajar mereka. Dapat dikatakan bahwa kualitas SDM mereka menjadi naik atau turun sangat ditentukan oleh kualitas motivasi belajar mereka terutama di rumah.
Pada umumnya semua sekolah favorite, apakah namanya Sekolah Unggul, Sekolah Akselerasi, Sekolas Plus, Sekolah Percontohan, dan lain-lain, menjadi sekolah berkualitas karena di sana berkumpul anak-anak yang berkualitas, yaitu anak-anak yang memiliki motivasi belajar yang tinggi. Mereka menjadi berkualitas bukan karena sekolah tersebut, tetapi karena factor rumah- mereka berasal dari rumah dengan orang tua, kondisi dan lingkungan yang selalu mendukung dan memotivasi mereka, sehingga bisa memiliki motivasi belajar yang tinggi.
Sementara itu sekolah-sekolah yang tidak berlabel favorite- tidak memiliki kualitas unggul- dan mungkin kualitasnya amburadul, terjadi karena di sana berkumpul siswa-siswa yang sama-sama miskin dengan motivasi belajar. Mereka memiliki motivasi belajar yang rendah karena berasal dari rumah dengan orang tua, kondisi dan lingkungan yang juga amat jarang mencikaraui atau merasa peduli dengan urusan motivasi belajar anak, “bagaimana aku bisa mengurus anak sekolah, hidup saja susah”, demikian yang sering diucapkan oleh orang tua yang pesimis. Orang tua yang pesimis ini berpotensi menghancurkan motivasi belajar anak. Populasi mereka sangat banyak, mungkin jutaan, di Indonesia. Merekalah yang perlu didekati dan dibina, kalau tidak maka kualitas SDM Indonesia.
Bila posisi SDM Indonesia di dunia termasuk ke dalam kategori rendah maka dapat dikatakan bahwa tentu ada jutaan orang tua di rumah yang belum berbuat banyak dalam meningkatkan motivasi belajar anak. Kalau begitu bagaimana eksistensi motivasi itu dan bagaimana menimbulkan motivasi belajar anak yang baik, dan siapa saja yang lebih bertanggung jawab dalam membangkitkan motivasi belajar mereka ?
Tentu saja orang tua dan guru berperan amat penting dalam membangkitkan dan meningkatkan motivasi anak. Ada beberapa cara yang dapat kita- sebagai orang tua dan guru- lakukan untuk merangsang minat anak dalam belajar- yang merupakan dorongan ekstrinsik (dorongan yang datang dari luar). Di antara yang dapat kita lakukan adalah dengan cara memberii hadiah, penghargaan, pemberi tahuan tentang kemajuan dan belajar mereka.
Sementara itu yang banyak dilakukan oleh orang tua, yang katanya adalah untuk mendorong anak belajar, tetapi mereka mencela anak “hei kemana otak lu, sudah gede tapi tidak pernah tahu dengan huruf Pe”, dan dengan cara membentak anak “ Hengki….kamu nonton melulu, ayo buat Pe Er !”. Idealnya dan seharusnya orang tua dan guru perlu tahu bagaimana cara yang terbaik dalam memotivasi mereka.
“Papa…,mama…, aku memperoleh angka 100 dalam ujian Sains !” seru anak dengan penuh kegirangan begitu sampai di pintu rumah. Maka respon orang tua bisa saja bervariasi. Orang tua yang lupa cara memotivasi anak mungkin berkata “tapi kertas ujian kemaren kok kamu robek” atau “kamu dapat seratus mungkin saja kamu dapat contekan”. Respon seperti ini cendrung tidak bersahabat di hati anak, maka jangan harap lagi anak untuk termotivasi dalam belajar, namun aneh bila nanti anak kehilangan semangat belajar, yang kena tumbal- sebagai scapegoat/kambing hitam- sebagai penyebab anak malas adalah lingkungan, teman, sekolah, teknologi atau zaman global. Padahal penyebabnya adalah cara respon orang tua terhadap harapan anak.
“Mama …aku sudah hafal surat alfatihah dan tadi ulangan ku dapat angka 95 !”, Respon orang tua atas harapan anak adalah mungkin dengan memberii penghargaan. “Alhamdulillah, senang sekali hati mama…”, atau “Karena kamu pintar, papa kamu kasih kamu hadiah “. Respon positif dan memberi penghargaan tentu akan menambah motivasi belajar anak. Orang tua atau keluarga- keluarga yang sudah membudayakan penghargaan dan/ atau hadiah pada anak atas prestasi belajar dan bekerja mereka, akan mampu melahirkan mereka sebagai generasi yang memiliki harga diri dan motivasi belajar yang tinggi. Kebutuhan dan fasilitas belajar mereka juga harus disediakan dan dipenuhi.
Karakter orang tua dan lingkungan yang berpotensi dalam menghancurkan motivasi belajar anak adalah seperti kurang peduli dalam memenuhi fasilitas belajar mereka (rokok atau kaset VCD player terbeli tetapi bahan bacaan buat anak tak peduli), karakter terlalu kaku, keras dan berbahasa kasar selama mendidik anak “orang tua ku ramah, tetapi kalau menemani aku belajar jadi judes, minta ampun, sehingga otak ku buntu kalau belajar”. Karakter yang lain adalah seperti suka memaksanakan kehendak pada anak, terlalu berharap banyak, dan serba banyak melarang atau memerintah. Perilaku atau karakter orangtua yang demikian membuat anak akan merasa tertekan, anak belajar dalam kondisi tidak aman dan hati yang mendongkol.
Kemudian ada strategi lain yang diterapkan oleh guru dan orang tua untuk memotivasi belajar anak, yaitu membuat anak bersaing dalam belajar. “Besok kalian mau ujian, ayo siapa kelak yang jago nya, bisa nggak kamu mengalahkan Asrul?” Dapat dikatakan bahwa memotivasi anak dengan persaingan di antara mereka berarti “mengadu anak/ siswa dengan jalan menimbulkan pertentangan”. Kompetisi atau persaingan antara mereka berpotensi untuk memupuk perasaan marah, iri hati, cemburu, dan perasaan ingin mengalahkan orang lain. Sehingga bagi anak bahwa mengalahkan orang lain lebih penting dari pada belajar dengan tekun dan sebaik-baiknya.
Prayitno (1989) mengatakan bahwa kompetisi, termasuk kompetisi dalam belajar, menimbulkan konflik dalam diri sebahagian anak. Mereka merasa terancam karena takut kalah, atau di antara mereka timbul ketegangan yang disebabkan oleh ambisi untuk mengalahkan orang lain. Belajar dengan cara berkompetisi membuat anak mengejar nilai lebih tinggi dan lupa dengan tujuan belajar yang sebenarnya. Sehingga ini dapat mendorong mereka menghalalkan segala cara untuk mencapai nilai tinggi, termasuk dengan cara mencontek.
Memotivasi anak untuk belajar dengan cara berkompetisi hanya merangsang siswa-siswa yang pandai. Dengan adanya kompetisi dalam belajar akan menimbulkan sifat egois atau lebih mementingkan diri sendiri. Siswa yang pandai tidak mau membantu teman-teman mereka yang berkemampuan sedang dan kurang. Oleh karena itu kompetisi akan menghilangkan atau paling tidak menghalangi berkembangnya sikap sosial dalam diri siswa atau anak. Dapat dikatakan bahwa membuat anak bersaing/ berkompetisi dalam belajar bisa mendatangkan pengaruh buruk terhadap perkembangan pribadinya- mereka mudah jadi sombong dan dengki. Akan lebih baik jika dibentuk persaingan dengan prestasinya atau persaingan dengan diri sendiri.
Cara lain yang juga dapat diterapkan untuk meningkatkan motivasi belajar anak adalah, seperti yang telah disinggung di atas, yaitu pemberian hadiah dan hukuman. Hadiah dan hukuman bentuknya lebih kongkrit dari pada penghargaan dan pemberiaan celaan. Pemberian hadiah sebagai cara untuk memotivasi anak/siswa dapat menjadi penguat tingkah laku– reinforcement. Anak-anak yang telah melakukan pekerjaan/ belajar dengan baik diberi hadiah oleh guru atau orang tua. Hadiah atau penghargaan ada yang bersifat verbal maupun yang bersifat material. Yang penting untuk diperhatikan dalam membangun motivasi belajar adalah bentuk hadiah itu sendiri.
Hadiah dalam bentuk verbal lebih baik daripada dalam bentuk benda atau angka. Namun bagi orang tua yang bisa menyisakan sedikit uang, tidak ada masalah kalau sekali-sekali memberi anak anak hadiah dalam bentuk materi atas prestasi nya- mungkin membelikan sebuah kotak pensil, buku cerita, kamus elektronik sampai kepada menghadiahkan mereka satu set laptop, bagi yang mampu membelikan. Tidak semua hadiah verbal (dalam bentuk ucapan atau tulisan) dapat menimbulkan motivasi di dalam diri untuk belajar secara efektif. Tetapi hadiah verbal yang memberikan informasi bisa membangkitkan minat anak untuk berhasil dalam belajar. Oleh karena itu dalam memeriksa tugas-tugas siswa, informasi atau komentar (hadiah verbal) harus diberikan disamping pemberian nilai.
Hukuman sebagai alat untuk memotivasi belajar siswa lebih banyak memberikan pengaruh psikologis yang negative dibandingkan motivasi yang ditimbulkannya. Memang hukuman ada kemungkinan untuk meningkatkan proses belajar siswa/ anak. Namun mereka akan berhenti belajar jika hukuman ditiadakan lagi. Hukuman dapat menimbulkan kecemasan, gangguan emosi dan perasaan bersalah di dalam diri mereka. Di dalam belajar siswa dibayangi oleh ketakutan untuk berbuat salah.
Perbuatan menghukum, mengancam, dan mencela adalah cirri-ciri guru dan orang tua yang otoriter- terlalu suka berkuasa. Akibat buruk yang terjadi dalam diri siswa akibat karakter otoriter mereka adalah anak/siswa menjadi apatis, kehilangan minat belajar, mengerjakan kegiatan sesuai dengan apa yang disuruh saja, anak kurang memiliki inisiatif, kemandirian dalam belajar mereka rendah, bersifat patuh saja, dan tidak berkembang rasa percaya diri mereka. Selanjutnya sikap otoriter yang diterapkan oleh guru dan orang tua berpotensi dalam mematikan kreatifitas dan daya spontanitas anak, sehingga mereka tidak mampu dalam mengambil keputusan- padahal kemampuan ini amat penting kelak bila mereka tumbuh dewasa.
Anak yang besar dalam suasana otoriter akan tumbuh menjadi orang yang agresif, berkarakter kasar dan kurang ramah dan kurang mampu bertegur sapa. Saatnya kini kita harus punya pradigma baru dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan anak dan siswa kita. Kita tidak sudi lagi bila mereka tumbuh menjadi pribadi yang berkualitas hampa. Menumbuh-kembangkan motivasi belajar mereka adalah tugas kita sebagai orang tua atau guru. Saatnya kita harus membuang cara banyak mencela, mengancam dan kekerasan- menerapkan karakter otoriter. Salah satu cara yang tepat adalah dengan memberi mereka penghargaan atas karya dan prestasi kerja/ belajar mereka. Dengan cara ini motivasi belajar mereka akan tetap tumbuh dan terpelihara.
Catatan : 1) Dan Smith (1999) The State of The World Atlas, The Unique Visual Survey of Political, Economic and Social Trends.London: Penguin Reference. 2) Didiot, Beatrice. (2001) L’etat du monde annuaire, annuaire economique geopolitique mondial. Paris: La Decouverte. 3) Prayitno, Elida. (1989). Motivasi Dalam Belajar. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Pendidikan Tinggi.
. .