Orang tua Tanpa Konsep Pendidikan Bisa Salah Didik
Oleh. Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
Oleh. Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
Rata-rata pendidikan orang tua di Indonesia mungkin banyak yang tamatan SMP atau SLTA, namun pada beberapa daerah malah tamat SD atau ada yang tidak tamat SD sama sekali. Kemudian mereka memutuskan untuk belajar hidup. Fokus utama yang mereka kejar adalah bagaimana agar bisa mencari duit, mereka bisaanya belajar hidup- magang atau on the job training- dengan famili atau ikut orang-orang yang masih punya hubungan dekat. Profesi yang dipilih adalah sebagai pembantu dalam berdagang, atau jadi buruh dan karyawan toko atau kegiatan ekonomi skala kecil lainnya dengan cara membuka warung, bertani, beternak dan jadi nelayan. Kemudian bila takdir datang, bertemu jodoh yang sehati, senasib dan sekarakter maka mereka memutuskan pulang kampung untuk mencari restu orang tua , membentuk rumah tangga baru.
Umumnya keluarga muda- junior family¬- tidak tahu banyak tentang hakekat menjadi orang tua. Mereka jarang memperoleh bekal tentang parenting (bagaimana menjadi orang tua) yang layak. Dari keluarga muda, yang miskin persiapan bagaimana menjadi orang tua, ini lahirlah ribuan atau jutaan bayi se Indonesia yang butuh pendidikan.
Pada umunya orang tua junior hidup di daerah rantau (migrasi), bekerja jadi buruh pabrik, karyawan toko atau swasta sampai berwiraswasta dan syukur kalau bisa menjadi PNS, pegawai BUMN dan polisi/ABRI. Kecuali Polisi dan ABRI punya asrama, yang lain tinggal memgontrak satu kamar atau tinggal di rumah kecil seukuran perumnas dengan type RSS- rumah sangat sederhana. Di sinalah bayi dan anak-anak tumbuh dan berkembang dibawah bimbingan orang tua, apakah punya persiapan sebagai orang tua, atau mengikuti pola mendidik generasi tua (ayah ibu mereka) atau malah tidak ambil pusing tentang urusan mendidik anak. Pendidikan anak di rumah- beda dengan di sekolah yang dipandu oleh kurikulum dan sentuhan tangan guru-guru yang juga sesuai dengan gaya dan karakter mereka- yang ditandai dengan interaksi demi interaksi, stimulus (rangsangan), pengalaman langsung, pemodelan dari orang tua, dan pemberian pujian serta hukuman secara langsung siang dan malam.
Masalah utama yang dialami oleh keluarga junior adalah, tentu saja tentang keuangan yang tak kunjung memberi kepuasan dan kecukupan, maka mulailah di sini timbul problema. Mereka harus tinggal di ruangan yang kecil sehingga susah membuat pola hidup yang pas untuk pendidikan. Kalau boleh memilih, lebih baik tidak punya televisi sebab si tabung elektronik ini punya potensi besar mengacaukan pola hidup keluarga. Gara-gara televisi yang menyala siang malam- kalau mati di rumah sendiri, anak hijrah untuk menonton ke rumah tetangga- mereka cendrung menjadi lengah dengan kewajiban belajar. Membuat PR, membaca buku dan menulis adalah menjadi beban yang membosankan bagi banyak anak di bangku SD sampai SMP. Di usia ini anak dan orang tua selalu bentrok gara-gara anak tidak tertarik untuk belajar. Kalau begitu merosotnya minat dan motivasi belajar sudah dimulai pada tahap ini.
Pengalaman hidup dari tetangga, agaknya bisa dipetik sebagai pelajaran. Semua orang tahu bahwa lama waktu tidur anak-anak lebih banyak dari pada orang dewasa. Seorang bayi musti tidur 18 jam sehari-semalam dan waktu bangunnya digunakan untuk makan, minum susu dan belajar bersosial serta berkomunikasi. Anak anak yang sudah agak besar jumlah waktu tidurnya juga semakin berkurang. Mereka yang duduk di kelas satu atau kelas dua Sekolah Dasar (berumur 6 sampai 8 tahun) bisa jadi tidur jam 20.00 malam (pukul 8 malam) dan bangun jam 6 pagi. Itu sudah membuatnya tidur nyenyak dan pulas, maka ia tak perlu lagi tidur siang dan bisa menggunakan waktu siangnya untuk belajar bersosiasial/ berteman, mengerjakan hobi, melakukan permainan kreatif bersama teman dan anggota keluarga serta mengembangkan kebisaaan belajar. Anak yang kurang dicikaraui atau dibantu mengatur jadwal tidur (tidur sampai larut malam mengikuti pola tidur ayahnya) cendrung bermasalah dengan disiplin waktu. Rata-rata siswa yang tidak disiplin untuk tidur, cendrung mengantuk di sekolah dan bermasalah dengan guru selama PBM- ia dianggap sebagai siswa yang kurang tertarik untuk mengikuti PBM. Lagi- lagi masalah belajar berasal dari tidak disiplin waktu di rumah, dan orang tua tidak boleh berlepas tangan seenaknya.
Ukuran atau besarnya ruangan rumah bisa menjadi sumber masalah dan merembes ke masalah di sekolah. Bayangkan sebuah keluarga dengan dua orang anak yang duduk di bangku sekolah SD, SMP atau SLTA menempati rumah berukuran kecil, tanpa punya ruang tidur dan ruang belajar yang memadai, ditambah lagi dengan suasana yang hiruk pikuk- acara sinetron televisi yang menarik datang silih berganti, hiburan dari CD player, dering ringtone dan clip film dari handphone, serta lantunan karaoke dari rumah tetangga, maka apakah masih ada mimpi untuk memiliki anak yang punya kecerdasan berganda. Apalagi suasana stress yang begini membuat orang tua kurang menarik dalam berbahasa- marah, memaki, mengumpat dan serba banyak melarang serta menyuruh. Suasan rumah seperti ini cukup mayoritas jumlahnya dan juga berpotensi melahirkan anak didik dengan minat dan motivasi belajar yang rendah.
Cukup beruntung bagi kelurga junior bila bisa memiliki- membeli atau mengontrak- ruangan atau rumah dengan ukuran yang agak memadai. Namun bila mereka kurang memiliki konsep pendidikan maka mereka juga berpotensi menciptakan generasi yang salah didik. Di daerah perkotaan orang tua junior bisa jadi berkarakter plaza-oriented, apa saja yang dimakan, diminum dan dipakai anak musti dibeli dari plaza. Mereka, karena kurang punya ilmu mendidik dan kesehatan, cendrung memanjakan anak dengan makan dan minum berkaleng penuh dengan zat-zat kimia dan makanan fast food- cepat saji- yang juga menjanjikan penyakit generative dari pada mendatangkan manfaat kesehatan. Sajian sepiring rujak- makanan tradisionil- dan sekeping singkong bakar atau singkong rebus (yang cendrung dilihat sebelah mata bagi kalangan yang merasa separo selebriti) jauh lebih sehat dari pada makanan dan minuman yang sudah meluncur dari kaleng dan botol dengan pengawet kimia. Prilaku dan gaya hidup orang tua juga ikut menciptakan anak yang berkarakter konsumerisme dan rentan dengan penyakit.
Kualitas pertumbuhan dan perkembangan anak memang ditentukan oleh peranan dan campur tangan orang tua terhadap mereka. Secara awam agaknya ada beberapa kesalahan orang tua dalam mendidik anak. Kesalahan ini disorot tentu sebagai langkah antisipasi agar tidak timbul malpraktek atau salah-asuhan dalam mendidik anak. Malpraktek dalam mendidik yang dilakukan oleh ibu-bapa dan anggota kelurga yang dewasa lainnya adalah seperti; kurang pengawasan, gagal menjadi pendengar, jarang bertemu muka dengan anak, bersikap terlalu suka berlebihan, suka bertengkar di depan anak, bersikap kurang konsisten, terlalu banyak nonton tv, mengukur segala sesuatu dengan materi, dan bersikap berat sebelah atau tidak adil.
Kurang pengawasan adalah bentuk kesalahan orang tua yang pertama. Dari fenomena sosial terlihat bahwa anak-anak terlalu banyakbergaul dengan lingkungan semu di luar keluarga, dengan orang lain dan tokoh tokoh dalam kartun, film dan sinetron. Ini adalah tragedy yang membuat orang tua kehilangan teladan- apalagi kalau pribadi orang tua kurang menarik, misal karena terlalu cerewet atau terlalu banyak mencampuri anak terlalu detailk. Idealnya adalah agar tidak membiarkan anak berkeliaraan sendirian. Anak butuh perhatian orang tua, maka rumah perlu dikondisikan, ada sarana belajar, bermain, hiburan- undang teman temannya agar anak tidak kuper (Kurang pergaulan)- dan orang tua pun melowongkan waktu untuk berbagi rasa dan berbagi cerita- berinteraksi dan berbagi pengalaman hidup.
Anak-anak dapat dikatakan sebagai kelompok manusia yang paling sibuk di dunia. Mereka punya segudang mimpi untuk diceritakan pada teman dan termasuk pada orang tua. Namun banyak orangua terlalu lelah memberikan perhatian, mereka cendrung untuk mengabaikan apa yang mau diungkapkan oleh anak. Tanpa disadari karakter orang tua yang begini melahirkan anak menjadi orang yang juga segan mendengar orang lain, termasuk mendengar gurunya di sekolah.
Adalah bijaksana menjadi orang tua yang tidak terlalu detail mencampuri dan mengarahkan anak. Juga tidak salah kalau orang tua membiarkan anak melakukan kesalahan- memainkan perangkap nyamuk sehingga ia kena sentrum lemah, misalnya. Dari hal ini ia akan jera untuk melakukan kesalahan yang sama. Namun adalah sangat tepat kalau orang tua ikut membantu anak untuk mengatasi masalahnya sendiri.
Sebahagian orang ada yang bersikap terlalu berlebihan. Itulah ruginya menjadi orang tua dengan keluarga kecil- Keluarga Berencana- dibandingkan dengan orang tua dulu yang mempunyai banyak anak. Mereka hampir-hampir tidak punya waktu untuk mendikte dan mengurus anak, anak banyak mencoba dan akan kaya dengan penglaman hidup. Orang tua sekarang dengan satu atau dua anak terlalu banyak khawatir, takut anak diganggu orang, takut anak mendapat kecelakaan, takut anak sakit dan akhirnya anak serba dibantu dan dilindungi. Akhirnya ia menjadi tumpul- miskin perngalaman hidup. Wajar bukan kalau anak sekarang serba tidak mandiri- tidak pandai mencuci kaus kaki sepatu, merapikan pakaian dan kamar sendiri, tidak tahu cara menanam biji pohon sampai kepada tidak terampil memasak goreng ikan. Kerjanya belajar sampai pintar, tetapi setelah dewasa berpotensi menjadi sarjana bengong yang hanya pintar membuat lamaran dan menjadi buruh pabrik.
Perilaku orang tua yang paling berpengaruh dalam merusak mental anak adalah “bertengkar” dihadapan anak. Saat orang tua bertengkar di depan anak, khususnya anak laki-laki, maka hasilnya adalah akan menciptakan seorang calon pria dewasa yang tidak sensitive- yang mungkin juga kasar pada wanita- kelak ia kurang bisa berhubungan dengan wanita secara sehat. Bertengkar di depan anak perempuan, akan membuatnya berfikir bahwa susah mencari pria yang baik dan romantis. Kemudian, mungkin siswa yang kurang sensitive di sekolah bisa jadi berasal dari orang tua yang gemar bertengkar di depan mereka di rumah. Orang tua seharusnya menghangatkan diskusi di antara mereka. Wajar saja bila orang tua berbeda pendapat tetapi usahakan tanpa amarah. Jangan ciptakan perasaan tidak aman dan ketakutan pada anak.
Anak merupakan anggota keluarga yang bisa mengukur isi hati ayah-ibu nya. Anak juga perlu merasakan bahwa orang tua mempunyai peran- leader, supervisor, motivator dan educator. Jangan biarkan mereka memohon dan merengek menjadi senjata yang ampuh untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Orang tua harus tegas dan berwibawa di hadapan anak.
Kemudian, sekali lagi, apakah perlu menghadirkan pesawat televisi di rumah. Menonton televisi akan membuat anak malas belajar. Orang tua cenderung membiarkan anak menonton berlama-lama di depan tv dibandingkan mengganggu aktifitas mereka Orang tua sangat tidak mungkin dapat menyaring iklan negative dan tokoh tokoh sinetron yang tidak mendidik. Sekarang terserah mereka, lebih baik tidak punya televisi atau membiarka pesawat televisi tidak menyala lagi atau dibuat aturan baru.
Tidak perlu bersikap berat sebelah, beberapa orang tua kadang kala lebih mendukung anak dan bersikap memihak anak sambil menjelekan pasangannya di depan anak. Mereka akan kehilangan persepsi dan cenderung terpola untuk bersikap berat sebelah. Orang tua perlu meluangkan waktu bersama anak minimal setengah jam di sela-sela kesibukannya.
Malpraktek di rumah tangga, karena menjadi orang tua yang miskin dengan konsep pendidikan perlu untuk dicegah sedini mungkin. Orangtua perlu mengusahakan memilih rumah yang bisa memberi tempat bagi anak untuk beristirahat, belajar dan berkreasi. Tidak perlu menyediakan home theater-membuat bising suasana rumah oleh tv dan sarana hiburan lain. Orang tua perlu menjadi model dalam bergaul, beribadah, berkarya dan belajar. Beberapa kebiasaan yang bisa menjadi kesalahan dalam mendidik perlu untuk ditinggalkan, yakni seperti kurang pengwasan terhadap anak, malas menjadi pendengar, bersikap terlalu suka berlebihan, suka bertengkar di depan anak, membiarkan anak terlalu banyak nonton tv, dan bersikap berat sebelah atau tidak adil.