Kesempatan Terbang Ke
Jepang Lagi
Seperti judul
bab IV ini, Return to Japan- yang
berarti kesempatan bagiku untuk terbang ke Jepang Lagi. Kesempatan ini datang
secara tiba- tiba dan kesempatan memang datang satu kali dan harus kita ambil-
jangan disia-siakan.
Aku pulang dari
Jepang- setelah berada di sana selama 3 tahun- pada bulan November 2012. Aku
tidak pernah membayangkan kalau- kalau aku bisa balik lagi ke sana, dengan
alasan bahwa programku sudah habis dan biaya pesawat serta biaya hidup sangat
mahal. Namun aku memperoleh kesempatan untuk balik lagi buat beberapa minggu
saja dalam bulan Februari 2013.
Aku
bukan kangen balik ke Jepang- seolah-olah Jepang adalah tanah airku. Negara
yang lebih aku cintai tentu saja Indonesia. Aku ke sana ingin karena ada
kesempatan- aku senang ke sana karena terus terang negaranya bersih, tertib dan
aman. Segala sesuatu terlihat teratur.
Aku
memperoleh undangan dari Oonishinorio San, pemilik perusahaan tempat aku
bekerja sebelumnya. Dia mau datang ke Indonesia untuk suatu urusan. Jadi aku
datang menyusul dan berencana aku balik ke Indonesia bareng dengan rombongannya.
Singkat cerita saat aku tiba di sana aku diajak untuk jalan- jalan di seputar
daerah- tidak jauh dari Osaka- propinsinya Fukuyama.
“Kami
pergi ke pantai, menyaksikan dolphin, kami juga pergi ke kebun
binatang-menyaksikan panda”.
Osaka
sendiri adalah kota terbesar kedua di Jepang, dan merupakan terbesar diantara
Kansai Trio yaitu Osaka, Kobe dan Kyoto. Sejak jaman dahulu Osaka sudah
terkenal sebagai kota perdagangan dan transit. Sebagian orang memandang Osaka adalah kota yang membosankan, karena
kalau sebagai kota wisata, reputasi Osaka masih kalah jauh dibandingkan Tokyo.
Kota Osaka memang tidak memiliki banyak atraksi tetapi jika kita merencanakan berkunjung ke daerah Kansai maka
mau tidak mau kita harus lewat Osaka. Untuk itu tidak ada salahnya kita menyediakan
beberapa hari untuk menjelajah kota ini. Osaka juga mempunyai moto yaitu kuidaore
yang artinya kurang lebih “makanlah sampai puas”.
B.
Prosedur Ke Luar Negeri
Tiba-tiba
Oonishinorio San meneleponku dari Jepang. Ia mengundangku untuk bisa berkunjung
ke sana. sebagai Ia menjamin untuk akomodasiku disana. “Horeeee…..tentu aku merasa sangat
bahagia”. Aku harus mengurus prosedur
keberangkatan ke luar neger- aku mengurus visa kunjungan ke Jepang.
Terus terang aku belum
pernah pergi ke Medan- jadi aku tidak tahu daerah Medan sama sekali. Sebelumnya
yang mengurus perjalanan kami ke Jepang diatur oleh pihak pemerintah Kab. Tanah
Datar. Aku memberanikan diri untuk berangkat ke Medan. Untung aku punya paman
di sana. Maka aku harus berkunjung ke rumah paman terlebih dahulu. Aku berjumpa
paman dan bibi di Medan, namun aku
memutuskan untuk tinggal di penginapan (hotel).
Aku tidak bisa tidur
dengan nyaman hotel dengan pencahayaan agak remang- reman, aku punya kebiasaan
phobi kegelapaan- ingat dengan cerita kanak- kanak- cerita tentang hantu atau
makhluk yang seram- seram. “Wah aku sudah dewasa…..hantu itu tidak
ada….kuntilanak itu hanya dongeng anak-anak” Aku harus mengalahkan ketakukan
ala anak- anak. Maka sekarang aku berpesan
pada semua orangtua bahwa anak- anak
tidak boleh disuguhi cerita seram- seram yang berlebihan karena dalam memori jangka panjangnya bisa tertanam ketakutan
tanpa alasan.
Aku
meninggalkan hotel lebih awal di pagi hari. Aku berjalan menuju Wisma BII di
jalan Diponegoro untuk mengurus visa.
Aku berjalan kaki sekitar 8 km dari Istana Maimun. Untuk wilayah Pulau Sumatera
Attase Budaya Jepang ada di Medan- di sana juga ada perpustakaan yang bisa kita
gunakan untuk mencari literature tentang Jepang.
“Konsulate
Jepang ada di Wisma BII lantai 5. Aku diberitahu tentang persyaratan pengurusan
visa: tiket pulang pergi, pas foto dengan latar belakang putih, fotocopy buku tabungan,
jaminan dari orang Jepang, tabungan, kartu keluarga, dan rencana perjalanan.
Kemudian aku juga harus mengisi formulir. Biaya pengurus visa Rp. 325 ribu.
Juga ada wawancara dengan orang Jepang dengan bahasa Jepang, yaitu tentang: apa
tujuannya, alasan dan berapa lama tinggal di Jepang.
Saat itu aku menunggu visa keluar selama 3 hari. Sambil
menunggu visa aku bisa jalan- jalan seperti ke dalam Istana Maimun, pergi
sholat ke Mesjid Raya Medan. Juga aku pergi untuk membaca literature tentang
negeri sakura di perpustakaan Konsulate Jepang”.
Selesai
pengurusan visa, aku kembali mengambil barang- barang ke penginapan dan menuju Bandara
Polonia Medan, untuk bisa terbang ke BIM Padang. Aku harus segera pulang ke
rumah- aku tidak punyabanyak waktu dan aku harus berkemas- kemas untuk menuju Jepang.
Aku
hanya punya satu hari saja di Lintau dan balik lagi ke Padang. Aku terbang dari
BIM Padang terus ke Kuala Lumpur dan Osaka. Kali ini aku juga terbang dari
Kuala Lumpur ke Osaka dengan Malaysia Airline. Terbang kali aku pergi
sendirian- jadi aku harus lebih berani.
C.
Terbang Sendirian
“Terbang
sendirian, berarti aku sudah berani dan sudah dewasa. Namun ada sedikit
problem, dari Padang aku membeli tiket
pesawat Air Asia. Aku baru tahu
kalau di Kuala Lumpur ada 2 Bandara: KL
(Kuala Lumpur) dan LCC. Sebenarnya aku harus pergi ke LCC bukan ke KL. Akibatnya
aku repot menuju bandara transit. Untung aku dibantu oleh seorang warga Australia untuk
menenteng koperku yang berat- mungkin ia
kasihan melihatku bertubuh mungil
dengan bagasi yang banyak. Ia adalah pelancong
Australia yang sama terbang denganku dari Padang menuju Kuala Lumpur dan kami
duduk bersebelahan”.
Kami
mendarat di Kuala Lumpur setelah terbang selama satu jam. Aku berencana untuk transit- karena aku beli
tiket Air Asia di Padang dengan rute Padang- Kuala Lumpur dan Kuala Lumpur
Osaka. Terus terang aku tidak mengerti dengan bahasa Inggris. Aku jadi gelisah
karena pesawat yang bakalan aku ambil untuk transit ke Osaka sudah terbang. Aku
mohon bule Australia mengatakan ke pada petugas
bandara bahwa aku ketinggalan pesawat. Namun aku memang harus mengurus tiket baru lagi. Aku rugi-
kehilangan satu tiket pesawar Air Asia rute Malaysia- Jepang, sekitar Rp. 3
juta dan aku ambil tiket baru dengan pesawat Malaysia Airlines.
“Idealnya
aku di Padang ngurus tiket ke biro penerbangan namun aku beli tiket secara
pribadi.Tiket yang baru lebih mahal ya harganya sekitar Rp. 6 juta atau 1.804
Ringgit. Usai ngurus tiket aku merasa capek dan lapar namun aku sulit untuk
melahap makanan- mungkin gara- gara stress lagi.Untung aku bawa duit ¥. 100.000.
Rencana aku bawa sejumlah uang demikian buat beli oleh- oleh bila pulang ke Indonesia,
karena biaya tiket sudah ada porsinya”.
Aku
punya pengalaman jelek namun tentu juga ada indahnya- yaitu adanya toleransi atau
kebersamaan bersama warga lintas bangsa- dengan orang Australia. Aku tidak
mengerti bahasa Inggris, namun untung aku punya buku electronic- frase Bahasa
Inggris dan Jepang: percakapan dalam perjalanan.
Sayang
kini aku lupa dengan nama pria Australia
yang baik itu. Saat itu aku harus
menjadi wanita yang tetap kuat dan
semangat. Oh ya aku masih ingat bahwa
aku dan bule itu juga satu taxi
saat mau pindah bandara- waaah ….. aku
kehabisan dollar namun masih punya mata uang Jepang. Maka aku
memberanikan diri untuk meminjam duit
dia sampai aku pergi ke money changer- aku turun taxi pergi dan langsung ke
money changer dan aku bayar utangku pada bule itu.
“Mengapa aku musti
memakai dollar…mengapa tidak memakai mata uang Rupiah, aku bangga lho punya
mata uang negara sendiri. Itulah aku berharap usaha pemerintah dalam kebijakan
denumerasi- pengurangan tiga nol mata Rupiah bisa bikin Rupiah menjadi mata
uang yang laku di Internasional- aku iri dengan ¥ (Yendaka), satu Yendaka (¥)
masih punya nilai di pasaran internasional. Sementara Rp 500 juga hampir tak
punya nilai lagi. Anak anak saja tak mau menerima uang Rp.500 sebagai
oleh-oleh, ia tahu nilainya amat kecil”.
Pernah suatu ketika
temanku orang Jepang bilang, “kalian kan punya mata uang sendiri, kenapa harus
membayar dengan dollar ? Seharusnya juga bisa bayar dengan uang sendiri.”
Aku tidak mengerti tentang moneter dan aku
tentu tidak bisa menjawab.Sebagai bangsa Indonesia aku jadi sedih dan malu. Di
Malaysia, saat aku beli tiket, ia tidak mau terima dollar- ia hanya menerima
Ringgit- ia lebih mencintai mata uangnya sendiri.Apakah sikapku salah, aku
bukan pura-pura malu.
“Satu lagi adalah aku
bermimpi atau punya keinginan untuk melihat Indonesia yang bersih. Kadang aku
berfikir- andai aku sebagai penanggung jawab kebersihan di negeriku, biarlah
aku terjun langsung untuk memungut sampah dari bumi Indonesia yang tercinta.
Andai aku punya lahan di sebuah kota- aku akan menggunakan lahan tersebut untuk
menampung sampah dan aku ingin mengolah sampah dengan dibantu warga lokal
seperti negara maju (Jepang) mendaur ulang sampah tersebut. Kalau sampah bersih
maka tata ruang kota akan tampak semakin berseri”.
Namun mimpi yang sedang
aku wujudkan sekarang adalah bahwa kami sedang mendirikan lembaga bahasa
Mandarin dan Jepang di Lampung. Kami ingin mengelolanya dengan memadukan system
pengelolaan kebersihan lingkungan, dimana anak- anak/ para remaja yang belajar bahasa asing juga harus
belajar tentang budaya bersih. Jadi kita hidup jangan sembrono saja.
Aku
seharusnya sudah terbang ke Jepang jam 03.00 sore, namun karena ada problem
maka harus menunggu terbang jam 12.00 malam. Akhirnya aku bisajuga terbang malam itu dan di sebelahku duduk
orang Jepang asal Kobe. Aku merasa senang karena kami bisa ngobrol dalam bahasa Jepang. Aku
juga menceritakan pengalaman indahku yang terjadi hari itu. Nama orang Jepang
itu Yosida San. Sangat mudah bagiku untuk mengingat nama orang Jepang daripada
nama orang Australia- mungkin Bahasa Jepang sudah menjadi bahasa keduaku.
Percaya
diriku menggunakan bahasa Jepang dengan orang asli Jepang tumbuh lagi. Aku
menceritakan padanya bahwa aku sebelumnya pernah di Jepang dan bekerja di
perusahaan pertanian. Teman warga Jepang itu (Yosida San) juga mengatakan bahwa ia pergi ke Malaysia
untuk berlibur- menghindari musim dingin yang sangat ektsrim di Jepang. Dia
mengatakan tidak terlalu suka dengan musim dingin.
Yosida
belum pernah ke Indonesia- namun aku juga
sempat menceritakan tentang budaya dan iklim di Indonesia. Aku menganjurkan
agar lain waktu ia juga berlibur ke Indonesia. Apalagi jarak Indonesia dan
Malaysia hanya 45 menit saja.
Aku
pengen tahu tentang beberapa profesi yang banyak digeluti oleh orang Jepang. Yosida
itu kayaknya seorang guru atau mungkin seorang petugas konseling. Yang aku
tangkap dari percakapan kami bahwa ia juga tahu dengan psikologi. Yosida punya
anak dan juga istri yang menetap di kota Kobe. Terbang kali ini aku bisa tidur
pulas dalam pesawat dan itu akibat kelelahan pada siang sebelumnya.
Aku
akhirnya sampai di bandara Osaka- saat
itu sudah pagi. Aku beradaptasi dengan cuaca Jepang yang dinginnya sangat
menusuk. Waktu itu aku sedikit kurang sehat- aku mungkin masuk angin. Suaraku agak
serak dan malah cenderung hilang.
Betul bahwa aku kayak
bermimpi lagi karena bisa tiba lagi di bandara Osaka. Aku tidak ada berfikir
untuk terbang ke sana buat kedua kalinya. Ternyata aku bisa terbang dalam
kesempatan lain dan melalui cara yang lain.
Kedatangan
aku pertama kali ke Jepang pada bulan November- di musim gugur dan kedatangan
yang ke dua ini dalam bulan Februari- musim dingin. Aku melihat ada
perbedaannya. Dalam musim gugur udara sudah terasa dingin namun banyak angin,
dan kedatanganku dalam musim dingin udara
terasa dingin yang ekstrim. Salju pada turun dan suhu sampai minus
dibawah titik nol. “Bapak Yosida mengatakan padaku bahwa kedatanganku ke Osaka
pada musim dingin yang paling dingin”.
D.
Kedatangan penuh Kejutan- Surprised Arrival.
Aku turun pesawat dan aku
dijemput oleh Oonishinorio San di Bandara Osaka. Bersama bus Oonishinorio San juga ada teman- teman satu perusahaan dan
mereka tidak tahu kalau aku datang lagi. Jadi mereka surprised dan merasa nggak percaya kalau yang datang itu aku.
Apalagi Oonishinorio San juga tidak bilang pada mereka tentang
kedatanganku.
Memang bahwa kedatanganku
ke Jepang tanpa memberi tahu teman-teman
….ya untuk kejutan. Suasana bandara dan kota Osaka di musim dingin tetap ramai, yang membedakan
hanya suasana pakaian saja. Saat aku datang bertepatan dengan musim libur- aku
melihat yang banyak yang berkunjung di Osaka adalah orang- orang China, aku
tahu dari bahasa mereka dan juga wajah mereka.
Sekedar bagi- bagi
rahasia saja tentang bagaimana beda wajah orang China dan Jepang (?). Orang Jepang cenderung memiliki
struktur wajah oval bermata besar dan hidung yang lebih jelas. Wanita Jepang
sering memakai make-up tebal
memberikan kesan warna kulit putih pucat.
Sementara orang China cenderung memiliki wajah bulat daripada orang
Korea dan Jepang. China adalah negara dengan multi-etnis besar, tidak seperti
Korea dan Jepang (yang punya etnis lebih
homogen) sehingga lebih sulit untuk membedakan atau mengeneralisasi.
Saat datang di musim
dingin, kegiatan orang di perusahaan pertanian tetap berjalan- aktivitas tetap
berjalan. Kalau mereka beraktivitas di luar maka mereka harus memakai baju
berlapis- lapis. Bisa 4 lapis atau 5 lapis, tidak cukup hanya dengan satu helai
baju tebal saja. Kedatangan kali kedua aku masih menginap di daerah Onohara-
propinsi Kagawa-Ke, Kecamatan Kawaninggishi. Jaraknya 3 jam naik mobil dari
Osaka.
Kota Osaka adalah kota
pantai- terlihat banyak pemandangan laut. Sementara daerah tempat kami menginap di daerah dataran tinggi dan
daerah pertanian. Disana kita melihat perbukitan, pergunungan dan kebuh sayur
yang luas dan modern. Daerah desa sama bersihnya dengan daerah perkotaan- jadi
manajemen tata ruang sudah tersebar dari kota hingga ke desa.
Begitu berjumpa dengan
teman lama di asrama, spontan saja kami berbincang- bincang tentang pengalaman
masa lalu. Aku juga bertanya tentang suka dukanya sejak aku tinggalkan. Beberapa
senior datang padaku dan mereka melaporkan tentang masalah yang mereka hadapi.
Namun aku katakan pada mereka bahwa aku datang bukan sebagai karyawan lagi,
tetapi datang kali ini sebagai turis Indonesia yang berkunjung ke Jepang. Namun
mereka tampak tidak percaya- mereka menduga kalau aku memperoleh perpanjangan
kerja disana lagi. Dan mereka membutuhkan aku sebagai kakak senior buat curhat.
Tampaknya mereka selalu butuh teman curhat di saat suka dan duka.
Akhirnya teman- temanku jadi kaget semuan. Malah saat kunjungan singkat
terebut aku sempat diminta untuk mewawancarai karyawan. Dia asli orang Jepang
yang ingin memperpanjang masa kontraknya. Meskipun aku orang Indonesia dan
berpendidikan rendah- hanya SMA saja- namun mereka menghargaiku. Dimata atasan
perusahaan bahwa mungkin aku memiliki kualitas. Mereka tidak melihat ijazahku tetapi melihat
pengalaman lapanganku.
Aku saat mewawancarai
dia, bahasa Jepangku agak terbata- bata tidak sebagus bahasa Jepang asli Orang
Jepang. Namun ingat dengan perkataan guruku di Batusangkar bahwa di mata orang
Jepang asli…bahasa Jepangku yang patah-patah enak untuk didengar. Ya ibarat
kita mendengar orang asing menggunakan bahasa Indonesia. Pantas saat aku
ngomong Jepang mereka mendengarku dengan
tenang.
Ada yang mengatakan
bahwa meskipun aku hanya tamatan SMA- sebagai pendidikan formal- namun
wawasanku sama dengan tamatan Universitas, malah seolah-olah aku adalah tamatan
pascasarjana. Alasannya aku bisa mengambil keputusan- juga lancar berkomunikasi
menurut ukuran warga non-Jepang.
Katamereka bahwa aku punya wawasan dan
punya percaya diri- ya mungkin itu berkat pengalaman dan tuntutan hiduplah yang
membuat aku lebih dewasa- Alhamdulillah….!!!
Terus terang bahwa
sebenarnya aku juga banyak belajar dari Sacho- pemilik perusahaan pertanian-
Jepang. Dia idolaku dan aku tahu bahwa dia juga tidak kuliah (tidak tamat universitas).
Ia juga tamat SMA namun ia memiliki semangat sukses yang tinggi. Dia berprinsip
bahwa dia tidak mau kalah dan selalu
ingin menjadi nomor satu dalam menyelesaikan pekerjaan yang berkualitas. Walaupun
Sacho sudah berusia separo baya dan kadang-
kadang terlihat lelah namun ia tidak mau mengatakan “Aku tidak bisa….!!!” Ia secara tidak langsung punya motto: the
nature is the teacher atau alam takambang jadi guru.
Aku masih ingat saat ia
menjemputku ke bandara dan aku duduk di depan bersebelahan dengan Sacho. Kami sempat
bercerita sepanjang jalan tentang berbagai hal. Aku juga menceritakan bahwa aku
sedang menulis buku. Ya buku yang sedang and abaca ini. Yaitu tentang kisah hidup dan perjalananku selama di
Jepang. Ia bertanya tentang apa judul buku dan gambar apa di depannya (?).
Judulnya mungkin tentang True Story-
menimba motivasi di negeri Jepang.
Aku merasakan beda kedatanganku ke Jepang kali ini. Saat datang pertama kali
aku butuh energi yang besar untuk
beradaptasi. Saat itu aku juga mengalami cultural shock (kejutan budaya) tentang Jepang. Kedatanganku yang ke-dua, aku merasakan sudah penuh kemudahan- aku tidak mengalami kekagetan
budaya….aku datang karena diundang, mungkin aku orang VIP (Very important person…ha..ha), dan juga kedatanganku penuh
surprised.
“Kedatangan ya petama
aku banyak merasakan khawatir…kedatangan yang kedua aku merasa enjoy”
Yang membuat aku
khawatir saat datang pertama adalah tentang makanannya. Sebagai orang muslim
tentu kami berpantangan untuk makan babi. Babi itu haram, sementara dimana-
mana di Jepang aku temui betaburan makanan mengandung babi. Namun untuk datang
yang ke dua aku sudah tahu banyak cara mengatasi
permasalahan hidup/ makanan. Bedanya hanya aku kaget dengan beda cuaca yang
sangat kontra antara Indonesia dan Jepang. Sekarang kalau aku pergi ke
restaurant aku perlu membaca dan mengenal kanji untuk nama babi: sosis, ham dan
pig.
Rata rata kalau kita
makan mie di Jepang, diperkirakan ada unsur babi- paling kurang mengandung
minyak babi. Tetapi kalau Sacho yang mengajak kami makan, maka ia akan mengatakan tentang “some do’s dan some don’t’s” - yang boleh dan yang tidak boleh- tentang
makan bagi orang Islam. Satu lagi kedatanganku kedua ke Jepang, bahasa Jepangku
sudah semakin bagus.
E. Kehangatan
Persahabatan
Kualitas
persahabatan sangat penting- apalagi saat kita berada jauh di rantau orang.
Sahabat bisa menjadi obat bagi kesehatan
jiwa kita. Aku merasakan hal yang demikian. Saat kita lagi dilanda galau, saat
kita diterpa rasa duka maka kehangatan pergaulan sangat berarti. Dimana kita
bisa mengadukan keluh- kesah perasaan pada teman, maka ini bisa menjadi sitawa
sidingin- pelipur lara bagi kita.
Aku
merasa surprised bisa datang ke
Jepang lagi dan aku sengaja tidak memberitahu kedatanganku pada teman-teman dan
mantan atasanku yang aku anggap sebegai teman di Kagawa- Oonishinorio San yang
mengundangku- juga demikian. Dia juga tidak menginformasikan kedatanganku pada
teman lain. Kami khawatir kalau kosentrasi kerja mereka terganggu oleh kedatanganku. Junior- juniorku yang
berada di asrama juga tidak tahu kalau- kalau aku datang. Mereka tahu bahwa aku
di Jepang saat aku mampir ke asrama mereka. Mereka marah semuanya:
“Kenapa
kak Sefrita (Kak Oshin) sudah 2 minggu berada Di Jepang tak bilang- bilang, Kak
Oshin sudah sombong sekarang. Kenapa Kak Oshin bisa ke sini lagi ?” Gerundel
mereka ramai- ramai.
“Aku
datang ke sini karena diundang oleh perusahaan jadi aku nggak bisa keluar atau
berkunjung seenak dewe. Aku tidak bisa keluyuran untuk datang ke sini semau gue
saja. Kalau aku ke luar aku harus minta izin pada Oonishinorio San - karena aku
selama di Jepang berada pada tanggung jawab dia. Aku tidak punyaKTP- kecuali
hanya passport. Kalau kemana-mana dan
terjadi accident maka tentu tanggung
jawab beliau”. Aku menjelaskan agak detail.
Kunjungan
ke Jepang yang ke dua kali sangat mengesankan bagi persahabatan kami. Begitu
sampai di Jepang aku diajak makan bersama oleh perusahaan, aku berjumpa teman
dan aku sengaja membawakan oleh- oleh buat mereka. Oleh-oleh yang aku
bawa bisa membuat mereka jadi kangen pada tanah air. Aku bawakan mereka “randang talua (rendang telur), kerupuk
ikan dari Lampung, kerupuk pisang khas Lampung, pisang coklat, kerupuk sanjay,
batiah” dan juga aku bawakan mereka baju kaus dengan merek Jepang yang aku
pesan khusus buat mereka sejak dari Batusangkar.
Oleh-
oleh tersebut aku persiapkan buat orang Indonesia dan juga orang Jepang. Oleh-
oleh penganan yang aku bawa membuat orang Indonesia dan juga orang Jepang
teringat dengan Indonesia- Batusangkar, Padang dan Bukittinggi. Jadi mereka
makan dengan feeling atau emosi
mereka.
Bagi
orang Jepang sendiri, mereka menyukai karupuak
balado (keripik balado). Meskipun rasanya pedas- membuat mata berair, tetapi mereka berusaha untuk menikmatinya.
Apalagi di Jepang tidak ada singkong- jadi mereka sangat menyukai keripik
singkong balado- “Enaaak…..!!!” kata mereka.
“Mengapa
ya aku diundang oleh Sacho..dan mengapa aku seolah- olah menjadi penting di
matanya ?” Ya mungkin Sacho punya kesan positif dengan kinerjaku. Karena dulu
sebelum pergi kelapangan- dalam meeting- aku aktif berbagi ide dalam membuat
rencana kerja sebelum terjun ke lapangan. Jadi aku sering bertukar pikiran
dengan beliau.
Aku
dulu mengurus bidang pembibitan- aku harus tahu dengan kadar tanah dan kadar
suhunya. Aku rasanya sangat bersahabat dengan tanaman- maka saat beraktivitas aku
rasanya bercerita- cerita dengan tanaman tersebut, sehingga aku jadi tahu
banyak tentang pembibitan. Itu yang membuat
aku bisa menjelaskan proses pembibitan dan penanaman yang baik pada
teman- teman dan juga pada Sacho.
Dulu
saat ada kunjungan dari luar, aku pernah diminta oleh Sacho untuk jadi Host
(tuan rumah) untuk menjelaskan segala sesuatu
tentang pertanian: proses pembibitan, penanaman dan panen. Ada yang mengatakan bahwa
aku juga punya bakat sebagai leadership
buat para junior di perusahaan. Jadi alhamdulillah Sacho berkesan dengan kemampuanku.
“Bakatku
apakah sebagai leader atau konsultan
buat para junior tidak pernah aku ketahui. Mungkin bakat ini muncul mengalir
bersama waktu. Jadi saat aku mengajar atau menjelaskan prosedur pertanian pada
junior aku jelaskan dengan tenang- tanpa pernah emosional. Kalau kita berkata
dengan nada tinggi atau marah, tentu orang yang mendengar bakal jadi mendongkol
dan merasa kurang enak. Karakter junior bermacam- macam, ada yang butuh
ditegur/ dimarahi, ada yang butuh diberi warning
agar bekerja, ada yang butuh kelembutan baru berbuat/ bekerja".
Bakat
leadership kita juga bisa muncul dan berkembang melalui aktivitas yang kita
lakukan. Aku sendiri dulu aktif dalam kegiatan pramuka, karena pramuka membuat
kita mandiri, percaya diri dan berani serta beranggung jawab. Tamat SMA jiwa leadershipku menjadi tumbuh. Paling
kurang buat diri sendiri dan juga buat
memimpin adik- adik. Apalagi aku sadari aku tidak punya ayah, kami berasal dari
keluarga broken home, ya aku harus
menjadi leader.
Tamat
SMA aku tentu harus punya fikiran, punya visi untuk mengangkat harga diri. Aku tidak
mungkin bisa kuliah- karena tidak punya cukup uang. Solusinya aku harus
berfikir untuk mencari kerja. Ya itulah melalui perjuangan dan usaha hingga aku
sampai di Jepang. Leadershipku juga aku salurkan buat membimbing para junior
dalam bekerja di perusahaan.
Kehangatan
orang Jepang aku rasakan sama saja dengan orang kita. Kalau kita smart maka mereka (Jepang) juga ada yang smart dan kalau kita loyo maka mereka
juga ada yang loyo. Pekerja asal Indonesia juga bekerja dengan semangat tinggi.
Semangat atau tidak tentu saja tergantung suasana hati atau motivasi.
F.
Plus Minus Orang Jepang dan Orang Kita
Teman-
temanku di kampung (Batusangkar) sering
bertanya: Apa sih beda orang Jepang dan orang Indonesia (?). Namun aku
cenderung mengatakan beda orang Jepang dengan orang kita atau pribadi kita
sendiri tentu saja. Misal dari segi parenting-
atau bagaimana menjadi orang tua yang ideal, bedanya cukup banyak.
“Apa beda parenting gaya orang Jepang dan parenting
gaya orang kita di negeri kita ? Jawabannya- banyak bedanya”. Kalau ada
sekumpulan anak Jepang dan sekumpulan anak anak kita yang jelas akan terlihat perrbedaan mereka. Beda yang
terlihat tentu dari sisi yang negatifnya dan tujuannya buat instropeksi bagi
kita. Anak-anak di Jepang, misalnya, mereka sangat well behaved- perangainya baik, sedang anak- anak kita banyak yang
berperilaku ala negara dunia ketiga. Misal anak kita suka mencoret- coret,
merusak fasilitas umum atau tawuran. Ngomong- ngomong mengapa hal ini bisa
terjadi? Penyebabnya adalah:
1)
Parenting orang kita bersifat permisif dan kurang disiplin.
Permisif maksudnya semuanya diperbolehkan, banyak
pemakluman. Sering orang tua berpendapat, toh masih anak-anak jadi maklum saja.
Anak-anak punya kecenderungan untuk mencoba melawan batas. Sebetulnya melarang
anak bukan menekan kreatifitas. Kreatifitas harus terus didukung, tetapi juga
harus pada tempatnya. Misal, anak suka bermain bola. Tentu saja mereka harus
bermain bola di lapangan bola. Bukan di sembarang tempat dalam ruangan sehingga
kaca- kaca bisa pecah.
2)
Anak diasuh pembantu (sebagian orang).
Pembantu tentu saja tidak
punya kekuasaan dan kemampuan untuk melarang dan mendidik. Dan banyak orang tua
yang merasa punya duit yang terlalu menyerahkan anaknya kepada pembantu karena
tidak ingin repot, tidak ingin diganggu waktunya sehingga anak kurang mendapat
perhatian dan pengawasan.
3)
Kurangnya empati dan budaya egosentris.
Sebahagian kita selalu
memikirkan diri sendiri terlebih dahulu, baru orang lain. Kita tidak peduli
jika kelakuan sang anak mengganggu hak orang lain.
4).
Miskin dengan pesan Karakter Positif
Kita lupa untuk melatih
dan membudayakan disiplin dan mudah lagi melanggar disiplin. Belajar untuk
bergantian dan bersabar terhadap mainan saja sulit dilakukan. Akibatnya anak-
anak kita terbiasa main rebut. Kata-kata “tolong, terima kasih dan maaf” pun jarang terucap dari mulut orang tua
sendiri.
5)
Pengaruh buruk media TV yang banyak menyiarkan kekerasan dan berita-berita
negatif.
Anak-anak cenderung
meniru apa yang mereka dengar dan lihat di televisi. TV kita menganut filsafat
“bad news is good news, jadi berita/
programnya banyak yang buruk”. Jika anak- anak terus menerus terpapar berita
kekerasan maka lambat laun mereka merasa bahwa kekerasan adalah hal yang lumrah
dan biasa bagi mereka.
G.
Sebuah Observasi Kecil- Kecilan
Tiga tahun aku berada di
Jepang, aku juga mengamati- melakukan observasi kecil- kecilan- tentang bagaimana orang- orang Jepang mengasuh
anak-anaknya. Terutama anak-anak mulai bayi sampai masuk SD. Perbedaan mendasar
yang terdapat dari pola pengasuhan di Jepang adalah sebagai berikut:
1)
Disiplin.
Dari lahir, anak-anak
selalu bersama ibunya. Mereka tidak pernah luput dari pengawasan sang
ibu. Ibu-ibu di Jepang disiplin sekali terhadap anak-anaknya dan
kedisiplinan ini diajarkan sejak dini. Jika sang anak tidak mematuhi, maka
mereka akan memukul kepala si anak (tentu saja tidak memukul sampai babak
belur, ya masih pukulan dengan kasih sayang. Bangsa Indonesia jangan tiru
kebiasaan memuluk kepala…ha..ha). Hukuman ini lazim buat orang Jepang. Namun di
tempat umum, pantang untuk memarahi atau bersikap kasar terhadap anak. Mereka
dihukum ketika sudah di rumah. Oleh sebab itu, anak-anak Jepang jarang yang
bersikap seenaknya karena mereka tahu apa konsekwensinya jika mereka melanggar
aturan. Namun kadang ada juga ibu-ibu yang memukul kepada si anak di tempat
umum jika sang anak bersikap kelewatan atau berbahaya.
2)
Berempati- harus mendahulukan orang lain sebelum diri sendiri.
Orang Jepang selalu
menasehati anaknya dengan cara : jika kita begini maka orang lain begitu.
Setiap tindakan anak akan selalu membawa akibat kepada orang lain. Jadi ia akan
terbiasa mementingkan perasaan dan kepentingan orang lain lain terlebih dahulu
sebelum kepentingannya.
Di tempat umum,
anak-anak jangan sampai mengganggu kenyamanan orang lain. Misalkan di
restoran, tidak ada anak-anak yang hilir mudik, berjalan kesana kemari. Semua
anak duduk di bangkunya masing-masing. Bayi selalu digendong atau dipangku oleh
ibunya. Jika sang bayi rewel, sang ibu akan berdiri dan menggendongnya. Di
Jepang, ibu-ibu tidak pernah menyusui bayinya di tempat umum. Mereka selalu
menyusui di ruangan menyusui- ruang laktasi.
3)
Sekolah menitikberatkan kepada etika dan hal ini diajarkan sejak dini.
Semua komponen
masyarakat, baik keluarga dan sekolah, mengajarkan anak untuk beretika dan
bersopan santun. Jika bermain bersama, si anak ingin meminjam mainan temannya
maka harus meminta ijin terlebih dahulu. Jika diijinkan maka harus mengucapkan
terima kasih. Setelah selesai bermain juga harus mengucapkan terima kasih lagi.
Jika melakukan kesalahan baik di sengaja ataupun tidak, anak harus meminta maaf
dan temannya harus memberikan maafnya. Anak-anak tidak boleh mengambil yang
bukan miliknya. Semua harus meminta ijin terlebih dahulu.
Terutama di SD,
anak-anak diajarkan untuk duduk diam dan mendengarkan ketika guru sedang
berbicara. Kebiasaan ini terbawa sampai dewasa, sehingga ketika ada seorang
pembicara di suatu pertemuan, para pendengar menyimak dengan serius. Guru
mempunyai kewenangan utuk mendisiplinkan sang anak jika nakal dan mengganggu
teman-temannya.
4)
Media Jepang terutama televisi tidak berlebihan
Bukan bermaksud
menyanjung Jepang kalau kita mengatakan bahwa TV Jepang bersifat TV
positif. Aku perhatikan bahwa TV Jepang jarang menayangkan berita kekerasan dan
andaikan ada korban jiwa atau luka-luka, mereka tidak pernah memasang
(menayangkan) gambar korban. Berita
tsunami di Ibaraki beberapa tahun lalu (Maret 2011) tidak begitu diekspose buat
konsumsi masyarakat Jepang. Isi TV di Jepang kebanyakan adalah acara talk show, makan-makan, jalan-jalan dan
ilmu pengetahuan.
Satu hal lagi, sebagian
siswa dan orang tua kita memburu berbagai sekolah yang punya label berkualitas.
Sekolah berlabel unggul di kota diburu oleh orang tua, tamat SLTA banyak anak-
anak di daerah memburu perguruan tinggi di Pulau Jawa. Di Jepang, fenomena ini
juga ada, namun tidak begitu kentara- karena semua perguruan tinggi sudah sama-
sama tumbuh menjadi maju. Yang aku perhatikan bahwa siswa Jepang banyak anak-
anak hanya belajar di SD, SMP dan SMA di seputar rumah mereka. Nanti kalau mau
kuliah baru mereka mencari Universitas yang mereka minati.
Kalau
mereka ambil SMK di bidang pertanian maka mereka mencari perguruan tinggi yang
juga bisa memperkaya keahlian mereka. Nanti mereka juga akan bekerja di bidang
pertanian.
H.
Tidak Memandang Rendah Profesi Pertanian
Bukan aku antipati
dengan cita- cita anak- anak di
negeriku- di Sumatera. Namun yang aku tangkap bahwa banyak pelajar yang tidak belum
cita- cita yang jelas. Kalau aku
berkunjung ke sekolah dan aku tanya, “adek nanti mau jadi apa..??” Maka hampir
semua menjawab “mau jadi dokter…!!!”
Menjadi dokter itu
sangat bagus, namun mengapa semuanya ingin jadi dokter. Itu menandakan bahwa
mereka nggak tahu karir atau profesi yang lain. Kalau mereka belajar di sekolah yang dipandang
punya label unggul maka mereka kebanyakan akan melanjutkan studi kekedokteran.
Hampir semua memilih kedokteran, atau di fakultas teknik. Mereka tahunya kuliah
itu hanya di fakultas teknik dan kedokteran saja- wah miskin dengan dengan cita
cita. Di Jepang tidak demikian. Karena pendidikan mereka memiliki pusat
pengembangan karir atau career centre.
Kalau di Sumatera
banyak orang memandang rendah bidang pertanian- tentu adapenyebabnya dan ini
perlu disikapi/ diatasi oleh para stakeholder. Kalau di sana (Jepang) cukup
banyak pemuda yang mendalami bidang pertanian dengan serius. Jurusan pertanian
adalah jurusan yang amat dekat dengan kebutuhan kita- memenuhi kebutuhan pokok
kita.
Malah
aku lihat ada yang berlatar belakang S.2 (pascasarjana non pertanian) juga
bekerja di bidang pertanian. Mereka sadar bahwa bekerja tidak harus sesuai
jurusan pendidikan. Bisa saja mereka adalah sarjana tekhnik namun berkaris di
bidang sosial. Ada sarjana teknik elektronika, namun tertarik juga mempelajari
seluk beluk pertanian dan membuka perusahaan di bidang pertanian.
Profesi pertanian berkembang pesat di Jepang, sementara itu dikampungku
profesi petani masih dilihat sebelah mata. Para pemuda lebih memilih menjadi
tukang ojek- bisa memperoleh uang- walau jumlahnya kecil- dengan cepat. Namun
lahan lahan subur dan kolam- kolam yang masih punya air banyak terbuang (tak
disentuh) oleh para pemudanya.
Kota
Jakarta masih punya daya tarik bagi
pemuda, mereka berharap untuk bisa memperoleh pekerjaan yang mampan di sana.
Sebagian besar ini akan menjadi mimpi belaka, hanya sangat kecil yangh bisa
berhasil. Sementara itu kota besar Jepang dengan gedung-gedung pencakar langit
dan segala pesonanya perlahan mulai kehilangan daya tariknya. Mengapa (?). Karena
saat ini, kaum muda Jepang mulai tertarik untuk kembali ke desa. Di tempat aku
bekerja juga banyak pemuda Jepang- mereka ada yang tamatan S.2 menjadi bekerja
bersama kami.
Apalagi
dimana- mana sistem rekruitmen karyawan/ pekerja adalah sistem kontrak. Maka
itulah alasan, setelah pemuda/ pekerja muda bila habis kontraknya maka mereka ingin mencoba
hidup di desa. Mereka ingin kembali merasakan sentuhan kemanusiaan yang masih
ramah dibandingkan masyarakat kota besar
yang mayortitas bersifat individualis.
Mencari
ketenangan, ini juga alasan para pemuda Jepang untuk bekerja di daerah.
Sebelumnya pemuda berbondong- bondong untuk bekerja di sektor ekonomi dan
pabrik di perkotaan- apalagi sebelumnya dengan status karyawan tetap- yang
dianggap punya jaminan bagi kehidupan. Kini sistem kerja secara kontrak- tidak
ada kepastian jaminan hidup- membuat mereka memilih untuk bekerja di daerah
pedesaan.
Di daerah
prefektur Kagawa aku lihat daerah ini sebagai daerah agrikultur dan pertanian
daerah ini kekurangan tenaga penggarap. Di Negeri Matahari Terbit[1], rata-rata usia petani adalah 68,5 tahun. Namun kini semakin banyak pemuda yang ingin mencoba
bertani dan hidup di desa. Petani di prefektur yang banyak pertaniannya ingin
membantu mereka, karena jadi petani itu juga perlu latihan.
Selain
di daerah prefektur Kagawa juga di prerfektur Naganao yang juga merupakan
daerah pertanian/ agrikultur. Prefektur Nagano terkenal dengan ladang stroberi,
mentimun, dan padi, menawarkan program menjadi petani pada akhir pekan untuk
para pemuda. Disini, mereka memperoleh pelatihan hal-hal yang berkenaan dengan
pertanian, berikut dengan prakteknya.
Temanku
warga Jepang mengaku bahwa pengalaman yang diperolehnya di Nagano berharga,
karena ia jadi bisa lebih santai. Ia juga mengaku terkesan dengan keramahan
orang-orang desa yang masih saling mengenal tetangganya, berbeda dengan yang
dialaminya di Tokyo.
Keramahan
desa juga menjadi faktor utama bagi mereka untuk meninggalkan pekerjaannya
sebagai pekerja di kota besar karena merasa muak hidup di kota, karena hidup
hanya habis untuk bekerja. Oleh karena itu mereka memutuskan untuk jadi petani
karena ritme kerjanya lebih pelan namun bisa memuaskan batin.
Teman- temanku yang
sempat bekerja di Jepang, pulang kampung …mereka terlihat makin cerdas. Mereka tidak bermental pembantu atau
mental buruh. Contohnya pada kami bahwa sebelum perpisahan boss kami akan berpesan agar kami bisa mengambil ilmu dan motivasi dari Jepang
untuk bisa diterapkan di negara kita. Dengan demikian kami tidak mau pulang kampung dengan kepala kosong
saja.
Teman-
temanku yang pulang dari Jepang juga terinspirasi untuk berwirausaha (enterpreur) ada yang membuka usaha
pertanian, usaha peternakan dan perikanan atau membuka usaha restoran/ kuliner.
Yang memperoleh inspirasi untuk menjadi orang yang smart setelah bekerja di
Jepang juga orang dari Vietnam, Philipina dan China. Karena pekeja yang juga
aku lihat dari negara- negara ini.
I.
Pekerja Yang Pernah Magang Ke Jepang Lebih Percaya Diri
Para pekerja Indonesia yang pernah
mengikuti program Kenshusei atau pemagangan di Jepang[2] sebetulnya
memiliki potensi yang besar sebagai pengusaha, mengingat pengalaman mereka
bekerja di perusahaan-perusahaan Negeri Sakura itu. Ini pernah diungkapkan oleh Dubes RI untuk
Jepang, Jusuf Anwar, di Tokyo.
"Berbeda dengan TKI ke negara lain
(misal ke negara tetangga atau negara Timur Tengah) maka pekerja Indonesia di
Jepang umumnya bekerja di sektor ekonomi yang cukup penting dan memiliki nilai
tambah bagi perekonomian Jepang, sehingga pengalaman itu dapat menjadi bekal
untuk memulai suatu usaha dan bukan saatnya jadi pekerja lagi.
Program kerja magang atau lebih
dikenal sebagai Kenshusei merupakan kebijakan pemerintah Jepang untuk menerima
pekerja asing. Ketentuan hukum Jepang sendiri melarang keras masuknya pekerja
asing yang tidak memiliki keahlian.
Menurut Dubes, kesempatan magang di
Jepang jangan hanya dijadikan untuk sekedar memperoleh penghasilan semata,
mengingat sifatnya yang dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan teknis
bagi para pekerja Indonesia sendiri. Budaya bekerja keras atau etos kerja
Jepang semestinya bisa menular ke pekerja Indonesia sehingga bisa lebih
produktif dan inovatif, karena telah memahami standar kerja dan kebutuhan
Jepang sebagai negara maju.
"Berbekal semuanya inilah,
lulusan pekerja Jepang memiliki kesempatan besar untuk jadi pengusaha yang
sukses."
Beberapa orang temanku juga demikian.
Seorang pemuda yang pernah mengikuti program kerja di Jepang asal Lubuk Alung-
bernama Muhammad Ikhlas- sekembali dari Jepang punya keberanian untuk membuka
usaha dagang, mendirikan ruko (rumah toko) dan menjual suku cadang (spare part)
buat kendaraan motor. Yose, asal Batusangkar, juga memiliki keberanian untuk
buka usaha sendiri. Ia mendirikan usaha rice milling (gilingan padi), memiliki
kolam budi daya perikanan dan juga toko grosir plastik. Demikian juga salah
seorang pemuda Bukitgombak- Batusangkar, panggilannya “Khairul Huda, dengan
panggilan Si-Ay”, setelah kembali dari Jepang ia punya motivasi sukses yang
tinggi. Ia mampu merenovasi rumah buat orang tuanya, membuat usaha restoran dan
usaha ternak puyuh.
Tentu saja kita berharap agar pemerintah
terus menciptakan suasana kondusif yang lebih berpihak kepada usaha kecil dan
menengah serta membantu secara lebih nyata kepada pekerja yang memang sudah
diketahui memiliki jiwa kewirausahaan. Apalagi usaha kecil dan menengah
terbukti mampu bertahan di tengah tekanan krisis ekonomi.
"Kalau mereka diarahkan jadi
wirausawan bisa sukses. Tentu saja dilengkapi dengan berbagai atmosfir yang
membantunya bisa berkembang. Pada akhirnya akan mendorong sektor riil bisa
bergerak lebih cepat lagi."
Pekerja Indonesia menempati urutan
nomor dua terbesar pekerja asing di Jepang, setelah China. Melalui program
"trainee" tersebut, rata-rata sekitar 5.000 TKI setiap tahunnya
datang ke Jepang dengan masa kerja tiga tahun.
Pekerja Indonesia banyak dipekerjakan di tujuh bidang pekerjaan, yaitu
pertanian, perikanan, konstruksi, industri pengolahan makanan, industri
tekstil, industri mesin dan barang logam dan di bidang furniture.
Penghasilan yang diterima bervariasi
(tergantung sektornya), rata-rata menerima uang saku sebesar ¥ 60.000 hingga ¥ 80.000 di tahun pertama.
Sedangkan tahun berikutnya rata-rata gaji yang diterima berkisar ¥ 90.000 yen
hingga ¥ 100.000 yen. Belum lagi bila mengambil lembur yang bisa memperoleh
tambahan sekitar ¥ 65.000 yen.
Sejak tahun 1992 hingga 2006, jumlah
TKI jebolan Jepang sebanyak 75 ribu orang yang selama ini dikelola tiga
organisasi penyalur tenaga kerja Indonesia, yaitu IMM, JIAEC, dan JAVADA. Namun
demikian beberapa persoalan juga menyelimuti para peserta Kenshusei itu,
seperti penempatan kerja lebih banyak ditentukan perusahaan, ketimbang minat
yang dimiliki TKI, gaji yang tidak mengalami perubahan dalam 15 tahun
belakangan.
J.
Aktivitas Seorang Siswa di Sekolah
Aku juga mau
menceritakan sedikit tentang aktifitas keseharian siswa di Jepang- berdasarkan
observasiku terhadap anak atasan yang bersekolah di SD dan Sekolah Lanjutan.
Perilaku siswa Jepang di kelas terlihat lebih baik. Mungkin
kita bisa mengatakan sebagai perilaku terbaik di dunia.
“Tentang
mulai proses kegiatan belajar, bahwa kegiatan belajar sekolah
di Jepang biasanya dimulai pukul 09.00 pagi”.
Kalau di Surabaya mulai
belajar jam 06.00 pagi, itu sama suasananya dengan jam 07.30 untuk di Padang.
Namun jam 07.00 bagi Jepang, aku rasa masih sangat pagi- masih agak gelap. Jam seperti
09.00 itu bagi kita mungkin sudah mulai kesiangan. Namun sudah merupakan waktu
pagi yang bagus untuk mulai belajar. Tapi yang aku perhatikan bahwa siswa-siswi
Jepang harus bersiap-siap pergi sekolah dari pagi-pagi sekali. Sama seperti
siswa- siswa kita. Yang tinggal dekat tentu berjalan kaki, dan yang agak jauh
mungkin menaiki bis, kereta, ataupun naik sepeda.
Biasanya saat senggang
di dalam kereta atau bis, mereka mendengarkan musik atau membaca buku. Membaca
novel adalah salah satu kebiasaan siswa di Jepang. Kegiatan membaca sebagai
budaya sudah terbentuk dari rumah- orang tua mereka juga suka membaca. Bagi
mereka, sekolah jauh tidak jadi masalah, yang penting sekolah itu bagus dan
berkualitas.
Untuk menunjukkan
reputasi (nama baik) sekolahnya, para pelajar bahkan diminta untuk tidak
membaca, mengunyah permen karet, dan makan- makan sambil berjalan. Ini termasuk
sopan santun sekolah. Setibanya di
sekolah, mereka akan menyimpan sepatunya di loker sepatu dan menggantinya
dengan sepatu khusus yang digunakan di ruang kelas (uwabaki).
Tentang kegiatan siswa
di sekolah, bahwa sebelum memulai pelajaran di kelas, terlebih dahulu siswa di
Jepang terbiasa memberi salam. Pelajaran pokok SMA di Jepang adalah Bahasa
Jepang sebagai bahasa nasional. Pelajaran lainnya yaitu Bahasa Inggris,
Matematika, eksak (Kimia, Biologi, Fisika, dll) dan Sosiologi (Ilmu
kemasyarakatan, Sejarah Jepang, Sejarah Dunia, Ekonomi Pemerintah dll). Selain
itu juga ada Olahraga, Musik, Seni rupa, dan seni kaligrafi huruf
Jepang, serta juga terdapat kelas memasak dan juga diajari bagaimana cara
membuat pakaian.
Sekolah Jepang hanya
memiliki satu pelajaran bahasa asing, yaitu bahasa Inggris. Semua siswa
menggunakan kamus elektronik (denshi jisho). Tidak hanya bahasa Inggris, bahasa
Jepang pun terasa lebih mudah jika menggunakan kamus.
Di tiap sekolah
biasanya memiliki gedung olahraga, halaman sekolah, dan kolam renang
tersendiri. Gedung olahraga dan kolam enang digunakan pada saat ada jam
pelajaran olahraga voli, bola basket, sepak bola, dan berenang.
Tentang kegiatan saat istirahat, bahwa pada jam istirahat
biasanya murid-murid Jepang makan siang.
Mereka biasanya membawa bekal (makanan) yang dibawa dari rumah. Namun ada juga
yang membelinya di kantin sekolah. Ruang kelas juga bisa dijadikan tempat makan
selain kantin.
Tentang kegiatan siswa
bila pulang sekolah, bila kegiatan belajar
mengajar berakhir pada pukul 16.00 sore. Sebelum pulang, mereka membersihkan
kelas dulu, ada yang membersihkan papan tulis, menyapu, ngepel, dll- sama
dengan kegiatan di sekolah Indonesia. Lalu mereka mengganti sepatu yang disimpan
di dalam locker. Setelah pelajaran selesai, ada yang mengikuti kegiatan
ekstrakurikuler (yang terdiri dari sports
clubs dan culture club, Kegiatan ekskul siswa Jepang rata-rata juga padat.
Tentu saja juga ada yang mengikuti bimbingan belajar/les diluar sekolah.
Anak-anak
yang mengikuti les ini kebanyakan adalah anak-anak kelas III (Kelas XII) yang
akan mengikuti ujian semester dan persiapan untuk masuk ke perguruan tinggi. Di
Jepang, tidak ada Ujian Nasional, Ujian Akhir Sekolah, atau Ujian Praktek.
Jadi, siswa yang telah berhasil mengikuti tes ujian masuk perguruan tinggi,
akan diumumkan nama perguruan tingginya di papan pengumuman yang ada di buku
tersebut.
Tentang
kegiatan siswa bila sudah berada di rumah,
yaitu mereka makan
malam bersama keluarga lalu mandi. Sebelum tidur, siswa membaca, mendengarkan musik dan kembali
belajar selama 1 jam atau bahkan lebih. Di Jepang tidak ada Ujian Nasionalnya
lagi, jadi setelah selesai ujian semester mereka bisa langsung mengikuti tes
masuk perguruan tinggi.