Minggu, 03 April 2011

Tsunami Jepang- Aceh dan SDM Manusianya

Tsunami Jepang- Aceh dan SDM Manusianya

Oleh: Marjohan

Guru SMAN 3 Batusangkar

http://penulisbatusangkar.blogspot.com

Dalam kwartal pertama tahun 2011 Dunia merasa cukup tenang. Namun di bagian utara Afrika terjadi revolusi jasmine (revolusi melati) yang dipicu oleh bangkitnya emosi ketidakpuasan masyarakat Tunisia melalui jejaring internet (twitter dan facebook) untuk menggulingkan kepala negaranya. Berita yang dahsyat kemudia terjadi tanggal 11 Maret 2011, yaitu gempa dan tsunami yang melanda Prefektur Miyagi (Jepang). Gempa Jepang yang juga memicu tsunami sangat mirip dengan gempa dan tsunami yang mengoyak ujung Pulau Sumatera (Propinsi Aceh) dan beberapa daerah lain pada tanggal 26 Desember 2004. Beda peristiwa Tsunami yang terjadi di dua negara ini adalah sekitar 6 tahun, dan karakter masyarakatnya juga berbeda dalam menghadapi bencana tersebut.

Sebenarnya kata tsunami cukup baru dalam kamus bahasa Indonesia dan bagi telinga bagi masyarakat Indonesia. Sebelum gempa/tsunami melanda Aceh di akhir tahun 2004 itu, sebenarnya sudah pernah terjadi tsunami di daerah Flores. Namun tsunaminya kecil dan mungkin masyarakat meanggapnya sebagai badai atau taufan. Maka kata tsunami belum lagi popular. Begitu Tsunami pada Desember 2004 tersebut menghancurkan banyak peradaban (harta benda) dan membunuh ratusan ribu orang, maka tsunami menjadi kata yang sangat mengerikan.

Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang berarti “gelombang air) dan bangsa ini sudah biasa menghadapi gempa dan sudah tahu tentang efek tsunami itu sendiri. Gempa Aceh dan Jepang ditenggarai terjadi karena benturan antara lempeng benua dengan lempeng samudera. Subduksi ini kemudian memicu gempa di lepas pantai yang berkekuatan besar atau juga disebut dengan megathrust (Singgalang, 15 Maret 2011).

Jumlah korban tewas akibat tsunami di Jepang tidak sebanyak korban di Aceh. Korban tewas di Jepang yaitu sekitar 10 ribu jiwa, sementara korban tewas di Aceh adalah sekitar 128 ribu jiwa- hampir 13 kali lipat korban tsunami Jepang. Perbedaan jumlah korban mungkin juga berbanding dengan perbedaan kualitas SDM di dua negara ini. Dalam buku L’etat du monde (Didiot, Beatrice, 2001: 586-589: Paris: La Decouverte) terlihat bahwa bahwa ranking SDM bangsa Jepang adalah nomor 9 dari 162 negara di dunia, sementara ranking kita (Indonesia) adalah 102 di dunia. Prediksi kualitas mutu pendidikan (education Index) kita tahun 2011 juga tetap peringkat 102 di dunia (http://en.wikipedia.org/wiki/Quality-of-life). Kalau demikian SDM orang Jepang jauh lebih baik, dan kita bukan bermaksud memandang rendah bangsa sendiri, tetapi mengajak untuk melakukan refleksi atau renungan bersama.

Orang Jepang memang tahu bahwa daerahnya sering dilanda gempa, maka mereka membuat gedung yang tahan gempa dan juga membangun early warning system yang baik. Mereka juga memasang ocean bottom seismograph. Kalau 20 tahun lalu Jepang membutuhkan waktu 20 menit untuk mengeluarkan peringatan tsunami. Namun sejak tahun 2008, negeri ini hanya membutuhkan waktu 2 menit untuk mengetahui ada atau tidaknya tsunami. Sebagaimana tsunami kemarin terlihat di layar kaca bahwa helikopter mereka sudah bertebangan sebelum tsunami dan menuju sumber tsunami. Kemudian orang-orang sudah melakukan prosedur evakuasi sesaat setelah gempa dan menyalakan televisi lalu menyimak peringatan tsunami.

Kualitas manusia antar dua bangsa juga bisa terlihat melalui gempa dan tsunami. Saat gempa kuat menggoncang Jepang, lewat televisi terlihat suasana gempa dalam ruangan kantor. Para pegawai kantor tentu saja cemas dan sangat waspada dengan kondisi tersebut. Namun mereka tetap bersikap tenang. Begitu gemba dating, mereka segera mematikan komputer, atau mematikan kompor bila sedang memasak dan tidak pontang panting berlarian. Setelah semua pekerjaan ditutup maka mereka baru menghindar ke tempat yang mereka anggap aman seperti ke ruang terbuka atau menuju shelter di lantai puncak.

Susana saat musibah di negara berkembang dan termasuk Indonesia nyaris sama. Bila gempa dating atau sinyal tsunami kedengaran, mereka pasti menyampuk dengan penuh kepanikan dan histeris “Awas gempa...awas tsunami. Atau tolong..tolong !!”. Teriakan dan suara histeris ini sangat mudah saling menular. Kondisi serba panik membuat kemampuan berfikir logis jadi hilang, saat itu orang cuma berfikir untuk menghindar dan lari. Nah di sini kerap kali timbul musibah. Seorang ibu yang panik karena teriakan histeris akan membiarkan kompornya menyala di dapur dan inilah yang membuat musibah kebakaran saat gempa. Pada hal bahaya gempa tersebut ada kalanya tidak separah suasana panik yang dialami masyarakat.

Mengubah karakter “panic-minded” atau mudah panik menjadi berfikiran tenang tentu butuh waktu- perlu latihan, didikan dan juga butuh model. Anak anak dan siswa yang diasuh oleh orang tua dan guru dengan pribadi yang tenang akan menjadi generasi yang juga bisa tenang ( terbiasa mengontrol emosi). Pemuda pemudi kita akan memiliki pribadi yang tenang/ pribadi yang stabil bila mereka memperoleh model dari senior (orang yang lebih tua) dengan kepribadian yang juga stabil (tenang dan terkontrol).

Sekali lagi bahwa kita bukan bermaksud untuk memuji-muji karakter orang Jepang dan merendahkan karakter diri sendiri. Bahwa rata-rata income orang Jepang adalah 12 kali lipat dari income orang kita. Berarti mereka adalah orang kaya raya, namun ruang keluarga mereka didesain begitu sederhana. Pada banyak rumah, seperti pengakuan keponakan penulis yang masih berada di kota Uwajima, Pulau Shikoku, Jepang- bahwa ruangan keluarga orang Jepang ditata sederhana. Tidak banyak pernak pernik perabot, yang ada cuma beberapa meja rendah dengan bentangan karpet dan lemari atau rak-rak yang penuh berisi buku, bukan rak-rak untuk pajangan boneka, keramik atau pajangan kepingan VCD player.

Ini sebagai bukti bahwa ruang keluarga adalah sebagai tempat yang nyaman dan sekaligus tempat ruang baca dan belajar sejak usia kecil. Bukan ruang keluarga dengan televisi yang menyala selama 24 jam, atau ruangan keluarga yang disulap sebagai ruang teater- memutar music sampai memekakan telinga dan memutar film tanpa aturan waktu.

Tampaknya orang Jepang tidak terkesan jago dalam berpidato atau berbicara. Jarang kita mendengar orang Jepang berkelakar. Kesannya mereka cukup bersahaja, memberi hormat dengan menundukan kepala. Mungkin ini penilaian subjektif penulis saja. Gaya berkomunikasi mereka tersa datar dan tenang saja. Saat lawan berbicara menyampaikan pendapat, mereka betul-betul mendengan dengan sepenuh hati. Tidak ada kesan bedebat dan berebutan dalam ngobrol. Agaknya seperti itulah idealnya gaya berkomunikasi orang-orang dari negara yang punya SDM tinggi.

Gaya berkomunikasi atau berbahasa yang mungkin sering kita lakukan adalah gaya berbahasa yang terlalu banyak berbicara dan enggan mendengar isi fikiran orang lain. Gaya berbicara yang begini (gaya berbahasa saling berebutan) sebagai karakter dari gaya bahasa yang jauh dari kesan intelektual dan perlu ditinggalkan.

Bangsa Jepang adalah bangsa yang kaya dengan harta yang melimpah. Kekayaan dan fasilitas hidup membuat orang selalu senang dan bergembira. Ya benar bahwa selama ini bangsa Jepang adalah bangsa yang hidup bergembira namun saat bencana datang merenggut harta dan nyawa tentu terjadi perbedaan emosi mereka. Dari suasana yang sangat gembira kepada suasana yang sangat berduka hingga mereka amat bersedih dan saking sedihnya mereka susah untuk menumpahkan air mata.

Ada lagi perbedaan antara kita dan Jepang dalam menghadapi tsunami. Setiap kali bencana datang, kita jarang menyiapkan mental dan pengetahuan. Maka, sekali lagi, saat bencana tiba, kita mudah panik dan stress malah juga tidak punya kesempatan untuk melakukan evakuasi (penyelamatan diri). Hal yang kontra bahwa Jepang betul-betul menyiapkan diri. Untuk mengantisipasi tsunami mereka telah membangun pintu-pintu penghalang agar tsunami tidak gampang mencapai kawasan perumahan warga. Pintu terluar adalah green belt, kemudian sungai sejajar pantai untuk mengontrol banjir dan tsunami. Setelah itu baru ada kawasan perumahan warga.

Saat gempa melanda Aceh, Bengkulu, Jogjakarta, dan daerah Padang Pariaman, terlihat bahwa betapa mudah ambruknya gedung sekolah, perkantoran dan rumah masyarakat. Masyarakat Kabupaten Pariaman (dan juga kampung penulis) sebelumnya mengaggap daerah mereka cukup aman dari gempa, apalagi merasa cukup jauh dari Gunung Merapi, sehingga banyak rumah dibangun tanpa beton penyangga pada rusuk dan pinggang rumah. Apa yang terjadi bahwa gempa tanggal 30 September 2009 membuat ribuan rumah jadi rata dengan bumi dan mereka menjadi homeless (tuna wisma) secara massal.

Tidak demikian dengan yang di Jepang. Goncangan dan hempasan tsunami masih membuat dinding gedung dan rumah berdiri dengan gagah. Juga ada kesan bahwa infrastruktur di sana dibangun secara professional dan penuh perhitungan. Sementara infrastruktur (prasarana umum) di daerah kita dibangun secara asal-asalan- beton yang kekurangan semen, jalan dengan aspal yang tipis. Maka cukup banyak terjadi bahwa ada bangunan, jalan raya, atau bendungan sudah ambruk sebelum diresmikan.

Gempa yang melanda Aceh memang lebih dahsyat karena dampaknya juga melanda banyak negara- mulai dari Aceh, Pantai Barat Semenanjung Malaysia, Thailand, Pantai Timur India, Srilangka, bahkan sampai Pantai Timur Afrika. Tidak heran kalau simpati dunia begitu banyak. NGO (Non Government Organization), utusan pemerintah, Sukarelawan, dan wartawan ramai datang berbagi simpati dan berbagi empati. Tsunami Aceh menjadi berita besar selama berminggu-minggu pada media massa dunia.

Simpati orang juga banyak tertuju pada Jepang. Banyak orang, simpatisan dan sukarelawan bergerak untuk berbagi duka dan berniat/ berencana untuk membalut duka hati saudara kita di sana. Namun tiba-tiba ada ledakan pada pembangkit Nuklir Fukushima. Nyali orang mulai menciut, apalagi terjadi exodus meninggalkan Tokyo guna menghindaroi dampak radiasi nuklir. Sampai kini berita dari Jepang nyaris sepi- kecuali bagi mereka yang bias memahami berita dari TV NHK. Kemudian revolusi Libia makin memanas, maka juru kamera dan kuli tinta memilih kesana. Maka ramailah berita dari Libia, semua stasiun Tv meliput dan mengabarkan Libia dan berita dari Jepang kehilangan porsi.

Tsunami membuat semua bangsa bersimpati, namun musibah ledakan reactor nulklir membuat orang hanya bersimpati dari jarak jauh, malah simpati tersebut hamper hamper tidak terasa. Dari TV NHK terlihat bahwa kini orang Jepang masih berjibaku menyelamatkan lingkungan, diri, dan korban tsunami. Tragedy revolusi di Timur Tengah- Libia, Suriah, Baherain dan Yaman- membuat banyak penulis dan pembuat berita pergi kesana. Perang Libia membuat bencana Tsunami Jepang cenderung terlupakan. Memang bahwa berita sekarang bergulir dari Libia dan simpati pada Jepang janganlah dilupakan. Love for Japan.

Sabtu, 26 Maret 2011

Fenomena Demam BIMBEL agar Jebol Perguruan Tinggi

Fenomena Demam BIMBEL agar Jebol Perguruan Tinggi
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

Bimbel adalah singkatan dari “Bimbingan Belajar”. Apakah kegiatan yang dilakukan dalam lembaga bimbel memang “memimbing pembelajaran” agar siswa bisa jebol ke perguruan tinggi. Pernyataan yang masih penulis ingat dari Prof. Dr. Jalius Jama (saat mengikuti kuliah pada Pascasarjana UNP, 2007) mengatakan bahwa kegitan pada bimbel bukan murni kegiatan pembelajaran, yang ada cuma proses melatih menjawab ratusan soal-soal yang kemungkinan diujikan dalam ujian masuk perguruan tinggi. Sementara kalau pembelajaran yang ideal musti ada proses pembelajaran yang bukan instan atau praktek untuk mendapatkan hasil yang ideal.

Siswa-siswi yang ikut bimbel selalu target nilai yang mereka sebut dengan passing grade atau tingkat kelulusan. Pengelola bimbel member test awal dan kemudian memberi tahu tentang passing grade mereka. Kemudian siswa diminta untuk mengejar passing grade setinggi mungkin. “Kamu mau jadi apa nanti..?” Umumnya siswa menjawab “tidak tahu”. Ini benar karena banyak anak-anak sekarang yang belum memiliki cita-cita walau mereka sudah remaja. “Mau melanjutkan pekerjaan yang telah dirintis oleh orang tua ?” Merekapun juga tidak bisa berkomentar.

Tampaknya banyak siswa yang mengikuti pelatihan pada bimbel terlalu menggantungkan cita-cita mereka pada passing grade. Mereka yang ikut bimbel diberi tahu tentang passing grade yang terendah sampai ke yang tertinggi. Passing grade kemudian disesuaikan dengan jurusannya. Cita-cita atau penjurusan siswa/ calon mahasiswa kemudian disesuaikan menurut passing grade. Gara-gara mematok passing grade, potensi dan bakat mereka bisa terabaikan. Seorang anak yang pendiam namun tekun berlatih menjawab soal soal ujian hingga bisa memperoleh skor tinggi, kriteria passing grade untuk masuk jurusan Hubungan Internasional, sebagai contoh. “nah kamu cocok nanti kuliah di Hubungan Internasional”

Apakah cocok jurusan tadi buat siswa tadi ? Tentu tidak, namun ada pelayanan konsultasi yang disediakan oleh lembaga Bimbel. Kemudian atas nama mengejar passing grade dan ikut-ikutan bimbel, ada siswa yang orang tuanya sudah memiliki usaha optikal yang mapan. Sang orang tua berharap agar sang anak cukup kuliah pada akademi Refraksi saja karena lebih relevan dengan usaha optikal ayahnya. Namun sang anak dibujuk dan dirayu teman- hingga juga ikut- ikutan bimbel dan ternyata passing gradenya cocok untuk masuk fakultas kedokteran. “Wah kamu hebat cocok untuk masuk ke fakultas Kedokteran !” Sekarang bagaimana, apakah sang anak akan mengikuti saran orang tua atau mengikuti mimpi yang ditawarkan oleh tentor bimbel ? Lembaga bimbel tentu tidak salah karena juga punya misi untuk mencerdaskan bangsa ini.

Entah kapan demam pergi bimbel itu dimulai. Sekarang banyak siswa demam bimbel, belum lagi selesai UAS (ujian akhir sekolah) dan UN (ujian nasional) mereka sudah kasak kususk untuk mendaftar agar bisa ikut bimbel di tempat bimbel yang dianggap favourite. “Mama..papa...teman-teman udah pada mendaftar bimbel, minta uang satu juta dong...aku juga ikut bimbel” Pemilik usaha bimbel juga cerdik dalam menarik keuntungan dan menggunakan moment ketakutan siswa kalau tidak bisa kuliah kelak, dan segera memajang iklan. “Bergabunglah bersama bimbel ini kalau tidak jebol perguruan tinggi, uang akan dikembalikan. Mendaftarlah sekarang...buruan. Kalau pendaftaran sekaran biaya bimbel akan dikorting/ dapat potongan, kalau pendaftaran bimbel habis ujian nasional maka biaya bimbel bisa naik menjadi sekian jura rupiah”. Maka ramailah siswa yang trauma/takut tidak kuliah menyetor uang dan lembaga bimbel meraup rejeki. Siswa yang tak punya uang untuk ikut bimbel ya menangis atau mencak mencak dan ngambek pada orang tua. “Anak ku....tanpa bimbel kamu juga bisa jebol kuliah, asal kamu bisa belajar yang benar, lebih baik gunakan uang yang sekarang sebagai uang pangkal kuliah, kalau diterima kelak”, kata salah seorang orang tua.

Saat penulis masih remaja di pertengahan tahun 1980-an, bimbel belum lagi menjadi fenomena. Yang ada saat itu adalah kegiatan belajar mandiri dan musim belajar berkelompok. Juga ada remaja yang senang melakukan otodidak- belajar secara mandiri- untuk meraih sukses dalam bidan akademi. Banyak remaja saat itu yang tidak hanya terfokus pada pelajaran sekolah semata, mereka juga menggemari kegiatan olah fisik.

Bila sore datang, mereka segera menyerbu lapangan untuk berolah raga. Ada yang menyukai bola kaki, volley ball, bulu tangkis, renang, atau sengaja berlari keliling lapangan untuk sekedar menghangatkan badan hingga berkeringat. Kesannya adalah bahwa banyak remaja tahun 1980-an yang gemar berolah raga. Banyak remaja yang badanya keringatan setiap sore, otot/ tubuh lebih kuat dan sehat.

Teman teman penulis saat remaja di SMAN 1 Payakumbuh, prestasi mereka di sekolah biasa-biasa saja, namun di luar sekolah mereka juga melibatkan diri dalam kegiatan sosial “ikut kegiatan karang taruna, ikut acara di RT atau desa, dan juga melibatkan diri dalam membantu pekerjaan orang tua- membuka toko, merapikan rumah, dll. Hingga mereka juga ikut bertanggung jawab. Mereka sekarang ternyata juga dalam profesi mereka- sebagai pemilik modal di perusahaan, bekerja pada perusahaan penerbangan, perkapalan, perminyakan, hingga ada yang memiliki bisnis yang mapan. Sementara teman penulis yang cuma sekedar rajin di sekolah namun passif dalam masyarakat, hanya bisa menjadi PNS tingkat rendah saja.

Fenomena belajar siswa kita cukup kontra dengan siswa dari negara maju. Seorang keponakan yang baru saja selesai mengikuti program YES (Youth Exchange Student) di Amerika Serikat mengatakan bahwa siswa-siswi tingkat SMA di Amerika kalau pulang sekolah buru buru pergi ke lapangan untuk berolahraga. Ada yang menyukai soccer, baseball, atletik, berkuda, climbing dan lain-lain. Mereka mengikuti kegiatan olah raga secara serius bukan ikut ikutan teman. Mereka sangat menikmati aktivitas tersebut hingga badan keringatan. Hasilnya adalah badan mereka terlihat lebih gagah, lebih atletik, tidak layu. Tubuh mereka menjadi kuat dan suara lebih lepas, satu lagi mereka lebih percaya diri dan tidak pemalu.

Ini cukup kontra dengan siswa/ pelajar kita. Pernyataan ini bukan untuk merendahkan bangsa sendiri. Katanya bahwa siswa di sini kalau pulang sekolah ya buru buru mengejar bimbel. Pada hal sejak pagi hingga siang selama tujuh atau delapan jam sudah belajar di sekolah. “Apakah tidak cukup belajar di sekolah untuk mereka jadi pintar?”. Dalam kenyataan bahwa sebahagian mereka pergi bimbel cuma sekedar iseng-iseng. Mereka malah pergi mejeng, main main HP, dengar lagu dan berbagi gossip. Cuma bebera menit saja mereka serius dalam belajar”. Ditegur oleh guru bimbel, takut ngambek dan tidak datang lagi, bimbel sendiri bisa sepi dan tidak dapat untung.

Ada kesan bahwa remaja kita kurang suka berolah raga. Pantasan banyak mereka yang memiliki tubuh lemah, akhirnya jiwa juga lemah- hingga menjadi penakut dan cengeng. Mereka takut dengan kecoa, takut dengan cacing tapi berani dengan rokok dan tidak takut sakit kanker (seperti peringatan pada kotak rokok). Remaja kita juga kurang tertarik jalan kaki, untuk menempuh jarak hanya setengah kilo saja, mereka selalu minta diantar atau naik ojek. “Wah budaya manja dan pemborosan”.

Akibat tidak tertarik berolah raga telah membuat remaja kita kurang heroik, senang taqwuran dan tidak sportif- tidak siap menerima kekalahan dengan jiwa besar. Bila kalah ya mengamuk dan membabi buta. Kalau bicara, suaranya kurang keluar dan tidak berani memikul tanggung jawab.
Ternyata orang-orang yang menyukai olah raga, lebih ramah dan mudah mengatakan “hello” dari pada mereka yang pasif dan terlalu kutu buku, serta kuper (kurang pergaulan). Karakter remaja/ siswa kita yang lain adalah seperti pencemas, penakut, mudah terhasud untuk tawuran dan kurang siap untuk berkompetisi.

Kapan ya pergi bimbel menjadi fenomena ? Dulu tidak ada demam bimbel seperti sekarang. Kalau ada siswa yang kurang memahami konsep pelajaran, maka sang siswa secara spontan akan menemui guru bidang studi yang bersangkutan. Namun sekarang bimbel itu “apakah sebagai program remedial atau program enrichment (pengayaan)?”. Program remedial tentu disediakan untuk siswa yang kurang menguasai konsep pelajaran, sementara program pengayaan (enrichment) adalah untuk siswa yang sudah tuntas. Pada bimbel kedua kelompok siswa ini digabung dan membayar sama. Siswa yang lemah tentu jadi bosan, patah semangat dan mereka hanya sekedar menyumbang uang ke sana. Lembaga bimbel tidak rugi.

Kata sebahagian orang tua bahwa biaya bimbel itu cukup mahal, dan belum tentu menjamin seorang anak untuk bisa lulus ke perguruan tinggi. Namun lembaga bimbel punya strategi untuk mencari siswa/ untung. Ia mendatangi anak/ sekolah yang cerdas dan orang tuanya berduit untuk ikut bimbel dan dilatih untuk mengerjakan soal-soal masuk perguruan tinggi. Kelak bila siswa jebol masuk masuk perguruan tinggin favourite akan dibuat iklan dalam selebaran, “Siswa-siswi ini sukses lewat bimbelnya- pada hal yang lebih menentukan kesuksesan sang siswa adalah factor ketekunan yang sudah terbentuk dari rumah dan sekolah. Lembaga bimbel hanya sebagai wadah untuk waspada dan sebagai wadah penghilang kecemasan sang siswa yang banyak takut bakal tak jebol kuliah.

Wah biaya bimbel itu mahal, apalagi untuk program super intensive bisa jutaan rupiah, dan tidak mungkin bisa dijangkau oleh anak-anak petani dan anak-anak buruh. Kalau ikut bimbel seolah-olah ada jaminan untuk bisa masuk jurusan dan universitas bergengsi, maka apakah anak-anak orang miskin tidak bisa studi di sana ?.

Sejak kapan program bimbel diburu oleh siswa ? Ya sejak terjadi gejala pengidolaan sekolah, yaitu gejala atau fenomena memfavoritkan suatu sekolah dan suatu universitas. Bahwa sekolah yang favorit itu adalah “sekolah unggul, sekolah plus, sekolah percontohan, sekolah berstandar nasional”. Pokoknya sekolah yang punya label, malah sekarang sekolah berlabel “Bertaraf Rintisan Internasinal”, diplesetkan menjadi sekolah BERTARIF INTERNASIONAL. Itu karena biaya belajarnya di ruang ber-AC yang cukup mahal dan kualitasnya biasa-biasa saja. Gara-gara ada sekolah berlabel maka berduyun-duyunlah orang tua mengatarkan anak mereka untuk belajar di sana. Ini juga bagus. Ternyata sukses juga bisa dari sekolah pinggiran. Seorang siswa yang bernama Ranti Komala Sari, hanya jebolan dari sekolah pelosok Batusangkar, yaitu SMAN 1 Padang Ganting, Kabupaten Tanah Datar. Namun sekarang ia bisa mengikuti kuliah double degree untuk program master pada Univertsitas Sorbone, Perancis. Sukses itu ada dimana-mana.

Lagi-lagi tamatan SLTA- terutama tamatan SMA- berduyun-duyun mencari tempat kuliah yang juga favourite seperti di UI, ITB, UNPAD, UNDIP, UGM, pokoknya universitas di pulau Jawa. Untuk bisa jebol ke sana tentu amat susah. Mereka harus bisa mencapai passing grade yang tinggi. Yang mengerti tentang passing grade bukan guru dan bukan sekolah, tetapi adalah wilayah kekuasaan lembaga bimbingan belajar. Bimbel yang kualitasnya bagus tentu saja biayanya mahal. Bimbel yang bagus diidentikan bisa menjamin siswa bisa lolos ke perguruan tinggi. Tetapi aneh, ada siswa yang ikut program bimbel dengan biaya mahal ternyata tak jebol. “Mungkin pilihan jurusan terlalu tinggi”. Juga ada yang ikut bimbel dengan biaya mahal dan ternyata hanya jebol pada jurusan biasa-biasa saja- yang mana tanpa ikut bimbel seseorang akan juga bisa jebol.

Kenapa guru bimbel diidolakan ? Guru bimbel sama halnya dengan guru pada beberapa sekolah lain. Mereka tentu direkrut dari lulusan perguruan tinggi dengan seleksi yang baik- indek kumulatif tinggi dan kepribadian yang menarik- ramah dan menyenangi karir mengajar. Sementara rekruitmen guru kebanyakan cuma berdasarkan hasil test tertulis dan jarang sekali melewati test wawancara, sehingga begitu sudah berada di lapangan, ditemui prilaku guru yang kadang-kadang bertentangan dengan jiwa pendidik. Mereka berkarakter suka marah, suka naik pitam, mudah ketus dan tidak menyukai karir mengajar.

Bimbel sepanjang tahun tetap diburu karena dianggap bisa membantu siswa untuk mewujudkan mimpi mereka menuju perguruan tinggi. Bimbel yang menarik tentu saja biayanya mahal, karena tempat latihan menjawab soal-soal ujian berada dalam kelas nyaman dan sejuk. Bimbel juga dibimbing oleh tentor/guru yang cerdas, ramah dan penyabar. Ini adalah bentuk pelayanan mereka yang harganya dibayar mahal oleh siswa. Sehingga siswa menjadi betah dalam belajar. Siswa siswi tidak akan mendengar cercaan, ejekan, kemarahan yang mana suasana begini bisa ditemukan pada beberapa sekolah.

Akhirnya diyakini bahwa bimbel itu sangat berguna sebagai partner bagi sekolah dan guru dalam menjaga minat dan motivasi siswa untuk menuju perguruan tinggi. Bagi yang punya uang silahkan ikut bimbel di tempat yang mahal. Namun tidak ada jaminan bahwa setelah ikut bimbel bakal jebol keperguruan tinggi, karena yang sukses dalam bimbel adalah anak-anak yang telah rajin atau memiliki motivasi belajar yang tinggi sejak dari rumah dan sekolah. Sedangkan tempat bimbel tinggal mempoles sedikit saja. Selalulah berusaha dan hasilnya serahkan pada Allah azza Wajalla.

Jumat, 25 Maret 2011

Saat Hati Tidak Bahagia, Pilih Mana... Shabu Shabu atau Sajadah

Saat Hati Tidak Bahagia, Pilih Mana... Shabu Shabu atau Sajadah
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

Dalam hidup ini banyak orang yang berlomba membeli kebahagiaan. Orang tua bekerja siang malam untuk mencari nafkah yang banyak agar bisa mencukupi kebutuhan keluarga dan anak-anak. “Itu semua demi kebahagiaan mereka”. Bila musim liburan datang maka banyak keluarga hilir mudik dengan kendaraan umum sampai dengan kendaraan pribadi, membawa keluarga ke tempat rekreasi. Mereka yakin bahwa tempat yang bisa mendatangkan kebahagiaan itu ada di mall, di restaurant, sampai di tempat wisata. Kemudian atas nama memberi kebahagiaan buat publik maka industry hiburan, tempat makan/ restoran, tempat rekreasi dan permainan buat keluarga, tumbuh begitu subur di mana-mana.
Hal yang cukup paradoks bahwa mengapa orang-orang yang bekerja- bergelut- dalam industri entertainment untuk membuat orang lain bisa bahagia, malah ada yang tidak bahagia. Hati mereka terasa hampa dan malah berduka. untuk mencari efek bahagia mereka terpaksa mengkonsumsi obat psikotropika- narkotik, ganja/ madat, ectasy atau shabu-shabu.
Berita televisi di negeri ini (Indonesia) dalam bulan Maret 2011 sering memberitakan tentang kecendrungan beberapa artis yang terjerat dengan shabu-shabu. Mengapa artis suka shabu-shabu ? Berita tertangkapnya selebriti- para atlit, penyanyi, bintang sinetron- yang memakai shabu-shabu bukan hal yang baru lagi. Bintang sepak bola asal Brazil- Diego Maradona- pernah tertangkap karena menggunakan narkotika. Selebriti Indonesia seperti Roy Marten, drummer band Padi Yoga dan Iyut Bing Slamet (sebagai contoh) juga tertangkap tangan sedang menggunakan shabu-shabu.
Ternyata yang cenderung jatuh ke dalam lembah shabu-shabu atau penyalahgunaan obat psikotropika tidak hanya para selebriti. Orang atau pemuda yang berada di kota kecil hingga daerah pedesaan juga ada. Ada beberapa anak muda yang sebelumnya penulis kenal sebagai anak baik-baik, tiba-tiba ditemui menjadi penghuni lapas (penjara). Itu semua gara-gara tertangkap tangan sedang mengkonsumsi ganja atau pil terlarang.
Salah seorang pemuda yang juga penulis kenal sebagai anak yang penurut juga telah menjadi korban. Perceraian orang tua dan kemudian meninggalnya sang ibu telah memberikan efek kesedihan yang mendalam baginya. Ia telah menjadi tidak bahagia dan fasilitas yang diwariskan oleh orang tua seperti rumah dan kendaraan bagus juga tidak membuat dia berbahagia. Ia memperoleh ketengan sesaat melalui pil psikotropika yang diperkenalkan oleh seseorang yang pura-pura baik agar bisa mendapatkan uang yang banyak dari penjualan pil terlarang tadi.
Sebetulnya bagaimana efek dari pil penenang atau shabu-shabu tersebut ? Andri (2011) mengatakan bahwa orang menggunakan shabu-shabu untuk mendapatkan efek psikologis sebagai hasil kerja obat di berbagai system neurotransmitter pada otak. Efek yang diperoleh pengguna adalah perasaan euphoria (perasaan senang) sampai rasa ectasy (senang yang berlebihan). Namun setelah itu zat tadi (shabu-shabu) juga membuat timbulnya gejala psikosomatik, paranoid (gila ketakutan), halusinasi (khayalan) dan agresivitas. Sehingga si pengguna obat bisa menjadi mudah tersinggung dan berani berbuat sesuatu yang mengandung resiko. Kemudian gara-gara menggunakan shabu-shabu juga membuat orang tidak ingin makan.
Penggunaan narkoba (narkotika) menyebabkan kerja jantung dan pembuluh darah menjadi berlebihan. Dampaknya sangat berbahaya bagi penderita hipertensi dan gangguan jantung. Efek pada otak bisa membuat pendarahan otak. Penderita tentu saja bisa menderita, kejang dan meninggal dunia.
Penggunaan narkoba bisa mendatangkan ketergantungan. Ia bisa menderita efek mudah putus asa, perasaan lelah yang berlebihan, kecemasan yang luar biasa, tidak percaya diri hingga mengalami paranoid dan psikosis atau sakit jiwa berat.
Nah sekarang kondisi masyarakat kita ternyata makin lama makin menuju pola hidup individu, acuh tak acuh, masa modoh dan serba tidak ingin mau tahu. Orang yang punya masalah hidup bakal akan bersedih sendirian dan merasakan seolah-olah tidak ada tempat berbagi lagi. Maka saat hati kita tidak lagi bahagia...apakah kita akan memilih shabu-shabu untuk menenangkan jiwa atau pergi malah pergi ke sajadah (mendirikan sholat), untuk bersujud- tersungkur- mengadukan nasib kepada Sang penciwa jiwa ?
Saat jiwa dan hati gersang dan tidak bahagia, ada yang pergi ke cafe, kelab malam dan mencari narkotika, namun ia memperoleh kebahagiaan sesaat. Namun setelah itu datang penyakit dan derita. Tetapi bagi yang mencari sajadah- melakukan sholat dan bersujud di atas sajadah maka ia merasakan kedamaian. Goresan puisi (dan sudah dipopulerkan manjadi lagu) tentang sajadah yang terukir pada diding rumah puisi yang dibangun oleh Taufiq Ismail dekat Padang Panjang sangat cocok dalam melukiskannya. Syairnya adalah sebagai berikut:
“Ada sajadah panjang terbentang dari kaki buaian sampai ke tepi kuburan hamba.
Kuburan hamba bila mati.
Ada sajadah panjang terbentang.
Hamba tunduk dan sujud di atas sajadah yang panjang ini, diselingi sekedar interupsi.
Mencari rezki- mencari ilmu, mengukur jalanan seharian.
Begitu terdengar suara azan kembali tersungkur hamba.
Ada sajadah panjang terbentang, hamba tunduk dan ruku’.
Hamba sujud tak lepas kening hamba mengingat di-Kau sepenuhnya”.
Orang- orang yang berada dalam penjara, dalam rumah sakit jiwa, dan anak-anak atau remaja yang mudah terpancing dalam tauwuran dan kerusuhan adalah remaja yang hatinya kurang bahagia. Demikian pula dengan orang-orang yang suka menjauhkan diri dari pergaulan social. Mereka umumnya menjadi kurang berbahagia adakalanya oleh perlakuan orang tua dan kaum kerabat sendiri. Kecendrungan marah setiap saat membuat seorang anak merasa kurang disayangi. Miskinnya seorang anak atau remaja dalam memperoleh pengalaman sukses membuat hidupnya menjadi kurang berarti.
Sangat bijaksana kalau seseorang- orang tua, guru dan orang dewasa lainnya memiliki karakter suka memaafkan kesalahan anak dan orang orang yang lemah- berusia kecil yang butuh pembinaan untuk tidak banyak mencerca mereka. Ini penting agar mereka tidak menjadi manusia yang kelak senang dibentak terus.
Juga sangat bijak bagi orang tua, guru dan public figure yang bisa memberi model untuk menjadi orang yang sederhana namun memiliki kemauan keras. Bukan seperti karakter sebagian orang sekarang yang sangat memuja dunia (hedonisme)- memuja harta dan mendewakan kemewahan. Gaya hidup hedonism- mengejar kemewahan membuat hati kita mudah jadi hampa.
Seorang teman tiba tiba fikirannya kalut tanpa alas an dan hatinya resah karena masalah hidup. Beruntung karena sejak muda ia akrab dengan mushala, surau dan mesjid, maka berarti ia masih punya akar spiritual. Maka saat fikiran kalut, hati hampa, gelisah dan tidak bahagia, untung ia belum mengenal narkotika atau obat psikotropika lainnya. Ia berdiri di keheningan malam ia berwudlu- membasahi anggota badan, kepala dan wajah maka ia tersungkur- bersujud untuk mohon ampun, mohon petujuk dan memuja ke hadapan Allah Sang pemilik alam ini. Kini saat hati berbahagia atau juga saat hati tidak berbahagia, maka jauhilah narkoba dan pilihlah sajadah panjang tersebut dan dirikanlah sholat. (Note: Andri (2011) Mengapa Artis Suka Shabu-Shabu. Jakarta: Seputar Indonesia (Jumat, 11 Maret, 2011)

Kamis, 24 Maret 2011

Tanggung jawab Guru Penerima Sertifikasi Dalam Menggenjot SDM Pendidikan

Tanggung jawab Guru Penerima Sertifikasi Dalam Menggenjot SDM Pendidikan
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

Semua guru penerima tunjangan sertifikasi tentu harus bersyukur, karena negara telah mengucurkan dana sertifikasi buat mereka. Dari uang yang diterima mereka telah merasakan manfaatnya terutama dalam peningkatan kesejahteraan- sebagai tambahan gaji.

Jauh sebelum program sertifikasi tersebut diluncurkan, mungkin saat itu masih dalam tahap sosialisasi, sebahagian guru sempat berfikir tentang bagaimana wujud program sertifikasi tersebut. Apakah sertifikasi diberikan kepada segelintir guru yang memang dianggap professional, yang mana keprofesionalan mereka dibuktikan dengan serangkaian assessment yang valid dan terpercaya. Atau sertifikasi diberikan sebagai reward/ penghargaan kepada guru yang menang dalam seleksi, ya seperti seleksi guru berprestasi, guru teladan atau seleksi teacher of the year. “Wah kalau demikian pasti hebat, dan guru yang bersertifikat pasti memang guru yang ideal”.

Ternyata setelah itu program sertifikasi hanya dalam bentuk pemberian label sertifikasi terhadap guru secara massal, tanpa penilaian yang detail terhadap kualitas mereka: “guru santai atau rajin, guru berkualitas dan guru amburadul sama-sama dapat untung seritifikasi”. Sertifikasi kemudian menjadi berita hebat- menjadi angin segar- bagi guru. Dengan sertifikisasi guru akan sejahtera, dan pemberian sertifikasi sebagai tanda bahwa seorang guru telah menjadi guru professional, tidak percaya- coba lihat pin yang telah mereka terima. Namun apakah guru penerima sertifikasi telah mampu meningkatkan kualitas SDM pendidikan bangsa ini ?

Ternyata hampir semua guru mampu menerima sertifikasi dengan enteng, apalagi dengan adanya system quota. Dan ternyata para guru merasakan betapa mudahnya memperoleh label professional tersebut- apalagi setelah ada jaminan atau pelatihan dari universitas yang ditunjuk atau pusat diklat (pendidikan latihan) bagi sertifikasi guru yang seolah-olah sang guru telah berkualitas.

Kini pada beberapa media massa, sudah sering terbesit segelintir kekecewaan dan ketidak puasan. Mereka mengatakan bahwa: “ternyata program sertifikasi belum mampu meningkatkan kualitas pendidikan, ternyata program sertifikasi tidak berbanding lurus dengan mutu pendidikan, ternyata program sertifikasi hanya baru sebatas membuat guru rajin datang ke solah dan mencukupi jatah/ quota jam mengajar menjadi 24 jam perminggu”. Bagi guru yang tidak cukup jam mengajar 24 jam, maka mereka boleh melakukan pembelajaran lewat team teaching. Ada ada saja bahwa ternyata ditemukan juga guru- guru yang galir atau licik dalam memikul beban team teaching- sebagai persyaratan mengajar 24 jam per minggu. Katanya lagi melakukan team teaching, ternyata yang satu ngajar dan yang lain membolos, dengan cara rekayasa, maka mereka sukses membuat “tim kucing”.

Kenyataan di lapangan bahwa tidak ada jaminan guru yang memperoleh pin (emblem) sebagai guru professional atau guru penerima sertifikasi, apalagi telah menerima kucuran dana segar, bakal menjadi guru yang sungguh-sungguh kompeten. Yakni memiliki kompetensi paedagogi, kompetensi, social, kompetensi komunikasi dan kompetensi profesi. Juga tidak ada jaminan guru yang sudah pulang dari kegiatan diklat (pendidikan latihan) yang dipandu oleh doctor dan professional sekalipun bakal menjadi guru yang professional. Juga tidak ada jaminan bahwa guru yang melaksanakan proses pembelajaran secara team teaching bakal mampu meningkatkan SDM siswa.

Meningkatkan SDM siswa tidak segampang itu. Apalagi kalau sang guru tidak tahu dengan masalah motivasi belajar, minat belajar, model atau gaya mengajar. Tentu ada banyak hal. Andai ada dua orang guru yang sedang melakukan team teaching namun suasana kelas penuh dengan kecaman, bahasa menggerutu, mengeritik, maka jangan harap bahwa siswa akan termotivasi dalam belajar.

Walau guru penerima sertifikasi belum memperlihatkan kontribusi signifikan dalam peningkatkan SDM pendidikan, namun kita harap agar pemerintah tidak menghentikan program atau bantuan sertifikasi ini. Karena dana sertifikasi memang bermanfaat dalam meningkatkan kesejahteraan guru. Tapi mereka perlu pembinaan peningkatan mutu yang serius.

Persyaratan agar guru mampu menggenjot kualitas SDM anak didik adalah bahwa mereka sendiri harus memiliki kualitas diri yang tinggi. Dalam fenomena bahwa ternyata kualitas diri seorang guru belum ditentukan oleh sertifikat profesi yang mereka peroleh atau pelatihan professional yang mereka ikuti. Apalagi kalau mereka mengikutinya tidak sepenuh hati- asal-asalan saja.

Disinyalir bahwa seorang guru menjadi kurang menarik- belum mampu menjadi guru ideal di sekolah, karena mereka memiliki tiga kelemahan, yaitu: lemah dalam budaya membaca, lemah budaya diskusi dan lemah dengan budaya menulis. Kelemahan ini memang terbukti di lapangan.

Pergilah ke lapangan- ke sekolah sekolah, maka kita akan menemui bahwa tidak banyak guru yang tekun dengan membaca. Hitunglah berapa orang guru yang gemar membaca- walau hanya baru sebatas membaca majalah atau Koran, apalagi kalau membaca buku buku bermutu lainnya. Untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) hampir 90 % perpustakaan sekolah tidak diperdayakan- dibiarkan terkunci sepanjang hari. Ini berarti cukup banyak siswa SD yang tidak merasakan betapa indahnya membaca itu, pantaslah tidak begitu banyak anak yang kenal dengan nama majalah anak-anak.

Kalau begitu target membaca di SD hanya sekedar membuat siswa bisa membaca kalimat-kalimat pendek saja. Setelah siswa pandai membaca, mereka tidak pernah diajak dan dimotivasi untuk membaca buku lagi. “Ya bagaimana..., guru SD itu sendiri juga tidak merasakan betapa enaknya menjadi pembaca, guru-guru SD sendiri juga banyak yang alergi dengan bacaan- kalau membaca ya mataku segera berair”. Rapuhnya budaya membaca semakin berlanjut ke jenjang SMP dan juga oleh guru SMP, terus ke jenjang SLTA. Kita temukan cukup banyak guru guru SLTA dan juga para mahasiswa yang tidak menyukai membaca. Mereka cuma lebih betah main game lewat layar computer atau otak atik phone-cell, bukan berupaya bagaimana kualitas diri bisa meningkat.

Kalau mereka tidak pernah membaca dan amat jarang membaca, ya bagaimana mereka akan kaya dengan wawasan dan memiliki ilmu pengetahuan yang memadai buat diri sendiri dan bagi orang lain. Catatan yang ada pada dinding rumah puisi Taufiq Ismail di Kenagarian Aie Angek, di Lereng gunung Singgalang, dekat Padang Panjanang, mengungkapkan bahwa sekolah- sekolah di negara tetangga yang maju seperti Australia, New Zealand, dan Singapore selalu menugaskan siswa-siswi mereka agar membaca puluhan karya sastra per semester. Sementara aktivitas begini hampir nihil bagi pendidikan kita. Nah inilah penyebab rendahnya SDM kita, namun banyak orang yang kurang tertarik untuk mengekspose nya, atau mengajak “kembali membaca dan mengaktifkan kembali perpustakaan sekolah”.

Kelemahan kedua dalam pendidikan kita adalah bahwa budaya diskusi dan berdebat termasuk langka. Guru sebagai pendidik belum terbiasa dalam diskusi dan berdebat, mereka hanya terbiasa dengan debat kusir. Guru-guru yang tidak terbiasa dengan berdiskusi juga akan tidak tertarik dengan metode diskusi dalam pembelajaran. Mereka merasa sangat nyaman untuk mengajar dengan metode konvensional. Merasa gerah kalau ada siswa yang kritis dan banyak Tanya, “wah mulutmu bisulan ya ..., kerja kamu ngomong dan bertanya tidak karuan melulu”. Alpanya budaya berdiskusi dan berdebat telah membuat daya nalar guru dan budaya nalar anak didik menjadi lemah. Ini juga menjadi pemicu mengapa SDM anak didik cenderung rendah.

Akhirnya budaya lain yang juga alfa dalam pendidikan kita adalah budaya menulis. Sebenarnya seorang guru identik dengan figure intelektual. Ternyata sungguh banyak mereka yang tidak mampu dalam menulis. Menulis karya ilmiah, menulis proposal dan apalagi melakukan penelitian ilmiah adalah suatu hal yang mahal. Kini dalam musim kualifikasi pendidikan- bahwa semua guru harus memperoleh pendidikan strata satu. Maka dalam menyelesaikan skripsi yang cuma dalam bentuk penelitian tindakan kelas (PTK) mereka pun masih terlihat kasak kusuk dalam meramu tulisan yang mereka anggap ilmiah dengan metode copy paste. Masih sulit juga menyelesaikan PTK, ya terpaksa mencari cara aspal- asli tapi palsu.

Apakah mungkin guru-guru yang tidak terbiasa dalam menulis akan mampu menularkan kebiasaan menulis buat anak didik. Satu atau dua orang siswa di sekolah memang ada yang menyukai menulis. Mereka mampu menulis cerpen, puisi atau artikel ringan. Itu sebagian karena mereka terinspirasi oleh bacaan yang kebetulan berisi motivasi. Nah bagaimana kalau mereka memperoleh pasokan motivasi dari sang guru, pasti hasilnya sangat luar biasa.

Tidak perlu berputus asa bila guru guru- apalagi guru penerima sertifikasi belum memberikan kontribusi dalam meningkatkan SDM pendidikan kita. Namun mereka perlu mengubah pola pikir.

Ilham Mustafa (2011) telah menulis tentang arah pemikiran mahasiswa. Tulisannya dapat kita sadur untuk mengarahkan guru. Pertama, mereka perlu menciptakan budaya membaca, karena ada sloga yang berbunyi “dengan membaca kita genggam dunia. Mengapa Amerika dan Eropa bisa maju ? Karena penduduknya aktif membaca. Masyarakatnya rata-rata kutu buku. Penduduk Negara tersebut sudah menjadikan buku sebagai sahabat yang menemani mereka ke mana pun pergi. Ketika antre membeli karcis, menunggu kereta, di dalam bus, dan aktivitas lainnya, mereka tidak pernah lupa untuk menyempatkan membaca, dengan membaca mereka punya wawasan.

Kedua, guru perlu menciptakan tradisi diskusi. Budaya diskusi akan membuat guru menjadi lebih kritis dan bisa menguasai konsep. Ketiga, guru perlu menciptakan budaya menulis. Dengan menulis maka guru bisa mengatualisasikan pemikirannya. (note: Ilham Mustafa (2011) Arah Pemikiran Mahasiswa. Padang: Koran Singgalang, 16 Februari 2011).

Sabtu, 29 Januari 2011

Saatnya Bintang “INS Kayutanam 1926” Bersinar Terang Lagi



Saatnya Bintang “INS Kayutanam 1926” Bersinar Terang Lagi
Oleh: Marjohan, M.Pd
(Pencinta INS Kayutanam
dan Guru SMAN 3 Batusangkar)

Dalam masa sekolah dahulu, setiap kali melewati jalan raya Padang- Bukittinggi, maka yang selalu penulis ingat di kawasan lembah anai dan Kayutanam adalah dua hal, yaitu air mancur dan nama “INS Kayutanam 1926”. Pada komplek INS tertulis kata “Ruang Pendidik”. Dulu, dalam tahun 1980-an, komplek INS tidak begitu terawat dan tampak seakan-akan telah ditinggalkan oleh pemilik dan stakeholdernya.
Orang-orang awam tentu berfikir “Komplek apakah ini ? Bekas sekolah, gudang logistic atau pabrik peninggalan penjajah ?”. Orang-orang yang punya visi bisnis pasti memasang telinga kalau-kalau komplek tua dengan lahan luas bakal dilelang. Apalagi posisinya amat strategi yaitu di pertengahan jalan utama Padang- Bukittinggi, maka pasti mereka berebutan untuk memenangkan tendernya.
Memang benar bahwa “Ruang Pendidik INS Kayutanam 1926 adalah sebuah pabrik otak (baca sekolah)” yang pernah berjaya dan telah menghasilkan manusia-manusia jempolan di negeri ini. Sebut saja nama nama seperti “AA Navis, dan Muchtar Lubis- sang penyair, Bustanil Arifin, FA Moeloek- sang Menteri, Idraman Akmam- direktur BUMN, Djang Jusi dan Mucntar Apin- tokoh intelektual, dan lain-lain . Mereka adalah segelintir lulusannya yang diasah melalui komplek INS Kayutanam 1926 hingga menjadi permata yang bersinar terang.
Sekarang mereka ada yang sudah jadi almarhum dan juga banyak yang masih hidup. Pasti mantan murid INS Kayutanam 1926 yang masih hidup masih tahu banyak tentang figure ‘Engku Mohammad Syafei”. Mereka tentu masih bisa menjembatani fikiran Engku Syafei dengan generasi muda sekarang- kalau tidak tentuk ide dan filosof hidup Engku Syafei akan terputus. Maka selagi para mantan INS Kayutanam masih hidup, mereka patut menjadi key informan untuk mengumpulkan informasi seputar Engku Syafei hingga tergubah senarai fikiran dari Engku Syafei. Bila tidak “ya…nama Engku Sayafei akan menjadi kenangan indah atau malah dilupakan”.
Memang benar bahwa INS Kayutanam adalah pabrik otak. Dikatakan pabrik karena disana ada siklus belajar dan pembelajaran yang dimulai dari siklus “input-proses dan menghasilkan output-outcome’.
Kalau tidak salah, INS sudah berulang-ulang berganti nama. Pada mulanya bernama “Indonesia Nederlandische School”, kemudian menjadi “Institut Nasional Syafei”, dan sekarang menjadi “Institut Talenta Indonesia 2020”. Tentu ini semua punya dasar visi dan misi.
Perguruan Nasional Ruang Pendidik INS Kayutanam didirikan tahun 1926, oleh Engku Mohammad Syafei, memang bertujuan untuk mendidik siswa agar punya jiwa merdeka, aktif-kreatif, mandiri, beretos kerja tinggi, memiliki dasar berbagai ketrampilan/hard skill. Kalau siswanya lulus, maka mereka harus mampu hidup/mandiri (berjiwa entrepreneur). Mereka tidak mengemis pekerjaan kepada pemerintah- saat itu pada pemerintahan Belanda. Karena Engku Sjafei menyadari bahwa sistem pendidikan yang dirancang oleh Belanda pada saat itu adalah untuk mendidik bangsa Indonesia agar bekerja dengan pemerintah colonial Belanda. Yaitu bermental buruh- berkarakter pembantu- (sekali lagi) yang hanya bisa bekerja jadi pegawai Belanda.
Visi dari Engku syafei ini terrefleksi dari para lulusannya INS 1926 yang memang berjiwa kreatif, beretos tinggi, mandiri dan berjiwa merdeka. Saat menuntut ilmu di INS 1926, diperkirakan bahwa Arbi Samah, Nasrun AS, MUchtar Lubis tidak pernah berfikir menjadi PNS “Pegawai Negeri Sipil” pada saat itu. Namun karena etos belajar yang begitu dahsyad maka kemudian mereka menjadi budayawan hebat. Begitu pula dengan Djang Jusi, Mahyudin Algamar, Surkani, Zaini, Hasnan Habib, sebagai contoh, karena etos belajar yang tinggi, fikiran kreatif serta karakter endeavour (suka kerja keras dan serius) maka mereka menjadi orang terkemuka di negeri ini.
Zaman berubah dan perubahan social-pendidikan dan budaya pun terjadi. INS juga dilanda oleh perubahan. Seharusnya stakeholder INS Kayutanam 1926 selalu mengupdate diri- melakukan evaluasi: koreksi dan revisi. Namun Aditi Husni (Cucu Engku Muhammad Syafei), dalam emailnya pada penulis, menyadari bahwa pemiliki dan pengurus INS Kayutanam 1926 tidak / belum melakukan regenerasi tentang manajemen INS Kayutanam, dan baru sekarang terjadi revitalisasi INS walau agak terlambat. Tapi “better late than never”, biarlah terlambat dari pada tidak pernah sama sekali.
Andaikata INS tidak/ belum bisa berkembang pesat, itu bukan kesalahan Engku Muhammad syafei dan para penggantinya, tetapi itu adalah kesalahan kita. Tetapi tidak perlu untuk meratapi kesalahan. Maka yang tepat adalah “mari berbuat sesuai dengan kemampuan dan potensi diri masing-masing untuk sama-sama melakukan revitalisasi (menghidupkan kembali) pesona INS dan Fikiran Engku Muhammad Syafei ini.
Dalam dunia manajemen ada analisa “SWOT” yaitu “Strength- Weakness- Opportunity- Threatening”. Maka INS Kayutanam 1926 pun memiliki kekuatan dan kelemahan, kelebihan dan kekurangan. Kelebihan atau kekuatan INS Kayutanam 1926 adalah bahwa ia “memiliki alumni yang bernas dengan jumlah cukup banyak, berpotensi untuk memajukan melalui kekuatan financial dan akademik yang mereka miliki. Juga ia memiliki areal tanah 18 hektar”. Sehingga akan memberikan opportunity (kesempatan) untuk beraktivitas dan berkreativitas untuk ikut mencerdaskan anak-anak bangsa ini.
Kata Aditi Husni bahwa areal INS seluas itu sangat memungkinkan untuk melakukan berbagai usaha/kegiatan yang produktif. Tentu saja butuh pemikiran dan usaha bersama untuk "MAANGKEK BATANG TARANDAM" ini.
Ancaman dan kelemahan INS selama ini, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Dr F.A Moeloek dalam e-mailnya pada penulis adalah menemukan "kepemimpinan" dan "guru-guru"yang sesuai untuk "membangkikkan batang tarandam", untuk perguruan/sekolah tersebut, sesuai dengan filosofinya.
Penulis punya grup pada face-book yang judulnya adalah “Indonesia Cerdas” dengan anggota hamper 2000 orang. Kemudian berganti nama menjadi “Pencinta INS Kayutanam 1926”, sehingga anggota bertanya bertanya “Kenapa grup kita berganti nama ?”. Ya itu karena penulis juga terpanggil untuk ikut mensosialisasikan INS Kayutanam dan Pemikiran Engku Mohammad Syafei.
Ke dua nama di atas memiliki kekuatan nama “Engku Syafei dikenal sebagai tokoh pendidik yang berfikiran modern dalam zaman yang belum modern”. Pastilah beliau orang yang hebat, karena beliau tidak meningggalkan karya tulis sebanyak Buya Hamka (Alm) maka tugas kita para pengagum dan pencinta fikiran beliau untuk menulis dan mensosialisasikan idea tau opininya. Kemudian nama “INS Kayutanam 1926 juga sangat popular karena telah melahirkan lulusan berkualitas ibarat intan atau permata- namun prosesnya terjadi. Lulusan tersebut selalu tumbuh dan menjadi tua, sebagian masih hidup dan sebagian lagi telah berpulang. Karena alumni ini mengikuti proses pendidikan langsung dari Engku Mohammad Syafi, maka- sekali lagi- bahwa mereka layak menjadi sumber untuk mengupas tentang pilsafat hidup dan filsafat pendidikan dari Engku Mohammad Syafei.
INS Kayutanam 1926 masih eksist dan nama Engku Mohammad Syafei masih harum. Namun kedua nama ini perlu selalu diupdate- perlu sosialisasi total. Jaya selalu INS Kayutanam 1926 dan harumlah selalu pemikiran Engku Mohammad Syafei, hingga saatnya dan saatnya bintang “INS Kayutanam 1926” Bersinar Terang Lagi.

Senin, 03 Januari 2011

Catatan dari Oki Muraza

Catatan dari Oki Muraza

Assalamu'alaikum,
Pak Marjohan, baa kaba Pak...
Iko ada berita tentang ilmuwan Indonesia yg ada di luar negeri Pak....kebetulan ada nama murid dari Lintau :)

salam untuk keluarga Pak,

salam,
Oki
==

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2011/01/03/PDK/mbm.20110103.PDK135512.id.html

Berlian Yang Berserak

DEPRESI malah berbuah dua gelar doktor. Ketika posisinya sebagai direktur riset di Center for Advanced Research of Biomedical Engineering, Toin University, Jepang, dicopot pada 1998, Ken Kawan Soetanto sempat tersuruk dalam depresi.

"Berpikir keras sedikit saja langsung muntah-muntah," kata Ken Soetanto, 59 tahun, dua pekan lalu. Padahal Kenlah yang merintis dan membesarkan lembaga riset itu. Pulang kampung ke Surabaya, kota kelahirannya, membuat Ken hidup kembali. Ketika dia merasa terbuang, warga kota itu justru menyambutnya bak pahlawan.

Dia laris diundang ke pelbagai seminar sebagai sumber inspirasi. Setiap kali dia menjadi pembicara, kursi peserta tak pernah ada yang melompong. Sambutan warga Surabaya itu melecut kembali semangat hidup Ken. "Saya terpacu untuk membuktikan diri," kata Ken. Pada saat memulihkan diri dari depresi itulah, Ken malah kembali memburu gelar doktor.

Dua gelar doktor, yakni doktor farmasi dari Science University of Tokyo pada 2000 dan doktor pendidikan dari Waseda University tiga tahun kemudian, menambah panjang deretan gelar di depan namanya. Padahal sebelumnya Ken sudah menyandang dua gelar doktor dari dua kampus elite di Jepang, yakni doktor aplikasi rekayasa elektronika dari Tokyo Institute of Technology pada 1985 dan doktor ilmu kedokteran dari Tohoku University.

Sempat menjadi pengangguran selama beberapa tahun, Ken diangkat menjadi guru besar di Waseda University pada 2003. Bahkan dia menjadi dekan divisi hubungan internasional di almamaternya itu. Metode pendidikannya, Soetanto Effect, diadopsi oleh kampus-kampus di Jepang.

Semua itu didapat Ken dengan berdarah-darah. Kendati sudah mengantongi dua gelar doktor pada akhir 1980-an, tak berarti karpet merah sudah terbentang di depan mata. Ken sempat ditolak menjadi dosen di Jepang. "Padahal gelar doktor saya dari Tokyo Institute of Technology, MIT (kampus teknik terbaik di dunia)-nya Jepang. Semua itu hanya karena saya orang Asia," ujar Ken. Bukan dosen elektronika atau kedokteran sesuai dengan gelar doktornya yang disodorkan, Ken malah diminta mengajar bahasa Indonesia. Terang saja tawaran itu dia tolak.

Sempat putus asa tak kunjung mendapat kerja di Jepang, Ken mencari kerja ke Amerika Serikat. Selama lima tahun, Ken menjadi profesor di Drexel University dan Thomas Jefferson Medical School. Baru pada 1993, Ken kembali ke Jepang karena mendapat tawaran menjadi dosen di Toin University.

Memegang paspor hijau di tangan memang acap perlu usaha ekstra untuk menembus pekerjaan di perguruan tinggi atau lembaga riset di luar negeri. "Butuh usaha panjang untuk membuktikan bahwa orang Indonesia juga mampu dan pandai," kata Andreas Raharso, Kepala Riset Global Hay Group, perusahaan konsultan manajemen yang berkantor pusat di Philadelphia, Amerika Serikat.

l l l

Dalam peta ilmu pengetahuan dunia, Indonesia barangkali hanya noktah kecil yang tak masuk hitungan. Kampus top di negeri ini, seperti Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, atau Universitas Gadjah Mada, tak satu pun masuk daftar 200 kampus terbaik dunia versi Times Higher Education ataupun pemeringkatan Shanghai Jiao Tong University.

Peringkat kampus terbaik di Indonesia masih kalah dibanding perguruan tinggi negeri jiran seperti Chulalongkorn University, Thailand, atau Malaya University, Malaysia. Apalagi jika disandingkan dengan dua kampus terbaik di Singapura, National University of Singapore dan Nanyang Technological University. Kedua kampus ini selalu berada di peringkat atas perguruan tinggi terbaik di dunia.

Bukan berarti negeri ini benar-benar paria dan begitu miskin bakat hebat seperti Ken Soetanto ataupun Andreas Raharso. Selain yang bekerja di dalam negeri, jumlah ilmuwan Indonesia yang berserak di luar negeri tak sedikit. Saat ini ada sekitar 2.000 ilmuwan asal negeri ini yang bekerja di kampus atau lembaga riset di pelbagai negara. Mereka bagaikan berlian yang berserak. Dari Arab Saudi hingga Rusia. Di Amerika Serikat saja ada 321 ilmuwan dari negeri ini. Sebagian dari mereka yang terhimpun dalam Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional berkumpul di Jakarta selama tiga hari, pertengahan bulan lalu.

Mereka tak bekerja di lembaga riset atau kampus ecek-ecek. Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, misalnya, usianya baru 34 tahun ketika diangkat menjadi profesor dan kemudian mengepalai Laboratorium Pengindraan Jarak Jauh di Chiba University, Jepang. Padahal, seperti pengalaman Ken Soetanto, kampus di Negeri Matahari Terbit sangat sulit menerima dosen dari luar negeri. Karyanya berderet, di antaranya sensor circularly polarized synthetic aperture radar. Sensor Tetuko ini mengatasi kelemahan sensor observasi bumi generasi lama, mampu menembus awan, kabut, asap, bahkan kelebatan hutan.

Di bidang fisika ada Andrivo Rusydi, profesor di National University of Singapore; Ihsan Amin, peneliti di TU Dresden, Jerman; Profesor Romulus Godang di University of South Alabama, Amerika; dan Rahmat, fisikawan di University of Mississippi, Amerika. Juga Haryo Sumowidagdo, peneliti muda di Pusat Riset Nuklir Eropa. Sekarang Haryo menjadi anggota tim Compact Muon Solenoid. "Tugas kami mempelajari sifat-sifat partikel elementer hasil tumbukan energi tinggi di Large Hadron Collider," katanya. Dengan mempelajari bagaimana mereka terbentuk dan bereaksi, para ilmuwan dapat mempelajari bagaimana asal mula alam semesta.

Beberapa prestasi ilmuwan Indonesia dalam bidang kedokteran pun lumayan moncer. Taruna Ikrar, peneliti di Sekolah Kedokteran University of California, Irvine, berhasil mematenkan metode pemantauan aktivitas otak. "Saya di sini tak perlu rendah diri dibanding ilmuwan asli AS sekalipun," kata doktor dari Niigata University, Jepang, itu.

Bagi para ilmuwan asal Indonesia, lingkungan kampus ataupun lembaga riset di Amerika Serikat boleh jadi serupa dengan surga. Meski berasal dari Indonesia, Yow Pin Lim, peneliti di Sekolah Kedokteran Brown University kelahiran Cirebon, tak sekali pun pernah merasakan diskriminasi. Proposal penelitiannya mengenai protein inter-alpha inhibitor yang berpotensi menangani sepsis dan kanker sudah hampir tujuh tahun dibiayai lembaga riset kesehatan milik pemerintah Amerika (NIH). Dengan dana itulah Yow Pin Lim mendirikan perusahaan riset medis Pro Thera Biologics. "Kalaupun saya sekarang pulang ke Indonesia, mereka tidak akan menuntut uang itu kembali," ujar Yow.

l l l

Tak semata fulus-paling tidak demikianlah pengakuan mereka-yang membuat jenius Indonesia beterbangan ke negeri orang. "Saya tidak hanya mencari uang," Priyambudi Sulistyanto, Koordinator Program Asian Governance di Flinders University, Australia, menjawab lugas. Pendapatan dosen atau peneliti di luar negeri memang lumayan menggiurkan. Taruna Ikrar mengaku mendapat gaji sekitar US$ 6.000 atau Rp 54 juta per bulan, plus fasilitas perumahan.

Kesempatan untuk riset menjadi salah satu daya tarik. Di Indonesia kesempatan riset ini menjadi persoalan klise di perguruan tinggi. Dana riset yang begitu cekak menjadi halangan yang tak kunjung terselesaikan. Dana riset Institut Teknologi Bandung pada 2009, misalnya, hanya Rp 65,5 miliar. Hanya seujung kuku dibanding anggaran riset Johns Hopkins University pada 2007 yang menembus US$ 1,5 miliar atau sekitar Rp 13,5 triliun.

Belum lagi soal beban kewajiban mengajar. "Saya hanya mengajar sekali dalam satu semester," kata Andrea Peresthu, dosen di Departemen Urbanisme TU Delft, Belanda. Dia lebih banyak terlibat dalam penelitian masalah perkotaan di Amerika Latin dan Asia. Serupa dengan di Belanda, menurut Merlyna Lim, profesor di Sekolah Transformasi Sosial Arizona State University, Amerika, semakin produktif penelitian, beban mengajarnya juga semakin sedikit.

"Tapi saya akan tetap mengajar karena saya memang suka mengajar," kata Merlyna. Kebetulan pula, lulusan teknik arsitektur ITB ini dosen favorit mahasiswa di kampusnya. Salah satu mahasiswanya menulis, "Smart as a whip, funny as hell, gorgeous and so helpful."

Sapto Pradityo, Nur Khoiri

Dari Bahrain hingga Swedia

SUHENDRA
BAM, Jerman

JOHNY SETIAWAN
Max-Planck-Institute for Astronomy, Jerman

IHSAN AMIN
TU Dresden, Jerman

HALIM KUSUMAATMAJA
Max Planck Institute of Colloids and Interfaces, Jerman

YANUAR NUGROHO
University of Manchester, Inggris

SARYANI ASMAYAWATI
Cranfield University, Inggris

DESSY IRAWATI
Newcastle University, Inggris

ARIEF GUSNANTO
Leed University, Inggris

JULIANA SUTANTO
ETH Zurich, Swiss

SUHARYO SUMOWIDAGDO
CERN, Swiss

DARWIS KHUDORI
University of Le Havre, Prancis

MUHAMAD REZA
ABB Corporate Research, Swedia

YUDI PAWITAN
Karolinska Institutet, Swedia

GEORGE ANWAR
University of California, Berkeley, AS

TARUNA IKRAR
University of California, Irvine, AS

YOW PIN-LIM
Brown University, AS

MERLYNA LIM
Arizona State University, AS

OKI GUNAWAN
IBM Lab, AS

IWAN JAYA AZIZ
Cornell University, AS

ANAK AGUNG JULIUS
Rensselaer Polytechnic Institute, AS

MUHAMMAD ALI
University of California, Riverside, AS

TAUFIK
California Polytechnic State University, AS

NELSON TANSU
Lehigh University, AS

YANTO CHANDRA
University of Amsterdam, Belanda

ANDREA PERESTHU
TU Delft, Belanda

OKI MURAZA
King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi

YOGI A. ERLANGGA
Al-Faisal University, Arab Saudi

UGI SUHARTO
University College of Bahrain, Bahrain

HENNY SAPTATIA SUJAI
St Petersburg State University, Rusia

MEDY SATRIA
GE Global Research, Bangalore, India

YOHANES EKO RIYANTO
Nanyang Technological University, Singapura

JOHANNES WIDODO
National University of Singapore, Singapura

ANTON SATRIA PRABUWONO
Universiti Kebangsaan Malaysia

IRWANDI JASWIR
International Islamic University, Malaysia

KEN KAWAN SOETANTO
Waseda University, Jepang

KHOIRUL ANWAR
Japan Advanced Institute of Science and Technology, Jepang

VERONICA SUBARTO
Adelaide University, Australia

PRIYAMBUDI SULISTYANTO
Flinders University, Australia

MULYOTO PANGESTU
Monash University, Australia

Kamis, 16 Desember 2010

Aktifkan Motivasi Dari Dalam Diri

Aktifkan Motivasi Dari Dalam Diri
Oleh: Marjohan,M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

Kata motivasi sudah menjadi kosa kata umum dan sangat sering dilontarkan dalam berkomunikasi. Bukankah orangtua, guru, pemuka masyarakat, pemimpin dan seorang boss sering menyerukan kata motivasi kepada sang anak, murid, anggota masyarakat, karyawan dan para anak buahnya. Dalam kenyataan ada orang yang mudah termotivasi sehingga bisa jadi berhasil, sebaliknya juga ada yang masa bodoh dengan kata motivasi tersebut, akibatnya hidupnya melempen terus.

Untuk membuat seseorang menjadi maju, dan tidak tertinggal terus oleh orang-orang lain maka ia perlu memotivasi diri. Judul tulisan ini adalah “aktifkan motivasi dari dalam diri”. Bahwa sekarang tidak tepat kalau seseorang selalu berharap dukungan (motivasi) dari orang lain. Namun juga sangat rugi bila ia tidak peduli dengan motivasi atau cuma sekedar memotivasi diri. Bila seseorang ingin meraih sukses dalam hidup maka yang harus ia miliki adalah “total motivasi”. Ya, betul bahwa ia perlu memiliki motivasi- memotivasi diri secara total. Sekali lagi ia perlu memiliki motivasi total karena motivasi total merupakan awal dari segala-galanya.

Sekali-sekali kita perlu merenung dan berfikir tentang mengapa seseorang bisa menjadi tokoh sukses. Tentu saja ini terbentuk setelah ia melakukan proses panjang yang dibumbui (diperkuat) dengan memotivasi diri secara total, bukan motivasi yang setengah- setengah. Juga bukan asal-asalan dalam memotivasi diri, tetapi memotivasi diri sampai pada tahap yang menggebu-gebu. Memotivasi yang menggebu-gebu dapat dicontohkan dalam kegiatan sehari-hari seperti cara berjalan atau cara berbicara. Maka cara bersikap orang sukses (yang memiliki motivasi) memang bersikap penuh semangat- ia berbicara dengan semangat dan berjalan dengan penuh semangat.
Orang sukses telah membuktikan bahwa segala sesuatu memang berawal dari motivasi. Para pelajar yang memperoleh medali emas dalam ajang IJSO (International Junior Scientific Olimpide), sebagai contoh, pasti memiliki motivasi yang hebat, motivasi yang menggebu-gebu atau motivasi yang bergelora. Tanpa motivasi yang sehebat demikian tidak mungkin bisa membuat mereka bersinar terang.

Ternyata memotivasi diri tidak semudah membalik telapak tangan atau semudah mengucapkan kata “motivasi” itu sendiri. Dalam hidup ini kita temui cukup banyak orang yang mengalami kesulitan untuk memotivasi dirinya. Mereka malah lebih mudah dimotivasi orang lain dan tidak tahu cara memotivasi diri, apalagi bagi orang yang kurang memiliki pengalaman sukses. Mereka sendiri malah tergantung pada pasokan motivasi dari lingkungan. Sedangkan dalam kenyataan bahwa tidak semua orang dalam lingkungan yang peduli dalam memotivasi mereka. Yang banyak malah orang yang mematahkan semangat atau motivasi. “Wah percuma saja belajar tidak akan juara, si anu tidak begitu rajin belajar namun bisa juara”.

Terlalu tergantungan kepada lingkungan (orang lain) untuk memotivasi diri kita akan mendatangkan hasil yang sangat minim- ini adalah tidak baik. Sebab bila tidak ada orang yang memberi kita motivasi maka tentu kita bersikap stagnan- tidak berdaya. Apalagi kalau orang yang kita jumpai terbiasa mematikan karakter/ mematikan semangat. Bukankah kadang-kadang ada orang yang suka bekata iseng terhadap orang yang rajin belajar di sekolah atau di kampus (karena menggebu motivasi belajarnya) maka yang lemah motivasi bakal jadi ngiler dan berkata sirik “kerja lu membaca terus melebihi gaya professor tapi kurang kenal dengan pergaulan ...lupa dengan masa muda...ah itu kuno, bisa ketinggalan jaman ..!”. Mendengar komentar demotivasi demikian (mematahkan motivasi) akan bisa membuat kita (orang yang rajin) menjadi malas membaca, belajar dan bekerja. Idealnya orang yang berkarakter demikian tidak perlu digubris atau lebih baik ditinggalkan saja.

Orang yang lemah semangat dapat dikatakan sebagai orang yang lemah motivasi, orang yang lemah semangat banyak tedapat dalam masyarakat, dan malah juga bisa terdapat di kalangan kita sendiri. Bila lemah semangat atau lemah motivasi terjadi sekali-sekali maka itu cukup wajar. Namun kalau “lemah semangat atau lemah motivasi” sering terjadi dalam hidup maka ini sebagai pertanda buruk- berdampak buruk terhadap kemajuan diri di masa depan.

Peran motivasi cukup signifikan di dunia, bukankah motivasi telah mewarnai sejarah dunia ini. Gara-gara motivasi sejarah umat manusia telah diisi dengan prestasi yang sangat mengagumkan dalam berbagai bidang kehidupan. Mulai dari penampilan yang mengagumkan dalam dunia olahraga (seperti yang dilakukan oleh Zidan, Rudi Hartono, Kasparov, dll) sampai kepada keberanian dalam mempertaruhkan hidup mati untuk memperjuangkan keyakinan/ hak azazi tertentu (seperti yang di lakukan oleh Au Sang Suci dari Myanmar, Galileo Galilei yang yakin bahwa bumi ini bulat). Dari bidang yang ringan seperti makanan dan pakaian (penemuan celana jean oleh Levi strauss) sampai pada bidang yang berat seperti ilmu pengetahuan (penemuan pesawat terbang oleh Zeppelin).

Motivasilah yang bertanggung jawab dalam membuat mereka jadi sukses atau gagal dalam hidup ini. Tomas Alfa Edison menemui lampu listrik melalui serangkai kegagalan dengan langkah pantang mundur. Buya Hamka sukses menulis tafsir Al-Azhar dengan buku melebihi 30 jilid karena ketabahan dan semangat yang hebat. Seseorang akan sukses jika ia mempunyai motivasi yang besar untuk meraihnya. Sebaliknya, jika tidak memiliki motivasi, maka kegagalanlah yang akan diterimanya.

Satria Hadi (2008) mengatakan bahwa setiap orang perlu memotivasi dirinya. Seorang manusia akan menjadi berharga karena ia mempunyai nilai atau karena tingginya bobot motivasinya (bobot semangatnya) dan bukan dari banyak hartanya. Agama Islam sendiri juga mendorong kita agar bersemangat dan selalu berubah “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”- (Qur’an surat 13:11).

Motivasi memang berpengaruh dalam perubahan peradaban manusia. Sekaligus motivasi yang lemah dituding sebagai penyebab lemahnya pribadi se4seorang dan rendahnya kualitas suatu bangsa. Para pelajar yang enggan belajar di sekolah, para mahasiswa yang kerjanya kongkow di kafe dan pemuda yang menganggur sepanjang waktu, itu semua karena mereka memelihara motivasi yang lemah.

Mengapa manusia dapat bergerak menuju peradaban yang semakin maju ? Itu adalah karena pengaruh motivasi. Ya memang bahwa motivasi merupakan faktor terpenting yang membuat manusia menjadi lebih sempurna. Namun dibalik itu bahwa apa yang menyebabkan motivasi seseorang bisa rendah atau tinggi, dan lemah atau kuat. Tentu saja itu semua dipengaruhi oleh kondisi otak sebagai pemberi energinya.

Lantas apa hubungan antara otak manusia dengan motivasi ? Motivasi itu sendiri sebenarnya muncul dari otak dan motivasi merupakan salah satu kerja otak. Motivasi bisa naik atau turun sesuai dengan perintah otak kita. Ketika motivasi meningkat maka dorongan untuk bertingkah laku tertentu juga meningkat. Setiap orang pasti memiliki motivasi namun kadarnya bisa jadi berbeda- beda. Karena pengalaman hidup seseorang juga berbeda maka stimulus atau rangsangan dari otak juga berbeda.

Seseorang akan berusaha dan termotivasi untuk melakukan suatu aktivitas, tergantung kepada kebutuhannya. Kalau kebutuhannya itu begitu besar dan perlu segera untuk dipenuhi maka motivasinya juga besar. Namun dalam hidup ada dua tipe atau karakter orang yaitu orang yang bertipe santai: tidak menyukai pekerjaan, tidak menyukai tanggung jawab dan harus dipaksa agar berprestasi/ bertanggung jawab. Sebaliknya ada orang yang berkarakter rajin: menyukai pekerjaan, kreatif, suka berusaha/ bertanggung jawab dan dapat bekerja tanpa dipaksa.

Motivasi juga dikatakan sebagai sarana untuk menuju sukses. Maka syarat untuk sukses itu sendiri ada tiga yaitu bahwa kita perlu memiliki “ semangat, visi (atau tujuan kegiatan) dan dikuti dengan aksi (atau kegiatan itu sendiri). Kalau begitu tentu saja titik awal untuk sukses adalah dengan memotivasi diri sendiri. Para tokoh bisa sukses dalam usaha mereka karena mereka mempunyai motivasi dan semangat kerja yang besar dalam hidup. Maka agar kita juga bisa sukses seperti tokoh, kita pun harus memiliki motivasi dan bersikap “selalu bersemangat“ dalam hidup ini. Pekerjaan yang kita emban musti kita nikmati- yaitu sesuatu yang perlu kita nikmati- makanya ada orang yang mengatakan istilah kepuasan kerja. Mereka tidak menganggap bekerja sebagai beban yang perlu untuk dihindari.

Agar menjadi orang yang suka memotivasi diri maka setelah memiliki semangat yang menggebu, kita juga perlu memiliki sikap yang tekun dalam bekerja. Orang yang mampu memotivasi diri sendiri tentu akan mampu dalam menyemangati dirinya. Sumber energinya berasal dari dirinya sendiri. Malah dikatakan bahwa ketika sumber energinya habis, ia akan mengisinya kembali tanpa harus menunggu pasokan semangat dari orang lain.

Karakter lain dari orang yang suka memotivasi diri sendiri adalah juga tidak tergantung pada motivasi dari orang lain, selalu berinisiatif dan kreatif, produkltif dalam bekerja, optimis terhadap masa depan dan meraih tujuan lebih cepat. Semangat orang yang demikian (sekali lagi) tentu lebih menggebu-gebu daripada orang yang dimotivasi oleh orang lain, sehingga wajar jika ia lebih cepat dalam mencapai tujuannya. Dalam arena lomba lari saja, orang yang lebih bersemangat dalam berlari akan lebih cepat mencapai garis finish daripada orang yang berlari dengan lesu.

Juga perlu kita ketahui tentang apa faktor penghambat dalam peningkatan atau pengembangan motivasi diri. Sebenarnya ada beberapa faktor penghambat motivasi diri yaitu merasa diri tidak penting, perasaan tidak punya masa depan, opini negative tentang diri dan kurangnya kepercayaan diri. Faktor ini bisa tumbuh subur kalau hidup ini dipenuhi oleh orang-orang yang hanya pandai melemparkan opini negative dari pada memberikan opini positif, “wah kamu rajin amat dan dunia ini kan tidak akan selesai oleh kita sendirian”. Dalam hidup ini juga banyak orang yang hanya bisa mencela dan menjelek-jelekan dan melemahkan semangat seseorang. Orang yang kurang percaya diri juga telah memadamkan motivasi dirinya lebih awal. Yaitu berfikir negative terlebih dahulu- mematikan semangat/ motivasi sendiri.

Memotivasi diri sendiri tentu memerlukan usaha, dan perlu diingat bahwa menghayal dan melamun tidak banyak faedahnya dalam menumbuhkan motivasi kita. Sebab dengan melamun kita tidak mungkin dapat membayangkan masa depan dengan jelas. Yang lebih tepat kita lakukan adalah membuat visi atau visualisasi, karena visualisasi mampu membangkitkan motivasi. Dengan visualisasi kita dapat membayangkan masa depan dengan jelas dan detail, dan untuk meraihnya kita memerlukan perincian dalam bentuk visi atau langkah strategis.

Faktor lain yang mendukung kita dalam mengembangkan motivasi diri adalah suasana nyaman dan move (gerakan). Adalah fitrah bahwa kita akan bersemangat melakukan sesuatu kegiatan kalau kita menyukainya. Kita juga akan termotivasi mengerjakan sesuatu bila kita merasa nyaman dan senang melakukannya. Para manajer di berbagai perusahaan terekemuka berusaha membuat karyawannya menyenangi pekerjaan yang mereka lakukan. Untuk itu berbagai upaya yang mereka lakukan agar karyawan bisa merasa nyaman melakukan pekerjaan.Selanjutnya bahwa semangat kerja dan motivasi diri bisa bertambah justru setelah kita mulai bekerja. Bukan sebelum mulai bekerja. Adakalanya sebahagian orang merasa malas sebelum memulai pekerjaan, namun setelah beberapa saat muncul semangat kerja.

Ada beberapa hal lain yang dapat kita lakukan untuk menambah motivasi kerja yaitu: membaca buku-buku tentang motivasi, menempelkan kata-kata penggugah semangat ditempat yang mudah kita lihat, dan membaca kisah-kisah orang sukses- atau juga bisa membaca kisah-kisah para nabi. Kita juga perlu memiliki sikap positif untuk menggenjot motivasi, maka untuk hal ini kita perlu membiasakan berfikir positif “saya adalah orang yang bersemangat”, dan membiasakan berbahasa positif.

Bila kita tampil di depan umum, maka sebelum berbicara, kita perlu memasukan pikiran positif pada diri kita. Kita perlu berfikir bahwa kita memiliki banyak kelebihan. Bahasa merupakan gambaran dari fikiran kita. Jika pikiran kita negative, maka cara berbahasa kita juga akan negative. Sebailiknya jika pikiran kita positif maka cara berbahasa kita jugsa positif.

Agar kita berhasil beraktivitas dengan motivasi yang tinggi maka kita perlu membuat dead line- target selesainya suatu aktivitas. Kita sendiri tidak perlu bersikap perfek atas hasil dari aktivitas kita. Karena kalau kita terlalu perfek maka hasil yang kita lakukan akan membuat kita kecewa selalu. Apalagi kalau kita punya kebiasaan memikirkan kekurangan diri. Untuk itu tidak perlu kita terlalu sering memikirkan kekurangan diri, sebaliknya kita perlu melihat kelebihan diri kita. Gunanya agar kita bisa merasa beruntung. Kalau kita cuma melihat kekurangan diri tentu kita merasa sebagai orang yang selalu sial.

Meningkatkan motivasi dari dalam diri dan juga semangat kerja sangat dipengaruhi oleh suasana hati atau emosional. Maka untuk menambah motivasi dari segi emosi, kita juga perlu melakukan curhat (curah pendapat- berbagi cerita) dengan orang terdekat: kita perlu ikut membantu orang lain, banyak tersenyum- agar hati terasa bahagia dan menjadi rileks “tersenyumlah kepada siapa saja yang kita jumpai”.

Kemudian kita juga perlu untuk melakukan silaturahmi kepada orang yang mampu memotivasi kita- mungkin kunjungan kita hanya sekedar ngobrol atau minta masukan. Kita juga perlu meningkatkan penampilan tubuh kita. Namun juga ada hal-hal kecil yang perlu kita hindari yaitu seperti kebiasaan suka tidur karena banyak tidur akan membuat badan terlihat letih. Juga menghindari menonton televisi yang terlalu lama. Karena menonton TV terlalu lama adalah pola hidup santai.

Tidak tergantung pada motivasi dari orang lain dan keputusan untuk selalu memotivasi diri adalah sebuah keputusan yang tepat. Memiliki motivasi dari arah dalam diri berarti memiliki semangat hidup yang menggebu-gebu. Untuk mendapatkan motivasi yang hebat maka kita perlu menerapkan langkah-langkah berikut, seperti: memiliki pengalaman sukses, melakukan banyak kegiatan agar kaya dengan berbagai prngalaman, memiliki karakter seperti menyukai pekerjaan, kreatif, suka berusaha/ bertanggung jawab, memiliki semangat, visi (atau tujuan kegiatan) dan dikuti dengan aksi (atau kegiatan itu sendiri). Kemudian selalu berinisiatif dan kreatif, senang membaca buku-buku tentang motivasi, menempelkan kata-kata penggugah semangat ditempat yang mudah kita lihat, memiliki sikap positif dan membiasakan berfikir positif dan membiasakan berbahasa positif. Kemudian yang perlu dihindari adalah seperti: tidak perlu bersikap perfek atau serba sempurna, melakukan silaturahmi kepada orang yang mampu memotivasi kita, mengurangi kebiasaan suka tidur karena banyak tidur akan membuat badan terlihat letih. Juga menghindari menonton televisi yang terlalu lama. Karena menonton TV terlalu lama adalah pola hidup santai.

Note: Satria Hadi Lubis (2008) Total Motivation. Yogyakarta: Pro-You

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...