Aku juga mengajar
privat untuk mengisi waktu luang.
Akhirnya aku juga merasakan
enaknya mengajar. Maka saat ada
lowongan untuk menjadi dosen, semua keluarga juga mendukung, maka aku langsung respon, “Why not”. Pada hal
dahulu saat masih duduk di bangku SMA,
juga saat mendaftar ke universitas aku
sudah bilang tidak akan menjadi guru, seperti mama.
Akhirnya aku lulus
seleksi menjadi dosen Politeknik Negeri Padang. Aku menjadi young lecturer dan aku tentu merasa sedikit nervous mengajar
mahasiswa yang usianya hampir sebaya aku.
“By the way aku merasa
nervous mengajar mahasiswa karena aku sebelumnya hanya terbiasa mengajar
anak-anak SD di pusat bimbingan belajar dan sekarang harus mengajar mahasiswa”.
Aku mengajar di
Politeknik Negeri Padang, mahasiswa yang aku
ajar usianya sedikit di bawah ku. Mereka
tampak ibarat siswa SMA.
Kami menyebut mereka sebagai siswa kelas
empat SMA- karena tingkah laku mereka masih seperti anak SMA saja. Mereka juga
ragu apakah aku ini dosen mereka atau tidak.
“Berapa umur
miss. Apakah miss dosen kami......, apakah miss sudah menikah,...apakah
miss memiliki ilmu yang luas ?” Mereka
semua bertanya dan juga ragu atas eksistensiku.
Komentar dan pertanyaan mereka muncul
akibat usia ku terpaut sedikit saja dari usia mereka. Tampaknya mereka sedikit under estimate pada ku. Itu terlihat
dari wajah mereka yang sedikit enggan. Ya mahasiswa Politeknik itu kan banyak
yang laki-laki, dan sekali lagi mereka itu mahasiswa ibarat murid kelas empat
SMA. Karena karakter mereka seperti anak SMA: suka menggoda guru, agak cengeng
dan sedikit nakal.
Mereka pun sering menggodaku, menanyakan statusku. Ya aku
katakan “Aku sudah married dan
punya anak dua dan tinggal di perumnas”.
Mereka
bertanya lagi “Kok miss terlihat masih
muda,....apakah kami boleh pergi membuat PR ke rumah miss ?”
Malah ada yang agak
bandel sampai-sampai mengirim SMS
segala. Sementara dosen wanita yang lebih tua tentu tidak begitu lagi
diperhatikan oleh mahasiswa. Memang mereka sedikit nakal.
“ Ya agak sedikit nakal,
ibarat anak- anak SMK saja. Benar karena mayoritas mahasiswa Politeknik adalah lulusan
SMK”.
Saat
bienvenu (kedatangan) CPNS baru, dan mereka adalah para dosen yang berusia
muda, termasuk aku. Kami diberitahu
bahwa mengajar mahasiswa politeknik yang rata-rata banyak berasal dari lulusan
STM. Karakter mereka agak
berbeda dari mahasiswa yang kuliah di universitas yang orientasinya
adalah mencari ilmu. Sementara kalau dipoliteknik, orientasi mereka adalah
kuliah untuk siap kerja. Itu perbedaanya.
So
pasti karakter dan gaya belajar mereka
juga berbeda.
“Miss ..aku kurang ngerti dengan pelajaran yang miss berikan,
boleh dong ke rumah miss untuk buat
PR atau
minta bantu sama miss ?” Sementara
mahasiswa yang belajar di universitas mereka dituntut untuk betul-betul
mandiri.
“Kalau di university...kalau
tugas ya tugas...nggak ada bilang- bilang ggak bisa. Kalau di politeknik mereka
masih suka bergantung, ada masalah kelas sedikit, langsung bergantung atau
mengadu/ bermohon perlindungan”.
From
Padang to Bali
From
Padang to Bali, itu terjadi karena keharusan juga. Setelah aku jadi dosen
dengan status CPNS (calon pegawai negeri sipil). Untuk menjadi dosen penuh ada
peraturannya yaitu tenaga dosen pendidikannya paling kurang harus pascasarjana.
Untuk politeknik itu baru sebuah keputusan yang baru dan berlaku untuk politeknik seluruh
Indonesia.
Sebelumnya Rektor juga sudah menyatakan bahwa dosen
yang baru memperoleh pendidikan Strata 1 diwajibkan untuk
melanjutkan pendidikan ke S.2 (pascasarjana).
“Aku kemudian melakukan
searching ke internet lagi dan menemukan informasi tentang beasiswa. PUDIR I
(pembantu rektor I) juga menyatakan bahwa ada kuliah dengan program double
degree. Tetapi itu untuk bidang
pariwisata. Dia menambahkan bahwa program itu
juga bagus buat ku karena masih
ada korelasinya dengan sastra Inggris”.
Aku
mendaftarkan diri dan ikut ujian tulis. Setelah aku ikut ujian
untuk kuliah double degree, ya ternyata aku dinyatakan lulus.
“Ujian untuk mengambil
pascasarjana ke Bali dengan program double degree, calon mahasiwa tidak perlu
pergi kesana untuk test. Professornya yang datang ke Politeknik Padang. Aku langsung mengikuti ujian tertulis”.
Sistem ujian ya sistem
jemput bola, mereka datang untuk memberi ujian. Saat itu ada 5 orang yang
ikut program double degree dan setelah test/ seleksi semuanya dinyatakan lulus.
Malah ada satu orang yang tidak mengambil,
mungkin karena dia punya alasan
keluarga. Dan bagiku sendiri lulus untuk pendidikan S.2 di Universitas Udayana berarti
perpanjangan untuk menjadi mahasiswa lagi.
Jangankan pergi ke pulau Bali, aku sendiri sebelumnya
kurang punya pengalaman tinggal dan studi di kota- kota besar di Pulau
Jawa. Naamun sekarang aku harus
beradaptasi untuk tinggal di Pulau Bali, yaitu sebuah pulau Internasional. Apalagi Pulau Bali sendiri memiliki kultur yang berbeda dengan kultur di kampungku.
Studi
di Bali tidak begitu stressed
malah aku merasa santai. Aku juga
merasa sangat excited.
“Wow..aku mau kuliah di Bali, wow Bali daerah yang mengagumkan....!”
Bali adalah sebuah pulau
yang sangat beken dan terkenal di seantaro dunia. Namun mamaku mulai
melakukan interferensi.
“Wah Ranti , bagaimana hidup dan makanmu di sana ?
di situ kan susah makannya,...kamu harus cari makanan halal ya..!!!”
Penduduk
asli pulau Balim umumnya memiliki budaya, agama, dan tradisi yang unik dan
berbeda dari daerah-daerah lain di Indonesia. Tata cara yang ada di Bali juga beda dengan
di kampungku. Naluri keibuan mama atas diriku kembali muncul. Mama mulai mencari info.
“Siapa
ya orang Kabupaten Tanah Datar atau
orang Batusangkar yang ada di Pulau Bali ? Di mana tempat tinggal yang
aman bagi Ranti ? dan dimana makanan halalnya ?” Mama lebih beraksi duluan dari
padaku.
Di mata mama mungkin aku
masih kecil, jadi aku selalu diurus seperti itu.
“Aku rasa ini adalah semacam mother’s
instink to protect her daughter’ life”. Sebelum aku pergi kesana, mama
lebih dulu memahami dan mengetahui
medannya.
“ Mengapa mama begitu
besar khwatirnya, pada hal aku
selalu bersikap confident. Dan ini juga
sudah ditanamkan oleh papa sejak dulu
“Kamu harus selalu memiliki percaya diri yang
tinggi”. Kata papa berulang kali. Namun
ternyata papa juga merasa gundah di saat seorang ibu merasa gundah
terhadap anaknya.
“ Ya papa
juga ikut gundah dan sangat
peduli “ Itu karena aku seorang
perempuan dan tidak punya saudara yang tinggal di pulau Bali.
Aku lulus dan terdaftar
sebagai mahasiswa Pascasarjana di Universitas Udayana Bali. Aku mengambil jurusan kajian pariwisata untuk
master degree. Saat aku enter ke dalam kelas pariwisata, aku merasa blank.
“Karena aku tidak punya basic tentang dunia parawisata. Pada minggu pertama kuliah
tentu ada semacam kelas orientasi, untuk mengenal kampus dan sistem perkuliahan
di sana. Wah kuliah pertama itu terasa ngambang saja bagiku”..
Aku merasa blank kuliah
di parawisata karena basic pendidikan
S.1 hanya tentang sastra bahasa Inggris. Aku hanya belajar tentang linguistik,
semiotik, psikolinguitik dan pragmatik. Sementara di S.2 aku akan menyorot
kajian pariwisata. Aku akan belajar tentang hukum, imigrasi, pabean atau
beacukai....dan lain-lain.
“Ternyata kuliah di pariwisata adalah kuliah tentang ilmu yang interdisipline. Semua
disiplin ilmu bisa masuk ke sana. Jadi aku merasa seperti anak SMA lagi. Ya aku belajar dan belajar,
menghafal dan menghafal terhadap semua mata kuliah. Aku juga banyak diskusi
dengan teman-teman dari jurusan lain”.
Dari diskusi tersebut
aku bisa memahami banyak teori. Kuliah di sana kami juga bikin tugas bersama teman-teman. Namun tugas- tugas di S.2 lebih
berat dibanding dengan tugas saat kuliah
S.1. Kalau ada satu buku untuk satu mata pelajaran, maka paling kurang
mahasiswa yang kuliah S.2 harus memahami satu chapter perminggu, itu juga harus
diringkas, disiapkan power pointnya
buat presentasai di kelas.
Aku juga harus
tentang trik-trik agar
sukses kuliah di S.2 di Udayana. Mahasiswa yang sukses atau tidak sukses
bisa terlihat dari excited atau tidak
excited-nya ia dalam mengikuti
perkuliahan. Kemudian juga apakah aktif atau tidak aktif dalam perkuliahan.
Karena program double deggree ini nanti musti lanjut kuliah ke Sorbonne, atau
universitan Angers di Paris- Perancis, maka aku harus aktif dan merasa excited
dengan kuliahku ini.
“Kamu kuliah di
Bali...?” Tanya teman
“Ya...aku kuliah di
pulau Bali, sambil kuliah aku juga bisa
rekreasi dan shopping”.
Terus terang bahwa aku
merasa kesulitan kuliah di Udayana, khusus dalam semester pertama, karena aku
harus memahami topik-topik baru.
Senentara itu sistem transportasi di pulau Bali juga berbeda dengan
Sumatera Barat. Transportasi disana tidak lancar. Transportasi umum tidak bisa
meng-acces semua rute. Jadi yang lebih praktis adalah naik taxi. Namun untuk mencapai kampus, aku
tidak merasa ada masalah.
“Selain kuliah aku juga
ikut kegiatan belajar di Alliance Francaise, ya buat belajar bahasa Perancis”.
Karena program kuliah
double degree Udayana dan Perancis, mahasiswanya harus menguasai Bahasa
Perancis dan ikut belajar Bahasa Perancis. Maka musti ada mess untuk belajar bahasa
Perancis. Ini menentukan apakah
mahasiswa bisa lulus atau tidak untuk menuju Paris. Jadi sebelum mahasiswa
enter ke universitas di Paris, mahasiswa sudah diseleksi lebih dulu, dengan ketentuan
kita bisa menyelesaikan pendidikan 2 semester di Udayana, terus
kemampuan Bahasa Perancis juga bagus.
“What is double degree
?”
Double degree itu
maksudnya adalah “dua sarjana”. Kuliah dalam satu program, kita bisa memperoleh
dua gelar sarjana. Seharusnya dalam satu kurun waktu kita bisa mendapat satu
gelar sarjana, namun melalui double degree kita bisa memperoleh dua gelar
sarjana. Dalam dua tahun dengan dua gelar sarjana- bagi ku yaitu “sarjana
pariwisata dan satu gelar sarjana dari Universitas di Paris- gestion touristique et hotelerie”.
Jurusan gestion touristique
et hotelerie itu hanya ada di Sorbonne, sementara kalau di Universitas Angers yang ada hanya jurusan
touristique. Disana memang pure
departement (jurusan murni) seperti yang ada di Bali. Program double degree ini memang sudah satu
paket perkuliahan. Kalau begitu aku harus menyelesaikan 2 thesis, di Udayana
dan di Paris.
Untuk project akhir di
Udayana, aku baru sebatas menyelesaikan
propposal thesis, karena waktunya tidak cukup. Selanjutnya aku harus
konsentrasi menuju Perancis.
“Nanti bila pendidikanku
bisa selesai yang di Perancis maka aku
musti kembali ke Udayana buat menyelesaikan proposalku, melakukan penelitian
dan menulis laporan (thesis)”.
Perkuliahanku yang belum
selesai di Udayana ditangguhkan dan aku siap-siap untuk enter ke Sorbonne. Aku
juga harus menyelesaikan thesis di Paris, yang mana thesis
tersebut harus ditulis dalam
bahasa Perancis, kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dan
ditulis dengan ketentuan penulisan di Udayana.
BAB. VI
Bonjour Paris
Passing Grade
Pendidikan
di Perancis akhirnya menjadi kenyataan. Aku tentu punya cerita dari Bali menuju
Paris. Ada dilemna antara lulus atau tidak. Untuk nilai administrasi di
Udayana, alhamdulillah, aku bisa lulus dan IPK (indeks prestasi kumulatif) di
atas 3.00. Ya sesuai dengan passing grade yang ditentukan oleh Sorbonne
universite.
Syarat untuk mengikuti beasiswa adalah memiliki TOEFL (Test of
English as Foreign Language) dengan skor passing grade 500. TOEFL adalah test
untuk Bahasa Inggris. Sementara untuk Bahasa Perancis, level passing gradenya
diberi istilah “A-1, A-2, B-1 dan B-2”. Tingkatan passing gradenya juga disebut
“ A-une, A-deaux, B-une dan B-deaux”.
“Tidak semua mahasiswa
bisa melalui passing grade B-deaux dan aku punya keinginan besar untuk bisa
kuliah di Perancis, Bonjour Paris”.
Aku
hampir tidak bisa memperoleh passing grade
B-deaux, mungkin hanya A-deaux, atau
mungkin A-une dan B-une.
“ A-une, A-deaux, B-une
dan B-deaux ya semacam tingkatan nilai TOEFL- mungkin dengan skor 450, 500, 550
atau 600”. Jadi ujian bahasa Perancis di universitas Udayana hanya bisa untuk
mencapai A-deaux atau B-une. Sementara untuk di universitas Sorbonne musti skor
passing gradenya bahasa Perancis B-deaux.
B-deaux
itu adalah syarat untuk bisa enter menjadi master. Supaya tidak ada kendala
dalam perkuliahan maka mahasiswa harus memperoleh level B-deaux. Karena jam
untuk belajar Bahasa Perancis selama tinggal di Pulau Bali tidak cukup, maka belajar Bahasa Perancis dilanjutkan ke
CCF- Cultural Centre Francais- Jakarta.
Belajar
Bahasa Perancis juga perlu kiat-kiat khusus. Cara yang terbaik untuk menguasai
bahasa Perancis- dan juga bahasa asing lainnya- adalah melalui praktek, practice makes perfect.
“Kosa kata tidak bisa
dihafal, jadi hanya bisa dipakai melalui percakapan. Lewat percakapan
kostakata, tata bahasa dan makna kata jadi terpakai”.
Aku
ingin tahu tentang kepastian untuk menuju Paris. Selama ikut kursus bahasa
Perancis aku sudah tahu siapa saja yang akan melanjutkan studi di Perancis.
Dari pulau Bali hanya ada 3 orang yang terseleksi tidak lulus. Bagi yang bisa
melanjutkan kursus bahasa Perancis ke CCF itu berarti bisa ke Perancis, namun
itu baru pernyataan sepihak dari Alliance francais Pulau Bali.
Aku
merasa kepastian untuk bisa kuliah di
Perancis belum jelas. Apalagi pihak Dikti
juga pernah bilang “Kalian belum
seratus persen lulus untuk menuju Perancis”. Dikti itu berarti Dirjen
Pendidikan Tinggi- dari Kementrian Pendidikan Nasional. Aku bisa memahami pernyataan Dikti tersebut,
apalagi dari segi bahasa Perancis kami
yang belum lancar. Passing grade bahasa Perancis kami untuk bisa studi
di Perancis harus pada level B-Deaux. Aku harus melanjutkan pada B-une, mungkin
B-une blanc. Ya level untuk B-une pemaksaan target.
Aku
dan teman teman juga harus mengurus visa dan passport. Namun aku masih merasa
belum pasti untuk berangkat, karena Bahasa Perancisku belum bagus banget. Kita
bisa yakin lulus atau tidak kalau sudah memperoleh attestation dari Paris.
Ternyata attestation itu datangnya berbeda-beda, tidak serentak, tentu saja ada
yang dapat info lebih dulu, yang belum dapat info tentu masih berfikir apakah
lulus atau tidak.
Akhirnya
aku menerima attestation hampir satu bulan sebelum berangkat. Info kedatangan
attestation aku peroleh lewat Dikti Jakarta.
“Aduuuhhh....aku punya
waktu 15 hari untuk menyiapkan segala sesuatu untuk menuju Perancis.
Berarti waktu yang aku miliki sangat
kurang untuk bersiap-siap”. Untungnya aku sudah punya passport. Aku membuatnya dulu
waktu mau pergi jalan-jalan sekeluarga ke Malaysia. Saat itu mama dan papa juga
membuat passport, ya kami sempat berlibur ke Malaysia.
Makin
dekat saat keberangkatan menuju Perancis, aku merasakan fikiran dan perasaan
serba berkecamuk. Perasaan risau
bercampur dengan perasaan senang, takut, cemas dan confused about what next-
aku bingung tentang apalagi yang bakal terjadi.
“Kebingunanganku yang
pertama adalah tentang argent (uang). Beasiswa dari Dikti pasti
macet. Jadi mahasiswa yang mendapatkan program Dikti, termasuk aku, untuk
mengurus diri dan menyiapkan dana lebih dahulu. Nota bene aku jangan mengharap
uang Dikti lebih dulu”.
Ternyata
benar, ketika kami berangkat menuju Perancis jam 14.00 WIB sore dan beasiswanya
baru cair jam 17.00 WIB. Sehingga kami kucar-kacir, menjemput beasiswa ke Dikti
dengan tergopoh-gopoh sambil
membawa dengan segumpal besar bagagge (barang-barang). Alors
(kemudian) aku mondar mandir antara Dikti dan bank untuk mengurus beasiswa bagi
5 orang. Saat itu setiap orang memperoleh 6.000 Euro. Setelah itu mata uang
Euro harus dikonversi kedalam bentuk Rupiah.
Ya
kami mencari money changer lagi untuk
menukar Euro.
“Apakah ada money
changer yang punya stock menukar 6.000 Euro kali 5 orang. Kalau money changer
bilang ada, maka kami harus balik lagi ke bank. Saat itu kami harus bawa uang cash (tunai) itupun sudah beberapa jam
kami alami sebelum keberangkatan. Bearti beasiswa 6.000 Euro untuk enam bulan,
jadi 1.000 Euro per bulan”.
Sebenarnya
sebelum aku berangkat ke Perancis, mama sudah stand by lewat pinjaman ke Bank
BRI Batusangkar. Ya itu namanya beasiswa dari bunda.
“Nanti kalau ada
kesulitan ya nanti ada uang cadangan buat mu. Ini uang dari mama, silahkan
tukarkan ke Euro...!”. Kata mama saat itu padaku.
Tentu
saja pergi ke Perancis tidak seperti pulang kampung. Kalau pulang kampung semua
barang-barang bisa diboyong. Namun kalau ke Perancis yang dibawa tentu
barang-barang yang diprioritaskan dan terbatas. Sebelum berangkat kami semua
sudah diberi penjelasan oleh Dikti dan Pusat Budaya Perancis Jakarta.
Yang
harus dibawa adalah dokumen. Kami disarankan untuk tidak membawa yang asli,
tetapi yang sudah dilegalisir. Kemudian mama juga menyediakan rice cooker.
“Ya Ranti kan orang Indonesia asli, makan
nasi, di sana orang tidak masak nasi, ya mama mencari rice cooker kecil buat
satu orang, praktis buat masak”. Kata mama.
Aku cari rice cooker
buat tyraveling, juga membawa beras 2 liter. Di sana mana aku tahu tempat orang
jual beras, paling kurang satu minggu setelah itu baru bisa cari beras.
Berasnya ya beras Padang Ganting, namanya beras sokan, rasanya enak sekali.
Akhirnya
aku sebagai gadis yang berdarah separoh desa dan separoh kota buat pertama kali
akan terbang menuju negara super
moderen. Kami berangkat menuju Perancis,
dari Jakarta menuju Singapore....oh tidak, pesawat kami terbang dari Jakarta
menuju Dubai- sebuah negara Arab. Dari Dubai terbang lagi menuju Perancis. Kami
terbang dengan maskapai ETTIHAT –ya tentu pesawat dari negara Arab.
Pesawat
tersebut penuh dengan penumpang asing. Pesawat itu dilengkapi dengan fasilitas hiburan. Jadi memang cocok untuk penerbangan yang cukup jauh dan
membosankan, ya kami hampir 10 jam dalam pesawat. Dalam pesawat kami bisa nonton film, bisa main game dan
mendengar lagu. Karena pesawatnya bagus maka pelayanannya juga bagus.
“Dalam pesawat itu aku mulai mengenal jenis- jenis makanan
internasional walau aku tidak tahu makanan tersebut. Aku melihat jenis makanan
yang serba asing...ini makan apa.., tentu rasanya beda, kemudian apakah seleraku
bisa menerima atau tidak ?” Maka aku selalu memilih omelete....telur dadar...ya telur dadar.
“Kamu
memilih apa ?” Tanya teman.
“Ya omelete, soalnya aku
tidak tahu dengan rasa makanan lain. Kalau aku ambil makan yang aku tak kenal
rasanya, tahu tahu aku tidak suka. Tentu aku bisa jadi ashamed. Ada sebuah makanan khas dari Bangladesh-namanya Dalpiji-
ternyata rasanya tidak pas untuk lidah orang Sumatera”.
Bienvenu
a Paris
Bienvenu
a Paris atau selamat datang di Paris.
Penerbanganku bersama pesawat
ETTIHAT cukup lancar dari Jakarta menuju Abu Dabhi, kemudian transit dan terus
ke Perancis, mungkin ada selama 10 jam. Pesawat mendarat di bandara Charge De
Gaul Etoile di Paris.
“Dari Bandara menuju
universitas Sorbonne wah......sangat dilemna dan menyedihkan karena seharusnya
kami booking ke Perancis setahun yang
lalu”.
Kata
salah seorang dari Indonesia juga demikian, bahwa kami seharusnya sudah
booking tempat tinggal di Perancis lebih awal, misalnya setahun yang
lalu. Sementara itu aku mempersiapkan diri buat menuju Perancis tidak cukup
dalam waktu satu bulan. Apalagi aku kuliah di Sorbonne dan harus menjari tempat
menginap.
“Sorbonne itu berada
dalam wilayah zona satu, itu berarti wilayah jantung kota Paris”.
Daerah yang berada di
jantung kota tentu saja merupakan tempat yang favorite . Aku memperoleh
informasi bahwa banyak penginaman atau
apartemen yang sudah penuh. Mencari tempat tinggal di kota Paris musti melalui waiting list. Akses untuk mencari
penginapan bagi mahasiswa bisa dibantu lewat Crouse.
“Nah saat itu pada
libur, maka crouse juga pada sibuk untuk menjawab berbagai email”.
Aku
juga pernah mengajukan sejumlah
pertanyaan dengan cara mengirim email
dan mereka menjawab pakai mesin penjawab email. “Pardon je ne peut pas repondre
de ton question audjourd’hui, en vacance - maaf aku tidak bisa menjawab
pertanyaan anda sekarang, lagi libur”.
“Jadi pada hari
keberangkatan itu, kami tidak tahu mau nginap dimana. Saat itu aku juga tidak
tahu duitnya seberapa...aku cuma bawa duit 2.000 Euro untuk 2 bulan sambil
menunggu beasiswa kapan cair, alhamdulillah beasiswa saat keberangkatan sudah
cair. Ya kalau tidak ada tempat menginap, kita kan bisa cari hotel dan kita
punya banyak uang...ha ha!!”
Arrive
la bas (sampai di sana) ya aku sedikit lega. Untung kami semuanya berlima orang
dan itu semuanya perempuan. Dan semuanya belum pernah pergi ke luar negeri.
Yang berlima itu adalah aku (Ranti), Hajjah, Rossi, Hikmah dan Deni. Jadi
dengan berlima aku merasa lega, satu nasib- satu derita.
Kami
berlima langsung melapor ke CROUSE, bahwa kita mahasiswa asing dari Indonesia
sudah sampai di Bandara Perancis. CROUSE itu adalah badan yang mengurus
etudiante (student) dari luar negeri yang postnya ada di bandara. Sekali lagi
bahwa crouse itu adalah lembaga yang mengurus etudiante etranger (foreign
student).
Enak juga karena CROUSE
punya stand kecil untuk menyambut mahasiswa asing yang datang. Mahasiswa yang
sudah datang ya langsung melapor ke sana.
“aku melapor bahwa kami
sudah datang dari Indonesie tetapi tidak tahu dimana mau tinggal”. CROUSE
memberi kami voucher untuk hotel dan
menginap selama 3 hari 2 malam. Kami juga dikasih tiket bus dan kami
dijemput oleh senior PPI.
PPI adalah Persatuan
Pelajar Indonesiia untuk wilayah Perancis. Kami harus punya kontak dengan PPI.
CROUSE juga semacam pusat informasi bagi mahasiswa asing yang didanai oleh
pemerintah Perancis. Aku tidak tahu apakah ada CROUSE di Indonesia, atau
mungkin langsung saja diurus oleh biro penerangan, attache budaya atau kantor
Duta Besar.
Sebelum berangkat ke
Perancis kami sudah mendaftar langsung menjadi anggota PPI. Sehingga PPI
Perancis cukup welcome dan kami bisa minta tolong carikan pemondokan buat kami.
Ternyata pemondokan di Zona I dan Zona II
memang sangat susah. Syukur ada yang membantu, aku bisa kontak Pak
Sudrajat, salah seorang anggota attache pendidikan di KBRI Paris, dan aku kirim
email pada beliau.
Email-nya selalu on
line. Aku bertanya tentang hal-hal yang aku ingin tahu. Pak Sudrajat mengutus
special envoie- Bang Ikhsan- untuk menjemput kami ke Bandara. Jadi Bang Ikhsan
adalah semacam guide untuk membantu mahasiswa Indonesia.
Kami mendapat hotel
untuk menginap, setelah dipandu oleh Bang Ikhsan. Kami merasa fatigue (letih)
juga. Selama istirahat di hotel untuk melepas fatigue, kami semua sibuk email,
chatting dengan keluarga, mengabarkan bahwa kami sudah sampai di Perancis
dengan selamat.
Kami esoknya mendaftar
ke CROUSE lagi. Ternyata kami tidak BGF seratus persent. BGF itu berarti
Boursierre Goverment Francaise atau Beasiswa Pemerintah Perancis. Karena biaya
hidup perbulan ditanggung oleh pemerintah Indonesia lewat DIKTI dan Perancis hanya menanggung untuk biaya kuliah
saja juga meliputi securite sociale atau jaminan social dan juga jaminan
kesehatan, cuma itu. Berarti mereka tidak bertanggung jawab untuk mencarikan lorgement atau penginapan.
“Walau kami
bermohon-mohon tetap tidak dapat”. Kami pada hari berikutnnya melapor ke KBRI
dan salah seorang staff dari KBRI namanya Buk Ida memberi kami alamat salah seorang Perancis
namanya Madam Francoisse. Tempat tinggal Madam Francoiusse jauh sekali.
“Kami tinggal di rumah
madam Franchoisse Kami butuh waktu untuk naik TER- semacam transportasi kereta
api- selama dua setengah jam untuk
mencapai kampus, yang lokasinya jauh sekali”.
Zona
Kota Paris
Kalau di Paris untuk
zona I dan II (arrondissement I dan II) kita bisa menggunakan metro- kereta api
bawah tanah. Sementara untuk menuju zona yang lebih luar, ya kita harus
menggunakan transportasi TER. Akhirnya kami
memutuskan tinggal di tempat Madam Francoisse karena apartemennya bisa menampung kami berlima orang. Jadi Madam
Francoisse langsung menjadi ibu kost kami.
Madam Franchoisse
sendiri sudah memiliki pengalaman dalam
menampung mahasiswa asal Indonesia. Ia punya apartement dan menyewakan beberapa
kamarnya untuk mahasiswa Indonesia. Bagusnya lagi bahwa ia juga bisa
berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia dengan anak-anak kostnya. Ia sendiri pernah tinggal dan berkunjung
beberapa kali ke Indonesia. Ia cukup memahami budaya dan karakter anak-anak
Indonesia jadi ia bisa menerima
anak-anak dari Indonesia.
Setelah tinggal di rumah
Madam Francoisse selama dua minggu, kami berlima baru belajar mengenal
lingkungan. Mula-mula kami pergi ke luar untuk mencari kiosk dimana orang
menjual roti, beras, rempah-rempah dan bahan pangan dari Indonesia.
“Ayo teman-teman kita
jalan-jalan ke luar aku ingin beli beras yang bagus agar nasinya enak..!” Ajak
salah seorang teman.
Setelah itu kami juga
pergi ke kampus dan berbincang-bincang dengan mahasiswa asing yang belajar di
universitas Sorbonne.
“Kamu tinggal dimana ?”
Tanya seorang teman.
“Kami berlima tinggal
bareng di rumah Madam Franchoisse”. Aku menjawab dan teman-teman tersebut
tampak surprised bahwa kami berlima bisa tinggal pada satu tempat, karena
seperti itu jarang terjadi.
“Biasanya
mahasiswa-mahasiwa yang datang ke Paris
kalau mau cari tempat tinggal hanya bisa untuk satu atau dua kamar, jarang yang bisa untuk
lima orang. Selalu ada yang terpisah satu orang”.
Kamar yang aku peroleh
milik seorang CROUSE, kamar itu partager (sharing) untuk dua orang. Teman ku
yang dua lagi dapat tempat di studio privee (kamar mirip studio) letaknya di
lantai bawah.
“Kalau aku mencari
kamar sendirian, sewanya bisa lebih
mahal dan itu pun tersedia di luar zona”.
Harga kamarku perbulan
175 Euro dan itupun aku sudah
memperoleh potongan. Selama tinggal di
lorgement, tentu saja kami harus bisa adaptasi dengan ibu kost. Selain itu juga
perlu beradaptasi dengan makanan
dan way
of life orang-orang Perancis.
Hari-hari berikutnya
pagi-pagi sekali aku ke luar untuk mencari kartu buat Phone-cell, kartu
Perancis, aku juga mau mencari buah-buahan dan daging, walaupun kami membawa
beras dan rendang.
Diam-diam madam Franchoice juga memperhatikan
aku. Ia datang mentertawakan aku: “Tu est
a Paris, Pas a Jakarta. Les kiosk encore ferme- Kamu sekarang di Paris,
tidak di Jakarta, kedai-kedai masih tutup”.
Sejak dari Jakarta
kami juga membawa pakaian yang lengkap.
Aku sendiri membawa pakaian untuk musim
dingin. Aku merasa cuaca yang sangat kontra antara Jakarta dan Paris, hari
terasa dingin dan aku sudah memakai musim dingin. Madam Francoisse berkata
lagi.
“ Ranti, mengapa kamu
sudah memakai pakaian musim dingin, ini kan masih di akhir musim panas- Pour
quoi tu porte le vetement de hiver, il fait en fini de l’ete encore”.
“Astaga......!!!, mengapa Madam Francoisse
menyindir ku. Aku merasa sangat dingin .... suhu sudah terasa dingin dan aku
lihat suhu menujukan angka 16 derajat celsius”.
Aku dan teman-teman sudah merasa kedinginan dan Madam
Franchoisse, juga yang lain, terlihat masih santai saja. Pokoknya budaya
berpakaian juga dipengaruhi oleh musim dan cuaca . Contohnya pakaian untuk
musim panas ya tetap pakaian musim panas, walau kita sendiri sudah merasa kedinginan,
mereka masih bertahan.
Kemudian tentang
karakter madam Francoisse itu sendiri
juga perlu kami pahami. Walaupun ia sudah sering datang ke Indonesia dan sudah
tahu dengan attitude (sikap) orang Indonesia itu sendiri. Lagi pula ia sendiri
bisa berbahasa Indonesia dan mencintai Indonesia, namun juga tetap tidak
memahami tentang budaya kami sepenuhnya.
“Pagi-pagi sekali kami
sudah bangun. Kami sudah menggunakan kamar mandi untuk berwudlu buat sholat dan
cuci muka, ia berkata “Kenapa kalian pagi-pagi sudah bruyant (meribut) itu tidak bagus, di sini kamu boleh beraktivitas
di atas jam 9.00 atau jam 10.00 pagi itu baru boleh bruyant, kalau sebelum itu orang-orang masih tidur di sini”.
Kami complaint (mengeluh) padanya, “Tidak boleh seperti itu
madam, kamar mandi kan hanya satu. Tiap pagi kami harus bruyant karena tiap
pagi kami harus praying- sholat”. Madam Francoisse menjawab, “Ya kalian boleh
tetapi pagi-pagi tidak boleh bruyant, coba suaranya pelan-pelan ya”.
Madam Franchoisse
selanjutnya berkata: “Terus saya ingat attitude orang Indonesia bahwa kalian
tidak bayar air. Kalau di sini, keluar kamar ya kamu harus matikan lampu. Kalau
tentang kebiasaan mandi, saya tahu bahwa di Indonesia orang tidak bayar air.
Tapi di Perancis mereka harus bayar”.
Jadi di Perancis orang
selalu melakukan budaya penghematan. Itulah mengapa kami selalu dilihat dan
Francoisse sering berkata “keluar kamar tolong matikan lampu,,,,ya !!!”.
“Ranti, kenapa kamu
tidur tidak mematikan lampu ?” Tanya Madam Francoisse suatu hari. Aku complaint dan menjawab, “Saya
phobie gelap madam, saya terbiasa tidur pake lampu”.
Madam Francoisse
menjawab lagi , “Oh cela pas de probleme- oh itu tidak masalah”.
Terus ia juga sering
bilang, “Mandi juga tidak boleh lama-lama, tidak boleh buang-buang air yang
banyak dan tidak boleh bising (bruyant)”. Pokoknya hidup di Perancis harus
ekstra hemat.
Nah itu culturenya kalau
di Perancis dan culturenya yang biasa aku lakukan di kampung sendiri. Madam
Francoisse selalu mengajak kami untuk memahami budaya hemat orang Perancis,
“Parce que quelque chose ici est chere- karena segala sesuatu di sini harganya
mahal”.
“Kalian hobi masak
ya..maka beras kalian cepat habis”. Kata Madam Francoisse menyindir. Ia kami
memang suka masak, masak nasi, masak sayur, masak lauknya, dan madam Francoisse
selalu melihat kami dengan senang.
Madam Francoisse itu
usianya sudah lebih dari separoh baya dan ia sudah pensiun. Suaminya sudah
meninggal beberapa tahun yang lalu. Dia mengatakan bahwa dia punya dua anak,
satu perempuan dan satu laki-laki. Yang
perempuan sudah menikah, sementara yang laki-laki sudah bekerja tetapi tinggal
sama dia.
Seperti
Apa Universitas Sorbonne itu ?
Seperti apa Sorbonne itu
? Oh ya waktu aku enter ke Sorbonne kami tidak boleh memakai jilbab. Sorbonne
termasuk universitas yang punya M.o.U (memorandum of understanding) yang
melarang mahasiswi memakai jilbab di lingkungan kampus.
Dalam wawancara ketika
aku enter ke universitas Sorbonne, aku diberitahu:
“Si tu
va au Sorbonne universite, tu dois changer ton chapeau- Kalau anda belajar
di Universitas Sorbonne, anda harus ganti selendangnya, maksudnya jilbab”. Kami
semua mengiyakannya. Akhirnya untuk mengganti jilbab kami berlima memakai
chapeau (selendang) menutup kepala yang sederhananya.
Jadi kami berlima memakai
chapeau, seperti anak kecil. Orang Perancis melihat kami serba lugu. Kami
jalan-jalan keliling kampus universitas Sorbonne. Untuk melihat-lihat dan
mengenal lokasi.
“Ayooo.....mari kita
melihatnya kampus itu ya...!!, Bagaimana susunan gedung-gedung agar kita tidak
tersesat”.
Dalam imajinasiku bahwa
mungkin susunan gedung universitas Sorbonne seperti susunan gedung kampus UNAND
dan Udayana. Ternyata tidak seperti itu susunannya. Universitas Sorbonne
terletak pada gedung dengan lima lantai. Di sana tedapat kantor Crouse (Kantor informasi buat
mahasiswa), lantai dua untuk beureau (kantor), lantai tiga untuk Irrez- Paris
Une, dan seterusnya.
Kami ingin mencari
seseorang di Universitas Sorbonne namun kami susah mencari orang yang kami
maksud, yaitu Madam Surmais. Katanya ruangannya di Sorbonne.
“Kami sudah sering
email-emailan, namun susah cari kantornya”. Rupanya madam yang kami cari itu keluar melihat kami
kecil-kecil mirip boneka teletubby dan berkata “Ayo....masuk, cari siapa
ya...?”
“Kami mencari madam
Sourmais..!” Tanya kami,
“Oh ya saya Madam
Sourmais”. Kami datang dari Indonesia dan kami orang Indonesia dan ternyata
nama kami sudah terpampang. “Voila...etes vous Indosiennes ?
“Je te vois comme
lycennes- aku lihat kamu layak anak SMA saja”, Kata Madam Sourmais, belum
seperti mahasiswa S.2, apalagi wajah
kami semua juga masih imut-imut.
“ Tapi wajah orang asia
memang seperti itu, terlihat muda dari usianya dan susah untuk ditebak”. Dia
bicara seperti itu.
Aku tidak bisa
membayangkan, kalau di Indonesia suasana kantor itu ramai, namun kalau di
Perancis suasananya sepi ya harus serba
effektif dan effisien- maksudnya serba hebat.
“Buat apa karyawan
banyak kalau kerjanya tidak effektif. SDM tenaga kerja yang dipakai di sana
sangat minim dan upahnya atau gajinya cukup mahal”. Kata salah seorang temanku
saat bincang-bincang ringan di depan kampus Sorbonne.
Para staff disana juga
mengatakan hal yang demikian, “karena tenaga sedikit sementara administrasinya
banyak ya kelelahan juga mengerjakannya”.
Tentang tenaga
administrasi juga berbeda antara Perancis dan Indonesia. Kalau di Indonesia
ya...banyak tenaga administrasinya
sehingga banyak pula yang bisa melayani kita. Kalau di sana tenaga
administrasi terbatas dan pelayanannya juga terbatas.
Mereka enak saja bilang:
“Attend...je ne pa le temps- tunggu...aku tidak punya waktu”. Nah seperti itu
jawaban kebanyakan, ya tidak ada waktu. Sehingga kita susah untuk pose la question (memberi pertanyaan).
Terus kita kalau
membayangkan kelas Universitas Sorbonne pasti membayangkan kelas internasional
dengan ruangan serba waaaah dan menggunakan bahasa Inggris. Ternyata
biasa-biasa saja. Ternyata tidak ada kelas internasional. “Maka di sini
Sorbonne, kalian musti parle francais (bicara Bahasa Perancis). Kelas internasional
kan identik memakai bahasa Inggris”. Jadi siapa saja belajar di universitas
Sorbonne musti tahu bahasa Perancis.
“Oke kita enter ke
Sorbonne dan kita pake bahasa Perancis di sana”. Saat kami di Indonesia kami
melihat Universitas Sorbonne memiliki kelas yang basgus, kelasnya
full ac, full fasilitas. Ternyata kelas di sana menggunakan kipas angin
yang biasa saja dan ini dipakai pada musim panas. Meja dan baku belajar di
Sorbonne biasa-biasa saja. Beda dengan kita, kalau kelas S.2 kita kesannya rapi
dan lebih bagus dari pada kelas-kelas S.1.
Kuliah di Sorbonne
terasa unik, karena kuliah tidak selalu di gedung Sorbonne. Kuliahnnya sistem
kelas travelling, bukan moving kelas saja, juga travelling kelas.
“Kami pernah kuliah di
cinema, di rumah sakit, ...itu penyebabnya adalah karena keterbatasan kelas,
karena di Perancis susah sekali mencari tanah atau lokasi untuk membangun kelas
dan gedung baru. Merenovasi gedung saja
susah apalagi meruntuhkannya. Perancis itu lahannya sempit”.
Geografi alam Perancis
itu sempit, tidak luas seperti alam Indonesia. Sehingga pada umumnya orang Perancis membangun rumah susun atau apartemen
dan tinggal di apartemen. Tentu saja mereka juga tidak punya pekarangan.
“Kalau ada yang punya
pekarangan itu sudah sangat mewah sekali. Punya
pekarangan ukuran 2 kali 2 meter sudah bagus sekali, mereka menanam
bunga dan sayur yang mereka hargai
tinggi sekali”.
Teman-teman ku juga
bilang “ya memang begitu situasinya di sini”. Kami sempat complaint juga
“Kenapa kuliahnya sampai travelling jauh-jauh sekali ? ya sampai ke rumah
sakit, ke bioskop”. Ya itu terjadi karena keterbatasan kelas, kalau di
Indonesia kalau buka jurusan baru tentu berfikir apakah ada kelasnya atau tidak
(?)
Bagusnya bahwa sistem
perkuliahan di sana memang sesuai dengan waktu. Kalau 4 SKS (sistem kredit
semester) untuk empat jam ya memang empat jam. Kalau bagi kita empat jam
pelajaran...kadang-kadang 40 menit kali empat, atau 45 menit kali empat. Kalau
6 SKS ya memang untuk enam jam.
Dosennya betul-betul
prepare-bien (well prepared), prepare bien le materi. Kalau aku jadi dosen di
sana mungkin aku tidak sanggup mempersiapkan materi sebaik dosen Perancis. Ia
menyajikan begitu banyak materi dengan persiapan sebaik mungkin.
Kita membayangkan
bahwa Universitas Sorbonne itu keren...dosen-dosennya juga keren.
Ternyata tidak semua dosennya yang bisa berbahasa Inggris. Mereka tidak
melayani bahasa Inggris dan mereka bahkan tidak mengerti bahasa Inggris.
“Kita kan berfikir
“kalau pergi ke luar negeri harus berbahasa Inggris- ya seperti itu. Dan
teman-teman di kelas juga tidak selalu bisa bahasa Inggris, karena mereka yang
enter ke sana memakai bahasa Perancis.
“Seulement francaise, non parle l’anglais (hanya bahasa
Perancis- tidak berbahasa Inggris), seperti kata-kata banyak teman-teman.
Kenapa Sorbonne terkenal
di Eropa ? Ya karena ia termasuk universitas tertua juga, sama tuanya dengan
Oxford di Inggris. Gedung Sorbonne termasuk gedung situs bersejarah.
Adaptasi
dengan Dosen dan Teman-teman Eropa
Aku
harus bisa adaptasi dengan dosen dan teman-teman Eropa. Kalau tidak bisa
adaptasi, aku bisa mengalami cultural shocked (kekagetan budaya). Aku juga
sempat mengalami cultural shock (kekagetan budaya) pertama karena penggunaan
Bahasa Perancis. Sejak dari Jakarta aku berfikir bahwa kalau kita sudah mahir
berbahasa Inggris maka itu bisa beres untuk tinggal di Perancis.
“Aku bisa pake bahasa Inggris dengan teman-teman dan
ternyata mereka tidak respon dengan bahasa Inggrisku. Mereka banyak tidak
mengerti dengan bahasa Inggris, karena bahasa Inggris ternyata tidak populer di
Perancis. Mereka sering bilang: Je ne comprend pas- aku tidak mengerti”.
Mereka bilang seperti
itu. Ya mulailah aku rajin menggunakan bahasa Perancis. Pada mulanya aku
berbicara seadanya...bawa kamus selalu,
tidak ngerti ya lihat kamus...atau pake bahasa Tarzan (bahasa isyarat). Namun
setelah itu aku raji menambah perbendaharaan kata dan aku rajin membuat
kalimatnya yang benar. Kalau tidak mahir berbahasa Perancis ya perkuliahanku bisa jadi berantakan.
Aku
bergabung dengan kelompok milling list.
Sebenarnya dulu sebelum aku enter ke Paris, aku sudah bergabung dengan milling list nya PPI Perancis. Aku bergabung
dengan masyarakat etudiantes (mahasiswa)
di Paris. Lewat milling list itu aku bisa menanyakan segala sesuatu. Terus
waktu sudah berada di kampus aku juga bergabung dengan milling list yang ada di
universitas Sorbonne.
Aku mengutarakan pada
milling list bahwa kami bertiga mengalami kesulitan dalam menggunakan bahasa
Perancis. Yang bertiga itu adalah aku (Ranti), Hajjah dan Rossi. Dua lagi
temanku sejak dari Jakarta, jurusan kuliahnya
berbeda dengan kami yaitu: jurusan antropologi dan patrimoin de historie
atau peninggalan sejarah, mereka adalah Hikmah dan Deni.
Akhirnya teman-teman di
kelas universitas Sorbonne bisa welcome pada kami. Mereka menganggap bahwa
mahasiswa yang masuk Sorbonne tentu sudah perfect dengan penggunaan bahasa Perancis. Umumnya mahasiswa asing yang ingin kuliah di universitas
Sorbonne harus ikut waiting list (daftar
tunggu).
Salah seorang teman
Perancis berkata “Soalnya kalau kamu
lulus untuk ke Sorbonne, bukan berarti harus masuk tahun ini, ya ada waiting
listnya. Menunggu tiga tahun bahkan sampai lima tahun untuk studi ke Sorbonne
baru kamu akan dipanggil”.
“Aku tidak seperti itu,
malah menunggu beberapa bulan saja”. Paparku padanya.
“Kenapa kamu bisa masuk
ke sini begitu cepat ?” Wooww aku jadi surprised dengan kesempatan belajarku di
sana.
“Kamu tahunya masuk
kesini kapan ya..?”
“Tiga minggu pendant troiseme ou quartieme avant moi aller – selama tiga atau empat minggu sebelum aku pergi ke sini”
Jawabku.
“Voila – iya” jawab mereka dengan kaget.
Karena mereka untuk bisa masuk ke universitas Sorbonne juga menunggu cukup
lama. Sementara bagiku terasa serba instant (serba cepat) dan alhamdulillah.
Aku punya kebiasaan
tidak mau tertinggal lama, kalau ada masalah ya langsung aku atasi. Aku tidak
suka menunda nunda waktu apalagi menunda dalam mengatasi masalah. Aku
melanjutkan kebiasaan seperti itu saat belajar di Paris.
“Kalau ada tugas
langsung dikerjakan”.
Di sana kalau aku tidak
mengerti yang diajarkan oleh dosen, ya minggu pertama dan minggu kedua teman
teman cukup welcome- cukup membantu, karena mereka memiliki nice culture. Teman
yang nice untuk diajak ngobrol ya aku suka duduk dekat dia selama kuliah.
Aku selalu mencari orang
yang nice diajak berteman dan bergaul untuk kuliah dan menulis. Mereka kalau
sudah kuliah itu semuanya terlihat serius, kalau sedang istirahat ya bersikap
rilek dan kalau sedang bekerja dan belajar terlihat serius sekali.
Kalau nggak ngerti saat
dosen intermezzo (selingan) ya aku tanya mereka.
“Saya dapat pointnya
seperti ini....bagaimana ya”.
Mereka menjawab “atted
Ranti, je t’erxplique desormais- tunggu Ranti nanti aku jelaskan ya..!” Kadang-kadang aku suka melihat catatan
mereka. Kalaupun aku menyalin tulisan mereka, ya tulisannya berbeda-beda dan
tidak bisa aku baca.
“Tulisan teman-temann
Eropa kok pada jelek semua...!!”. Aku fikir mengapa tulisan mereka banyak yang
jelek-jelek. Mereka umumnya asli orang Perancis dan sebagian datang dari Eropa
lainnya dan juga dari luar Eropa, seperti aku.
Walau mereka bersikap
baik baik, tapi mereka menolak kalau diganggu. Aku tidak bisa bertanya pada
mereka dengan bebas.
“Je sais Ranti , tu as de probleme avec etudi-
aku tahu Ranti kamu punya kendala dalam belajar” Mereka selalu serius dalam belajar itu karena
mereka juga susah membagi waktu antara kerja dan kuliah. Kalau tidak serius ya
bisa gagal.
“Il n’y a pa le temps
beaucoup pour la discuter sur mattre dans la classe (aku tidak ada banyak waktu
untuk diskusi tentang materi pelajaran)”. Katanya padaku. Dia juga bilang bahwa nanti ia akan scan
catatannya dan mengirimkan ke e-mailku atau, setelah ia scan ia printkan
buatku, ya mereka baik sekali.
Mereka scan kan tiga
puluh lembar catatannya buatku, mereka
memang baik.
“voila mon email- ini
emailku”, kata ku.
Dan dia memang
mengirimkan scannya ke emailku. Mereka memang sangat baik, ikhlas dan sangat
suka membantu ku.
Tapi aku mau bilang “aku
tidak bisa baca tulisan kamu” kan jadi tidak enak. Ia sudah capek-capek
membantuku dan aku tentu juga perlu menggunakan bahasa yang sopan selalu.
Begitu melihat aku
kesulitan dalam berbahasa Perasncis selama belajar di kelas dan tidak mengerti
dengan mendalam tentang apa yang dibahas dosen, maka teman-teman banyak
bersimpati pada ku
“Ranti mana
emailmu...nanti aku scankan dan aku kirim ya ke emailmu. Ne t’inquiette pas-
don’t worry- dont worry Ranti”. Kata teman-teman yang lain. Ya mereka bilang
seperti itu.
Sambil menunggu catatan
yang akan dikirim oleh teman, aku coba membikin point-point kuliah yang aku
peroleh dari dosen di kelas. Tidak memahami bahasa Perancis secara mendalam
membuat kuliah di Sorbonne terasa dalam neraka. Maka aku selalu berusaha keras dalam
belajar dan termasuk dalam menguasai bahasa Perancis, malah tidurku hanya dua
jam di malam hari.
Teman yang baik hati
juga membantu meringankanku dalam belajar, seperti mengirim email dan scannya.
Kalau mereka udah mengirim catatannya
mereka bilang ”kamu cari artinya dan kamu interpretasikan (tafsirkan) sendiri”.
Nah aku kemudian menerangkannya ke teman-teman tersebut dan ternyata
penafsiranku ternyata betul dan aku
gembira. Aku juga mencari literatur lain lewat internet, serta beli buku dan
baru belajar lagi- ya seperti itu”.
BAB. VII Kuliah di Universitas Sorbonne
Menjadi Mahasiswa
Sorbonne
“Seperti apa ya
perkuliahan S.2 di Universitas Sorbonne
itu ?” Inilah pertanyaan yang sering muncul dalam fikiran sejak dari kampungku
hingga sampai di Perancis. Akhirnya aku menjadi salah seorang mahasiswa di
universitas tertua di negara Perancis dan juga tertua di Eropa.
“Ya sebenarnya
perkuliahan di sana cukup berat. Berat itu karena kita mengalami keterbatasan
berbahasa untuk memahami dosen dan memahami literatur. Di Universitas sorbone
bahasa pengantarnya adalah bahasa Perancis. Kalau bahasa Perancis kita
pas-pasan nah....akan muncul masalah”
Dosen-dosen di Perancis
sangat menghargai kerja keras dan
kejujuran, mereka membenci plagiat-
pemalsuan karya tulis. Misalnya dalam
perkuliahan, satu kalimat yang kita ambil, musti dicantumkan sumbernya, dan
kalimat tersebut harus diolah menjadi kalimat kita sendiri atau kita
pharaprasekan.... sehingga kalimatnya harus beda dengan kalimat yang kita
kutip. Kalau masih sama ya itu namanya masih plagiat (atau contekan).
Membuat satu slide untuk presentasi saja, itu
aku butuh waktu sampai 3 hari. Dosen bilang ...perbaiki lagi...kalimat yang
dikutip harus diparaphrase- atau memakai kalimat sendiri. Slide yang aku siapkan saat itu membahas tentang suatu pulau di
benua Eropa...ya aku cari di internet.
“Aku cari di internet
dan ini artikelnya ada 10 lembar”
Dosen bilang “Ya kamu
cari point yang penting-penting saja. Aku searching lagi...dan itu tentang
kepulauan di laut Mediterannia. Ya kalau tentang pulau tentu tentang
georafinya...aku bingung bagaimana mau memparaphrasenya (?). Jadi aku bekerja bolak balik lagi, geografi pulau itu kan bersifat
nyata. Nah menurut mereka itu tidak bisa diterima.
Sudah diparaphrase ..ya
harus dibolak balik lagi. “Tidak begitu Ranti kamu masih lakukan paraphrase
lagi....!!”. Kata teman satu grupku.
Aku harus paraphrase lagi sampai kalimat-kalimat yang
aku tulis berbeda dari sumber yang aku peroleh. Itu aku lakukan sampai tiga
kali dan itu bikin aku jadi stress. Jadi untuk tampil dengan power point aku
harus butuh waktu tiga hari.
Aku punya grup, satu
diantaranya bernama Maud. Aku tanya “Maud bagaimana pendapatmu tentang power
point ku ?” Maud menyarankan agar aku
lakukan paraphrase lagi.
“Paraphrase lagi ?”
Tanyaku. Maaf, sementara presentasi di kampungku banyak mahasiswa yang membuat presentasi copy-paste saja. Tetapi kalau di
Perancis, menurutku, ya tidak.
Aku mengambil jurusan
S.2 di Universitas Sorbonne di bidang manajemen touristique. Sistem penilaian
kuliahnya sama dengan di Indonesia yaitu ada
nilai tugas- nilai presentasi dan nilai ujian. Ujiannya ada ujian tengah
semester serta nilai ujian semester, tidak ada ujian individu.
Kuliah di Perancis tentu
punya kesulitan dan kemudahan. Kesulitan ya..karena kalau passing graden untuk
kuliah S.2 maka harus lebih
qualified- bermutu. Proses kuliahnya lebih berat.
“Kamu harus baca
literature yang banyak. Lucu juga kalau mahasiswa S.2 membaca sedikit
literatur. Teman-teman asli orang Perancis saja masih struggle membuat tugas,
apa lagi baki aku dan teman-teman yang jauh dari Perancis”.
Bikin tugas biasanya kita lakukan seharian penuh- yaitu
dari pagi sampai malam. Nah itu hal
biasa dan itu hal yang wajar. Teman-temanku
semua bikin tugas dengan serius
dan mereka jarang terdengar yang
mengeluh. Kalau kita dulu kadang-kadang
suka mengeluh “Wow bikin tugas
saja repot...suka hang out dulu, suka menunda waktu dan malah juga suka
komplain”.
Bagaimana
Anak Eropa Belajar ?
Bagaimana
sih beda belajar kita dengan anak Perancis ? Kalau mereka (orang Perancis) cara
belajarnya lebih sistematis. Bagi mereka kalau belajar itu ya belajar.
“Saat belajar mereka terlihat
bersungguh-sungguh”. Tetapi ada juga bagi anak-anak Perancis yang merasa capek
belajar, akhirnya mereka main, namun mereka tidak mengganggu yang sedang
belajar.
Terus
kalau membuat tugas mereka serius dalam menyelesaikannya dan dalam presentasi
ya mereka duduk dengan serius, menghargai teman yang tampil. Kalau kita (maaf) kadang
kadang dalam membuat tugas asal jadi saja (asal-asalan) dan kalau mereka tidak.
Kalau mereka saat membuat tugas, mereka menerima kritikan untuk penyempurnaan.
”Ini tugas kamu masih
perlu diperbaiki..coba perbaiki lagi...boleh sempurna...!” Ya seperti itu,
mereka struggle (berjuang) dalam
belajar.
Aku
lihat cara belajar mahasiswa di sana sangat bagus. Tentu ada faktor yang
berpengaruh dalam membentuk karakter mereka. Yaitu kualitas orang tua dalam
mendidik rumah dan juga kualitas pemerintahan mereka berpengaruh atas kualitas
mahasiswa di sana.
Faktor
budaya juga berpengaruh, budaya individu juga ada dampak positifnya untuk membuat mereka jadi mandiri. “Kalau
mereka tidak bangkit dalam belajar, yang menanggung resiko adalah individu yang
bersangkutan”. Kegagalan yang terjadi pada diri tidak ada yang lain bisa banyak
membantu...seperti itu, jadi individu mereka sangat tinggi.
Selama
aku tinggal di Perancis, aku merasa bahwa aku lebih bersyukur punya budaya
Indonesia, khusus budaya orang
Minangkabau. Walau mereka punya budaya struggle yang tinggi, budaya individu
dan kemandirian yang lebih tinggi, namun mereka sudah terblokade oleh kebiasaan
individual secara turun temurun. Contoh budaya seragam pada warna rumah.
Aku
melihat cat atau warna dinding rumah di sana
semuanya coklat..terlihat membosankan dan tidak ada variasi. Sehingga
aku sempat bertanya.
“Mengapa warna dinding
rumah kamu semuanya sama, warnanya coklat, jadi terlihat tanpa variasi...kalau
dikampung ku setiap orang bebas mendesain warna rumahnya, sehingga terlihat
lebih menarik ?”
Begitu
juga saat aku pergi ke taman. Aku
menemui anak-anak bermain bersama
anak anak, dan kakek- nenek
berkumpul-kumpul kakek-
nenek yangh lain.
“Mengapa
kakek-nenek tidak menyatu nenek dengan anak-anak. Sehingga kakek- nenek terlihat pada kesepian”.
Paling-paling aku melihat orang orang tua bermain sendirian dengan
gelang-gelang atau bermain catur. Aku juga sering melihat nenek atau kakek
jalan bareng anjing mereka. Akhirnya
mereka sudah terblokade dalam kesepian budaya mereka.
Aku
pernah bertanya, “Kenapa anda (kakek- nenek) tidak mau bergabung dengan anak
anak di taman”. Mereka menjawab bahwa
khawatir mengganggu anak-anak, dan mereka nanti boleh bergabung, ada timing
(waktunya) anak-anak gabung dengan kakek dan nenek, misal seperti pada hari
natal.
“Mereka datang ke rumah
saya untuk acara natal, tapi mereka setelah itu balik lagi”. Bila anak-anak dan
cucu mereka kembali kerumah mereka maka
kakek- nenek jadi kesepian lagi, wah kalau begitu lebih enak ni negeri
ku.
Di
sana terlihat anak-anak punya kehidupan tersendiri dan kakek-nenek juga punya
aktivitas tersendiri.
“Apakah anda tidak merasa kesepian ?” Tanyaku
suatu hari.
“Kesepian..? Tentu
saja...ya bagaimana lagi” Jawab kakek-nenek dengan nada pasrah.
“Kami
dulu punya anak, kami pelihara dan kami didik. Setelah dewasa mereka mandiri
dan kami lepaskan”
Ya begitulah budaya
mereka, mereka sudah terblokade oleh budaya individu dan beresiko untuk menjadi
kesepian di hari tua. Budaya ini kan sudah turun temurun dan aku lihat bahwa
mereka sendiri tidak nyaman dengan kondisi itu.
Kalau
di Indonesia kakek-nenek, ayah-ibu dan anak-anak lebih menyatui. Anak-anak
senang bermain dengan kakek dan nenek mereka. Jadi kakek-nenek di Indonesia
lebih merasa bersatu dengan anggota keluarga mereka dan mereka bisa jauh dari
rasa kesepian.
Indonesia
di Mata Penduduk Perancis
“Bagaimana
ya pendapat orang Perancis tentang orang Indonesia ?” Tentu saja mereka punya
pendapat tersendiri. Waktu aku shopping ke sebuah toko dan pedagangnya orang Perancis asli (wanita Perancis) dan ia
bilang “Je n’ai pas de religion et Je suis une atheist- aku tidak punya agama dan aku seorang
atheist”.
Walaupun
ia atheist, ia sangat appreciate terhadap Indonesia. Ia berkata “Presente-
orang mana kamu ?”
Saya menjawab “Saya
orang Indonesia”.
“Oooo
Orang Indonesia “ jawabnya. Tetapi karena aku memakai jilbab, maka ia tidak
bisa membedakan antara orang Indonesia dengan orang Malaysia.
Ketika saya bilang dari
Indonesia, ia bilang “Je sais Indonesia- Aku tahu Indonesia. Saya atheist
tetapi saya suka dengan Islam yang ada
di Indonesia”. Ia berkata lebih lanjut,
“Aku lihat bahwa Islam
di Indonesia berbeda dengan karakter orang Islam yang di Mekkah. Walaupun di
Mekkah tempat munculnya agama Islam tetapi orang laki-laki kurang mengayomi
orang perempuan. Sepertinya saya lihat orang laki-laki merendahkan orang
perempuan”.
Ia menambahkan, “Ya
seperti yang aku ketahui bahwa sampai sekarang orang laki-laki di Arab masih menempatkan posisi wanita lebih rendah-
mungkin seperti budak ya, karena wanita tidak boleh keluar rumah, tidak boleh
berkarir. Kalau di Indonesia...orang Islamnya lebih moderen, seperti dalam
kitab kamu (seperti dalam Al-quran). Bahwasanya agama kamu akan sangat flexible
dengan zamannya”.
“Tetapi kultur orang
laki-laki di Arab tampak mengekang, tidak seperti orang laki-laki di negara
kamu. Seperti yang saya lihat di televisi bahwa perempuan Islam di Indonesia
bisa conduite la voiture (mengendarai
mobil). Terus saya lihat perempuan Islam di Indonesia juga bekerja, punya
kegiatan di luar rumah, berkarir, dan bisa mengurus suami. Jadi Perempuan Islam
punya kesamaan dengan laki-laki Indonesia”.
Wanita itu menambahkan
bahwa wanita Islam yang di Indonesia punya ilmu, punya wawasan sehingga bagus
untuk pendidikan anak di Rumah. Tetapi berbeda dengan di Arab, beda posisi
laki-laki dengan wanita. Sehingga laki-laki bisa semena-mena terhadap wanita-
memperlakukan wanita sesuka hati. Wanita tidak bisa berbuat apa-apa dan itu
wajar sebagai akibat dari budaya mereka.
“Tetapi tidak begitu
dengan wanita Islam Indonesia, mereka punya karir, mereka punya pendidikan dan
mereka juga mengurus anak. Dengan budaya
kamu terjadi good cooperation (kerja
sama yang baik) antara wanita dan laki-laki”
Wanita perancis itu
berkata, ia appreciate sekali dan ia juga senang dengan cara pengamalan Islam
di Indonesia.
Aku juga bertanya, “Etes
vous fier terrorist en Indonesie- kamu takut dengan terrorist Indonesia ? Orang
di dunia mengatakan Islam itu terrorist dan sementara itu Indfonesia adalah
negara Islam paling besar di dunia”.
Ia menjawab, “saya tidak
takut, karena saya tahu bahwa kepala terrorist itu bukian di Indonesia, ia
bukan orang Indonesia, tetapi ia cuma bersarang di Indonesia, karena penduduk
Islam terbesar di Indonesia. Saya sangat appreciate dengan Islam Indonesia”.
Walaupun wanita Perancis
itu atheist namun ia sangat appreciate dengan Islam Indonesia. Sama halnya
dengan pemerintahan Perancis pada waktu Perang Dunia I, bahwa masyarakat Maroko
dan Aljazair membantu pemerintah Perancis dalam perang. Sehingga Perancis
menang dalam perang dan sebagai appreciate pada orang Islam Maroko dan
Aljazair, Perancis menghadiahkan masyarakat Islam sebuah masjid yang lumayan
besar di Kota Paris. Aku melihat mesjid Paris itu begitu megah dan besar.
Kemudian aku akan
menggambarkan tentang bagaimana dosen perancis memandang mahasiswa asal
Indonesia. Tapi pertama-tama mereka kaget, termasuk teman-teman mahasiswa,
mereka bilang. ”Vous etes plus jeunes- anda semua tampak masih muda”
Waktu akun presentasi
perkuliahan dalam kelas, mereka bilang “kamu plus jeune- kamu masih muda-
untuk menjadi dosen”. Demikian mereka memandang tentang kami.
Sistem pendidikan kita
berorientasi ke Amerika ya, bahwa posisi Universitas lebih tinggi dari
Politeknik. Sementara kalau di Eropa posiosi Politeknik lebih tinggi dari
Universitas.
“Wow vous etes
professeurs au Politeknik- kamu dosen politeknik ya...! Umur kamu berapa...?”
“Umurku 25 tahun”, Jawabku.
Mereka protes, “Wah
tidak mungkin, umur kamu pasti 19 tahun “. Kemudian aku perlihatkan KTP (Kartu
Tanda Penduduk).
“Woh...benar ya umur kamu sudah 25 tahun. Jadi
mahasiswa kamu sebesar apa ya....?”. Tanya mereka.
“Ya sebesar saya
semua......” Jawab ku tersenyum.
“That is impossible- wah
tidak mungkin”, dan mereka tidak bisa menerima jawabanku karena tidak masuk
logika mereka. Karena kalau di Perancis menjadi dosen itu ilmunya musti sudah
cukup, sudah terlihat lebih tua dari mahasiswanya.
Saya menerangkan,
“Saya waktu fresh graduate (sarjana S.1)
ikut test formasi dosen dan langsung diterima, ternyata saya
lulus. Kemudian ada formasi bahwa dosen harus S.2, ya saya
ikut formasi kuliah S.2 di sini baru setelah itu lanjut lagi menjadi
dosen. Sebelum mengajar sebagai dosen saya juga sudah punya pengalaman dalam
mengajar. Kemudian saya mengajar mahasiswa dan aku katakan pada mahasiswaku
bahwa kita hampir seusia.
“Voila...o begitu”
Katanya. Tapi mereka tetap merasa aneh dan kembali bertanya “Sebesar apa
mahasiswa kamu ?”
Sorbone
and Everything in French
Sorbone juga menyediakan
beberapa fasilitas buat mahasiswa, misalnya internet buat mahasiswa. Disamping
itu universitas Sorbonne juga menyediakan fotocopi gratis buat mahasiswa. Jadi
mahasiswa menggunakannya untuk memfotokopi
apa saja. Kecuali telepon, tidak ada yang gratis.
Perancis itu negaranya
bien organisee- well organised. Aku diberi
kalender agademik dan tiap-tiap pindah akademik sudah ada event yang
teratur. Pindah musim dari musim dingin ke musim semi, misalnya ada liburan dua
minggu- dua minggu. Jadi kita selalu merencanakan kegiatan untuk setiap liburan
“Voila...liburan besok kita kemana...?” Dan kami berlima segera merencanakan
kegiatan libur.
Liburan ku pertama di
Perancis adalah ke tempat famili. Aku memutuskan untuk jalan sendiri, karena
aku punya famili di sebuah kota kecil di Perancis, yaitu di kota Pau, sebuah
kota dibawah pegunungan Pyrenne. Familiku itu bekerja di perusahaan Indonesie
Total, semacam perusahaan minyak. Mula-mula ia bekerja di Kalimantan dan
kemudian pindah ke sini, ke Perancis.
Di Perancis dia bekerja di Pau. Akhirnya aku bisa sampai
disana dan kami bisa bersilaturrahmi. Ia mengatakan bahwa ia sudah tinggal di
sana selama dua tahun, balik lagi ke Kalimantan- bekerja dan kembali lagi ke
Pau. Tinggal di Perancis enak sekali, karena jaminan sosialnya cukup memadai.
Meskipun ia bawa istri dan dua anak namun tidak ada masalah.
Sebelumnya untuk pergi
ke kota Pau, ada dilemna ya membuatku sedikit
ragu antara pergi atau tidak. Karena kota Pau agak jauh ke selatan.
Harga tiket untuk orang yang usia 25 tahun ke bawah, beda dengan yang berusia
26 tahun ke atas. Yang berusia 25 tahun ke bawah, dikenakan biaya tarif tiket
separoh umur orang dewasa yaitu sama dengan tarif anak-anak, separoh harga.
Kita memperoleh diskon 50 %., tapi kita harus punya kartu dan aku juga bikin
kartu.
Ya aku buat kartu yang
menyatakan usia ku masih 25 tahun. Karena usia 25 tahun berarti aku memperoleh
fasilitas diskon harga. Jadi diantara kami berlima maka aku yang berusia paling
muda, maka aku yang bisa menikmati potongan harga.Tentu saja temanku yang
berempat merasa iri hati untuk hal ini.
Karena kota Pau sangat
jauh ke bawah, ke selatan, dan biayanya sangat mahal. Di kota Pau mimpiku untuk
main ski bisa terwujud, ya mimpiku sejak masa kecil. Saat itu kami sedang
liburan musim dingin. Aku masin ski di pegunungan Pyrenne. Pyrenne adalah
pegunungan panjang di Perancis dan cukup populer di Eropa. Tempat-tempat main
ski itu banyak karena pegunungan Pyrenne itu sangat panjang di selatan Eropa,
dekat ke arah Spanyol dan Italy.
Aku mengira main ski itu
gampang. Aku mencoba main ski di pegunungan Pyrenne. Ake menyewa sepatu ski dan
tongkat ski. Aku coba meluncur dan ternyata sulit, aku terjatuh tunggang
langgang. Memang sakit dan pegal, penasaran aku coba lagi dan lagi aku jatuh
berguling guling. Sepatuku terbenam dalam salju. Sepatunya sangat berat
sehingga aku dibantu untuk melepaskan dari benaman salju. Akhirnya aku menyewa
pelosotan dan aku belajar meluncur seperti mainan anak- anak, ya asyik juga dan
aku senang karena mimpiku bermain ski sudah terwujud.
Ada banyak tempat
menarik yang telah aku kunjungi di Perancis. Pertama aku pergi ke Eiffel. Kalau
orang melihat Eiffel itu begitu excited
(menyenangkan). Aku juga memikirkan hal yang sama saat aku berada di Sumatra,
namun setelah aku pergi ke Eiffel dan melihat Eiffel dengan mata dan kepala
sendiri.
“Ya...Eiffel itu
biasa-biasa saja. Eiffel itu hanyalah sebuah bangunan besi atau kerangka besi
yang grande (besar) saja”.
Ini gedung besi memang lebar dan tinggi. Tapi begitu melihat bahwa
umurnya sudah begitu tua ya...baru terasa makna dan nilai sejarahnya., maka
kita baru bisa appreciatenya. Aku melihat tidak ada semacam keunikan pada
Eiffel.
Kalau di Sumatera Barat
atau di Batusangkar, kita tentu bisa bisa melihat Rumah Adat yang bangunannya
cukup unik, seperti atapnya dari ijuk, tiang rumah adat ada yang miring,
dinding rumahnya yang penuh ukiran. Kemudian ada jenis rumah adat yang lain,
jadi kesannya betul-betul indah dan unik. Kalau menara eiffel aku lihat tidak
unik...karena sudah perfect (sempurna). Ya karena Perancis itu IT-nya (informasi Technology) lebih maju, maka
menara Eiffel bisa terlihat lebih keren dan unik.
Aku juga berfikir bahwa
apakah orang Perancis di sana juga tahu dengan rumah adat yang di Batusangkar.
“Ya waktu aku ikut
sebuah acara di Kedutaan Besar Indonesia di Paris, saat itu semua kedubes dari
seluruh dunia ada di sana. Kebetulan
waktu itu aku memakai pakaian baju
kurung adat Minangkabau untuk menyambut para tamu”.
Para tamu surprised
melihatku dan bertanya, “Kenapa topi kamu seperti ini”.
Aku menjawabnya
“Chapeaunya (topinya) ini namanya tengkuluak, memang seperti tanduk buffalo karena atap rumah
adat kami juga seperti tanduk buffalo”.
Aku menceritakan bahwa
Minangkabau itu asal katanya “Menang Kerbau atau the winning buffalo”.
“Saya pernah pergi ke
West Sumatra (Minangkabau) dan saya
punya satu miniatur rumah adat kamu”. Kata salah seorang Duta Besar padaku.
Mereka terlihat excited (terlihat
senang).
Kalau di Eropa pakaian
tradisionil mereka lebih mengacu kepada
pakaian kerajaan Inggris. Pakaian kita lebih mengacu pada ke bentuk ya ada
dasarnya, kainnya dari beledru. Contoh
seperti pakaian adat kita, atau mungkin
pakaian adat daerah ada yang memakai goni seperti pakaian adat di Irian
Jaya.
“Di Perancis bentuk pakaian dan rumah adat tidak banyak variasi,
kalau kita punya banayk variasi pakain dan rumah adat jadi begitu unik”.
Di kampus kami juga
bincang-bincang tentang tradisi. “Terus terang mereka hampir tidak ada yang
tahu dengan Pagaruyung dan rumah adatnya. Mereka cuma lebih tahu Bali, karena
beberapa orang di antara mereka telah berkunjung ke Bali. Mereka mengatakan
bahwa orang Indonesia itu nice (sangat baik)”.
BAB VIII.
Meneropong ISTANO BASA Pagaruyung Dari Paris
Bagiku sendiri saat aku
dekat di kampung (Padang Ganting) dan begitu dekat dengan Istano Basa Pagaruyung,
namun Istano Basa Pagaruyung terlihat biasa-biasa saja. Tetapi setelah aku berada di Perancis dan pergi
jalan-jalan ke Eiffel, aku juga merasa rindu dengan Batusangkar, dengan Istano
Basa Pagaruyung. Aku merasa bangga bahwa Istano Basa Pagaruyung juga begitu
anggun, tidak kalah cantik dari Eiffel dari Perancis.
“Aku jauh-jauh di
Perancis mempelajari budaya sendiri. Terasa indahnya negeriku, Batusangkar, ya
setelah aku jauh beribu-ribu mil jauhnya di negeri orang. Aku sangat merasakan
bahwa Pgaruyung itu begitu indah, orang-orangnya ramah, punya event budaya yang
banyak, lantas alamnya begitu magnificemt- menakjubkan”.
Kita juga punya budaya
bagus dan mereka juga punya budaya bagus dan mereka hidup lewat budayanya juga.
Mereka membuat gedung yang punya nilai sejaran dan yang membangunnya hanya para
ahli, sementara kalau di kampungku, rumah adat dibangun secara kolaborasi
(gotong royong) oleh masyarakat dan pemuka adat.
Tempat-Tempat
Menarik di Perancis
Kenapa sih menara Eiffel
bisa menjadi populer ? “Itu karena menara Eiffel sebagai menara paling tinggi
pada waktu itu. Kemudian dari dalam menara Eiffel kita bisa melihat view kota Paris yang menakjubkan. Menara itu
terdiri atas tiga tingkat, kita bisa naik tangga kemudian lift menuju puncak
menara. Kita bisa membeli tiket untuk naik lift atau tangga menuju puncak pada
sebuah tempat di pinggang menara Eiffel. Owww ......menara Eiffet itu besar
sekali, karena pada tiang yang empat itu sudah lift dan tangga. Jadi
dibandingkan dengan tugu Monas (Monumen Nasional) di Jakarta ya Monas belum
berarti”.
Setelah mengunjungi menara
Eiffel, aku juga mengunjungi Le Musse De L’ouvre. Musse de L’ouvre
adalah museum tempat tersimpannya lukisan Monalisa. Lukisan ini terkenal dengan
“Misty Smile” atau senyum yang berkabut. Monalisa tersenyum namun senyumnya
punya seribu makna- apakah itu senyum sedih, sakit, senang, cemburu....jadi
senyum yang susah untuk ditebak. Senyum misty
smile adalah senyum banyak makna.
Itulah bedanya dengan
kita, orang Perancis appreciate sekali dengan museum. Mereka bisa betah tinggal
berlama-lama dalam museum. Jadi kalau mereka datang ke sini, kita bawa mereka
ke rumah gadang, ke museum, ke Istano Basa Pagaruyung, maka mereka betah sekali
dan tinggal berlama-lama dalamnya. Mereka terlihat excited, terlihat mereka
sangat menghargai sejarah. Orang tua dan muda semua suka pergi ke museum.
Sementara kita di sini tidak termasuk pencinta museum. Bagitu pergi ke museum
bikin boring (bosan) dan karakterku
tidak usah ditiru. Bagi mereka tinggal di museum terlihat kedamaian
Aku juga suka
mengunjungi Arc De Triompe atau gerbang kemanangan. Gerbang ini dibangun oleh
Napoleon Bonaparte untuk menghargai perjuangan tentaranya. Dekat Arch De
Triompe ada jalan Champ D’ellysse.
“Champs d’ellysse est le
plus belle avenue sur le monde- Champ d’ellyse adalah jalan terindah di dunia”.
Aku juga mengunjungi Sans Sacre, itu adalah gereja. Gereja yang dibangun di
atas bukit, dari sana kita juga bisa melihat view of Paris dan termasuk menara
Eiffel.
Aku juga pergi ke Notre
Dame. Ini adalah juga gereja dan di depannya ada tempat bulat, semacam zero
ground atau titik nolnya kota Paris. Zero ground juga semacam daya tarik untuk
wisatawan mengunjungi Paris, dan yang belum menginjak zero ground di depan
Notre Dame dianggap belum benar-benar mengunjungi kota Paris. Atau ada cerita
bahwa andai kita menginjakkan kaki ke sana maka suatu kita akan datang lagi ke Paris.
“Aku berjalan di depan Notre Dame dan aku
mencari-cari dimana posisi lobang zero ground itu. Ternyata zero ground itu
tidak besar, kecil, namun kok bisa dibuat menjadi daya tarik. Ya itu karena
bien organisse- karena dikelola dengan baik hingga menyebar ke dalam emosional
banyak orang di dunia”.
Bulan ramadan juga
datang di Perancis....haaa dan aku pernah berpuasa di Perancis. Aku juga punya
pengalaman dalam menjalankan ibadah di negara tersebut. Tentu saja waktu
berbuka dan waktu sahur di Perancis berbeda dengan di negara kita. Di negara
kita karena terletak persis di pertengahan globe- di garis equator, maka jumlah
malam sama panjang dengan jumlah siang, masing-masing selama 12 jam. Kalau di
Perancis berbeda-beda, kalau puasa di musim panas ya...siangnya panjang.
Sahurnya cepat dan berbukanya lambat. Tetapi kalau berpuasa di musim dingin
ya.... siangnya pendek, sahurnya bisa jam 6 pagi dan berbukanya jam 5 sore.
Kalau kita menanyakan di
mana mesjid, dan mesjid pasti ada. Tetapi jangan bayangan mesjid seperti di
negara kita atau seperti gedung mesjid di negara negara Arab. Tetapi di
kota-kota kecil, mesjid tampak tidak seperti mesjid, ia adalah bangunan biasa
saja tetapi telah digunakan sebagai
“Praying place” atau tempat sembahyang. Di sana ada kegiatan sholat
namun kita tidak mendengar suara azan, karena pemerintah Perancis melarang azan
pakai microphone. Kalau azan, ya di dalam saja, dan kalau kita ingin tahu
jadwal waktu sholat silahkan download sendiri atau minta ke pengurus mesjidnya.
Orang Perancis juga ada
yang beragama Islam. Orang- orang di Perancis sholad di mesjid tidak pakai
mukena kayak kita. Mereka sudah pakai jilbab, menutup aurat, pakai kaus kaki.
Jadi mereka pakaian apa adanya di badan dan langsung sholat, jadi tidak ribet
pakai mukena segala seperti kita di Indonesia.
Ternyata habis sholat
tata cara berdoa mereka sedikit berbeda. Mereka habis sholat tampak
tenang-tenang saja, mungkin lagi berzikir atau berdoa. Kalau kita berzikirnya
jelas menghitung jari dan berdoanya kita mengangkat tangan. Aku berfikir bahwa
merka lama sekali berdoanya, ketika aku sodorkan tangan untuk salaman, mereka
membalas.
“Tu prie comme ca- leve tes mains- kamu berdoa
seperti itu- mengangakat tangan”, tanya mereka, “Oui, parce que on demande
quelque de Dieu Allah- ya kita angkat tangan karena meminta dan bermohon pada
Tuhan Allah” jawabku. “Ah...ce bien comme ca- ah bagus seperti itu” kata mereka
lagi.
Di Perancis juga banyak
orang yang memakai jilbab, juga ada jilbab yang dalam. Dulu juga ada yang memakai
cadar. Tetapi sekarang Pemerintah Perancis melarang pemakaian cadar. Kalau
kedapatan perempuan muslimah memakai cadar ya mereka dikenai denda 1.000 Euro
lebih. Pemerintah Perancis hanya
mengizinkan pemakaian jilbab saja, bukan pemakaian cadar.
Halal
Food
Halal
food atau makanan hal adalah hal yang susah diperoleh di Perancis. Orang-orang
muslim tentu perlu berhati-hati dalam mencari daging, khawatir kalau memakan
jambon atau daging babi. Di sana daging ayam dan daging yang ada tanda halalnya
harganya sangat mahal. Harganya bisa dua kali lipat.
Untuk
mendapatkan daging halal kita bisa pergi ke butcherie halal. Bucherie halal
adalah toko daging yang khusus menyediakan daging halal semuanya.
“Ya ada label halalnya,
dan sekali lagi harganya mahal. Tidak semua daerah punya bucherie halal, jadi
kita harus mencarinya”.
“Adu aku lapar dan
pengen beli makanan dari pedagangan makanan yang bakal lewat. Apakah ada di
Paris?”
“Oh...tidak ada”. Di
sana tidak seperti di negara kita yang ada warung, kedai makanan, tempat jual
bakso, somai, sate, rujak, nasi goreng
dan makanan- yang kadang-kadang
lewat dan kita tinggal membelinya dari rumah. Kalau di sana jam 8.00 malam toko
dan kiosk sudah tutup.
Kalau begitu harus kita
prepare bien (mempersiapkan dengan baik) dan takut kita kelaparan kalau
belajar malam
“Ya kita persiapkan
sebelum toko tutup. Kalau di sana kalau toko tutup ya tutup. Meskipun kita
antri namun kalau sudah tiba waktu tutup ya ditutup”.
Tentang
cara makan. Kalau kita di Indonesia makannya terdiri atas nasi dan lauk pauk.
Aku lihat bahwa teman-teman Perancis makannya banyak sekali. Makan mereka ada
yang namanya baguet, ya sejenis roti keras, dan ini sangat terkenal. Ada yang
makan croissant- juga sejenis roti. Makan siang mereka terdiri dari roti yang
panjang.
Ada
temanku membawa roti yang panjang dan banyak “Makan kamu ternyata banyak ya..!”
Kataku pada teman yang bisa menghabiskan banyak roti, yang ia makan selama
perkuliahan yang cukup lama dari jam 9.00 pagi sampai jam 7.00 malam.
Di universitas Sorbonne
juga tersedia resto yang menjual pizza yang isinya kentang, salada, telur dan
mentega seperti itu. Sebagian teman beli roti, salad dan “apporte dans la
classe- membawanya kedalam kelas” untuk dikonsumsi selama kuliah.
Kalau
kami dari Indonesia pergi kuliah juga bawa bekal “ada nasi, lauk, sayur, buah”.
Dan mereka melihat “kamu
makan ini tiap hari ?”
Aku menjawab, “C’est
bien, et tu port beaucoup croisant tout le jour aussi- iya dan kamu juga bawa
banyak roti tiap hari”
“Kamu
langsing tapi mengapa makan roti sekantong...!” Kataku.
Mereka pernah makan nasi
tetapi tidak terlalu suka makan nasi, katanya “Makanan kalian terlalu banyak
bumbu”.
Mereka juga bertanya
“Kamu bisa masak asia....bagaimana kamu masak rendang, sampadeh, gulai ayam ,
kamu cari bahannya kemana...?”
Aku menjawab “Ke toko
asia”. Woww ...pasti harganya mahal karena bahan-bahannya diimpor dari Asia. Kalau mereka cuma makan baguet, yang
nota bene di dalamnya ada sayur, kentang, daging dan semuanya tidak diimport.
Dulu ada teman (turist
asal Perancis) yang berlibur di
Batusangkar dan ketika mereka hendak balik ke Perancis, aku tercium aroma bumbu
kambing.
“Kenapa ya ada aroma
bumbu kambing..?” Ternya iya, Fanchoise Belluche membawa beberapa saschet bumbu
kambing ke negaranya. Katanya bumbu tersebut enak ditaburi di atas makanan,
rasa dan aromanya enak sekali.
Orang-orang
Perancis suka suasana happy. Mereka suka soiree- atau night party. Umumnya orang-orang kantor libur Jumat, Sabtu dan Minggu. Maka
mahasiswa Perancis pada Jum’at malam sudah mulai ber happy-happy (soiree).
Tentu saja suasana di apartemen jadi heboh dan
kita tidak bisa komplain terhadap
suasana yang demikian. Mereka heboh sampai jam 3 malam, mereka
mabuk-mabuk itu biasa. Namun orang Indonesia tidak perlu meniru soiree seperti itu.
Orang
Perancis juga paling hobby membuat
soiree pada weekend.
“Bagaimana besok
ya..kita buat soiree..?” Mereka mengadakan soiree untuk mengatasi stressed,
karena tingkat stressed mereka cukup tinggi. Tingkat frustasi juga tinggi.
Tentang pelayanan. Di
Perancis berlaku layana post. Kalau mau ke bank musti buat rendezvous atau
janjian dulu. Dan orang orang di sana paling hobby rendesvous- janjian dulu.
Kalau rendesvous tentu tidak ada antrian dan itu butuh besoin beacoup de temps-
butuh waktu yang banyak.
Mereka
bilang “Aku susah hidup di Perancis, birokrasinya banyak”. Ya memang begitu
kalau di Perancis, mereka juga merasakan.
“Waiting is boring...!!”
Mereka mengalami stressed tinggi karena sebahagian kuliah dan juga bekerja dengan target yang
tinggi. Oleh sebab itu mereka selalu struggle.
“Ya beginilah kalau umur
sudah 20 tahun ke atas. Maka untuk mengatasi stress ya kami perlu membuat
soiree”.
Ternyata
mereka appreciate juga terhadap budaya
mengundang makan. Kalau orang Perancis mengundan makan beda caranya
dengan budaya kita di Indonesia. Aku lupa waktu itu, kami diundang makan di Rumah Catalina.
“Wow enak...dan Catalina
baik sekali”. Ternyata kami dibagi atas
beberapa kelompok kecil.
“Kenapa kami
musti dibagi atas beberapa kelompok..?” Tanyaku.
Ia menjawab, “Iya karena
masing masing doivent apporter quelque
choses (harus bawa sesuatu) seperti minuman, banana, roti”.
Aku menyela “Kalau
begitu undangannya sama saja dengan bohong-bohongan. Kalau seperti itu, aku juga
bisa mengundang kalian tiap hari”. Ya ternyata mereka hanya menyediakan tempat
saja.
“Iya
mereka menyediakan tempat, dan membagi kelompak atas empat orang, nanti kita
beli juice apa...,minuman apa......, makanan apa..desert nya apa dan nanti kita
gabungkan duitnya, ya seperti itu.
” Waktu pertama aku
bergabung dengan teman-teman Perancis karena aku suka bergaul dengan yang lain.
Tetapi kemudian aku mengalami pembengkakkan dalam kekurangan uang, karena aku
harus beli dua. Kalau di Indonesia ini namanya adalah arisan”.
Ini
arisan karena harus serba dibawa sendiri. Mereka ternyata excited juga.
“Aduh Ranti..kita
minumnya vin rouge (anggur merah) saja”.
Tapi yang bilang “Kamu tidak boleh minum vin
rouge karena ada alkoholnya, karena kamu
orang muslim jadi kamu minum juice saja”.