Marjohan, M.Pd Guru SMAN 3 Batusangkar Raih Guru Juara 1 Guru Berprestasi Tingkat Nasional
Seleksi guru berprestasi telah dilaksanakan di
Jakarta pada tanggal 3 – 10 September 2012 kemaren. Sumatra Barat mengirim 13
orang dari setiap jenjang pendidikan (guru, kepala sekolah dan pengawas) untuk
mewakili propinsi ini dan berkompetisi dengan 33 propinsi lain di tingkat
nasional. Marjohan, M.Pd- guru SMA Negeri 3 Batusangkar- berhasil meraih peringkat Pertama (1) guru
berprestasi tingkat nasional, sekaligus menyisihkan guru guru hebat lain yang
berasal dari 32 propinsi. Berikut percakapan antara Padang Ekspres dengan
Marjohan M.Pd di rumahnya- Komplek Griya Alam Segar, Bukitgombak, Batusangkar.
“ Apa yang membedakan anda dengan guru lainnya ?”
Saat remaja- waktu sekolah di SMA- saya sibuk mencari-cari
karir masa depan yang pas buat saya. Saat itu belum lagi zamannya internetan,
maka untuk mencari info pekerjaan ya lewat banyak orang- tanya sini- tanya
sana. Kadang- kadang guru di sekolah bercerita tentang pengalamannya dan itu adalah
info karir bagi saya. Tentang prospek dan bentuk karir lain saya peroleh dari
lingkungan. Saat lulus SMA, saya bingung mau kuliah di mana ?. Ya pilihan yang
mantap adalah menjadi guru. Maka saya ikut test masuk Perguruan Tinggi- saat
itu bernama Sipenmaru (Sistem Penerimaan Siswa Baru). Saya lulus pada jurusan
Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Padang- sekarang bernama UNP.
Saya mengikuti perkuliahan dengan tekun. Saya
paling senang duduk di depan agar bisa
berinteraksi dan mendengar suara dosen lebih jelas. Namun saya tidak suka
menjadi mahasiswa pasif- bertipe rumahan atau mahasiswa 4D (duduk, datang,
dengar, diam). Saya ikut kegiatan di kampus dan di luar kampus- sebagai remaja
mesjid. Malah saya juga ikut mendaftar sebagai guide (pemandu wista)
Sumatra Barat, memandu bule-bule keliling Sumatra Barat. Ada manfaatnya buat
saya “memperlancar bahasa Inggris dan sekaligus bisa peroleh dollar buat menambah
uang jajan. Manfaat lain adalah untuk melatih keberanian dan menumbuhkan
karakter mandiri- tidak menjadi mahasiswa yang cengeng- ini berguna buat
menghadapi masa depan.
Untuk menambah wawasan tentang profesi sebagai
pendidik- paedagogik dan kualitas bahasa Inggris- maka tidak cukup hanya
menghafal catatan kuliah, namun saya juga banyak membaca buku referensi dan
membaca koran dan majalah berbahasa Inggris. Saya juga mencari kesempatan agar
bisa bertukar fikiran dengan dosen-dosen bahasa Inggris warga asing atau
langsung berkomunikasi dengan native speaker.
Saya tidak suka menunda-nunda pe-er perkuliahan.
Ada tugas ya langsung kerjakan dengan baik- tidak asal-asalan. Saya menjadi
mahasiswa yang aktif- saya digelari teman saat itu sebagai “kamus berjalan”
karena kosa kata (vocabulary) saya sangat banyak, itu berguna bagi mereka untuk
lomba scrabble. Saya bisa wisuda tepat waktu...langsung ikut tes PNS untuk
menjadi guru melalui beberapa tahapan. Saya lulus dan saya ditempat menjadi
guru di di SMA Negeri 1 Lintau- Kabupaten Tanah Datar, sekarang menjadi guru di
SMA Negeri 3 Batusangkar.
Saya berprinsip bahwa saya harus menjadi guru yang
berbeda dari guru lain- guru yang pintarnya berganda- “multiply- inteligence”
seperti menurut De Porter. Saya perlu tahu dan menguasai empat kompetensi guru-
yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan
kompetensi profesional. Jadi, saya harus belajar lagi- bukan berarti setelah tamat
kuliah harus tutup buku- ya saya perlu meminjam buku dari perpustakaan, dari
teman atau beli sendiri buku-buku psikologi perkembangan dan psikologi
pendidikan. Juga buku tentang dunia sekolah, tentang lingkungan dan sosial.
Saya banyak membaca buku berbahasa Inggris dan berbahasa indonesia, juga
berbahasa Perancis dan Arab.
Saya membaca 100 halaman per hari, saya targetkan
membaca buku pagi- siang- sore dan sebelum tidur, masing masing 25 halaman.
Tetapi itu juga bukan target yang kaku.
Yang penting saya bisa menamatkan baca satu buku per-minggu. Bukan berarti kutu
buku- saya juga bergaul dengan teman teman, masyarakat dan orang tua
murid.
“Bagaimana sistem yang anda pakai dalam mengajar ?”
Wow ada banyak teori dalam mengajar, seperti
kontektual, teori direct method, namun saya perlu ingat bahwa dalam mengajar
kita harus melaksanakan prinsip “pengajaran terfokus pada siswa, bukan teacher
centered juga bukan plesetan dari CBSA- catat buku sampai habis. Yang
penting guru itu bukan lagi sebagai sumber ilmu satu satunya namun lebih berperan
sebagai motivator, facilitator, counselor buat anak didiknya di sekolah.
Saya tertarik mengajar dengan pendekatan PAKEM
(pembelajaran aktif kreatif efektif dan menyenang). Agar pembelajaran itu
menyenangan maka guru dan siswa perlu punya jembatan hati. Guru harus membuka
diri terlebih dahulu dan perlu memberikan excellent service- pelayanan
prima selama mengajar. Agar siswa senang dalam belajar maka guru perlu sering say
hello, memuji, minta maaf “very good....very excellent”. Guru perlu
hafal nama siswa dan menyebut namanya agar siswa merasa dirinya sangat spesial
bagi gurunya.
InsyaAllah selama menjadi guru- sudah 23 tahun-
rasanya saya tidak ada membentak siswa. Buat apa siswa dibentak dan apa gunanya
melukai hati mereka. Membentak anak didik bisa membuat hati mereka terluka,
jembatan hati antara kita dan mereka bisa ambruk. Sebaik apapun kita
mengajar...namun kalau jembatan hati rusak...mereka akan menolak kehadiran kita
atau mereka terpaksa mengikuti PBM kita.
Kalau ada siswa yang bandel ? Itu pertanda mereka
butuh menjadi nomor satu, butuh touching- sentuhan hati....datang saja
pada mereka say hello....sapa nama mereka dan ajukan bantuan “what
can I do for you” Biasanya mereka berubah baik...bandel itu cuma sekedar
cari perhatian.
“Bagaimana motivasi anda dalam mengajar, menulis dan lainnya yang membuat anda bisa menjadi guru teladan. Apakah anda berniat menjadi guru teladan, atau
karena kebetulan ?”
Memilih profesi sebagai
guru adalah sangat mulia, karena guru bisa mengubah orang jadi kurang pintar
hingga menjadi pintar, dari mkurang berdaya hingga menjadi orang yang berdaya.
Sebelum dan sesudah menjadi guru saya membaca banyak biografi para pendidik
ulung, termasuk biografi Kihajar Dewantoro, Paul Freire, Mohammad Syafei-
pendiri INS Kayu Tanam, juga Dorothy Law.
Bukankah Kihajar Dewantoro
memperkenalkan pada kita tentang prinsip menjadi guru yaitu “Ing madya
mangun karso, ing ngarso sung tulodo, tut wuri handayani”, atau konsep
pendidikan ala Mohammad, Syafei agar guru bisa membantu anak didik memiliki “Head,
heart and hand” maksudnya otaknya cerdas, hatinya beriman dan tangannya
terampil. Maka saya termotivasi untuk bisa berperan menjadi sebuah sekerup
dalam bangsa ini untuk ikut memajukan dan menjerdasan generasi muda bangsa
Indonesia.
Motivasi dalam menulis......bahwa
populasi bangsa Indonesia sangat besar di dunia. Mereka semua butuh bacaan dan
mereka adalah para pembaca dan kalau boleh musti ada segelintir orang Indonesia
yang sudi jadi penulis- menulis ide-ide untuk mencerahkan hati dan pikiran
orang orang kita. Saya sering merasa sedih “mengapa buah pikiran bangsa
Indonesia belum begitu dikenal luas di dunia, itu karena kita jarang menulis
dan malah malas menulis. Orang luar malah menjadi tahu setelah ada tokoh hebat
yang tersembunyi dibalik awan Indonesia diekspos ke luar. Sebetulnya ada hal
yang dahsyat kalau kita-kita bersemangat dalam menulis. Maka menulis dalam
bahasa-bahasa dunia (bahasa Inggris, Arab, Perancis, dll) agar orang tahu
dengan kita dan Indonesia bisa mendidik dunia.
Inilah obsesi saya dalam menulis. Untuk menambah
inspirasi menulis, saya butuh energi dan itu bisa saya peroleh melalui membaca
biografi penulis hebat dunia, bertukar fikiran dengan teman-teman penulis dan
menambah wawasan setiap hari. Menulis butuh latihan dan pembiasaan. Kini saya
lebih fokus untuk menulis seputar masalah pendidikan yang meliputi tema tentang
motivasi, semangat hidup, kisah sukses dan hal- hal yang menginspirasi.
Menjadi guru berprestasi nomor satu di Indonesia
(dahulu disebut dengan guru teladan) ya...tidak bisa diperoleh dalam sekejap
mata namun melalui proses dan jalan yang sangat panjang. Saya pada mulanya tidak
bermimpi untuk menjadi seorang Teacher of The Year. Itu terjadi hanya diawali
oleh prinsip untuk menjadi guru yang berbeda dan melakukan proses “longlife
education- belajar sepanjang masa”.
Bagi guru di Sumatera Barat dan juga di Indonesia
yang perlu mereka lakukan adalah pengembangan diri, salah satunya melalui
menulis. Saya sendiri melakukan dan membuktikanya. Saya menulis dan menulis,
pada mulanya menulis artikel yang banyak dan dipublikasi pada koran-koran
daerah (Sumbar dan Sumsel). Kemudian saya tingkatkan- memberanikan diri- untuk
menulis naskah buku. Entah bagus-entah tidak...saya tawarkan ke penerbit dan
ternyata direspon. Saya tulis lagi buku- buku yang lain. Selain menulis saya
juga aktif dalam kemasyarakatan- sebagai nara sumber bagi MGMP (Musyawarah Guru
Mata Pelajaran), mengurus mushola/ mesjid dan juga membimbing siswa dalam
perlombaan hingga bisa meraih juara tingkat propinsi dan nasional, dokumen
mereka menjadi portofolio bagi saya.
Dari kumpul berbagai aktifitas di sekolah, di
rumah dan dalam masyarakat, ditambah dengan pengalaman lain- menulis, menjadi
pemandu wisata dan kemampuan berbahasa asing yang agak lebih (Perancis dan
Inggris) membuat portofolio saya semakin
berarti.
Ada 3 bentuk penilaian dalam seleksi guru
berprestasi, mulai dari tingkat Kecamatan hingga tingkat Nasional, yaitu test
tertulis (tentang kepribadian, wawasan dan tentang empat kompetensi guru),
kemudian presentasi karya tulis ilmiah atau best practice, serta
penilaian portofolio. Presentasi karya ilmiah saya dalam bahasa Inggris dan
campur bahasa Perancis, kemudian kualitas portofolio yang saya persiapkan cukup
memdai. Kekuatan saya saat berkompetisi dengan guru-guru hebat dari propinsi
lain adalah dalam hal menulis dan penguasaan bahasa serta wawasan. Namun menjadi
guru teladan nasional bukan disebab oleh unsur itu saja, namun juga oleh faktor
kebaikan lingkungan, doa dan restu dari famili, teman dan siswa saya, juga
berkah dari Allah Swt.
Pada mulanya tidak ada niat untuk menjadi guru
teladan, dan menjadi guru teladan juga bukan secara kebetulan. Namun menjadi
guru teladan adalah akibat akumulasi dari proses hebat melalui jalan yang
sangat panjang.
“Sekarang ini banyak yang
menuding sistem pendidikan di Indonesia kacau dan gagal. Setiap tahun ganti
kebijakan yang tak jelas ujung pangkalnya. RSBI, SBI, sertifikasi, dan
kebijakan lainnya tidak berhasil mengubah wajah pendidikan Indonesia dan
meningkatkan mutu pendidikan. Bagaimana pandangan anda tentang hal ini- Siapa yang salah? Pemerintah, guru, siswa,
orangtua, sistem, atau memang waktu yang masih berjalan?”
Saya rasa konsep pendidikan Indonesia sudah benar.
Namun fenomena yang terjadi adalah bahwa bangsa kita (baca: orang tua) terlalu
menyerahkan urusan mendidik anak pada pemerintah- pada sekolah. Maaf- bahwa banyak
orang tua yang berlepas tangan dalam urusan mendidik.
“Mendidik anak itu urusan sekolah dan urusan
mesjid”. Itu berarti yang perlu dikembangkan adalah “Program Parenting-
yaitu menciptakan program pelatihan bagaimana menjadi orang tua yang benar bagi
putra-putri mereka”.
Sekarang banyak orang tua yang belum paham
bagaimana menumbuh kembangkan anak. Dalam mendidik mereka cenderung meniru
generasi sebelumnya. Kalau mereka dulu sering dibentak, dihardik...maka mereka
juga akan membentak dan menghardik dalam mendidik anak. Yang diperlukan oleh
generasi muda adalah “reward atau penghargaan” bukan punisment
yang berkepanjangan.
Saya menghimbau pada orang tua dan guru agar
banyak mengucapkan “Thank you......., very good......dan I am very sorry..!”Pada
anak anak dan siswa mereka. Maksudnya mereka musti mampu menjadi model untuk
bisa mengucapkan “terima kasih, memuji dan minta maaf- bukan lagi menunggu
terima kasih, mencela dan kikir untuk minta maaf”. Ini agar generasi muda kita
tidak menjadi bangsa yang kehilangan karakter.
“Setiap tahun ganti kebijakan...”, ohhh tentu perlu, inikan bentuk dari revisi
untuk perbaikan suatu program dan para stakeholder yang mengambil kebijakan
adalah orang-orang hebat tentu demi kebaikan bangsa yang besar ini.
Kebijakan membentuk RSBI, dan SBI itu bagus, karena sekolah sekolah di Indonesia tidak seharusnya lagi berskala lokal
dan terfokus pada pemikiran lokal. Dalam
pelaksanaan tentu butuh orang yang bisa berlari dengan cepat- yaitu ikut
mendukung program ini. Namun apa yang terjadi bahwa ada sebagian yang suka hanya
sekedar mengeritik tanpa memberi way- out. Tentu saja setelah program
RSBI dan SBI ini launching (berjalan) tentu saja butuh evaluasi dan
revisi bersama sama.
Kebijakan tentang sertifikasi itu juga bagus yaitu untukm menilai seberapa jauh
persiapan dan kompetensi guru- apakah sudah layak sebagai guru profesioinal
(?). Kalau sudah layak yang perlu diberi label sertifikasi. Lagi lagi dalam
pelaksanaanya perlu dukungan dan bimbingan dari semua pihak, maklum kita kan
bangsa yang besar- banyak manusianya dan banyak pula ulah (prilaku) nya.
“Seperti apa sebaiknya
guru, siswa, orangtua dan pemerintah agar mendapatkan pendidikan yang
berkualitas dan membentuk manusia berilmu dan berkarakter”.
Oh ya....tentu saja guru
dan orang tua sebaiknya menjadi motivator sejati buat membangkit
semangat hidup dan semangat belajar anak- anak (juga anak didik) mereka.
Bukankah pada sekolah sekolah yang hebat dan berkualitas...itu bisa terbentuk
oleh energi motivasi yang hebat, dimana di sana terdapat ungkapan penghargaan
dan dorongan. Selanjutnya orang tua dan guru juga harus jadi model (atau
uswatul hasanah). Tidak ada gunanya kalau orang tua dan tua hanya pintar
menyuruh dan berceramah namun tidak melakukan action yang hebat dalam
hidup.
Kalau bagi
pemerintah...tentu saja sebagai penyedia fasilitas (facilitator)-
membuat program pelatihan dan pengembangan diri bagi guru, siswa, kepala
sekolah dan pengawas sekolah. Namun kalau boleh juga ada program parenting-
bagaimana menjadi orang tua yang ideal bagi anak. Negara negara maju punya
banyak program parenting, sehingga orang tua dan guru mereka bisa bersinergi
dalam mendidik. Kalau bagi kita peran orang tua terlihat pasif dan guru terlihat merasa lebih
tahu dari orang tua.
“ Banyak juga pihak yang
menuding bahwa pendidikan indonesia saat ini hanya mementingkan hasil (nilai),
bukan proses, bukan nilai-nilai usaha, kerja keras dan kejujuran untuk
mendapatkan nilai itu? Menurut anda ?”
Dalam konsep yang dibikin
oleh stake-holder pastilah sangat bagus. Namun dalam pelaksanaannya (dalam
menterjemahkan kebijakan) bagi praktisi pendidik di lapangan ya.....memang
terlihat mengejar nilai. Maka terjadilah kerjasama bimbel dengan sekolah untuk
melatih anak didik dalam memahami konsep lewat sistem cepat (belajar dengan
sistem karbitan) dan kemudian memberi latihan.... latihan...mengolah soal
soal...membuat passing grade dan meramalkan karir yang cocok bagi mereka.
Kadang kadang karir atau jurusan/ Perguruan Tinggi yang direkomendasikan oleh pemilik
bimbel terhadap anak didik bertolak belakang dengan keinginan orang tua.
Bukankah setiap semester
genap untuk kelas 12 bagi sekolah sekolah SMA, dan kelas 9 bagi tingkat
SMP berubah menjadi “SMA Negeri bimbel
dan SMP Negeri bimbel” dan mata pelajaran yang diajarkan hanya mata pelajaran
yang masuk dalam UN. Sebagai konsekuensi anak anak amat menghormati dan
menghargai mata pelajaran (dan guru guru) yang di-UN-kan. Memang membina dan
mengembangkan mutu pendidikan tidak semudah membalik telapak tangan. Ini butuh
kiontribusi semua pihak, jangan hanya sebatas pintar mengeritik tetapi juga
ikut memberi problem solving.