Pendidikan
Kita Menghasilkan Manusia Yang Belum Mandiri
Oleh:
Marjohan, M.Pd
Guru
SMAN 3 Batusangkar
Tiba- tiba
fikiran saya tergelitik untuk mengupas tentang proses pendidikan yang dilakoni
oleh masyarakat kita yang belum menghasilkan manusia yang kurang mandiri. Ini
terjadi saat saya membaca sepenggal berita yang muncul pada milis yahoo, memaparkan
kritikan pedas Amin Rais, pendiri Partai PAN, terhadap Presiden Jokowi. Ia mengungkapkan
bahwa Jokowi ibarat seekor burung onta. Pernyataan ini karena melihat Jokowi
selalu mengulur- ulur waktu dalam melakukan reshuffle
cabinet (perombakan kabinet).
“Burung
onta bila lagi panik, karena bertengkar sesama burung onta, ia suka menimbun
kepalanya ke dalam pasir. Ibarat seseorang yang suka mengulur- ulur
penyelesaian masalah”.
Kita
kangen lagi bisa melihat lahirnya seorang presiden yang kualitasnya sama dengan
Presiden pertama republik ini yaitu Presiden Sukarno. Dari sejumlah presiden
yang telah memimpin di negara ini, seperti Suharto, BJ Habibie, Gusdur,
Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo, maka Sosok Presiden Sukarno
jauh sangat berkualitas. Ini cukup membanggakan kita sebagai bangsa Indonesia. Ia
memiliki penampilan yang gagah, jago dalam berkomunikasi, wawasannya sangat
luas dan pergaulan internasionalnya sangat hebat.
Kualitas kepemimpinan Presiden
Sukarno saat itu sama levelnya dengan pemimpin dari negara- negara lain, dan
mereka adalah pemimpin level dunia atau level internasional. Presiden Sukarno berteman
akrab dengan berbagai kepala negara seperti: Jawaharlal Nehru (Perdana Menteri India), Gamal Abdul Nasser
(Presiden Mesir), John Fitzgerald Kennedy (Presiden Amerika Serikat), Fidel
Castro dan utusannya Che Guevara
(dari Cuba), Nikita Kruschev (Pemimpin Uni Soviet- Sekarang bernama Rusia), dan
Josep Broz Tito (dari Yugoslavia). Mereka itu semua merupakan kepala negara
bergengsi benua Afrika, Eropa, Asia dan Amerika.
Bagaimana dengan
kualitas presiden- presiden setelah itu ? Setiap orang tentu penilaian masing-
masing. Dan bagai mana pula dengan Presiden Indonesia yang sekarang yaitu
Presiden Joko Widodo ? Ya sudahlah, setiap orang akan punya penilaian
masing-masing.
Terbetik kabar bahwa Presiden
Jokowi akan melakukan perombakan kabinet. Ini terkait karena kondisi sosial
ekonomi negara yang lagi sakit. Nilai rupiah yang selalu melemah, nilai jual
barang atau perdagangan yang lesu dan angka penggangguran intelektual yang cenderung
makin meningkat.
Fenomena penggangguran
intelektual perlu sorotan lebih tajam dari arah atas dan bawah. Dari atas, yaitu
tentang kebijakan pemerintah, dan dari bawah akibat gagalnya proses mendidik
yang kita lakoni (oleh masyarakat: orang tua dan juga pihak sekolah). Terlihat
bahwa pendidikan yang telah kita praktekan seolah-olah sekedar mendorong
seorang anak untuk menjadi pegawai, dan belum mendorongnya untuk menjadi orang
yang mandiri.
“Lebih spesifik, sampai
dimana pedulinya lembaga pendidikan formal, utamanya SLTA dan Perguruan Tinggi
untuk mengurangi angka pengangguran yang telah mewabah ibarat virus yang
menggerogoti tubuh ?”
Ini adalah pernyataan
yang sudah diulang-ulang dan diperbincangkan oleh banyak kalangan. Bahwa angka
pengangguran terhadap kelompok Warga Negara Indonesia berusia sangat produktif
selalubertambah. Mereka adalah para pengganggur terdidik, lulusan perguruan
tinggi. Jadinya Perguruan Tinggi bisa dicibirkan karena hanya jago melahirkan banyak
sarjana sekedar jago berteori dan mencari IPK yang tinggi mungkin, namun kemampuan
untuk “mandiri” sangatminus.
Mereka hanya menciptakan
diri mereka sebagai manusia cerdas yang bermental “sub ordinate”- bermental bawahan yang hanya tertarik menjadi buruh,
pegawai atau anak buah pada sebuah perusahaan. Kalau tidak ada peluang kerja ya
menjadi PENGANGGURAN.
Dahulu saat dunia
pendidikan belum begitu berkembang pesat, kakek dan nenek (nenek moyang kita),
mereka belum tahu dengan istilah “jobless,
unemployment atau penggangguran”. Yang mereka tahu adalah bahwa mereka
harus bisa berusaha menghidupi diri sendiri atau mandiri. Pada saat awal
kemerdekaan Presiden Sukarno memang selalu mengkampanyekan agar warga negara harus
menjadi warga yang BERDIKARI. Istilah ini dibikin Presiden Sukarno sebagai
singkatan dari kata “Berdiri di atas kaki sendiri”.
Dampak dari seruan
tersebut, semua warga meresponnya. Termasuk nenek moyang kita, mereka segera
membuka usaha sendiri: membuka lading baru, membuka sawah baru, membuka
perkebunan, bertenak unggas, bertenak ikan, juga ada yang menjadi tukang rumah.
Atau menjadi tukang kecil- kecilan, seperti tukang patri, tukang jahit, menjahit
sepatu, tambal ban, tukang jahit paying. Semuanya disebut sebagai pekerjaan wong kecil, pekerjaan wong desa.
“Ya ropopo, yang penting mereka bekerja dan bisa makan. Tidak ada
istilah gengsi- gengsian, yang penting halal. Dan setelah mereka bisa
menghidupi diri merekapun akhirnya menikah dan memiliki anak”.
Cita-cita anak anak
mereka saat saat itu tidak begitu muluk-muluk. Ya ingin melanjutkan usaha ayah
mereka, atau menjadi Tuanku, Kyai, Ulama, guru pesantren, guru di sekolah lokal,
menjadi guru ngaji. Pokonya cita cita yang amat mulia saat itu.
Seorang Ulama adalah
tokoh yang amat berpengaruh saat itu. Namun kasihan, mengapa dewasa ini amat
jarang terdengar anak-anak muda yang ingin menjadi seorang Ulama ? Mungkin ini
akibat gaya mendidik dan kehidupan kita yang penuh dengan aura kapitalis dan
hedonis.
Pada saat itu, bagi
beberapa orang yang punya keberanian kuat, maka mereka pergi merantau buat
belajar menjadi saudagar. Saudagar adalah istilah yang ngetop untuk karir
sebagai perdagangan. Mula-mula mereka jadi anak buah, belajar hidup dari induk
semang (bos). Mmemang melalui proses hidup yang bersusah payah. Itu ibarat bentuk
praktek kerja nyata dan akhirnya lahir begitu banyak saudagar tangguh. Mereka
bersaudagar untuk bidang tekstil, mesin, bahan makanan dan lain- lain.
Zaman bergulir dan kebijakan
baru pun muncul. Kemudian dunia pendidikan tumbuh dan tumbuh. Anak- anak didik
yang duduk dibangku sekolah rakyat atau sekolah dasar diajar buat bermimpi.
Kamu kalau udah gede nanti mau jadi apa ?
Tahukah anda apa mimpi
yang banyak diungkapkan oleh anak sekolah dari dulu hingga sekarang ? Rata-
rata mimpi mereka adalah seperti: ingin jadi dokter, guru, insinyur, polisi,
tentara, camat, penyuluh lapangan, mantri kesehatan, bidan, perawat dan
lain-lain. Karir ini memang dibutuhkan untuk melayani warga negara dan mereka
semua tercatat sebagai karir PNS dan juga Pegawai militer.
Kebutuhan akan tenaga PNS
dibuka lebar, rekruitmen PNS setiap tahun cukup tinggi sejak itu. Jumlah PNS
mencapai jutaan orang. Malah hampir setiap rumah di Indonesia hampir selalu ada
tenaga PNS. Mereka yang bekerja sebagai PNS membisikan dan menyarankan kepada
keluarganya dan lingkungannya agar belajar dan kuliah setinggi agar kelak bisa
menjadi PNS yang bergaji tinggi pula. Banyak celotehan yang terdengar: “Lebih
enak jadi PNS, gajinya memang sederhana namun masa depan terjamin”.
Dampaknya adalah lahirlah
ribuan atau jutaan manusia yang bermimpi untuk jadi PNS. Jumlah PNS memang sangat
membludak dan untuk menggaji mereka negara kesulitan mencari anggaran. Negara harus
berutang pada pihak luar seperti pada Bank Dunia, IMF- Internasional Monetary
Fund, dll. Tahu apa efek jeleknya ? Yaitu utang Indonesia jadi membengkak dan nilai
rupiah merosot. Nilai rupiah anjlok sampai 1000 Persen. Angka nol pada uang
Rupiah sampai “Lima Digit”. Tidak ada angka mata uang negara lain yang kayak
begini. Akibatnya warga dunia internasional kurang melirik mata uang kita,
enggan menyimpannya dalam dompet mereka.
Difikir-fikir cukup menyedihkan.
Tetangga kita Singapura, negaranya kecil, tetapi mata uangnya- dollar
Singapura- sangat kuat. Sekuat mata uang
raksasan dunia internasional. Mata uang Ringgit dari Malaysia juga cukup
disegani dunia internasional. Dan mata uang rupiah, maaf gimana ?
“Mata uang Rupiah dipandang
sebagai “Rubbish Currency” atau mata
uang sampah. Sebuah kotak donasi (kotak sumbangan) buat UNICEF yang bersandar di
dinding ruang tunggu di bandara Tullamarine- Melboune. Saya ingin menyelipkan
uang kertas seratus ribu, namun seperi yang saya saksikan, hanya menerima mata
uang Dollar, Yendaka dan Euro, dan tidak berlaku buat rupiah. Air mata saya
jadi menetes.
TEntang jumlah PNS yang
membludak, setelah puluhan tahun, akhirnya pemerintah menyadari bahwa jumlah
PNS yang banyak dan tidak terkendalikan adalah biang kerok yang ikut
mengambrukan perekonomian negara. Fenomena di lapangan adalah bahwa banyak PNS
yang tidak bekerja dan mereka PNS yang tidak punya pekerjaan tetap makan gaji
buta.
Pemerintah mengambil
kebijakan. Sekarang pintu buat menjadi PNS sudah tertutup cukup kecil dan malah ditutup rapat. Anak
anak muda cukup banyak yang terlanjur kuliah dengan impian ingin menjadi “Abdi
Negara” atau PNS. Calon guru dan calon petugas kesehatan yang jumahnya melimpah
ruah menjadi bengong dan separoh frustasi- mungkin juga frustasi. Bengong menganggur
maka mereka ikhlas menjadi tenaga honorer atau pegagai kontrak dengan bayaran
Rp. 800. Ribu perbulan. Saat ini nilai rupiah anjlok. Honor Rp. 800 ribu hanya
cukup untuk menghidupi diri buat satu minggu.
Beberapa anak muda-
mahasiswa- yang berada di Universitas, terutama dari Universitas Favorite,
berseru bahwa mereka tidak tertarik menjadi PNS dan mereka bakal menjadi
“Entrepreur atau Penguasa”. Bagaimana bisa menjadi PNS, karena keran PNS juga sudah
amat kecil.
Ah menjadi seorang Entrepreneur ternyata tidak semudah
membalik telapak tangan. Malah kursus-seminar, workshop dan training motivasi yang
mereka ikuti selama kuliah tidak mebawa hasil. Karena pada umunya mereka tidak
punya background entrepreneur dan
mereka umumnya berasal dari rumah tangga
yang orang tuanya adalah PNS, atau pegawai kecil lainnya. Mereka juga mendapat
dogmatis bahwa “Enak lho jadi PNS, masa depan cerah !!!”.
Pintu PNS sudah amat
kecil dan sementara itu mereka miskin dengan pengalaman berwirausaha. Ya
apalagi pengalaman wirausaha nyaris di bangku SLTA tidak ada. Kecuali bagi yang
dulu belajar di SMK. Mereka diberi pengalaman dan mata pelajaran tentang
vokasional dan wirausaha. Namun itupun juga tidak mantap, akhirnya mereka jadi
linglung juga.
Bukankah bahwa
mayoritas lulusan SLTA adalah dari jenjang SMA dan Madrasah, dengan arti kata
miskin dengan ilmu dan pengalaman berwirausaha. Ada sekitar 15.000 sekolah SMA
dan Madrasah di Indonesia dan lulusan mereka tiap tahun adalah lebih dari setengah
juta orang. Sebagai catatan bahwa mereka semua buta dengan pengalaman wirausaha
dan juga sekolah tidak memberi pengalaman buat berdikari. Dapat disimpulkan bahwa
mereka adalah sebagai angkatan muda penyumbang angka pengangguran.
“Meski mereka terus
kuliah ke Perguruan Tinggi, mereka diperkirakan lulus menjadi sarajana
bermental buruh, karena pengalaman berwirausaha di Perguruan Tinggi juga tidak
memberi pengaruh atau kesan yang kuat buat mereka”.
Kualitas Indek SDM
manusia Indonesia sangat rendah, malah jauh lebih rendah dari negara tetangga
seperti Thailand, Singapura, Malaysia dan Australia. Kualitas pendidikan yang
rendah dan pengangguran terdidik harus mendapat perhatian dari masyarakat,
lembaga pendidikan sejak di tingkat SLTP hingga Perguruan Tinggi.
Juga sudah saatnya
pemerintah kita mengubah proposi, perimbangan, antara SMA dan SMK. Negara kita
perlu meniru kebijakan pendidikan di negara maju, misalnya negara Jerman, yang
mana jumlah sekolah SMK lebih banyak dari pada jumlah SMA. Sekolah SMK tentu
saja siswanya dibekali dengan ilmu dan pengalaman berwirausaha, sementara di
SMA yang siswanya hanya disuguhi teori, dan mungkin hampa dengan pengalaman
berwirausaha hingga diperkirakan kelak mereka bila telah menjadi sarjana bakal jadi
sarjana yang bermental pegawai bawahan, atau kalau kalah bersaing sebagai job seeker akan menjadi pengangguran.
Nggak apa-apa buat
sementara, karena di SMA siswa juga bisa diberi pengalaman berwirausaha.
Seperti yang dilakukan oleh stake-holder
di negara Jerman. Di Sekolah Menengah (Secondary School) di Jerman yang namanya
adalah “Gymnasium, High School dan Sekolah Internasional”. Untuk di Indonesia
sama dengan sekolah SMA, MAN dan SMK. Mereka pada bersemangat memberikan lomba entrepreurship (kewirausahaan). Judul
perlombaanya adalah “Entrepreur of
Tomorrow”. Para pelajar berlomba dalam menyiapkan “business plans on business modeling they develop themselves”.
Para pemenang lomba
kemudian diberi dukungan oleh Frankfurt
School of Finance and Management. Lembaga ini memberi fasilitas dan bantuan
tekhnik secara gratis. Para pemenang lomba juga akan memperoleh mentor yang punya pengalaman dalam
bidang bisnis.
Pengalaman wirausaha
harus dimantapkan sejak usia dini. Sebagai catatan bahwa bagi sekolah SMK juga perlu
mendatangkan tokoh wirausaha untuk memberi motivasi wirausaha bagi siswa-siswi
mereka. Meski di SMK ada mata pelajaran wirausaha, namun para gurunya tentu
tidak memiliki naluri berbisnis, kecuali hanya sekedar memompakan teori
wirausaha yang mungkin kurang membekas pada fikiran siswa.
Mengingat angka
pengangguran lulusan Perguruan Tinggi selalu meningkat, maka Pemerintah kita
juga perlu belajar pada kebijakan pendidikan di negara maju yaitu tentang
pentingnya memberikan pengalaman wirausaha sejak dini. Pendidikan Eropa,
sebagai contoh, sangat giat memperkenalkan pendidikan wirausaha pada semua
sekolah dini.
Di Belanda istilah
wirausaha adalah “ondernemer” dan istilah
di Jerman adalah “unternehmer”. Entrepeneur
sudah diperkenalkan sejak dari bangku SMP hingga Perguruan Tinggi sejak tahun
1950-an. Sementara di negara kita kewirausahaan baru jadi fenomena,
diperkenalkan, di Perguruan Tinggi, ya sejak Perguruan Tinggi gagal menghasilkan
sarjana. Pada hal seorang sarjana sudah bangga sebagai agent
of social change , ternyata hanya sebagai
penggangguran terdidik yang miskin nyalinya. Pengangguran begini bertambah dalam
jumlah ribuan orang tiap tahun.
Sebagai penutup bahwa idealnya
kewirausaan ini juga mutlak harus diberikan sejak bangku SMP, karena pengalaman
berwirausaha di masa kecil, lebih banyak bekasnya dari pada diberikan hanya
setelah dewasa. (Marjohan, M.Pd- Guru SMA 3 Batusangkar- Peraih Predikat I Guru
Berprestasi Nasional. Email: marjohanusman@yahoo.com)