True Story:
Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri Perancis
By:
Marjohan Usman
Ranti Komala Dewi (Co-Writer)
Kata Pengantar
Membaca cerpen (cerita pendek),
novel ataupun kisah nyata merupakan hobbi
yang baik. Lewat kegiatan membaca akan diperoleh pengalaman pencerahan melalui
melalui alur-alur kisah yang dipaparkan dari awal hingga akhir.
Demikian pula dengan kisah nyata yang berjudul “Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri
Perancis”.
Kisah nyata ini agaknya juga tepat
disebut sebagai traveling book, karena
juga mengisahkan tentang tokoh utama (single figure) yang bernama Ranti Komala
Dewi dan sekaligus penulis collaborator
untuk kisah nyata ini. Kami menceritakan bagaimana liku-liku
kesulitannya dalam menempuh pendidikan,
merajut mimpinya menjadi kenyataan.
Kisahnya diharapkan bisa memberi
inspirasi dan motivasi bagi pembaca berusia muda mengenai perjuangannya- mulai dari desa kecil di kaki bukit, desa
Padang Ganting, dekat kota Batusangkar dan juga dekat dari Pagaruyung- Sumatera
Barat hingga menyelesaikan pendidikannya
di Universitas Sorbonne, metropolitan
Paris- Perancis. Kemudian, kami juga
mengisahkan bagaimana ia berjuangan untuk
berubah dari gadis desa yang pemalu dan kurang percaya diri hingga menjadi
wanita yang mampu menggapai mimpi dan merayakan kemenangannya disamping menara Eiffel Perancis, menara mimpinya saat
kanak-kanak.
Tidak ada gading yang tidak retak. Kisah nyata ini agaknya
ada kekurangan
dan butuh kritikan positif dari pembacanya. Kritikan positif dapat disampaikan
melalui email marjohanusman@yahoo.com. Atas
perhatian dari pembaca kami ucapkan
terima kasih.
Batusangkar, Desember 2011
Marjohan Usman
Ranti Komala Dewi (Co-Writer)
DAFTAR
ISI
BAB. 1 Sweet
memory dari Perancis
BAB. II Masa Kecil
BAB. III. Aku
Dalam Pandangan Orangtuaku
BAB. IV Menggapai
Masa Depan
BAB. V Menatap
Dunia
BAB. VI Bonjour Paris
BAB. VII Kuliah di Universitas Sorbonne
BAB VIII. Meneropong Istano Basa Pagaruyung Dari
Paris
BAB. IX Merayakan kemenangku di Eiffel
BAB X. Catatan
Ringkas Tentang Tinggal di Perancis
BAB. 1 Sweet memory dari Perancis
Welcome in Batusangkar
Tidak
terasa aku tiba lagi di tanah kelahiranku Padang Ganting- Batusangkar. Aku
seharusnya dijemput oleh keluarga ku- ayah, dan uni. Namun dalam kenyataan
bahwa aku tidak dijemput- tetapi aku menjemput. Aku menjemput mereka, ya karena
aku yang menunggu mereka lebih duluan di bandara Internasional Soekarno- Hatta,
Jakarta. Setelah mengurus beberapa hal, keesokan harinya kami naik pesawat lagi menuju Padang,
Sumatera Barat.
Tentu
saja memoriku tentang Perancis dan Paris masih hangat, karena kayaknya baru
kemaren aku berada di sana. Aku masih ingat bahwa aku mengalami banyak
pengalaman manis dan juga sejumlah keterbatasan hidup.
“ Ada penglaman menyenangkan dan juga
pengalaman susah, ya...banyak susahnya, apalagi aku termasuk warga baru di
sana. Aku menemukan beberapa hal cukup kontra dengan kondisi di kampungku sendiri- di Batusangkar. Dalam lingkungan keluarga aku bisa memperoleh
banyak kemudahan dan merasa hidup lebih
nyaman. Di Perancis semua suka dan duka musti dihadapi dan diatasi sendiri”
Kisah
nyata ini berjudul “Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri Perancis”. Tentu saja kisah
nyata ini berisi tentang ide-ide dan kisahku dari A sampai Z, dari Padang
Ganting, sebuah desa kecil dekat Batusangkar, hingga ke Menara Eiffel di
Perancis. Aku juga akan memaparkan eksistensi Istano Basa Pagaruyung
dan Eiffel itu sendiri.
Eiffel dan Istano Basa Pagaruyung adalah dua situs sejarah yang sangat terkenal
di dunia yang berada di dua negara dan dua budaya yang amat berbeda. Eiffel
dibangun oleh ahli arsitektur beberapa
abad silam dan Istano Basa Pagaruyung
dibangun oleh masyarakat melalui sistem adatnya. Dalam membangun
Rumah Gadang di nagari
Pagaruyung tidak hanyak sebatas
masalah duit, tetapi juga melibatkan unsur adat, dan ninik mamak (kaum
kerabat dalam suku). Mereka melaksanakan
seremoni adat, musyawarah dan selanjutnya juga melibatkan sumbangan kaum
kerabat.
Dari
Perancis aku memahami betapa besarnya sumbangan keluarga kerajaan Pagaruyung
itu sendiri untuk lokasi pembangunan Istano Basa Pagaruyung itu sendiri.
Sehingga akhirnya di sana bisa berdiri sebuah Rumah Gadang atau Istano Basa
Pagaruyung yang melambangkan bangunan kebudayaan Minangkabau. Sekali lagi bahwa
bangunan ini bisa berdiri berkat kerja sama pemerintah- kaum adat dan
masyarakat Minangkabau dari berbagai daerah di negeri ini. Sementara itu Eiffel
dibangun hanya atas nama ahli yang bernama Gustave Alexandre
Eiffel tahun 1889.
Aku
berasal dari desa kecil dekat Batusangkar, yaitu Desa Padang Gantiang. Di sana
aku tumbuh. Kata papa bahwa waktu kecil terlihat lugu dan amat pemalu. Papa dan
mama selalu memotivasiku untuk menjadi
gadis yang berani, hingga aku bisa melepaskan
“topeng malu” itu sendiri.
Kalau aku runut kembali
tentang perkembangan pribadiku, dari
orang pemalu hingga bisa jadi berani, aku
merasa hal itu sebagai hal yang incredible
(suatu hal yang cukup luar biasa). Aku mulai dari zero dan bisa menjadi new
hero, paling kurang untuk kaum perempuan atau orang-orang di daerah pinggir di
negeriku- Padang Gantiang. Sebenarnya
kisah perjalan hidupku yach ..... biasa- biasa saja.
Jujur
saja, kalau aku renungkan kembali perjalanan ini “until I get master”
dalam bidang ilmu pengetahuan dari Universitas Sorbone- sebuah Universitas yang
sangat terkemuka di Eropa dan malah juga terkemuka di dunia “Wow...I feel it
very amazing”. Aku rasa bahwa perjalan hidupku dari awal hingga sekarang pastilah
tidak mudah bagiku untuk mencapainya. Aku melakukan banyak usaha dan pengorbanan.
Aku memperoleh banyak dorongan dari keluarga.
Setiap kali aku “down”- ya aku bisa ambruk” maka pasokan semangat dan energi
motivasi dari mereka sungguh sangat berarti. Aku selalu memperoleh support dari
mereka.
Support itu sendiri
tidak diperoleh dengan serta merta, pasti
berawal dari kegagalanku dan baru
muncul support mereka. Ada stimulus maka ada pula response.
Master Degree yang aku peroleh di
Sorbone Universite sekarang adalah kumpulan dari serangkaian jerih payah yang
telah aku lakukan dan aku lewati. Aku sekarang sangat appreciate atas perjalanan hidupku sendiri.
Proses
Panjang
Sebelum
mendapatkan degree of master di universitas Eropa ini, aku sebelumnya harus
melewati proses pendidikan dari SD, SMP dan SMA di desa kecil di Pinggiran
bukit dekat Batusangkar. Kemudian aku
melangkah menuju Universitas Andalas di Padang, terus ke Universitas Udayana,
di Denpasar- Bali, dan selanjutnya aku terbang melintasi benua menuju Sorbone
di Jantung Eropa.
Dalam tesis studiku di Sorbone- aku menyatakan bahwa keberhasilan
itu aku persembahkan buat mereka: kedua orangtua ku yang tercinta, juga
keluarga dan kerabatku, serta tidak ketinggalan pula dukungan dari banyak orang
dari kampung dan kampusku.
Aku
masih ingat bahwa saat aku baru saja selesai ujian mempertahankan tesis, aku
merasa tidak sabaran untuk mengirim SMS ke berbagai orang yang amat berjasa padaku
“Hai....terimakasih...atas doa, dukungan kalian, lewat
pertolonganmu...aku baru saja selesai memperoleh master , Alhamdulillah”. Appresiasi ini aku
lakukan bahwa aku bisa begini ya karena
dukungan dan dorongan dari mereka.
“Aku
bisa begini bukan karena usahaku semata tapi adalah berkata dukungan
orangtuaku...sahabatku....familiku....orang orang yang begitu ikhlas pada ku”.
Appresiasi ini tak mungkin aku wujudkan dengan uang, namun dengan rasa syukurku
yang begitu mendalam pada Tuhan dan rasa
terimakasih yang tulus pada mereka-mereka yang amat aku cinta.
Ya pada hari H tersebut
aku sibuk SMS-SMSan hingga larut malam “I finish my study...I finish my study,
merci beaucoup pour tout”.
Seminggu
setelah berada lagi di kampungku, ya aku sempatkan untuk berbagi cerita dan berbagi pengalaman dengan
para siswa SMA Negeri 1 Padang Ganting dan SMA Negeri 3 Batusangkar. Aku diberi
kesempatan untuk mempresentasikan penglaman belajarku from Batusangkar hingga Eiffel atau
Perancis. Aku tetap bersemangat walau para siswa tengah berpuasa dan tampak
sedikit mengantuk, karena aku bersemangat maka semangatku juga menular pada
mereka. Aku ingin mereka juga bisa mengikuti jejak studiku dari Batusangkar
hingga ke Sorbone.
Sebenarnya
bagi siswa yang belajar di kaki bukit dekat Batusangkar, untuk bisa menembus
pendidikan di Universitas favorite di Indonesia- seperti di Universitas
Indonesia, ITB, Unpad, UGM...sungguh sungguh amat sulit, apalagi untuk menuju
Sorbone. Namun aku mengatakan pada mereka kalau dulu bagiku menuju Sorbone
adalah amat mustahil...ya karena saat itu banyak keterbatasan. Maka kini dengan
kemudahan berbagai tekhnologi informasi “Internet bisa diakses melalui phonecell di tangan”. Maka aku yakinkan
mereka bahwa hal-hal yang tidak bisa akan bisa menjadi luar biasa. “Kuncinya adalah ketekunan ,
motivasi dan percaya diri”.
Aku
juga berbagi motivasi kepada mereka, “Kalau sekarang infomasi buat sukses sudah
cukup banyak, bisa diperoleh secara langsung dari orang orang yang datang
sebagai pelaku sukses dari universitas. Juga bisa diperoleh lewat internet
dengan akses yang begitu mudah. Nah sekarang mengapa tidak mencoba untuk menuju
sukses..mengapa musti takut....mengapa musti ragu”.
Aku
mensupport para junior tersebut “Ya coba
lihat aku sekarang...kok aku bisa..!” Pada hal di zaman aku sekolah SMP dan SMA
akses menuju ibukota kabupaten begitu sulit, aku harus menunggu mobil yang
bermerek STS yang warnanya merah hampir satu atau dua jam, itupun untuk pergi
les Bahasa Inggris yang berlokasi dalam kota kecil, Barusangkar.
“Namun kamu sekarang
begitu mudah, kamu udah punya transpor sepeda motor..atau paling kurang
naik ojek yang siap mengantarkan kamu kapan saja. Seharusnya kamu akan jauh
lebih sukses dari saya”.
Aku
sebagai tokoh dalam kisah nyata yang berjudul “Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri
Perancis”. Andai tokohnya adalah seorang
cowok maka itu hal yang biasa. Atau andai aku sebagai tokoh perempuan yang berasal dari metropolis bisa sukses dalam pendidikan sampai di
Sorbone, maka itu juga hal biasa. Namun
aku adalah tokoh seorang perempuan kampung,
yang berasal dari pinggir bukit dekat kota kecil pula- kota Batusangkar,
dan waktu kecil akupun sebagai perempuan kecil yang amat pemalu, namun kemudian
melalui serangkaian perjalanan panjang yang penuh perjuang hingga bisa
menyelesaikan pendidikan master pada Sorbone, lebih cepat dari target, maka aku
sebagai tokoh akan menjadi luar biasa.
Aku
rasa bahwa kisah nyata “Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri Perancis” ini akan
sarat dengan pesan-pesan buat pembacanya. Intinya bahwa pembaca peduli selalu dengan emansipasi perempuan’
“Bahwa perempuan harus selalui bangkit untuk pendidikan. Perempuan desa
sekalipun- jangan kehilanghan semangat dan mudah putus asa, jangan terlalu
banyak lagi mengkhawatirkan atas keterbatasan
diri sendiri”.
Dulu
orang memang banyak mengkhawatirkan anak perempuan untuk studi ke tempat yang
jauh. Orang tua cemas kalau anak
perempuan mereka tidak mampu
hidup...cemas kalau anak perempuan
bakal ditimpa kesusahan dan bencana. Yang ditanamkan pada diri anak perempuan
adalah rasa takut dan rasa cemas.
“Wah mama takut kamu bakal diganggu
orang....mama takut kamu bakal kelaparan dan sakit”, dan akhirnya anak perempuan akan tumbuh jadi
kerdil.
Seharusnya anak perempuan juga harus “Keep struggle- tetaplah berjuang
hidup” sebagaimana halnya semangat anak laki-laki.
“Mengapa anak laki-laki diizinkan dan diberi
kepercayaan untuk belajar ke ibukota propinsi dan malah sampai ke universitas
favorite di Pulai Jawa. Kalau begitu
anak- anak perempuan juga perlu memperoleh kesempatan dan hak seperti itu
(?)”
Sebenarnya
perjalanan dan perjuanganku juga sarat dengan
keraguan yang datang dari famili dan kedua orang tuaku. Namun aku sudah
memilihki pagar- pagar atau rambu-rambu
mengenai kehidupan. Aku mengerti
tentang “some do’s dan some dont’s (beberapa hal yang aku boleh lakukan dan
beberapa hal yang musti aku hindari)”.
Apa yang boleh dan apa
yang tidak boleh dilakukan oleh seorang gadis asal Minangkabau- atau wanita
timur. Intinya aku tetap memakai aturan agama dan nilai sopan santun sebagai
orang timur.
“Aku
harus berada dalam pagar tersebut. Kalau
aku lompat pagar maka aku khawatir kalau ada buaya- ada celaan.
Maksudnya kalau di negeri ku hidup itu musti ada tata krama timur,
sedangkar di Eropa mereka menganut kebebasan yang sangat bebas dalam
bertindak”.
Usahaku untuk bergerak dari perempuan kecil
yang terbatas dengan wawasan, memiliki
rasa percaya diri yang rendah...ya melalui serangkaian usaha. Aku sering jatuh
dan bagun. Ketika aku jatuh atau gagal maka aku tidak perlu meratapi kegagalan itu.
Aku harus segera bangkit atau bangun. Jatuh
dan bangun dalam perjuang untuk meningkatkan kualitas diri dengan melalui serangkaian “move on- selalu
bergerak dan berusaha”.
Bukan menunggu dan
berdiri dengan penuh ragu-ragu, apalagi tanpa percaya diri. “Kalau gagal ya
jangan patah hati...ayo coba lagi dan
bangkit lagi !!!”.
Larangan
dan dorongan dari keluarga aku rangkum menjadi resep hidup buatku selama dalam
perjalanan hidup di rantau orang. Ternyata sangat dahsyat bagiku dalam menuntun
diri sendiri.
Aku menyedari bahwa
kemampuan akademikku saat di SMP dan SMA masih sebatas rata-rata. Di SMA dulu
aku bukan termasuk siswa yang memperoleh juara umum, aku malah tercatat sebagai
siswa yang cuma rangking empat besar di
kelas. Namun kemudian aku sadar dan banting stir, bahwa aku harus hebat dalam
bidang akademik namun tidak perlu terlalu kutu buku. Maka aku juga
aktif dalam organisasi sekolah- juga aktif dalam kegiatan masyarakat di
sekitar rumahku.
Sekali
lagi bahwa saat aku di SMA, prestasiku tidak begitu cemerlang, tidak seperti
adik dan kakakku. Mereka pernah menjadi student teladan- atau sekarang dikenal
dengan istilah “siswa berprestasi” di sekolah. Terus terang saat itu figurku
adalah kakakku. Akhirnya melalui figur dari kakak, semangat suksesku bisa
update lebih baik.
Dengan menyadari segala keterbatasanku- keterbatasan
sebagai konsekuensi tinggal di kampung, yang notabenenya miskin dengan
informasi dan ilmu pengetahuan, keterbatasanku dalam bidang akademi yang cuma
rata-rata (sebagai siswa yang hanya biasa biasa saja). Sebagai anak kampung,
aku cuma sibuk dengan eksplorasi namun miskin dengan outlook (pandangan keluar)
hingga batu loncatan buat suksesku kurang bagus.
Walau
aku memiliki batu loncatan yang kurang bagus, namun dalam membidik sukses aku
menggunakan strategi yang aku sebut sebagai “pandai-pandai dalam melihat
peluang”. Kita pengen ke sana tetapi
kita tidak bisa, kita melihat rumput tetangga lebih hijau, dan kita berfikir
bagai rumput di daerah mereka bisa hijau. Ya bagaimana aku bisa sukses kayak
tetangga dan itu membutuhkan juga banyak peluang. Untuk memperoleh batu
loncatan yang bagus ya perlu banyak trik trik yang hebat yang musti juga aku
lakukan.
Sekali
lagi, kalau aku runut kebelakang, aku kagum sendirian bahwa ternyata aku cukup hebat dalam mendisiplinkan waktu
buat belajar dan buat melakukan serangkaian aktivitas. Hingga sekarang aku bisa menjadi pribadi yang lebih
baik dan memiliki gelar edukasi dari
Perancis. Walaupun itu belum apa-apa
dibandingkan dengan mereka yang
sudah memperoleh Doktor dari sana. Namun bagiku sebagai perempuan yang tulen
besar di kampung, gelar akademis yang demikian
maknanya sudah amat luar biasa.
Remaja
Perlu Punya Mimpi
Apa sih
mimpiku buat masa depan ? Melalui kisah
nyata Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri Perancis ini aku ingin para remaja untuk memiliki mimpi- yaitu memiliki
cita-cita buat masa depan mereka.
Aku juga ingin memaparkan
beberapa mimpi atau keinginanku. Aku ingin berbagi cerita agar kaum perempuan,
termasuk yang berada di daerah pinggir,
agar bisa melakukan move on. Sekali lagi bahwa mereka harus melakukan MOVE ON,
yaitu bergerak, berusaha, berkarya dan belajar selalu. Jangan statis, beku
apalagi serba pasif.
Aku
sebagai tokoh dapat dikatakan sebagai perempuan yang pada mulanya ultra kampung
yang sering menemui banyak kekagetan atau
cultural- shocked. Aku sudah memperoleh comparison (perbandingan) antara timur dan barat melalui pengalaman hidup selama tinggal
di Paris.
Aku jadi mengerti bahwa “ternyata sistem pendidikan yang bagus
seperti ini... tidak hanya membebek padas guru, tidak hanya nrimo saja”.
Aku juga memperoleh
studi di bidang pariwista maka aku berani mengungkapkan bahwa “pariwisata kita
jauh lebih bagus dari pariwisata Perancis itu sendiri”. Namun problemnya adalah
pengelolaan pariwisata kita sangat kurang....jauh lebih kurang dibandingkan
Perancis.
Pengembangan pariwisata
kita tampaknya masih tergantung dari sistem proyek. “Kalau tidak ada proyek
maka asset wisata yang begitu eksotik dibiarkan sia-sia saja hingga tidak
berjalan lagi”.
“Pembangunan
dan pengelolaan wisata Perancis bersifat kontinue sepanjang waktu. Mereka telah
membuat kalender event wisata begitu detail. Mengapa demikian....ya karena
wisata mereka sudah bien organisee (well
organized). Pengembangan pariwisatanya terlaksana secara desentralisasi
yang profesional. Sekali lagi- kalau pengembangan pariwisata kita terkesan berdasarkan proyek secara desentralisasi”.
Aku
juga ingin menyampaikan kepada para ABG- anak baru gede atau para remaja
sebagai pembaca buku dan bacaan lain yang terhebat di dunia. Para ABG adalah orang
orang yang memiliki kemampuan dan semangat yang lebih besar di bandingkan
kelompok generasi yang lain. Di mana- mana ada aktivitas pasti para ABG
menempati porsi yang lebih banyak. Konsert musik dan event olah raga selalu penuh oleh dukungan remaja (ABG).
“Karena ABG memiliki semangat yang gede maka
aku berharap agar mereka memanfaatkan semangat tersebut untuk hal-hal yang
positif untuk menuju masa depan. Dengan memiliki sebuah masa depan maka cobalah untuk move on bersama mimpi itu. Mimpi
tersebut dapat diwujudkan melalui semangat”.
Aku
fikir bahwa para ABG perlu berfikir untuk jangka panjang.....untuk masa depan. Arah
visi mereka kemana ? Untuk pengembangan visi...ya perlu rencana jangka panjang.
Visi jangka panjang perlu didukung oleh banyak ilmu pengetahuan. Untuk itu
mereka perlu membaca yang harus ekstra
banyak. Mereka harus cari tahu tentang isue-isue tentang dunia 20 atau 30 tahun
ke depan dan jangan hanya bersikap
apatis.
Sebagian
remaja memang ada yang
belum punya mimpi. Begitu ditanya tentang masa depan, mereka banyak menjawab “I don’t know...I
don’t know”.
Penyebanya adalah remaja
sekarang hidupnya serba gampang. Mereka selalu merasa keenakan. Alam juga
membuat mereka jadi manja. Akibatnya mereka cenderung berkata “wah esok itu
akan ngampang aja”.
Contohnya
kalau mereka berhalangan untuk hadir, untuk menyampaikan problem juga gampang.
Cukup telepon aja atau kirim SMS ...ya beres. Kalau dulu untuk memberi khabar
harus kirim surat dan mencari orang untuk mengantarkan surat tersebut.
Problemnya lagi bahwa teman itu sendiri jaraknya jauh, kita harus jalan. Sekali
lagi kalau sekarang kita bisa naik ojek atau kasih telpon, jadi hidup begitu
enak dan tantangan hidup jadi kurang.
Fasilitas yang serba
mudah bisa membuat orang kehilangan motivasi untuk jadi maju. Aku melihat
fenomena tersebut. Setelah itu yang membuat para ABG susah untuk move on adalah
karena kurang terbiasa untuk mandiri “semua
serba di bantu, makan dihidang, pakaian disetrikakan, kebutuhan yang lain
disediakan...mereka minim usaha dan minim pengalaman hidup”.
Karena aku sudah punya
pengalaman hidup di Eropa, aku bisa membandingkan kehidupan mereka dengan
kehidupan kita. “Jauh sekali bedanya,
kalau dari budaya kemandirian, mereka punya
budaya yang lebih invidu.
Individualism tentu tidak pas buat kita. Efek dari kemandirian juga ada
bagusnya- mereka lebih struggle..mereka
lebih berjuang.
Umur 20 tahun mereka
musti ke luar rumah, mereka harus hidup mandiri. Namun sistem pemerintahan
memandang bahwa anak- anak yang usianya masih 25 tahun ke bawah dianggap masih
kecil, sehingga mereka musti punya kartu khusus dan dalam menggunakan fasilitas
umum, seperti naik bus, trem...mereka akan memperoleh banyak potongan harga.
Walau pemerintah memberi mereka banyak kemudahan dalam memberikan potongan
harga..itu semua punya tujuan untuk mengimprove mereka. Semenatara mereka harus
ke luar rumah dan mandiri yang dilakukan oleh keluarga...juga untuk mengimprove
mereka.
“Terlihat bahwa umur 20
tahu mereka harus dilepas...dan pemerintah menerima mereka dengan memberikan
layanan kemudahan hidup sampai usia 25 tahun. Jadi ada sistem membina untuk
kemandirian generasi muda mereka. Bukan terlalu memuji kalau aku berani
menyatakan bahwa orang Perancis sangat kommitment dengan dirinya. Really they have self commitment”.
Aku berfikir bahwa para
remaja kita yang bisa melakukan move on dan berhasil, itu terjadi karena mereka
memiliki kommitment yang hebat. Aku melihat
bahwa ibunya anak-anak Perancis tidak
monopoli kekuasaan- tidak suka banyak memerintah, tetapi malah menghargai.
Begitu anak melakukan aktivitas positif,
ya langsung diberi reward- pujian dan penghargaan.
“Anak-anak yang orang
tuanya sangat otoriter, gemar bertengkar, gemar mengomel...ya akhirnya
pendidikan anak juga tidak akan berjalan mulus”.
Remaja juga bakal tumbuh
sukses andai mereka punya orang tua, sebagai figur, yang punya kesibukan.
Sehingga mereka mengappreciate bahwa hidup memang butuh kesibukan atau
akativitas.
Aku berasal dari
keluarga, dimana orang tuaku memilkiki tiga orang anak perempuan. Namun walau
kami semua perempuan kami semua harus keep
struggle sebagaimana halnya anak-anak laki-laki. Papa sering berkata: “Kamu
harus kuat, dan tidak boleh cengeng. Tidak zamannya lagi bagi perempuan untuk
bersikap cengeng, karena cengeng melambangkan sebagai karakter yang lemah.
Orang yang lemah akan mudah diotak atik
oleh orang lain”.
Papa juga mengajarkan bahwa aku harus tahu dan
menguasai hal hal yang baru, kalau tidak aku bakal ketinggalan. Lain halnya
dengan mamaku, ia lebih suka memberitahu tentang batasan-batasan “kamu tidak
boleh begini dan kamu harus melakukan ini”.
Dengan cara demikian aku jadi
tahu tentang berbagai rule of life (peraturan
hidup). Ini aku peroleh lewat dialog.
“Dialog keluarga perlu
selalu untuk dijaga/ dipelihara dan selalu dikembangkan. Apalah yang akan
terjadi andai suatu keluarga jarang berdialog, maka pasti anggota keluarga akan
jalan sendiri- sendiri dan mereka juga tidak akan akrab dan utuh”.
Melalui kisah nyata ini
aku juga ingin, secara sekilas, membandingkan perempuan di pedesaan Perancis
dan perempuan di desaku sendiri. Perempuan di desaku hidup dibawah pengaruh keluarga, mereka belum punya
kemerdekaan sepenuhnya...namun itu bagus menurut kulturku. Pasti intinya demi
keamanan dan perlindungan terhadap perempuan itu sendiri.
“Namun jeleknya, mereka menjadi kaku dalam membikin decision
(keputusan) buat hidupnya”. Well.....!! Di kampungku terlalu banyak musyawarahnya
dalam mengambil keputusan, sehingga seseorang
susah untuk menjadi dewasa. Di Perancis seseorang merasa dewasa kalau sudah tamat kuliah atau
kalau sudah bekerja.
Dalam kultur kita,
selama kita masih kuliah maka kita masih belum dewasa dan belum ada kekuasan
dalam membuast keputusan yang penuh. Namun
kadang- kadang, seperti halnya aku, meski udah bekerja dan tamat kuliah,
mama dan papaku masih tetap mengurusku seperti mengurus anak kecil. “Akhirnya
kita merasa terbuai dan termanja gara gara campur tangan orang tua yang kelewat
banyak. Orang tua berfikir bahwa aku masih sebagai seorang gadis yang harus
diayomi selalu”.
Di perancis, keluarga
memperkenalkan budaya demokrasi dan setiap anak harus memiliki nilai struggle yang hebat. Orang tua akan berkata
“kamu harus menjadi desicion maker
untuk dirimu sendiri, hidup kamu tergantung pada- kamu mau susah atau kamu mau
senang semua tergantung pada kamu ”.
Namun kalau di sini,
musti bawa-bawa nama keluarga. Kalau menjadi orang sukses dan orang baik, maka
nama keluarga juga jadi baik. Kalau kamu melakukan kesalahan atau sampai
membuat hal yang kontra, maka nama keluarga akan ikut tercemar. Kalau di
Perancis tidak begitu, “Kalau kamu gagal dalam hidup ya resikonya buat kamu
sendiri. Sekali lagi bahwa kalau dalam budaya kita, keberhasilan dan kegagalan
akan dikaitkan dengan keluarga besar kita.
Aku Menggunakan Pola Fikir Gabungan
Bagaimana ya pola
fikirku setelah pulang dari Perancis ? Aku kenal ada seorang teman yang sempat
mengikuti program YES (Youth Exchange Student) di Amerika Serikat selama satu
tahun. Sebelum pergi ke sana dia dikenal baik, karena suka serba mengikut pada
pola fikiran orang tua. Namun begitu pulang dari Amerika serikat, ayahnya telah
menganggap dia sebagai anak yang suka kontra dan keras kepala. Itu gara-gara ia
suka memiliki pola fikiran yang kritis- dan mengungkapkan perasaan dan fikiran
secara serta merta. Kalau tidak suka ya, ia bilang tidak suka, dengan resiko
bahwa orang tua merasa ditentang.
Namun bagiku, aku akan
menggunakan cara berfikir yang combine (gabungan)
pola fikir asliku dan pola fikir Eropa. Aku berfikir bahwa pasti budaya kita
itu bagus dari pada budaya fikir barat. Tetapi begitu aku pergi ke Eropa aku
lihat budaya fikir mereka dengan semangat struggle (berjuang) juga sangat bagus untuk disadur.
Aku pingin orang tua
juga mempersiapkan anak anak untuk struggle dan bersikap terbuka pada
anak-anak. Bila ada masalah keluarga maka ada baiknya untuk dibicarakan dengan
melibatkan anak-anak.
Budaya Minang yang aku
lihat ya bersifat “tarik ulur”. Seorang anak dilepas...mereka dilepas, bila
ternyata ada kesalahan ya ditarik lagi. Budaya tarik ulur begini tidak ada di
sana. Kalau salah ya salah kamu, kalau untung ya manfaatnya bagi kamu. “Kalau
saya salah ya ini hidup saya, yang lain mengapa harus repot repot mengurusku”.
Aku masih ingat tentang
bagaimana perlakuan orang tua Perancis pada anak-anak mereka. Pasti orang tua
memahami tentang perkembangan dan prilaku anaknya dan mereka berusaha untuk
mengembangkan anak anaknya buat menghadapi masa depan, jadi kesannya bahwa
orang tua Perancis sangat bertanggung jawab buat masa depan anak.
Anak anak disuruh agar
memiliki hobbi, namun jangan larut hanya dengan hobbi semata, karena itu itu
tidak hanya untuk satu sisi, anak musti mampu hidup dalam banyak sisi. Sebagai
target di Indonesia, bahwa setiap anak harus menguasai IPTEK (Ilmu Pengetahuan
dan Tekhnologi), namun juga harus mantap IMTAQnya (Iman dan Taqwanya). Hidup
itu ada sisi A, B, C nya. Jadi anak jangan hanya menguasai sisi A saja, tetapi
juga bagus dalam menguasai sisi B dan C nya.
Aku merasa bahwa
meskipun aku sudah menjadi decision maker
(pengambil keputusan), namun aku masih memerlukan peran mama dan papaku. Bila
aku tidak tahu satu hal maka aku akan melemparkan permasalahanku pada papa dan
mamaku. Bagiku papa adalah ibarat kamus
berjalan, walau ia miskin dalam referensi pengetahuan, namun ia mampu memberi
solusi berdasarkan pengalaman hidup yang ia miliki. Sementara mama berperan
sebagai pemberi pertimbangan bagiku. Jadi begitu selesai pendidikan di Eropa
bukan berarti aku sudah mandiri dalam menggunakan pemikiran, ternyata aku masih
butuh pemikiran orang di sekitarku- sekali lagi mama dan papaku.
Ada yang bertanya bahwa
apakah orang tua yang di Perancis semuanya memperoleh pendidikan Pascasarjana
dan Doktoral. Aku lihat tidak semuanya, namun mereka semuanya cukup well educated. Mereka menjadi well
educated karena sistem pendidikan mereka yang berkualitas. Umumnya tidak ada
anak anak SD, SMP dan SMA yang berkeliaran saat jam belajar. Saat mengajar guru
dan stakedholder sekolah bekerja dengan profesional dalam mendidik.
Kalau kedapatan ada anak
yang berkeliaran pada saat jam belajar, maka orang tuanya dipanggil dan didenda
oleh pemerintah. Umumnya sekolah di Perancis dari SD sampai SMA adalah gratis.
Jadi orang tua sangat diminta untuk turut peduli dalam mendidik anak mereka,
tolonglah ikut mengantarkan anak kesekolah dan genjotlah disiplin dan motivasi
belajar mereka.
Televisi perancis juga
tidak begitu banyak mempengaruhi karakter konsumtif anak anak sekolah. Iklan
televisi sering menggoda anak anak untuk menjadi konsumtif, apalagi kalau
materi iklan khusus untuk konsumsi mereka seperti iklan parfum, kosmetik,
makanan. Aku perhatikan bahwa iklan di TV Perancis tidak begitu dominan. Dalam
satu jam, tayangan televisinya cuma selama 15 atau 20 menit. Beda dengan TV di
negara kita, yang mana tayangan iklan lebih panjang dari acara pokoknya. Iklan
nyang panjang terkesan tidak banyak mendidik, tapi malah membuat masyarakat menjadi
konsumerisme.
Kualitas pendidikan juga
ditentukan oleh kualitas para guru. Guru-guru di TK, SD, SMP dan SMA semuanya
menerapkan model pembelajaran fun
learning. Fun learning juga
dikenal dengan istilah PAKEM yaitu- pembelajaran aktif kreatif efektif dan
menyenangkan. Aku melihat selama musim dingin pembelajaran memang banyak berada
dalam ruangan, namun dalam musim semi, para guru membawa anak anak untuk
belajar ke luar kelas, malah sampai ke luar sekolah, mereka belajar di alam.
Dalam musim semi tersebut,
aku pernah menemui guru TK menggiring murid mereka berjalan di taman, di jalan
dan terus naik metro. Anak anak berjalan berbaris berpasangan, mengikuti alur
alur. Guru guru amat terbuka pada siswa dan siswa lebih berani untuk berbicara
dengan guru guru mereka. Namun kalau di negara kita, terlihat bahwa sebahagian
siswa mendewakan guru dan menganggap bahwa apa yang dikatakan oleh guru
“semuanya betul”. Seolah olah guru adalah sumber ilmu dan sumber kebenaran
secara mutlak.
Di Perancis saat mereka
entre le metro (saat masuk metro) aku dengar pembicaraan guru dan murid sangat
terbuka. Anak- anak bilang pada gurunya “Ibuk kenapa ini harus begini....ibuk
kenapa harus begitu...?”
Anak anak sangat
antusias bertanya pada guru mereka. Dan guru mereka menjawab, namun ada yang
protes kenapa begitu mon pere dis moi nes
pas comme ca (ayah ku bilang tidak begitu). Anak anak sangat berani dalam
berbicara dan termasuk dalam memprotes, aku lihat bahwa sosok guru bukan
sebagai sosok yang menakutkan bagi siswa siswi mereka. Guru guru look nice semua terhadap anak anaknya.
Di saat anak anak sibuk
berbicara dan ruangan terkesan bruyant
(ribut) gurunya terllihat senyum saja. Tidak menghardik hardik untuk mendiamkan
anak anak didik mereka. Mereka mengatakan bahwa suasana ribut itu menandakan
adanya suasana yang kreatif. Guru Tk
tersebut berkata padaku “Pardone si mes enfantes sont bruyantes”- maaf ya kalau
anak-anakku semua berisik.
Sekali lagi bahwa aku
lihat banyak guru guru di sana suka ngajak anak anak ke lapangan. Mereka semua
adalah guru guru yang bersikap terbuka- membuka diri terhadap anak didik
mereka. Berdebat dengan guru adalah hal yang biasa, dan kalau guru tidak tahu
maka dengan enteng guru akan berkata “Je pas atau aku tidak tahu”. Kemudian
hubungan guru dan orang tua adalah berbentuk partner. Apakah guru ataupun orang
tua tidak satupun yang bersifat dominan. Itulah kira-kira isi kisah nyata ini
yang berjudul “Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri Perancis”.
BAB. II Masa Kecil
Desa Padang Ganting
Tema kisah nyata ini adalah tentang travelling
experience. Aku akan memulainya dari
cerita masa kecil, yang dimulai dari Padang Ganting.
Padang
Ganting adalah sebuah desa kecil yang terletak cukup dekat dari Batusangkar.
Jaraknya hanya 20 menit dari kota Batusangkar. Desa ini juga dekat dengan kota Sawahlunto. Di sekitar
daerah ini terdapat dua daerah atraksi wisata yaitu Pagaruyung dan Sawahlunto,
sebuah kota tua. Atraksi menarik yang terdapat di Padang Ganting yaitu “air panas”.
Tempat ini banyak dikunjungi orang dari dalam dan luar Kabupaten Tanah Datar.
Desa
Padang Ganting juga sangat bermakna bagiku, karena aku lahir disini. Aku
menghabiskan masa anak-anakku di sana. Dari lahir, terus TK, SD, SMP dan terus
SMA, aku tinggal di desa Padang Ganting.
Aku
dilahirkan oleh seorang ibu, yang bernama Warni. Ia berprofesi sebagai guru
Bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Padang Ganting. Sementara ayahku, yang
berprofesi sebagai guru olah raga di SMP
Negeri 3 Limo Kaum, Batusangkar. Aku punya seorang kakak perempuan, Yeyen Wulandari
dan seorang adik perempuan, seorang mahasiswi Farmasi, Unand Padang. Jadi, aku
tidak memiliki saudara laki-laki.
Waktu masih
kecil aku une petite (sedikit)
pemalu. Namun aku memiliki dan memuja seorang kakak yang sangat pemberani dan
sangat kreatif. Ia selalu mengarahkan aku sejak kecil dan selalu mengajakku
untuk bermain.
“Kami melakukan banyak
kreasi donc J’ai une dirigeante (jadi aku punya
seorang leader). Dari kecil aku selalu menjadi follower nya. Kakak tersebut memiliki peran penting dalam figur
masa kecilku”.
Aku
pada mulanya termasuk anak yang sangat sangat pemalu. Bila ada orang baru atau
tamu papa yang datang aku suka melihatnya dari balik gorden atau melihat-lihat
saja dari jarak jauh. “Jangan malu-malu Ranti.., orang pemalu temannya
sedikit..!!” Seru papa atau mama dari belakangku.
Mama mendaftakan aku
untuk pendidikan dini ke Taman
Kanak-Kanak, namanya TK Al-Amin di Padang Ganting. Di sana aku belajar
bersosialisasi dan belajar bermain. “Ternyata bermain juga butuh belajar, lho...!”
Aku juga belajar menari
dan bernyanyi. Tentu saja saat belajar di TK aku mulai belajar mencintai seni,
tari, dan lagu. Setelah itu aku melanjutkan ke SD.
Saat
belajar di SD, aku juga belajar bersosialisasi. Teman teman ku jadi bertambah
banyak. Waktu belajar di SD aku belum suka show
up, jadi aku masih timidite (pemalu). Aku beruntung karena
selalu diajak ke mana-mana oleh kakak yang pemberani. Ia selalu mengajak ku
melakukan eksplorasi- menjelajah ke sekitar rumah.
“Siapa ikut pergi
memanjat pohon cherry....pohon rambutan....!!” Meskipun sebagai anak perempuan
namun aku sering diajar memanjat pohon oleh kakak. Kadang
kadang juga oleh papa.
“Kamu harus bisa
memanjat pohon agar tulang dan badanmu kuat”. Memanjat pohon juga membuat aku
lebih berani dan tidak mengalami alto-
phobie (takut dengan ketinggian). Aktivitas ini
sekaligus membuat otot tangan dan otot kaki jadi kuat.
Aku
diajak papa melakukan aktivitas yang demikian karena papa (ayah) sebagai seorang guru olah raga.
Meskipun aku perempuan, aku juga diajar main bola takraw. Barangkali karena papa
pengen punya anak cowok. Namun bakat ku untuk main bola takraw tidak
berkembang.
Pengalamanku
saat di bangku TK, ya masih sebatas bermain-main saja. Saat aku duduk di bangku
SD, aku mulai punya pengalaman dalam bidang nyanyi dan baca puisi.
“Aku masih belum punya pengalaman menarik waktu belajar di SD. Berbeda dengan kakak ku yang selalu menjadi bintang kelas. Ia malah
jagoan untuk tingkat sekolah yaitu untuk bidang akademik. Aku bersyukur karena
masih bisa juara dalam lomba baca puisi- dan pelatihnya adalah mamaku sendiri.
Masa
Remaja
Memasuki
tingkat SMP berarti memasuki masa remaja. Saat duduk di bangku SMP pengalalaman
suksesku sudah mulai berkembang. Usia belajar di tingkat SMP dapat dikatakan
sebagai usia remaja awal. Setiap orang
ingin menonjolkan dirinya- memperlihatkan bakatnya. Mereka ingin mewujudkan
kemampuan diri, mengenal lingkungan.
Aku juga demikian. Aku ikut aktif dalam berorganisasi- organisasi
sekolah, dan aku tetap melanjutkan hobiku dalam bidang baca puisi dan menari.
Guru- guru sering melibatkan aku dalam lomba baca puisi. Alhamdulillah dari
kelas dua dan kelas tiga, aku selalu memperoleh juara satu dalam lomba baca
puisi. Aku bisa menang karena aku selalu
diayomi oleh seorang ibu, yang kebetulan
juga seorang guru Bahasa Indonesia. Jadi bisa melatih aku untuk baca
puisi.
Saat
duduk di SMA, pengalaman sukses ku tentu semakin berkembang dari segi kualitas
dan kuatitas. Sebagai efek positif, aku menjadi sosok yang lebih berani
dibanding saat aku belajar di SMP dulu.
Saat duduk di bangku
SMA, bakat baca puisiku tetap berkembang dan aku juga selalu memperoleh juara
pada setiap perlombaan. Aku semakin antusias dengan organisasi sekolah. Aku
sempat dicalonkan menjadi ketua OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) dan ini
membuatku harus sering tampil di depan publik sekolah.
Saat pemilihan ketua
osis, dilakukan penghitungan suara dan “Horee...hore...!! Pendukungku bersorak
gembira. Aku memperoleh suara terbanyak dan ikut jadi team formatur, namun aku
terpilih menjadi sekretaris OSIS. Karena aktif dalam Osis dan sering tampil
akhirnya watak pemaluku yang menjadi topeng pada wajahku ternyata bisa lepas.
Aku sudah jadi orang pemberani saat aku
duduk di bangku SMA.
Berteman
berarti bersosial. “Kalau pengalamanku dalam berteman saat di bangku TK dan SD belum begitu signifikan. Dalam usia
itu aku hanya asyik bermain main dengan kakak. Aku belum begitu populer hingga aku sekolah di SMP. Orang-orang hanya
mengenal kakakku. Namaku hanya dihubungkan dengan nama kakak.
“Oh kamu adiknya Yeyen ya....!!” Aku protes
dengan sikap mereka. Mengapa namaku tidak begitu dikenal, kecuali nama kakakku.
Teman-temanku hanya
masih sebatas teman sekolah. Mereka adalah teman sebangku, teman
sekelas, dan teman sama-sama belajar. Hanya baru sebatas itu. Saat duduk di bangku SMP aku mulai mengenal arti persahabatan. Itu
awalnya- dimulai dari teman sebangku. Dari dia aku mulai mengenal keluarganya:
ibunya bagaimana, ayahnya bagaimana, serta kakaknya bagaimana (?).
Aku punya teman sebangku yang sangat pintar dan juga baik. Aku juga ingin sepintar
dan sebaik dia. Kalau boleh, aku lebih baik dan lebih pintar dari dia lagi. Aku
mulai mengerti dengan arti persahabatan saat duduk di bangku SMP. Namun
persahabatan saat di bangku SMA lebih bercorak bentuk “gang”.
“Gang itu semacam
pertemanan yang terasa lebih eksklusif dan lebih akrab. Aku punya gang dalam
kelas, dan juga gang untuk pergi les
bahasa Inggris”.
Gang
yang aku punya adalah seperti petit club
(grup kecil). Gang untuk pergi les (kursus) bahasa Inggris anggotanya adanya 5
orang. Kami pergi les bersama-sama. Gang dalam kelas ada lagi, begitu pula gang
untuk berkumpul dalam OSIS. Gang ini
adalah tempat berbagi (sharing)
pengalaman dan perasaan. Juga tempat untuk berbagi suka dan duka. Dalam
gang aku lebih banyak mengekspose kegembiraanku.
Aku
juga punya kesan yang banyak dengan guru.
Aku mengenal figur orang dewasa yang baik, di luar keluarga sendiri
lewat pribadi mereka. Guru- guru TK memperkenalkan jenis jenis permainan padaku.
Itu adalah saat-saat yang sangat indah.
Kemudian pengalaman bersama guru saat di SD mulai melebar, aku mulai tahu guru
yang pemarah dan guru yang sangat baik. Yang selalu aku ingat adalah guru yang
punya pengalaman emosi dengan ku- ya seperti guru yang baik dan berwajah
cantik.
Di
bangku SMP aku mulai mengenal guru yang pintar dalam mengelompokan siswa.
“Ini kelompok siswa yang
kreatif, ini kelompok siswa yang pintar, ini kelompok siswa yang nakal. Ow....aku berfikir bahwa ternyata guru juga
mengelompok-ngelompokan siswa. Kalau begitu aku sendiri dikelompokan ke mana
oleh guru guru tersebut ?”
Saat di bangku SMA aku
melihat gaya guru yang punya kemampuan dalam merangkul pribadi siswa. Karena
saat itu para siswa sudah memiliki karakter tersendiri.
Pribadiku
sendiri memperoleh pengaruh atau warna dari figur guru-guru di sekolah dan juga
figur orang tua di rumah. Figur yang
memberiku motivasi tentu saja “figur mama dan papaku”.
Uni (kakak perempuanku)
orangnya juga berpengaruh padaku. Ia memperlihatkan “beginilah perempuan yang
punya motivasi dan struggle itu. Orang yang cengeng seperti ini....orang yang
tidak cengeng adalah seperti ini”.
Papaku
lebih banyak mendorong ku, “kamu harus mandiri, orang perempuan sekarang harus
mandiri dan kamu harus bisa mengurus kebutuhan diri sendiri”. Mama juga tempat
diskusi yang baik dan menyenangkan bagiku, walaupun mama banyak memperlihatkan
kekhawatirannya, dan banyak mengungkapkan kata “tidak boleh”.
Sekarang
rumah kami terlihat damai. Kalau aku dan adik-kakak dahulu sering berantam, sekarang itu jadi sweet memory. Berantam itu ada gunanya,
yaitu untuk mempertahankan ego masing-masing, pandangan, pendapat dan harga
diri. Namun berantam tidak boleh mengarah ke kriminalitas.
“Habis berantem, kami
ngambek dan setelah itu kami baikan kembali”.
Beda
usiaku dengan kakak hanya terpaut dua tahun, dengan demikian kami ibarat
sahabat, ibarat temanan saja. Sebagai teman ya kami banyak bermain, belajar dan
melakukan eksplorasi bersama. Sekali- sekali saling berantem lagi. Walaupun ada
teman- teman tetangga namun kakak musti ikut bermain bareng.
Ternyata
juga ada figur luar yang ikut memperkaya fikiran ku. Untuk membaca puisi ya aku
mengidolakan Khairil Anwar. Aku berfikir mengapa ia bisa jadi sastrawan. Untuk
belajar bahasa Inggris, aku ingin bahasa Inggrisku seperti bahasa anak- anak
dalam film-film berbahasa Inggris dalam Televisi. Tentu saja figur tersebut aku
tahu dari tontonan dan juga dari bacaan.
“Untuk tokoh sastra,
mama yang banyak memperkenalkannya
padaku, kemudian baru aku baca biografinya”.
Saat
aku duduk di Bangku SMP dan SMA. Aku mencari figur-figur yang lain. Aku ingin
tahu figur-figur dunia luar, dan menjalar ke berbagai figur internasional. Mereka
adalah figur politikus, bangsawan, dan
negarawan, juga olahragawan, ilmuwan dan seniman.
“Untuk tahu dengan
berbagai figur maka minat baca penting
berkembang sejak di bangku SD, SMP dan SMA. Melalui bacaan aku bisa membandingkan jenis jenis karakter figur leader
di Indonesia. Aku sempat, waktu di SMA, menjadikan B.J Habibie sebagai figur
idola. Aku berfikir mengapa ia bisa menjadi keren dan hebat begitu”.
Melepas
Topeng “Malu”
Saat
kecil aku termasuk anak yang pemalu. Tapi aku tidak merasakannya sebagai suatu halangan karena aku selaku
dilindungi. Namun karakter malu mulai terasa sebagai penghalang saat aku harus tampil di SMP dan SMA. Aku berfikir
bagaimana orang bisa speak up,
mengapa aku takut untuk speak up.
“Rasanya mulutku seperti
rasa dikunci. Papa dan mama selalu mendorongku untuk banyak tampil di depan
publik, keberanian tampil tadi membuat aku mudah untuk speak up”.
Ketika
aku tampil di publik sekolah, waktu MOS
(masa orientasi sekolah), orang orang tidak mengenal ku sebagai Ranti. Orang
hanya mengenalku sebagai adiknya Yeyen,
ya kakak perempuan. Namaku dan aku sendiri tidak dikenal oleh publik
karena aku tidak banyak speak up, itu karena aku masih memelihara karakter
maluku. Kalau begitu, karakter malu- menjadi masalah bagiku. Memang semua orang
akhirnya tahu dengan ku, karena kakakku sebagai siswa yang ngetop, maka aku
juga numpang ngetop.
“Aku tidak mau numpang
ngetop lewat nama kakakku. Aku harus ngetop sebagai Ranti, maka aku harus speak up dan aku harus move on”.
Usahaku
melepaskan diri dari pengaruh ngetop
kakak dimulai saat masa MOS. Pada mulanya selama tiga hari orang-orang masih mengenalku bukan sebagai
aku.
“Oooo ....kamu adiknya Yeyen !!” Namun
kemudian aku sendiri mulai menonjolkan diri. Aku mulai
berbicara dan memperkenalkan diri sendiri.
“Nama ku Ranti....!!”.
Berbarengan dengan itu aku juga menampilkan bakatku sebagai jago puisi dan jago
tari, maka namaku mulai eksis sebagai “Ranti si jago baca puisi, dan orang
mengenalku sebagai Ranti”.
Aku
kemudian bergaul dan bergabung dengan semua teman di kelas dan teman-teman baru
sebagai sosok “Ranti”. Seterusnya aku juga bergaul dengan teman teman dari Osis
dan aku juga memperkenalkan diri sebagai Ranti.
“Namaku Ranti Komala
Dewi, Panggil Aku Ranti..., ya..!!” Aku tidak membawa-bawa nama Yeyen, kakakku.
Setelah beberapa hari, hasilnya aku terpilih menjadi ketua kelas. Malah
aku “ketua kelas satu satunya yang cewek
waktu di SMP”. Menjadi ketua kelas berjenis kelamin cewek membuat aku makin populer seantaro SMP,
mungkin juga ke sekolah lain.
Fenomena sekarang
adalah anak-anak kalau tamat dari SD
Padang Gantiang, sebagian pergi ke SMP-SMP di kota Batusangkar. Atau kalau
tamat SMP ya mereka pergi ke SMA-SMA di Batusangkar. Kalau aku saat itu belum
terpikir, yang jadi patokan bagiku adalah Uniku. Ia tamat dari SD Padang
Ganting, dan terus ke SMP Padang Ganting dan SMA Padang Ganting. Walaupun ia
hanya bersekolah di sekolah desa, namun aku lihat ia tetap sangat cerdas dan
berprestasi.
“Ia bisa menjadi juara
kelas dan juga menjadi juara umum. Untuk mata pelajaran Bahasa Inggris, uni
juga menjadi asistennya guru kursus Bahasa Inggris. Ia mengajar untuk kelas-
kelas debuteur (pemula). Jadi aku
melihatnya sebagai figur yang sangat asyik dan aku juga pengen seperti uni”.
Jadi kalau begitu sukses itu bisa juga terjadi di desa. Ya aku masih
dibayang-bayangi menurut cara belajar kakakku.
“Kami diperlakukan
secara adil oleh orang tua. Kalau membeli pakaian, model dan warna baju kami
juga sama. Kata orang bahwa pakaian kami ibarat pakaian anak panti asuhan- ya
serba seragam”.
Sebenarnya aku pengen ikut pendidikan ke luar desa Padang
Ganting. Itu waktu aku mau enter ke
SMA. Walaupun uni melanjutkan ke SMA Padang Ganting, namun teman- teman lain
ada yang melanjutkan ke daerah luar seperti ke sekolah SAA atau SMA-SMA lain di Bukit Tinggi, di Padang dan di Padang
Panjang. Ketiga kota ini sangat terkenal dengan kualitas pendidikannya.
“Wooow....ternyata sekolah di luar kualitas bagus yaaa !!”
Mamaku bilang bahwa
sekolah itu di mana mana bagus. “Kalian selagi masih di SD, SMP dan SMA harus
sekolah di bawah asuhan dan pengawasan mama”.
Tinggal, bersekolah dan menghabiskan di Padang Ganting ternyata
sangat mengasyikaan bagiku. Di luar aktivitas belajar, aku berjuang untuk
mengatasi problemku yaitu karakter pemalu dan rasa percaya diri yang rendah.
Sekarang aku jadi tahu bahwa karakter pemalu bisa berkurang lewat banyak
pergaulan dan banyak mengekspose diri. Nah itulah yang juga aku lakukan. Secara
tidak langsung aku bermain dan meniru prilaku kakakku yang pemberani. Maka
akhirnya aku juga bisa menjadi pemberani
dan aku bisa berkata “Goodbye my shy
character”.
Dalam bergaul bersama
teman, aku bukan asal bergaul saja. Kalau kita selalu menonjolkan sikap egois
dan otoriter, maka pasti semua kawan akan avoid
(menghindar) dari kita. Dalam bergaul kakak ku menjadi guide bagiku dan ia mengatakan beberapa karakter “some do’s dan some dont’s”.
Ia sering berkata “kamu
tidak boleh berkelakukan menang sendiri, itu namanya egoist...kamu juga tidak
boleh monopoli dalam berbicara dan dalam berperan terus...nanti teman temanmu jadi tak enak”.
Mama dan mama mengatakan
bahwa waktu kecil aku juga termasuk anak yang susah makan dan suka pilih pilih
jenis makanan. Ini tentu tidak bagus untuk pertumbuhan otak dan pertumbuhan
badan.
Papa sering bilang “Kamu
jangan pilih-pilih makanan terus...bagaimana badanmu bisa
gede kalau malas makan. Semua jenis makanan itu harus dimakan...!!”
Aku juga melihat bahwa
masalah makan juga dialami oleh banyak anak- anak. Untuk itu maka para orangtua perlu mengatasi ini.
Mereka perlu memberi persuasif, sedikit
memaksanya dan memperkenalkan makanan yang bergizi dan sehat pada anak. Kalau
tidak demikian anak anak akan bisa memiliki gizi buruk.
Aku ingat bahwa dulu
keluargaku juga suka musik. Dengan musik suasana rumah menjadi ceria. Namun
suara musik tidak perlu hingar bingar sehingga membuat kita susah dalam
berkomunikasi dan juga susah buat berkonsentrasi. Papaku sendiri menyukai musik
dangdut, ia suka dengan suara Iis Darliah, seorang penyanyi dangdut yang ngetop
saat itu.
“Kalau begitu, aku dulu
“anak dangdut dan sekarang menjadi anak Celindion”. Celindione adalah salah
seorang penyanyi dunia berbahasa Perancis, berasal dari Quebec- Canada.
Kata mamaku, aku punya
style tersendiri pada waktu kecil. Kelebihanku adalah dari segi kerapian. Aku
lebih rapi dibandingkan kakak dan adikku. Kerapianku juga terlihat dari cara
berpakaian. Kamarku juga sangat rapi.
“siapa saja yang ingin
masuk kamarku musti minta izin dan mereka tidak boleh membuat kamarku
berantakan. So dari kecil aku sudah menyukai kerapian dan keteraturan”.
BAB. III. Aku Dalam Pandangan Orangtuaku
Bayi yang Baik
Kata
papa aku adalah bayi yang luar biasa.
Maksudnya proses kelahiranku begitu mudah. Kelahiran kakak dan adikku
lebih sulit. Kakakku, Yeyen, saat lahir, tubuhnya terlilit oleh plasenta.
Dokter perlu waktu yang lama untuk membantu proses persalinannya. Begitu pula
dengan kelahiran anak yang ketiga (adikku yang bernama Putri). Namun tidak
demikian dengan aku.
“Proses kelahiran Ranti
sangat mudah dan waktu kecil ia tidak termasuk bayi yang suka rewel”. Kata
papa dan mama.
Ketika
sekolah di TK, dalam pandangan papaku. Yang diingat oleh papa bahwa aku suka
mengikuti schedule kakak. Kalau kakak
suka nyanyi dan menari, maka aku juga suka menyanyi dan menari. Otomatis aku
terbawa oleh kebiasaan kakak. Papa dan mama mendaftarkanku ke TK Al-Amin. TK
nya termasuk pelayanan mendidik yang sangat bagus.
Talenta-talenta
yang dimiliki oleh murid bisa berkembang, termasuk pembinaan imtaqnya (imtaq=
iman dan taqwa). Karena guru Tk tersebut memiliki kualitas pribadi yang bagus.
Mereka menemani anak-anak ibarat menemani anak-anak mereka sendiri. Disana
terlihat hubungan guru dan murid yang sangat harmonis.
Karakterku
terbentuk mungkin karena posisi kelahiranku.
“Biasanya anak paling tua sangat banyak diharapkan sebagai
model bagi adik-adiknya. Anak bungsu (anak ketiga) yang suka cengeng. Sementara
aku adalah anak yang kedua yang tumbuh lebih mandiri”.
Aku memiliki daerah kekuasaan dan milik yang
sangat bersih, yaitu kamarku sendiri. Kamar tidur sekaligus kamar belajarku
adalah tempat yang paling nyaman dan paling indah di dunia. Kamarku penuh
dengan dekorasi, sehingga tampak lebih menarik dari kamar kakak dan adik. Saat
adikku masih duduk di TK, bila ia mau masuk ke kamarku, maka ia harus cuci
tangan dulu, aku khawatir apa saja yang ia sentuh akan menjadi kotor.
”Putri....., bila mau
masuk kamarku kamu cuci tanganmu...cuci kakimu...baru kamu boleh main dalam
kamarku. Kalau tidak kamarku bisa kotor”.
Papaku
juga masih ingat bahwa saat aku duduk di kelas satu SMP, aku sudah menjadi
ketua kelas. Sehingga aku memilki wibawa, cara bicaraku tenang dan aku tidak
banyak bercanda. Teman teman senang dan sekaligus menghormatiku. Karena
karakterku sudah terupdate, aku suka bergaul dan ditambah dengan kepopuleran
nama kakakku, maka guru-guru juga dekat denganku.
Aku
mulai aktif di sekolah, diajak oleh guru-guru dan aku tidak suka menolak.
“Ikut pramuka yuuk,....ikut LPIR...yuk, ikut
lomba puisi yuk...”. semuanya aku welcome dan tidak aku tolak.
Karena itu adalah
kesempatan untuk berkembang dan kata pepatah bahwa “Kesempatan itu tidak pernah
datang dua kali”.
“Kamu
pilih mana puisi atau menyanyi ?” Maka aku lebih bagusan baca puisi dari
menyanyi. Barangkali karena mama banyak mendorongku untuk baca puisi.
Bakat-bakatku terhadap olahraga tidak kelihatan.
“Bakat Ranti hanya pada
bidang sastra dan sains. Barangkali pengaruh talenta dari bakonya (keluarga
ayah)”. Kata papa.
Papaku
juga ingat bahwa waktu duduk di SMA aku sudah senang berorganisasi di sekolah.
Hari Minggu aku juga punya kegiatan di luar sekolah dan di luar rumah. Aku
bergabung dengan kegiatan diskusi agama di Batusangkar. Aku mulai bersentuhan
dengan pemikiran yang diberikan oleh tentorku yang datang dari STAIN
Batusangkar. Di sana aku juga bersuara- aku mendengar dan aku juga berbicara,
maka aktualisasiku makin bertambah.
Waktu
kecil aku juga suka menulis, aku tidak banyak ingat lagi. Tetapi papa lebih
banyak ingat. Papa mengatakan bahwa kalau aku sedih maka aku menulis, kalau
merasa gembira maka aku juga menulis. Itu berarti aku menulis dalam buku diari.
Pernah waktu aku pulang
sekolah, papaku seorang perokok dan aku disuruh untuk beli rokok buat papa.
Tapi saat itu aku separo enggan atau juga merasa capek, maka aku terlihat
menolak. Tentu saja papa tersinggung.
“Wah Ranti, anakku
sekarang sudah gede, sudah enggan membantu papa...!!”. Aku merasa bersalah
dengan kalimat papa dan aku sangat bersedih. Aku tidak bisa ngobrol dengan
siapa-siapa selama seminggu, perasaan dan fikiranku aku goreskan dalam bentuk
tulisan.
Kadang
kadang orang melihat profesi guru olah raga lebih rendah dari profesi guru
lain. Ada yang bertanya :”Mengapa bapak bisa punya anak anak cerdas, pada hal
ayahnya hanya seorang guru olah raga”.
Papa menjelaskan bahwa
kami tumbuh dan didik dengan melibatkan keluarga yang lain. Bila liburan
sekolah tiba, maka aku sering dibawa libur ke kota lain- ke Medan, Pekan Baru
dan Jambi. Kami juga memiliki beberapa famili yang bekerja sebagai dosen di
Universitas, juga ada famili yang sudah memperoleh gelah Doktor. Aku sering
berbagi cerita dengan mereka. Dan itu semua adalah salah satu cara untuk
menanamkan motivasi untuk berhasil dalam diriku.
Sebagian
orang tua , bila liburan datang mereka suka
membawa anak untuk ke mall, pergi mejeng atau shoping. Ini juga bagus,
bamun efek dari gaya liburan satu warna saja akan membuat anak menjadi suka
konsumtif. Mereka cuma senang shopping.
Bisa jadi shopping hal hal yang tidak begitu essential.
Pasokan
Motivasi
“Itulah aku beruntung,
karena saat kecil, liburan kami cukup bervariasi- pergi ketempat famili, ke
pantai, ke pabrik, ke pusat belanja, ke Universitas, ke pelabuhan, sehingga aku mengenal
bermacam-macam profesi dalam hidup ini”.
Tidak
saja kami yang berkunjung ke tempat famili. Aku juga beruntung punya paman dan
bibiku yang sukses. Mereka juga sering
pulang ke kampung. Habis makan siang atau makan malam, aku diajak untuk
bertukar fikiran.
“Ranti.....kalau kamu ingin berhasil..ini yang
harus kamu lakukan. Orang yang gagal dalam studi bisa terjadi karena mereka
tidak memiliki agenda dalam hidup”. Mereka sangat memberiku semangat untuk
berhasil. Sering kalau aku terbentur aku juga minta pendapat mereka.
Aku
merasakan bahwa orang tua sebagai sumber kasih sayang dan juga sumber motivasi.
Bila aku merasa sukses atau bila aku merasa gagal maka aku buru buru
mengungkapkannya pada mama dan papa di rumah. Saat aku kelas 2 SMP aku
bermasalah dengan karakter malu ku.
Papa berkata :”Wah
mengapa kita harus selalu malu, karena malu akan menghalangi kita untuk maju.
Papa rasa kamu pasti tampil seperti orang lain, untuk itu tumbuhkanlah rasa
berani”.
Papa dan mama
mendukungkku dalam menyalurkan hobbi. Hobbi itu punya manfaat bagi kita. Salah
satu manfaat hobbi adalah untuk memupuk rasa percaya diri.
Sekali
papa mengatakan bahwa berkomunikasi dengan orang lain sangat bermanfaat dalam
menambah percaya diri dan wawasan. Disamping itu, pengalaman ku pergi ke tempat
lain bersama orang tua, paman atau
famili lain, juga sangat besar manfaatnya untuk membuka cakrawalaku. Aku merasa sangat beruntung memiliki kakak dan
paman yang selalu datang untuk memotivasiku.
“Kamu harus
berhasil....kamu harus maju”, kata mereka setiap saat.
Semua
anak tentu mempunyai harapan. Harapan yang tidak dapat dicapai akan menimbulkan
rasa stressed. Papaku berpendapat
bahwa sumber terjadinya stressed adalah
oleh faktor dalam rumah dan faktor lingkungan. Orang tua punya peranan
untuk ikut membantu anak untuk mengatasi stressed. Tidak bijaksana malah kalau
orang tua ikut menambah stressed bagi
anak.
“Berkomunikasi atau
bertukar fikiran bisa menjadi sarana untuk mengurangi stressed bagi anak”. Kata
papaku.
Kata
ibuku bahwa saat kecil dan remaja aku
memiliki rasa solidaritas dan rasa sosial yang tinggi. Semasa remaja, aku
senang mengajak teman akrab ku pulang sekolah jalan kaki. Sebagai gantinya,
uang untuk ongkos transportasinya kami
gunakan buat membeli ice cream.
“ Nah lagi lagi makan ice cream bareng bisa menjadi sarana
menambah keakrapan kami. Atau uang untuk transportasi dari teman teman lain
kami kumpulkan, dan kami serahkan buat teman yang kurang mampu. Ini salah satu
wujud solidaritas kami untuk anggota gang kami”.
Ibuku
juga masih menyimpan memory atas pribadiku. Ibu berkata: “Ranti waktu remaja
sangat menjaga harga diri. Suatu ketika pulang sekolah diledek oleh salah
seorang anak laki laki yang tinggalnya sedikit jauh dari rumah. Esok pagi ia
datangi anak laki laki tersebut agar tidak meledeknya lagi, karena ia juga
punya harga diri. Itu dilakukan ranti dengan bahasa yang santun. Ini merupakan
salah satu yang dilakukan Ranti untuk mengatasi masalah pribadinya”.
Lulus
dari SMA
Lulus
dari SMA, papa dan mama menyarankan agar aku
melanjutkan pendidikan ke UNP (Universitas Negeri Padang), karena mereka
berdua adalah guru dan lulusan dari UNP. Tetapi paman dan familiku yang lain
menyarankan aku untuk memilih UNAND
(Universitas Andalas). Mereka memberi perbandingan pendidikan antara ke unuversitas
tersebut. Menurutku kedua-duanya cukup bagus.
Aku
tahu bahwa kuliah ke UNP adalah untuk menjadi guru (tetapi sekarang ada jurusan
untuk profesi guru dan profesi non guru). Aku pada mulanya ingin memilih profesi yang lain, seperti ahli pada bidang
tehnologi, maka aku mendaftar menjadi mahasiswa UNAND. Namun dalam perjalan,
setelah lulus dari UNAND aku juga sempat menjadi guru dalam pendidikan sempoa.
Lulus dari UNAND aku segera mencari kegiatan agar tidak menganggur.
Aku
juga sempat bergabung dalam kegiatan GO (Ganesa Operasion). Itu semacam
bimbingan belajar, mempersiapkan pelajar SLTA untuk masuk universitas. Aku
berfikir bahwa dengan bergabung dalam aktivitas sempoa dan ganesa operasion,
itu berarti aku ternyata juga sebagai guru.
Mama masih punya memory tentang diriku. Bahwa aku
termasuk yang cukup hemat.
“Ranti itu anaknya
sangat hemat”, Kata mana. Betul bahwa kelebihan uang aku tabungkan. Kemudian aku gunakan untuk
membeli pakaian. Kata mama bahwa aku senang dengan life style. Aku yakini bahwa aku suka dengan performance, andaikata
aku cuma peduli dengan kualias akademik namun mengabaikan penampilan, tentu aku
menjadi pribadi yang kurang menarik.
Ada seorang mahasiswa laki laki yang aku lupa
namanya, ia pintar namun kurang peduli dengan penampilan maka teman-teman lain
memberi ia gelar “Einstein”. Einstein kan seoran ilmuwan. Analogi untuk teman
tersebut bahwa ia pintar, namun penampilan sedikit urakan alias kurang rapi.
Tabunganku tidak semata
aku gunakan untuk beli baju dan pakaian lain. Suatu hari aku merasa bahasa
Inggrisku masih berlepotan, aku ingin memolesnya dan aku punya separoh uang dan
aku ingin mama membantuku separoh lagi buat biaya belajar Bahasa Inggris paket
liburan selama 40 hari.
Ke dua orang tuaku
memandang surprised untuk perkembangan hobiku pada seni tarik suara atau
nyanyi. Karena selama duduk pada bangku SD, SMP dan SMA aku kurang mendalami
hobbi nyanyi. Namun di perguruan tinggi secara iseng-iseng aku menekuni hobbi
nyanyi. Ternyata aku juga bisa oke. Aku sempat menampilkan kebolehan menyanyi
saat mengikuti kegiataan LPJ (Latihan Pra Jabatan) di Jakarta. Teman teman
peserta LPJ dari seluruh Indonesia memberiku standing ovation – tepuk tangan sampai berdiri.
Saat menjadi mahasiswa
aku memiliki banyak memori. Misalnya pengalaman saat KKN (Kuliah Kerja Nyata).
Kami grup mahasiswa KKN ditempatkan di Solok Selatan, jaraknya cukup jauh dari
Padang. Aku sangat menyenangi kegiatan KKN, aku belajar bersosialisasi
(bergaul) dengan masyarakat dan sekaligus bersama teman teman mahasiswa lain.
Bersama rombongan kami
juga ada seorang mahasiswa asal Amerika. Ia juga mampu beradaptasi bersama
kami. Suatu ketika ia dan beberapa teman lain aku ajak ke kampung ke Padang
Ganting. Mereka menyukai suasana dan pemandangan Padang Ganting. Rumah aku
sendiri, di desa ini, terletak antara dua bukit yang cukup tinggi di depan dan
di belakang rumahku. Pada hari-hari lain mereka aku ajak ke Sawah Lunto buat
melihat tambang batu bara dan juga aku ke Danau Singkarak untuk menangkap ikan
bilih.
Orang tua berprinsip
bahwa sebaiknya aku tidak banyak bertandang ke rumah teman. Sebaliknya mereka
berprinsip bahwa biarlah teman temanku yang mengunjungi rumahku, dengan
demikian papa dan mama akan mengenal teman-temanku dan apa saja yang kami
lakukan secara bersama. Sering kata mereka bahwa aktivitas remaja tidak akan
terpantau oleh mata orang tua saat mereka diluar jangkauan pengawasan orang
tua. Bukan atas nama orang tua yang otoriter namun atas menjaga budaya sebagai
orang timur dan sebagai pemeluk agama Islam, yang mana aku tidak hanya tahu
dengan berbagai aturan hidup tetapi juga harus mengamalkannya.
“Misalnya aku harus
berpakaian sopan, bergaul secara sopan, punya teman orang baik baik”. Di Timur,
apalagi untuk suku Minang (tentu juga untuk suku suku bangsa yang lain) bahwa
perbuatan negative yang sempat dikerjakan oleh seorang anak akan bisa mencoreng
nama orang tua, sekaligus memberi aib untuk keluarga besar. Jadi orang tua
perlu punya kontrol atas prilaku dan pergaulan anak sepanjang masa.
“Kita harus tahu dimana
anak kita berada. Dengan semua teman anak kita harus dekat. Kita beri mereka
kebebasan beraktivitas...apa mereka mau bakar ubi...atau bakar ikan. Kegiatan
tersebut pasti asyik dalam masya remaja,” kata mama.
BAB. IV
Menggapai Masa Depan
Hidup
Perlu Memilih
Pour quoi moi tombe l’amour avec
l’anglais. Kenapa aku jatuh cinta dengan bahasa Inggris,
pada hal ketika di SMA aku menyukai mata pelajaran sains (?).
Familiku, termasuk uni,
menginginkan aku menjadi dokter. Sehingga ujian SPMB (Sistem Penerimaan
Mahasiswa Baru) untuk masuk universitas pun aku kejar sampai ke UNRI Pekanbaru.
Karena sejak dari bangku SMA kelas aku sudah
intens berbagi info dengan uni dan kami sering bincang-bincang.
“Bahwa jurusan yang bagus buat mu adalah farmasi dan juga kedokteran”. Kata Uni
dan aku juga setuju. Alasanku memilih
dokter juga tidak begitu jelas, namun banyak siswa SMA bercita-cita pengen jadi
dokter. Alasannya tenaga dokter selalu dibutuhkan, dokter penampilannya cukup
anggun dan lapangan kerjanya masih mudah dan luas.
Seolah-olah
prospek masa depan dokter lebih bagus. Dokter pagi sampai siang bertugas di
rumah sakit dan sore sampai malam bisa buka praktek di rumah buat ngumpulin
duit.
“Kalau duit sudah punya,
mimpikan bisa dibeli”. Selain pengen jadi dokter, aku juga ingin kuliah di
psikologi. Aku menjadi tertarik setelah membaca buku-buku psikologi. Psikologi
perlu untuk pengembangan diri dan untuk memotivasi orang lain.
Semua
siswa yang tamat SMA biasanya segera untuk mencari informasi: ingin kuliah
kemana dan bagaimana lagi tamat SMA ?
Informasi ini mereka peroleh dari guru, orang tua, teman-teman, alumni
dan juga dari media. Bagiku yang tinggal di desa, yang nota benenya memperoleh
informasi serba terbatas saat itu. Aku
memperoleh informasi dari alumni dan juga dari uni, kakak ku sendiri.
Sebetulnya masalah yang
dihadapi oleh ABG (anak anak SMA) adalah biasa-biasa saja. Namun saat itu kita
menganggap masalah itu begitu besar.
“Kayaknya mereka butuh
psikolog ya !!” Jadi dari diskusi dengan
para senior aku memperoleh bahwa dunia psikologi itu sangat asyik dan
menyenangkan, sehingga itu yang membuat aku makin tertarik dengan psikologi.
Sementara mama menyarankan agar aku menjadi guru, pada hal dalam keluarga kami
profesi guru sudah banyak.
“Bagaimana kalau aku
pilih karir yang lain, mungkin aku nanti kerja di bank, jadi dokter atau
profesi lain”.
Mama tetap menyarankan
aku jadi guru, tapi kakak ku dan aku deny (menolak) untuk jadi guru. Namun
aku akhirnya jadi guru juga, yaitu mengajar/ dosen di Politeknik Negeri Padang.
“Memang banyak siswa
dalam memilih kuliah tahunya cuma pilih UI, ITB, IPB, UGM, UNPAD dan lain-lain.
Kalau aku memilih universitas patokannya cuma kakak ku. Ia kuliah di UNAND,
maka aku juga bakal pilih UNAND”.
Uni kuliah di jurusan
farmasi, UNAND. Dan ia selalu membanggakan almamaternya.
“Oh....UNAND itu hebat
lho...., Farmasi ini juga bagus!!”. Uni membandingkan kuliah di farmasi dengan
sistem belajar di SMA.
“Kalau di SMA..belajar
kimia dan biologi itu cuma kulit-kulitnya aja. Namun kalau belajar di farmasi
pelajaran kimia dan biologi sudah mendalam dan lebih detail, jadi lebih asyik.”
Uniku belajar di UNAND
dan prestasi akademiknya tetap gemilang. Kalau begitu aku juga bakalan gemilang seperti uni. Uni selalu
memperkenalkan UNAND padaku. Akhirnya saat ada waktu yang agak panjang, aku
diajak uni ke Padang, ke UNAND. Namun kesannya komplek kampus UNAND terlihat
dari bawah, membuat aku tertawa, geli.
“Uni kok kampus UNAND
mirip dengan markas Power Ranger, film idolaku, ...!!. Kok kuliahnya tempatnya
sudah jauh ke pelosok..ke ujung !!
Dalam imageku kuliah
itu, seperti yang aku lihat dalam televisi....ya gedung bertingkat, warna putih
dengan gedung bertingkat. Atau seperti gedung perkuliahan di Singapura.
Lantas Uni membela dan
menerangkan, “Arsitektur komplek UNAND itu nomor satu di Aia Tenggara”.
“Lantas kenapa
dindingnya dibiarkan tidak dicat...jadi tetap seperti markas power ranger”.
Uni menjelaskan lagi
bahwa komplek kampus UNAND adalah kampus terluas di Asia Tenggara. Dinding
kampus bukan dibiarkan tanpa dicat. Bangunannya didesain sudah seperti itu
jadi ada kesan agar menyatu dengan alam,
jadi back to nature”.
Lokasi UNAND yang jauh
dari kota memberikan arti yang bagus, karena udara bersih dan tidak
terkontaminasi oleh pengaruh kota atau pasar. Aku memang merasakan lingkungan
UNAND terasa sejuk, kita bisa refresh
dan terasa segar. Kita bisa lebih fokus untuk urusan kuliah, apalagi pusat
perbelanjaan yang bisa memecah kosentrasi belajar mahasiswa yang mudah diganggu
oleh karakter konsumerisme. Andaikata dekat UNAND ada mall, pasti mahasiswa
habis kuliah pergi hang out,
akibatnya tugas- tugas bisa terabaikan.
Akhirnya aku menjadi
salah seorang member atau mahasiwa UNAND. Aku
harus punya mimpi buat menggapai masa depan. Aku mengambil jurusan
bahasa Inggris.
Pilihan
Pada Bahasa Inggris
“Mengapa pilihanku jatuh
ke Bahasa Inggris, kenapa tidak pada psikologi ?”
Saat aku ikut ujian
masuk perguruan tinggi, aku mengambil paket IPC, jadi ada 3 pilihan. Pilihan
satu, dua dan tiga. Pilihan satu dan dua aku tak jebol, ya aku jebol hanya
untuk pilihan ke tiga yaitu Bahasa Inggris.
“Bahasa Inggrisku pun
juga belum pas, I am not sure with my
English ability”. Aku belum yakin dengan kemampuan Bahasa Inggrisku.
Kemampuan bahasa asingku masih jauh di bawah kemampuan kakak.
Sebetulnya psikologi
termasuk pilihan favoritku. Aku ngambil psikologi di UI, walau mama memberi
pandangan bahwa UI terlalu jauh untuk jarak geografi dan keuangan. Mungkin itu
kekhwatiran mama sebagai seorang ibu terhadap anak perempuannya.
“Oh ya Universitas
Indonesia terlalu jauh, namun di UNAND tidak ada jurusan psikologi, adanya
hanya di USU (universitas Sumatra Utara). Jadi aku ambil psikologi USU saja,
kemudian pilihan kedua adalah manajemen,
dan pilihan ketiga Bahasa Inggris.
Pertama enter ke universitas, aku punya
kesulitan dengan bahasa Inggris. Karena teman-teman bahasa Inggris mereka sudah
sangat qualified. Karena banyak teman
teman yang qualified datang dari
Jakarta, dan kota-kota di Pulau Jawa, malah dari seluruh Indonesia. Temanku
juga ada dari Papua.
“Pas mahasiswa angkatan
ku, mahasiswanya cukup beragam dari seluruh Indonesia”. Maka aku pun terpacu
juga untuk meningkatkan mutu bahasa Inggrisku dan wawasan lainnya.
Waktu duduk di bangku
SMA aku senang berorganisasi. Maka begitu jadi mahasiswa aku juga enter organisasi. Tetapi papa
menyarankan agar untuk semester satu dan semestar dua aku coba adaptasi dulu
dengan sistem perkuliahan. Aku juga ingin tahu, seperti apa sistem perkuliahan
itu (?). Pasti beda dengan sistem belajar di SMA.
“Jadi aku juga
mengurungkan niat untuk masuk organisasi”.
Sebetulnya paduan untuk
aktif dalam organisasi sudah ada buku petunjuknya.
“Kalau kamu kuliah di
jurusan ini...di sini enaknya organisasi. Kalau kamu kuliah di jurusan
sains...ke sini bagusnya organisasi, agar pribadi kamu bisa berkembang”.
Demikian penjelasan yang sempat aku peroleh.
“Aku tidak menyesal
tidak ikut organisasi pada dua semester pertama, namun aku sudah ada target
untuk tahun-tahun selanjutnya”.
Aku mulai searching tentang sistem belajar di
universitas. Aku juga cari info tentang organisasi yang aku senangi. Ternyata
organisasi yang cocok untukku adalah “UKS” atau Unit Kegiatan Seni di UNAND.
“Dalam organisasi ini
ada empat divisi yaitu: vokal, tari, teater, dan ...” Aku ikut dua divisi yaitu
vokal dan tari.
Itupun ada sistem
seleksinya. Kegiatan dalam divisi ini juga punya tahap. Misalnya untuk divisi
vokal: ada pengenalan not lagu. Kalau tari waktunya perminggu
“Ya kamu coba tampilkan
tari Minang, tari Bali, atau dari daerah lain. Kalau lulus...ya coba kuasai
tari kontemporer”. Jadi kita diberi tantangan...sayang waktu tidak cukup. Hasil
dari seleksi, aku dinyatakan masuk
divisi vokal, karena pengumuman divisi ini
keluar lebih dulu, sehingga aku batal untuk bergabung dengan divisi
tari.
Aku beruntung bisa
bergabung dengan divisi vokal. Karena grup vokal UNAND kan sering dipakai dan
diundang oleh badan badan lain untuk pertunjukan. Sehingga aku juga ikut
terpakai dalam kegiatan vokal. Akibatnya pengalaman hidupku jadi banyak. Acara
vokal grup tidak hanya sering dipakai dilingkungan UNAND, tapi juga sering
dipakai di hotel-hotel, seperti hotel Pangeran Beach dekat makam pahlawan
Padang.
Bahasa Inggris di
jurusan Sastra Inggris UNAND sampai semester lima, pelajarannya masih bersifat
umum.
“Ya banyak listening, reading, writing, grammar,
vocabulary, translation”. Namun di semester lima itu juga ada pendalaman.
Aku harus membuat keputusan, apakah aku
masuk ke literature atau ke linguistik.
“Nah berdasarkan
pengalamanku belajar dari semester satu sampai lima, ternyata untuk ku-
literatur sedikit membosankan. Bacaannya ya karya sastra...Shakespeare, ya
notabenenya...harus baca kisah nyata yang tebal-tebal. Sementara itu aku kurang
suka banyak membaca, sehingga kajiannya terasa berat”.
Masih tentang literatur.
Aku mengalami sedikit kesulitan, aku mulai memahami point of view (titik pandang)- sastra ini mempunyai tujuannya
begini, tetapi teman teman berpendapat lain. wah sedikit sulit untuk menginterprestasikannya.
Kemudian aku lihat kuliah literatur.
“Kuliah literatur kan
lebih fokus pada structure. Memahami
rumus TGG (transformer grammar generative) - satu kata dapat dirumuskan.
Di sana ada pelajaran tentang semiotic dan pragmatic. Kajian bahasa itu
bagaimana dan aku lihat sangat menyenangkan”.
Dalam kajian linguistic
juga ada istilah saving face, yaitu
dalam berkomunikasi kita harus memilih kata dan menggunakan kata agar wajah
orang dan wajah kita bisa diselamatkan. Intinya kita harus menggunakan bahasa
yang santun, dan seterusnya.
Benar benar
menyenangkan. Jadi dalam kuliah ini kita dikasih satu gambar dan kita dikasih
waktu untuk menginterprestasikan. Tentu saja harus berdasarkan teori dan harus
terarah. Namun kalau kuliah literatur itu harus based on our opinion. Semuanya betul namun kita tidak tahu exactly meaning sesuai dengan pengarang kisah
nyata.
Walau dosen bilang
“semua pendapat anda itu betul!”. Tapi aku pikir wah bisa ngambang saja semua
pembahasan.
Dosen
Favorite
Setiap mahasiswa tentu
punya dosen favorite, sebagaimana siswa SMA yang punya guru idola. Aku senang
dengan dosen speech karena “il
tojours parle l’anglais- selalu bicara bahasa Inggris”. Ia merasa upset begitu menemui mahasiswa sastra
Inggris yang malah menggunakan Bahasa Minang dan Bahasa Indonesia dengan porsi
berlebihan saat belajar Bahasa Inggris.
Dia bicara bahasa
Inggris selalu “semuanya pake bahasa Inggris...semuanya pake bahasa Inggris”.
Aku fikir tujuannya tentu memotivasi mahasiswa agar menjadi mahasiswa Bahasa Inggris
yang profesional. Anehnya bahwa
sebahagian mahasiswa semester satu dan semester dua terlihat dislike him karena dosen itu terlalu strict. Kalau difikir-fikir,
sekali lagi, bahwa karakter dosen itu
adalah untuk membiasakan kita dalam
menggunakan Bahasa Inggris. Ternyata benar bahwa mendalami bahasa asing sangan
ampuh dengan selalu menggunakan dan membiasakannya.
Pengalaman
Kost
Tidak
mungkin aku tinggal di Padang Ganting dan mondar mandir sejauh hampir 150 km
tiap hari dari kampungku ke kampus. Maka mamaku sengaja memilih tempat kost dan
memasukan aku ke tempat kost yang mahasiswinya beragam.
Aku memperoleh tempat kost yang cukup besar dengan enam kamar. Dan masing-masing kamar ditempati oleh dua mahasiswi. Jadi totalnya adalah
12 mahasiswi. Tempat kostku berlokasi di Andaleh.
“Kalau ada 12 orang
teman satu kost, itu berarti juga ada 12
karakter yang saling berbeda. Maka aku belajar memahami berbagai karakter
teman. Di tempat kostku sangat terbatas,
semua serba satu. Toilet satu...kamar
mandi satu...dapur satu.., nah kami belajar memanage diri agar tidak tumpang
tindih dalam penggunaanya”.
Bayangkan
kalau aku telat bangun, maka tentu antrian untuk masuk toilet dan kamar mandi
bisa sangat panjang. Handuk dan sabun tentu sudah berjejer menunggu antrian.
“Oleh sebab itu aku
berusaha mengatur waktu agar tidak terjebak antrian dan juga memahami kebiasaan
teman yang nota-bene berbeda kebiasaanya, kampung dan keluarganya,...jurusan
kuliahnya juga berbeda”.
Pada mulanya aku sempat
komplaint. “Apakah aku pengen punya kamar sendiri atau menyewa paviliun. Ya
agar aku tidak terganggu“.
“Tapi itu tidak bagus”,
kata mama, karena kita harus bisa bersosialisasi dan juga bisa menyesuaikan
diri. Kalau kita tidak bisa mengatasi complain maka sepanjang hidup, kita akan
penuh dengan masalah.
Kalau di rumah sendiri,
kita punya kamar sendiri. Kita sudah bisa memahami karakter orang tua dan kakak
adik. Namun tinggal di tempat kost, nah saatnya kita mempraktekan cara hidup
yang sebenarnya.
“Bagaimana kita bisa hidup enjoy tanpa masalah dan mampu
beradaptasi dengan masalah. Kalau aku tidak bergabung tinggal dengan
teman-teman, maka.....kapan lagi aku
mengenal sosialisasi hidup, bahwa hidup memang seperti itu selalu (?).
Aku tidak pernah
menyesal menjadi mahasiswa sastra Inggris. Di sana aku menyukai British Study
dan American Study. Aku juga bisa belajar tentang Australia study.
“Kenapa orang Australia
bisa berbeda dengan aborigine ?” Keingin-tahuanku tentang budaya luar juga
bertambah, “wah ternyata budaya mereka juga menarik...!!” Rasa tertarik ku yang
sudah timbul sejak kecil untuk mengenal dunia luar, ternyata menjadi terpenuhi
lewat kuliah pada sastra Inggris.
Menjadi seorang
mahasiswa harus mampu untuk memanaj keuangan. Inilah yang jadi problem sebagian
mahasiswa. Gara gara tak memampu memanaj keuangan telah membuat mereka suka
ngutang hingga kuliah bisa terganggu.
“Kalau tinggal bareng
orang tua...bila uang habis ya kita bisa merengek. Namun kalau begini terus
..kapan kita mau dewasa”.
Aku memperoleh trik-trik mengatur keuangan dari uniku. “Aku mencatat
apa-apa saja kebutuhan utama ku.
Kalau sesuatu itu tidak begitu penting
ya jangan dibeli...dengan cara demikian uang ku bisa berlebih”. Kelebihan uang
tentu bisa aku gunakan untuk mengikuti kegiatan lain. Selain mengatur keuangan,
mahasiswa juga harus pintar dalam mengatur waktu.
Kuliah
yang Mengasyikan
Kuliah di Bahasa Inggris
itu asyik karena harus banyak presentasi setiap hari. Aku tak perlu lagi menggunakan banyak angka-
angka dan rumus. Ada presentasi dalam kelompok dan tidak besoin beaucoup de temps (need much time). Sehingga uni merasa
cemburu “wah belajar santai tapi, kuliah lancar...!!”
IPK (indeks prestasi
kiumulative) yang aku raih tinggi juga meskipun aku naik panggung buat
pertunjukan tiap sebentar di UNAND dan di hotel.
Saat aku kuliah kakakku
juga masih kuliah di jurusan farmasi. “Uni sering cemburu, uangnya sering
kurang, karena uang nya banyak habis
untuk praktek. Sementara uangku selalu berlebih dan bisa nabung”.
Mahasiswa juga punya home work, malah home-worknya jauh lebih
banyak dibanding home-work saat di
SMA. Namun aku punya cara tersendiri dalam mengatur waktu agar tidak teledor
dengan home-work.
“Yang jelas aku tidak
suka menunda nunda waktu dengan home work. Begitu ada home work, ya aku segera
menyelesaikannya. Nah bila selesai aku kan bisa kerjakan yang lain. kalau kita
ada homework- kita segera selesaikan dan kalau ada kendala kita bisa punya
waktu untuk segera mengatasi, misalnya kita bisa konsultasi dengan para senior”.
Pernah aku merasa lagi
males. Nah aku menunda membuat homework,yaaah
akhirnya aku teledor. “Wah aku jadi kelabakan, ternyata tugasnya harus
dikumpulkan besok”.
Seperti yang telah aku
ceritakan bahwa aku tinggal di tempat kost, yaitu menyewa kamar, untuk tempat
tinggal. Disana juga ada beberapa mahasiswi lain yang tinggal diseputar
kamarku. Aku tidak punya masalah dengan ibu kost. Komunikasi kami cukup lancar.
Ibu kost usianya agak tua, jadi aku ibarat tinggal dengan nenek saja.
“Ibarat seorang nenek tentua ia butuh didengar dan butuh
bercerita- cerita”.
Tiap kali pulang ke
tempat kost, ibu kost selalu bertanya
“bagaimana kuliahnya..?” Nah aku memutuskan duduk sebebtar bareng dengan ibu
kost untuk beramah tamah. Aku juga menanyakan tentang dia.
“Apakah ibu ada sehat
sehat? Ibu tadi sholat dimana ?” dan
seterusnya. Melihat hubunganku begitu dekat dengan ibu kost, maka semua
teman-teman mengangkatku sebagai ketua kost.
Sebagai ketua kost maka
aku kadang-kadang punya peran sebagai
perantara untuk menyampaikan aspirasi pada ibu kost.
“Kalau ada problem,
biasanya problem tentang air....kenapa airnya lama hidup, kalau boleh hidup
waktu subuh...” Setelah itu baru aku sampaikan ke ibu kost. Masalah lain juga
tentang listrik “kalau boleh ganti dong lampu listriknya bu...yang lama agak
gelap”.
Kenapa aku yang diutus
jadi ketua ?, ya soalnya aku kan anak sastra dan cara berbicaraku lebih baik.
Kalau teman jurusan yang lain kan jurusannya bukan sastra dan mereka mengatakan
cara berkomunikasinya kurang bagus.
Di tempat lain aku dengar ada
beberapa anak yang bermasalah dengan ibu kost mereka. Penyebabnya bisa
berasal dari mahasiswa itu sendiri yang kurang bisa beradaptasi. Tapi aku lihat
bila ada masalah, ya penyebabnya karena sudah ada perbedaan masalah antara ibu
kost dan sang mahasiswa.
“Solusi yang ditawarkan ibu kost..beda dengan
solusi yang dimiliki sang mahasiswa”.
Aku kini bisa memahami berbagai karakter orang secara luas. Itu
dapat terjadi saat kuliah itu sendiri. “ Saat kuliah aku berjumpa dengan banyak
orang. Kawan-kawan yang ada dalam satu rumah- di tempat kost- saja cukup
beragam dan complicated karakter mereka”.
Mengapa sih ada
sebahagian mahasiswa yang bermasalah dengan homework ? dan juga ada yang
bermasalah dengan dosen sendiri ?
“Aku bisa tahu tentang
itu berdasarkan pengalaman. Aku sendiri punya teman, ia dalam belajar suka
tergantung pada teman lain. temannya pintar. Ia terlihat serba bergantung dalam
membuat PR. Namun kalau teman pintar tidak
hadir maka ia jadi kebingungan, ia tidak mandiri dalam belajar. Akhirnya
ia jadi bingung...diskusi belajar dengan siapa lagi”.
Money dan waktu
kadang-kadang bisa jadi penyebab sebuah problem. Kalau aku tidak merasakan
money dan waktu sebagai problem, ya karena aku sudah terlatih dalam
mengaturnya. Uangku bukannya berlebih, tetapi cukup, namun aku bisa
mengaturnya. Sebagian teman memang ada yang bermasalah dengan uang, itu karena
mereka kurang mengerti membedakan antara mana yang penting dan mana yang kurang
penting untuk dibeli.
Kalau aku dapat uang
dari orang tua, maka aku membuat klasifikasi dalam penggunaanya. Aku musti
menyisakan untuk hal-hal utama seperti biaya makan, sewa kamar, biaya
trasportasi, biaya kebutuhan kuliah dan kalau ada sisa baru aku gunakan untuk
kegiatan ekstra, buat shopping atau membeli novel. Jadi aku punya pembukuan
tersendiri. Dari pembukuan aku bisa tahu sisa uangku setiap bulan.
“Nah kekurangan dan
kelebihan uang ku itu dimana letaknya ?”
Nah saat aku mau melakukan penelitian maka aku besoin beaucoup de l’argent (butuh
banyak uang). Jadi aku tidak beli yang tidak penting dulu. Kalau ada kelebihan
uang, oke kita bisa gunakan untuk leisure – untuk bersenang- senang.
Penting
Memiliki Cita-cita
Setiap orang harus punya
cita-cita, namun banyak siswa SMA dan juga mahasiswa yang masih bingung dengan
masa depan. Mereka tidak punya cita-cita. Sehingga kalau ditanya “Kamu nanti
ingin jadi apa ?” Banyak yang menjawab tidak tahu,....aku belum
memikirkannya,....tergantung mama saja”.
Teman- teman ku
sebagian juga bingung tentang masa
depan. “kamu nanti mau kerja dimana..?”.
Dan ada yang menjawab,
“I don’t think it,...what will be..will be..”. Aku berfikir bahwa keberadaan
teman-teman juga berpengaruh terhadap pribadi kita. Kalau teman-teman tidak
punya cita-cita, maka kita juga ikut kehilangan semangat.
Kawan-kawan yang sangat
disiplin biasanya cepat suksesnya. Ada teman-teman yang malah santai. Kalau
pulang kuliah kok mereka harus dulu hang out, tapi kalau aku pulang kuliah
harus singgah dulu ke tempat kost.
“Aku merasa kamar kost
ku sebagai tempat perhentian paling baik. Nah kalau sudah sampai di tempat kost
aku bisa memulai suatu aktivitas baru. Aku pun kalau mau hang out ya harus
pulang dulu. Rasanya fikiran terasa segar kalau bisa pulang dulu”.
Bergaul itun sangat
penting, apalagi kalau sampai ikut berorganisasi. Aku lihat ada teman saat di
SD, SMP dan SMA penampilannya kalem. Ia hanya sibuk belajar saja, tidak peduli
berteman dan berorganisasi. Akibatnya ia
menjadi siswa yang pasif. Namun ia berubah saat kuliah, itu bukan karena
kuliahnya, tapi karena ia ikut enter organisasi.
“Orang kalau sudah masuk
organisasi ia mau tidak mau harus speak up, jadi ia harus berani, ia harus speak up, dan percaya diri juga
bertambah”.
Ikut berorganisasi
apakah di sekolah atau di luar sekolah,
ya sangat penting bagi pembentukan karakter. Orang yang punya karakter
pemberani, suka menolong dan gentlement pasti disenangi oleh banyak orang. Ada
juga fenomena sebaliknya, teman yang saat di SD, SMP dan SMA prestasinya sangat
bagus, namun setelah kuliah ia menjadi manusia “nasakom”. Nasakom maksudnya
“nasib satu koma”, ya belajar namun IPK hanya satu koma, sangat mengecewakan.
Ada temanku mengatakan,
tentang fenomena ini.
“Ranti aku ketika di SMA, aku pintar lho,
selalu juara umum, tapi sekarang aku kok merasa
bego ??”.
Kondisi seperti ini aku
lihat juga terjadi pada teman laki-laki, dimana mereka tidak bisa mengatur
waktu, cenderung menunda pekerjaan serta tugas dan kelewat banyak hang out. Seolah olah mereka berprinsip
“kuliah..ah santai aja..!” kayaknya begitu menjadi mahasiswa mereka ingin
merasakan style hidup yang baru.
Walau mereka sudah
dewasa, sudah jadi mahasiswa, namun kuliah masih belum terarah, maka keluarga
mereka juga perlu mengarahkan dan mengingatkan mereka.
“Kamu kan udah
dewasa..kuliahnya kok kelewat santai...kurang bersemangat, semangat kan penting
buat merebut masa depan”. Paling kurang seperti ini komplain dari keluarga.
Bagiku ..walaupun ada teman yang santai, ya kita tidak perlu terpengaruh, kalau
bisa kitalah yang memberi mereka pengaruh positif bagi perubahan karakter
mereka.
Learning independent atau
kemandirian dalam belajar sangat penting bagi setiap mahasiswa. Ini adalah
salah satu karakter yang perlu untuk
dimiliki. Tentang kemandirian
ini, mama dan papaku sudah wanti-wanti dari semula.
Papa berkata “Kalian
waktu sekolah di SD, SMP dan SMA banyak disuapi, banyak dibimbing. Namun begitu
masuk universitas kalian harus lebih
kreatif, coba untuk mencari informasi sendiri,
cari solusi sendiri dan hidup juga lebih mandiri”.
That is absolutely true, saat
belajar di bangku SMP dan SMA, bila ada
kegiatan apa-apa saja maka kita
selalu dikasih tahu, bila ada bea siswa
kita juga kita tahu, kalau perlu diumumkan lewat mikrofon. Namun ketika jadi
mahasiswa, tidak begitu lagi. Malah dosen kesannya tidak mau tahu dengan
problem kita. Kalasu kita ingin mengikuti kegiatan kampius, ingin beasiswa atau
ingin ikut seminar...ya cari informasinya sendiri. Bila informasi ini tidak
diburu ya rugi sendiri.
Ada istilah “some do’s
dan some dont’s atau beberapa perintah dan beberapa larangan” yang perlu
diketahui oleh mahasiswa. Ternyata mahasiswa harus punya rule (peraturan) yang harus dipatuhi. Terutama dalam menghargai
waktu selama belajar. Keputusan untuk berbuat harus ada pada diri kita sendiri,
mau gagal atau mau sukses.
Kalau saat belajar di bangku SD sampai SMA, campur tangan orang
tua untuk membuat anak sukses sangat gede. Kesalahan yang kita lakukan waktu
kecil bisa dipandang sebagai hal yang wajar, namun kesalahan yang dilakukan
oleh mahasiswa harus menjadi tanggung jawabnya sendiri.
Sistem perkuliah di
universitas membuat mahasiswa harus proaktif, tidak serba menunggu anjuran sang
dosen melulu. Idealnya kita bisa berbuat jauh lebih banyak dari yang di
harapkan dosen. Andaikata dosen menyuruh kita membaca satu chapter, ya kapan
perlu kita baca hingga satu buku.
“Gunanya agar kaya
dengan wawasan dan kaya informasi. Juga berfanfaat bagi kita dalam mengikuti
perkuliahan yaitu kita bisa bertukar
pendapat dengan dosen”. Kalau belajar di tingkat SMA, semua terasa serba
disuapin, disendokin dan akibatnya siswa pasif dan cengeng.
Self-Confident
“Seperti apa sih
ciri-ciri mahasiswa yang bakal gagal dalam kuliah, sehingga mereka segera
diberi warning sebelum kegagalan ini terjadi ?”
Aku mendeteksi bahwa
mahasiswa yang bakal gagal atau sukses dalam kuliah sudah terlihat berdasarkan spirit atau semangatnya. Walaupun
seseorang itu pintar namun kalai ia ternyata
tidak bersemangat nah ujung –ujungnya ia bisa gagal.
Dalam diskusi misalnya,
aku punya teman yang memiliki ide-ide
yang amat cemerlang, namun ia tidak
bersemangat maka ia juga tak sukses dalam diskusi. Disuruh bikin artikel 10 lembar, ia mengeluh
“aduh aku capek, aku malas”. Wah biar aku tulis aja 5 halaman.
“Orang seperti ini
terbiasa bekerja di bawah target bukan di atas target. Seharusnya kalau disuruh
menulis 10 halaman ya kita usahakan 15 halaman, nah itu baru namanya bekerja
dan belajar di atas target dan
bersemangat”.
Semangat dan kemauan
sangat menentukan keberhasilan
kita. Meskipun kitas cerdas namun kalau kemauan lemah ya juga sia-sia saja.
Cerdas tanpa kemauan serta tanpa semangat ya tidak akan menjamin buat
sukses.
Jadi ciri-ciri mahasiswa
yang bakal gagal, sehingga dianjurkan untuk pergi cari konseling, adalah mereka yang juga tidak punya self- confident (percaya diri).
Sebetulnya ia mampu namun merasa tidak percaya diri, nah inilah yang
menyebabkan tidak berhasil dalam kuliah.
Kalau kita tidak punya confident pada diri berarti kita tidak appreciate pada kemampuan diri. Nah
kalau kita tidak appreciate pada diri
bagaimana orang lain bisa appreciate
pada diri kita. Ini penyebabnya kita
tidak move on.
“Kalau kita tidak move on atau memperlihatkan kemampuan
pada orang lain, ya bagaimana orang akan mengenal kelebihan kita.....bagaimana
orang akan percaya pada kita”.
Kepercayaan diri sangat
penting. Kepercayaan diri dalam melaksanakan tugas misalnya, “wah apa aku mampu
atau tidak menyelesaikan tugas ini ?” karena kita tidak punya percaya diri,
maka kita terkesan tidak berkemauan. Apa sih ya faktor pembangkit confident ini
?
Kalau aku merasa bahwa
confident bisa gede ya sebagai pengaruh lingkungan...lingkungan teman-teman.
Maka teman itu punya power, the power of
friend in growing of self confident. The power of parent...the power of family...ya
orang tua dan keluarga juga berpengaruh dalam menumbuhkan confident. Tentu teman, orang tua dan keluarga yang selalu memberi
dukungan positif.
Perkuliahan ku dari
semester pertama sampai semester delapan ya lancar- lancar saja. Kadang kalau
ada waktu aku juga menyisip untuk memperbaiki nilai. Aku mulai merasa kendala
saat menulis tesis. Karena aku memperoleh dosen pembimbing yang memiliki banyak
anak bimbingan, jadi terasa antri untuk memperoleh bimbingan.
Namun aku tetap memiliki
positif thinking aja terhadap dosen
pembimbing. Karena ternyata aku bisa menyelesaikan kuliah lebih cepat dibanding
senior satu tahun atau dua tahun di atasku.
Malah pembimbingku
bilang “wah kamu kamu masih baru..bisa cepat ya selesai ?”. pada mulanya
mungkin ia menanggap aku mahasiswa dengan BP yang lebih tua ternyata
tidak.
Mahasiswa yang sedang
kuliah harus jeli melihat masa depan. Mulai kuliah aku mulai melihat masa depan
lebih mendunia. Untuk itu aku ikut aktifitas untuk menuju dunia. Aku ikut
menari..menyanyi..yang scopenya UNAND. Aku diberitahu oleh dosen pembimbing
bahwa kalau berhasil maka ikut panggung di Sydney, Australia..woww hebat bisa
menuju dunia. Aku berfikir bahwa dunia luar semakin dekat. Aku dulu memimpikan
“ternyata Eropa sangat memukau...Eropa itu sangat inspiratif”.
Thesis
Ketika kuliah banyak
orang melihat tesis sebagai sebuah hantu. Mengapa ? Karena mereka tidak
terbiasa dengan sistem penulisan. Apalagi aktivitas mengarang sejak bangku SD,
SMP dan SMA kegiatan mengarang jarang digubris. Mereka melihat rulenya tesis itu cukup berat, kajian
pustakanya..,kendala mereka di sana.
“Benar bahwa penyebabnya
sulit menulis dimulai sejak di SD, di SMP, dan di SMA..di mana projek mengarang
kurang memperoleh tempat”.
Mengapa kultur mengarang
kurang tumbuh saat di sekolah rendah
dulu ? Pada hal latihan mengarang waktu kecil sangat penting terhadap kemampuan
menulis pada taraf pendidikan selanjutnya.
Nah saat aku duduk di
bangku SMP dulu, hari pertama sekolah guru bahasa Indonesia udah memberi
writing project “Ayo kamu bikin
pengalaman selama liburan...!”
Pertama kali menulis
memang susah, sehingga aku mengeluh pada
mama.
“Mama aku nggak bisa
mengarang...!” aku bertanya tentang bagaimana cara mengarang yang bagus. Namun
saat di SMA aku menjadi pengurus mading (majalah dinding..dan aku bertanggung
jawab untuk menulis. Maka aku rajin bikin cerpen untuk ditempel pada mading dan
setelah itu aku juga rajin bikin puisi.
Menullis cerpen kan
butuh tema. “oh sekarang hari ibu kartini dan temanya tentang
wanita,...sekarang hari kemerdekaan..temanya tentang nasionalisme”. Karena aku
pengurus mading maka aku dengan leluasa menempatkan cerpen-cerpenku. Karena aku
senang menulis cerpen maka aku punya kemudahan dalam menulis dan memajangnya
pada mading. Sementara teman-teman yang jarang menulis waktu dulu, ya
mengalami kesulitan untuk
mengekspresikan ide-ide mereka.
Aku sempat membantu
teman yang kuliah di peternakan, yang mengalami kesulitan dfalam menulis tesis.
Sebenarnya ia pintar, tapi ia susah untuk memulai. Ia tidak mengerti tentang
step-step dalam penulisan. “Penyebabnya ya karena tidak terbiasa dalam
menulis”.
Final
Project- Skripsi
Bagaimana
ya aku merampungkan skripsiku sebagai final project ku, dan juga trik-trik yang
juga harus diketahui oleh banyak mahasiswa ?
“Pertama aku perlu membaca banyak literatur di
perpustakaan. Aku menjadi orang paling rajin mengunjungi perpustakaan, membaca
berbagai jenis skripsi dan tesis yang telah diselesaikan oleh para senior.
Dengan demikian aku bisa memperoleh inspirasi untuk memperoleh judul skripsiku”.
Mahasiswa
sastra Bahasa Inggris yang mendalami linguistrik, skripsi mereka banyak yang
membahas tentang semiotik, prakmatik, psikolinguistik, sosiolinguistik..dn
“tik...tik” lainnya. Tema-tema
seperti itu sudah banyak dibahas
dijurusan dan pembimbing ingin kita untuk
mencari dan membahas subjek yang lain. Akhirnya aku melakukan studi
literatur.
“Aku membaca banyak judul-judul tesis yang sudah
ada di perpustakaan. Sehingga aku mencari judul yang sedikit dikaji untuk
menambah khazanah ilmu di sastra Inggris”.
Aku lebih memilih ke
dalam bidang sosilogi dalam bahasa atau
sosiolinguistik. Aku harus mencari masalah dalam sosiologi.
“Repot juga ya mencari
masalah dalam sosiologi...!!”. Aku berfikir dan kembali ke lingkungan. Apa yang
jadi masalah dalam lingkungan ? Ternyata aku lebih tertarik mengangkat masalah
“swear word” yaitu kata kata bersumpah.
“Swear Words adalah kata carut marut atau kata-kata yang
mengungkap emosi kesal, seperti sumpah mati...., biar aku disambar gledek. Nah
ini contoh dari swear word tersebut”.
Aku kurang mengenal
swear word dalam kehidupan karena mamaku
jaraaaang atau hampir tak pernah menggunakan swear word dalam marahnya. Namun
dalam pergaulan, aku tahu banyak swear word. Teman-teman menggunakan swear word
untuk keakraban. Swear word yang lain seperti “Oh my god,....very
awesome......bullshit” Ada banyak lagi bentuk dan jenis swear word tersebut.
Aku berfikir, kenapa
teman-teman menggunakan kata kata kotor, kata kata emosi, swear word untuk
untuk mengungkapkan bahwa hubungan emosi
mereka cukup dekat (?). Tapi aku mengambil kasus swear word dalam bahasa
Inggris.
Kendala lagi bahwa untuk
melakukan penelitian tentu aku nggak
mungkin pergi ke Inggris atau ke komunitas orang orang Inggris, apalagi ke
Australia, Amerika atau London. Sehingga aku memilih media televisi yang ada
swear wordnya..
Menurut teori bahwa
film-film yang ada dalam cinema itu juga mengaju pada kehidupan harian dan
kebenaran masyarakat Inggris. Meskipun ada suatu kelebaian (melebihkan) dalam
film tetapi itu untuk membuat daya tarik bagi film. Aku akhirnya mengambil film
latar berlakang orang Inggris.
Lagi-lagi aku mencari
teori tentang menggunakan film sebagai sumber data. Aku menemukan teori bahwa
film ada yang mengacu pada peristiwa kehidupan sehari-hari. Aku mencari film
yang banyak menggunakan swear word.
Aku memilih tiga film.
Satu film bersifat “true story”, nah itu memperkuat penelitianku. Filmnya
adalah “Mr and Mrs Smith”, aku menemukan film dari cinema berbagai DVD yang aku
beli available in the market.
Film Mr and Mrs Smith
adalah film yang mewakili upper and
middle class. Aku mendengar bagaimana mereka mengeksplorasikan swear word
dalam hidup mereka, yaitu kata sumpah serapah. Kemudian film Domino. Domino is also a true story.
Voila, quelle tittre de ton thesis ? (apa
judul tesis mu ?). Oh it is “ swear word in three movies” (oh kata kata sumpah
dalam tiga sinema). Attend je regarder
mon ordinateur (tunggu sebentar aku lihat judulnya dalam laptop dulu..!).
“Setelah kamu punya
judul buat thesis, nah bagaimana kiat- kita supaya cepat menyelesaikan thesis
tersebut ?”
Waktu tiba saatnya
menulis thesis, aku tidak menunda-nunda kesempatan. Di saat judulku sudah
di-acc (disetujui oleh pembimbing) aku langsung menjalankan penulisan.
Searching literatur (cari cari literatur lagi) di perpurstakaan. Untuk
sistematika penulisan, walau aku sudah tahu dari dosen dan juga dari buku buku,
namun juga lebih bagus melihat contoh langsung. Aku menemukan banyak
bentuk dan aku comparison (bandingkan)
mana yang lebih bagus dan lebih aku pahami, aku pakai.
Saat judul thesisku
sudah OK pada siang hari dan ada revisi,
ya aku langsung perbaiki malam nya, tanpa menunda waktu yang lebih lama.
Aku takut lupa atau ide ide juga bisa
tidak cemerlang lagi kalau ditunda sehari- dua hari sesudah itu. Kebiasaan
positif ini menguntungkan aku.
Mahasiswa lain mungkin
bisa punya problem dalam menulis thesis. Problem mereka mungkin dalam
keterbatasan menemui buku, atau theory yang baru untuk mendukung thesis kita.
“Maka kita juga harus
gigih bertanya pada dosen dan juga kepada para senior, mana tahu mereka punya info tentang buku yang dicari. Aku
sendiri sampai mencari buku sumber thesis ke universitas lain, seperi ke UPI,
Universitas Bung Hatta, ke UNP, dan ke perpustakaan daerah”.
Akhirnya setelah thesis
atau skripsi selesai maka pintu terbuka menuju dunia, namun ada lagi pintu
pintu lain yang tertutup. I open one
door, enter another door and open several doors”. Waktu selesai aku
merasakan hampir nganggur dan jadi pengangguran.
BAB. V Menatap Dunia
Mencari Pekerjaan
Kerja dan belajar serius
merupakan kunci sukses dalam studi. Aku akhirnya mampu menyelesaikan skripsi
dan terus ujian kompre. Aku dinyatakan sebagai sarjana baru pada sastra bahasa
Inggris di Universitas Andalas Padang.
Namun setelah ujian kompre, kebetulan kakakku menikah. Aku
juga ikut merasa sibuk atas persiapan pernikahan kakak tersebut. Aku merasa
bahagia karena bisa memberikan tenaga bagi
suksesnya pernikahan kakak.
Setelah itu aku sempat diskusi dengan famili, “setelah
kamu selesai kuliah apasih projek kamu ?”
“Ya....tentu aku
pengerja dan aku takut jadi
pengangguran”, jawabku.
“ Kamu sudah cari
info...?”
“ Ya....kebetulan juga
ada info pekerjaan dari saudara papa
bahwa di UNP ada lowongan untuk menjadi dosen. Passing gradenya tidak begitu
tinggi yaitu untuk lulusan S.2 dan lulusan S.1”.
Aku juga mendengar bahwa
juga ada kesempatan jadi tenaga pendidik atau dosen di UNAND. Aku mencari
info lebih lanjut dari UNAND dan bagaimana passing grade nya.
“Besoknya aku ke Padang
....!!”
“Buat apa....?” Tanya
mama.
“ Ada lowongan untuk
jadi dosen di UNAND”. Aku menjelaskannya pada mama.
Ternyata informasinya
benar bahwa disana juga dibutuhkan dosen dengan pendidikan S.2 dan S.1. Sayang
saat itu aku belum mendapatkan transkrip
nilai, namun ijazah sudah ada.
“Aku harus fighting (berjuang) untuk mendapatkan
transkripsi nilai, kalau ditunggu bisa-bisa ..peluang emas jadi hilang. Karena
transkrip nilai kelarnya 2 bulan lagi. Aku menemui petugas di kantor jurusan
dan mengikuti berbagai petujuk demi kemudahanku”.
Aku kemudian ikut
mendaftar menjadi dosen di UNAND walau hanya dengan menggunakan keterangan transkrip nilai saja. Bagiku Ini merupakan
langkah berikutnya untuk move on
from being a girl to be a woman, berpindah dari seorang bocah perempuan
menjadi perempuan dewasa. Tentu
saja banyak orang yang menginginkan jadi dosen, mendapat pekerjaan dan aku
termasuk salah seorang fighter di sana. Aku berusaha keras dan belajar untuk menang.
Namun jauh sebelumnya
aku juga sudah fighting atau bersaing dengan para senior untuk mencari posisi
dosen di UNAND dan politeknik yang ada di Payakumbuh. Dua-duanya politeknik
“Polikteknik Unand di Padang dan yang di Payakumbuh”. Sebetulnya juga ada
formasi butuh dosen untuk sastra Inggris. Karena aku tahu suasana Sastra
Inggris, kalau aku ikut formasi dosen sastra, aku pikir aku tidak bakal
berkembang karena aku dibayang-bayangi oleh sosok dosenku, mereka sudah sangat
pintar dan senior dan aku belum, gap akan besar.
Kalau aku ambil posisi dosen Politani- UNAND yang di Payakumbuh ya agak jauh dari Padang. “Menurutku bahwa Padang tetap menjadi
kota yang bagus buat menimba ilmu. Ya aku ikut saja formasi Politeknik yang di Padang saja. Disini formasi yang ada cuma untuk satu orang dosen.
Agaknya aku harus bersaing untuk mengisi satu formasi ini”.
Mama sempat komplain.
“Mengapa kamu ambil yang formasi ini,
karena hanya untuk satu orang, sementara itu kamu masih fresh graduate- baru lulus kemaren. Saingan kamu yang lain sudah banyak yang senior”.
Aku menjelaskan argument
ku pada mama. “Mama... itu bukan final
choice bagiku, kalau gagal ya aku cari peluang yang lain. That’s the first time for me to use my degree. Finally mama oke with my choice.”
Persyaratan test untuk
menjadi dosen meliputi TPA (test potensi akademik), test akademik, dan
wawancara. Jadi ada tiga unsur. Untuk mengantisipasi agar lulus dalam test TPA aku perlu belajar dan berjuang. Untuk lulus dalam test TPA aku harus tahu banyak dengan pengetahuan umum.
Saat aku di SMA, aku jurusan sains dan itu berarti pemahaman sejarah dan hukum
agak kurang. Jadi aku mungkin lebih kuat
pada bidang numerikal dibandingkan
bidang verbal.
Sejak kecil orang tua
sudah menanamkan padaku kesadaran untuk menjadi orang yang
mandiri.
“Ya aku sudah ditanamkan
untuk mandiri, sehingga aku harus menjalankan prinsip mandiri, termasuk dalam
belajar”.
Kemandirian ku sudah aku
buktikan saat menyelesaikan thesis. Saat
itu aku punya banyak waktu kosong. Kasihan
waktu terbuang percuma. Maka aku berusaha untuk mencari kegiatan
part-time pada bimbingan belajar sempoa. Aku mencari informasi dan mendaftar ke sana. Aku diterima dan aku
bekerja untuk membimbing siswa sekolah
dasar untuk bahasa Inggris.
“Aku juga mendaftar ke
GO (Ganesya Operation). Ada empat tahapan seleksi yang harus aku lalui dan ternyata melalui empat tahapan aku lulus
juga”.