Remaja Perlu Memiliki Visi dan Misi Untuk Masa Depan
Oleh: Marjohan
Guru SMAN 3 Batusangkar
http://penulisbatusangkar.blogspot.com
Kata visi bukan merupakan kosa kata baru untuk kita dengar. Di mana-mana banyak orang menempelkan visi mereka. Pemerintahan, perusahaan sampai kepada grup-grup aktivitas sosial juga memiliki visi sendiri untuk bergerak ke depan. Sekolah tempat penulis mengabdi juga punya visi yaitu ‘menciptakan generasi cemerlang berdasarkan imtaq (iman dan taqwa) dan Iptek (Ilmu pengetahuan dan tekhnologi).
Visi adalah pandangan ke depan atau keinginan yang perlu diwujudkan di masa depan. Visi juga dapat dikatan sebagai cita-cita yang ingin dicapai. Anak sekolah yang hidup dalam beberapa tahun silam, mungkin tahun 1960-an, 1970-an dan tahun 1980-an, masih punya cita-cita. “Kalau kamu besar nanti kamu mau jadi apa ?”. “Saya mau jadi presiden, jadi guru, jadi polisi, jadi pilot, jadi tentara, jadi dokter”.
Cita-cita yang disebutkan di atas layak sebagai jawaban dari anak-anak yang belajar di taman Sekolah Dasar atau kanak-kanak. Sementara cita-cita dan jawaban remaja pada masa itu mungkin sudah punya referensi, sesuai dengan biografi yang mereka baca. “Saya ingin menjadi arsitektur, diplomat, pengacara, atau saya ingin menjadi hebat seperti Haji Agus Salim atau Presiden Sukarno”.
Waktu atau zaman pun bergulir. Banyak remaja terbawa arus mode dan gaya hidup. Sebagian mengadopsi gaya selebriti “penyanyi, pemusi, bintang iklan, bintang film/ bintang sinetron, presenter dan atlik olah raga’. Sekarang atlet sepak bola seperti Zidane, David Beckham, juga atlet ngetop di Indonesia seperti Irfan Bachdim, dan atlet blasteran lainnya telah menjadi tokoh selebriti”. Kalau ditanya pada remaja, kemungkinan jawab mereka adalah “Saya ingin jadi presenter, bintang sinetron atau ingin jadi selebriti”.
Namun remaja yang punya visi atau cita-cita seperti ini juga tidak banyak. Kecuali bagi mereka yang punya fasilitas- punya gitar, piano, biola, raket tennis atau bagi yang mampu masuk klub olah raga yang biayanya agak mahal. Yang lain cuma bengong dan gigit jari, “Kamu mau jadi apa nanti?”, jawab mereka “belum terfikir, tergantung nilai ujian akhir, tergantung passing grade pada bimbingan belajar, tergantung mama dan papa, pokoknya I don’t know !!”.
Itulah gambaran sebagian remaja di tahun 2000-an ini. Stereotype atau gambaran menurun orang kebanyakan bahwa “remaja sekarang banyak yang memiliki karakter cengeng, manja, cuek mudah stress dan serba ingin dibantu”. Gambara seperti ini mungkin dapat disangkutkan kepada remaja yang sedang study di SMA, SMK, MAN dan juga sebagian mahasiswa yang lagi studi di Perguruan Tinggi.
Coba lihat foto-foto remaja atau mahasiwa lewat facebook yang sedang studi di Perguruan Tinggi favorite atau perguruan tinggi di daerah. Yang terlihat adalah bukan suasana ilmiah/ kuliah, cuma suasana santai, ya sekedar acara makan-makan, godain pacar, atau foto jalan-jalan bareng”. Beda jauh dengan foto yang dibuat oleh tokoh hebat dari negara kita. Misalnya foto Muhammad Hatta sedang baca buku di sebuah kamar di Belanda, Buya Hamka sedang menyiapkan artikel, Haji Agus Salim sedang berdiri di atas podium.
Stereotype terhadap kebanyakan pelajar sekarang adalah bahwa mereka berpenampilan santai, banyak malas dan suka serba diatur atau serba diurus terus. Apa yang terjadi kalau stereotype ini memang terjadi. Tentu negeri ini akan penuh dengan orang-orang yang suka cuek, santai, malas, cengeng, manja, passive dan tidak mandiri. Sementara yang dibutuhkan negara adalah orang-orang yang berkarakter “endeavour”.
Endeavour berarti semangat yang selalu suka kerja keras dan suka kerja, bukan bekerja dan belajar asal asalan, tidak angin-anginan atau (maaf) tidak berkarakter hangat-hangat tai ayam. Endeavour adalah karakter oran- orang dari negara maju. Agama kita (Islam) mengajarkan - man jadda wa jadda- Siapa yang sungguh sungguh akan berhasil. Ternyata ungkapan ini telah dipungut oleh orang-orang dari negara maju.
Memang benar bahwa umumnya orang-orang dari negara maju berkarakter endeavour. Orang-orang dari negeri kita juga ada yang berkarakter endeavour- memiliki semangat hidup yang hebat, tekun dalam bekerja dan belajar serta bertanggung jawab atas diri sendiri. Orang-orang yang seperti ini tentu memiliki visi dan misi dalam hidup untuk meraih masa depan. Namun jumlah orang yang begini tidak banyak. Untuk membuat populasi remaja yang punya visi dalam hidup bias berlipat ganda, maka mereka perlu membuka diri dan harus dimotivasi dan diberi pasokan motivasi atau energy positive.
Media massa di negara kita juga cukup hebat. Isinya tidak cuma sebatas berita dan hiburan, namun juga ada yang berisi tentang motivasi untuk pembacanya, dan sayang untuk dilewatkan.
Koran nasional “Seputar Indonesia” atau Koran Sindo (Jum’at 11, Maret 2011) menulis headline tentang “14 orang WNI yang tercatat sebagai orang terkaya di dunia”. Di sini juga diungkapkan tentang 10 orang terkaya di dunia, mereka berasal dari 6 negara yaitu Meksiko, Amerika Serikat, Perancis, India, Spanyol dan Brazil.
Banyak remaja cuma tahu dengan merek mobile phone (HP= Hand Phone) seperti Nokia, Siemens, Samsung, Nexian, BB, Sony, dan lain lain. Atau mereka hanya tahu dengan penyedia jasa telekomunikasi seperti “telkomsel, indosat, esia, XL dan lain-lain. Ya mereka kemudian menjadi orang yang hanya pintar menggenggam HP dan menebar SMS yang isinya hanya sebatas ungkapan picisan (murahan) tentang cinta, cemburu, benci, sakit hati atau dendam.
Sementara itu orang terkaya di dunia ada yang bisa jutawan atau milyuner karena menekuni pekerjaan dalam bidang jasa telekomunikasi untuk melayani jutaan orang. Carlos Slim, misalnya, seorang pengusaha telekomunikasi Meksiko, ia tidak terlalu dikenal oleh public di luar Meksiko. Ia telah menguasai kerajaan telekomunikasi. Bill Gate menjadi kaya melalui Microsoft, yang membuat puluhan juta orang yang tergila-gila dengan internet.
Barangkali mimpi Carlos Slim dan Bill Gate ketika remaja berbeda dengan mimpi banyak remaja di negeri ini, yang mana sebahagian mereka mungkin bermimpi bagaimana bisa kuliah setelah lulus SMA, kemudian setelah wisuda bias kerja untuk jadi PNS, kerja BUMN atau swasta. Kalau tidak mampu ya pergi mengadu nasib pada paman atau mencari juragan di kota lain.
Pernyataan ini bukan asal tulis saja. Ini malah sebuah kenyataan bahwa banyak orang yang setelah menuntut ilmu selama 17 tahun- 6 tahun di SD, 3 tahun di SMP, 3 tahun di SMA dan 4 atau 5 tahun di Perguruan Tinggi, hanya mampu sebagai pelamar kerja jadi PNS, BUMN atau jadi TNI dan Polisi. Bila belum berhasil ya bertahan sebagai tenaga honorer.Pada hal untuk menyelesaikan kuliah sudah menghabiskan dana puluhan juta rupiah. Namun kemudian kok malah menjadi sarjana bengong saja. Dan honor yang diterima cuma beberapa perak saja, wah tidak berimbang.
Ada orang, kika tidak berhasil dalam meraih mimpi atau cita- cita, mereka segera banting stir untuk menekuni bidang lain- bidang konstruksi bangunan, transportasi, music, peternakan, industry kecil dan sebagainya. Ada yang bergelar sarjana hukum namun ternyata menjadi sukses sebagai pemilik 5 buah restoran. Ini sangat wajar dan terjadi setelah mereka memiliki pasokan motivasi dalam diri mereka. Mereka tidak berkarakter nrimo, pantang menyerah atau pasrah saja atas kesulitan hidup ini.
Ternyata bahwa 14 orang terkaya di dunia, menurut versi majalah Forbes, menjadi kaya bukan karena melalui PNS, pegawai swasta, buruh atau pegawai BUMN. Orang-orang tersebut bisa berprestasi setelah mampu melewati sejumlah kesulitan dan kegagalan hidup. Mereka ternyata memiliki visi dan misi atau cita cita untuk hidup di masa depan.
Budi Hartono dan Michael Hartono bisa melejit prestasinya melalui pabrik rokok Djarum (banyak orang tetap merokok, walau pada label rokok sudah ada peringatan bahwa rokok penyebab kanker dan impotensi). Hartanya semakin bertambah melalui kepemilikan bank swasta besar yaitu Bank BCA.
Low Tuck Kwong menjadi kaya lewat bisnis batubara. Martua sitorus juga bisa memiliki banyak uang karena memiliki bisnis sawit- menjadi produsen minyak kelapa sawit dan bisnis gula. Ketika remaja ia berbisnis udang, dari sinilah bakat bisnisnya tumbuh pesat.
Peter Sondakh bisa memiliki banyak uang setelah memiliki bisnis, salah satunya dengan kontraktor besar dalam membuat jalan layang, jalan toll dan juga bisnis perkebunan. Ada juga yang menjadi kaya karena memiliki bisnis pabrik tekstil, dan plastic, dan juga pendukung perdagangan internasional- contoh perdagangan antar Cina dan Indonesia. Ada pula yang kaya karena memiliki industry kertas.
Membaca buku “Sukarno as retold to cindy Adam” yang pernah penulis baca lebih dari 20 tahun yang silam dapat diperoleh kesimpulan mengapa visi Sukarno merjadi orang hebat dapat terwujud dan missi apa yang ia terapkan dalam hidup. Menjadi pemimpin hebat adalah sebagai visi hidupnya. Missi untuk mencapainya telah diterapkan sejak usia dini. Lihatlah karakter Sukarno yasng terkenal sebagai jagoan diantara teman-temannya. Kalau berlari pasti ia paling cepat, memanjat pohon pasti ia paling tinggi, berkelahi, ia jagonya. Kemudian saat remaja, ia tidak larut dalam masa hura-hura, namun ia mulai bergelut dengan pemikiran orang-orang hebat di dunia lewat membaca buku. Oh ternyata buku-buku banyak dalam bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Maka ia pun belajar ke dua bahasa ini sungguh-sungguh. Ia langsung menggunmakan ke dua bahasa ini dalam pergaulan. Malah agar bahasa Belandanya hebat maka ia menjalin asmara dengan noni belanda.
Agar ia terampil dalam berkomunikasi- menulis dan berpidato, maka ia selalu berlatih. Dikatakan oleh buku tersebut bahwa saat berusia muda Sukarno terbiasa berlatih berpidato di depan cermin besar dalam kamarnya. Untuk bahasa tulisan maka ia banyak mengarang atau menulis. Akhirnya Sukarno masuk ke dalam organisasi dan partai, di siyulah kehebatannya yang didukung oleh potensi diri hingga ia menjadi presiden pertama Indonesia.
Dapat disimpulkan dari tulisan sebelumnya bahwa orang-orang yang mampu menjadi milyuner dapat terwujud karena memiliki visi dan missi atau program untuk masa depan. Visi tersebut mereka wujudkan dengan langkah-langkah strategis atau yang juga disebut misi. Mereka tahu bahwa masyarakat luas memerlukan kertas untuk belajar atau untuk urusan administrasi, masyarakat luas butuh minyak kelapa sawit untuk memasak, butuh sarana telekomunikasi, dan lain lain maka mereka memproduksinya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas. Kemudian uang yang berada dalam kantong masyarakat luas mengalir ke dalam rekening mereka.
Setelah memiliki visi yang jelas maka mereka menguasai strategi. Mereka menguasai input, proses, out put dan out comenya. Para milyuner bukanlah orang pemalas dan bermental lemah. Mereka memiliki tingkat competence yang hebat- mereka jago dalam memanfaatkan waktu, mereka tahu cara berkomunikasi yang baik dan mereka tahu cara merekrut team untuk bergerak maju. Mustahil para milyuner jadi kaya kalau melalui usaha sendiri, mereka musti bergerak maju melalui team kerja yang solid atau kompak.
Remaja sekarang- pelajar dan mahasiswa, musti segera memiliki visi dan misi. Kemudian buang jauh jauh karakter manja, pasif dan serba penakut atau banyak ragu-ragu. Dari sekarang mereka harus agresif untuk maju, memiliki semangat kompetisi yang hebat. Kemudian berfikir sebagai produsen untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak secara massal. Mereka musti menguasai input, menguasai proses dan juga menguasai distribusinya.
I am MARJOHAN USMAN, the teacher at Senior High School. I like to meet many people and I like travelling. I love teaching and I love the world of kids. I have email : marjohanusman@yahoo.com and my youtube channel is: https://www.youtube.com/results?search_query=marjohan+usman
Kamis, 07 April 2011
Minggu, 03 April 2011
Tsunami Jepang- Aceh dan SDM Manusianya
Tsunami Jepang- Aceh dan SDM Manusianya
Oleh: Marjohan
Guru SMAN 3 Batusangkar
http://penulisbatusangkar.blogspot.com
Dalam kwartal pertama tahun 2011 Dunia merasa cukup tenang. Namun di bagian utara Afrika terjadi revolusi jasmine (revolusi melati) yang dipicu oleh bangkitnya emosi ketidakpuasan masyarakat Tunisia melalui jejaring internet (twitter dan facebook) untuk menggulingkan kepala negaranya. Berita yang dahsyat kemudia terjadi tanggal 11 Maret 2011, yaitu gempa dan tsunami yang melanda Prefektur Miyagi (Jepang). Gempa Jepang yang juga memicu tsunami sangat mirip dengan gempa dan tsunami yang mengoyak ujung Pulau Sumatera (Propinsi Aceh) dan beberapa daerah lain pada tanggal 26 Desember 2004. Beda peristiwa Tsunami yang terjadi di dua negara ini adalah sekitar 6 tahun, dan karakter masyarakatnya juga berbeda dalam menghadapi bencana tersebut.
Sebenarnya kata tsunami cukup baru dalam kamus bahasa Indonesia dan bagi telinga bagi masyarakat Indonesia. Sebelum gempa/tsunami melanda Aceh di akhir tahun 2004 itu, sebenarnya sudah pernah terjadi tsunami di daerah Flores. Namun tsunaminya kecil dan mungkin masyarakat meanggapnya sebagai badai atau taufan. Maka kata tsunami belum lagi popular. Begitu Tsunami pada Desember 2004 tersebut menghancurkan banyak peradaban (harta benda) dan membunuh ratusan ribu orang, maka tsunami menjadi kata yang sangat mengerikan.
Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang berarti “gelombang air) dan bangsa ini sudah biasa menghadapi gempa dan sudah tahu tentang efek tsunami itu sendiri. Gempa Aceh dan Jepang ditenggarai terjadi karena benturan antara lempeng benua dengan lempeng samudera. Subduksi ini kemudian memicu gempa di lepas pantai yang berkekuatan besar atau juga disebut dengan megathrust (Singgalang, 15 Maret 2011).
Jumlah korban tewas akibat tsunami di Jepang tidak sebanyak korban di Aceh. Korban tewas di Jepang yaitu sekitar 10 ribu jiwa, sementara korban tewas di Aceh adalah sekitar 128 ribu jiwa- hampir 13 kali lipat korban tsunami Jepang. Perbedaan jumlah korban mungkin juga berbanding dengan perbedaan kualitas SDM di dua negara ini. Dalam buku L’etat du monde (Didiot, Beatrice, 2001: 586-589: Paris: La Decouverte) terlihat bahwa bahwa ranking SDM bangsa Jepang adalah nomor 9 dari 162 negara di dunia, sementara ranking kita (Indonesia) adalah 102 di dunia. Prediksi kualitas mutu pendidikan (education Index) kita tahun 2011 juga tetap peringkat 102 di dunia (http://en.wikipedia.org/wiki/Quality-of-life). Kalau demikian SDM orang Jepang jauh lebih baik, dan kita bukan bermaksud memandang rendah bangsa sendiri, tetapi mengajak untuk melakukan refleksi atau renungan bersama.
Orang Jepang memang tahu bahwa daerahnya sering dilanda gempa, maka mereka membuat gedung yang tahan gempa dan juga membangun early warning system yang baik. Mereka juga memasang ocean bottom seismograph. Kalau 20 tahun lalu Jepang membutuhkan waktu 20 menit untuk mengeluarkan peringatan tsunami. Namun sejak tahun 2008, negeri ini hanya membutuhkan waktu 2 menit untuk mengetahui ada atau tidaknya tsunami. Sebagaimana tsunami kemarin terlihat di layar kaca bahwa helikopter mereka sudah bertebangan sebelum tsunami dan menuju sumber tsunami. Kemudian orang-orang sudah melakukan prosedur evakuasi sesaat setelah gempa dan menyalakan televisi lalu menyimak peringatan tsunami.
Kualitas manusia antar dua bangsa juga bisa terlihat melalui gempa dan tsunami. Saat gempa kuat menggoncang Jepang, lewat televisi terlihat suasana gempa dalam ruangan kantor. Para pegawai kantor tentu saja cemas dan sangat waspada dengan kondisi tersebut. Namun mereka tetap bersikap tenang. Begitu gemba dating, mereka segera mematikan komputer, atau mematikan kompor bila sedang memasak dan tidak pontang panting berlarian. Setelah semua pekerjaan ditutup maka mereka baru menghindar ke tempat yang mereka anggap aman seperti ke ruang terbuka atau menuju shelter di lantai puncak.
Susana saat musibah di negara berkembang dan termasuk Indonesia nyaris sama. Bila gempa dating atau sinyal tsunami kedengaran, mereka pasti menyampuk dengan penuh kepanikan dan histeris “Awas gempa...awas tsunami. Atau tolong..tolong !!”. Teriakan dan suara histeris ini sangat mudah saling menular. Kondisi serba panik membuat kemampuan berfikir logis jadi hilang, saat itu orang cuma berfikir untuk menghindar dan lari. Nah di sini kerap kali timbul musibah. Seorang ibu yang panik karena teriakan histeris akan membiarkan kompornya menyala di dapur dan inilah yang membuat musibah kebakaran saat gempa. Pada hal bahaya gempa tersebut ada kalanya tidak separah suasana panik yang dialami masyarakat.
Mengubah karakter “panic-minded” atau mudah panik menjadi berfikiran tenang tentu butuh waktu- perlu latihan, didikan dan juga butuh model. Anak anak dan siswa yang diasuh oleh orang tua dan guru dengan pribadi yang tenang akan menjadi generasi yang juga bisa tenang ( terbiasa mengontrol emosi). Pemuda pemudi kita akan memiliki pribadi yang tenang/ pribadi yang stabil bila mereka memperoleh model dari senior (orang yang lebih tua) dengan kepribadian yang juga stabil (tenang dan terkontrol).
Sekali lagi bahwa kita bukan bermaksud untuk memuji-muji karakter orang Jepang dan merendahkan karakter diri sendiri. Bahwa rata-rata income orang Jepang adalah 12 kali lipat dari income orang kita. Berarti mereka adalah orang kaya raya, namun ruang keluarga mereka didesain begitu sederhana. Pada banyak rumah, seperti pengakuan keponakan penulis yang masih berada di kota Uwajima, Pulau Shikoku, Jepang- bahwa ruangan keluarga orang Jepang ditata sederhana. Tidak banyak pernak pernik perabot, yang ada cuma beberapa meja rendah dengan bentangan karpet dan lemari atau rak-rak yang penuh berisi buku, bukan rak-rak untuk pajangan boneka, keramik atau pajangan kepingan VCD player.
Ini sebagai bukti bahwa ruang keluarga adalah sebagai tempat yang nyaman dan sekaligus tempat ruang baca dan belajar sejak usia kecil. Bukan ruang keluarga dengan televisi yang menyala selama 24 jam, atau ruangan keluarga yang disulap sebagai ruang teater- memutar music sampai memekakan telinga dan memutar film tanpa aturan waktu.
Tampaknya orang Jepang tidak terkesan jago dalam berpidato atau berbicara. Jarang kita mendengar orang Jepang berkelakar. Kesannya mereka cukup bersahaja, memberi hormat dengan menundukan kepala. Mungkin ini penilaian subjektif penulis saja. Gaya berkomunikasi mereka tersa datar dan tenang saja. Saat lawan berbicara menyampaikan pendapat, mereka betul-betul mendengan dengan sepenuh hati. Tidak ada kesan bedebat dan berebutan dalam ngobrol. Agaknya seperti itulah idealnya gaya berkomunikasi orang-orang dari negara yang punya SDM tinggi.
Gaya berkomunikasi atau berbahasa yang mungkin sering kita lakukan adalah gaya berbahasa yang terlalu banyak berbicara dan enggan mendengar isi fikiran orang lain. Gaya berbicara yang begini (gaya berbahasa saling berebutan) sebagai karakter dari gaya bahasa yang jauh dari kesan intelektual dan perlu ditinggalkan.
Bangsa Jepang adalah bangsa yang kaya dengan harta yang melimpah. Kekayaan dan fasilitas hidup membuat orang selalu senang dan bergembira. Ya benar bahwa selama ini bangsa Jepang adalah bangsa yang hidup bergembira namun saat bencana datang merenggut harta dan nyawa tentu terjadi perbedaan emosi mereka. Dari suasana yang sangat gembira kepada suasana yang sangat berduka hingga mereka amat bersedih dan saking sedihnya mereka susah untuk menumpahkan air mata.
Ada lagi perbedaan antara kita dan Jepang dalam menghadapi tsunami. Setiap kali bencana datang, kita jarang menyiapkan mental dan pengetahuan. Maka, sekali lagi, saat bencana tiba, kita mudah panik dan stress malah juga tidak punya kesempatan untuk melakukan evakuasi (penyelamatan diri). Hal yang kontra bahwa Jepang betul-betul menyiapkan diri. Untuk mengantisipasi tsunami mereka telah membangun pintu-pintu penghalang agar tsunami tidak gampang mencapai kawasan perumahan warga. Pintu terluar adalah green belt, kemudian sungai sejajar pantai untuk mengontrol banjir dan tsunami. Setelah itu baru ada kawasan perumahan warga.
Saat gempa melanda Aceh, Bengkulu, Jogjakarta, dan daerah Padang Pariaman, terlihat bahwa betapa mudah ambruknya gedung sekolah, perkantoran dan rumah masyarakat. Masyarakat Kabupaten Pariaman (dan juga kampung penulis) sebelumnya mengaggap daerah mereka cukup aman dari gempa, apalagi merasa cukup jauh dari Gunung Merapi, sehingga banyak rumah dibangun tanpa beton penyangga pada rusuk dan pinggang rumah. Apa yang terjadi bahwa gempa tanggal 30 September 2009 membuat ribuan rumah jadi rata dengan bumi dan mereka menjadi homeless (tuna wisma) secara massal.
Tidak demikian dengan yang di Jepang. Goncangan dan hempasan tsunami masih membuat dinding gedung dan rumah berdiri dengan gagah. Juga ada kesan bahwa infrastruktur di sana dibangun secara professional dan penuh perhitungan. Sementara infrastruktur (prasarana umum) di daerah kita dibangun secara asal-asalan- beton yang kekurangan semen, jalan dengan aspal yang tipis. Maka cukup banyak terjadi bahwa ada bangunan, jalan raya, atau bendungan sudah ambruk sebelum diresmikan.
Gempa yang melanda Aceh memang lebih dahsyat karena dampaknya juga melanda banyak negara- mulai dari Aceh, Pantai Barat Semenanjung Malaysia, Thailand, Pantai Timur India, Srilangka, bahkan sampai Pantai Timur Afrika. Tidak heran kalau simpati dunia begitu banyak. NGO (Non Government Organization), utusan pemerintah, Sukarelawan, dan wartawan ramai datang berbagi simpati dan berbagi empati. Tsunami Aceh menjadi berita besar selama berminggu-minggu pada media massa dunia.
Simpati orang juga banyak tertuju pada Jepang. Banyak orang, simpatisan dan sukarelawan bergerak untuk berbagi duka dan berniat/ berencana untuk membalut duka hati saudara kita di sana. Namun tiba-tiba ada ledakan pada pembangkit Nuklir Fukushima. Nyali orang mulai menciut, apalagi terjadi exodus meninggalkan Tokyo guna menghindaroi dampak radiasi nuklir. Sampai kini berita dari Jepang nyaris sepi- kecuali bagi mereka yang bias memahami berita dari TV NHK. Kemudian revolusi Libia makin memanas, maka juru kamera dan kuli tinta memilih kesana. Maka ramailah berita dari Libia, semua stasiun Tv meliput dan mengabarkan Libia dan berita dari Jepang kehilangan porsi.
Tsunami membuat semua bangsa bersimpati, namun musibah ledakan reactor nulklir membuat orang hanya bersimpati dari jarak jauh, malah simpati tersebut hamper hamper tidak terasa. Dari TV NHK terlihat bahwa kini orang Jepang masih berjibaku menyelamatkan lingkungan, diri, dan korban tsunami. Tragedy revolusi di Timur Tengah- Libia, Suriah, Baherain dan Yaman- membuat banyak penulis dan pembuat berita pergi kesana. Perang Libia membuat bencana Tsunami Jepang cenderung terlupakan. Memang bahwa berita sekarang bergulir dari Libia dan simpati pada Jepang janganlah dilupakan. Love for Japan.
Oleh: Marjohan
Guru SMAN 3 Batusangkar
http://penulisbatusangkar.blogspot.com
Dalam kwartal pertama tahun 2011 Dunia merasa cukup tenang. Namun di bagian utara Afrika terjadi revolusi jasmine (revolusi melati) yang dipicu oleh bangkitnya emosi ketidakpuasan masyarakat Tunisia melalui jejaring internet (twitter dan facebook) untuk menggulingkan kepala negaranya. Berita yang dahsyat kemudia terjadi tanggal 11 Maret 2011, yaitu gempa dan tsunami yang melanda Prefektur Miyagi (Jepang). Gempa Jepang yang juga memicu tsunami sangat mirip dengan gempa dan tsunami yang mengoyak ujung Pulau Sumatera (Propinsi Aceh) dan beberapa daerah lain pada tanggal 26 Desember 2004. Beda peristiwa Tsunami yang terjadi di dua negara ini adalah sekitar 6 tahun, dan karakter masyarakatnya juga berbeda dalam menghadapi bencana tersebut.
Sebenarnya kata tsunami cukup baru dalam kamus bahasa Indonesia dan bagi telinga bagi masyarakat Indonesia. Sebelum gempa/tsunami melanda Aceh di akhir tahun 2004 itu, sebenarnya sudah pernah terjadi tsunami di daerah Flores. Namun tsunaminya kecil dan mungkin masyarakat meanggapnya sebagai badai atau taufan. Maka kata tsunami belum lagi popular. Begitu Tsunami pada Desember 2004 tersebut menghancurkan banyak peradaban (harta benda) dan membunuh ratusan ribu orang, maka tsunami menjadi kata yang sangat mengerikan.
Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang berarti “gelombang air) dan bangsa ini sudah biasa menghadapi gempa dan sudah tahu tentang efek tsunami itu sendiri. Gempa Aceh dan Jepang ditenggarai terjadi karena benturan antara lempeng benua dengan lempeng samudera. Subduksi ini kemudian memicu gempa di lepas pantai yang berkekuatan besar atau juga disebut dengan megathrust (Singgalang, 15 Maret 2011).
Jumlah korban tewas akibat tsunami di Jepang tidak sebanyak korban di Aceh. Korban tewas di Jepang yaitu sekitar 10 ribu jiwa, sementara korban tewas di Aceh adalah sekitar 128 ribu jiwa- hampir 13 kali lipat korban tsunami Jepang. Perbedaan jumlah korban mungkin juga berbanding dengan perbedaan kualitas SDM di dua negara ini. Dalam buku L’etat du monde (Didiot, Beatrice, 2001: 586-589: Paris: La Decouverte) terlihat bahwa bahwa ranking SDM bangsa Jepang adalah nomor 9 dari 162 negara di dunia, sementara ranking kita (Indonesia) adalah 102 di dunia. Prediksi kualitas mutu pendidikan (education Index) kita tahun 2011 juga tetap peringkat 102 di dunia (http://en.wikipedia.org/wiki/Quality-of-life). Kalau demikian SDM orang Jepang jauh lebih baik, dan kita bukan bermaksud memandang rendah bangsa sendiri, tetapi mengajak untuk melakukan refleksi atau renungan bersama.
Orang Jepang memang tahu bahwa daerahnya sering dilanda gempa, maka mereka membuat gedung yang tahan gempa dan juga membangun early warning system yang baik. Mereka juga memasang ocean bottom seismograph. Kalau 20 tahun lalu Jepang membutuhkan waktu 20 menit untuk mengeluarkan peringatan tsunami. Namun sejak tahun 2008, negeri ini hanya membutuhkan waktu 2 menit untuk mengetahui ada atau tidaknya tsunami. Sebagaimana tsunami kemarin terlihat di layar kaca bahwa helikopter mereka sudah bertebangan sebelum tsunami dan menuju sumber tsunami. Kemudian orang-orang sudah melakukan prosedur evakuasi sesaat setelah gempa dan menyalakan televisi lalu menyimak peringatan tsunami.
Kualitas manusia antar dua bangsa juga bisa terlihat melalui gempa dan tsunami. Saat gempa kuat menggoncang Jepang, lewat televisi terlihat suasana gempa dalam ruangan kantor. Para pegawai kantor tentu saja cemas dan sangat waspada dengan kondisi tersebut. Namun mereka tetap bersikap tenang. Begitu gemba dating, mereka segera mematikan komputer, atau mematikan kompor bila sedang memasak dan tidak pontang panting berlarian. Setelah semua pekerjaan ditutup maka mereka baru menghindar ke tempat yang mereka anggap aman seperti ke ruang terbuka atau menuju shelter di lantai puncak.
Susana saat musibah di negara berkembang dan termasuk Indonesia nyaris sama. Bila gempa dating atau sinyal tsunami kedengaran, mereka pasti menyampuk dengan penuh kepanikan dan histeris “Awas gempa...awas tsunami. Atau tolong..tolong !!”. Teriakan dan suara histeris ini sangat mudah saling menular. Kondisi serba panik membuat kemampuan berfikir logis jadi hilang, saat itu orang cuma berfikir untuk menghindar dan lari. Nah di sini kerap kali timbul musibah. Seorang ibu yang panik karena teriakan histeris akan membiarkan kompornya menyala di dapur dan inilah yang membuat musibah kebakaran saat gempa. Pada hal bahaya gempa tersebut ada kalanya tidak separah suasana panik yang dialami masyarakat.
Mengubah karakter “panic-minded” atau mudah panik menjadi berfikiran tenang tentu butuh waktu- perlu latihan, didikan dan juga butuh model. Anak anak dan siswa yang diasuh oleh orang tua dan guru dengan pribadi yang tenang akan menjadi generasi yang juga bisa tenang ( terbiasa mengontrol emosi). Pemuda pemudi kita akan memiliki pribadi yang tenang/ pribadi yang stabil bila mereka memperoleh model dari senior (orang yang lebih tua) dengan kepribadian yang juga stabil (tenang dan terkontrol).
Sekali lagi bahwa kita bukan bermaksud untuk memuji-muji karakter orang Jepang dan merendahkan karakter diri sendiri. Bahwa rata-rata income orang Jepang adalah 12 kali lipat dari income orang kita. Berarti mereka adalah orang kaya raya, namun ruang keluarga mereka didesain begitu sederhana. Pada banyak rumah, seperti pengakuan keponakan penulis yang masih berada di kota Uwajima, Pulau Shikoku, Jepang- bahwa ruangan keluarga orang Jepang ditata sederhana. Tidak banyak pernak pernik perabot, yang ada cuma beberapa meja rendah dengan bentangan karpet dan lemari atau rak-rak yang penuh berisi buku, bukan rak-rak untuk pajangan boneka, keramik atau pajangan kepingan VCD player.
Ini sebagai bukti bahwa ruang keluarga adalah sebagai tempat yang nyaman dan sekaligus tempat ruang baca dan belajar sejak usia kecil. Bukan ruang keluarga dengan televisi yang menyala selama 24 jam, atau ruangan keluarga yang disulap sebagai ruang teater- memutar music sampai memekakan telinga dan memutar film tanpa aturan waktu.
Tampaknya orang Jepang tidak terkesan jago dalam berpidato atau berbicara. Jarang kita mendengar orang Jepang berkelakar. Kesannya mereka cukup bersahaja, memberi hormat dengan menundukan kepala. Mungkin ini penilaian subjektif penulis saja. Gaya berkomunikasi mereka tersa datar dan tenang saja. Saat lawan berbicara menyampaikan pendapat, mereka betul-betul mendengan dengan sepenuh hati. Tidak ada kesan bedebat dan berebutan dalam ngobrol. Agaknya seperti itulah idealnya gaya berkomunikasi orang-orang dari negara yang punya SDM tinggi.
Gaya berkomunikasi atau berbahasa yang mungkin sering kita lakukan adalah gaya berbahasa yang terlalu banyak berbicara dan enggan mendengar isi fikiran orang lain. Gaya berbicara yang begini (gaya berbahasa saling berebutan) sebagai karakter dari gaya bahasa yang jauh dari kesan intelektual dan perlu ditinggalkan.
Bangsa Jepang adalah bangsa yang kaya dengan harta yang melimpah. Kekayaan dan fasilitas hidup membuat orang selalu senang dan bergembira. Ya benar bahwa selama ini bangsa Jepang adalah bangsa yang hidup bergembira namun saat bencana datang merenggut harta dan nyawa tentu terjadi perbedaan emosi mereka. Dari suasana yang sangat gembira kepada suasana yang sangat berduka hingga mereka amat bersedih dan saking sedihnya mereka susah untuk menumpahkan air mata.
Ada lagi perbedaan antara kita dan Jepang dalam menghadapi tsunami. Setiap kali bencana datang, kita jarang menyiapkan mental dan pengetahuan. Maka, sekali lagi, saat bencana tiba, kita mudah panik dan stress malah juga tidak punya kesempatan untuk melakukan evakuasi (penyelamatan diri). Hal yang kontra bahwa Jepang betul-betul menyiapkan diri. Untuk mengantisipasi tsunami mereka telah membangun pintu-pintu penghalang agar tsunami tidak gampang mencapai kawasan perumahan warga. Pintu terluar adalah green belt, kemudian sungai sejajar pantai untuk mengontrol banjir dan tsunami. Setelah itu baru ada kawasan perumahan warga.
Saat gempa melanda Aceh, Bengkulu, Jogjakarta, dan daerah Padang Pariaman, terlihat bahwa betapa mudah ambruknya gedung sekolah, perkantoran dan rumah masyarakat. Masyarakat Kabupaten Pariaman (dan juga kampung penulis) sebelumnya mengaggap daerah mereka cukup aman dari gempa, apalagi merasa cukup jauh dari Gunung Merapi, sehingga banyak rumah dibangun tanpa beton penyangga pada rusuk dan pinggang rumah. Apa yang terjadi bahwa gempa tanggal 30 September 2009 membuat ribuan rumah jadi rata dengan bumi dan mereka menjadi homeless (tuna wisma) secara massal.
Tidak demikian dengan yang di Jepang. Goncangan dan hempasan tsunami masih membuat dinding gedung dan rumah berdiri dengan gagah. Juga ada kesan bahwa infrastruktur di sana dibangun secara professional dan penuh perhitungan. Sementara infrastruktur (prasarana umum) di daerah kita dibangun secara asal-asalan- beton yang kekurangan semen, jalan dengan aspal yang tipis. Maka cukup banyak terjadi bahwa ada bangunan, jalan raya, atau bendungan sudah ambruk sebelum diresmikan.
Gempa yang melanda Aceh memang lebih dahsyat karena dampaknya juga melanda banyak negara- mulai dari Aceh, Pantai Barat Semenanjung Malaysia, Thailand, Pantai Timur India, Srilangka, bahkan sampai Pantai Timur Afrika. Tidak heran kalau simpati dunia begitu banyak. NGO (Non Government Organization), utusan pemerintah, Sukarelawan, dan wartawan ramai datang berbagi simpati dan berbagi empati. Tsunami Aceh menjadi berita besar selama berminggu-minggu pada media massa dunia.
Simpati orang juga banyak tertuju pada Jepang. Banyak orang, simpatisan dan sukarelawan bergerak untuk berbagi duka dan berniat/ berencana untuk membalut duka hati saudara kita di sana. Namun tiba-tiba ada ledakan pada pembangkit Nuklir Fukushima. Nyali orang mulai menciut, apalagi terjadi exodus meninggalkan Tokyo guna menghindaroi dampak radiasi nuklir. Sampai kini berita dari Jepang nyaris sepi- kecuali bagi mereka yang bias memahami berita dari TV NHK. Kemudian revolusi Libia makin memanas, maka juru kamera dan kuli tinta memilih kesana. Maka ramailah berita dari Libia, semua stasiun Tv meliput dan mengabarkan Libia dan berita dari Jepang kehilangan porsi.
Tsunami membuat semua bangsa bersimpati, namun musibah ledakan reactor nulklir membuat orang hanya bersimpati dari jarak jauh, malah simpati tersebut hamper hamper tidak terasa. Dari TV NHK terlihat bahwa kini orang Jepang masih berjibaku menyelamatkan lingkungan, diri, dan korban tsunami. Tragedy revolusi di Timur Tengah- Libia, Suriah, Baherain dan Yaman- membuat banyak penulis dan pembuat berita pergi kesana. Perang Libia membuat bencana Tsunami Jepang cenderung terlupakan. Memang bahwa berita sekarang bergulir dari Libia dan simpati pada Jepang janganlah dilupakan. Love for Japan.
Sabtu, 26 Maret 2011
Fenomena Demam BIMBEL agar Jebol Perguruan Tinggi
Fenomena Demam BIMBEL agar Jebol Perguruan Tinggi
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
Bimbel adalah singkatan dari “Bimbingan Belajar”. Apakah kegiatan yang dilakukan dalam lembaga bimbel memang “memimbing pembelajaran” agar siswa bisa jebol ke perguruan tinggi. Pernyataan yang masih penulis ingat dari Prof. Dr. Jalius Jama (saat mengikuti kuliah pada Pascasarjana UNP, 2007) mengatakan bahwa kegitan pada bimbel bukan murni kegiatan pembelajaran, yang ada cuma proses melatih menjawab ratusan soal-soal yang kemungkinan diujikan dalam ujian masuk perguruan tinggi. Sementara kalau pembelajaran yang ideal musti ada proses pembelajaran yang bukan instan atau praktek untuk mendapatkan hasil yang ideal.
Siswa-siswi yang ikut bimbel selalu target nilai yang mereka sebut dengan passing grade atau tingkat kelulusan. Pengelola bimbel member test awal dan kemudian memberi tahu tentang passing grade mereka. Kemudian siswa diminta untuk mengejar passing grade setinggi mungkin. “Kamu mau jadi apa nanti..?” Umumnya siswa menjawab “tidak tahu”. Ini benar karena banyak anak-anak sekarang yang belum memiliki cita-cita walau mereka sudah remaja. “Mau melanjutkan pekerjaan yang telah dirintis oleh orang tua ?” Merekapun juga tidak bisa berkomentar.
Tampaknya banyak siswa yang mengikuti pelatihan pada bimbel terlalu menggantungkan cita-cita mereka pada passing grade. Mereka yang ikut bimbel diberi tahu tentang passing grade yang terendah sampai ke yang tertinggi. Passing grade kemudian disesuaikan dengan jurusannya. Cita-cita atau penjurusan siswa/ calon mahasiswa kemudian disesuaikan menurut passing grade. Gara-gara mematok passing grade, potensi dan bakat mereka bisa terabaikan. Seorang anak yang pendiam namun tekun berlatih menjawab soal soal ujian hingga bisa memperoleh skor tinggi, kriteria passing grade untuk masuk jurusan Hubungan Internasional, sebagai contoh. “nah kamu cocok nanti kuliah di Hubungan Internasional”
Apakah cocok jurusan tadi buat siswa tadi ? Tentu tidak, namun ada pelayanan konsultasi yang disediakan oleh lembaga Bimbel. Kemudian atas nama mengejar passing grade dan ikut-ikutan bimbel, ada siswa yang orang tuanya sudah memiliki usaha optikal yang mapan. Sang orang tua berharap agar sang anak cukup kuliah pada akademi Refraksi saja karena lebih relevan dengan usaha optikal ayahnya. Namun sang anak dibujuk dan dirayu teman- hingga juga ikut- ikutan bimbel dan ternyata passing gradenya cocok untuk masuk fakultas kedokteran. “Wah kamu hebat cocok untuk masuk ke fakultas Kedokteran !” Sekarang bagaimana, apakah sang anak akan mengikuti saran orang tua atau mengikuti mimpi yang ditawarkan oleh tentor bimbel ? Lembaga bimbel tentu tidak salah karena juga punya misi untuk mencerdaskan bangsa ini.
Entah kapan demam pergi bimbel itu dimulai. Sekarang banyak siswa demam bimbel, belum lagi selesai UAS (ujian akhir sekolah) dan UN (ujian nasional) mereka sudah kasak kususk untuk mendaftar agar bisa ikut bimbel di tempat bimbel yang dianggap favourite. “Mama..papa...teman-teman udah pada mendaftar bimbel, minta uang satu juta dong...aku juga ikut bimbel” Pemilik usaha bimbel juga cerdik dalam menarik keuntungan dan menggunakan moment ketakutan siswa kalau tidak bisa kuliah kelak, dan segera memajang iklan. “Bergabunglah bersama bimbel ini kalau tidak jebol perguruan tinggi, uang akan dikembalikan. Mendaftarlah sekarang...buruan. Kalau pendaftaran sekaran biaya bimbel akan dikorting/ dapat potongan, kalau pendaftaran bimbel habis ujian nasional maka biaya bimbel bisa naik menjadi sekian jura rupiah”. Maka ramailah siswa yang trauma/takut tidak kuliah menyetor uang dan lembaga bimbel meraup rejeki. Siswa yang tak punya uang untuk ikut bimbel ya menangis atau mencak mencak dan ngambek pada orang tua. “Anak ku....tanpa bimbel kamu juga bisa jebol kuliah, asal kamu bisa belajar yang benar, lebih baik gunakan uang yang sekarang sebagai uang pangkal kuliah, kalau diterima kelak”, kata salah seorang orang tua.
Saat penulis masih remaja di pertengahan tahun 1980-an, bimbel belum lagi menjadi fenomena. Yang ada saat itu adalah kegiatan belajar mandiri dan musim belajar berkelompok. Juga ada remaja yang senang melakukan otodidak- belajar secara mandiri- untuk meraih sukses dalam bidan akademi. Banyak remaja saat itu yang tidak hanya terfokus pada pelajaran sekolah semata, mereka juga menggemari kegiatan olah fisik.
Bila sore datang, mereka segera menyerbu lapangan untuk berolah raga. Ada yang menyukai bola kaki, volley ball, bulu tangkis, renang, atau sengaja berlari keliling lapangan untuk sekedar menghangatkan badan hingga berkeringat. Kesannya adalah bahwa banyak remaja tahun 1980-an yang gemar berolah raga. Banyak remaja yang badanya keringatan setiap sore, otot/ tubuh lebih kuat dan sehat.
Teman teman penulis saat remaja di SMAN 1 Payakumbuh, prestasi mereka di sekolah biasa-biasa saja, namun di luar sekolah mereka juga melibatkan diri dalam kegiatan sosial “ikut kegiatan karang taruna, ikut acara di RT atau desa, dan juga melibatkan diri dalam membantu pekerjaan orang tua- membuka toko, merapikan rumah, dll. Hingga mereka juga ikut bertanggung jawab. Mereka sekarang ternyata juga dalam profesi mereka- sebagai pemilik modal di perusahaan, bekerja pada perusahaan penerbangan, perkapalan, perminyakan, hingga ada yang memiliki bisnis yang mapan. Sementara teman penulis yang cuma sekedar rajin di sekolah namun passif dalam masyarakat, hanya bisa menjadi PNS tingkat rendah saja.
Fenomena belajar siswa kita cukup kontra dengan siswa dari negara maju. Seorang keponakan yang baru saja selesai mengikuti program YES (Youth Exchange Student) di Amerika Serikat mengatakan bahwa siswa-siswi tingkat SMA di Amerika kalau pulang sekolah buru buru pergi ke lapangan untuk berolahraga. Ada yang menyukai soccer, baseball, atletik, berkuda, climbing dan lain-lain. Mereka mengikuti kegiatan olah raga secara serius bukan ikut ikutan teman. Mereka sangat menikmati aktivitas tersebut hingga badan keringatan. Hasilnya adalah badan mereka terlihat lebih gagah, lebih atletik, tidak layu. Tubuh mereka menjadi kuat dan suara lebih lepas, satu lagi mereka lebih percaya diri dan tidak pemalu.
Ini cukup kontra dengan siswa/ pelajar kita. Pernyataan ini bukan untuk merendahkan bangsa sendiri. Katanya bahwa siswa di sini kalau pulang sekolah ya buru buru mengejar bimbel. Pada hal sejak pagi hingga siang selama tujuh atau delapan jam sudah belajar di sekolah. “Apakah tidak cukup belajar di sekolah untuk mereka jadi pintar?”. Dalam kenyataan bahwa sebahagian mereka pergi bimbel cuma sekedar iseng-iseng. Mereka malah pergi mejeng, main main HP, dengar lagu dan berbagi gossip. Cuma bebera menit saja mereka serius dalam belajar”. Ditegur oleh guru bimbel, takut ngambek dan tidak datang lagi, bimbel sendiri bisa sepi dan tidak dapat untung.
Ada kesan bahwa remaja kita kurang suka berolah raga. Pantasan banyak mereka yang memiliki tubuh lemah, akhirnya jiwa juga lemah- hingga menjadi penakut dan cengeng. Mereka takut dengan kecoa, takut dengan cacing tapi berani dengan rokok dan tidak takut sakit kanker (seperti peringatan pada kotak rokok). Remaja kita juga kurang tertarik jalan kaki, untuk menempuh jarak hanya setengah kilo saja, mereka selalu minta diantar atau naik ojek. “Wah budaya manja dan pemborosan”.
Akibat tidak tertarik berolah raga telah membuat remaja kita kurang heroik, senang taqwuran dan tidak sportif- tidak siap menerima kekalahan dengan jiwa besar. Bila kalah ya mengamuk dan membabi buta. Kalau bicara, suaranya kurang keluar dan tidak berani memikul tanggung jawab.
Ternyata orang-orang yang menyukai olah raga, lebih ramah dan mudah mengatakan “hello” dari pada mereka yang pasif dan terlalu kutu buku, serta kuper (kurang pergaulan). Karakter remaja/ siswa kita yang lain adalah seperti pencemas, penakut, mudah terhasud untuk tawuran dan kurang siap untuk berkompetisi.
Kapan ya pergi bimbel menjadi fenomena ? Dulu tidak ada demam bimbel seperti sekarang. Kalau ada siswa yang kurang memahami konsep pelajaran, maka sang siswa secara spontan akan menemui guru bidang studi yang bersangkutan. Namun sekarang bimbel itu “apakah sebagai program remedial atau program enrichment (pengayaan)?”. Program remedial tentu disediakan untuk siswa yang kurang menguasai konsep pelajaran, sementara program pengayaan (enrichment) adalah untuk siswa yang sudah tuntas. Pada bimbel kedua kelompok siswa ini digabung dan membayar sama. Siswa yang lemah tentu jadi bosan, patah semangat dan mereka hanya sekedar menyumbang uang ke sana. Lembaga bimbel tidak rugi.
Kata sebahagian orang tua bahwa biaya bimbel itu cukup mahal, dan belum tentu menjamin seorang anak untuk bisa lulus ke perguruan tinggi. Namun lembaga bimbel punya strategi untuk mencari siswa/ untung. Ia mendatangi anak/ sekolah yang cerdas dan orang tuanya berduit untuk ikut bimbel dan dilatih untuk mengerjakan soal-soal masuk perguruan tinggi. Kelak bila siswa jebol masuk masuk perguruan tinggin favourite akan dibuat iklan dalam selebaran, “Siswa-siswi ini sukses lewat bimbelnya- pada hal yang lebih menentukan kesuksesan sang siswa adalah factor ketekunan yang sudah terbentuk dari rumah dan sekolah. Lembaga bimbel hanya sebagai wadah untuk waspada dan sebagai wadah penghilang kecemasan sang siswa yang banyak takut bakal tak jebol kuliah.
Wah biaya bimbel itu mahal, apalagi untuk program super intensive bisa jutaan rupiah, dan tidak mungkin bisa dijangkau oleh anak-anak petani dan anak-anak buruh. Kalau ikut bimbel seolah-olah ada jaminan untuk bisa masuk jurusan dan universitas bergengsi, maka apakah anak-anak orang miskin tidak bisa studi di sana ?.
Sejak kapan program bimbel diburu oleh siswa ? Ya sejak terjadi gejala pengidolaan sekolah, yaitu gejala atau fenomena memfavoritkan suatu sekolah dan suatu universitas. Bahwa sekolah yang favorit itu adalah “sekolah unggul, sekolah plus, sekolah percontohan, sekolah berstandar nasional”. Pokoknya sekolah yang punya label, malah sekarang sekolah berlabel “Bertaraf Rintisan Internasinal”, diplesetkan menjadi sekolah BERTARIF INTERNASIONAL. Itu karena biaya belajarnya di ruang ber-AC yang cukup mahal dan kualitasnya biasa-biasa saja. Gara-gara ada sekolah berlabel maka berduyun-duyunlah orang tua mengatarkan anak mereka untuk belajar di sana. Ini juga bagus. Ternyata sukses juga bisa dari sekolah pinggiran. Seorang siswa yang bernama Ranti Komala Sari, hanya jebolan dari sekolah pelosok Batusangkar, yaitu SMAN 1 Padang Ganting, Kabupaten Tanah Datar. Namun sekarang ia bisa mengikuti kuliah double degree untuk program master pada Univertsitas Sorbone, Perancis. Sukses itu ada dimana-mana.
Lagi-lagi tamatan SLTA- terutama tamatan SMA- berduyun-duyun mencari tempat kuliah yang juga favourite seperti di UI, ITB, UNPAD, UNDIP, UGM, pokoknya universitas di pulau Jawa. Untuk bisa jebol ke sana tentu amat susah. Mereka harus bisa mencapai passing grade yang tinggi. Yang mengerti tentang passing grade bukan guru dan bukan sekolah, tetapi adalah wilayah kekuasaan lembaga bimbingan belajar. Bimbel yang kualitasnya bagus tentu saja biayanya mahal. Bimbel yang bagus diidentikan bisa menjamin siswa bisa lolos ke perguruan tinggi. Tetapi aneh, ada siswa yang ikut program bimbel dengan biaya mahal ternyata tak jebol. “Mungkin pilihan jurusan terlalu tinggi”. Juga ada yang ikut bimbel dengan biaya mahal dan ternyata hanya jebol pada jurusan biasa-biasa saja- yang mana tanpa ikut bimbel seseorang akan juga bisa jebol.
Kenapa guru bimbel diidolakan ? Guru bimbel sama halnya dengan guru pada beberapa sekolah lain. Mereka tentu direkrut dari lulusan perguruan tinggi dengan seleksi yang baik- indek kumulatif tinggi dan kepribadian yang menarik- ramah dan menyenangi karir mengajar. Sementara rekruitmen guru kebanyakan cuma berdasarkan hasil test tertulis dan jarang sekali melewati test wawancara, sehingga begitu sudah berada di lapangan, ditemui prilaku guru yang kadang-kadang bertentangan dengan jiwa pendidik. Mereka berkarakter suka marah, suka naik pitam, mudah ketus dan tidak menyukai karir mengajar.
Bimbel sepanjang tahun tetap diburu karena dianggap bisa membantu siswa untuk mewujudkan mimpi mereka menuju perguruan tinggi. Bimbel yang menarik tentu saja biayanya mahal, karena tempat latihan menjawab soal-soal ujian berada dalam kelas nyaman dan sejuk. Bimbel juga dibimbing oleh tentor/guru yang cerdas, ramah dan penyabar. Ini adalah bentuk pelayanan mereka yang harganya dibayar mahal oleh siswa. Sehingga siswa menjadi betah dalam belajar. Siswa siswi tidak akan mendengar cercaan, ejekan, kemarahan yang mana suasana begini bisa ditemukan pada beberapa sekolah.
Akhirnya diyakini bahwa bimbel itu sangat berguna sebagai partner bagi sekolah dan guru dalam menjaga minat dan motivasi siswa untuk menuju perguruan tinggi. Bagi yang punya uang silahkan ikut bimbel di tempat yang mahal. Namun tidak ada jaminan bahwa setelah ikut bimbel bakal jebol keperguruan tinggi, karena yang sukses dalam bimbel adalah anak-anak yang telah rajin atau memiliki motivasi belajar yang tinggi sejak dari rumah dan sekolah. Sedangkan tempat bimbel tinggal mempoles sedikit saja. Selalulah berusaha dan hasilnya serahkan pada Allah azza Wajalla.
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
Bimbel adalah singkatan dari “Bimbingan Belajar”. Apakah kegiatan yang dilakukan dalam lembaga bimbel memang “memimbing pembelajaran” agar siswa bisa jebol ke perguruan tinggi. Pernyataan yang masih penulis ingat dari Prof. Dr. Jalius Jama (saat mengikuti kuliah pada Pascasarjana UNP, 2007) mengatakan bahwa kegitan pada bimbel bukan murni kegiatan pembelajaran, yang ada cuma proses melatih menjawab ratusan soal-soal yang kemungkinan diujikan dalam ujian masuk perguruan tinggi. Sementara kalau pembelajaran yang ideal musti ada proses pembelajaran yang bukan instan atau praktek untuk mendapatkan hasil yang ideal.
Siswa-siswi yang ikut bimbel selalu target nilai yang mereka sebut dengan passing grade atau tingkat kelulusan. Pengelola bimbel member test awal dan kemudian memberi tahu tentang passing grade mereka. Kemudian siswa diminta untuk mengejar passing grade setinggi mungkin. “Kamu mau jadi apa nanti..?” Umumnya siswa menjawab “tidak tahu”. Ini benar karena banyak anak-anak sekarang yang belum memiliki cita-cita walau mereka sudah remaja. “Mau melanjutkan pekerjaan yang telah dirintis oleh orang tua ?” Merekapun juga tidak bisa berkomentar.
Tampaknya banyak siswa yang mengikuti pelatihan pada bimbel terlalu menggantungkan cita-cita mereka pada passing grade. Mereka yang ikut bimbel diberi tahu tentang passing grade yang terendah sampai ke yang tertinggi. Passing grade kemudian disesuaikan dengan jurusannya. Cita-cita atau penjurusan siswa/ calon mahasiswa kemudian disesuaikan menurut passing grade. Gara-gara mematok passing grade, potensi dan bakat mereka bisa terabaikan. Seorang anak yang pendiam namun tekun berlatih menjawab soal soal ujian hingga bisa memperoleh skor tinggi, kriteria passing grade untuk masuk jurusan Hubungan Internasional, sebagai contoh. “nah kamu cocok nanti kuliah di Hubungan Internasional”
Apakah cocok jurusan tadi buat siswa tadi ? Tentu tidak, namun ada pelayanan konsultasi yang disediakan oleh lembaga Bimbel. Kemudian atas nama mengejar passing grade dan ikut-ikutan bimbel, ada siswa yang orang tuanya sudah memiliki usaha optikal yang mapan. Sang orang tua berharap agar sang anak cukup kuliah pada akademi Refraksi saja karena lebih relevan dengan usaha optikal ayahnya. Namun sang anak dibujuk dan dirayu teman- hingga juga ikut- ikutan bimbel dan ternyata passing gradenya cocok untuk masuk fakultas kedokteran. “Wah kamu hebat cocok untuk masuk ke fakultas Kedokteran !” Sekarang bagaimana, apakah sang anak akan mengikuti saran orang tua atau mengikuti mimpi yang ditawarkan oleh tentor bimbel ? Lembaga bimbel tentu tidak salah karena juga punya misi untuk mencerdaskan bangsa ini.
Entah kapan demam pergi bimbel itu dimulai. Sekarang banyak siswa demam bimbel, belum lagi selesai UAS (ujian akhir sekolah) dan UN (ujian nasional) mereka sudah kasak kususk untuk mendaftar agar bisa ikut bimbel di tempat bimbel yang dianggap favourite. “Mama..papa...teman-teman udah pada mendaftar bimbel, minta uang satu juta dong...aku juga ikut bimbel” Pemilik usaha bimbel juga cerdik dalam menarik keuntungan dan menggunakan moment ketakutan siswa kalau tidak bisa kuliah kelak, dan segera memajang iklan. “Bergabunglah bersama bimbel ini kalau tidak jebol perguruan tinggi, uang akan dikembalikan. Mendaftarlah sekarang...buruan. Kalau pendaftaran sekaran biaya bimbel akan dikorting/ dapat potongan, kalau pendaftaran bimbel habis ujian nasional maka biaya bimbel bisa naik menjadi sekian jura rupiah”. Maka ramailah siswa yang trauma/takut tidak kuliah menyetor uang dan lembaga bimbel meraup rejeki. Siswa yang tak punya uang untuk ikut bimbel ya menangis atau mencak mencak dan ngambek pada orang tua. “Anak ku....tanpa bimbel kamu juga bisa jebol kuliah, asal kamu bisa belajar yang benar, lebih baik gunakan uang yang sekarang sebagai uang pangkal kuliah, kalau diterima kelak”, kata salah seorang orang tua.
Saat penulis masih remaja di pertengahan tahun 1980-an, bimbel belum lagi menjadi fenomena. Yang ada saat itu adalah kegiatan belajar mandiri dan musim belajar berkelompok. Juga ada remaja yang senang melakukan otodidak- belajar secara mandiri- untuk meraih sukses dalam bidan akademi. Banyak remaja saat itu yang tidak hanya terfokus pada pelajaran sekolah semata, mereka juga menggemari kegiatan olah fisik.
Bila sore datang, mereka segera menyerbu lapangan untuk berolah raga. Ada yang menyukai bola kaki, volley ball, bulu tangkis, renang, atau sengaja berlari keliling lapangan untuk sekedar menghangatkan badan hingga berkeringat. Kesannya adalah bahwa banyak remaja tahun 1980-an yang gemar berolah raga. Banyak remaja yang badanya keringatan setiap sore, otot/ tubuh lebih kuat dan sehat.
Teman teman penulis saat remaja di SMAN 1 Payakumbuh, prestasi mereka di sekolah biasa-biasa saja, namun di luar sekolah mereka juga melibatkan diri dalam kegiatan sosial “ikut kegiatan karang taruna, ikut acara di RT atau desa, dan juga melibatkan diri dalam membantu pekerjaan orang tua- membuka toko, merapikan rumah, dll. Hingga mereka juga ikut bertanggung jawab. Mereka sekarang ternyata juga dalam profesi mereka- sebagai pemilik modal di perusahaan, bekerja pada perusahaan penerbangan, perkapalan, perminyakan, hingga ada yang memiliki bisnis yang mapan. Sementara teman penulis yang cuma sekedar rajin di sekolah namun passif dalam masyarakat, hanya bisa menjadi PNS tingkat rendah saja.
Fenomena belajar siswa kita cukup kontra dengan siswa dari negara maju. Seorang keponakan yang baru saja selesai mengikuti program YES (Youth Exchange Student) di Amerika Serikat mengatakan bahwa siswa-siswi tingkat SMA di Amerika kalau pulang sekolah buru buru pergi ke lapangan untuk berolahraga. Ada yang menyukai soccer, baseball, atletik, berkuda, climbing dan lain-lain. Mereka mengikuti kegiatan olah raga secara serius bukan ikut ikutan teman. Mereka sangat menikmati aktivitas tersebut hingga badan keringatan. Hasilnya adalah badan mereka terlihat lebih gagah, lebih atletik, tidak layu. Tubuh mereka menjadi kuat dan suara lebih lepas, satu lagi mereka lebih percaya diri dan tidak pemalu.
Ini cukup kontra dengan siswa/ pelajar kita. Pernyataan ini bukan untuk merendahkan bangsa sendiri. Katanya bahwa siswa di sini kalau pulang sekolah ya buru buru mengejar bimbel. Pada hal sejak pagi hingga siang selama tujuh atau delapan jam sudah belajar di sekolah. “Apakah tidak cukup belajar di sekolah untuk mereka jadi pintar?”. Dalam kenyataan bahwa sebahagian mereka pergi bimbel cuma sekedar iseng-iseng. Mereka malah pergi mejeng, main main HP, dengar lagu dan berbagi gossip. Cuma bebera menit saja mereka serius dalam belajar”. Ditegur oleh guru bimbel, takut ngambek dan tidak datang lagi, bimbel sendiri bisa sepi dan tidak dapat untung.
Ada kesan bahwa remaja kita kurang suka berolah raga. Pantasan banyak mereka yang memiliki tubuh lemah, akhirnya jiwa juga lemah- hingga menjadi penakut dan cengeng. Mereka takut dengan kecoa, takut dengan cacing tapi berani dengan rokok dan tidak takut sakit kanker (seperti peringatan pada kotak rokok). Remaja kita juga kurang tertarik jalan kaki, untuk menempuh jarak hanya setengah kilo saja, mereka selalu minta diantar atau naik ojek. “Wah budaya manja dan pemborosan”.
Akibat tidak tertarik berolah raga telah membuat remaja kita kurang heroik, senang taqwuran dan tidak sportif- tidak siap menerima kekalahan dengan jiwa besar. Bila kalah ya mengamuk dan membabi buta. Kalau bicara, suaranya kurang keluar dan tidak berani memikul tanggung jawab.
Ternyata orang-orang yang menyukai olah raga, lebih ramah dan mudah mengatakan “hello” dari pada mereka yang pasif dan terlalu kutu buku, serta kuper (kurang pergaulan). Karakter remaja/ siswa kita yang lain adalah seperti pencemas, penakut, mudah terhasud untuk tawuran dan kurang siap untuk berkompetisi.
Kapan ya pergi bimbel menjadi fenomena ? Dulu tidak ada demam bimbel seperti sekarang. Kalau ada siswa yang kurang memahami konsep pelajaran, maka sang siswa secara spontan akan menemui guru bidang studi yang bersangkutan. Namun sekarang bimbel itu “apakah sebagai program remedial atau program enrichment (pengayaan)?”. Program remedial tentu disediakan untuk siswa yang kurang menguasai konsep pelajaran, sementara program pengayaan (enrichment) adalah untuk siswa yang sudah tuntas. Pada bimbel kedua kelompok siswa ini digabung dan membayar sama. Siswa yang lemah tentu jadi bosan, patah semangat dan mereka hanya sekedar menyumbang uang ke sana. Lembaga bimbel tidak rugi.
Kata sebahagian orang tua bahwa biaya bimbel itu cukup mahal, dan belum tentu menjamin seorang anak untuk bisa lulus ke perguruan tinggi. Namun lembaga bimbel punya strategi untuk mencari siswa/ untung. Ia mendatangi anak/ sekolah yang cerdas dan orang tuanya berduit untuk ikut bimbel dan dilatih untuk mengerjakan soal-soal masuk perguruan tinggi. Kelak bila siswa jebol masuk masuk perguruan tinggin favourite akan dibuat iklan dalam selebaran, “Siswa-siswi ini sukses lewat bimbelnya- pada hal yang lebih menentukan kesuksesan sang siswa adalah factor ketekunan yang sudah terbentuk dari rumah dan sekolah. Lembaga bimbel hanya sebagai wadah untuk waspada dan sebagai wadah penghilang kecemasan sang siswa yang banyak takut bakal tak jebol kuliah.
Wah biaya bimbel itu mahal, apalagi untuk program super intensive bisa jutaan rupiah, dan tidak mungkin bisa dijangkau oleh anak-anak petani dan anak-anak buruh. Kalau ikut bimbel seolah-olah ada jaminan untuk bisa masuk jurusan dan universitas bergengsi, maka apakah anak-anak orang miskin tidak bisa studi di sana ?.
Sejak kapan program bimbel diburu oleh siswa ? Ya sejak terjadi gejala pengidolaan sekolah, yaitu gejala atau fenomena memfavoritkan suatu sekolah dan suatu universitas. Bahwa sekolah yang favorit itu adalah “sekolah unggul, sekolah plus, sekolah percontohan, sekolah berstandar nasional”. Pokoknya sekolah yang punya label, malah sekarang sekolah berlabel “Bertaraf Rintisan Internasinal”, diplesetkan menjadi sekolah BERTARIF INTERNASIONAL. Itu karena biaya belajarnya di ruang ber-AC yang cukup mahal dan kualitasnya biasa-biasa saja. Gara-gara ada sekolah berlabel maka berduyun-duyunlah orang tua mengatarkan anak mereka untuk belajar di sana. Ini juga bagus. Ternyata sukses juga bisa dari sekolah pinggiran. Seorang siswa yang bernama Ranti Komala Sari, hanya jebolan dari sekolah pelosok Batusangkar, yaitu SMAN 1 Padang Ganting, Kabupaten Tanah Datar. Namun sekarang ia bisa mengikuti kuliah double degree untuk program master pada Univertsitas Sorbone, Perancis. Sukses itu ada dimana-mana.
Lagi-lagi tamatan SLTA- terutama tamatan SMA- berduyun-duyun mencari tempat kuliah yang juga favourite seperti di UI, ITB, UNPAD, UNDIP, UGM, pokoknya universitas di pulau Jawa. Untuk bisa jebol ke sana tentu amat susah. Mereka harus bisa mencapai passing grade yang tinggi. Yang mengerti tentang passing grade bukan guru dan bukan sekolah, tetapi adalah wilayah kekuasaan lembaga bimbingan belajar. Bimbel yang kualitasnya bagus tentu saja biayanya mahal. Bimbel yang bagus diidentikan bisa menjamin siswa bisa lolos ke perguruan tinggi. Tetapi aneh, ada siswa yang ikut program bimbel dengan biaya mahal ternyata tak jebol. “Mungkin pilihan jurusan terlalu tinggi”. Juga ada yang ikut bimbel dengan biaya mahal dan ternyata hanya jebol pada jurusan biasa-biasa saja- yang mana tanpa ikut bimbel seseorang akan juga bisa jebol.
Kenapa guru bimbel diidolakan ? Guru bimbel sama halnya dengan guru pada beberapa sekolah lain. Mereka tentu direkrut dari lulusan perguruan tinggi dengan seleksi yang baik- indek kumulatif tinggi dan kepribadian yang menarik- ramah dan menyenangi karir mengajar. Sementara rekruitmen guru kebanyakan cuma berdasarkan hasil test tertulis dan jarang sekali melewati test wawancara, sehingga begitu sudah berada di lapangan, ditemui prilaku guru yang kadang-kadang bertentangan dengan jiwa pendidik. Mereka berkarakter suka marah, suka naik pitam, mudah ketus dan tidak menyukai karir mengajar.
Bimbel sepanjang tahun tetap diburu karena dianggap bisa membantu siswa untuk mewujudkan mimpi mereka menuju perguruan tinggi. Bimbel yang menarik tentu saja biayanya mahal, karena tempat latihan menjawab soal-soal ujian berada dalam kelas nyaman dan sejuk. Bimbel juga dibimbing oleh tentor/guru yang cerdas, ramah dan penyabar. Ini adalah bentuk pelayanan mereka yang harganya dibayar mahal oleh siswa. Sehingga siswa menjadi betah dalam belajar. Siswa siswi tidak akan mendengar cercaan, ejekan, kemarahan yang mana suasana begini bisa ditemukan pada beberapa sekolah.
Akhirnya diyakini bahwa bimbel itu sangat berguna sebagai partner bagi sekolah dan guru dalam menjaga minat dan motivasi siswa untuk menuju perguruan tinggi. Bagi yang punya uang silahkan ikut bimbel di tempat yang mahal. Namun tidak ada jaminan bahwa setelah ikut bimbel bakal jebol keperguruan tinggi, karena yang sukses dalam bimbel adalah anak-anak yang telah rajin atau memiliki motivasi belajar yang tinggi sejak dari rumah dan sekolah. Sedangkan tempat bimbel tinggal mempoles sedikit saja. Selalulah berusaha dan hasilnya serahkan pada Allah azza Wajalla.
Jumat, 25 Maret 2011
Saat Hati Tidak Bahagia, Pilih Mana... Shabu Shabu atau Sajadah
Saat Hati Tidak Bahagia, Pilih Mana... Shabu Shabu atau Sajadah
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
Dalam hidup ini banyak orang yang berlomba membeli kebahagiaan. Orang tua bekerja siang malam untuk mencari nafkah yang banyak agar bisa mencukupi kebutuhan keluarga dan anak-anak. “Itu semua demi kebahagiaan mereka”. Bila musim liburan datang maka banyak keluarga hilir mudik dengan kendaraan umum sampai dengan kendaraan pribadi, membawa keluarga ke tempat rekreasi. Mereka yakin bahwa tempat yang bisa mendatangkan kebahagiaan itu ada di mall, di restaurant, sampai di tempat wisata. Kemudian atas nama memberi kebahagiaan buat publik maka industry hiburan, tempat makan/ restoran, tempat rekreasi dan permainan buat keluarga, tumbuh begitu subur di mana-mana.
Hal yang cukup paradoks bahwa mengapa orang-orang yang bekerja- bergelut- dalam industri entertainment untuk membuat orang lain bisa bahagia, malah ada yang tidak bahagia. Hati mereka terasa hampa dan malah berduka. untuk mencari efek bahagia mereka terpaksa mengkonsumsi obat psikotropika- narkotik, ganja/ madat, ectasy atau shabu-shabu.
Berita televisi di negeri ini (Indonesia) dalam bulan Maret 2011 sering memberitakan tentang kecendrungan beberapa artis yang terjerat dengan shabu-shabu. Mengapa artis suka shabu-shabu ? Berita tertangkapnya selebriti- para atlit, penyanyi, bintang sinetron- yang memakai shabu-shabu bukan hal yang baru lagi. Bintang sepak bola asal Brazil- Diego Maradona- pernah tertangkap karena menggunakan narkotika. Selebriti Indonesia seperti Roy Marten, drummer band Padi Yoga dan Iyut Bing Slamet (sebagai contoh) juga tertangkap tangan sedang menggunakan shabu-shabu.
Ternyata yang cenderung jatuh ke dalam lembah shabu-shabu atau penyalahgunaan obat psikotropika tidak hanya para selebriti. Orang atau pemuda yang berada di kota kecil hingga daerah pedesaan juga ada. Ada beberapa anak muda yang sebelumnya penulis kenal sebagai anak baik-baik, tiba-tiba ditemui menjadi penghuni lapas (penjara). Itu semua gara-gara tertangkap tangan sedang mengkonsumsi ganja atau pil terlarang.
Salah seorang pemuda yang juga penulis kenal sebagai anak yang penurut juga telah menjadi korban. Perceraian orang tua dan kemudian meninggalnya sang ibu telah memberikan efek kesedihan yang mendalam baginya. Ia telah menjadi tidak bahagia dan fasilitas yang diwariskan oleh orang tua seperti rumah dan kendaraan bagus juga tidak membuat dia berbahagia. Ia memperoleh ketengan sesaat melalui pil psikotropika yang diperkenalkan oleh seseorang yang pura-pura baik agar bisa mendapatkan uang yang banyak dari penjualan pil terlarang tadi.
Sebetulnya bagaimana efek dari pil penenang atau shabu-shabu tersebut ? Andri (2011) mengatakan bahwa orang menggunakan shabu-shabu untuk mendapatkan efek psikologis sebagai hasil kerja obat di berbagai system neurotransmitter pada otak. Efek yang diperoleh pengguna adalah perasaan euphoria (perasaan senang) sampai rasa ectasy (senang yang berlebihan). Namun setelah itu zat tadi (shabu-shabu) juga membuat timbulnya gejala psikosomatik, paranoid (gila ketakutan), halusinasi (khayalan) dan agresivitas. Sehingga si pengguna obat bisa menjadi mudah tersinggung dan berani berbuat sesuatu yang mengandung resiko. Kemudian gara-gara menggunakan shabu-shabu juga membuat orang tidak ingin makan.
Penggunaan narkoba (narkotika) menyebabkan kerja jantung dan pembuluh darah menjadi berlebihan. Dampaknya sangat berbahaya bagi penderita hipertensi dan gangguan jantung. Efek pada otak bisa membuat pendarahan otak. Penderita tentu saja bisa menderita, kejang dan meninggal dunia.
Penggunaan narkoba bisa mendatangkan ketergantungan. Ia bisa menderita efek mudah putus asa, perasaan lelah yang berlebihan, kecemasan yang luar biasa, tidak percaya diri hingga mengalami paranoid dan psikosis atau sakit jiwa berat.
Nah sekarang kondisi masyarakat kita ternyata makin lama makin menuju pola hidup individu, acuh tak acuh, masa modoh dan serba tidak ingin mau tahu. Orang yang punya masalah hidup bakal akan bersedih sendirian dan merasakan seolah-olah tidak ada tempat berbagi lagi. Maka saat hati kita tidak lagi bahagia...apakah kita akan memilih shabu-shabu untuk menenangkan jiwa atau pergi malah pergi ke sajadah (mendirikan sholat), untuk bersujud- tersungkur- mengadukan nasib kepada Sang penciwa jiwa ?
Saat jiwa dan hati gersang dan tidak bahagia, ada yang pergi ke cafe, kelab malam dan mencari narkotika, namun ia memperoleh kebahagiaan sesaat. Namun setelah itu datang penyakit dan derita. Tetapi bagi yang mencari sajadah- melakukan sholat dan bersujud di atas sajadah maka ia merasakan kedamaian. Goresan puisi (dan sudah dipopulerkan manjadi lagu) tentang sajadah yang terukir pada diding rumah puisi yang dibangun oleh Taufiq Ismail dekat Padang Panjang sangat cocok dalam melukiskannya. Syairnya adalah sebagai berikut:
“Ada sajadah panjang terbentang dari kaki buaian sampai ke tepi kuburan hamba.
Kuburan hamba bila mati.
Ada sajadah panjang terbentang.
Hamba tunduk dan sujud di atas sajadah yang panjang ini, diselingi sekedar interupsi.
Mencari rezki- mencari ilmu, mengukur jalanan seharian.
Begitu terdengar suara azan kembali tersungkur hamba.
Ada sajadah panjang terbentang, hamba tunduk dan ruku’.
Hamba sujud tak lepas kening hamba mengingat di-Kau sepenuhnya”.
Orang- orang yang berada dalam penjara, dalam rumah sakit jiwa, dan anak-anak atau remaja yang mudah terpancing dalam tauwuran dan kerusuhan adalah remaja yang hatinya kurang bahagia. Demikian pula dengan orang-orang yang suka menjauhkan diri dari pergaulan social. Mereka umumnya menjadi kurang berbahagia adakalanya oleh perlakuan orang tua dan kaum kerabat sendiri. Kecendrungan marah setiap saat membuat seorang anak merasa kurang disayangi. Miskinnya seorang anak atau remaja dalam memperoleh pengalaman sukses membuat hidupnya menjadi kurang berarti.
Sangat bijaksana kalau seseorang- orang tua, guru dan orang dewasa lainnya memiliki karakter suka memaafkan kesalahan anak dan orang orang yang lemah- berusia kecil yang butuh pembinaan untuk tidak banyak mencerca mereka. Ini penting agar mereka tidak menjadi manusia yang kelak senang dibentak terus.
Juga sangat bijak bagi orang tua, guru dan public figure yang bisa memberi model untuk menjadi orang yang sederhana namun memiliki kemauan keras. Bukan seperti karakter sebagian orang sekarang yang sangat memuja dunia (hedonisme)- memuja harta dan mendewakan kemewahan. Gaya hidup hedonism- mengejar kemewahan membuat hati kita mudah jadi hampa.
Seorang teman tiba tiba fikirannya kalut tanpa alas an dan hatinya resah karena masalah hidup. Beruntung karena sejak muda ia akrab dengan mushala, surau dan mesjid, maka berarti ia masih punya akar spiritual. Maka saat fikiran kalut, hati hampa, gelisah dan tidak bahagia, untung ia belum mengenal narkotika atau obat psikotropika lainnya. Ia berdiri di keheningan malam ia berwudlu- membasahi anggota badan, kepala dan wajah maka ia tersungkur- bersujud untuk mohon ampun, mohon petujuk dan memuja ke hadapan Allah Sang pemilik alam ini. Kini saat hati berbahagia atau juga saat hati tidak berbahagia, maka jauhilah narkoba dan pilihlah sajadah panjang tersebut dan dirikanlah sholat. (Note: Andri (2011) Mengapa Artis Suka Shabu-Shabu. Jakarta: Seputar Indonesia (Jumat, 11 Maret, 2011)
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
Dalam hidup ini banyak orang yang berlomba membeli kebahagiaan. Orang tua bekerja siang malam untuk mencari nafkah yang banyak agar bisa mencukupi kebutuhan keluarga dan anak-anak. “Itu semua demi kebahagiaan mereka”. Bila musim liburan datang maka banyak keluarga hilir mudik dengan kendaraan umum sampai dengan kendaraan pribadi, membawa keluarga ke tempat rekreasi. Mereka yakin bahwa tempat yang bisa mendatangkan kebahagiaan itu ada di mall, di restaurant, sampai di tempat wisata. Kemudian atas nama memberi kebahagiaan buat publik maka industry hiburan, tempat makan/ restoran, tempat rekreasi dan permainan buat keluarga, tumbuh begitu subur di mana-mana.
Hal yang cukup paradoks bahwa mengapa orang-orang yang bekerja- bergelut- dalam industri entertainment untuk membuat orang lain bisa bahagia, malah ada yang tidak bahagia. Hati mereka terasa hampa dan malah berduka. untuk mencari efek bahagia mereka terpaksa mengkonsumsi obat psikotropika- narkotik, ganja/ madat, ectasy atau shabu-shabu.
Berita televisi di negeri ini (Indonesia) dalam bulan Maret 2011 sering memberitakan tentang kecendrungan beberapa artis yang terjerat dengan shabu-shabu. Mengapa artis suka shabu-shabu ? Berita tertangkapnya selebriti- para atlit, penyanyi, bintang sinetron- yang memakai shabu-shabu bukan hal yang baru lagi. Bintang sepak bola asal Brazil- Diego Maradona- pernah tertangkap karena menggunakan narkotika. Selebriti Indonesia seperti Roy Marten, drummer band Padi Yoga dan Iyut Bing Slamet (sebagai contoh) juga tertangkap tangan sedang menggunakan shabu-shabu.
Ternyata yang cenderung jatuh ke dalam lembah shabu-shabu atau penyalahgunaan obat psikotropika tidak hanya para selebriti. Orang atau pemuda yang berada di kota kecil hingga daerah pedesaan juga ada. Ada beberapa anak muda yang sebelumnya penulis kenal sebagai anak baik-baik, tiba-tiba ditemui menjadi penghuni lapas (penjara). Itu semua gara-gara tertangkap tangan sedang mengkonsumsi ganja atau pil terlarang.
Salah seorang pemuda yang juga penulis kenal sebagai anak yang penurut juga telah menjadi korban. Perceraian orang tua dan kemudian meninggalnya sang ibu telah memberikan efek kesedihan yang mendalam baginya. Ia telah menjadi tidak bahagia dan fasilitas yang diwariskan oleh orang tua seperti rumah dan kendaraan bagus juga tidak membuat dia berbahagia. Ia memperoleh ketengan sesaat melalui pil psikotropika yang diperkenalkan oleh seseorang yang pura-pura baik agar bisa mendapatkan uang yang banyak dari penjualan pil terlarang tadi.
Sebetulnya bagaimana efek dari pil penenang atau shabu-shabu tersebut ? Andri (2011) mengatakan bahwa orang menggunakan shabu-shabu untuk mendapatkan efek psikologis sebagai hasil kerja obat di berbagai system neurotransmitter pada otak. Efek yang diperoleh pengguna adalah perasaan euphoria (perasaan senang) sampai rasa ectasy (senang yang berlebihan). Namun setelah itu zat tadi (shabu-shabu) juga membuat timbulnya gejala psikosomatik, paranoid (gila ketakutan), halusinasi (khayalan) dan agresivitas. Sehingga si pengguna obat bisa menjadi mudah tersinggung dan berani berbuat sesuatu yang mengandung resiko. Kemudian gara-gara menggunakan shabu-shabu juga membuat orang tidak ingin makan.
Penggunaan narkoba (narkotika) menyebabkan kerja jantung dan pembuluh darah menjadi berlebihan. Dampaknya sangat berbahaya bagi penderita hipertensi dan gangguan jantung. Efek pada otak bisa membuat pendarahan otak. Penderita tentu saja bisa menderita, kejang dan meninggal dunia.
Penggunaan narkoba bisa mendatangkan ketergantungan. Ia bisa menderita efek mudah putus asa, perasaan lelah yang berlebihan, kecemasan yang luar biasa, tidak percaya diri hingga mengalami paranoid dan psikosis atau sakit jiwa berat.
Nah sekarang kondisi masyarakat kita ternyata makin lama makin menuju pola hidup individu, acuh tak acuh, masa modoh dan serba tidak ingin mau tahu. Orang yang punya masalah hidup bakal akan bersedih sendirian dan merasakan seolah-olah tidak ada tempat berbagi lagi. Maka saat hati kita tidak lagi bahagia...apakah kita akan memilih shabu-shabu untuk menenangkan jiwa atau pergi malah pergi ke sajadah (mendirikan sholat), untuk bersujud- tersungkur- mengadukan nasib kepada Sang penciwa jiwa ?
Saat jiwa dan hati gersang dan tidak bahagia, ada yang pergi ke cafe, kelab malam dan mencari narkotika, namun ia memperoleh kebahagiaan sesaat. Namun setelah itu datang penyakit dan derita. Tetapi bagi yang mencari sajadah- melakukan sholat dan bersujud di atas sajadah maka ia merasakan kedamaian. Goresan puisi (dan sudah dipopulerkan manjadi lagu) tentang sajadah yang terukir pada diding rumah puisi yang dibangun oleh Taufiq Ismail dekat Padang Panjang sangat cocok dalam melukiskannya. Syairnya adalah sebagai berikut:
“Ada sajadah panjang terbentang dari kaki buaian sampai ke tepi kuburan hamba.
Kuburan hamba bila mati.
Ada sajadah panjang terbentang.
Hamba tunduk dan sujud di atas sajadah yang panjang ini, diselingi sekedar interupsi.
Mencari rezki- mencari ilmu, mengukur jalanan seharian.
Begitu terdengar suara azan kembali tersungkur hamba.
Ada sajadah panjang terbentang, hamba tunduk dan ruku’.
Hamba sujud tak lepas kening hamba mengingat di-Kau sepenuhnya”.
Orang- orang yang berada dalam penjara, dalam rumah sakit jiwa, dan anak-anak atau remaja yang mudah terpancing dalam tauwuran dan kerusuhan adalah remaja yang hatinya kurang bahagia. Demikian pula dengan orang-orang yang suka menjauhkan diri dari pergaulan social. Mereka umumnya menjadi kurang berbahagia adakalanya oleh perlakuan orang tua dan kaum kerabat sendiri. Kecendrungan marah setiap saat membuat seorang anak merasa kurang disayangi. Miskinnya seorang anak atau remaja dalam memperoleh pengalaman sukses membuat hidupnya menjadi kurang berarti.
Sangat bijaksana kalau seseorang- orang tua, guru dan orang dewasa lainnya memiliki karakter suka memaafkan kesalahan anak dan orang orang yang lemah- berusia kecil yang butuh pembinaan untuk tidak banyak mencerca mereka. Ini penting agar mereka tidak menjadi manusia yang kelak senang dibentak terus.
Juga sangat bijak bagi orang tua, guru dan public figure yang bisa memberi model untuk menjadi orang yang sederhana namun memiliki kemauan keras. Bukan seperti karakter sebagian orang sekarang yang sangat memuja dunia (hedonisme)- memuja harta dan mendewakan kemewahan. Gaya hidup hedonism- mengejar kemewahan membuat hati kita mudah jadi hampa.
Seorang teman tiba tiba fikirannya kalut tanpa alas an dan hatinya resah karena masalah hidup. Beruntung karena sejak muda ia akrab dengan mushala, surau dan mesjid, maka berarti ia masih punya akar spiritual. Maka saat fikiran kalut, hati hampa, gelisah dan tidak bahagia, untung ia belum mengenal narkotika atau obat psikotropika lainnya. Ia berdiri di keheningan malam ia berwudlu- membasahi anggota badan, kepala dan wajah maka ia tersungkur- bersujud untuk mohon ampun, mohon petujuk dan memuja ke hadapan Allah Sang pemilik alam ini. Kini saat hati berbahagia atau juga saat hati tidak berbahagia, maka jauhilah narkoba dan pilihlah sajadah panjang tersebut dan dirikanlah sholat. (Note: Andri (2011) Mengapa Artis Suka Shabu-Shabu. Jakarta: Seputar Indonesia (Jumat, 11 Maret, 2011)
Kamis, 24 Maret 2011
Tanggung jawab Guru Penerima Sertifikasi Dalam Menggenjot SDM Pendidikan
Tanggung jawab Guru Penerima Sertifikasi Dalam Menggenjot SDM Pendidikan
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
Semua guru penerima tunjangan sertifikasi tentu harus bersyukur, karena negara telah mengucurkan dana sertifikasi buat mereka. Dari uang yang diterima mereka telah merasakan manfaatnya terutama dalam peningkatan kesejahteraan- sebagai tambahan gaji.
Jauh sebelum program sertifikasi tersebut diluncurkan, mungkin saat itu masih dalam tahap sosialisasi, sebahagian guru sempat berfikir tentang bagaimana wujud program sertifikasi tersebut. Apakah sertifikasi diberikan kepada segelintir guru yang memang dianggap professional, yang mana keprofesionalan mereka dibuktikan dengan serangkaian assessment yang valid dan terpercaya. Atau sertifikasi diberikan sebagai reward/ penghargaan kepada guru yang menang dalam seleksi, ya seperti seleksi guru berprestasi, guru teladan atau seleksi teacher of the year. “Wah kalau demikian pasti hebat, dan guru yang bersertifikat pasti memang guru yang ideal”.
Ternyata setelah itu program sertifikasi hanya dalam bentuk pemberian label sertifikasi terhadap guru secara massal, tanpa penilaian yang detail terhadap kualitas mereka: “guru santai atau rajin, guru berkualitas dan guru amburadul sama-sama dapat untung seritifikasi”. Sertifikasi kemudian menjadi berita hebat- menjadi angin segar- bagi guru. Dengan sertifikisasi guru akan sejahtera, dan pemberian sertifikasi sebagai tanda bahwa seorang guru telah menjadi guru professional, tidak percaya- coba lihat pin yang telah mereka terima. Namun apakah guru penerima sertifikasi telah mampu meningkatkan kualitas SDM pendidikan bangsa ini ?
Ternyata hampir semua guru mampu menerima sertifikasi dengan enteng, apalagi dengan adanya system quota. Dan ternyata para guru merasakan betapa mudahnya memperoleh label professional tersebut- apalagi setelah ada jaminan atau pelatihan dari universitas yang ditunjuk atau pusat diklat (pendidikan latihan) bagi sertifikasi guru yang seolah-olah sang guru telah berkualitas.
Kini pada beberapa media massa, sudah sering terbesit segelintir kekecewaan dan ketidak puasan. Mereka mengatakan bahwa: “ternyata program sertifikasi belum mampu meningkatkan kualitas pendidikan, ternyata program sertifikasi tidak berbanding lurus dengan mutu pendidikan, ternyata program sertifikasi hanya baru sebatas membuat guru rajin datang ke solah dan mencukupi jatah/ quota jam mengajar menjadi 24 jam perminggu”. Bagi guru yang tidak cukup jam mengajar 24 jam, maka mereka boleh melakukan pembelajaran lewat team teaching. Ada ada saja bahwa ternyata ditemukan juga guru- guru yang galir atau licik dalam memikul beban team teaching- sebagai persyaratan mengajar 24 jam per minggu. Katanya lagi melakukan team teaching, ternyata yang satu ngajar dan yang lain membolos, dengan cara rekayasa, maka mereka sukses membuat “tim kucing”.
Kenyataan di lapangan bahwa tidak ada jaminan guru yang memperoleh pin (emblem) sebagai guru professional atau guru penerima sertifikasi, apalagi telah menerima kucuran dana segar, bakal menjadi guru yang sungguh-sungguh kompeten. Yakni memiliki kompetensi paedagogi, kompetensi, social, kompetensi komunikasi dan kompetensi profesi. Juga tidak ada jaminan guru yang sudah pulang dari kegiatan diklat (pendidikan latihan) yang dipandu oleh doctor dan professional sekalipun bakal menjadi guru yang professional. Juga tidak ada jaminan bahwa guru yang melaksanakan proses pembelajaran secara team teaching bakal mampu meningkatkan SDM siswa.
Meningkatkan SDM siswa tidak segampang itu. Apalagi kalau sang guru tidak tahu dengan masalah motivasi belajar, minat belajar, model atau gaya mengajar. Tentu ada banyak hal. Andai ada dua orang guru yang sedang melakukan team teaching namun suasana kelas penuh dengan kecaman, bahasa menggerutu, mengeritik, maka jangan harap bahwa siswa akan termotivasi dalam belajar.
Walau guru penerima sertifikasi belum memperlihatkan kontribusi signifikan dalam peningkatkan SDM pendidikan, namun kita harap agar pemerintah tidak menghentikan program atau bantuan sertifikasi ini. Karena dana sertifikasi memang bermanfaat dalam meningkatkan kesejahteraan guru. Tapi mereka perlu pembinaan peningkatan mutu yang serius.
Persyaratan agar guru mampu menggenjot kualitas SDM anak didik adalah bahwa mereka sendiri harus memiliki kualitas diri yang tinggi. Dalam fenomena bahwa ternyata kualitas diri seorang guru belum ditentukan oleh sertifikat profesi yang mereka peroleh atau pelatihan professional yang mereka ikuti. Apalagi kalau mereka mengikutinya tidak sepenuh hati- asal-asalan saja.
Disinyalir bahwa seorang guru menjadi kurang menarik- belum mampu menjadi guru ideal di sekolah, karena mereka memiliki tiga kelemahan, yaitu: lemah dalam budaya membaca, lemah budaya diskusi dan lemah dengan budaya menulis. Kelemahan ini memang terbukti di lapangan.
Pergilah ke lapangan- ke sekolah sekolah, maka kita akan menemui bahwa tidak banyak guru yang tekun dengan membaca. Hitunglah berapa orang guru yang gemar membaca- walau hanya baru sebatas membaca majalah atau Koran, apalagi kalau membaca buku buku bermutu lainnya. Untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) hampir 90 % perpustakaan sekolah tidak diperdayakan- dibiarkan terkunci sepanjang hari. Ini berarti cukup banyak siswa SD yang tidak merasakan betapa indahnya membaca itu, pantaslah tidak begitu banyak anak yang kenal dengan nama majalah anak-anak.
Kalau begitu target membaca di SD hanya sekedar membuat siswa bisa membaca kalimat-kalimat pendek saja. Setelah siswa pandai membaca, mereka tidak pernah diajak dan dimotivasi untuk membaca buku lagi. “Ya bagaimana..., guru SD itu sendiri juga tidak merasakan betapa enaknya menjadi pembaca, guru-guru SD sendiri juga banyak yang alergi dengan bacaan- kalau membaca ya mataku segera berair”. Rapuhnya budaya membaca semakin berlanjut ke jenjang SMP dan juga oleh guru SMP, terus ke jenjang SLTA. Kita temukan cukup banyak guru guru SLTA dan juga para mahasiswa yang tidak menyukai membaca. Mereka cuma lebih betah main game lewat layar computer atau otak atik phone-cell, bukan berupaya bagaimana kualitas diri bisa meningkat.
Kalau mereka tidak pernah membaca dan amat jarang membaca, ya bagaimana mereka akan kaya dengan wawasan dan memiliki ilmu pengetahuan yang memadai buat diri sendiri dan bagi orang lain. Catatan yang ada pada dinding rumah puisi Taufiq Ismail di Kenagarian Aie Angek, di Lereng gunung Singgalang, dekat Padang Panjanang, mengungkapkan bahwa sekolah- sekolah di negara tetangga yang maju seperti Australia, New Zealand, dan Singapore selalu menugaskan siswa-siswi mereka agar membaca puluhan karya sastra per semester. Sementara aktivitas begini hampir nihil bagi pendidikan kita. Nah inilah penyebab rendahnya SDM kita, namun banyak orang yang kurang tertarik untuk mengekspose nya, atau mengajak “kembali membaca dan mengaktifkan kembali perpustakaan sekolah”.
Kelemahan kedua dalam pendidikan kita adalah bahwa budaya diskusi dan berdebat termasuk langka. Guru sebagai pendidik belum terbiasa dalam diskusi dan berdebat, mereka hanya terbiasa dengan debat kusir. Guru-guru yang tidak terbiasa dengan berdiskusi juga akan tidak tertarik dengan metode diskusi dalam pembelajaran. Mereka merasa sangat nyaman untuk mengajar dengan metode konvensional. Merasa gerah kalau ada siswa yang kritis dan banyak Tanya, “wah mulutmu bisulan ya ..., kerja kamu ngomong dan bertanya tidak karuan melulu”. Alpanya budaya berdiskusi dan berdebat telah membuat daya nalar guru dan budaya nalar anak didik menjadi lemah. Ini juga menjadi pemicu mengapa SDM anak didik cenderung rendah.
Akhirnya budaya lain yang juga alfa dalam pendidikan kita adalah budaya menulis. Sebenarnya seorang guru identik dengan figure intelektual. Ternyata sungguh banyak mereka yang tidak mampu dalam menulis. Menulis karya ilmiah, menulis proposal dan apalagi melakukan penelitian ilmiah adalah suatu hal yang mahal. Kini dalam musim kualifikasi pendidikan- bahwa semua guru harus memperoleh pendidikan strata satu. Maka dalam menyelesaikan skripsi yang cuma dalam bentuk penelitian tindakan kelas (PTK) mereka pun masih terlihat kasak kusuk dalam meramu tulisan yang mereka anggap ilmiah dengan metode copy paste. Masih sulit juga menyelesaikan PTK, ya terpaksa mencari cara aspal- asli tapi palsu.
Apakah mungkin guru-guru yang tidak terbiasa dalam menulis akan mampu menularkan kebiasaan menulis buat anak didik. Satu atau dua orang siswa di sekolah memang ada yang menyukai menulis. Mereka mampu menulis cerpen, puisi atau artikel ringan. Itu sebagian karena mereka terinspirasi oleh bacaan yang kebetulan berisi motivasi. Nah bagaimana kalau mereka memperoleh pasokan motivasi dari sang guru, pasti hasilnya sangat luar biasa.
Tidak perlu berputus asa bila guru guru- apalagi guru penerima sertifikasi belum memberikan kontribusi dalam meningkatkan SDM pendidikan kita. Namun mereka perlu mengubah pola pikir.
Ilham Mustafa (2011) telah menulis tentang arah pemikiran mahasiswa. Tulisannya dapat kita sadur untuk mengarahkan guru. Pertama, mereka perlu menciptakan budaya membaca, karena ada sloga yang berbunyi “dengan membaca kita genggam dunia. Mengapa Amerika dan Eropa bisa maju ? Karena penduduknya aktif membaca. Masyarakatnya rata-rata kutu buku. Penduduk Negara tersebut sudah menjadikan buku sebagai sahabat yang menemani mereka ke mana pun pergi. Ketika antre membeli karcis, menunggu kereta, di dalam bus, dan aktivitas lainnya, mereka tidak pernah lupa untuk menyempatkan membaca, dengan membaca mereka punya wawasan.
Kedua, guru perlu menciptakan tradisi diskusi. Budaya diskusi akan membuat guru menjadi lebih kritis dan bisa menguasai konsep. Ketiga, guru perlu menciptakan budaya menulis. Dengan menulis maka guru bisa mengatualisasikan pemikirannya. (note: Ilham Mustafa (2011) Arah Pemikiran Mahasiswa. Padang: Koran Singgalang, 16 Februari 2011).
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
Semua guru penerima tunjangan sertifikasi tentu harus bersyukur, karena negara telah mengucurkan dana sertifikasi buat mereka. Dari uang yang diterima mereka telah merasakan manfaatnya terutama dalam peningkatan kesejahteraan- sebagai tambahan gaji.
Jauh sebelum program sertifikasi tersebut diluncurkan, mungkin saat itu masih dalam tahap sosialisasi, sebahagian guru sempat berfikir tentang bagaimana wujud program sertifikasi tersebut. Apakah sertifikasi diberikan kepada segelintir guru yang memang dianggap professional, yang mana keprofesionalan mereka dibuktikan dengan serangkaian assessment yang valid dan terpercaya. Atau sertifikasi diberikan sebagai reward/ penghargaan kepada guru yang menang dalam seleksi, ya seperti seleksi guru berprestasi, guru teladan atau seleksi teacher of the year. “Wah kalau demikian pasti hebat, dan guru yang bersertifikat pasti memang guru yang ideal”.
Ternyata setelah itu program sertifikasi hanya dalam bentuk pemberian label sertifikasi terhadap guru secara massal, tanpa penilaian yang detail terhadap kualitas mereka: “guru santai atau rajin, guru berkualitas dan guru amburadul sama-sama dapat untung seritifikasi”. Sertifikasi kemudian menjadi berita hebat- menjadi angin segar- bagi guru. Dengan sertifikisasi guru akan sejahtera, dan pemberian sertifikasi sebagai tanda bahwa seorang guru telah menjadi guru professional, tidak percaya- coba lihat pin yang telah mereka terima. Namun apakah guru penerima sertifikasi telah mampu meningkatkan kualitas SDM pendidikan bangsa ini ?
Ternyata hampir semua guru mampu menerima sertifikasi dengan enteng, apalagi dengan adanya system quota. Dan ternyata para guru merasakan betapa mudahnya memperoleh label professional tersebut- apalagi setelah ada jaminan atau pelatihan dari universitas yang ditunjuk atau pusat diklat (pendidikan latihan) bagi sertifikasi guru yang seolah-olah sang guru telah berkualitas.
Kini pada beberapa media massa, sudah sering terbesit segelintir kekecewaan dan ketidak puasan. Mereka mengatakan bahwa: “ternyata program sertifikasi belum mampu meningkatkan kualitas pendidikan, ternyata program sertifikasi tidak berbanding lurus dengan mutu pendidikan, ternyata program sertifikasi hanya baru sebatas membuat guru rajin datang ke solah dan mencukupi jatah/ quota jam mengajar menjadi 24 jam perminggu”. Bagi guru yang tidak cukup jam mengajar 24 jam, maka mereka boleh melakukan pembelajaran lewat team teaching. Ada ada saja bahwa ternyata ditemukan juga guru- guru yang galir atau licik dalam memikul beban team teaching- sebagai persyaratan mengajar 24 jam per minggu. Katanya lagi melakukan team teaching, ternyata yang satu ngajar dan yang lain membolos, dengan cara rekayasa, maka mereka sukses membuat “tim kucing”.
Kenyataan di lapangan bahwa tidak ada jaminan guru yang memperoleh pin (emblem) sebagai guru professional atau guru penerima sertifikasi, apalagi telah menerima kucuran dana segar, bakal menjadi guru yang sungguh-sungguh kompeten. Yakni memiliki kompetensi paedagogi, kompetensi, social, kompetensi komunikasi dan kompetensi profesi. Juga tidak ada jaminan guru yang sudah pulang dari kegiatan diklat (pendidikan latihan) yang dipandu oleh doctor dan professional sekalipun bakal menjadi guru yang professional. Juga tidak ada jaminan bahwa guru yang melaksanakan proses pembelajaran secara team teaching bakal mampu meningkatkan SDM siswa.
Meningkatkan SDM siswa tidak segampang itu. Apalagi kalau sang guru tidak tahu dengan masalah motivasi belajar, minat belajar, model atau gaya mengajar. Tentu ada banyak hal. Andai ada dua orang guru yang sedang melakukan team teaching namun suasana kelas penuh dengan kecaman, bahasa menggerutu, mengeritik, maka jangan harap bahwa siswa akan termotivasi dalam belajar.
Walau guru penerima sertifikasi belum memperlihatkan kontribusi signifikan dalam peningkatkan SDM pendidikan, namun kita harap agar pemerintah tidak menghentikan program atau bantuan sertifikasi ini. Karena dana sertifikasi memang bermanfaat dalam meningkatkan kesejahteraan guru. Tapi mereka perlu pembinaan peningkatan mutu yang serius.
Persyaratan agar guru mampu menggenjot kualitas SDM anak didik adalah bahwa mereka sendiri harus memiliki kualitas diri yang tinggi. Dalam fenomena bahwa ternyata kualitas diri seorang guru belum ditentukan oleh sertifikat profesi yang mereka peroleh atau pelatihan professional yang mereka ikuti. Apalagi kalau mereka mengikutinya tidak sepenuh hati- asal-asalan saja.
Disinyalir bahwa seorang guru menjadi kurang menarik- belum mampu menjadi guru ideal di sekolah, karena mereka memiliki tiga kelemahan, yaitu: lemah dalam budaya membaca, lemah budaya diskusi dan lemah dengan budaya menulis. Kelemahan ini memang terbukti di lapangan.
Pergilah ke lapangan- ke sekolah sekolah, maka kita akan menemui bahwa tidak banyak guru yang tekun dengan membaca. Hitunglah berapa orang guru yang gemar membaca- walau hanya baru sebatas membaca majalah atau Koran, apalagi kalau membaca buku buku bermutu lainnya. Untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) hampir 90 % perpustakaan sekolah tidak diperdayakan- dibiarkan terkunci sepanjang hari. Ini berarti cukup banyak siswa SD yang tidak merasakan betapa indahnya membaca itu, pantaslah tidak begitu banyak anak yang kenal dengan nama majalah anak-anak.
Kalau begitu target membaca di SD hanya sekedar membuat siswa bisa membaca kalimat-kalimat pendek saja. Setelah siswa pandai membaca, mereka tidak pernah diajak dan dimotivasi untuk membaca buku lagi. “Ya bagaimana..., guru SD itu sendiri juga tidak merasakan betapa enaknya menjadi pembaca, guru-guru SD sendiri juga banyak yang alergi dengan bacaan- kalau membaca ya mataku segera berair”. Rapuhnya budaya membaca semakin berlanjut ke jenjang SMP dan juga oleh guru SMP, terus ke jenjang SLTA. Kita temukan cukup banyak guru guru SLTA dan juga para mahasiswa yang tidak menyukai membaca. Mereka cuma lebih betah main game lewat layar computer atau otak atik phone-cell, bukan berupaya bagaimana kualitas diri bisa meningkat.
Kalau mereka tidak pernah membaca dan amat jarang membaca, ya bagaimana mereka akan kaya dengan wawasan dan memiliki ilmu pengetahuan yang memadai buat diri sendiri dan bagi orang lain. Catatan yang ada pada dinding rumah puisi Taufiq Ismail di Kenagarian Aie Angek, di Lereng gunung Singgalang, dekat Padang Panjanang, mengungkapkan bahwa sekolah- sekolah di negara tetangga yang maju seperti Australia, New Zealand, dan Singapore selalu menugaskan siswa-siswi mereka agar membaca puluhan karya sastra per semester. Sementara aktivitas begini hampir nihil bagi pendidikan kita. Nah inilah penyebab rendahnya SDM kita, namun banyak orang yang kurang tertarik untuk mengekspose nya, atau mengajak “kembali membaca dan mengaktifkan kembali perpustakaan sekolah”.
Kelemahan kedua dalam pendidikan kita adalah bahwa budaya diskusi dan berdebat termasuk langka. Guru sebagai pendidik belum terbiasa dalam diskusi dan berdebat, mereka hanya terbiasa dengan debat kusir. Guru-guru yang tidak terbiasa dengan berdiskusi juga akan tidak tertarik dengan metode diskusi dalam pembelajaran. Mereka merasa sangat nyaman untuk mengajar dengan metode konvensional. Merasa gerah kalau ada siswa yang kritis dan banyak Tanya, “wah mulutmu bisulan ya ..., kerja kamu ngomong dan bertanya tidak karuan melulu”. Alpanya budaya berdiskusi dan berdebat telah membuat daya nalar guru dan budaya nalar anak didik menjadi lemah. Ini juga menjadi pemicu mengapa SDM anak didik cenderung rendah.
Akhirnya budaya lain yang juga alfa dalam pendidikan kita adalah budaya menulis. Sebenarnya seorang guru identik dengan figure intelektual. Ternyata sungguh banyak mereka yang tidak mampu dalam menulis. Menulis karya ilmiah, menulis proposal dan apalagi melakukan penelitian ilmiah adalah suatu hal yang mahal. Kini dalam musim kualifikasi pendidikan- bahwa semua guru harus memperoleh pendidikan strata satu. Maka dalam menyelesaikan skripsi yang cuma dalam bentuk penelitian tindakan kelas (PTK) mereka pun masih terlihat kasak kusuk dalam meramu tulisan yang mereka anggap ilmiah dengan metode copy paste. Masih sulit juga menyelesaikan PTK, ya terpaksa mencari cara aspal- asli tapi palsu.
Apakah mungkin guru-guru yang tidak terbiasa dalam menulis akan mampu menularkan kebiasaan menulis buat anak didik. Satu atau dua orang siswa di sekolah memang ada yang menyukai menulis. Mereka mampu menulis cerpen, puisi atau artikel ringan. Itu sebagian karena mereka terinspirasi oleh bacaan yang kebetulan berisi motivasi. Nah bagaimana kalau mereka memperoleh pasokan motivasi dari sang guru, pasti hasilnya sangat luar biasa.
Tidak perlu berputus asa bila guru guru- apalagi guru penerima sertifikasi belum memberikan kontribusi dalam meningkatkan SDM pendidikan kita. Namun mereka perlu mengubah pola pikir.
Ilham Mustafa (2011) telah menulis tentang arah pemikiran mahasiswa. Tulisannya dapat kita sadur untuk mengarahkan guru. Pertama, mereka perlu menciptakan budaya membaca, karena ada sloga yang berbunyi “dengan membaca kita genggam dunia. Mengapa Amerika dan Eropa bisa maju ? Karena penduduknya aktif membaca. Masyarakatnya rata-rata kutu buku. Penduduk Negara tersebut sudah menjadikan buku sebagai sahabat yang menemani mereka ke mana pun pergi. Ketika antre membeli karcis, menunggu kereta, di dalam bus, dan aktivitas lainnya, mereka tidak pernah lupa untuk menyempatkan membaca, dengan membaca mereka punya wawasan.
Kedua, guru perlu menciptakan tradisi diskusi. Budaya diskusi akan membuat guru menjadi lebih kritis dan bisa menguasai konsep. Ketiga, guru perlu menciptakan budaya menulis. Dengan menulis maka guru bisa mengatualisasikan pemikirannya. (note: Ilham Mustafa (2011) Arah Pemikiran Mahasiswa. Padang: Koran Singgalang, 16 Februari 2011).
Sabtu, 29 Januari 2011
Saatnya Bintang “INS Kayutanam 1926” Bersinar Terang Lagi
Saatnya Bintang “INS Kayutanam 1926” Bersinar Terang Lagi
Oleh: Marjohan, M.Pd
(Pencinta INS Kayutanam
dan Guru SMAN 3 Batusangkar)
Dalam masa sekolah dahulu, setiap kali melewati jalan raya Padang- Bukittinggi, maka yang selalu penulis ingat di kawasan lembah anai dan Kayutanam adalah dua hal, yaitu air mancur dan nama “INS Kayutanam 1926”. Pada komplek INS tertulis kata “Ruang Pendidik”. Dulu, dalam tahun 1980-an, komplek INS tidak begitu terawat dan tampak seakan-akan telah ditinggalkan oleh pemilik dan stakeholdernya.
Orang-orang awam tentu berfikir “Komplek apakah ini ? Bekas sekolah, gudang logistic atau pabrik peninggalan penjajah ?”. Orang-orang yang punya visi bisnis pasti memasang telinga kalau-kalau komplek tua dengan lahan luas bakal dilelang. Apalagi posisinya amat strategi yaitu di pertengahan jalan utama Padang- Bukittinggi, maka pasti mereka berebutan untuk memenangkan tendernya.
Memang benar bahwa “Ruang Pendidik INS Kayutanam 1926 adalah sebuah pabrik otak (baca sekolah)” yang pernah berjaya dan telah menghasilkan manusia-manusia jempolan di negeri ini. Sebut saja nama nama seperti “AA Navis, dan Muchtar Lubis- sang penyair, Bustanil Arifin, FA Moeloek- sang Menteri, Idraman Akmam- direktur BUMN, Djang Jusi dan Mucntar Apin- tokoh intelektual, dan lain-lain . Mereka adalah segelintir lulusannya yang diasah melalui komplek INS Kayutanam 1926 hingga menjadi permata yang bersinar terang.
Sekarang mereka ada yang sudah jadi almarhum dan juga banyak yang masih hidup. Pasti mantan murid INS Kayutanam 1926 yang masih hidup masih tahu banyak tentang figure ‘Engku Mohammad Syafei”. Mereka tentu masih bisa menjembatani fikiran Engku Syafei dengan generasi muda sekarang- kalau tidak tentuk ide dan filosof hidup Engku Syafei akan terputus. Maka selagi para mantan INS Kayutanam masih hidup, mereka patut menjadi key informan untuk mengumpulkan informasi seputar Engku Syafei hingga tergubah senarai fikiran dari Engku Syafei. Bila tidak “ya…nama Engku Sayafei akan menjadi kenangan indah atau malah dilupakan”.
Memang benar bahwa INS Kayutanam adalah pabrik otak. Dikatakan pabrik karena disana ada siklus belajar dan pembelajaran yang dimulai dari siklus “input-proses dan menghasilkan output-outcome’.
Kalau tidak salah, INS sudah berulang-ulang berganti nama. Pada mulanya bernama “Indonesia Nederlandische School”, kemudian menjadi “Institut Nasional Syafei”, dan sekarang menjadi “Institut Talenta Indonesia 2020”. Tentu ini semua punya dasar visi dan misi.
Perguruan Nasional Ruang Pendidik INS Kayutanam didirikan tahun 1926, oleh Engku Mohammad Syafei, memang bertujuan untuk mendidik siswa agar punya jiwa merdeka, aktif-kreatif, mandiri, beretos kerja tinggi, memiliki dasar berbagai ketrampilan/hard skill. Kalau siswanya lulus, maka mereka harus mampu hidup/mandiri (berjiwa entrepreneur). Mereka tidak mengemis pekerjaan kepada pemerintah- saat itu pada pemerintahan Belanda. Karena Engku Sjafei menyadari bahwa sistem pendidikan yang dirancang oleh Belanda pada saat itu adalah untuk mendidik bangsa Indonesia agar bekerja dengan pemerintah colonial Belanda. Yaitu bermental buruh- berkarakter pembantu- (sekali lagi) yang hanya bisa bekerja jadi pegawai Belanda.
Visi dari Engku syafei ini terrefleksi dari para lulusannya INS 1926 yang memang berjiwa kreatif, beretos tinggi, mandiri dan berjiwa merdeka. Saat menuntut ilmu di INS 1926, diperkirakan bahwa Arbi Samah, Nasrun AS, MUchtar Lubis tidak pernah berfikir menjadi PNS “Pegawai Negeri Sipil” pada saat itu. Namun karena etos belajar yang begitu dahsyad maka kemudian mereka menjadi budayawan hebat. Begitu pula dengan Djang Jusi, Mahyudin Algamar, Surkani, Zaini, Hasnan Habib, sebagai contoh, karena etos belajar yang tinggi, fikiran kreatif serta karakter endeavour (suka kerja keras dan serius) maka mereka menjadi orang terkemuka di negeri ini.
Zaman berubah dan perubahan social-pendidikan dan budaya pun terjadi. INS juga dilanda oleh perubahan. Seharusnya stakeholder INS Kayutanam 1926 selalu mengupdate diri- melakukan evaluasi: koreksi dan revisi. Namun Aditi Husni (Cucu Engku Muhammad Syafei), dalam emailnya pada penulis, menyadari bahwa pemiliki dan pengurus INS Kayutanam 1926 tidak / belum melakukan regenerasi tentang manajemen INS Kayutanam, dan baru sekarang terjadi revitalisasi INS walau agak terlambat. Tapi “better late than never”, biarlah terlambat dari pada tidak pernah sama sekali.
Andaikata INS tidak/ belum bisa berkembang pesat, itu bukan kesalahan Engku Muhammad syafei dan para penggantinya, tetapi itu adalah kesalahan kita. Tetapi tidak perlu untuk meratapi kesalahan. Maka yang tepat adalah “mari berbuat sesuai dengan kemampuan dan potensi diri masing-masing untuk sama-sama melakukan revitalisasi (menghidupkan kembali) pesona INS dan Fikiran Engku Muhammad Syafei ini.
Dalam dunia manajemen ada analisa “SWOT” yaitu “Strength- Weakness- Opportunity- Threatening”. Maka INS Kayutanam 1926 pun memiliki kekuatan dan kelemahan, kelebihan dan kekurangan. Kelebihan atau kekuatan INS Kayutanam 1926 adalah bahwa ia “memiliki alumni yang bernas dengan jumlah cukup banyak, berpotensi untuk memajukan melalui kekuatan financial dan akademik yang mereka miliki. Juga ia memiliki areal tanah 18 hektar”. Sehingga akan memberikan opportunity (kesempatan) untuk beraktivitas dan berkreativitas untuk ikut mencerdaskan anak-anak bangsa ini.
Kata Aditi Husni bahwa areal INS seluas itu sangat memungkinkan untuk melakukan berbagai usaha/kegiatan yang produktif. Tentu saja butuh pemikiran dan usaha bersama untuk "MAANGKEK BATANG TARANDAM" ini.
Ancaman dan kelemahan INS selama ini, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Dr F.A Moeloek dalam e-mailnya pada penulis adalah menemukan "kepemimpinan" dan "guru-guru"yang sesuai untuk "membangkikkan batang tarandam", untuk perguruan/sekolah tersebut, sesuai dengan filosofinya.
Penulis punya grup pada face-book yang judulnya adalah “Indonesia Cerdas” dengan anggota hamper 2000 orang. Kemudian berganti nama menjadi “Pencinta INS Kayutanam 1926”, sehingga anggota bertanya bertanya “Kenapa grup kita berganti nama ?”. Ya itu karena penulis juga terpanggil untuk ikut mensosialisasikan INS Kayutanam dan Pemikiran Engku Mohammad Syafei.
Ke dua nama di atas memiliki kekuatan nama “Engku Syafei dikenal sebagai tokoh pendidik yang berfikiran modern dalam zaman yang belum modern”. Pastilah beliau orang yang hebat, karena beliau tidak meningggalkan karya tulis sebanyak Buya Hamka (Alm) maka tugas kita para pengagum dan pencinta fikiran beliau untuk menulis dan mensosialisasikan idea tau opininya. Kemudian nama “INS Kayutanam 1926 juga sangat popular karena telah melahirkan lulusan berkualitas ibarat intan atau permata- namun prosesnya terjadi. Lulusan tersebut selalu tumbuh dan menjadi tua, sebagian masih hidup dan sebagian lagi telah berpulang. Karena alumni ini mengikuti proses pendidikan langsung dari Engku Mohammad Syafi, maka- sekali lagi- bahwa mereka layak menjadi sumber untuk mengupas tentang pilsafat hidup dan filsafat pendidikan dari Engku Mohammad Syafei.
INS Kayutanam 1926 masih eksist dan nama Engku Mohammad Syafei masih harum. Namun kedua nama ini perlu selalu diupdate- perlu sosialisasi total. Jaya selalu INS Kayutanam 1926 dan harumlah selalu pemikiran Engku Mohammad Syafei, hingga saatnya dan saatnya bintang “INS Kayutanam 1926” Bersinar Terang Lagi.
Senin, 03 Januari 2011
Catatan dari Oki Muraza
Catatan dari Oki Muraza
Assalamu'alaikum,
Pak Marjohan, baa kaba Pak...
Iko ada berita tentang ilmuwan Indonesia yg ada di luar negeri Pak....kebetulan ada nama murid dari Lintau :)
salam untuk keluarga Pak,
salam,
Oki
==
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2011/01/03/PDK/mbm.20110103.PDK135512.id.html
Berlian Yang Berserak
DEPRESI malah berbuah dua gelar doktor. Ketika posisinya sebagai direktur riset di Center for Advanced Research of Biomedical Engineering, Toin University, Jepang, dicopot pada 1998, Ken Kawan Soetanto sempat tersuruk dalam depresi.
"Berpikir keras sedikit saja langsung muntah-muntah," kata Ken Soetanto, 59 tahun, dua pekan lalu. Padahal Kenlah yang merintis dan membesarkan lembaga riset itu. Pulang kampung ke Surabaya, kota kelahirannya, membuat Ken hidup kembali. Ketika dia merasa terbuang, warga kota itu justru menyambutnya bak pahlawan.
Dia laris diundang ke pelbagai seminar sebagai sumber inspirasi. Setiap kali dia menjadi pembicara, kursi peserta tak pernah ada yang melompong. Sambutan warga Surabaya itu melecut kembali semangat hidup Ken. "Saya terpacu untuk membuktikan diri," kata Ken. Pada saat memulihkan diri dari depresi itulah, Ken malah kembali memburu gelar doktor.
Dua gelar doktor, yakni doktor farmasi dari Science University of Tokyo pada 2000 dan doktor pendidikan dari Waseda University tiga tahun kemudian, menambah panjang deretan gelar di depan namanya. Padahal sebelumnya Ken sudah menyandang dua gelar doktor dari dua kampus elite di Jepang, yakni doktor aplikasi rekayasa elektronika dari Tokyo Institute of Technology pada 1985 dan doktor ilmu kedokteran dari Tohoku University.
Sempat menjadi pengangguran selama beberapa tahun, Ken diangkat menjadi guru besar di Waseda University pada 2003. Bahkan dia menjadi dekan divisi hubungan internasional di almamaternya itu. Metode pendidikannya, Soetanto Effect, diadopsi oleh kampus-kampus di Jepang.
Semua itu didapat Ken dengan berdarah-darah. Kendati sudah mengantongi dua gelar doktor pada akhir 1980-an, tak berarti karpet merah sudah terbentang di depan mata. Ken sempat ditolak menjadi dosen di Jepang. "Padahal gelar doktor saya dari Tokyo Institute of Technology, MIT (kampus teknik terbaik di dunia)-nya Jepang. Semua itu hanya karena saya orang Asia," ujar Ken. Bukan dosen elektronika atau kedokteran sesuai dengan gelar doktornya yang disodorkan, Ken malah diminta mengajar bahasa Indonesia. Terang saja tawaran itu dia tolak.
Sempat putus asa tak kunjung mendapat kerja di Jepang, Ken mencari kerja ke Amerika Serikat. Selama lima tahun, Ken menjadi profesor di Drexel University dan Thomas Jefferson Medical School. Baru pada 1993, Ken kembali ke Jepang karena mendapat tawaran menjadi dosen di Toin University.
Memegang paspor hijau di tangan memang acap perlu usaha ekstra untuk menembus pekerjaan di perguruan tinggi atau lembaga riset di luar negeri. "Butuh usaha panjang untuk membuktikan bahwa orang Indonesia juga mampu dan pandai," kata Andreas Raharso, Kepala Riset Global Hay Group, perusahaan konsultan manajemen yang berkantor pusat di Philadelphia, Amerika Serikat.
l l l
Dalam peta ilmu pengetahuan dunia, Indonesia barangkali hanya noktah kecil yang tak masuk hitungan. Kampus top di negeri ini, seperti Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, atau Universitas Gadjah Mada, tak satu pun masuk daftar 200 kampus terbaik dunia versi Times Higher Education ataupun pemeringkatan Shanghai Jiao Tong University.
Peringkat kampus terbaik di Indonesia masih kalah dibanding perguruan tinggi negeri jiran seperti Chulalongkorn University, Thailand, atau Malaya University, Malaysia. Apalagi jika disandingkan dengan dua kampus terbaik di Singapura, National University of Singapore dan Nanyang Technological University. Kedua kampus ini selalu berada di peringkat atas perguruan tinggi terbaik di dunia.
Bukan berarti negeri ini benar-benar paria dan begitu miskin bakat hebat seperti Ken Soetanto ataupun Andreas Raharso. Selain yang bekerja di dalam negeri, jumlah ilmuwan Indonesia yang berserak di luar negeri tak sedikit. Saat ini ada sekitar 2.000 ilmuwan asal negeri ini yang bekerja di kampus atau lembaga riset di pelbagai negara. Mereka bagaikan berlian yang berserak. Dari Arab Saudi hingga Rusia. Di Amerika Serikat saja ada 321 ilmuwan dari negeri ini. Sebagian dari mereka yang terhimpun dalam Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional berkumpul di Jakarta selama tiga hari, pertengahan bulan lalu.
Mereka tak bekerja di lembaga riset atau kampus ecek-ecek. Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, misalnya, usianya baru 34 tahun ketika diangkat menjadi profesor dan kemudian mengepalai Laboratorium Pengindraan Jarak Jauh di Chiba University, Jepang. Padahal, seperti pengalaman Ken Soetanto, kampus di Negeri Matahari Terbit sangat sulit menerima dosen dari luar negeri. Karyanya berderet, di antaranya sensor circularly polarized synthetic aperture radar. Sensor Tetuko ini mengatasi kelemahan sensor observasi bumi generasi lama, mampu menembus awan, kabut, asap, bahkan kelebatan hutan.
Di bidang fisika ada Andrivo Rusydi, profesor di National University of Singapore; Ihsan Amin, peneliti di TU Dresden, Jerman; Profesor Romulus Godang di University of South Alabama, Amerika; dan Rahmat, fisikawan di University of Mississippi, Amerika. Juga Haryo Sumowidagdo, peneliti muda di Pusat Riset Nuklir Eropa. Sekarang Haryo menjadi anggota tim Compact Muon Solenoid. "Tugas kami mempelajari sifat-sifat partikel elementer hasil tumbukan energi tinggi di Large Hadron Collider," katanya. Dengan mempelajari bagaimana mereka terbentuk dan bereaksi, para ilmuwan dapat mempelajari bagaimana asal mula alam semesta.
Beberapa prestasi ilmuwan Indonesia dalam bidang kedokteran pun lumayan moncer. Taruna Ikrar, peneliti di Sekolah Kedokteran University of California, Irvine, berhasil mematenkan metode pemantauan aktivitas otak. "Saya di sini tak perlu rendah diri dibanding ilmuwan asli AS sekalipun," kata doktor dari Niigata University, Jepang, itu.
Bagi para ilmuwan asal Indonesia, lingkungan kampus ataupun lembaga riset di Amerika Serikat boleh jadi serupa dengan surga. Meski berasal dari Indonesia, Yow Pin Lim, peneliti di Sekolah Kedokteran Brown University kelahiran Cirebon, tak sekali pun pernah merasakan diskriminasi. Proposal penelitiannya mengenai protein inter-alpha inhibitor yang berpotensi menangani sepsis dan kanker sudah hampir tujuh tahun dibiayai lembaga riset kesehatan milik pemerintah Amerika (NIH). Dengan dana itulah Yow Pin Lim mendirikan perusahaan riset medis Pro Thera Biologics. "Kalaupun saya sekarang pulang ke Indonesia, mereka tidak akan menuntut uang itu kembali," ujar Yow.
l l l
Tak semata fulus-paling tidak demikianlah pengakuan mereka-yang membuat jenius Indonesia beterbangan ke negeri orang. "Saya tidak hanya mencari uang," Priyambudi Sulistyanto, Koordinator Program Asian Governance di Flinders University, Australia, menjawab lugas. Pendapatan dosen atau peneliti di luar negeri memang lumayan menggiurkan. Taruna Ikrar mengaku mendapat gaji sekitar US$ 6.000 atau Rp 54 juta per bulan, plus fasilitas perumahan.
Kesempatan untuk riset menjadi salah satu daya tarik. Di Indonesia kesempatan riset ini menjadi persoalan klise di perguruan tinggi. Dana riset yang begitu cekak menjadi halangan yang tak kunjung terselesaikan. Dana riset Institut Teknologi Bandung pada 2009, misalnya, hanya Rp 65,5 miliar. Hanya seujung kuku dibanding anggaran riset Johns Hopkins University pada 2007 yang menembus US$ 1,5 miliar atau sekitar Rp 13,5 triliun.
Belum lagi soal beban kewajiban mengajar. "Saya hanya mengajar sekali dalam satu semester," kata Andrea Peresthu, dosen di Departemen Urbanisme TU Delft, Belanda. Dia lebih banyak terlibat dalam penelitian masalah perkotaan di Amerika Latin dan Asia. Serupa dengan di Belanda, menurut Merlyna Lim, profesor di Sekolah Transformasi Sosial Arizona State University, Amerika, semakin produktif penelitian, beban mengajarnya juga semakin sedikit.
"Tapi saya akan tetap mengajar karena saya memang suka mengajar," kata Merlyna. Kebetulan pula, lulusan teknik arsitektur ITB ini dosen favorit mahasiswa di kampusnya. Salah satu mahasiswanya menulis, "Smart as a whip, funny as hell, gorgeous and so helpful."
Sapto Pradityo, Nur Khoiri
Dari Bahrain hingga Swedia
SUHENDRA
BAM, Jerman
JOHNY SETIAWAN
Max-Planck-Institute for Astronomy, Jerman
IHSAN AMIN
TU Dresden, Jerman
HALIM KUSUMAATMAJA
Max Planck Institute of Colloids and Interfaces, Jerman
YANUAR NUGROHO
University of Manchester, Inggris
SARYANI ASMAYAWATI
Cranfield University, Inggris
DESSY IRAWATI
Newcastle University, Inggris
ARIEF GUSNANTO
Leed University, Inggris
JULIANA SUTANTO
ETH Zurich, Swiss
SUHARYO SUMOWIDAGDO
CERN, Swiss
DARWIS KHUDORI
University of Le Havre, Prancis
MUHAMAD REZA
ABB Corporate Research, Swedia
YUDI PAWITAN
Karolinska Institutet, Swedia
GEORGE ANWAR
University of California, Berkeley, AS
TARUNA IKRAR
University of California, Irvine, AS
YOW PIN-LIM
Brown University, AS
MERLYNA LIM
Arizona State University, AS
OKI GUNAWAN
IBM Lab, AS
IWAN JAYA AZIZ
Cornell University, AS
ANAK AGUNG JULIUS
Rensselaer Polytechnic Institute, AS
MUHAMMAD ALI
University of California, Riverside, AS
TAUFIK
California Polytechnic State University, AS
NELSON TANSU
Lehigh University, AS
YANTO CHANDRA
University of Amsterdam, Belanda
ANDREA PERESTHU
TU Delft, Belanda
OKI MURAZA
King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi
YOGI A. ERLANGGA
Al-Faisal University, Arab Saudi
UGI SUHARTO
University College of Bahrain, Bahrain
HENNY SAPTATIA SUJAI
St Petersburg State University, Rusia
MEDY SATRIA
GE Global Research, Bangalore, India
YOHANES EKO RIYANTO
Nanyang Technological University, Singapura
JOHANNES WIDODO
National University of Singapore, Singapura
ANTON SATRIA PRABUWONO
Universiti Kebangsaan Malaysia
IRWANDI JASWIR
International Islamic University, Malaysia
KEN KAWAN SOETANTO
Waseda University, Jepang
KHOIRUL ANWAR
Japan Advanced Institute of Science and Technology, Jepang
VERONICA SUBARTO
Adelaide University, Australia
PRIYAMBUDI SULISTYANTO
Flinders University, Australia
MULYOTO PANGESTU
Monash University, Australia
Assalamu'alaikum,
Pak Marjohan, baa kaba Pak...
Iko ada berita tentang ilmuwan Indonesia yg ada di luar negeri Pak....kebetulan ada nama murid dari Lintau :)
salam untuk keluarga Pak,
salam,
Oki
==
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2011/01/03/PDK/mbm.20110103.PDK135512.id.html
Berlian Yang Berserak
DEPRESI malah berbuah dua gelar doktor. Ketika posisinya sebagai direktur riset di Center for Advanced Research of Biomedical Engineering, Toin University, Jepang, dicopot pada 1998, Ken Kawan Soetanto sempat tersuruk dalam depresi.
"Berpikir keras sedikit saja langsung muntah-muntah," kata Ken Soetanto, 59 tahun, dua pekan lalu. Padahal Kenlah yang merintis dan membesarkan lembaga riset itu. Pulang kampung ke Surabaya, kota kelahirannya, membuat Ken hidup kembali. Ketika dia merasa terbuang, warga kota itu justru menyambutnya bak pahlawan.
Dia laris diundang ke pelbagai seminar sebagai sumber inspirasi. Setiap kali dia menjadi pembicara, kursi peserta tak pernah ada yang melompong. Sambutan warga Surabaya itu melecut kembali semangat hidup Ken. "Saya terpacu untuk membuktikan diri," kata Ken. Pada saat memulihkan diri dari depresi itulah, Ken malah kembali memburu gelar doktor.
Dua gelar doktor, yakni doktor farmasi dari Science University of Tokyo pada 2000 dan doktor pendidikan dari Waseda University tiga tahun kemudian, menambah panjang deretan gelar di depan namanya. Padahal sebelumnya Ken sudah menyandang dua gelar doktor dari dua kampus elite di Jepang, yakni doktor aplikasi rekayasa elektronika dari Tokyo Institute of Technology pada 1985 dan doktor ilmu kedokteran dari Tohoku University.
Sempat menjadi pengangguran selama beberapa tahun, Ken diangkat menjadi guru besar di Waseda University pada 2003. Bahkan dia menjadi dekan divisi hubungan internasional di almamaternya itu. Metode pendidikannya, Soetanto Effect, diadopsi oleh kampus-kampus di Jepang.
Semua itu didapat Ken dengan berdarah-darah. Kendati sudah mengantongi dua gelar doktor pada akhir 1980-an, tak berarti karpet merah sudah terbentang di depan mata. Ken sempat ditolak menjadi dosen di Jepang. "Padahal gelar doktor saya dari Tokyo Institute of Technology, MIT (kampus teknik terbaik di dunia)-nya Jepang. Semua itu hanya karena saya orang Asia," ujar Ken. Bukan dosen elektronika atau kedokteran sesuai dengan gelar doktornya yang disodorkan, Ken malah diminta mengajar bahasa Indonesia. Terang saja tawaran itu dia tolak.
Sempat putus asa tak kunjung mendapat kerja di Jepang, Ken mencari kerja ke Amerika Serikat. Selama lima tahun, Ken menjadi profesor di Drexel University dan Thomas Jefferson Medical School. Baru pada 1993, Ken kembali ke Jepang karena mendapat tawaran menjadi dosen di Toin University.
Memegang paspor hijau di tangan memang acap perlu usaha ekstra untuk menembus pekerjaan di perguruan tinggi atau lembaga riset di luar negeri. "Butuh usaha panjang untuk membuktikan bahwa orang Indonesia juga mampu dan pandai," kata Andreas Raharso, Kepala Riset Global Hay Group, perusahaan konsultan manajemen yang berkantor pusat di Philadelphia, Amerika Serikat.
l l l
Dalam peta ilmu pengetahuan dunia, Indonesia barangkali hanya noktah kecil yang tak masuk hitungan. Kampus top di negeri ini, seperti Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, atau Universitas Gadjah Mada, tak satu pun masuk daftar 200 kampus terbaik dunia versi Times Higher Education ataupun pemeringkatan Shanghai Jiao Tong University.
Peringkat kampus terbaik di Indonesia masih kalah dibanding perguruan tinggi negeri jiran seperti Chulalongkorn University, Thailand, atau Malaya University, Malaysia. Apalagi jika disandingkan dengan dua kampus terbaik di Singapura, National University of Singapore dan Nanyang Technological University. Kedua kampus ini selalu berada di peringkat atas perguruan tinggi terbaik di dunia.
Bukan berarti negeri ini benar-benar paria dan begitu miskin bakat hebat seperti Ken Soetanto ataupun Andreas Raharso. Selain yang bekerja di dalam negeri, jumlah ilmuwan Indonesia yang berserak di luar negeri tak sedikit. Saat ini ada sekitar 2.000 ilmuwan asal negeri ini yang bekerja di kampus atau lembaga riset di pelbagai negara. Mereka bagaikan berlian yang berserak. Dari Arab Saudi hingga Rusia. Di Amerika Serikat saja ada 321 ilmuwan dari negeri ini. Sebagian dari mereka yang terhimpun dalam Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional berkumpul di Jakarta selama tiga hari, pertengahan bulan lalu.
Mereka tak bekerja di lembaga riset atau kampus ecek-ecek. Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, misalnya, usianya baru 34 tahun ketika diangkat menjadi profesor dan kemudian mengepalai Laboratorium Pengindraan Jarak Jauh di Chiba University, Jepang. Padahal, seperti pengalaman Ken Soetanto, kampus di Negeri Matahari Terbit sangat sulit menerima dosen dari luar negeri. Karyanya berderet, di antaranya sensor circularly polarized synthetic aperture radar. Sensor Tetuko ini mengatasi kelemahan sensor observasi bumi generasi lama, mampu menembus awan, kabut, asap, bahkan kelebatan hutan.
Di bidang fisika ada Andrivo Rusydi, profesor di National University of Singapore; Ihsan Amin, peneliti di TU Dresden, Jerman; Profesor Romulus Godang di University of South Alabama, Amerika; dan Rahmat, fisikawan di University of Mississippi, Amerika. Juga Haryo Sumowidagdo, peneliti muda di Pusat Riset Nuklir Eropa. Sekarang Haryo menjadi anggota tim Compact Muon Solenoid. "Tugas kami mempelajari sifat-sifat partikel elementer hasil tumbukan energi tinggi di Large Hadron Collider," katanya. Dengan mempelajari bagaimana mereka terbentuk dan bereaksi, para ilmuwan dapat mempelajari bagaimana asal mula alam semesta.
Beberapa prestasi ilmuwan Indonesia dalam bidang kedokteran pun lumayan moncer. Taruna Ikrar, peneliti di Sekolah Kedokteran University of California, Irvine, berhasil mematenkan metode pemantauan aktivitas otak. "Saya di sini tak perlu rendah diri dibanding ilmuwan asli AS sekalipun," kata doktor dari Niigata University, Jepang, itu.
Bagi para ilmuwan asal Indonesia, lingkungan kampus ataupun lembaga riset di Amerika Serikat boleh jadi serupa dengan surga. Meski berasal dari Indonesia, Yow Pin Lim, peneliti di Sekolah Kedokteran Brown University kelahiran Cirebon, tak sekali pun pernah merasakan diskriminasi. Proposal penelitiannya mengenai protein inter-alpha inhibitor yang berpotensi menangani sepsis dan kanker sudah hampir tujuh tahun dibiayai lembaga riset kesehatan milik pemerintah Amerika (NIH). Dengan dana itulah Yow Pin Lim mendirikan perusahaan riset medis Pro Thera Biologics. "Kalaupun saya sekarang pulang ke Indonesia, mereka tidak akan menuntut uang itu kembali," ujar Yow.
l l l
Tak semata fulus-paling tidak demikianlah pengakuan mereka-yang membuat jenius Indonesia beterbangan ke negeri orang. "Saya tidak hanya mencari uang," Priyambudi Sulistyanto, Koordinator Program Asian Governance di Flinders University, Australia, menjawab lugas. Pendapatan dosen atau peneliti di luar negeri memang lumayan menggiurkan. Taruna Ikrar mengaku mendapat gaji sekitar US$ 6.000 atau Rp 54 juta per bulan, plus fasilitas perumahan.
Kesempatan untuk riset menjadi salah satu daya tarik. Di Indonesia kesempatan riset ini menjadi persoalan klise di perguruan tinggi. Dana riset yang begitu cekak menjadi halangan yang tak kunjung terselesaikan. Dana riset Institut Teknologi Bandung pada 2009, misalnya, hanya Rp 65,5 miliar. Hanya seujung kuku dibanding anggaran riset Johns Hopkins University pada 2007 yang menembus US$ 1,5 miliar atau sekitar Rp 13,5 triliun.
Belum lagi soal beban kewajiban mengajar. "Saya hanya mengajar sekali dalam satu semester," kata Andrea Peresthu, dosen di Departemen Urbanisme TU Delft, Belanda. Dia lebih banyak terlibat dalam penelitian masalah perkotaan di Amerika Latin dan Asia. Serupa dengan di Belanda, menurut Merlyna Lim, profesor di Sekolah Transformasi Sosial Arizona State University, Amerika, semakin produktif penelitian, beban mengajarnya juga semakin sedikit.
"Tapi saya akan tetap mengajar karena saya memang suka mengajar," kata Merlyna. Kebetulan pula, lulusan teknik arsitektur ITB ini dosen favorit mahasiswa di kampusnya. Salah satu mahasiswanya menulis, "Smart as a whip, funny as hell, gorgeous and so helpful."
Sapto Pradityo, Nur Khoiri
Dari Bahrain hingga Swedia
SUHENDRA
BAM, Jerman
JOHNY SETIAWAN
Max-Planck-Institute for Astronomy, Jerman
IHSAN AMIN
TU Dresden, Jerman
HALIM KUSUMAATMAJA
Max Planck Institute of Colloids and Interfaces, Jerman
YANUAR NUGROHO
University of Manchester, Inggris
SARYANI ASMAYAWATI
Cranfield University, Inggris
DESSY IRAWATI
Newcastle University, Inggris
ARIEF GUSNANTO
Leed University, Inggris
JULIANA SUTANTO
ETH Zurich, Swiss
SUHARYO SUMOWIDAGDO
CERN, Swiss
DARWIS KHUDORI
University of Le Havre, Prancis
MUHAMAD REZA
ABB Corporate Research, Swedia
YUDI PAWITAN
Karolinska Institutet, Swedia
GEORGE ANWAR
University of California, Berkeley, AS
TARUNA IKRAR
University of California, Irvine, AS
YOW PIN-LIM
Brown University, AS
MERLYNA LIM
Arizona State University, AS
OKI GUNAWAN
IBM Lab, AS
IWAN JAYA AZIZ
Cornell University, AS
ANAK AGUNG JULIUS
Rensselaer Polytechnic Institute, AS
MUHAMMAD ALI
University of California, Riverside, AS
TAUFIK
California Polytechnic State University, AS
NELSON TANSU
Lehigh University, AS
YANTO CHANDRA
University of Amsterdam, Belanda
ANDREA PERESTHU
TU Delft, Belanda
OKI MURAZA
King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi
YOGI A. ERLANGGA
Al-Faisal University, Arab Saudi
UGI SUHARTO
University College of Bahrain, Bahrain
HENNY SAPTATIA SUJAI
St Petersburg State University, Rusia
MEDY SATRIA
GE Global Research, Bangalore, India
YOHANES EKO RIYANTO
Nanyang Technological University, Singapura
JOHANNES WIDODO
National University of Singapore, Singapura
ANTON SATRIA PRABUWONO
Universiti Kebangsaan Malaysia
IRWANDI JASWIR
International Islamic University, Malaysia
KEN KAWAN SOETANTO
Waseda University, Jepang
KHOIRUL ANWAR
Japan Advanced Institute of Science and Technology, Jepang
VERONICA SUBARTO
Adelaide University, Australia
PRIYAMBUDI SULISTYANTO
Flinders University, Australia
MULYOTO PANGESTU
Monash University, Australia
Langganan:
Postingan (Atom)
Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"
SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...
-
Semangat Eksplorasi Dan Kualitas Pendidikan Oleh. Marjohan M.Pd Guru SMA Negeri 3 Batusangkar Kata lain dari “eksplorasi” adalah menjelajah....
-
Orang Lintau Juga Bisa Jadi Doktor (Inspirasi dari pr...
-
Naskah Buku The Inner Changing-Perubahan Dari Dalam Diri Ditulis oleh : MARJOHAN M.Pd Guru SMA Negeri 3 Batusangkar, Kab. Tanah Datar, S...