Komunikasi Seorang Pemimpin: Bukan Memerintah Tetapi Bermohon
Oleh : ROSFAIRIL
Kepala SMAN 3 Batusangkar
Peranan seorang pemimpin sangat penting untuk keharmonisan suatu tatanan social atau organisasi. Seorang pemimpin memiliki banyak peran dan dua di antaranya adalah untuk : 1) menyelesaikan tugas untuk bisa mencapai target atau perencanaan, 2) memelihara hubungan yang efektif dengan bawahan dan juga membina hubungan baik sesama bawahan.
Berdasarkan poinh di atas terlihat bahwa seorang pemimpin perlu memiliki “kiat” dalam menjalankan perannya. Ia harus cerdas dalam menyelesaikan harapan/ tugas sesuai dengan target yang ditetapkan. Ia juga perlu memiliki kemampuan untuk membangun “jembatan hati” inter personal dalam organisasi yang dipimpinnya.
Pemimpin yang hanya pandai untuk menuntut target lebih tepat untuk hidup kembali di masa lalu (pemimpin yang otoriter). Sementara seorang pemimpin yang pro dengan kehidupan modern (pemimpin bergaya humanistik) perlu memiliki kemampuan untuk “merangkai keterpautan hati” dengan sesama dalam zona kepemimpinannya. Ia perlu menjaga suasana sehati atau “one heart situation”.
Mengapa sering terjadi konflik internal dalam suatu organisasi ? Konflik tersebut dapat menghambat percepatan pencapaian target yang diinginkan. Adalah fenomena di lapangan bahwa sering suatu organisasi sulit untuk mewujudkan tujuannya. Penyebabnya adalah ketidaksamaan paham di antara masing-masing personal. Kondisi awal pemicu adalah karena tidak tersambungnya jembatan hati satu sama lain. Kemudian mem dengan munculnya rasa “tidak senang” dengan sesama anggota dan selanjutnya berkembang rasa “saling mencurigai, saling menyalahkan, dan saling menjatuhkan”. Ini kemudian akan bermuara pada kehancuran suatu organisasi itu sendiri. Jika sampai pada titik klimaks, maka tamatlah riwayat peranan seorang pemimpin.
Seorang ahli tentang kemimpinan, Hildan Carol (1977), berpendapat bahwa seorang pemimpinan adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk mendorong sejumlah orang untuk bekerja sama dalam melaksanakan kegiatan yang terarah (mencapai tujuan bersama). Dari pengertian ini dan berdasarkan implementasinya di lapangan akan terlihat dua dimensi fungsi yaitu: pertama, dimensi yang berkenaan dengan tingkat kemampuan dalam mengarahkan (direction ability), dan kedua, berkenaan tingkat dukungan atau support atau keterlibatan orang yang dipimpin.
Dimensi dalam direction ability dapat dilihat pada kemampuan pemimpin untuk mendorong orang lain agar bekerja. Sementara dimensi support bawahan (dukungan dari orang yang dipimpin) sangat berguna dalam melaksanakan tugas pokok- terlihat dari bentuk kerjasama dalam melaksanakan kegiatan yang terarah demi mencapai tujuan bersama.
Dalam operasionalnya bahwa dimensi kepemimpinan akan terlihat dalam bentuk fungsi dari seorang pemimpin. Beberapa fungsi pokok dari kepemimpinan adalah: 1) fungsi instructif (memberi perintah), 2) fungsi konsultatif ( tempat bertukar pendapat), 3) fungsi partisipatif (pemberian kontribusi untuk mencapai tujuan), 4) fungsi delegasi (pelimpahan beberapa kewenangan pada anggota) dan, 5) fungsi pengendalian.
Strategi adalah langkah-langkah khusus untuk mencapai sasaran. Seorang pemimpin perlu memiliki strategi untuk mencapai sasarannya. Sekali lagi bahwa seorang pemimpin perlu peduli untuk membangun “keterpautan( jembatan ) hati” antar sesama anggota. Seorang pemimpin perlu memiliki strategi yang tepat untuk mewujudkan tujuan organisasi. Kesalahan dalam menempatkan strategi akan menimbulkan kegagalan dalam memimpin.
Dari pengalaman berorganisasi, bahwa “pemimpin yang lebih dominan menggunakan” fungsi instructif- yaitu serba gemar memerintah “tolong kerjakan ini…, tolong kerjakan itu, jangan lakukan ini…dan jangan lakukan itu” ketimbang menggunakan fungsi konsultatif, fungsi partisipatif serta fungsi delegatif, cendrung membuat dia menjadi pemimpin bergaya otoriter.
Tentu saja ada penekanan- penekanan sari setiap fungsi kepemimpinan tersebut. Pada fungsi intructif, pemimpin menitik beratkan kepada pencapaian tujuan, namun sering mengabaikan rasa humaniora (penghargaan rasa kemanusiaan). Pada hal kunci utama untuk mencapai tujuan yang diinginkan terletak bagaimana seorang pemimpin mampu membangun semangat (memotivasi) anggotanya untuk bekerja.
Pemimpin perlu memperlakukan karyawannya (anggota) sesuai dengan porsi dari tingkat keberadaannya. Pemimpin perlu untuk pandai menghargai orang lai- bawahannya. “Ya, hargailah sekecil apapun jasa dan hasil kerjanya. Sebab dengan cara demikian, orang akan melipatgandakan potensinya demi kepentingan bersama”.
Perlu diingat bahwa ini pula yang akan membawa pemimpin menjadi sukses dan hebat, Sukses, hebat dan pentingnya seorang pemimpin, sebenarnya bukan karena mengatakan dia orang hebat dan penting, namun karena ia mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan hebat dan juga mampu menjadikan orang/ anggotanya menjadi hebat. “Kesuksesan baru ada, kalau juga ada pengakuan aktualisasi kita sebagai pemimpin yang hebat”. Seyogiyanya seorang pemimpin harus memperlihatkan kepada orang yang dipimpin bahwa dia tetap berada dalam kontek “berpikir positif” dan “pro-aktif” dengan kemampuann yang dimilikinya. Hal ini dalam pandangan bawahannya akan memberikan kontribusi lebih positif. Citra positif pemimpin perlu di jaga agar ia selalu tetap berada di hati bawahan.
Tidak menjadi persoalan apapun bentuk lini kepemimpinannya dan apapun pekerjaan yang dikelola. Kesuksesan pemimpin sangat tergantung pada kemampuan untuk menjaga interaksi dengan orang lain (bawahan) secara efektif dan harmonis. Berkaitan dengan paparan tentang kepemimpinan, maka sebetulnya ada satu aspek atau skill seseorang yang belum mendapat perhatian penuh selama ini. Yaitu aspek assertiveness.
Assertivenes (keasertifan) maksudnya adalah kemampuan berbicara dan bertindak bertindak seseorang yang akan membuat orang lain merespon secara atentif (penuh perhatian) dan positif. Aspek- aspek ini sangat esensial dalam system kepemimpinan, namun sering terabaikan. Kunci pokok keberhasilan memimpin sebenarnya terletak pada aspek keasertifan. Pemimpin yang kurang mampu memancing respontif dari karyawannya akan mustahil dapat mengaktualisasikan diri dalam pekerjaannya.
Maksudnya bahwa pemimpin (top leader) harus mampu menggelitik sumber energi kerja dari karyawan/anggotanya sehingga mereka bisa terangsang untuk berpartisipasi- memberikan respon atas apa yang diinginkan oleh pemimpin. Sumber kekuatan tersebut pada hakikatnya terletak pada hati. Maka intinya adalah “jagalah ketersambungan hati” dan jangan buat jarak.
Beberapa “some do-s” dan “some don’t-s” atau beberapa suruhan dan larangan dari pemimpin terhadap karyawannya. “Selalulah membentengi hati karyawan dengan semangat yang menggebu-gebu. Sekali-sekali jangan sakiti hati mereka, buatlah karyawan menjadi rindu karena tidak bertemu dengan kita dalam satu hari. Jadikan ketersangkutan hati melekat dengan hati kita. Buatlah diri kita menjadi kebutuhan bagi mereka untuk berinovasi serta berimprovisasi dalam pekerjaannnya dan dengan keberadaan kita biarkan mereka berkembang sesuai dengan kodratnya sehingga mereka merasa tersanjung dan terhargai dengan demikian akan dilihat tumpukan energi pembangunan yang anya terselubung disudut hati yang paling dalam, ini akan membludak dengan dahsyat dalam bentuk produk sebuah pekerjaan”.
Terkadang pada saat tertentu, perasaan tidak mendapat perlakuan adil dari karyawan/angota yang tampil dengan pura-pura jatuh. Maka intinya adalah mohon berikan perhatian yang agak lebih padanya, seolah-olah ia berkata “ tolong bangkitkan saya…!”. Di sinilah kepiawaian seorang pemimpin dalam mencermati secara bijak prilaku berpura-pura tersebut. Hal yang juga sangat penting untuk dijaga adalah “hati dan perasaan bawahan jangan sampai terluka oleh perbuatan dan tindakan kita sebagai pemimpin, ini berguna agar bawahan selalu bersikap loyal”.
Jelas sudah bahwa keberhasilan seorang pemimpin bukan terletak pada banyak orang yang ikut dibawah kepemimpinannnya tetapi terletak pada berapa banyak orang loyal dengan yang dinginkannya. Keberhasilan pimpinan terletak pada berapa banyak orang yang loyal bukan pada banyak orang yang ikut, maka ini berarti bahwa keberhasilan kepemimpinan seseorang adalah seberapa jauh ia mampu memancing respon para anggota. Juga seberapa lama ia dapat menjaga interaktif secara harmonis.
Mengakhiri tulisan ini bahwa kepemimpinan secara hakiki adalah bukanlah memerintah namun menyembah- ibarat alur sembah yang diperankan oleh ninik mamak dalam masyarakat Minangkabau, yaitu memohon pada orang agar mau berbuat untuk kita. Dalam hukum social bahwa setiap permintaan berarti posisi tangan selalu berada di bawah, bukan di atas. Maka untuk itu para pemimpin harus pandai-pandai dalam menempatkan diri, yaitu jangan meminta dengan kesombongan, karena kesombongan tidak akan mengantarkan kita pada harapan. Sebaliknya akan membuat jarak lebih jauh dari keinginan.
Sebuah filosofi “alfatihah (surat alfatihah) bahwa untuk mengakses kepemimpinan dalam kehidupan sehari-hari, dengan jelas bahwa Allah Azza Wajalla telah menggambarkan dalam surat alfatiha “untuk sampai kepada permohonan, ada empat pujian yang dilakukan terlebih dahulu”. Kalimat “Ihdinasshirathal Mustaqiim- tunjukilah kami jalan yang lurus”, adalah didahului dengan beberapa pujian antara lain:
“Alhamdulillahirabbul Alamin, Arrahmanirahim, malikiyaumiddin dan iya kana’budu waiya kanast’iin”.
Semua kalimat tersebut adalah pujian pada Allah- Sang Khalik, padahal tanpa dipuji Sang Khalik tetap esa dan tetap mulia. Namun manusia yang sangat miskin dengan kasih sayang jika memohon “ya pandailah memuji terlebih dahulu” supaya apa yang diminta akan terkabul/ terbantu. Kepemimpinan yang dilandasi dengan gaya “membentak dan menghardik” akan membuat para anggota tidak menjadi hormat, melainkan akan bersikap tidak baik.
Pendapat ahli bahwa seorang pemimpin diterima oleh masyarakat, “80 % ditentukan oleh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritualnya”. Porsi kecerdasan intelektual hanya 20 %. Malah di Amerika Serikat fenomena tersebut mengalami sedikit pergeseran, yaitu bahwa “90 % kegagalan seorang pemimpin” dipengaruhi oleh perilaku buruk sang pemimpin.
Akhir kata, jadilah pemimpin yang amanah, sesuai dengan sunnatullah. Sebab siapapun yang kita pimpin (dalam kontek bagaimanapun) maka pertanggung jawaban akan tetap diminta oleh sang Khalik di Yaumil Mahsyar nanti. Nabi Muhammad Saw bersabda: “setiap kamu adalah pemimpin dan setiap apa yang kamu pimpin akan diminta pertanggung jawaban disisi Allah. Dalam memimpin jadikanlah Alquran sebagai tuntunan”. Moga moga para pemimpin member kontribusi untuk keharmonisan hidup masyarakat, amiin.