Tidak Zamannya Lagi Kalau Hanya Sebatas Cerdas Akademis
Oleh: Marjohan
Guru SMAN 3 Batusangkar
(http://penulisbatusangkar.blogspot.com )
Memperhatikan segemen berita di media massa yang sering berisi tentang tawuran, pertengkaran, kekerasan, pembakaran dan sampai pada perbuatan kriminal lain, membuat hati ini jadi teriris. Kita harus berfikir dan bertanya “apakah penyebab ini semua ?”. Apa masih terjadikah proses pembelajaran akhlah dan kebaikan di rumah, dalam masyarakat dan di sekolah (?). Fenomena yang dari kehidupan bahwa proses pendidikan, terutama pengajaran akhlak, dari sebagian orang tua pada anak tampaknya tidak sehebat zaman dahulu lagi.
Dalam zaman generasi dahulu, strategi pendidikan karakter/ akhlak adalah lewat pemodelan dan melibatkan anak secara langsung- anak terlibat langsung dan ikut berperan untuk berproses. Anak anak bisa mengurus rumah, meringankan beban orang tua, ikut aktivitas sosial dan mampu menerapkan tatakrama (bersopan santun) seperti yang dimodelkan oleh orang yang berumur lebih tua dan lingkungan sosial.
Agus Listiyono (2011) menyatakan bahwa fenomena pendidikan sekarang hanya sebatas membuat anak-anak cerdas secara akademik. Semua bentuk ujian yang diberikan oleh sekolah-sekolah hanya untuk melahirkan siswa untuk mengukur pintar secara akademik. Untuk menjadi cerdas secara akademik juga sudah diarahkan oleh SKL (standard kelulusan). “Belajarlah sesuai dengan SKL maka niscaya anda jadi hebat”. Namun kadang-kadang kecerdasan akademik tidak relevan dengan kehebatan menguasai nilai-nilai hidup yang lain, seperti “nilai sportivitas, senang kerja keras, sopan santun, suka kerja keras dan sikap heroik yang lain”. Ada anak yang jagoan dalam mata pelajaran (jago akademik) namun berkarakter egois. Orang tua sendiri perlu menumbuhkan kecerdasan nilai-nilai kehidupan buat sang anak.
Kita (para orang tua) dituntut oleh Sang Khalik (Allah Swt) agar bila meninggal dunia kelak, tidak meninggalkan anak-anak yang lemah: lemah akhlaknya, lemah ekonominya, lemah imannya dan lemah pendidikanya. Untuk merespon peringatan ini maka kita perlu melakukan antisipasi (menjawabnya) lewat pemberian pendidikan keluarga yang efektif. Oleh sebab itu para orang tua perlu untuk saling bercermin bagaimana menjadi orangtua yang efektif dan peduli pada pendidikan keluarga.
Majalah Swa Sembada (22 Januari-4 Februari 2009) muncul dengan edisi yang cukup spesial karena ia mengungkap perjalan sukses beberapa orang tua/ keluarga hingga sukses dalam membimbing anak-anak mereka. Majalah ini, misalnya, memaparkan bagaimana orang tua Sri Mulyani (mantan menteri keuangan RI tahun 2010) membesarkan anak- anaknya. Begitu pula dengan Sutan Takdir Alisjahbana (tokoh sastra pujangga baru), dan Soemarno (mantan Gubernur DKI tahun 1960).
Orang tua Sri Mulyani sangat menjunjung tinggi pendidikan. Untuk urusan profesi mereka menganjurkan pura-putrinya menjadi dokter, insinyur dan dosen. Alasanya bahwa ketiga profesi itu pada masa lalu sangat dihormati secara sosial. Mereka membesarkan anak-anak secara biasa-biasa saja, namun menekankan pendidikan keluarga atas tiga poin yaitu:
“Anak-anak didik untuk selalu bersama dan bersatu. Selain diajurkan jempolan dalam mata pelajaran di sekolah, anak-anak diarahkan untuk aktif dalam kegiatan di luar sekolah, seperti voli, basket, hiking, pramuka, palang merah remaja dan paduan suara. Kemudian membaca dijadikan sebagai kebiasaan atau hobi”.
Bacaan Sri Mulyani pada waktu kecil dan remaja adalah majalah Bobo, Si Kuncung, Gadis dan buku-buku non mata pelajaran. Orang tuanya juga memberi petuah agar anak-anak menjadi manusia yang tinggi tepo sliro (peka atau memahami lingkungan sekitar) dan juga hidup sederhana. Meja makan menjadi ajang menghangatkan keluarga dengan cara berkumpul dan berkomunikasi akrab. “Setiap anak menceritakan apa yang dialami dan orang tua juga menceritakan pengalaman mereka: soal rekan-rekan yang bermasalah, mahasiswa pintar atau yang bego, hingga anak anak secara tak langsung belajar tentang nilai moral”. Orang tua juga menjadi tempat bagi anak-anak untuk berdiskusi.
Children learn what they live- anak anak belajar melalui cara ia hidup. Jika mereka dibesarkan dalam permusuhan maka mereka belajar menjadi tukang berkelahi. Bila mereka diberi dorongan, maka mereka belajar menjadi percaya diri. Ya anak anak belajar pada kehidupannya. Dan kehidupan awal mereka adalah dalam keluarga, ini berarti bahwa melalui keluarga proses pendidikan berawal.
Sutan Takdir Alisyahbana (STA) sangat peduli dengan pendidikan keluarganya. Ia mengatakan bahwa anak anak harus bercita-cita menjadi orang yang luar biasa, dan orang tua adalah guru pertama dan utama bagi anak-anaknya. Sutan Takdir sendiri adalah guru (orangtua) yang hebat di mata anak- anak nya karena ia sebagai orang tua dengan multidimensi (memiliki banyak posisi) atau multi talenta (memiliki banyak kepintaran) bukan orang tua yang minim dengan wawasan dan mudah bersikap santai.
Dikatakan bahwa Sutan Takdir sebagai orang tua yang multi dimensi karena ia seorang sastrawan, seorang rektor, ketua himpunan filsafat, pemimpin pusat penerjemah nasional dan mendirikan sejumlah mass media. Ia memiliki keinginan yang sangat kuat untuk belajar banyak hal, mulai dari bahasa sampai pertanian. Ia selalu memacu semangat anak- anak untuk selalu berprestasi. Tidak boleh menjadi orang average (orang rata-rata atau orang kebanyakan). Anak tidak boleh bersantai-santai dan anak juga diajar menabung sejak kecil, ia sering berbagi cerita tentang kisah-kisah sukses dari tokoh hebat.
Kemudian, Hendarman Supandji juga menjadi sukses (dan menjadi Jaksa Agung RI , tahun 2009) karena didikan orang tuanya. Ia memegang teguh ajaran orang tuanya dan selalu menjaga kekompakan. Ayahnya paling tidak suka melihat orang yang pemalas dan perokok. Jam lima pagi anak anak harus bangun, sholat dan mandi. Meski orang tua punya fasilitas mobil, namun anak-anak harus mandiri dengan membawa sepeda kalau pergi sekolah. Orang tuanya selalu menekankan agar anak mengisi waktu dengan kegiatan positif- olah raga, musik dan melakukan hobi yang lain.
Soemarno (mantan Gubernur DKI tahun 1960) juga melahirkan anak-anak yang sukses di bidang masing-masing. Ia mengajar anak-anak untuk hidup sederhana, jujur, dan tidak memanfaatkan fasilitas untuk kepentingan sendiri, pendidikan juga harus dalam kerangka agama. Anak-anak diajar untuk tidak buang-buang waktu, pemalas, santai, harus suka kerja keras, tidak mudah minta tolong pada orang lain dan juga tidak membebani orang lain “Jangan menjadi beban bagi orang lain”.
Berdasarkan paparan tentang pengalaman orang tua sukses di atas, maka sekarang bagaimana dengan kondisi/ fenomena yang terjadi pada banyak sekolah dan praktek mendidik keluarga di rumah mereka ? Apakah anak-anak ada didik untuk selalu bersama dan bersatu ? Masihkan mereka dipacu agar selalu jempolan dalam mata pelajaran di sekolah ? Apakah anak-anak diarahkan untuk aktif dalam kegiatan di luar sekolah, seperti voli, basket, hiking, pramuka, palang merah remaja dan paduan suara ?. Kemudian, apakah membaca dijadikan sebagai kebiasaan atau hobi”. Pertanyaan tersebut patut menjadi referensi bagi rumah tangga dan bagi pendidik serta kepala sekolah di negeri ini.
Namun dalam kenyataan bahwa kita sering kurang peduli pada kualitas pendidikan anak, tidak pernah melihat catatan pelajaran anak. Penulis sendiri juga jarang melihat buku catatan dan buku pelajaran anak-anaknya. Tentu saja para orang tua perlu melakukan kebersamaan bersama anak dan berbagi cerita/ pengalaman melalui meja makan. Bukan malah menebar cercaan, kemarahan dan mengungkit- ungkit kesalahan anak serta menghunjani mereka dengan khotbah yang panjang.
Kalau selama ini sekolah dan orang tua cenderung bersikap berat sebelah dalam membentuk kecerdasan anak- maksudnya terlalu banyak menggiring anak-anak dalam menekuni bidang akademik. Maka kecerdasan social, emosi dan keterampilan (life skill) juga harus dikembangkan. Walau selama ini Kepala sekolah, atas anjuran stake holder pendidikan, cuma tahu berlomba untuk mengejar prestrasi akademik anak agar tinggi (kalau perlu dikurung dari pagi hingga sore agar belajar dan belajar- walau otot dan tubuh mereka selalu layu). Namun sekarang juga sediakan kesempatan bagi mereka untuk kegiatan “voli, basket, hiking, pramuka, palang merah remaja dan paduan suara”. Karena pada hakekatnya ini adalah untuk mencerdaskan bangsa secara utuh.
Kalau selama ini mayoritas Sekolah Dasar di negeri kita tidak memiliki perpustakaan atau tidak memanfaatkan perpustakaan, kini sekarang perlu untuk diperdayakan. Stake holder pendidikan harus mengerti dengan manfaat sebuah perpustakaan sekolah bagi kecerdasan dan pengembangan wawasan anak didik. Mereka harus sadar bahwa banyak anak-anak sekarang kurang mengenal nama-nama majalah, nama-nama pengarang dan tokoh-tokoh hebat lain, ya karena guru tidak memperkenalkannya. Pembenahan pendidikan di sekolah janganlah hanya terfokus pada sector fisik: membangun gerbang, mencat pagar, membuat merek- pokoknya sebatas merawat infrastruktur, tapi juga untuk pembangunan mental dan karakter siswa yang optimal.
Orang tua yang kita bicarakan tadi adalah orang tua yang multidimensi dan memiliki multi talenta. Mereka pantas melahirkan keluarga jempolan. Implikasinya bagi kita bahwa kita juga harus menjadi guru, orang tua yang memiliki multidimensi- paling kurang dalam mendidik keluarga. (Note: Agus Listiyono (2011) Pintar Akademik, Catatan Untuk Hardiknas 2011. Jakarta: Sekolah Islam (http://aguslistiyono.blogspot.com)